Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi
tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan serta peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan tersebut diarahkan untuk mampu meningkatkan
kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahpikir, olahhati, olahrasa dan
olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global yang
penuh persaingan.
Untuk mengimplementasikan tujuan Sistem Pendidikan Nasional itu maka
perlu dijabarkan kedalam sejumlah peraturan antara lain melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan
dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, salah satunya memuat
standar isi yang didalamnya mengatur tentang kurikulum sekolah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum merupakan core business (urusan
utama) dari pendidikan. Mulyasa menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga
syarat utama yang perlu diperhatikan terhadap peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui institusi pendidikan, yakni 1) kurikulum yang berkualitas,
2) sarana-prasarana yang memadai, dan 3) tenaga pendidik dan kependidikan

1
yang profesional. Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia,
banyak hasil survey atau penelitian menunjukkan bahwa manusia Indonesia
belumlah mampu bersaing di dunia, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah
(2006), serta Jalal dan Supriadi (2001) yaitu :
Pertama, lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD
dan buta aksara. Untuk menunjang pembangunan ekonomi, kualifikasi tenaga
kerja demikian tidaklah memadai.
Kedua, mutu pendidikan khususnya pendidikan dasar masih sangat
memprihatinkan antara lain kemampuan membaca siswa di kawasan ASEAN
merupakan terendah, hasil studi The International Educational Achievement
(IEA) tahun 1999 menunjukkan kemampuan siswa SMP terhadap matematika
dan IPA masih memprihatinkan.
Ketiga, ukuran indeks sumberdaya manusia pembangunan (Human
Development Index atau HDI) relatif masih ketinggalan, walaupun terdapat
peningkatan setiap periode.
Implikasi dari gambaran sumberdaya manusia Indonesia di atas, banyak
pihak menuding bahwa mutu pendidikanlah penyebabnya, yang faktor
utamanya adalah kurikulum. Untuk itu pemerintah telah berupaya melalui
berbagai program peningkatan mutu pendidikan antara lain pembakuan
kurikulum sekolah sejak tahun 1975, perubahan kurikulum 1984, kurikulum
1994 dan suplemennya, serta kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah
yang menghambat upaya peningkatan mutu, yang boleh jadi disebabkan oleh
kurikulum sekolah. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1. Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan
teori dan hapalan sehingga kreatifitas siswa cenderung terabaikan. Juga
proses pembelajaran yang kaku dan formal mengakibatkan proses
pembelajaran tersebut menjadi steril dengan perubahan lingkungan siswa.
2. Terlalu terstrukturnya kurikulum sekolah dan sarat beban, baik materi
maupun waktu kegiatan di sekolah. Sebagai gambaran menurut Prasetyo,
dalam setahun jam pelajaran siswa SD hingga SMA di Indonesia lebih dari

2
1.000 jam pertahun dan merupakan angka terlama di dunia sekalipun
dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya berkisar 900-960 jam
pertahun.
Untuk mengatasi hal-hal yang diuraikan pada bagian di atas serta dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan, pada tahun 2006 Depdiknas melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 meluncurkan
kurikulum baru yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Perubahan kurikulum tersebut lebih dititikberatkan pada penetapan kompetensi
dasar peserta didik dengan ukuran terpenting dari prestasi siswa adalah
penguasaan standar kompetensi yang dituntut (BSNP : 2006). Kurikulum baru
tersebut juga memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk
mengembangkannya dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan daerah
sekitarnya. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat dan kebijakan otonomi
daerah yang antara lain meliputi otonomi dalam pengelolaan pendidikan.

B. Batasan Masalah
1. Bagaimana penetapan kebijakan pendidikan kurikulum KTSP?
2. Bagaimana implementasi pendidikan kurikulum KTSP?
3. Bagaimana evaluasi pendidikan kurikulum KTSP?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana penetapan kebijakan pendidikan kurikulum
KTSP?
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan kurikulum KTSP?
3. Untuk mengetahui bagaimana a evaluasi pendidikan kurikulum KTSP?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)


Kurikulum adalah rencana perjalanan terpisah dan diatur tentang tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan
dilaksanakan oleh setiap unit pendidikan dengan mengacu pada standar
kompetensi dan kompetensi yang dikembangkan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) .KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan
pendidikan, struktur dan alokasi bidang pendidikan, kalender pendidikan, dan
silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan / atau kelompok
mata pelajaran / tema tertentu yang memenuhi standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi pokok / pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator,
perbandingan, distribusi waktu, dan sumber / bahan / alat belajar. Silabus
merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam
materi utama / pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator kompetensi
kompetensi untuk pembahasan.1
KTSP memupunyai beberapa landasan, landasan tersebut adalah:
1. Sebuah. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi
4. Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Permendiknas2

1
Mulyasa, Enco. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosda, hal. 79.
2
Ibid.

4
B. Proses Analisis Kebijakan
1. Proses Kebijakan Pengembangan Kurikulum
Guna mencapai tujuan pendidikan nasional seperti amanat undang-
undang melalui kebijakan pengembangan kurikulum, maka kebijakan
tersebut tentunya harus diimplementasikan. Agar berhasil, maka sebelum
diimplementasikan harus dianalisis terlebih dahulu. Somantrie menyatakan
bahwa analisis kebijakan pengembangan kurikulum dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu:3
a. Analisis kebutuhan, meliputi:
1) Analisis kebutuhan masyarakat terhadap kurikulum, diantaranya:
a) Kebutuhan untuk menularkan lingkungan budaya dan tatanan
masyarakat,
b) Kebutuhan untuk mempersiapkan anak sebelum memasuki
kehidupan masyarakat,
c) Kebutuhan untuk memperkenalkan nilai-nilai yang berlaku serta
harapan dan masalah-masalah sosial masyarakat,
2) analisis kebutuhan pengembangan ilmu dan teknologi melalui
kurikulum, diantaranya:
a) Kebutuhan jenis ilmu dan teknologi yang seharusnya dipelajari
anak,
b) Kebutuhan jenis ilmu dan teknologi yang bermanfaat bagi anak,
c) Kebutuhan untuk mengorganisasikan ilmu dan teknologi untuk
kepentingan pendidikan,
d) Kebutuhan kriteria untuk menentukan relevansi ilmu dan
teknologi dengan kebutuhan anak.

3
Agusniar, Eka. “Kemampuan Profesional Guru Bidang Studi Pendidikan Agama Islam
Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Sdn 1 Simpang Peut Nagan Raya.” Jurnal Ilmiah
Didaktika 16, no. 1 (August 1, 2015): 129. doi:10.22373/jid.v16i1.590, diakses pada tanggal 17
Desember 2019.

5
3) Analisis kebutuhan anak, diantaranya:
a) Kebutuhan akan populasi anak (normal, luar biasa, dan
sebagainya),
b) Kebutuhan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak,
c) Kebutuhan tentang kondisi lingkungan anak,
d) Kebutuhan tentang kesempatan anak dalam hubungannya
dengan dunia kerja, pengembangan karir dan proyeksi
pertumbuhan ekonomi,
e) Kebutuhan tentang kesempatan belajar berdasarkan minat dan
kemampuan anak,
b. Merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, meliputi:
1) Kebutuhan kurikulum atas kondisi khusus dan kepentingan lembaga
pendidikan baik lembaga pendidikan umum maupun pendidikan
khusus/kejuruan,
2) Kurikulum yang dikembangkan harus berdasarkan pada efektifitas
kurikulum sebelumnya,
3) Menyusun kurikulum, yang memanfaatkan pengalaman atau kajian
para ahli kurikulum. Untuk itu dalam menyusun kurikulum perlu
ditelaah tiga sumber penentuan tujuan yang harus dicapai sekolah,
yaitu 1) peserta didik, 2) kehidupan masa sekarang di luar
lingkungan sekolah, dan 3) pertimbangan para ahli. Selanjutnya
menurut Tyler menyatakan perumusan tujuan kurikulum harus
mencakup hal-hal: 1) generalisasi bidang pelajaran, 2)
pengembangan sikap, kepekaan dan perasaan, 3) penguatan cara
berpikir, dan 4) penguasaan kebiasaan dan keterampilan.
2. Unsur yang terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Sebelum penetapan kebijakan kurikulum dilakukan, para pengambil
keputusan mengadakan pertemuan untuk menentukan kebijakan tersebut.
Begitupula pada saat proses pengembangan berlangsung, para pengambil
keputusan akan memberikan masukan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai
dengan kebijakan pendidikan nasional. Adapun unsur yang terlibat langsung

6
dalam kegiatan pengembangan kurikulum ialah para pengambil keputusan
yang terkait dengan penetapan kurikulum, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu,
ahli psikologi, dan guru-guru (Tim Pengembang Kurikulum yang ada di
tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota).
3. Beberapa pengaruh terhadap pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik secara
langsung maupun tidak. Pengaruh langsung misalnya datang dari lembaga
eksekutif dan legislatif yang mempunyai kepentingan dengan kurikulum.
Pengaruh tidak langsung datang dari masyarakat yang merasa langsung atau
tidak langsung terlibat atau mempunyai kepentingan, misalnya polemik
terhadap mata pelajaran agama yang dinilai masih perlu diberikan dan bahkan
ditingkatkan untuk mengurangi tingkat perkelahian pelajar atau
penyalahgunaan narkotika yang saat ini dirasakan memprihatinkan.

C. Penetapan Kebijakan
Dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun
2006 tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Petunjuk
Keterlaksanaannya, maka dengan demikian mulai tahun pelajaran 2006/2007
sekolah dasar dan menengah melaksanakan kurikulum baru yang disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum baru
tersebut merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK/Kurikulum 2004) yang telah didahului dengan ujicoba terbatas pada
sejumlah sekolah selama 3 tahun (paling tidak tercatat 640 SMP melaksanakan
ujicoba KBK di seluruh Indonesia). Penetapan tersebut berdasarkan evaluasi
terhadap hasil ujicoba dan pengkajian yang dilakukan oleh para ahli yang
berkumpul dalam wadah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

D. Implementasi Kebijakan
Kurikulum hanya sebuah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu
kurikulum tersebut haruslah efektif dan efisien. Jika kurikulum tidak memadai
dan relevan lagi dengan perkembangan masyarakat, maka perlu disempurnakan.

7
Oleh karena itu kurikulum memang harus diperbaharui secara periodik. Di
negara kita untuk pembaharuan kurikulum dikenal dengan siklus 10 tahunan
(sejak tahun 1975, 1984, 1994 dan 2004).
Dengan ditetapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
untuk kurikulum sekolah melalui Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24
Tahun 2006 tersebut maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dan siap
atau tidak siap sekolah harus mengimplementasikannya mulai tahun 2006/2007
dan diharapkan pada tahun 2010 seluruh sekolah di Indonesia telah
mengimplementasikannya untuk seluruh tingkat kelas.
Pada dasarnya semua kebijakan pendidikan disemangati oleh nilai-nilai
yang diyakini baik dan ingin memperbaiki kondisi faktual yang ada, begitu pula
dengan kebijakan pembaharuan kurikulum ini. Karena ingin memperbaiki
kondisi faktual yang ada maka kebijakan pengembangan kurikulum ini dapat
dianggap sebagai sebuah inovasi. Namun benarkah demikian? Setiap ada
perubahan kurikulum maka semua stakeholder pendidikan menjadi repot dan
tidak jarang menimbulkan konflik.
Sebagai gambaran, berikut adalah persepsi guru-guru sebagai pelaksana
kurikulum di sekolah dan stakeholder pendidikan yang baru mengenal KTSP,
dan sedang mengimplementasikannya, yang dimintai pendapatnya oleh penulis
selama penulis melakukan kegiatan sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) di beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara.4
1. ”Saya berpendapat bahwa kurikulum baru ini merupakan beban baru bagi
guru karena selain dituntut untuk membawakan materi pelajaran, juga
dituntut untuk mendesain kurikulum, membuat administrasinya, bahkan
penilaiannya yang teramat rumit. Padahal waktu kuliah dulu saya tidak
diajarkan bagaimana mendesain kurikulum”.

4
Bahri, Syamsul. “Pengembangan Kurikulum Dasar Dan Tujuannya.”
Jurnal Ilmiah Islam Futura 9, no. 1, diakses pada tanggal 17 Desember 2019.

8
2. ”Saya melihat bahwa KTSP ini sejalan dengan semangat otonomi daerah
dan manajemen berbasis sekolah, karena memberikan kesempatan kepada
sekolah untuk memberdayakan sekolahnya sesuai dengan kondisi dan
potensi yang dimiliki”.
3. ”KTSP ini merupakan salah satu bentuk kemajuan pendidikan, karena
diawali dengan penyusunan rencana kerja sekolah selama setahun secara
bersama antara kepala sekolah, guru, tenaga tata usaha, dan masyarakat,
sehingga membantu meningkatkan kinerja sekolah”.
4. ”Saya menganggap perubahan ke kurikulum baru ini adalah perubahan yang
akan membawa resiko beban pembiayaan yang ditanggung oleh orang tua
siswa, karena setiap ganti kurikulum berarti ganti buku pelajaran”.
5. ”Bagi saya, kurikulum baru ini memberikan peluang untuk melaksanakan
pembelajaran dengan kreatif, sehingga saya leluasa untuk berbuat tanpa
bergantung lagi pada buku paket”.
6. ”Begitulah pendidikan kita, pergantian kurikulum yang berulang-ulang
tetapi tidak pernah dievaluasi”.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaklah implementasi KTSP ini
menimbulkan pertentangan. Namun, sudah menjadi kelaziman bahwa sesuatu
yang baru (cara kerja, prosedur atau aturan), apabila diperkenalkan dalam suatu
organisasi, individu atau masyarakat dan tidak menimbulkan konflik (dalam hal
ini tidak menimbulkan pertentangan terhadap inovasi tersebut) maka dapat
diartikan bahwa inovasi tersebut sama sekali tidak baru atau tidak menawarkan
sumbangan penting bagi perubahan yang lebih baik. Oleh karena itu inovasi
tersebut akan mengancam status quo dan akibatnya akan menimbulkan konflik.
Dalam beberapa hal, fenomena reaksi tersebut merupakan sebuah kewajaran
dan normal dalam setiap individu. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya apabila tidak dipaksa oleh keadaan orang cenderung tidak
melakukan kegiatan apapun/apatis. Hal ini sesuai dengan teori motivasi
McGregor yang mengasumsikan bahwa manusia harus didorong oleh faktor

9
eksternal untuk berbuat, dan manusia pada dasarnya memilih untuk tidak
melakukan suatu kegiatan.5

E. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian
kurikulum yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah ditentukan
setelah suatu kurikulum diimplementasikan. Penilaian kurikulum tersebut
dilakukan dengan maksud untuk melihat kualitas dan efektifitas program
kurikulum sedangkan tujuannya adalah mendiagnosa, memperbaiki,
membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, serta menentukan
seberapa baiknya pelaksanaan kurikulum apabila dinilai berdasarkan kriteria
atau bila dibandingkan dengan kurikulum lainnya.
Somantrie menyatakan sebelum penilaian kurikulum dilakukan perlu
terlebih dahulu menetapkan tujuan, fungsi dan pemanfaatan hasil penilaian,
menentukan komponen yang akan dinilai, dan memilih metode yang tepat,
sedangkan pelaksanaannya diperlukan langkah-langkah pengumpulan,
pengolahan dan penafsiran data. Penekanan utama penilaian kurikulum adalah
sejauhmana kurikulum telah dicapai melalui kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu, penilaian kurikulum memegang peranan penting dalam berbagai
keputusan untuk memperbaiki baik materi kurikulumnya sendiri maupun
pelaksanaannya. Hasil dari penilaian tersebut akan menunjukkan bahwa
penilaian kurikulum memberikan informasi kepada pembuat keputusan apakah
kurikulum tersebut masih tetap digunakan, diperbaiki, atau diganti dengan
kurikulum baru.6
Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi KTSP yang baru berjalan
kurang lebih selama satu tahun ini belumlah layak untuk dievaluasi dari segi
hasil terhadap siswa, bila dilihat dari kaitannya dengan kebutuhan masyarakat.

5
Suyanta, Sri, Kata Kunci, Pendidikan Karakter, and Nilai Religiusitas. “Membangun
Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat.” Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA 13, no. 1 (2013): 1–11,
diakses pada tanggal 17 Desember 2019.
6
Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan.
Jakarta: Kencana, hal. 187.

10
Namun, dari segi pelaksanaan pembelajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan
monitoring yang dilakukan baik oleh tingkat sekolah (kepala sekolah atau guru),
tingkat daerah (oleh pengawas atau tim pengembang kurikulum) maupun
tingkat pusat (tenaga ahli kurikulum dan pembelajaran). Mengingat
pelaksanaan kurikulum di tingkat sekolah menganut prinsip ’kesatuan dalam
kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan’ maka dimungkinkan
implementasinya akan muncul keberagaman. Untuk itu pemerintah telah
mengeluarkan pedoman pelaksanaannya yang mengacu pada standar nasional,
sehingga penilaian kurikulumnya menggunakan acuan nasional.
Diharapkan hasil dari penilaian kurikulum tersebut akan secara langsung
mendukung upaya penyempurnaan proses pembelajaran, pengembangan
kurikulum, pelaporan kepada para pengambil keputusan, perbaikan
administrasi pendidikan dan program penelitian/pengembangan sehingga
diharapkan mutu pendidikan dapat tercapai dan pada akhirnya bermuara pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.7

7
Ibid., hal. 189.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di atas, diperoleh beberapa kesimpulan,
yaitu:
1. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum adalah suatu upaya untuk
memperbaiki mutu sumberdaya manusia melalui pendidikan sebagai
antisipasi perkembangan masyarakat yang terus mengalami perubahan.
2. Depdiknas RI melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22,
23 dan 24 Tahun 2006 meluncurkan kurikulum baru yang dikenal
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini lebih
menitikberatkan pada penetapan kompetensi dasar siswa dengan ukuran
terpenting prestasi siswa adalah penguasaan standar kompetensi, dan
memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkannya
sesuai dengan potensi sekolah dan daerah, yang sejalan dengan semangat
otonomi daerah .
3. Tahapan kegiatan analisis kebijakan pengembangan kurikulum yaitu 1)
analisis kebutuhan, 2) merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, dan
3) menyusun kurikulum,
4. Dasar penetapan dan pemberlakuan KTSP adalah dengan dikeluarkannya
Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Standar Kompetensi Lulusan dan Petunjuk Keterlaksanaannya. Dengan
demikian mulai tahun pelajaran 2006/2007 sekolah dasar dan menengah
telah menerapkannya. KTSP sebagai penyempurnaan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK/Kurikulum 2004), penetapannya didasarkan
dari hasil evaluasi terhadap hasil ujicoba terbatas pada sejumlah sekolah
selama 3 tahun dan pengkajian yang dilakukan oleh para ahli yang
berkumpul dalam wadah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
5. Kebijakan kurikulum baru ini menimbulkan konflik/pertentangan karena
sifatnya sebagai inovasi. Namun, reaksi tersebut merupakan sebuah

12
kewajaran dan normal. Dengan ditetapkannya KTSP tersebut maka mau
atau tidak mau, suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap seluruh sekolah
di Indonesia harus mengimplementasikannya pada tahun 2010 untuk
seluruh tingkat kelas.
6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian
kurikulum yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah
ditentukan setelah suatu kurikulum diimplementasikan, dengan maksud dan
tujuan adalah untuk melihat kualitas dan efektifitas program kurikulum,
mendiagnosa, memperbaiki, membandingkan, mengantisipasi kebutuhan
pendidikan, serta menentukan seberapa baiknya pelaksanaan kurikulum.
7. Implementasi KTSP yang baru berjalan kurang lebih selama satu tahun
belum layak dievaluasi dari segi hasil terhadap siswa, bila dilihat dari
kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Namun, dari segi pelaksanaan
pembelajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan monitoring yang dilakukan
baik oleh tingkat sekolah (kepala sekolah atau guru), tingkat daerah (oleh
pengawas atau tim pengembang kurikulum) maupun tingkat pusat (tenaga
ahli kurikulum dan pembelajaran)

13
DAFTAR PUSTAKA

Agusniar, Eka. “Kemampuan Profesional Guru Bidang Studi Pendidikan Agama


Islam Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Sdn 1 Simpang Peut
Nagan Raya.” Jurnal Ilmiah Didaktika 16, no. 1 (August 1, 2015): 129.
doi:10.22373/jid.v16i1.590, diakses pada tanggal 17 Desember 2019.

Bahri, Syamsul. “Pengembangan Kurikulum Dasar Dan Tujuannya.” Jurnal Ilmiah


Islam Futura 9, no. 1 (2011), diakses pada tanggal 17 Desember 2019.

Mulyasa, Enco. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosda.

Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik


Pengembangan. Jakarta: Kencana

Suyanta, Sri, Kata Kunci, Pendidikan Karakter, and Nilai Religiusitas.


“Membangun Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat.” Jurnal Ilmiah
ISLAM FUTURA 13, no. 1 (2013): 1–11, diakses pada tanggal 17
Desember 2019.

14

Anda mungkin juga menyukai