Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Anatomi dan Fisiologi
a) Anatomi
Pankreas adalah suatu organ berupa kelenjar terletak retroperiontenial dalam
abdomen bagian atas, didepan vertebrae lumbalis I dan II, dengan panjang dan
tebal sekitar 12,5 cm dan tebal +2,5cm. Pankreas terbentang dari atas sampai ke
lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran doudenum
atau usus 12 jari (Ari, 2011 ).Menurut Syarifuddin, (2014 ). Bagian - bagian
pankreas :
1) Kepala pankreas
Merupakan bagian yang paling lebar,terletak di sebelah kanan rongga itu
dan letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama.
2) Badan pancreas
Merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di belakang
lambung dan di depan vertebra Lumbalis pertama.
3) Ekor pankreas
Merupakan bagian yang runcing di sebelah kiri dan yang sebenarnya
menyentuh limpa.
Pankreas mendapat darah dari arteri lienalis dan arteri mesentrika superior.
duktus pankreatikus bersatu dengan duktus koledukus dan masuk ke doudenum,
pankreas menghasilkan dua kelenjar yaitu kelenjar endoktrin dan kelenjar eksokrin.
Pankreas menghasilkan endoktrin bagian dari kelompok sel yang membentuk pulau
- pulau Langerhans. Pulau - pulau Langerhans berbentuk oval terbesar di seluruh
pankreas. Dalam tubuh manusia terdapat 1 - 2 juta pulau Langerhans yang
dibedakan atas granulasi dan pewarnaan setengah dari sel ini menyekresi hormon
insulin ( Syarifuddin, 2014).
b) Struktur Jaringan Penyusun Pankreas
Ada dua jaringan utama yang menyusun pankreas :
a. Jaringan Asini
Berfungsi untuk mensekresi getah pencernaan doudenum.
b. Pulau Langerhans
Pulau Langerhans adalah kumpulan sel berbentuk ovoid,
berukuran 76 x 175 mm dan berdiameter 20 sampai 300 mikron
tersebar Di seluruh pankreas, walaupun lebih banyak ditemukan di ekor
daripada kepala dan badan pankreas. Pulau - pulau ini menyusun 1 - 2
% berat pankreas. Pada manusia terdapat 1 - 2 juta pulau. Masing -
masing memiliki pasokan darah yang besar dan darah dari pulau
Langerhans sperti darah dari saluran cerna tetapi tidak seperti darah
dari organ endoktrin lain, mengalirkan vena hepatika. Sel - sel dalam
pulau dapat dibagi menjadi beberapa jenis bergantung pada sifat
pewarnaan dan morfologinya. Pada manusia paling sedikit terdapat
empat jenis sel :
(1) Sel - sel A ( alfa ) sekitar 20 - 40% memprodiksi glukagon menjadi
faktor hiperglikemik,mempunyai anti insulin aktif . Pulau – pulau
yang kaya akan sel A secara embriologis berasal dari tonjolan
pankreas dorsal,dan pulau yang kaya akan sel F berasal dari
tonjolan pankreas sentral. Kedua tonjolan ini berasal dari empat
yang berbeda di doudenum.
(2) Sel – sel B ( beta ) 60 – 80% fungsinya membuat insulin,umumnya
terletak di bagian tengah pulau. Sel beta yang ada di pulau
langerhans memproduksi hormon insulin yang berperan dalam
menurunkan kadar glukosa darah dan secara fisiologis memiliki
peranan yang berlawan dengan glukosa. Insulin menurunkan kadar
gula darah dengan beberapa cara insulin mempercepat transportasi
glukosa dari darah ke dalam sel, khusus serabut otot rangka
glukosa masuk ke dalam sel tergantung dari keberadaan creseptor
insulin yang ada di permukaan sel target. Insulin juga
mempercepat perubahan glukosa menjadi glikogen, menurunkan
glycogenolysis dan gluconeogenesis,menstimulasi glukosa atau zat
gizi lainnya ke dalam asam lemak (lipogenesis), dan membantu
menstimulasi sintesis protein.
(3) Sel - sel D5 - 15% membuat somatostatin
(4) Sel - sel F 1% mengandung dan menyekresi pankreatik polipeptida
(5) Sel - sel D5 - 15% membuat somatostatin
(6) Sel - sel F 1% mengandung dan menyekresi pankreatik Polipeptida
c) Pengaturan Sekresi Insulin
Pengaturan sekresi insulin seperti sekresi glukagon yaitu langsung
ditentukan oleh kadar gula dalam darah dan berdasarkan dari mekanisme umpan
balik (feed back negative system ). Bagaimanapun hormon lainnya secara tidak
Langsung juga dapat mempengaruhi produksi insulin. Sebagai contoh hormon
pertumbuhan manusia (HGH) meningkatkan kadar glukosa darah dan
meningkatnya kadar glukosa mengerakkan (menyebabkan) sekresi insulin.
Hormon adrenocoticotropi (ACTH) yang oleh skresi glukocortictropi (ACTH)
menghasilkan hyperglikemia dan secara tidak langsung juga menstimulasi
pelepasan insulin. Peningkatankadar asam amino dalam darah menstimulasi
pelepasan insulin. Hormon - hormon pencernaan seperti stomatch dan Interstinal
gastrin,sekretin,cholecystokinin (CCK) dan Gastric Inhibitory Peptide (GIP) juga
menstimulasi sekresi insulin,GHH (Somatostatin) menghalangi sekresi insulin(
Ari, 2011).
d) Getah Pankreas
Getah pankreas mengandung enzim – enzim untuk pencernaan ketiga jenis
makanan : protein, karbohidrat, dan lemak. Getah pankreas juga mengandung ion
bikarbonat dalam jumlah besar, yang memegang peranan penting dalam
menetralkan asam yang dikeluarkan oleh lambung ke dalam doudenum. Enzim –
enzim proteolitik adalah tripsin, karboksipeptidae, ribonuklease,
deoksiribonuklease. Tiga enzim pertama memecahkan keseluruhan dan secara
parsial protein yang dicernakan, sedangkan neklease memecahkan kedua jenis
asam lemak yang menghidrolisis lemak netral menjadi gliserol, asam lemak, dan
kolestrola esterase, yang menyebabkan hidrolisis ester – ester kolestrol (
Syarifuddin, 2014).
Enzim – enzim proteolitik waktu disintesis dalam sel – sel pankreas berada
dalam bentuk tidak aktif :tripsinogen,kimotripsinogen, dan prokarboksipeptidase,
yang semuanya secara enzimtik tidak aktif. Zat – zat ini hanya menjadi aktif
setelah mereka disekresi ke dalam saluran cerna. Tripsinogen diaktifkan oleh
suatu enzim yang dinamakan enterokinase, yang disekresi oleh mukosa usus
ketike kimus mengadakan kontak dengan mukosa. Tripsinogen juga dapat
diaktifkan oleh tripsin kontak dengan mukosa. Tripsinogen juga dapat diaktifkan
oleh tripsin yang telah di bentuk. Kimotripsinogen diaktifkan tripsin menjadi
kimotripsin, dan prokarboksipeptidae diaktifkan oleh tripsin dengan beberapa
cara penting bagi enzim – enzim proteolitik getah pankreas tidak diaktifkan
sampai mereka disekresi ke dalam usus halus,karena tripsin dan enzim - enzim
lainnya akan mencernakan pankreas sendiri. Sel – sel yang sama , yang
mensekresi enzim – enzim proteolitik ke dalam asinus pankreas serentak juga
mensekresikan tripsininhibitor. Zat ini disimpan dalam sitoplasma sel – sel
kelenjar sekita granula – granula enzim, dan mencegah pengaktifan tripsin di
dalam sel sekretoris dan dalam asinus dan duktus pankreas ( Ari, 2011).
Bila pankreas rusak berat atau bila saluran terhambat, sejumlah besar sekret
pankreas tertimbun dalam daerah yang rusak dari pankreas. Dalam keadaan
ini,efek tripsin inhibitor kadang – kadang kewalahan, dan dalam keadaan ini
sekret pankreas dengan cepat diaktifkan dan secara harfiah mencernakan seluruh
pankreas dalam beberapa jam,menimbulkan kematian karena sering diikuti syok
,bila tidak mematikan dapat mengakibatkan insufisiensi pankreas selama hidup
(Ari, 2011). Enzim – enzim getah pankreas seluruhnya disekresi oleh asinus
kelenjar pankreas. Namun ada dua unsur getah pankreas lainnya, air dan ion
bikarbonat,terutama disekresi oleh sel sel epitel duktulus – duktulus kecil yang
terletak di depan asinus khusus yang berasal dari duktulus. Bila pankreas
dirangsang untuk mengsekresi getah pankreas dalam jumlah besar konsentrasi
ion bikarbonat dapat meningkat sampai 145 mEq/ liter (Ari, 2011).

e) Fisiologi
Pankreas merupakan kelenjar eksorin ( pencernaan ) sekaligus kelenjar
endoktrin : Fungsi Endoktrin Sel pankreas yang memproduksi hormon
disebut pulau Langerhans, yang terdiri dari sel alfa yang memproduksi
glucagon dan sel beta yang memproduksi insulin. (Corwin, 2011 ).
Glukagon Efek glukagon secara keseluruhan adalah meningkatkan Kadar
glukosa darah dan membuat semua jenis makanan dapat digunakan untuk
proses energi. Glukosa merangsang hati untuk mengubah glikogen
menurunkan glukosa dan meningkatkan penggunaan lemak dana asam
amino untuk produksi energi. Prose glucogenesis merupakan pengubahan
kelebihan asam amino menjadi karbohidrat sederhana yang dapat memasuki
reaksi pada reaksi pada respirasi sel. Sekresi glucagon dirangsang oleh
hipoglikemia. Hal ini dapat terjadi pada keadaan lapar atau selama sters
fisiologi , misalnya olah raga (Corwin Elizabeth, 2011 ) .
f) Fungsi eksokrin
Kelenjar eksokrin pada kelenjar disebut acini ,yang menghasilkan Enzim
yang terlibat pada proses pencernaan ketiga jenis molekul kompleks makanan.
Enzim pankreatik amylase akan mencerna zat pati menajdi maltose. Kita
menyebutnya dengan enzim “ cadangan” untuk amylase saliva. Tripsinogen
adalah suatu enzim yang tidak aktif, yang akan menjadi tripsin aktif di dalam
doudenum. Tripsin akan mencerna polipeptida menjadi asam – asam amino
rantai pendek. Sekresi cairan pankreas dirangsang oleh hormon sekretin dan
kolesistokinin,yang diproduksi oleh mukosa doudenum ketika kismus
memasuki intestinum tenue. Sekretin meningkatkan produksi cairan bikarbonat
oleh pankreas,dan kolesistokinin akan merangsang sekresi enzim pankreas (Ari,
2011).
2. Konsep Diabetes Melitus
a. Definisi
DM merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya (Brunner & Sudart, 2013). DM merupakan
kumpulan keadaan (sindrom) akibat gangguan metabolisme zat gizi khususnya
karbohidrat terutama ditandai oleh kelainan kadar gula darah (Hartono, 2012).
Tabel 2.1
Kadar Glukosa
Diagnosis Kadar glukosa

Glukosa puasa normal <100 mg/dl


Pradiabetes 110-126 mg/dl
Diabetes (dua pemeriksaan >126 mg/dl
terpisah)
Diabetes (sesudah makan) >200 mg/dl
Sumber: Darryl & Barnes (2012)
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Biasanya
terjadi pada usia 45 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa
tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya
sekitar 90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan
akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya
aktivitas fisik (WHO, 2014). Helmawati (2014) mengatakan DM terbagi menjadi 3
tipe yaitu:
1) Tipe 1: DM tergantung insulin (insulin dependent diabetes)
DM ini dikenal sebagai juvenile diabetes (DM anak-anak). Umumnya penderita
berasal dari kelompok anak-anak dan dewasa muda, DM ini dapat menyerang
semua umur. DM tipe 1 ini penyakit gangguan pada pankreas, yang
menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin dengan
optimal.Tidak optimalnya pankreas disebabkan hancurnya sel beta dalam
pankreas yang berperan dalam memproduksi hormon insulin. Akibatnya
glukosa yang tidak bisa dipakai sel-sel tubuh dan akan menumpuk dalam aliran
darah.
2) Tipe 2: DM tidak bergantung pada insulin (non insulin dependent)
Disebabkan karena sel tubuh tidak menggunakan insulin sebagai sumber energi
atau sel tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan pankreas, ini disebut
dengan resistensi insulin. DM ini paling banyak diderita dan menyerang orang
dari segala usia, penderitanya jauh lebih banyak dibandingdengan DM tipe 1.
3) Tipe 3: DM gestasional
DM ini disebabkan karena kondisi kehamilan. Pada DM ini pankreas penderita
tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah
pada tingkat yang aman bagi ibu dan janinnya.
b. Etiologi Diabetes Melitus
Kurniadi & Nurrahmi (2014), mengatakan penyebab DM terbagi menjadi 5 yaitu:
1) Gen DM Dalam Keluarga
Gen merupakan sel pembawa sifat yang dapat diwariskan orang tua kepada
keturunannya. Anak yang memiliki resiko terkena DM sebesar 30%. Gen
tersebut pun tidak selalu berasal dari orang tua kandung, tetapi berasal dari
kakek, nenek, atau keturunan diatasnya.
2) Kegemukan (Obesitas)
Kegemukan bisa disebabkan faktor turunan atau disebut juga faktor genetik,
apabila dalam kelurga terdapat banyak yang gemuk. Yang paling sering adalah
karena asupan makanan yang berlebihan tanpa di imbangi dengan olahraga.
3) Asma dan KB
Penderita asma yang mengkonsumsi obat asma yang berlebihan akan memicu
terjadinya DM, hormon yang digunakan pada obat asma tersebut steroidyang
bekerja berlawanan dengan insulin yang meningkatkan gula darah. Pil
kontrasepsi juga mengandung hormon steroid dengan antiinsulin rendah. selain
hormon tersebut, obat cair (deuretik) mungkin mempunyai reaksi antiinsulin
dan bisa memperburuk DM.
4) Merokok
Merokok dapat menaikkan resiko adanya kanker paru-paru dan mulut serta
penyakit jantung, stroke, atau tekanan darah tinggi. Kaitannya rokok dengan
DM dapat meningkatkan seseorang untuk terserang DM tipe II di bandingkan
mereka yang tidak merokok dan terjadinya resistensi insulin dengan gangguan
terhadap produksi insulin oleh pankreas.
5) Alkohol
Alkohol adalah salah satu penyebab kematian terbesar di dunia, karena memicu
berbagai penyakit, mengakibatkan kecelakaan, overdosis, dan lainnya.
Mengkonsumsi alkohol berlebihan dapat menyebabkan radang kronis pada
pankreas (pankreatitis). Disamping dapat menimbulkan DM, alkohol juga
dapat menghancurkan pasokan glukosa dalam tubuh.
c. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas
fisik serta penuaan
2. Disfungsi sel B pancreas
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B
pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Menurut ADA tahun 2014, kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin
namun tidak mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta
atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin
perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin sehingga
menyebabkan insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia
menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat
oral gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat
melalui suntikan dapat menjadi alternatif.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari pada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain sepert jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. DeFronzo (2009) menyampaikan,
bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang
disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)
Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A NewParadigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.
Diabetes.2009;58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1) Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2) Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3) Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4) Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis,
dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5) Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6) Sel Alpha Pancreas
Sel B pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.
7) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8) Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.
d. WOC
Terlampir
e. Manifestasi Klinis
Kurniadi & Nurrahmi (2014), manifestasi DM terbagi menjadi 4 yaitu:
1) Sering Buang Air Kecil (Poliuri)
Dalam keadaan normal, urine akan keluar sekitar 1,5 liter per hari, tetapi
penderita DM yang tidak terkontrol dapat memproduksi lima kali jumlah itu.
Akan lebih sering buang air kecil, terlebih lagi pada malam hari sehingga
mengganggu tidur.
2) Sering Merasa Haus (polidipsia)
Rasa haus yang membuat penderita selalu ingin minum terutama minuman yang
dingin, manis, segar, dan banyak seperti soft drink. Kebiasaan tersebut akan
membuat kadar gula semakin tinggi, biasanya dilakukan seseorang awalnya
belum sadar bahwa ia menderita DM.
3) Nafsu Makan Meningkat (polipagi)
Kurangnya pemasukan gula ke dalam sel-sel tubuh menyebabkan energi yang
dibentuk menjadi kurang. Tubuh pun kemudian berusahaa meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan rasa lapar dan selalu ingin makan, dan ngemil.
4) Penurunan Berat Badan
Penderita DM yang tidak terkendali akan kehilangan banyak glukosa dalam
urine akan menyebabkan menurunnya berat badan. Tubuh yang tidak
mendapatkan energi yang cukup dari gula karena kekurangan insulin, tubuh akan
bergegas mengolah lemak dan protein dalam tubuh untuk diolah menjadi energi.
Apabila hal tersebut berlangsung cukup lama, maka penderita DM akan tampak
kurus dan berat badannya menurun.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan
pemeriksaan glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan
untuk membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.
1. Pemeriksaan glukosa darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan pada
pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia.
Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan.
Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu < 100 maka disebut bukan DM.
Apabila kadar glukosa darah sewaktu 100-200 maka disebut belum pasti DM.
Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl maka penderita tersebut
sudah dapat disebut DM.
b) Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam
sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat
yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula
darah puasa sebagai berikut : kadar glukosa darah puasa < 100 bukan DM, kadar
glukosa darah puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, kadar glukosa darah puasa
110-120 belum pasti, kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl adalah diabetes
mellitus.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP) Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM.
Pasien makan makanan yang mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan
menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial nilai
normalnya adalah 65-140 mg/dL.
d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada
pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk
memastikan diabetes atau tidak. TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa
selama minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai berikut: 1) Toleransi glukosa
normal apabila ≤ 140 mg/dl; 2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila
kadar glukosa > 140 mg; dan 3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes
melitus.
2. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan
umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah,
sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama 3 bulan.
Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan
tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah
diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi
akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak.
Tabel Kategori HbA1c
HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik
HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang
HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk

g. Komplikasi
Helmawati (2014), mengatakan komplikasi DM ada 2 jenis yaitu:
1) Komplikasi Makrovaskuler
a. Ketoasidosis Diabetik (peningkatan keton dan keasaman pada darah)
Kondisi ini sangat membahayakan jiwa penderita, dan dapat terjadi kapan
saja pada penderita DM.
b. Hipoglikemia (gula darah rendah)
Kondisi dimana kadar glukosa darah sangat rendah. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya koma (hilang kesadaran) hingga kerusakan otak.
Hipoglikemia dapat menyerang penderita DM dan yang tidak mengalami
DM.
c. Sindrom Hiperosmolar Dabetik
Kondisi yang disebabkan kadar gula darah puncak terukur sebesar 600 mg/dl.
Sindrom ini dapat menyebabkan dehidrasi dan menyebabkan koma,
umumnya terjadi padaparuh baya yang memiliki DM tipe II.
2) Komplikasi Mikrovaskuler
a. Jantung Koroner
Komplikasi ini sangat serius dan membahayakan dapat mengakibatkan
kematian. Jantung sangat berperan dalam mengedarkan darah keseluruh
organ tubuh. Kondisi inidipeparah jika penderita mempunyai timbunan
lemak pada jantung, menyebabkan gangguan pada jantung dan
menyebabkan hipertensi.
b. Retinopati Diabetik
Kerusakan pada pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata
menyebabkan kebocoran dan terjadinya penumpukan cairan yang
mengandung lemak serta pendarahan pada retina. Retinopati merupakan
penyebab utama kebutaan pada penderita DM diseluruh dunia. Kerusakan
retina yang sudah berat akan membuat penderita buta permanen.
c. Nefropati Dabetik
Komplikasi ini terjadi ketika penumpukan gula dalam pembulu darah
merusak elemen penyaringan dalam ginjal yang disebut nefron. Rusaknya
sistem penyaringan akan menyebabkan kebocoran, kebocoran ini ditandai
keluarnya albumin bersama urine.
d. Neuropati Diabetik
Gangguan saraf terjadi karena tumpukan gula darah merusak sel-sel saraf.
Sel-sel saraf yang dapat rusak akibat DM adalah sel saraf sensoris, motoris,
dan otonom. Gangguan pada saraf sensoris menyebabkan terjadinya hilang
rasa, gangguan saraf motoris menyebabkan pengecilan (atrofi) otot,
sedangkan gangguan saraf otonom menyebabkan perubahan pola keringat
sehingga penderita tidak berkringat, kulit menjadi kering, timbul pecah-
pecah dan mudah terinfeksi.
e. Infeksi
Infeksi pada DM khususnya pada mereka dengan kendali DM yang buruk
dan pada penderita usia lanjut sering berada pada tingkat yang parah,
mencakup saluran nafas dan saluran kemih, sehingga membutuhkan
perawatan rumah sakit dan penggunaan antibiotik. Infeksi ini disebabkan
bakteri, jamur, dan virus.
f. Kaki Diabetik
Komplikasi ini paling sering terjadi dan memiliki dampak yang fatal, dan
harus di amputasi (pemotongan). Gangguan pada sistem saraf menyebabkan
rasa kebal di kaki (hilang rasa), sehingga penderita sering tidak sadar adanya
luka. Infeksi di daerah luka mengakibatkan borok (gangren) pada kaki.
g. Impotensi
Dimana keadaan neropati, kerusakan saraf-saraf pada penis yang kemudian
mengakibatkan penis tidak dapat membesar. Keadaan ini bisa terjadi secara
perlahan-lahan maupun secara mendadak. Ditinjau dari prosesnya impotensi
sangat tergantung pada vitalitas tubuh seseorang, vitalitas yang lebih tinggi,
seperti rajin olahraga secara teratur dan pengaturan pola makan yang baik.
h. Penatalaksanaan
Menurut Helmawati (2014), penatalaksanaan DM ada 6 yaitu:
1) Istirahat dan tidur yang cukup
Istirahat dengan tidur yang cukup memberi kesempatan tubuh dalam bergenerasi
setiap harinya, sel-sel tubuh yang mengalami kerusakan dalam jangka panjang,
baik karena sebab alami maupun karena radikal bebas. Dalam jangka panjang
kerusakan sel-sel akan meluastanpa di dukung dengan pertumbuhan sel baru.
Mengistirahatkan tubuh dapat memberi kesempatan padanya untuk proses-
proses alamia dengan tidur sekitar 7-8 jam per hari.
2) Olahraga rutin
Olahraga merupakan salah satu gaya hidup sehat, olahraga juga menjadi hal baik
yang di lakukan guna mengurangi faktor resiko DM. Melakukan olahraga rutin
minimal 3-4 kali setiap minggu,olahraga rutin juga dapat membantu terjaganya
ritme tubuh. Salah satunya ritme tidur.
3) Pantau kadar gula darah
Yang perlu di lakukan dalam pencegahan DM dengan rutin memantu kadar gula
darah.
4) Hindari Stress
Stress dapat mengakibatkan seseorang melakukan hal-hal yang tidak sehat.
Stress menjadi salah satu pemicu kenaikan kadar gula darah. Teknik relaksasi
seperti yoga, latihan pernafasan, atau meditasi bisa membantu mengendalikan
kondisi stress.
5) Hindari kebiasaan buruk
Kebiasaan buruk diantaranya merokok, konsumsi alkohol, ngemil, pola makan
tidak baik, minuman soft drink.
6) Diet
Melakukan diet (pengaturan asupan nutrisi) untuk mencegah penyakit DM.
Sebab dengan diet yang baik dapat membuat kadar gula darah terkontrol dengan
memperhatikan asupan-asupan yang dikonsumsi.
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
1) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat.Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya
dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin
timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan
pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan
kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi
pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori
dan diet tinggi lemak.
2) Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak
20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat
sekitar 25g/hari.
3) Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan
santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin.
4) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
a. Obat Hipoglikemik Oral (Oho)
Pemicu sekresi insulin:
a) Sulfonilurea
1. Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
2. Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
3. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
b) Glinid
1. Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
2. Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan
pada sekresi insulin fase pertama.
3. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a) Biguanid
1. Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
2. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
3. pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
4. Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,
disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b) Tiazolidindion
1. lMenurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
2. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
a) Biguanid (Metformin).
1. Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
2. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
3. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
4. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
a) Acarbose
1. Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
2. Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea.
3. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung
dan flatulens.
4. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan ole sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.
GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan
glukagon.
b. Obat Suntikan
Insulin
1. Insulin kerja cepat
2. Insulin kerja pendek
3. Insulin kerja menengah
4. Insulin kerja panjang
5. Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik
1. Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan
hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon
2. Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
3. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah.
B. Konsep Ulkus Diabetik
1. Definisi
Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit
diabetes melitus berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes
disertai dengan kerusakan jaringan bagian dalam atau kematian jaringan, baik
dengan ataupun tanpa infeksi, yang berhubungan dengan adanya neuropati dan
atau penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus (Alexiadou dan
Doupis, 2012).
2. Etiologi Ulkus Kaki
Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu
neuropati, iskemia, dan infeksi (Singh et al., 2013).
a. Neuropati
Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes
adalah neuropati. Peningkatan gula darah mengakibatkan peningkatan
aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase dimana enzim-enzim tersebut
mengubah glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Produk gula yang
terakumulasi ini mengakibatkan sintesis myoinositol pada sel saraf menurun
sehingga mempengaruhi konduksi saraf. Hal ini menyebabkan penurunan
sensasi perifer dan kerusakan inervasi saraf pada otot kaki. Penurunan
sensasi ini mengakibatkan pasien memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
mendapatkan cedera ringan tanpa disadari sampai berubah menjadi suatu
ulkus. Resiko terjadinya ulkus pada kaki pada pasien denganpenurunan
sensoris meningkat tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien diabtes
tanpa gangguan neuropati (Singh et al., 2013).
b. Vaskulopati
Keadaan hiperglikemi mengakibatkan disfungsi dari sel-sel endotel dan
abnormalitas pada arteri perifer. Penurunan nitric oxide akan
mengakibatkankonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan resiko
aterosklerosis, yang akhirnya menimbulkan iskemia. Pada DM juga terjadi
peningkatan tromboksan A2 yang mengakibatkan hiperkoagulabilitas
plasma. Manifestasi klinis pasien dengan insufisiensi vaskular menunjukkan
gejala berupa klaudikasio, nyeri pada saat istirahat, hilangnya pulsasi
perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada kaki dan tangan (Singh
et al, 2013).
c. Immunopati
Sistem kekebalan atau imunitas pada pasien DM mengalami gangguan
(compromise) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada luka. Selain
menurunkan fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi
adalah medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri yang
dominan pada infeksi kaki adalah aerobik gram positif kokus seperti S.
aureus dan β-hemolytic streptococci .Pada telapak kaki banyak terdapat
jaringan lunak yang rentan terhadap infeksi dan penyebaran yang mudah
dan cepat kedalam tulang, dan mengakibatkan osteitis. Ulkus ringan pada
kaki dapat dengan mudah berubah menjadi osteitis/osteomyelitis dan
gangrene apabila tidak ditangani dengan benar (Singh et al., 2013).
3. Manifestasi Klinis
Menurut Maryunani (2013), manifestasi klinis diabetik dapat dilihat
berdasarkan stadium antara lain :
a. Stadium I menunjukkan tanda asimptomatis atau gejala tidak khas
(kesemutan gringgingen).
b. Stadium II menunjukkan klaudikasio intermitten (jarak tempuh menjadi
pendek).
c. Stadium III menunjukkan nyeri saat istirahat.
d. Stadium IV menunjukkan kerusakan jaringan karena anoksia (nekrosis,
ulkus).
4. Klasifikasi
Klasifikasi ulkus diabetik menurut (Wijaya, Andra Saferi dan Mariza
Putri, 2013) adalah sebagai berikut:
a. Derajat 0 : Tidak ada lesi yang terbuka, luka masih dalam keadaan utuh
dengan adanya kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti
“claw,callus”
b. Derajat I : Ulkus superfisial yang terbatas pada kulit.
c. Derajat II : Ulkus dalam yang menembus tendon dan tulang.
d. Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa adanya osteomielitis.
e. Derajat IV : Gangren yang terdapat pada jari kaki atau bagian distal kaki
dengan atau tanpa adanya selulitis.
f. Derajat V : Gangren yang terjadi pada seluruh kaki atau sebagian pada
tungkai
5. Pendidikan kesehatan perawatan kaki
1. Hiegene kaki:
 Cuci kaki setiap hari, keringkan sela-sela jari dengan cara menekan, jangan
digosok
 Setelah kering diberi lotion untuk mencegah kering, bersisik dan gesekan yang
berlebih
 Potong kuku secara teratur dan susut kuku jangan dipotong
 Gunakan sepatu tumit rendah, kulit lunak dan tidak sempit
 Gunakan kaos kaki yang tipis dan hangat serta tidak sempit
 Bila terdapat callus, hilangkan callus yang berlebihan dengan cara kaki
direndam dalam air hangat sekitar 10 menit kemudian gosok dengan handuk
atau dikikir jangan dikelupas.
2. Alas kaki yang tepat
3. Mencegah trauma kaki
4. Berhenti merokok
5. Segera bertindak jika ada masalah
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Soebagijo Soelistijo. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB. Perkeni

Ed. Herman T.H., & Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing Diagnosis, Definition
and Clasification 2015-2017. EGC. Jakarta.

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC, 1022

Haida, Nurlaili Kurnia Putri & Atoillah, Nurlaili Isfandiari. Hubungan Empat Pilar
Pengendalian Dm Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula Darah. Average Blood Sugar and
Diabetus Mellitus Type II Management Analysis. Surabaya: Departemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Harfika, Meiana. Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Inap
Penyakit dalam Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.

IDF. (2018). IDF DIABETES ATLAS Eighth edition 2017. Diperoleh tanggal 20 Desember
2019 dari http://fmdiabetes.org/wp-content/2018/03/IDF-2017.pdf.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [KEMENKESRI], 2016. Profil Kesehatan
Indonesia. Diperoleh dari www.depkes.go.id.
Kurniawan, Indra. 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Volum: 60, Nomor: 12,
Desember 2010.

Noor, Restyana Fatimah. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Volume 4 Nomor 5, Februari 2015.

PB PAPDI, 2009. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Interna Publishing: Hlm 9-15.

PERKENI, 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia. Jakarta:


Hlm 1-7 & 14-30.

Setiati, S. (2015). Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta : EGC


Syahbudin, S. 2009. Diabetes Melitus dan Pengelolaannya. Cetakan 2, PusatDiabetes &amp;
Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: FKUI

Tanto, C. dkk. (2014). Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta : Media Aesculapius
WHO. (2017). Di akses tanggal 20 Desember 2019 dari
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2017/en/
Wicaksono, M. T. P. 2013. Diebetes Mellitus Tipe II Gula Darah Tidak Terkontrol dengan
Komplikasi Neuropati Diabetikum. Medula. Volume 1. Nomor 3. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai