Oleh:
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
1. Definisi
2. Etiologi
Penyebab myasthenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan
terjadi karena gangguan destruksi reseptor asetilkolin (Acethyl Choline Receptor/AchR) pada
persimpangan neuromuskular akibat reaksi auto imun. Etiologi dari penyakit adalah :
a. Kelainan auto imun : direct mediated antibody, kekurangan AchR atau kelebihan
Kolinesterase.
b. Genetik : bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan Myasthenia gravis.
3. Klasifikasi
a. Kelas I : adanya kelemahan otot okular, kelemahan saat menutup mata dan
kekuatan otot lain normal.
b. Kelas II : terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah serta adanya
kelemahan otot ringan pada otot lain selain otot okular.
c. Kelas II a : mempengaruhi otot aksial, anggota tubuh atau keduanya.
d. Kelas II b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan atau keduanya.
e. Kelas III : terdapat kelemahan berat pada otot okular, sedangkan otot lainnya
mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Kelas III a : mempengaruhi otot anggota tubuh, otot aksial atau keduanya.
Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Kelas III b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan atau keduanya.
Terdapat kelemahan otot anggota tubuh, otot aksial derajat ringan.
h. Kelas IV : otot selain okular mengalami kelemahan dalam derajat berat.
i. Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot anggota tubuh atau otot aksial.
j. Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal,otot pernafasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu terdapat kelemahan otot anggota tubuh, otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Kelas V : penderita diintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
4. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap
individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang
salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi
terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi
autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar
bagaimana membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot
(myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar
thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang acetylcholine. Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini.
sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar
thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah
thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak
memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pathway terlampir
5. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang
umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala yang
muncul sesuai denagn otot yang terpenagaruh, sebagai berikut :
a. Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf kranial. Karena
otot – otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul diplopia (penglihata ganda)
dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah pasien seperti sedang tidur terlihat
seperti patung hal ini dikarenakan otot wajah terkena
b. Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam pembentukan
bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata kata. Kelemahan pada otot
otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak
dan aspirasi.
c. Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
d. Kelemahan diafragma dan otot – otot interkostal menyebabkan gawat nafas, yang
merupakan keadaan darurat akut.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam serum(mis,
AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational antibodies).
Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat mengindikasikan adanya myasthenia
gravis.
b. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. myasthenia gravis
dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk menggerakkan
mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan dan
tungkai, pasien diminta untuk mempertahankan posisint melawan resistansi selama
beberapa periode. Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
c. Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya pembesaran
thymoma, yang umum terjadi pada myasthenia gravis
d. Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis myasthenia gravis. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi, mencegah
terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal.
Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi dari enzim
acetylcholinesterase.
e. Electromyography (myasthenia gravis) menggunakan elektroda untuk merangsang otot
dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan
adanya myasthenia gravis.
7. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah:
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan.
b. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
control jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
c. Plasmaferesis (dialysis darah dengan pengeluaran antibody IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Plasma feresis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya
untuk membuang antibody pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.
d. Terapi farmakologi
Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmine
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping
pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan
sekresi bronkial berlebihan.
Steroid (prednisolone sekali sehari secara selang-seling/alternate days dengan
dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu).
Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-
lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif.
Perubahan pemberian prednisolone secara mendadak harus dihindari.
Azatioprin (merupakan obat imun osupresif dengan efek samping lebih sedikit
jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna,
peningkatan enzim hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5
mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun
8. Komplikasi
Myasthenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari myasthenia gravis, yaitu:
a. Krisismiastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas
dan kematian karena diafragma dan otot intercostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini,
dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus
yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang
menimbulkan stress seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, atau slama
kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah :
Kontrol jalan napas
Pemberian antikolinesterase
Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator),
obat-obatan tikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini
dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya
krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara
bertahap, dan sering kali dosis dapat diturunkan.
b. Krisiskolinergik
Krisiskolinergik yaitu respon stoksik akibat kelebihan obat-obatan tikolinesterase. Hal ini
mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau
mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit
dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan
dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan sering kali
hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus,
konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula
timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah :
Kontrol jalan napas
Penghentian anti kolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine
1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus
diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit
dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan
atelektasis. Kemudian, anti kolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang
lebih rendah
Bila diperlukan : obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik,
tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala
krisis kolinergik.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dan status
b. Keluhan utama : kelemahan otot
c. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya
jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot.
d. Pemeriksaan fisik B6:
5. Evaluasi
DX 1 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot, kehilangan
reflek batuk dan menelan
Batuk efektif meningkat
Produksi sputum menurun
Pola nafas membaik
Dispnea menurun
DX 2 : Defisit nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi
Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
DX 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
Saturasi oksigen meningkat
Keluhan lelah menurun
Dispnea saat aktvitas menurun
Maryunani, Anik. 2016. Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis. Bogor: IN Media
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Dewan Pengurus Pusat