APENDICITIS PERFORASI
Disusun Oleh :
Dr. Ramdhana Zaqifah
Apendisitis akut adalah kondisi bedah akut yang paling umum dari abdomen. Diagnosis
ini dibuat berdasarkan keseluruhan riwayat klinis, pemeriksaan dan didukung oleh pemeriksaan
penunjang. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko
perforasi dan mencegah komplikasi lainnya.
Tingkat kematian akibat apendisitis non-perforasi kurang dari 1%. Perforasi apendiks
dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi yaitu sekitar 5% dan bisa lebih ekstrim bila
dihubungkan dengan tingkat usia dengan keterlambatan dalam deteksi dini atau diagnosis pada
kelompok usia muda dan beberapa komorbiditas pada masa lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Abdomen
Merupakan penyakit yang mengenai system gastrointestinal dan hati. Nyeri abdomen
bisa bermacam-macam dari ringan sampai dengan berat, begitupun juga dengan lokasi
nyerinya. Nyeri abdomen akut adalah nyeri yang sangat hebat, muncul tiba-tiba, lokasi di
abdomen yang apabila nyeri nya persiten bisa diindikasikan tindakan operasi. Pendekatan
nyeri abdomen harus dibedakan antara lain :
Terlokalisisir atau generalisata
Mengenai reseptor visceral atau reseptor somatic
Gangguan fungsi saluran cerna yang terjadi
Organ yang terkena :
a. Saluran cerna atas
b. Saluran cerna bawah
c. Hati
d. Pankreatobilier
e. Organ obstetric-ginekologi
f. System urogenital
g. Etiologi nyeri
h. Perlu tidaknya intervensi bedah
Karateristik Nyeri
Di dalam rongga abdomen terdapat 3 jenis reseptor nyeri, yaitu:
a. Reseptor visceral Nyeri mengenai mukosa dan submukosa. Nyeri yang
diarahkan ke permukaan kulit yang bersifat difus dan sulit terlokalisir
b. Reseptor peristaltik Nyeri yang mengenai tunika muskularis. Nyeri ini
bersifat kolik, yaitu nyeri yang tajam, terlokalisir, meningkat hingga
puncak nyeri dan kemudian reda.
c. Reseptor somatik Nyeri yang mengenai lapisan serosa berasal dari
peritoneum. Nyeri ini bersifat tajam, jelas, dan terlokalisasi.
B. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin.1berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.7 Basis appendiks terletak
pada bagian postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum
bertemu pada basis appendiks.
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil. Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4
lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum
terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat
kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara
Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan
berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle)
dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia
anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada
usia itu
Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula
disekitar umbilikus.
Vaskularisasi Appendiks berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran histologis
Appendiks menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia 15
tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendiks biasanya
mengalami obliterasi pada orang dewasa.
Etiologi apendisitis akut adalah infeksi bakteri (sekitar 60% cairan aspirasi yang
didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis anaerob) akibat obstruksi lumen.5
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan
parasit. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis
akut. Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.2
Patogenesis appendicitis
F. Gejala Klinis
Gejala utama Apendisitis adalah nyeri perut. Pada apendisitis akut gejala khas yang
sering timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang memberikan gejala
lokal. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical, kemudian terlokalisir di
RLQ, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam,
dengan rata-rata 4-6 jam. Variasi dari lokasi anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi
nyeri.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan
ileus.
Umumnya, urutan munculnya gejala Apendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut
dan muntah. Gejala gastrointestinal yang terjadi sebelum onset nyeri mengarahkan ke
etiologi yang berbeda, seperti gastroenteritis. Penderita apendisitis juga dapat mengeluhkan
sensasi obstipasi sebelum onset nyeri dan merasa onset nyeri berkurang dengan defekasi.
Gambar 7. Nyeri pada apendisitis akut, awalnya nyeri dirasakan di ulu hati atau sekitar pusat
sebagai nyeri viseral, kemudian menjadi nyeri lokal akibat rangsangan pada peritoneum
setempat.
G. Tanda Klinis
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
b. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu
nyeri tekan di Mc. Burney, nyeri lepas, dan defans muscular lokal (defans muscular
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal). Pada appendiks letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung dapat berupa nyeri tekan kanan bawah pada
tekanan kiri (Rovsing), nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg), nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan.
Gambar 8. Titik McBurney’s (1, spina iliaca anterior superior; 2, umbilicus; x, titik
McBurney’s)
c. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, Leukositosis ringan
(10.000-18.000 sel/mm3) biasanya didapatkan pada pasien dengan akut apendisitis
tanpa komplikasi, dan sering disertai dengan dominasi polimorfonuklear. Jumlah sel
darah putih di atas 18.000 sel/mm3 meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi
dengan atau tanpa abses. C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat,
LED akan meningkat.
- Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
c. USG
Ultrasound dengan radiasi pengion yang rendah harus menjadi penunjang pilihan pada
pasien muda, dan efektif mengidentifikasi apendiks abnormal, terutama pada pasien yang
kurus Graded compression sonography telah diusulkan sebagai cara yang akurat untuk
menegakkan diagnosis apendisitis. Diagnosis sonografi apendisitis akut memiliki
sensitivitas dari 55-96% dan spesifisitas 85-98%.5 Hasil scan dianggap positif jika
terdapat gambaran aperistaltik, noncompressible apendiks ≥6 mm pada arah
anteroposterior. Terlihatnya appendicolith menetapkan diagnosis. Penebalan dinding
apendiks dan adanya cairan periappendiceal sangat sugestif. Demonstrasi sonografi dari
usus buntu yang normal yaitu compressible, struktur tabung blind-ending berukuran ≤5
mm, dapat menyingkirkan diagnosis apendisitis akut.
Apendiks yang meradang memiliki diameter lebih besar dari 6 mm, dan biasanya
dikelilingi oleh hyperechoic inflamed fat di sonografi. Tanda-tanda yang sangat
mendukung apendisitis yaitu adanya appendicolith, penebalan caecal apikal
d. CT-scan
Pada CT, apendiks yang meradang tampak melebar (> 5 cm) dan dinding yang
menebal. Biasanya ada bukti peradangan, dengan "lemak kotor," mesoappendix menebal,
dan bahkan phlegmon jelas. Fekalit dapat dengan mudah divisualisasikan, tetapi adanya
fekalit bukan patognomonik dari apendisitis. CT scan merupakan teknik yang sangat baik
untuk mengidentifikasi proses inflamasi lain yang menyerupai apendisitis
e. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam
abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di
bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan appendiks.
Diagnosis banding Apendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari
inflamasi Appendiks, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta
umur dan jenis kelamin.
a. Gastroenteritis akut
b. Ileitis akut
c. Limfadenitis mesenterika
d. Kelainan ovulasi
e. Infeksi panggul (salfingitis, PID)
f. Kehamilan ektopik
g. Torsio kista ovarium
h. Endometriosis eksterna
i. Batu saluran kemih
j. Divertikulitis
k. Kelainan urogenital pada pria
l. Demam dengue
J. Tatalaksana appendicitis perforasi
Non operatif
Pemberian antibiotik profilaksis sangat penting dalam pencegahan infeksi luka bedah
dan abses intra-abdominal. Flora yang paling umum dalam patologi ini adalah basil gram
negatif enterik, anaerob dan enterococci (E. coli, Kleibsiella, Proteus dan Bacteroides). Kami
merekomendasikan instruksi berikut:
K. Komplikasi
a. Massa Periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh
rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Apendiktomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan.
Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kkuman aerob dan
anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Pada anak kecil, wanita hamil dan penderita usia lanjut, jika secara
konservasif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
b. Apendisitis Perforata
Keterlambatan diagnosis, merupakan faktor utama yang berperan dalam terjadinya
perforasi apendiks Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang
tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
apendiks berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Inidens tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna akibat
perforasi yang cepat dan omentum anak belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi
tenggang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut,
mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat
menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Bila terjadi perforasi akan
terbentuk abses apendiks. Ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan masa, serta bertambahnya angka leukosit.
Ruptur apendiks harus dicurigai jika terjadi demam dengan suhu >39° C dan jumlah sel
darah putih >18.000 sel/mm
Peritonitis umum terjadi proses Walling-off tidak efektif saat terjadi perforasi.5
Ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defens muskuler terjadi di seluruh perut,
mungkin disertai dengan pungtum maksimum di region iliaka kanan
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara
mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan
pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendiktomi. Pada prosedur ini,
rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan laparotomi terbuka.
L. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit
ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.
BAB III
KASUS
Hasil Pembelajaran :
1. Appendisitis Perforasi
2. Penegakan diagnosa appendicitis
3. Tatalaksana appendicitis
1. Subjektif :
• Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu.
• Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri terasa
semakin hebat sejak 1 hari ini.
• Demam ada sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak terus menerus, dan
tidak berkeringat.
• Pasien mengeluh rasa mual, muntah 2 x , sehari sebelum Masuk Rumah Sakit.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : CMC
Nadi : 89x/menit
Suhu : 36,60 C
Status Internus
Kulit : warna kulit kecoklatan, sianosis (-), pucat (-), ikterik (-)
Thoraks
o Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat
Palpasi : Iktus jantung teraba di linea midclavicula sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
batas atas: SIC II linea parasternal sinistra
batas jantung kiri : SIC IV linea midklavikularis
batas jantung kanan : SIC V linea parasterna dekstra
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik
McBurney dan epigastrium, nyeri lepas (+), rovsing (+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-),
Tidak teraba massa di perut kanan bawah
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas : Akral hangat, perfusi <2 detik, edem pretibia -/-, Refilling capiller
baik
Laboratorium:
Tanggal 21 oktober 2019 (9:19 WIT)
Hb : 12,9 gr/dl
Leukosit : 16.690 /mm3
Trombosit : 335.000/mm3
Hematokrit : 37,8%
CT : 7‘ 10”
BT : 2’ 49”
GDS : 114 mg/dl
HBSAg : Non reaktif
Hasil USG
Kesan:
Nonvisualized appendix (retrocaecal?). Nyeri Tekan Probe (+) region iliaca dextra
Tampak free fluid di perivesica dextra, Nyeri tekan Probe (+)
Tak Tampak Kelainan pada hepar, Vesica Felea, Lien ,Pancreas, Kedua ren, vesica urinaria
maupun uterus. Tak tampak metastasis pada organ organ tersebut
Tak tampak limfadenopati paraaorta
3. Assesment
DIAGNOSIS KERJA
Susp. Appendisitis perforasi
4. Plan :
TERAPI
- IVFD RL 1500 cc/24 jam
- Diet lunak
- Inj Ceftriaxones 2x1 gr IV
- Paracetamol 3x 500 mg /po
- Omeprazole 1x 40 mg/ iv
- Ketorolac 3x 1 amp/iv
- Buscopan 3 x 1 tab / po
RENCANA
Laparatomy eksplorasi - Appendectomy emergency
Follow up, Tanggal 24 Oktober 2019 (Hari Rawatan III POD II) :
S/ Demam tidak ada
Muntah tidak ada
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Kulit : teraba hangat
TD : 110/70 mmhg
N: 88 x/m
SB: 36,3 C
RR: 20 x/m
SPO2 : 98%
Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), pain LBO (+), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
A/ Post Laparatomy- Appendectomy H+2
P/ Mobilisasi
Diet ML
Ganti verban dan rawat luka
- Inj Ceftriaxones 2x1 gr IV
- Metronodazole 3x 500 mg/iv
- Paracetamol 3x 500 mg /po
- Omeprazole 1x 40 mg/ iv
- Ketorolac 3x 1 amp/iv
Kontrol post-operasi Tiga hari setelah pulang Hasil operasi sesuai yang
dari rumah sakit, dan jika diharapkan dan tidak ada
diperlukan kunjungan lagi komplikasi yang timbul
tiga hari berikutnya
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Wanita, usia 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan utama adanya nyeri seluruh
lapang perut terutama perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu.
Awalnya nyeri pada ulu hati kemudian dirasakan ke kyadran kanan bawah. Selama beberapa hari
tersebut, pasien merasa mual dan nafsu makan berkurang, muntah sebanyak 2 kali. 3 hari SMRS
pasien mengeluh tidak bisa BAB. Muntah (+) 2 kali, cairan berwarna bening dan berisi makanan.
BAK tidak ada keluhan. Demam (+), pusing (-).
Gejala utama Apendisitis adalah nyeri perut. Pada apendisitis akut gejala khas yang sering
timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang memberikan gejala lokal.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical, kemudian terlokalisir di RLQ, kadang
disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6
jam. Variasi dari lokasi anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi nyeri.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, diet rendah serat, dan infeksi.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Distensi
merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar,
nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cm H20.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendiks perforasi. Gangren
dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam.Pada pasien ini gejala apendisitis kemungkinan
telah muncul 3 hari SMRS namun tidak disadari (delayed hospitality) kemudian berkembang
menjadi apendiks perforasi.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan
juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis.
Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen ditemukan adanya nyeri tekan kanan bawah dan
seluruh lapang perut yang menunjukkan adanya inflamasi local apendiks yang diikuti gejala
peritonitis oleh apendiks perforasi yang terjadi. Defans muscular umumnya juga dapat terjadi
akibat adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada auskultasi ditemukan adanya bising usus
menurun yang dapat terjadi karena ileus paralitik yang muncul pada peritonitis akibat apendiks
yang perforasi tersebut.
Terdapat beberapa maneuver diagnostic yang biasa digunakan pada pemeriksaan
apendisitis. Pada pasien ini didapatkan tanda positif pada titik Mc. Burney, Rovsing sign, psoas
sign dan obturator sign. Maneuver ini umumnya bergantung pada letak apendiks pasien.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis ( 16,690/mm3) yang
menggambarkan adanya infeksi.Pada pemeriksaan USG didapatkan kesan Nyeri Tekan probe
region iliaca dextra dan tampak free fluid di perivesica dextra. Ultrasound dengan radiasi
pengion yang rendah harus menjadi penunjang pilihan pada pasien muda, dan efektif
mengidentifikasi apendiks abnormal, terutama pada pasien yang kurus iagnosis sonografi
apendisitis memiliki sensitivitas dari 55-96% dan spesifisitas 85-98%.Penebalan dinding
apendiks dan adanya cairan periappendiceal sangat sugestif.
Keterlambatan diagnosis dan penanganan, merupakan faktor utama yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada
dewasa dan orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tenggang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang
akibat adanya ileus paralitik.
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah
serta pembersihan kantong nanah.
Selain dilakukan laparotomi dan apendiktomi, pasien ini juga diberikan analgetik
ketorolac 30mg/ 8jam sebagai obat simptomatik untuk menghilangkan nyeri pasien. Ceftriaxone
1g/12 jam diberikan sebagai antibiotic spectrum luas yang mana salah satu penyebab apendisitis
adalah infeksi yang juga ditandai dengan leukositosis pada hasil pemeriksaan laboratorium
pasien. pemberian metronidazole sebagai antibiotic spectrum luas mencegah infeksi post
operatif.Pe mberian Paracetamol sebagai antipiretik dan analgetik sebagai simptomatik demam
dan nyeri pasien. Omeprazole 30mg/12 jam diberikan sebagai protector lambung. omeprazole
diberikan untuk melindungi lambung akibat kerja dari NSAID yang mengurangi prostaglandin
(COX-1 & COX-2) untuk perbaikan sel epitel lambung.
Terapi dan pembedahan yang segera pada pasien ini dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien sehingga prognosis yang baik masih bisa dicapai. Setelah perawatan selama 3
hari, kondisi pasien membaik. Penyebab infeksi teratasi dan penyembuhan luka baik ditandai
dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, seperti demam, luka basah (bernanah), Peristaltik
usus (+) kesan normal. Pasien dipulangkan dengan dengan lanjutan pengobatan antibiotik
sampai 3 hari selanjutnya dan obat simptomatik untuk meredakan nyeri pasca operasi. Pasien
diputuskan dipulangkan dan kemudian control luka post operatif untuk evaluasi pasca operatif di
poli bedah 3 hari berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s Principles of
Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.
2. Eter Becker ,Stefan Fichtner-Feigl Dieter Schilling DOI: 10.1159/000494883
3. Kollar D, McCartan DP, Bourke M, Cross KS, Dowdall J. Predicting acute appendicitis? A
comparison of the Alvarado score, the appendicitis inflammatory response score and clinical
assessment. World J Surg 2015; 39: 104–09
4. Papandria D, Goldstein SD, Rhee D, et al. Risk of perforation increases with delay in
recognition and surgery for acuteappendicitis. J Surg Res 2013;184:723—9.
5. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2004
6. Matthew J. Snyder, DO, Marjorie Guthrie, MD, and Stephen Cagle, MD, Saint Louis
University Southwest Illinois Family Medicine Residency, Belleville, Illinois Acute
,Appendicitis: Efficient Diagnosis and Management, American Family Physician journal,
2018, Volume 98, Number 1 July 1.
7. Ndraha S. buku ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian ilmu penyakit dalam Fakultas
Kedokteran UKRIDA;2013.p. 1-2