Anda di halaman 1dari 29

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A

Tanggal Lahir : 07 Mei 1982 (36 thn)

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Lindajang

Tanggal MRS : 27 Mei 2018

Tempat Perawatan: Kamar Bersalin

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :
Perdarahan dari jalan lahir sejak 2 jam post partus
Riwayat Penyakit Sekarang :
P3A0 post partus mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 jam. Pasien
sebelumnya melahirkan secara spontan di Puskesmas Suli Barat dan mengatakan
ari-ari hanya keluar sebagian. Darah yang keluar berwarna merah dan
bergumpal, perdarahan dirasakan terus menerus.

Riwayat Penyakit Dahulu :


• Pasien mengaku ini merupakan kehamilan yang ketiga
• Riwayat persalinan lama tidak ada pada
• Riwayat perdarahan post persalinan tidak ada

1
• Riwayat abortus disangkal
• Riwayat trauma disangkal
• Asma (-), HT (-), DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
 DM disangkal.
 Hipertensi disangkal.
 Asma disangkal.
Riwayat Pengobatan :
 Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan
Riwayat Alergi :
 Obat-obatan disangkal
 Makanan disangkal
 Cuaca disangkal
Riwayat Psikososial :
 Merokok disangkal
 Alkohol disangkal
Riwayat Operasi :
 Riwayat operasi disangkal
Riwayat Haid :
 Haid pertama kali umur 12 tahun
 Frekuensi haid : lamanya 7 hari, siklus 28 hari teratur dan tidak sakit.
 HPHT : 15 Agustus 2017
 TP : 22 Mei 2018

2
Riwayat Persalinan:
Gravida (0), Aterm (+), Premature (-), Abortus (-), Anak Hidup (3), SC (-)
Tempat Jenis Anak
No Penolong Tahun Aterm Penyulit
bersalin persalinan Sex BB Keadaan

1 Rumah Bidan 2003 Aterm spontan - LK 2200 Hidup


gram
2 Rumah Bidan 2008 Aterm spontan - pr 2500 Hidup
gram
3 PKM Bidan 2018 Aterm spontan Rest LK 3200 Hidup
Plasenta gram

III. PEMERIKSAAN FISIK


KU : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.5oC
Antropometri :
Berat badan : 71 Kg
Tinggi badan : 152 cm
Status generalis
 Kepala : Normocephal, deformitas (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), reflex cahaya (+/+)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-)
 Mulut : Mukosa oral basah, lidah kotor (-), tremor (-), faring
hiperemis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Pemeriksaan Thorax

3
 Paru 
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada ke 2 lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung 
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midcalvicularis
sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pemeriksaan Abdomen
 striae gravidarum (+), linea nigra (+), , nyeri tekan abdomen (-),
bising usus (+) dalam batas normal, TFU setinggi pusat.
 Genitalia :
 Vulva/Vagina : darah (+)
 Pemeriksaan dalam : stolsel (+), pembukaan portio cervix 4 jari
 Ekstremitas :
 Atas : Udem (-/-), turgor kulit baik, akral hangat, sianosis (-),
CRT < 2 detik
 Bawah : Udem (-/-), turgor kulit baik, akral hangat, sianosis (-),
CRT < 2 detik
STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan luar
 TFU : Setinggi pusat
Pemeriksaan Dalam
 Vaginal toucher :
 Vulva/Vagina : darah (+)
 Pemeriksaan dalam : stolsel (+), pembukaan
portio cervix 4 jari

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium(27 Mei 2018):
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
1. Darah Rutin
WBC 26,8 4,0-10,0 x 103/ul
RBC 3,92 3,5-5,5 x 106/ul
HGB 9,6 11,0 - 17,9 gr/dl
HCT 31,9 20,0- 70,0 %
MCV 81,5 75,0-118,0 fl
MCH 24,5 23.2 – 38,7 pg
MCHC 32 31,9- 37,0 gr/dl
PLT 300 100-300 x 103/ul
LYMPH 1,6 0,6 – 3,5 x 103/ul
MONO 0,9 0,1- 0,9 x 103/ul
Kimia darah
GDS 105 < 200 mg/dl
HBsAg Negatif Negatif
B20 Negatif Negatif

V. RESUME
Seorang pasien perempuan usia 36 tahun dengan keluhan
perdarahan dari jalan lahir. P3A0 post partus mengeluhkan keluar darah dari
jalan lahir sejak 2 jam. Pasien sebelumnya melahirkan secara spontan di
Puskesmas Suli Barat dan mengatakan ari-ari hanya keluar sebagian. Darah
yang keluar berwarna merah dan bergumpal, perdarahan dirasakan terus
menerus. Demam saat ini tidak ada. Penglihatan kabur tidak ada. Batuk tidak
ada. Sesak tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. Nyeri
ulu hati tidak ada. Buang air kecil lancar, warna kuning, buang air besar biasa.
Pasien tidak memiliki riwayat persalinan lama dan perdarahan post
persalinan pada persalinan. Pada pemeriksaan fisis didapatkan Keadaan umum:
Tekanan darah : 100/60 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Respirasi: 20 x/menit,
Suhu:36.5oC. Pemeriksaan luar TFU: setinggi pusat. Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher: Vulva/Vagina: darah (+). Pemeriksaan dalam: stolsel (+),
pembukaan portio cervix 4 jari. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis dan anemia.

VI. ASSESSMENT
Perdarahan Post Partum e.c Rest Plasenta

VII. PENGOBATAN/TINDAKAN
 IVFD RL + Oxytosin 2 ampul 28 tts
 Anbacim 1 amp / 12 jam/ iv

5
VIII. PLANNING
 USG : Sisa jaringan (+)
Tindakan Operasi Yang Dilakukan
 Kuretase
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA PRE OPERASI
 P3A0 dengan HPP ec Rest Plasenta
DIAGNOSIS KERJA POST OPERASI
 P3A0 dengan HPP ec Rest Plasenta
IX. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
28/3/2018 Perdarahan KU : Tampak sakit P3A0 Post IVFD RL 28tpm
dari jalan sedang/composmentis kuretase Anbacim
Tanda Vital :
lahir TD : 100/60
HPP ec 1gr/12jam/iv
Nadi : 80x/menit Rest Norages
Suhu : 36,5oC Plasenta 1amp/8jam/iv
RR : 20x/menit Ranitidin
Mata : CA -/- , SI -/- 1amp/8jam/iv
Abdomen :
Striae gravidarum (+), linea
nigra (+), TFU 2 jari dibawah
umbilikus, timpani, BU (+)
normal
Genitalia : Darah (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT < 2 detik,
udema -/-
29/3/2018 Kontrol KU : tampak sehat Post Cefixime 500mg
post kuret Kes : CM kuretase H 2x1
Tanda Vital :
TD : 100/60
1 HPP ec Tramadol 3x1
Nadi : 80x/menit Rest Myotonic 3x1
Suhu : 36,5oC Plasenta Boleh pulang
RR : 20x/menit
Genitalia : Darah (+)

X. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERDARAHAN POST PARTUM

I. PENDAHULUAN

Salah satu tujuan perkembangan berkelanjutan yang ditetapkan oleh PBB pada
tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian ibu menjadi 70 kematian per 100.
000 kelahiran tahun 2030. Jika hal ini harus dicapai, kematian ibu yang berhubungan
dengan perdarahan post partum (PPP) harus dikurangi secara signifikan. Untuk
mendukung hal ini, petugas kesehatan di negara-negara berkembang perlu memiliki
akses ke obat yang tepat dan untuk dilatih dalam prosedur yang relevan. Tapi di luar
ini, negara membutuhkan pedoman berbasis bukti pada keselamatan, kualitas, dan
kegunaan dari berbagai intervensi. Ini akan memberikan dasar untuk kebijakan dan
program pembangunan strategis yang diperlukan untuk memastikan implementasi
yang realistis dan berkelanjutan intervensi yang tepat. (1,2)

Perdarahan post partum (PPP) merupakan penyebab kematian maternal


terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki risiko perdarahan
post partum dan sekuelenya. Perdarahan post partum, terjadi di atas18 persen
kelahiran dan morbiditas ibu yang paling umum di negara-negara maju. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang,
perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak.
(1,2,3)

Secara global, diperkirakan bahwa setengah juta perempuan meninggal setiap


tahunnya akibat komplikasi dalam kehamilan dan persalinan dan setengah dari
kematian ini terkait dengan perdarahan post partum. Risiko kematian akibat
perdarahan post partum di Australia, Asia dan Inggris telah menurun selama dua
tahun terakhir dari tingkat 0,85 / 100 000-,39 / 100 000. Sayangnya, survei telah
menunjukkan lebih dari dua pertiga dari kasus ibu yang mengalami morbiditas, atau

7
nyaris celaka, yang disebabkan perdarahan dankejadian perdarahan post partum
utama tampaknya akan meningkat. Data World Health Organization (WHO) tahun
2014, menunjukkan bahwa 27% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan
post partum. Di Amerika Serikat diperkirakan 7-10 wanita tiap 100.000 kelahiran
hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari
kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100. 000 kelahiran
hidup. (2)

Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu(3)

II. DEFINISI

Perdarahan Post Partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar dari
atau sama dengan 500 ml setelah lahir pada persalinan pervaginam 1000 ml pada
persalinan section sesaria. Perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam disebut
perdarahan post partum dinisedangkan perdarahan yang terjadi antara 24 jam hingga
12 minggu setelah lahir dianggap sebagai perdarahan post partum lanjutan. (1)

III. EPIDEMIOLOGI

Perdarahan post partum (PPP) bertanggung jawab untuk sekitar 25% dari
kematian ibu di seluruh dunia (WHO, 2007), mencapai setinggi 60% di beberapa
negara. PPP juga bisa menjadi penyebab morbiditas berat jangka panjang, dan sekitar
12% dari wanita yang bertahan hidup PPP akan memiliki anemia berat.

8
Berdasarkan data Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 yang diterbitkan tahun 2013, angka kematian ibu (AKI) yakni 359/100. 000
kelahiran hidup dibandingkan data SDKI tahun 2007, angka kematian ibu di
Indonesia masih sebesar 228/100. 000 kelahiran hidup, dimana hal tersebut masih
cukup jauh dari target MDG sebesar 102/100. 000 kelahiran hidup. Adapun
penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan (50% persen kasus). (5, 6)

Adapun data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2013, tercatat 4 kasus
kematian ibu maternal dari 24.576 kelahiran hidup yang disebabkan perdarahan post
partum. Sehingga Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival
merupakan program meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan guna menurunkan
AKI di Indonesia. (6, 7)

IV. FAKTOR RISIKO

Riwayat perdarahan post partum pada persalinan sebelumnya merupakan


faktor risiko paling besar untuk terjadinya perdarahan post partum sehingga segala
upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa
faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
post partum:(1 - 4, 8)
1. Kehamilan ganda
2. Bayi makrosomia
3. Polihidramnion
4. Abnormalitas fetus (hydrocephalus)
5. Persalinan yang memanjang
6. Penggunaan obat-obatan (anestesi halogen, nitrat, nsaid, magnesium sulfat, beta-
simpatomimetik, dan nifedipin)
7. Persalinan traumatis
8. Persalinan dengan induksi
9. Persalinan pervaginam dengan riwayat persalinan abdominal sebelumnya.

9
V. Plasenta8

Plasenta (uri) adalah yang sangat penting bagi janin karena plasenta merupakan
alat pertukaran zat antara ibu dan anak dan sebaliknya, juga sebagai penghasil
hormon. Jiwa anak bergantung pada plasenta. Baik tidaknya anak bergantung pada
baik buruknya faal plasenta. Setelah nidasi, sel-sel trofoblas menyerbu kedalam
desidua sekitarnya sambil menghancurkan jaringan. Diantara massa trofoblas timbul
lubang-lubang sehingga menyerupai susunan spons. Lubang ini kemudian berisi
darah ibu karena dinding pembuluh-pembuluh darah juga termakan oleh kegiatan
troblas.

Mula-mula sel-sel yang dihancurkan menjadi bahan makanan bagi telur,


kemudian makanan diambil dari darah ibu. Sel-sel trofoblas yang menyerbu
kemudian berubah menjadi batang-batang yang masing-masing bercabang pula dan
akhirnya membentuk jonjot korion (vili korialis). Sementara itu, trofoblas yang
membentuk dinding vilus sudah terdiri dari dua lapisan.

1. Lapisan luar atau sinsitiotrofoblas


2. Lapisan dalam atau sitotrofoblas (sel-sel Langhans)
Sebelah dalam villus terisi oleh mesoderm. Dalam mesoderm ini terbentuk sel-
sel darah merah dan pembuluh-pembuluh darah yang lambat laun sambung
menyambung dan akhirnya berhubungan dengan peredaran darah janin melalui
pembuluh-pembuluh darah di dalam tali pusat.

10
Pada kehamilan muda, seluruh korion mempunyai vili, tetapi vili dalam
desidua kapsularis akan mati, sedangkan vili dalam desidua basalis tumbuh terus dan
merupakan bagian fetal dari plasenta. Sebagian vili ada yang menanamkan diri
kedalam desidua, vili ini disebut jonjot panjang (Haftzotte) karena memancangkan
telur pada desidua. Ada juga vili yang ujungnya tidak sampai ke desidua, tetapi
terapung dalam darah ibu. Vili ini terutama bertugas mencari makanan. Mula-mula
vili itu berbentuk batang saja, tetapi kemudian mengeluarkan cabang-cabangnya. Hal
ini sangat memperluas permukaan filtrasi vili tersebut dan berguna karena kebutuhan
janin bertambah seriring usianya.
Pada minggu ke-16, sel-sel Langhans mulai menghilang. Hal ini
menguntungkan bagi kecepatan pertukaran zat antara darah anak dan ibu. Darah anak
dan ibu tidak dapat bercampur karena terpisah oleh jaringan yang dinamakan
membran plasenta, terdiri dari dua lapisan sinsitium, lapisan sel Langhans, jaringan
ikat vilus dan lapisan endotel kapiler. Dengan hilangnya satu lapisan, membran
plasenta akan menjadi lebih tipis dan pertukaran zat lebih lancar. Pada akhir bulan ke
IV, daya serbu trofoblas berhenti dan pada batas antara jaringan janin dan ibu
terdapat lapisan jaringan yang bersifat nekrotik, disebut lapisan fibrin Nitabuch.

Pada akhir kehamilan, plasenta akan berbentuk seperti cakram dengan garis
tengah 15-20 cm, tebal 2-3 cm, dan berat ± 500 gr. Plasenta tadi terletak pada
dinding rahim sebelah depan atau belakang di dekat fundus.
Permukaan fetal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke janin,
warnanya keputuh-putihan dan licin karena tertutup oleh amnion. Di bawah amnion,
tampak pembuluh-pembuluh darah.

11
Permukaan maternal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke dinding
rahim, warnanya merah dan terbagi-bagi oleh celah-celah. Celah ini tadinya terisi
oleh septa (sekat) yang berasal dari jaringan ibu. Oleh celah-celah ini, plasenta
terbagi dalam 16-20 kotiledon.
Pada penampang sebuah plasenta yang masih melekat pada dinding rahim,
tampak bahwa plasenta terdiri dari dua bagian :
1. Bagian dari jaringan anak, disebut lempeng penutup atau membrana korii,
yang dibentuk oleh amnion, pembuluh-pembukuh darah janin, korion, dan vili
2. Bagian yang terbentuk oleh jaringan ibu, disebut lempeng desidua atau
lempeng basal, yang terdiri dari desidua kompakta dan sebagian desidua
spongiosa, yang kelak ikut lepas bersama plasenta.

VI. ETIOLOGI

Etiologi dari perdarahan post partum dikenal dengan empat proses dasar.
Perdarahan akan terjadi jika uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik. Produksi
faktor pembekuan ataupun trauma jalan lahir juga dapat menyebabkan kehilangan
darah dalam jumlah yang cukup besar jika tidak teridentifikasi dengan baik. Untuk
memudahkan dalam mengingat, proses-proses tersebut dikenal dengan 4T (Tonus,
Tissue, Trauma, dan Thrombin). (1 – 3)

a. Tonus

Kegagalan kontraksi (hipotensi atau atonia uteri) otot miometrium dapat


menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat sampai syok hipovolemik.
Overdistensi dari uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor risiko
mayor untuk atoni. Overdistensi dari uterus dapat disebabkan oleh kehamilan
ganda, bayi makrosomia, polihidramnion, atau abnormalitas fetus (seperti
hydrocephalus), struktur uterus yang abnormal, atau kehamilan dengan tumor
uterus.

12
Kontraksi miometrium yang buruk dapat disebabkan oleh kelelahan
akibat persalinan lama atau persalinan presipitatus atau persalinan dengan
stimulasi. Hal ini juga dapat diakibatkan inhibisi dari kontraksi dengan obat-
obatan seperti anestesi halogen, nitrat, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipin. Data terakhir memberi petunjuk bahwa grande multipara bukan
merupakan faktor risiko independen pada perdarahan post partum.

b. Tissue
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan pelepasan dan ekspulsi dari
plasenta. Pelepasan dan ekspulsi yang sempurna melancarkan retraksi
berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah optimal.
Retensi sebagian dari plasenta lebih umum jika plasenta telah
berkembang dengan lobus aksesori. Plasenta lebih umum bertahan pada
kehamilan preterm terutama di bawah usia kehamilan 24 minggu, dan
perdarahan signifikan dapat terjadi. Hal ini harus dipikirkan pada setiap
persalinan preterm, baik spontan maupun diinduksi. Bekuan darah juga dapat
menyebabkan distensi uterus dan mencegah kontraksi efektif.
c. Trauma

Luka pada traktus genitalia dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi
untuk melahirkan bayi. Persalinan Caesar menghasilkan perdarahan dua kali
lebih banyak dibandingkan perdarahan melaui persalinan pervaginam.

Trauma dapat terjadi pada persalinan lama terutama jika pasien


memiliki disproporsi sefalopelvik relatif maupun absolut. Trauma juga dapat
terjadi setelah dilakukan manipulasi intrauterin maupun extrauterin. Risiko
tertinggi adalah versi intera dan ekstrasi dari bayi kembar kedua, ruptur uterus
juga dapat terjadi karena versi eksterna. Trauma juga dapat terjadi akibat
percobaan melepas plasenta secara manual ataupun dengan instrumen.

Laserasi serviks paling umum berkaitan dengan persalinan dengan


forceps. Persalinan pervaginam dengan instrumen (forceps atau vacuum) tidak
boleh dilakukan sebelum serviks dilatasi penuh. Laserasi serviks mungkin

13
terjadi spontan. Eksplorasi manual ataupun intrumentasi dari uterus jarang
menghasilkan luka pada serviks. Laserasi dinding vagina paling umum terjadi
karena persalinan pervaginam operatif.

Trauma vagina dapat terjadi spontan maupun akibat episiotomi. Laserasi


spontan biasanya melibatkan fourchette posterior; namun trauma periuretral
dan region klitoris mungkin terjadi.

d. Trombosis

Pada periode post partum, gangguan sistem koagulasi dan platelet tidak
sering menghasilkan perdarahan berlebihan; ini menekankan efisiensi kontraksi
uterus dan retraksi dalam mencegah perdarahan. Deposisi fibri pada lokasi
plasenta dan membeku pada pembuluh darah memiliki peranan penting.

Trombositopenia mungkin berhubungan dengan penyakit yang telah ada


seperti; immune thrombocytopenic purpura, atau HELLP syndrome, plasenta
previa, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau sepsis.

Perdarahan post partum karena gangguan pembekuan darah baru


dicurigai apabila penyebab lain dapat disingkirkan. Hal ini terutama apabila
didapatkan riwayat persalinan sebelumnya mengalami hal yang sama. Akan
ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan
perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan,
suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung dan lain-lain. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal homeostatis yang abnormal.
Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product)
serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti fresh frozen

14
plasma, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon
Amino Caproic Acid).

VII. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA

Berikut merupakan penyebab dari perdarahan post partumyaitu atonia uteri,


perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah. (1, 2,
4, 8 – 10)

a. Atonia Uteri
Atonia merupakan penyebab perdaran post partum terbanyak (> 50%).
Atonia uteri merupakan kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus
untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan
post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir
hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan
hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik. (1 – 3, 8, 10)
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko
mayor terjadinya atonia uteri. Lemahnya kontraksi miometrium merupakan
akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga
besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai
akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obat anestesi, nitrat,
obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik
dan nifedipin. (1, 2)
Diagnosis atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
buruk.
Penanganan atoni uteri adalah dengan melakukan pemijatan uterus,
melahirkan plasenta, dan memberi uterotonik untuk meningkatkan kontraksi
uterus sehingga perdarahan dapat berhenti. Jika perdarahan tidak berhenti,
dilakukan kompresi bimanual atau tampon kondom untuk menghentikan
perdarahan.

15
Penanganan Atonia Uteri

Masase fundus uteri segera setelah


plasenta lahir (maksimal 15 detik)

Uterus berkontraksi Ya
Evaluasi rutin
tidak
 Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
 Kompresi Bimanual Interna (KBI)  maksimal 5 menit

tidak  Pertahankan KBI selama 1-2 mnt


Ya  Keluarkan tangan secara hati-hati
Uterus berkontraksi
 Lakukan pengawasan kala IV

 Ajarkan keluarga melakukan Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)


 Keluarkan tangan (KBI) secara hati-hati
 Suntikan methyl ergometrin 0,2 mg i. m
 Pasang infus RL+20 IU oksitoksin, guyur
 Lakukan lagi KBI

Tidak
Ya
Uterus berkontraksi Pengawasan kala IV

 Rujuk siapkan laparotomi


 Lanjutkan pemberian infus RL +20 IU oksitosin minimal 500cc/jam hingga
mencapai tempat rujukan
 Selama perjalanan dapat dilakukan Kompresi Aorta Abdominalis atau Kompresi
Bimanual Eksternal

Ligasi arteri uteri dan atau


hipogastrika, metode B-Lynch
tetap

Perdarahan berhenti Pertahankan


uterus

Histerektomi

Bagan 1: Bagan penanganan atonia uteri(11,18)

16
b. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga


atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Penyebab retensio ialah plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas namun belum
dilahirkan. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan
oleh gangguan kontraksi uterus. (1 – 3)

Gambar 11. Perlengketan dari Plasenta : Akreta, Inkreta, Perkreta (1)

Retensio plasenta dapat disebabkan oleh :(1, 2)


1) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga melewati
lapisan miometrium
4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

17
Penanganan retensio plasenta : (2, 11)

a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan


yang akan diambil
b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
c) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per
menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
d) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta disertai pemberian analgetik dan sedatif secara hati-hati dan
halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
e) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
f) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g
supositoria / oral)
g) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik

Gambar12. Pengeluaran plasenta secara manual (manual placenta)(2,11)

18
c. Sisa Plasenta (Placental Rest)
Perdarahan pasca persalinan dini dapat terjadi sebagai akibat
tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin. bila hal tersebut terjadi, harus
dikeluarkan secara manual atau di kuretase disusul dengan pemberian obat-
obat uterotonika intravena.9
Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest
placenta). Dimana retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir
4,7
seluruhnya dalam setengah jam (30 menit) setelah janin lahir. Sedangkan
sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat
menimbulkan perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum
sekunder.7
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat
menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah
perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

d. Perlukaan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan


trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan oleh karena itu dihindarkan memimpin
persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir
biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forceps, atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan
(lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan
sampai ruptur perienum totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan
yang terberat ruptur uteri. (6)

Untuk menemukan trauma pada daerah genitalia, maka pada setiap


persalinan hendaklah dilakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks

19
dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri
warna darah merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena
ruptur uteri dapat diduga pada persalinan macet.

1) Vagina dan Perineum


Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan dari derajat satu hingga
empat (3)
Tingkat I Laserasi mencakup fourchette, kulit perineum, dan membran
mukosa vagina tapi tidak pada fascia dan otot.

Tingkat II Mencakup laserasi dengan tambahan fascia dan otot dari badan
perineum tapi tidak sphincter ani. Robekan ini biasnya meluas ke
atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentuk kerusakan
triangula
Tingkat III Laserasi meluas lebih jauh mencakup otot sfingter ani
Tingkat IIIa Robekan < 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIb Robekan > 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIc Robekan juga meliputi sfingter ani interna
Tingkat IV Laserasi meluas melewati mukosa rectum menampakkan lumennya

Gambar 13. Tingkat laserasi vagina dan perineum(1)

20
2.) Robekan Serviks
Robekan serviks sering ditemukan dengan inspeksi pada persalinan
pervagina. Kebanyakan berukuran kurang dari 0,5 cm dan tidak membutuhkan
perbaikan. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat
menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik,
perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir khususnya robekan serviks uteri. Dalam
keadaan ini serviks harus diperiksa dengan spekulum. (2)

Gambar 15. Jenis laserasi serviks(1)

3.) Ruptur Uteri


Ruptur uteri dapat bersifat primer dan sekunder. Ruptur spontan
uterus jarang terjadi. Faktor risiko yang bisa menyebabkan antara lain
grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan
persalinan dengan induksi oksitosin. Ruptur uteri sering terjadi akibat
jaringan parut seksio sesarea sebelumnya. (2)

c. Gangguan Pembekuan Darah


Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat
persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya,
seperti ITP (Immune Trombositopenia Purpura) atau sindrom
HELLP(Hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet levels)
sekunder, solusio plasenta, DIC (Disseminated Intra Coagulation) atau sepsis.
Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar
merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis. (1, 2, 8)

21
ITP dikenal juga sebagai primary immune thrombocytopenic purpura dan
autoimmune thrombocytopenic purpura, didefinisikan sebagai trombositopenia
terisolasi dengan sumsum tulang normal dan hilangnya penyebab lain dari
trombositopenia. ITP merupakan penurunan jumlah dari platelet yang beredar
dengan tidak adanya paparan toksik atau penyakit yang berhubungan dengan
rendahnya jumlah platelet
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan.
Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen
yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin. (1, 2, 8)
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset
terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang
mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta,
sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan
septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang
mendasari dan kelainan hemostatik. (1 – 3, 11)
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati
dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk
darah bersifat sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus
transfusi masif dan koagulopati. (2)
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada
pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit
dengan cepat. Transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000–
50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau
diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin
dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3-4 hari. (1-3, 11)
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V,
VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Bila ditemukan koagulopati, dan
belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus
dipakai secara empiris.(2)

22
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan
fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan
penyakit Von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi
untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis. (2)

d. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah komplikasi post partum yang langka dan mengancam
jiwa. Inversio uterin biasanya terjadi akibat kegagalan pelepasan plasenta dari
uterus. Fundus uterus masuk ke dalam kavum endometrium dan mungkin turun
hingga ke serviks ataupun melewati serviks.
Inversio uteri biasanya diikuti dengan primiparitas, penggunaan oksitosin,
makroskomia atau insersi plasenta pada fundus.
Penanganan dari inversion uteri adalah resusitasi cairan, debridemen
endometrium, dan reduksi manual uterus ke dalam kavum abdomen dengan
manuver Johnson

Gambar 17. Derajat inversi uterine (1)

e. Penatalaksanaan pada Komplikasi

Syok merupakan komplikasi paling sering dari perdarahan post partum.


Pasien dengan perdarahan post partum memiliki 2 komponen utama
penanganan: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetrik serta
kemungkinan syok hipovolemik, dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab
perdarahan. Keberhasilan terapi PPP tergantung dari penanganan 2 komponen
tersebut secara simultan dan sistematis. (1-3, 8, 11)

23
Diagnosis perdarahan post partum ditegakkan dengan mengamati jumlah
perdarahan dan keadaan klinis pasien. Jumlah darah yang hilang dan derajat
kesadaran pasien serta tanda-tanda vital pasien terus dipantau. Setelah
diagnosis ditegakkan, segera meminta pertolongan tenaga medis lain. (1, 2, 11)

Posisi kaki yang ditinggikan (lebih tinggi dari pada dada pasien) dapat
meningkatkan aliran darah balik vena. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan
akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena
pada wanita dengan resiko perdarahan post partum dan dipertimbangkan jalur
kedua pada pasien dengan risiko sangat tinggi. (2)

Gambar 18. Posisi Trendelenburg pada pasien syok

Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar


memalui intravena perifer. Normal salin (NS) merupakan cairan yang cocok
pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Risiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungannya dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat
dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat. (2)

24
Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L
kristaloid, sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravaskuler, dan
bergeser ke ruang interstisial. Kehilangan darah yang banyak, biasanya
membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah. (1, 2)

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2. 000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat. PRC digunakan
dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. (1, 2)

VIII. PENCEGAHAN

Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan


kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum.
Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:(1, 3, 8, 11)

1) Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.


2) Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat.
3) Penarikan tali pusat terkendali ketika uterus berkontraksi dengan baik.

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang


berisiko terjadi perdarahan sangat penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin namun sejak ibu hamil dengan melakukan “antenatal
care” yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post
partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit dapat
dilakukan pemeriksaan keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan
bila mungkin tersedia donor darah sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan
keperluan untuk infus dan obat-obatan. (2,8,11)

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas batas
normal dapat membahayakan penderita menderita anemia. Kadar fibrinogen perlu
diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.
(2,8,11)

25
Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta
lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah
perdarahan pascapersalinan. 10 IU oksitosin diberikan intramuskular segera setelah
anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya
diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin
setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas
segera setelah bayi seluruhnya lahir. (1 – 3, 8, 11)

Dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera
tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin
setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada
persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul
setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan
perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila
plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah penyebab perdarahan karena atonia
uteri atau karena perlukaan jalan lahir. (2,11)

Pencegahan dan penatalaksanaan dari perdarahan post partum sangat penting


dalam asuhan kehamilan. Seorang klinisi harus dapat menentukan faktor risiko,
mengetahui langkah-langkah pencegahan, dan mempelajari teknik-teknik dari
penatalaksanaan perdarahan post partum sebaik mungkin. (2,11)

26
KESIMPULAN

Perdarahan Post Partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar dari
atau sama dengan 500 ml setelah lahir pada persalinan pervaginam 1000 ml pada
persalinan section sesaria. Perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam disebut
perdarahan post partum dini sedangkan perdarahan yang terjadi antara 24 jam hingga
12 minggu postnatal dianggap sebagai perdarahan post partum lanjutan. Etiologi
terjadinya perdarahan post partum dikenal dengan 4T (Tonus, Tissue, Trauma, dan
Thrombin).

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen,


yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan berdasarkan penyebab terjadinya
perdarahan post partum.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Obstetrical Hemorrhage. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,
Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD, editor. Williams Obstetrics. Edisi 24.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2014. p. 780-822
2. Smith J. Post partum Hemorrhage. [online]. 2014. [updated 23 September
2014; cited 27 Januari 2016]; Available from:http://emedicine. medscape. com
3. Anderson J, Etches D. Prevention and Management of Post partum
Hemorrhage. Am Fam Physician. 2007 Mar 15;75(6). p. 875-881
4. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Post partum Haemorrhage And
Abnormalities Of The Third Stage Of Labour. Edinburgh: Chruchill
Livingstone; 2003. p. 60-61
5. Kompasiana. Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target MDGs
2015. 2014 [updated 9 November 2014; cited 27 Januari 2015]; Available
from: http://kesehatan. kompasiana. com/medis/2014/11/09/angka-kematian-
ibu-di-indonesia-masih-jauh-dari-target-mdgs-2015-690475. html
6. Pusat Data Perhimpunan RS seluruh Indonesia. Enam Provinsi Jadi Sasaran
Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak. 2012 [updated 14 Mei 2012; cited
27 Januari 2016]; Available from: http://www. pdpersi. co. id/content/news.
php?mid=5&catid=23&nid=802
7. Kemnterian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Ibu. In:
Indonesia KKR, editor. Jakarta: Infodatin; 2014. Available from: http://www.
depkes. go. id/download. php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ibu.
pdf
8. Aghajanian P, dkk. Post partum Hemorrhage & the Abnormal Puerperium. In:
DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis
& Treatment Obstetrics & Gynecology. USA: The McGraw-Hill Companies;
2006. p. 31. 1-14
9. POPPHI. Prevention of Post partum Hemorrhages: Implementing Active
Managaement of the Third Stage of Labor (AMTSL): A Reference Manual for
Health Care Providers. Seattle: PATH; 2007. p. 8-9, 12, 19, 53-62

28
10. WHO. WHO Recommendations for the Prevention and Treatment of Post
partum Haemorrhages. 2012; Available from: http://apps. who.
int/iris/bitstream/10665/75411/1/9789241548502_eng. pdf
11. Paterson S, Brown S. Obstetrics Emergencies. In: Edmonds DK, editor.
Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Edisi 7. USA: Blackwell
Publishing; 2007. p. 149-54
12. WHO. WHO Guidelines for the Management of Post partum Haemorrhage and
retained placenta. 2009; Available from: http://whqlibdoc. who.
int/publications/2009/9789241598514_eng. pdf
13. Thapa K, Malla B, Pandey S, Amatya S. Intrauterine Condom Tamponade in
Management of Post Partum Haemorrhage. J Nepal Health Res Counc. 2010
8(16). p. 19-22
14. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. 2008
15. Diemert A, Ortmeyer G, Hollwitz B, Lotz M, Somville T, Glosemeyer P, Diehl
W, Hecher K. The combination of intrauterine ballon tamponade and the B-
lynch procedure for the treatment of severe post partum hemorrhage. Am J
Obstet Gynecol. 2012. 65. e1-4

29

Anda mungkin juga menyukai