Anda di halaman 1dari 193

Edisi Ketiga Tahun 2008

Pedoman Imunisasi

Di Indonesia

Penyunting

I.G.N. Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko

Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi


di Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yang
berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam melakukan
imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan dapat
terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakan
setempat.

Hak Cipta Dilindungi Undang-


undang

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga kali
tahun 2008

Koordinator Penerbitan

Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi

Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo

Edisi 3, cetakan pertama 2008

Penerbit buku ini dikelola oleh:

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kata Sambutan Menteri Kesehatan

Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapai


Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus
neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekat
diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program imunisasi
yang berkesinambungan.

Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga kepada
upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang
telah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akan
menunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasa
berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidang
kesehatan.

Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebar
luas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan
program imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan
bersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada
(Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi).

Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasi
oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini.
Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.

Jakarta, April 2008

DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri Kesehatan Republik


Indonesia

Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat menyajikan
Buku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang perlu disesuaikan
dengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan saja
untuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa kesehatan yang
berkecimpung dengan program imunisasi.

Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai upaya pencegahan yang
penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketiga
diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya perubahan
epidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin, upaya
pemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksi
campak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwal
imunisasi.

Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab beberapa masalah, antara lain,
(1) bertambahnya jenis vaksin di luar program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin baru
maupun vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2) keamanan
pemberian suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3) sesuai dengan
maturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan akibat kejadian
ikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah menunjukkan
sikapnya menghadapi hal ini.

Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa menjadi acuan, tentunya
buku ini tetap memerlukan revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua Umum
Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerja
keras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantu
penerbitan buku imunisasi ini.

Jakarta, Mei 2008

Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC

Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI

ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala, bahwa Buku Pedoman
Imunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan oleh
dokter dan petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam waktu
singkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan untuk mencetak ulang buku ini,
maka kami menerbitkan Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanya
tambahan informasi vaksin-vaksin baru.

Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,

Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi ditambah dan dibagi
menjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan kualitas vaksin,
Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan tambahan topik safety injection,
Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tambah an informasi terbaru,
Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,
Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus (HPV), untuk anak
remaja,
Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi satu dalam Bab VI
mengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu menjadi
12,
Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsi
Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX

Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, terutama yang telah melakukan revisi,
perbaikan dan penambahan topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan untuk
membuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,

kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr. Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) dan
Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para pengguna buku ini, untuk
penyempurnaan pada edisi mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia semakin
meningkat.

Tim Penyunting

Prof. I.G.N. Ranuh dr., Sp.A(K)

Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)

Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D.,
SpA(K) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.

Daftar Isi

Halaman

Disclaimer............................................................................................................ ii

Kata sambutan Menteri Kesehatan .................................... iii

Prakata ketua Pengurus Pusat IDAI .................................. iv

Kata pengantar tim Satgas Imunisasi IDAI........................ v

Daftar.................................................................................... isi vii

Daftar.................................................................... kontributor ix

Daftar............................................................................. istilah xii

Bab I. Dasar-dasar Imunisasi........................................ 1

1. Imunisasi upaya pencegahan primer 2


2. Aspek imunologi imunisasi 10

...... 3...... Jenis vaksin 23

Bab II. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.......... 29

1. Rantai vaksin 30
2. Kualitas vaksin 40

Bab III. Prosedur Imunisasi............................................ 45

1. Tatacara pemberian imunisasi 46


2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi 62
3. Catatan imunisasi 72
4. Safety injection............................................................................. 76

Bab IV. Jadwal Imunisasi............................................... 89

1. Program pengembangan imunisasi 90


2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 97
3. Jadwal imunisasi tidak teratur 117
4. Imunisasi anak sekolah, remaja, dan dewasa 122

Bab V. Vaksin pada Program Imunisasi


...130
Nasional (PPI) ...
1. Tuberkulosis .................................................... 131
2. Hepatitis B .......................................................
2. Hepatitis B .......................................................
135
3. DTP (difteria, tetanus, pertusis)
.......................... 143

4. Poliomielitis ...................................................... 157


5. Campak
171
..........................................................
Bab VI. Vaksin yang Dianjurkan (non
178
PPI).......................
1. MMR (campak, gondong, rubella)
179
......................
2. Haemophilus inß uenzae tipe B (Hib)
188
............
3. Demam tifoid ..................................................
192
4. Varisela ...........................................................
197
5. Hepatitis A ......................................................
203
6. Rabies..............................................................
210
7. Inß uenza ........................................................ 221
8. Pneumokokus.................................................. 232
9. Rotavirus ........................................................
241
10. Kolera + ETEC..................................................
244
11. Yellow fever ...................................................
248
12. Japanese encephalitis
...................................... 254

13. Meningokokus..................................................
262
14. Human Papilloma Virus (HPV).....................
267
Bab VII. Imunisasi Pasif
271
..................................................
Bab VIII. Vaksin Kombinasi
292
...........................................
Bab IX. Imunisasi Kelompok
304
Berisiko..........................
1. Imunisasi bayi
305
berisiko.......................................
2. Imunisasi bayi pada ibu
315
berisiko..........................
Bab X. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
318
(KIPI) ...........
1. KlasiÞ kasi kejadian ikutan pasca
319
imunisasi..........
2. Pelaporan kejadian ikutan pasca
341
imunisasi ..........

Bab XI. Miskonsepsi dan Kontroversi dalam Imunisasi 348

1. Miskonsepsi imunisasi....................................... 349


2. Kontroversi dalam imunisasi ........................... 360

Bab XII. Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi ......... 371

Daftar vaksin yang beredar di Indonesia........................ 385

Daftar Kontributor

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK

(alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,


Jogyakarta

Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Alan R UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen

Tumbelaka IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto


Mangunkusumo, Jakarta

Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas


Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA,


Cissy B
FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr.
Kartasasmita
Hasan Sadikin, Bandung
Corry
UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian
S.Matondang
IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP
(alm)
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial


IDAI

Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK


Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA

Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto


Mangunkusumo, Jakarta

Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial

Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP


Dr. Kariadi, Semarang

Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen


IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/


RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas


Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK


Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK
Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK
Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI

Noenoeng UKK Pulmonologi IDAI


Rahajoe

Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI


Pujiarto

Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK


Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.


Soetomo, Surabaya

Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/


RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sumatera
Utara/ RSUP Dr. H Adam Malik, Medan

Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sam
Ratulangi/ RSUP Dr. Malalayang, Manado

Titut
UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS
S.Poesponegoro
Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
(alm)
UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS
Toto Wisnu
Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
Hendarto

UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI

Daftar Istilah

AAP American Academy of Pediatrics

ACIP Advisory Committee on Immunization

AEFI Adverse Events Following Immunization

AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh

AKABA Angka Kematian Balita

AKB Angka Kematian Bayi

APC Antigen Presenting Cell

ASI Air Susu Ibu

BCG Bacille Cal mette Guerin

BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah

BTA Bakteri Tahan Asam

CDC Center of Disease Control

DALY Disability Adjusted Life Year

DT Difteria, Tetanus

DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)

DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)

ERAPO Eradikasi Polio

ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum

FDA Food Drug Administration

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GVHD Graft Versus Host Disease


HBIg Hepatitis B Immunoglobulin

HbsAg Hepatitis B surface antigen

Hep-B Hepatitis B

Hib Haemophyllus influenza type b

HIV Human Immunodeficiency Virus

HLA Human Leucocyte Antigen

HPV Human Papilloma Virus

IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia

IgA Imunoglobulin A

IgG Imunoglobulin G

IgM Imunoglobulin M

IPV Inactivated Polio Vaccine

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

IU International Unit

KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

KLB Kejadian Luar Biasa

MHC Major Histocompatibility Complex

MMR Measles, Mumps, Rubella

NHMRC National Health and Medical Research Council

NIGH Normal Immunoglobulin Human

OPV Oral Polio Vaccine

PIN Pekan Imunisasi Nasional

PPI Program Pengembangan Imunisasi

PRP Polyribosyribitol Phosphate

PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein

PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus


Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

UKK Unit Kerja Koordinasi

Bab I

Dasar-Dasar Imunisasi

Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi

1 - 3 Jenis Vaksin

Pengantar

Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan
yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan balita. Dasar
utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit
menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia;
dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit
menular secara mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus,
pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak ditemukan lagi
sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan dinyatakan
bebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward
Yenner tahun 1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah
penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara
atau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak
hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak
lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran
infeksi. Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak maupun
orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilai
imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.

Bab 1-1

Imunisasi Upaya Pencegahan Primer

I.G.N. Ranuh

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan ditengarai pula
bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak sesuai dengan perhitungan
semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk hanya
difokuskan pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene jumlahnya
kecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia subur di Indonesia

Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk akan terus turun
bahkan pada tahun 2020 – 2025 dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini
laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi 1,3%. Jumlah
anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan penduduk yang sangat besar, yaitu kurang
lebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%).

Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah meningkatnya kurang gizi di berbagai
pelosok Indonesia. Apabila gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai
19,3% pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan setelah
tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini.
Penyebabnya adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak
krisis moneter 1997, bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi politik
dan keamanan yang tidak kondusif.

Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat dan
pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu,
pemantauan

anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan


anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun
yang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid,
difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.

Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas hidup sumber


daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yang
memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat
menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna
meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut.

Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakat


masih memerlukan perhatian khusus yaitu,

Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun


Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun
Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahun
Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahun
Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%,
TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO)

Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan
yang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk
menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun
waktu lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71
menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup
(Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka
kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.

Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena penggunaan teknologi
tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan baik Kartu Menuju Sehat dalam
memantau secara akurat tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI,
pemberian segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberian
imunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu BCG,
Polio, Hepatitis B, DTP dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah
mencapai Universal Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90%
pada anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi
Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997 secara berturut-turut
dan serentak di seluruh tanah air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun (1997-
2005).

Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa Barat dilakukan tindakan-
tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara intensif dengan
pengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil mengendalikan. Pada
kesempatan tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi terhadap tetanus dan
campak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena kedua
penyakit tersebut.

Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas
hidup bangsa akan meningkat pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 orang
anak) maka kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah 15
tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatian
yang lebih besar lagi.

Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu
negara berkaitan, yaitu makin

rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan
terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu mutlak
harus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna dapat
mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa.

Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa pencegahan adalah suatu


cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dari pada
mengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit.

Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan
menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan keracunan karena kecelakaan,
kekerasan pada anak, fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier
yang dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi, prenatal, masa
neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju dewasa.

Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang
mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan
sanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan
serta vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer.

Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya penyimpangan


kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau pengobatan perlu segera diberikan
untuk koreksi secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatu
upaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampai
meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkan
pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya
pemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh
pada terapi rehabilitasi medik

pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan lain-lain
sebab.

Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat
berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu
pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya
kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan
lainnya.

Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya
imunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI)
cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat
terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian,
masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak
meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.

Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan lain-lainnya di dunia adalah
sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara optimal.
Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnya
anak oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang endemik dan
erat hubungannya dengan lingkungan hidup.

WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994 dengan EPI dan kemudian
lebih luas lagi dengan GPV (global programme for vaccines and immunization), organisasi
pemerintah dari seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagi
organisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan Rockefeller
Foundation.

Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberian
vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.
Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif

yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental, yaitu
antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang
dikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi
dari ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang
sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi baru
lahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifik
hepatitis B yang harus diberikan setelah lahir dengan segera.

Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik secara pasif
sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat diperoleh pula secara
alami maupun buatan. Secara alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu
penyakit, yang berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak
membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme yang
sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk
antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.

Imunisasi dan Vaksinasi

Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi
adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi
dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan
imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.

Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin
yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma
donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit
tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin
sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali

dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsung
permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulin
yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara
kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih
mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan
kepada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan
kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan


dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan
telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu
mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi
alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah
memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi
sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang
masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya


Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang dari
pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public
health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

Bab 1-2

Aspek Imunologi Imunisasi

Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak
terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu
kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh
dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan
pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian
suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme
oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih
pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih
lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.

Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang
terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui
manusia, seperti misalnya penyakit difteria.

Respons imun

Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap
antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan
tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif
atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk
berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen
adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat
dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.

Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka


imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun
akan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigen
TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas
humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah
protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan
secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan
imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organ
transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Respons imun terdiri dari dua fase,

fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel limfosit
B, limfosit T
fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor (Gambar 1)

Pajanan Antigen pada Sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T
helper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang
kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen
yang tidak memerlukan sel T (TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi
dengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya
sederhana dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan
IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin
yang terdapat pada dinding sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat
merangsang aktivasi sel B dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai
stimulan sel B poliklonal.

Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor-faktor lain
seperti,

Jumlah dosis antigen


Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im),
subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv)
berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan melalui
inhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial.
Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain
Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya
Faktor genetik pejamu

Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC
(mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada
membran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan

dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadi
ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasi
menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori atas
pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag
(Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkan
antibodi.

Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat
dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya Th1
mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6,
IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenal
dan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T
lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.

Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan dimodifikasi dari
Abdul K Abbas, 2001
Respon Imun Selular

Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung melisis sel
yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau mensekresi sitokin
yang akan merangsang terjadi proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe
lambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi
virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandung
virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal antigen
pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang mensekresi sitokin
bila dirangsang oleh Ag.

Respons Imun Humoral

Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitop
antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM dan pada perkembangan
selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian
F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen tertentu.

Pajanan Antigen pada Sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th
(bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan
membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B
tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya
hilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalam
proses opsonisasi. Kadang fagositosis

dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi penghancuran Ag.

Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa ini
disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir aktivasi
sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi
dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang
diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur
panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan
berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau
infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel
dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di
kemudian hari (Gambar 1.2)

Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral

Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001

Respons antibodi terhadap antigen

Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya
dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah
IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imun
sekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imun
sekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih
tinggi serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun
sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan
pada antigen yang serupa.

Memori Imunologik

Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B memori
terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat dengan
antibodi akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C).
Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit

Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas
2001

folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel


dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasma
yang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang
tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi ke
sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigen
yang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula
dengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi.
Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantung
dari dosis antigen yang diberikan.

Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan
mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul MHC di
jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah
satu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dan
diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan
jaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk
mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk
jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC menjadi peptida yang
akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC
akan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksi
sitokin sel helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang
mempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan mikobakterium
intrasel (Gambar 1).

Keberhasilan Imunisasi

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor
genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Status Imun Pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janin
mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak
diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil
yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA
sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio
yang diberikan secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada
ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub
Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah
tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat
pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum
(kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan
dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag
masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human
leucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta
respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen
masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor)
relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada
masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya,
vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka,
apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi
ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang
menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan
indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada
individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit
infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula
keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan
limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah.
Meskipun kadar globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk
tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag
berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor Genetik Pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen
lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang
tidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks
MHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam
presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas
I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal

antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi
secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons
imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang
berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terangkai dengan
kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit
yang menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam
respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

Kualitas dan Kuantitas Vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti
cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin
polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio
parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu
rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil
uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita
ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping

frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila
pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,
maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi
apa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan
antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi
peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa
yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan
antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen
presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin
yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin
mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari
mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi,
karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang
mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan
atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit
yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah
empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam
selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi
untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

Persyaratan Vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat
empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi interleukin, 2)
mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi sel
T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada
dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang
persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori
direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.

Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasi
respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhi
keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi yang
terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga
pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada
penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.

Daftar Pustaka

1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.


2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters
Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated
Microbes. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic
Immunology,functions and disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders,
2001.h.87-108.

5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies.


Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions and
disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders, 2001.h.125-45.

Bab 1-3

Jenis Vaksin

Hariyono Suyitno

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu


Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif)

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan
bagaimana vaksin ini digunakan.

Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan
untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan
penyakit.

Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi) dari
kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.
Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub-
unit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel
polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah vaksin
polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena hubungan ini membuat
polisakarida tersebut menjadi lebih poten.

Vaksin Hidup Attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini
dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.
Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi

untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan
cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang
anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.

Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang
biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri
yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat
jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau
pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat
menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat
ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan
(adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara
suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik
seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dari
antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya
respons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap
antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena
pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas
atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-
hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus,
demam kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksi n Inactivated

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat
murni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya
kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada
orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi
oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di
dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang dihasilkan
darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan
sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini
berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama dengan
infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated
menurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated
membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.

Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih
memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel
bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau
efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang
sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam
vaksin DPT).

Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio (injeksi disuntikkan),
rabies, hepatitis A
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler,
tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophillus influenzae
tipe b
Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus)

Vaksin Polisakarida

Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik
terdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri
tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus,
meningokokus dan Haemophillus influenzae type b.
Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T independen khusus yang
berarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper.
Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik pada
anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap antigen
polisakarida; mungkin

ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya, terutama
fungsi sel T.

Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan


(booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer
antibodi menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai
pada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakarida
mempunyai aktifitas fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkan
oleh antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap
vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG yang diproduksi.
Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas dapat
diatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi (conjugation).
Konjugasi mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T dependen yang
menyebabkan peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan respons
peningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang
pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin konjugasi lainnya ialah
vaksin pneumokok.

Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering
disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa
genetik yang saat ini telah tersedia.

Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis
B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.
Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.

• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera
rhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus
manusia apabila mereka mengalami replikasi.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK.,


Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi
ke 25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation
Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W,
Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable
Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8

5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

Bab II

Penyimpanan dan

Transportasi Vaksin

Bab II-1. Rantai vaksin Bab II – 2. Kualitas vaksin

Pen gantar

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harus
diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin
potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak
diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan
potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal yang tidak
diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan
pemahaman rantai vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak dari
pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlu
pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari
tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM),
kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan.

Bab II-1

Rantai Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan
menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin
sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses
penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat
pembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu.

Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR,
varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus,
typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak perubahan suhu pada vaksin
hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap vaksin
sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing.

Suhu optimum untuk vaksin hidup

Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80 C, di atas suhu +80 C
vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang
belum dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang
dari 2oC s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila
disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2oC s/d +80 C.

Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, umur vaksin
tidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun.
Oleh

karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -15 o C
atau di dalamfreezer.

Suhu optimum untuk vaksin mati

Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC juga, pada suhu
dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -
0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi
dalam suhu di atas 8o C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis
B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT
dan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu
di atas 8oC.

Kamar Dingin dan Kamar Beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik,
distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang
besar dengan kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu
kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh
beku. Suhu kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang boleh
beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus,
menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak boleh terputus
sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi
bila listerik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara
otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau diatas 8oC, atau listrik padam.
Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk
membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda

lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri

Lemari es dan freezer

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak lemari es dengan
dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik.
Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung.

Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2oC s/d +8oC, digunakan untuk menyimpan
vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair).
Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus untuk
menyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku).

Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar
antara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer berkisar -15oC s/d -25oC. Perubahan suhu dapat
diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau
Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watch
atau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0
derajat.

Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pita
perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya
pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengembalikan
sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.

Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-masing
mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih
dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.

Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas

Pintu membuka ke depan


Pintu membuka ke atas
1. Suhu tidak stabil.
1. Suhu lebih stabil.

Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,

kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas

dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar

2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa

tidak bertahan lama bertahan lebih lama

3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa

disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak

4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit

dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit

dilihat dari atas

Karet-karet pintu harus diperiksa


kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah
terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan
pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau
lemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer terbuka
selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu
sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan suhufreezer – 15 0 C,
masukkan vaksin sesuai tempatnya.

Susunan vaksin di dalam lemari es

Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin,
maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkan
vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian
yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar
udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Text Box:

Text Box:
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack,
untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari
es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku.
Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akan
menjadi rapuh, mudah pecah.

Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di


dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka.

Lemari es dengan pintu membuka kedepan

Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam
freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah freezer untuk meletakkan
vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh
darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak
terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller
diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3

Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa
vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari
pendingin (freezer)

Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang
membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri
bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari
evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm).
Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.
Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas

Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh dari
pendingin

Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat
menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran
lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain
untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk
mepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack
atau cool pack.

Gambar 2.3. Kotak


Dingin, b) Vaksin Carrier,
c) cool pack

Cold Pack dan Cool Pack

Text Box: Cold pack berisi air yang


dibekukan dalam suhu -15 s/d –
25 0 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah
plastik berwarna putih. Cool pack berisi air
dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu
+2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalam
wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold
pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa
vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan vaksin mati (inaktif).

Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier

Daftar Pustaka
1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program.
The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia;
2008.
5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK,
Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the
Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003.
6. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia,
Tokyo, WB Saunders, 2004.

7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

Bab II-2

Menilai Kualitas Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas
tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan
vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan
tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang tidak diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu
memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan
kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin yang sesungguhnya
harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rumit.

Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus
memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezer
dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau twermos yang tertutup rapat,
tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa,
indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch / tag belum melampaui
batas suhu tertentu.

VVM (vaccine vial monitor)

Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas yang
dibolehkan, dengan membandingkan

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empat
lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin
belum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus
segera dipergunakan.

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin.

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan,
tidak boleh diberikan pada pasien.

Freeze watch dan freeze tag

Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 00 C. Bila dalam freeze
watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang
(X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Warna dan kejernihan


vaksin

Warna dan kejernihan


beberapa vaksin dapat
menjadi indikator praktis
untuk menilai stabilitas
vaksin. Vaksin polio harus
berwarna kuning oranye. Bila
warnanya berubah menjadi
pucat atau kemerahan berarti
Text Box: pHnya telah berubah,
sehingga tidak stabil dan tidak boleh
diberikan kepada pasien.

Vaksin toksoid, rekombinan dan


polisakarida umumnya berwarna
putih jernih sedikit berkabut. Bila
menggumpal atau banyak endapan
berarti sudah pernah beku, tidak boleh
digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawah
ini.

Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak boleh
digunakan karena sudah rusak.

Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)

Pemilihan vaksin

Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa
ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan
tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah lama
tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out).

Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, praktek
swasta)

Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan pada
pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati tanggal
kadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +80 C, tidak pernah terendam air, VVM A atau
B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis
tanggal mulainya penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang
dipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga segera dapat
dikenali.

Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCG
yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam
(WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8
0C hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 24
jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 30 menit.

Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis

Vaksin Masa
Pemakaian

POLIO 2 minggu

DPT 4 minggu

DT 4 minggu

TT 4 minggu

Hepatitis B 4 minggu

Sisa vaksin di sarana


pelayanan luar gedung

Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda khusus
untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua syarat-syarat
masih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya dimusnahkan
dengan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubur
sedalam 2-3 meter.

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The

Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5. Committee


on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker

CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on

Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;

2003.

Bab III

Prosedur Imunisasi

1. Tatacara pemberian imunisasi


2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi
3. Catatan imunisasi
4. Safety injection

Pengantar

Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal, memerlukan pemahaman dan
ketrampilan dari para pelakunya mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan sebelum,
selama dan sesudah melakukan imunisasi.

Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan


anak dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah,
sampai pada teknik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar.
Penjelasan kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu
dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada
bayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi
ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat dengan
lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi.

Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan diperoleh kekebalan yang
optimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal,
serta pengetahuan dan kepatuhan orangtua pada jadwal imunisasi.

Bab III-1

Tata-Cara Pemberian Imunisasi

Qariyono Q7uyitno

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan
secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat
persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya
sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila
diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum
suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut. o Berilah petunjuk
(sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan
yang lebih berat.

Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang
Pemberantasan Penyakit Menular ( P2M ).
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar
ketinggalan, bila diperlukan.

Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya dapat
bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsip
higienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harus
dikerjakan.

Penyimpanan

Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.
Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan
umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-
8o C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A)
menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna
mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV
dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara rinci
bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan pada Bab II
Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.

Pengenceran

Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalam
periode waktu tertentu. Apabila

vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan
kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami
perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan
jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

Pembersihan kulit

Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun apabila kulit telah
bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

Pemberian suntikan

Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam.
Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG
diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besar
diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas
kesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam,
dianjurkan memberikan dengan cara intra muskular.

Teknik dan ukuran jarum

Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjuk
keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan trauma
akibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan
jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis,
karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin dalam
sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak

boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat
tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan
atau pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan
anak-anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar buku petunjuk ini.

Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum yang pendek
meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah
untuk vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).

Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain dalam
beberapa hal seperti berikut:

v. pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil
lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm,
v. untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16
mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm,
v. untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk (obese)
dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm,
v. untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27
dengan panjang 10 mm.

Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular

Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke
arah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf
dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.
Pada suntikan dengan sudut jarum 450 sampai 600 akan mengalami hambatan
ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.

Tempat suntikan yang dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dan
anak-anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-
anak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.

Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha
adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus)
untuk menghidari risiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Buku pedoman ACIP
dan AAP dan buku pedoman Selandia Baru juga menganjurkan paha anterolateral sebagai
tempat suntikan vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha anterolateral atau lengan atas
pada bayi sebagai tempat suntikan.

Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak
dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga
pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak disengaja
menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin hepatitis
B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk
semua umur.

Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio lateral sebenarnya


telah diketahui, namun beberapa petugas kesehatan masih segan meninggalkan
praktek tradisionalnya dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal
tersebut, dianjurkan untuk selalu mengulang kembali dengan memberi peringatan
bahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu
dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk menghidari saraf ischiadika. Sedangkan untuk
vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab
suntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid.

Posisi anak dan lokasi suntikan

Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko kerusakan saraf, pembuluh
vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik,
walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan
sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh
untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka memahami apa
yang sedang dikerjakan.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah

v. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.


v. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara
adekuat.
v. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah
gluteal.
v. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat suntikan
yang menahun.
vi. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan

Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian
anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot
bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.
Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit, dengan jarum ke
arah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (ke
arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.

Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/pengasuh atau
posisi setengah tidur pada pangkuan orang

Text Box:

tua atau pengasuhnya. Celana


(popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak
demikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang
menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini
akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.

Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha

Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Lokasi suntikan pada vastus lateralis

Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang,
Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut,
Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang
menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga
bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka
lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)
Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian
atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan

Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah


deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara
lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.
Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman
dan berhasil
Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan
meningkatkan risiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak ke
siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara
akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat
sudut 45o-60o mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik,
ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari
otot trisep.

Pengambilan vaksin dari botol (Vial)

Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai
jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama.
Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk
mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang
berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.

Penyuntikan subkutan

Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan*

Umur
Tempat Ukuran jarum

Bayi Paha daerah anterolateral Ukuran 23-25

(0-12 bln) Panjang 16-19 mm

1-3 tahun Paha daerah


anterolateral atau Ukuran 23-25

daerah lateral lengan atas Panjang 16-19 mm

>3
tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 mm

Panjang 16-19 mm
Text Box:

*Penyuntikan subkutan
untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis

Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkan


subkutan
pada bayi (a) dan anak besar (b)

Text Box:
Text Box: Umur Tempat Ukuran Jarum

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular

Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot


Suntik dengan arah jarum 45-600 , lakukan dengan cepat
Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukkan
Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam
vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru.
Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama

Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yang
sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam
jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan
yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib,
hepatitis B, dan polio.

Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi
apabila hanya satu macam yang diberikan. Vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh
diberikankurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap
vaksin kedua mungkin telah banyak berkurang. Sebagai tambahan perlu diperhatikan
bahwa ada interaksi spesifik antara vaksin demam kuning dan kolera, dan vaksin-vaksin
tersebut tidak boleh diberikan dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-vaksin yang
berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yang
diberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang
berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda.
Text Box:

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK.,


penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik Grove
Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.16-20.
2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W,
HumistonS, Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine
preventable diseases, edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public
Health Service, CDC 1999. h. 277-89.
3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures. Dalam:
Walson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9. Canberra:
NHMRC. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
Bab III-2

Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai

Imunisasi

Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk imunisasi, maka kita perlu
memahami dan menyadari kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberi
jasa. Untuk itu kita perlu mengetahui dan melaksanakan Undang-undang RI nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang–undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.

Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan (pelaku usaha)

Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 5


ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2: Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.

Bab III pasal 4 Hak Konsumen:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut

Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya


b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa yang
diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat


penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa tersebut
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 6. Hak Pelaku Usaha:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad
baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, pasal 9, Pelaku Usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
secara tidak benar : ayat 1c. dengan menggunakan kata-kata berlebihan seperti :
aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tan pa
keterangan yang lengkap.

Hak pasien dan kewajiban dokter

Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa praktik kedokteran


berdasarkan kesepakatan dokter dan pasien untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan.

Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dokter wajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran, sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.

Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.

Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.

Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasan
tersebut sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara tindakan medis, tujuan
tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut dapat
diberikan tertulis maupun lisan (ayat 4). Tindakan yang berisiko tinggi harus tertulis dan
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (ayat 5). Tatacara mengenai
persetujuan tindakan kedokteran tersebut diatur oleh Peraturan Menteri (ayat 6).
Peraturan menteri untuk tata cara persetujuan tindakan kedokteran karena belum ada
yang baru sementara masih berdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban memberikan penjelasan secara
profesional dan proporsional tentang manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan pasca
imunisasi dan hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga pasien mendapat informasi
yang jelas dan benar agar tidak terjadi salah pengertian dikemudian hari.

Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no.


585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi harus
diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1). Semua tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat 1)
secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik dilakukan tanpa adanya
persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan surat izin praktek (Pasal 13).

Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengan
tindakan medik adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehingga
banyak yang berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan medik.
Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan medik sebelum vaksinasi
dianggap perlu, walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics
(AAP) menganjurkan pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yang
disusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsen
vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi orangtua
sebelumnya menandatangani pesetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medik
bahwa penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua.

The Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) juga
menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan tertulis disamping
penjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) dan
keterangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksin tersebut

untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak ada keharusan untuk
mendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa
orangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta persetujuan tertulis.
Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namun
jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua, walaupun telah ada persetujuan
tertulis pada imunisasi sebelumnya.

Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadaran


konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasi
sebaiknya memberikan penjelasan kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes
585/1989) bahwa imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit dan mempunyai
manfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat ditimbulkannya.
Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan
situasi pasien (sesuai Pasal2 ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang harus dilaksanakan
berdasarkan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu,
Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai pasal 14 Permenkes
585/1989).

Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada orangtua/keluarga sebelum


dilakukan imunisasi

Keadaan Bayi/Anak

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberi tahukan secara
lisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau
risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,

ï​¶ pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerlukan
pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit),

alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin (misalnya neomisin),
sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi,
menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS),
tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker, HIV /
AIDS),
tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas
(radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak,
poliomielitis, rubela),
pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah,
menderita penyakit susunan syaraf pusat.

Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasi


Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi
DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan antipiretikparasetamol 15
mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi.
Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam.
Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.

Manfaat vaksinasi

Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara profesional dan
proporsional manfaat vaksinasi yang akan dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksin
tidak melindunghi 100 %, tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan
dampak bila terjadi infeksi.

Reaksi KIPI
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di
tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis
vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan
akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan,
pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi
keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa
minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCG
dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi
dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan
parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat
mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng
semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.

Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah
imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul
kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Jika demam pakailah
pakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh
mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di
tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari.
Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika
demam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6 kali dalam 24
jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut memberat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DT

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri
pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya
tidak perlu tindakan khusus.

Polio oral

Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu
orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman
di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12
hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi
kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah
bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika

demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika
demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam
24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang


persetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990.
2. Watson C (penyunting). The Australian Immunisation Handbook, Edisi ke-9. NHMRC,
2008.
3. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 1994.
4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000.
5. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-liku
perjalanan UUPK. YLKI, Jakarta 2001.
6. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
CV Eko Jaya, Jakarta 2004.

Bab III-3

Pencatatan Imunisasi

Jose RL. Batubara

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang
dipegang oleh orang tua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang
memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi
tersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk
imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.

Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi

Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
Tanggal melakukan vaksinasi
Efek samping bila ada
Tanggal vaksinasi berikut
Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/ paramedis sebelumnya,
maka data tentang hal-hal tersebut di atas harus dilengkapi oleh petugas medis
yang melanjutkannya. Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik jadwal
maupun efek samping yang akan merupakan informasi penting untuk
dokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi ini
sebaiknya selalu dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yang
memberikan vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk
melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan.
Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan orang

tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari sebelum hari libur,
mengingat apabila terjadi demam ibu berada di rumah).

Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah vaksin yang diberikan dan
bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan
cara mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal.

Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi

Surat Persetujuan Imunisasi

Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)
Ya

Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk


diimunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi yang telah
direkomendasikan.

(Berikan tanda  apabila ingin diimunisasi atau beri


alasan apabila tidak boleh)

BCG
Polio oral
Hepatitis B
DPT
Campak, dst

Tanda tangan Tanggal /


/ /
Tidak

Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada


saya mengenai program imunisasi, namun saya tidak
ingin anak saya diimunisasi.

Nama orang tua/ wali........................................................


Tanda tangan Tanggal /
/ /

Jose RL. Batubara

Kartu Imunisasi

Jenis Nama No Tanggal Tempat


Paraf
Vaksin Vaksin batch Imunisasi Imunisasi

Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi

Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan efektif untuk melindungi anak bapak/ibu
terhadap penyakit yang berbahaya. Terdapat 7 penyakit yang diwajibkan (vaksin PP1) untuk
diimunisasi pada bayi/anak (TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus, dan campak).
Saat mi telah bertambah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi yang tidak
tergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan seperti, gondongan, rubela, demam tifoid,
hepatitis A, cacar air.

Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan terhadap penyakitinfeksi tersebut di atas.


Namun, dengan imunisasi (suntikan atau diminum) tubuh dapat membentuk kekebalan
(antibodi) terhadap penyakit infeksi tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95% apabila
diberikan dengan cara yang tepat.

Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat mi kejadian
penyakit infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun. Hal mi bukan kemudian imunisasi
tidak penting lagi. Bakteria dan virus penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat,
maka apabila hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa (wabah).

Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan (PP1) dapat diperoleh di
semua fasiitas kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain dapat diperoleh pada dokter pribadi
anda.

Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab Jadwal Imunisasi)
Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000,
Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American
Academy of Pediatrics 2000.

3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C,


Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi
ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.

Bab III-4

Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

Soedjatmiko

Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar membentuk kekebalan
humoral atau seluler terhadap antigen yang diberikan melalui penetesan di mulut atau
disuntikan. Namun proses ini dapat pula menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang tidak diharapkan bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak dilakukan dengan benar
dan baik. Upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan tubuh dan memperkecil KIPI
dimulai dari prosedur produksi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan vaksin, penyediaan
dan penggunaan alat suntik, teknik penyuntikan yang aman (safety injection) dan penanganan
limbah.

Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk menghasilkan kekebalan yang
optimal pada bayi/anak yang disuntik dan menghindari KIPI, juga untuk menghindari
kecelakaan atau penularan infeksi pada bayi/anak tersebut, pada dokter/paramedis
yang melakukan penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya.

Jenis alat suntik (semprit)

1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD)

Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak tahun 1999


menganjurkan penggunaan semprit auto-disable (AD) yang hanya bisa dipakai 1 kali
kemudian otomatis terkunci, macet atau patah. Semprit ini tidak dapat dipakai ulang,
sehingga tidak akan menyebarkan partikel patogen (misalnya hepatitis B atau HIV) yang masuk
ke dalam semprit ketika proses penyuntikan atau mengkontaminasi sisa vaksin ketika
menghisap vaksin dari

botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara luas.

Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet, Univec, Terumo, K1 dan
Medico inject. Beberapa merek sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan jarum
terpisah. Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat cara
penggunaannya, karena berbeda-beda.

Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan atau kebelakang satu kali
saja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah
mengeluarkan semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit,
karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk menghisap
vaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang ada
didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarik
piston untuk menghisap vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang
udara yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah udara habis
terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudian
dorong piston sampai vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi atau
patah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan
dengan prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang

2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD

Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi. Beberapa merek
yang sering digunakan antara lain Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini hanya
digunakan untuk mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum bekas
harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk
mencegah digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak sebaiknya dengan
semprit AD.

3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD)

Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk
satu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai lagi.
Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap vaksin dari botol
atau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh: vaksin Hepatitis B
Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas harus dimasukkan ke dalam kotak limbah
dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi
orang lain.

4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD

Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1
dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit masih bisa berfungsi.
Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid, influenza, hepatitis A, pneumokokus.
Untuk mencegah pemakaian ulang semprit bekas, segera masukkan ke dalam wadah
dan dihancurkan dengan prosedur tertentu.

5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang

Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat berisiko terjadi
kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum atau vaksin yang telah
terkontaminasi ketika menghisap vaksin.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak

1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang berdekatan (bundling) di tempat


yang terlindung dari sinar matahari langsung:

a. Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik (lihat bab Rantai Vaksin)
b. Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong ampul
c. Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD)
d. Desinfektan/antiseptik
e. Kotak limbah diletakan sedemikian rupa hingga mudah memasukkan semprit bekas pakai
f. Alat/obat kedaruratan yaitu adrenalin, jarum dan slang infus, cairan infus, kortikosteroid

g. Blangko pencatatan imunisasi

2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu, tanggal kadaluwarsa,


VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin, gumpalan, endapan, label dan indikator
kualitas vaksin lainnya. Bila vaksin sudah kadaluarsa, walaupun baru beberapa hari
tidak boleh digunakan. Bila ada gumpalan, endapan, perubahan warna vaksin,
perubahan warna VVM lsama atau lebih gelap da ri tepinya (kondisi C dan D), atau
label pernah terendam air, vaksin tidak boleh digunakan.

3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang terdapat dalam
KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari pemberian vaksin yang tidak
sesuai.
4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya, imunisasi
yang telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI yang pernah terjadi, dan
informasi yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang

akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik: asupan nutrisi, pola
tidur, miksi, defekasi dan tumbuhkembang.

5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik penyuntikan, manfaat,


kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara mencegah dan pertolongan pertama bila terjadi
KIPI (informed consent).
6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan bayi/anak secara umum,
sambil mencari indikasi kontra imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik.
7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan apakah kemasannya masih
utuh dan rapat. Bila kemasan sobek, tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum atau semprit
tidak digunakan, segera dibuang seperti semprit atau jarum bekas pakai.
8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah tersentuh benda
tidak steril kedalam kotak limbah kemudian dihancurkan.
9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut. Campur
vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum bukan AD,
tetapi semprit dan jarum yang telah digunakan untuk melarutkan tidak boleh untuk
menyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan jam
melarutkan vaksin.
10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Jangan
menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan meninggalkan
jarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan vaksin berikutnya.

11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau menyuntikkan,
walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti dengan jarum baru yang steril.
12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun vaksinnya sama.
13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau memberontak
ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik
dalam gendongan orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di
dada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan
dipeluk dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada
orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/ pengasuh
agar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara kedua paha orangtua/pengasuh,
atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan)
dipegang oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta bantuan
orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu memegang siku atau lutut
dekat bagian yang akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak kesakitan
atau ketakutan.
14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak bicara,
atau bermain dengan mainan. Jangan diancam atau dipaksa sehingga membuat
anak ketakutan.

15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic mixture of
local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10 menit sebelumnya, etil
klorid spray beberapa detik sebelumnya, atau ditekan dibagian yang akan disuntik
selama 10 detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan sukrosa.
Manfaatnya bervariasi.

16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/ antiseptik, tunggu sampai
mengering
17. Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan mengatur posisi
lengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itu
kulit sebaiknya diregangkan kesamping agar jarum mudah menembus kulit untuk
mengurangi rasa nyeri.
18. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah digunakan sama
sekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrik
vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai, langsung dimasukkan ke kotak limbah kemudian
dihancurkan.
19. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin: intradermal (sekitar
15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau intra muskular (60 – 90 derajat).
Kedalaman penyuntikan subkutan dan intra muskular harus disesuaikan dengan
ketebalan lemak dan otot bayi /anak.
20. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum penyuntikan kulit
bayi/anak digeser kesamping (metode Z – tract), setelah penyuntikan kulit
dilepaskan lagi ke posisi semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam otot
atau subkutan tidak dapat keluar lagi.
21. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan agar darah
tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan luka berdarah
dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup dengan
plester.

22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam KMS atau buku
imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila dilengkapi dengan nama dagang vaksin,
nomor batch/

lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf dokter/paramedis yang
bertanggung jawab.

23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung pulang, menunggu sekitar 15
menit untuk deteksi kemungkinan terjadinya KIPI yang segera.
24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah Sakit:

1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam

2 Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 8 jam

3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu

4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu,

Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program), tetapi belum
dibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang sudah
dibuka/dilarutkanharus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masih
bisa dipakai dengan syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2oC
– 8oC, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B), tidak pernah
terendam air dan sterilitas terjaga.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik (paramedis, dokter)

1. Jangan menekan luka berdarah akibat suntikan dengan jari atau bahan tidak steril.
2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum bekas pakai, karena
berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah yang ada pada jarum.

3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke dalam kotak limbah tanpa
mencabut atau menutup jarum.
4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi tertunda akibat anak
meronta-ronta, penutupan jarum dilakukan dengan teknik satu tangan agar tidak menusuk
jari tangan yang lain. Caranya : tutup jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang), dengan
tangan kanan pegang semprit, masukkan jarum kedalam tutupnya, dorong terus hingga
sebagian besar jarum bisa masuk kedalam tutupnya sehingga tutup terdorong. Tekan tutup
tegak lurus di atas meja, sehingga jarum tertutup kuat. Masukkan semprit dan jarum
tersebut ke dalam kotak limbah.

5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat melukai dan
mengkontaminasi penyuntik atau orangorang yang berada dekat tempat penyuntikan.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan

1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat diambil atau
melukai dan mengkontaminasi masyarakat yang berada dekat tempat penyuntikan.
2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum, kapas, botol, ampul vaksin)
sesuai dengan prosedur yang dianjurkan (dikubur atau dibakar)

Mengamankan semprit dan jarum bekas

Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau untuk menyuntik
harus segera dimasukkan kedalam kotak limbah. Kotak ini harus mempunyai lubang
kecil yang mudah untuk dimasuki semprit bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar lagi,
tidak mudah tembus oleh jarum (untuk mencegah menusuk

orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran dengan
nama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal. Namun boleh juga
menggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik bekas air mineral, jeriken
plastik untuk kotal limbah Gambar 16.
Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi

Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah memasukkan semprit dan jarum bekas,
namun letakkan ditempat yang aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil, tertendang
atau terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada disekitarnya. Semprit dan jarum bekas
jangan dikeluarkan lagi dari

kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera ditutup rapat agar
ketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah keluar.

Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah vaksinasi

Membakar semprit dan jarum bekas

Text Box:

Sebaiknya spuit dan jarum


bekas dibakar dalam insinerator (alat pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat C,
karena dapat menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan mikroorganisme yang
mungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari darah bayi/anak. (Gambar 3.7)

Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)

Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di dalam drum bekas yang diganjal
dengan batu bata. Kotak limbah dimasukkan ke dalam drum, api dinyalakan dibawah drum
tersebut. Semprit dan jarum yang sudah terbakar hancur kemudian ditimbun ditempat yang
aman. (Gambar 3.8)
Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana

Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang, sebaiknya di lahan yang
jarang di olah dan jauh dari pemukiman. Gali lubang sedikitnya sedalam 1 meter,
masukkan kotak limbah ke dalam lubang, bakar kotak limbah menggunakan kertas,
minyak tanah atau bensin. Setelah semua terbakar, timbun lubang dengan tanah.
(Gambar 3.9)

Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi

Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang khusus

Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat dibuang ke dalam lubang khusus.
Kedalaman lubang sedikitnya 2 meter, dengan lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton,
ditengahnya ada pipa besi. Semprit dan jarum bekas dimasukkan kedalam lubang melalui pipa
besi tersebut tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada kemungkinan
mengkontaminasi lingkungan.

Menimbun semprit dan jarum bekas di dalam lubang pembuangan

Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun tidak akan digali.
Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini
masih berbahaya karena bila ada banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau mengkontaminasi
lingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005.
2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.

Bab IV

Jadwal Imunisasi

Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) 4-2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 4-
3. Jadwal imunisasi yang tidak teratur

4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa

Pen gantar

Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program pemerintah dalam bidang


imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization. Melalui
PPI diharapkan beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi dapat dilaksanakan seperti
eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutu
pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan keamanan pengelolaan
limbah tajam.

Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih tegas, kapan seorang bayi/anak
sebaiknya mendapat imunisasi sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini
juga akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Pada anak
yang mendapatkan imunisasi tidak sesuai dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa,
tidak tahu, atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu membuat jadwal
imunisasi yang sesuai.

Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi diperuntukkan kepada


seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi pada kelompok anak sampai dewasa adalah
sebagai penguat kadar antibodi yang telah menurun atau untuk memberikan
perlindungan pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.

Bab IV-1

Program Pengembangan Imunisasi

Sofyan Ismael

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau
expanded program on immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program
PPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen
internasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program UCI secara nasional
dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80% sebelum umur
1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG minimal 90%. Imunisasi yang
termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B. Program imunisasi
melalui PPI, mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen internasional
yaitu,

Eradikasi polio (ERAPO),


Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus elimination -
MNTE),
Reduksi campak (RECAM),
Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices),
Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w).

Cakupan Imunisasi

Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang berarti cakupan
imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,

dan hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bahkan di
setiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten) di Indonesia telah mencapai target UCI.
Jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta.

Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia

Cakupan Cakupan
Jenis Imunisasi 1996/1997 (%) 2003 (%)
1 dosis BCG 99,6 97,7
3 dosis DPT 90,9 90,8
4 dosis polio 85,0 90,4
3 dosis hep.B 62,0 79,4
1 dosis campak 91,7 90,4
2 dosis TT ibu hamil 73,3 71,5
Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruh
dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai
tidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun
melihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari
regional Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun
2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin yang
tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturut-
turut, (3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5) sertifikasi
polio.

Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur 0-59 bulan
yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa melihat status
imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selang
sekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002,
2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN
telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.

Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu dari 3 strategi
eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari Survailans AFP untuk mengetahui
lokasi transmisi virus liar. Upaya untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan
semua anak berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak tersebut serta
kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah kelumpuhan tersebut disebabkan
oleh virus polio atau bukan. Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai
tahun 2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus yang
dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja tidak adekuat. Namun
sejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio berdasar pada
ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga laboratorium yang
telah dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak
tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhir
ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap, Palembang dan
Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus

tipe 1, 2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di Sukabumi
Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio Farma Bandung dan Laboratorium
Virologi Rujukan WHO di Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di
Cidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit di
Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons immunization mopping-up, dan
PIN, sejak februari 2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.

Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan imunisasi polio masal lagi
yang dikenal sebagai outbreak respons immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuan
memutuskan sisa fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,
sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar ditemukan maupun
pada virus polio yang kompatibel.

Masalah yang dihadapi

1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah
melemahkan kinerja program imunisasi rutin, survailans AFP, serta suplemen vitamin A
terutama di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya.
2. Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari negara lain di dalam
regional Asia Tenggara yang belum bebas polio (misalnya India, Afganistan, dan China),
dapat muncul kembali.

3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian
Jaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub Nasional (Sub PIN) yang dilaksanakan
pada bulan September, Oktober 2006 dan februari 2007 bersamaan dengan
imunisasi campak.
Eliminasi tetanus neonatorum (ETN)

Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan Indonesia dari penyakit
tetanus neonatorum, sehingga tahun 2005 tetanus neonatorum tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat lagi. Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologis
berarti menurunkan insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per 10.000 kelahiran hidup di pulau
Jawa-Bali pada tahun 1995 dan seluruh Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angka
kematian tetanus neonatorum menjadi separuh dari CFR (case fatality rate) sebelumnya, dengan
jalan menemukan kasus dan mencari faktor risiko. Eliminasi tetanus neonatorum di Indonesia
telah dilaksanakan sejak tahun 1991. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan risiko
yaitu meliputi status imunisasi TT ibu hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali pusat.
Untuk pelayanan imunisasi tetanus toksoid (TT) dilakukan pada anak sekolah SD kelas VI,
calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untuk
mendapatkan kekebalan seumur hidup, sedangkan untuk meningkatkan pertolongan persalinan
melalui peningkatan pelatihan dan pembinaan dukun bayi.

Reduksi campak

Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak, yaitu penurunan 90%
kasus dan 90% kematian akibat campak dibandingkan dengan keadaan sebelum program
imunisasi campak mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi campak ialah,

1. Imunisasi campak dalam PPI sejak tahun 1982 secara nasional telah mencapai
cakupan 80%,
2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi,

3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak cukup.

Maka strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah,

1. Cakupan imunisasi campak rutin minimal harus > 90%, kepada sasaran campak diberikan
juga vitamin A 100.000 IU.
2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9 bulan sampai 5 tahun
di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung cakupan. Upaya ini dicapai dengan
mengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping diperlukan
untuk membantu Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa.

3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,

a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit dicapai, pemukiman
transmigrasi baru),
b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,

Pada kedua kegiatan di atas, vitamin A dosis 100. 000 IU untuk bayi umur 6-11 bulan dan
200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A
dalam 1 bulan terakhir).

4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa KLB, sasaran. umur
9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua, diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa
melihat status imunisasi sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila dilakukan
dalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga vitamin A untuk anak 9- 11 bulan
100.000 IU sedangkan untuk usia 1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah mendapat
vitamin A dalam 1 bulan terakhir).

5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di seluruh


Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap dalam program BIAS
(bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa).
Daftar Pustaka

1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen Kesehatan


Rl. Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle&
sid=1826&Itemid=2.
2. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan
Imunisasi Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.
3. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

Bab IV-2

Jadwal Imunisasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan, departemen


Kesehatan/ WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.

Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal tahun
2004 yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua. Perbedaan terletak pada penambahan
vaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza
pada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yang
dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007), Pada jadwal 2008
ditambahkan vaksin rotavirus dan HPV (human papilloma virus).
Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk mengurangi penularan hepatitis B
dari ibu ke bayinya sedini mungkin.
Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk mempersingkat jadwal, mengurangi
jumlah suntikan, dan mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasi
DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/ Hib, atau DTaP/Hib/IPV), Departemen
Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB) dalam
PPI.
Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dalam kajian
Badan Penelitian & Pengembangan Depkes ternyata kurang memberikan
perlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak diberikan penguat pada
saat masuk sekolah dasar melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program eradikasi polio, apabila di
Indonesia tidak terdapat lagi virus polio liar (wild polio virus) selama 3 tahun berturut-turut,
besaran cakupan imunisasi polio cukup tinggi (>90%), serta survailans AFP yang baik;
maka untuk imunisasi rutin (PPI) dapat diberikan eIPV (enhanced inactivated polio
vaccine, injectable poilo vaccine). Namun untuk PIN vaksin polio oral tetap merupakan
pilihan
Jadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen Kesehatan yang
baru tetap dapat dipergunakan, bersama jadwal imunisasi IDAI.

Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

BCG

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan
yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada
umur antara 0-12 bulan.
Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun).
VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio
M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini
mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu
struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegah
komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa

1. efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%,


2. sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus
dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%)
walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat ini
WHO sedang mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid jangka
panjang, atau menderita infeksi HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepB
merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui
transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Jadwal imunisasi hepatitis B

ï​¶ Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan
kepada bayinya sebesar 45%.

ï​¶ Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval
imunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi
hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

ï​¶ Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan

status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui,
(2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif.

ï​¶ Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-0 monovalen (dalam
kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-
3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk
mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah.

Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu

ï​¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1 harus diberikan
dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan.
Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya
diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin (HBIg) 0,5
ml sebelum bayi berumur 7 hari.

ï​¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin hepB-1dan HBIg 0,5
ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.

Ulangan imunisasi hepatitis B

ï​¶ Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak dari ibu
pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada
umur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti
HBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola
epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada
usia 5 tahun belum diperlukan. Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar
anti HBs.

ï​¶ Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan

imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali


pemberian (catch-up vaccination).

ï​¶ Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang kan pada umur 10-12 tahun,
apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 µg/ml).

Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan dengan
DTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal
Departemen Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal Depkes dapat
dipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI

Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B*

Umur Imunisasi
Kemasan

Saat lahir HepB-0


Uniject (hepB-monovalen)

2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1

3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2

4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3

*Jadwal Departeman Kesehatan

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di samping vaksin
DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua
vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.

Jadwal imunisasi

ï​¶ Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik
diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4
bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan
satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada

umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Vaksinasi ulangan pada program BIAS

v. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis
(sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat
kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat
rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
v. Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar (pada bulan
imunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat
masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
v. Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk diubah ke vaksin dT
(adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.
Dosis vaksinasi DTP

v. DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.

Pemberian DTP kombinasi

v. Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwP/HepB,
DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.

Tetanus

Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum


(ETN) tahun 2000 belum terlaksana sepenuhnya. Maka pada pemberian vaksin tetanus
beberapa hal perlu mendapat perhatian.

Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi DTP


Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoid
sebanyak lima kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, setiap
wanita usia subur (WUS) telah mendapat perlindungan untuk bayi yang akan dilahirkannya
terhadap bahaya tetanus neonatorum (pemberian vaksin TT WUS dan TT ibu hamil).

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.

v. Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan imunitas selama 1-3 tahun. Tiga
dosis toksoid pada bayi tersebut, setara dengan 2 dosis toksoid pada dewasa.
v. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun
yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3 dosis toksoid.
v. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah, akan
memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun; pada umur
dewasa dihitung setara 4 dosis toksoid.
v. Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun

berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang

imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5

dosis toksoid.

v. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah melalui
kegiatan BIAS.

Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.

OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.


IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.

Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan pada
anak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai
imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksin
DTP, secara terpisah atau kombinasi.

Jadwal

v. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk
mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan
terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan).
Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah
sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.
v. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan, interval antara
dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
v. Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi Polio (PIN) yang
dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapat
imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais
diberikan IPV) untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan
transmisi virus polio liar.

Dosis

OPV diberikan 2 tetes per-oral.


IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat diberikantersendiri
atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV).
Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya
saat masuk sekolah (5-6 tahun).

Campak

Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan dalam,
pada umur 9 bulan.
Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL Departemen
Kesehatan mengenai campak didapatkan,

v. Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah


mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan,
v. Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,
v. Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak,

Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak, sebagai berikut.
Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua
(second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.
Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi
pada tahun 2006 dan 2007.
Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-up
campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS.
Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun;
ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.

Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat burden of disease


namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasi
dianjurkan adalah Hib, pneumokokus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela,
rotavirus, dan HPV.

Haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisi
PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate – konjugasi dengan protein
tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex).

Jadwal imunisasi

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6
bulan) tidak diperlukan.

+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib,
DTaP/Hib/IPV)

Dosis

+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin kombinasi yang
beredar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

Ulangan

+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan.

+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

Pneumokokus

Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus dimasukkan dalam
kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan Rekomendasi Satgas imunisasi
IDAI tanggal 30 April 2006.

Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus


yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23
serotipe disebut pneumococcus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus
generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7).

Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7

Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksin


polisakarida konjungasi (PCV7)

T cell
independent • T cell dependent (memory cell)

Tidak imunogenik
pd umur <2 tahun Imunogenik pada umur
Indikasi: umur> 2 <2 tahun
thn, risiko tinggi Indikasi: anak sehat dan
Mempunyai imunitas anak risiko tinggi
jangka Umur 2 bulan-5 tahun
Mempunyai imunitas
pendek
jangka panjang
Nama: Pneumo-23@ Nama: Prevenar@
(Sanofi (Wyeth)

Pasteur)

Jadwal dan dosis PCV7

Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan interval pemberian sesuai
umur tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7

Dosis pertama Imunisasi


dasar Imunisasi

(bulan) ulangan*

2- 6 3 dosis, interval 6-8


mgg 1 dosis, 12-15 bulan

7-11 2 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan

12-23 2 dosis, interval 6-8 mgg

≥24 1 dosis
*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar Dikutip
dengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.

Cara pemberian

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara intramuskular.

Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu.


Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6 -8 minggu,
tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai > 2000gram.
Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib, HepB, IPV, MMR,
atau varisela, dengan mempergunakan syringe terpisah. Untuk setiap vaksin diberikan
pada sisi badan yang berbeda.

Kelompok risiko tinggi

Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama vaksin PPV23
karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggi
adalah anak yang menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia
kongenital/didapat, disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantung
bawaan dan gagal jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengan
kortikosteroid oral dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuk
sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan imunosupresif atau radiasi
termasuk penyakit keganasan dan transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin


PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59 bulan

Dosis sebelumnya
Dosis PCV7 dan PPV23

4 dosis PCV7 Umur 24


bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan
PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin


PCV7

1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1
dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

1 dosis PPV23 2 dosis


vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg setelah PPV23 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

Belum pernah 2 dosis vaksin


PCV7 interval 6-8 mgg

1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis terakhir.

Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

Influenza

Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI sejak April 2006 dan
telah dimasukkan dalam kelompok vaksin yang dianjurkan, sesuai jadwal Satgas Imunisasi IDAI
periode 2006.

Vaksin influenza

Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe A yaitu
H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi dua
kali setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang bersirkulasi
di masyarakat.
WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi vaksin
influenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan September dan
Februari. Musim influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan bumi
Selatan (Southern hemisphere),
dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern

hemisphere).

Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan utara atau selatan yang diproduksi
oleh produsen vaksin sesuai dengan waktu yang tepat (perhatikan tanggal kadaluarsa
vaksin tersebut).

Jadwal

Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi vaksin belahan utara adalah A/New
Caledonia/20/99(H1N1)-like virus; A/Wisconsin/6 7/2005 (H3N2)-like virus; dan
B/Malaysia/2506/2004 like virus.
Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan, baik anak sehat maupun dengan
risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan diabetes)
Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap tahun terjadi pergantian jenis
galur virus yang beredar di masyarakat. Vaksin tahun sebelumnya tidak boleh diberikan
untuk tahun sekarang.
Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja sosial yang
berhubungan dengan kelompok risiko tinggi

Dosis dan cara pemberian

Dosis tergantung umur anak,

v. umur 6-35 bulan: 0.25ml


v. umur ≥ 3 tahun : 0.5 ml
v. umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval minimal
4-6 minggu, pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis.

Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha anterolateral atau


deltoid.

MMR

Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal interval


6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR.
Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.
MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan dan 6
tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu
diberikan.
Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.

Demam tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral (bakteri hidup
yang dilemahkan).

Vaksin capsular Vi polysaccharide

ï​¶ diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun.

ï​¶ kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara intramuskular

Tifoid oral Ty21a

ï​¶ diberikan pada umur lebih dari 6 tahun

ï​¶ dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5).

ï​¶ imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan
untuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure). Di
samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal, saat ini telah beredar vaksin
kombinasi HepB/HepA.

Jadwal imunisasi

+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka
vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-
up immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapat
imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi HepB yang tidak lengkap.

Dosis pemberian

+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.

+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan

interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid

+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA

720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml

intramuskular.

+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-
12 bulan.

Varisela

Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan perubahan umur
pemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berdasarkan,

1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan imunisasi belum
tinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke dewasa (pubertas).
Akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan anak.
2. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila terjadi
pada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela kongenital dengan
angka kematian yang tinggi.

3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).

Berdasarkan pertimbangan tersebut,


maka imunisasi varisela diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5
tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang tua dapat
diberikan pada umur > 1 tahun.

Jadwal

Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun.


Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah
apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak (catatan: kontak harus segera
dipisahkan).

Dosis

Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.


Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.
Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian

Umur
Vaksin Keterangan

Saat lahir Hepatitis B-1 HB-


1 harus diberikan dalam waktu 12

jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status
HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg
0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg
ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui
bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi


yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan
(untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

1
bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1
bulan,

Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

Umur
Vaksin Keterangan

0-2 bulan BCG BCG


dapat diberikan sejak lahir. Apabila

BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2 bulan DTP-1
DTP diberikan pada umur lebih dari 6

minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secara


kombinasi dengan Hib (PRP-T).

Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib
dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP.

Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan


dengan DTP-1.

PCV-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan

DTP-2 (DTwP atau DTaP)


dapat diberikan terpisah atau
dikombinasikan dengan Hib-2
4 bulan DTP -2
(PRP-T).
Hib -2 Polio-2 diberikan bersamaan
Polio-2 PCV-2 dengan DTP-2

PCV-2 diberikan pada umur 4


bulan

6 bulan DTP -3
DTP-3 dapat diberikan terpisah atau

dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).

Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan


tidak perlu diberikan.

Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan


DTP-3.

PCV-3 PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan

6 bulan
Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk

mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2


bulan, terbaik 5 bulan.

6-23 bln
Influenza Influenza dapat diberikan sejak umur 6

bulan

Umur
Vaksin Keterangan

9 bulan Campak
Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan,

Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun.


Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidak
perlu diberikan.

12 -15 bl PCV-7
Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15

bulan

Apabila sampai umur 12


bulan belum mendapat
imunisasi campak, MMR
MMR dapat diberikan pada
15-18 bulan umur 12 bln
Hib-4
Hib-4 diberikan pada 15-
18 bulan (PRP-T atau
PRP-OMP).

18 bulan DTP-4 DTP-4


(DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun

setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib

Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan


DTP-4.

2 tahun Hepatitis A
Vaksin HepA direkomendasikan pada

umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.

2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoid


polisakarida injeksi direko‑

mendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi


perlu diulang setiap 3 tahun.

5 tahun DTP-5
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun

(DTwP/DTaP)

Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan


DTP-5

Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 5


tahun.

6 tahun MMR
Diberikan untuk catch-up immuniza‑

tion pada anak yang belum mendapat MMR-1.

10
tahun dT/ TT Menjelang pubertas vaksin tetanus
ke-5

(dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25


tahun.

Umur
Vaksin Keterangan

10 thn
HPV Vaksin HPV diberikan pada perempuan

berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3 kali, dengan jadwal agak


berbeda untuk vaksin bivalen (HPV 16, 18) dan kuadrivalen (HPV 6, 11,
16, 18).

Vaksin bivalen kedua disuntikan 1 bulan setelah suntikan pertama, sun-


tikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.

Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan 2 bulan setelah suntikan pertama,


suntikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.

Daftar Pustaka

1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WB
Saunders, 2004.
2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics. Illinois;
Amerika Serikat, 2006.
3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global public
health security in the 21st century. Diunduh dari:
http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.
5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London:
Blackwell Science, 2001.
6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006

7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003

Bab IV-3

Jadwal Imunisasi Tidak

Teratur

Dahlan Ali Musa

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah
disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang
sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan
respons imunologis sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mencapai hasil yang optimal.
Dengan perkataan lain, anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena belum mendapat
imunisasi yang lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih di bawah ambang
kadar yang memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar antibodi yang
bisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long immunity)
sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal
imunisasi dengan melengkapi imunisasi yang belum selesai.

Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung panjang

Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang daya
perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, maka
keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan mengakibatkan
meningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikan
maka risiko terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut akan hilang
atau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat
menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup baik karena sistem imunitas
tubuhnya sudah lebih matang.

Belum pernah mendapat imunisasi

Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyai
antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila usia anak sudah berada di
luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi maka imunisasi
harus diberikan kapan saja, pada umur berapa saja sebelum anak terkena penyakit tersebut,
karena dia sangat sedikit atau sama sekali belum punya antibodi.

Imunisasi multidosis dengan interval tertentu

Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan interval waktu tertentu agar kadar
antibodi yang diinginkan tercapai (di atas ambang perlindungan) seperti vaksin DPT, polio, Hib,
pneumokok konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B, keterlambatan atau memanjangnya interval
tidak mempengaruhi respons imunologis dalam membentuk antibodi. Jumlah pemberian
imunisasi tetap harus dilengkapi supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak
terlindung dari penyakit. Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar antibodi yang
memberikan perlindungan.

Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang daya perlindungannya
terbatas hingga kurun waktu tertentu saja (setelah itu kadar antibodi berada di bawah
ambang perlindungan), sehingga membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkan
kembali kadar antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau tidak dilakukan, maka
kadar antibodi yang sudah rendah itu (terutama pada anak-anak yang tidak pernah
mendapat infeksi alamiah) akan meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut.

Status imunisasi tidak diketahui atau


meragukan

Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan, misalnya dokumentasi
imunisasi yang buruk atau hilang, menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudah
dan belum diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan (susceptible) dan harus
diberikan imunisasi yang diperkirakan belum didapat. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
pemberian vaksin MMR, varisela, Hib, hepatitis-B, campak, DPT atau polio yang berlebih akan
merugikan penerima yang sudah imun.

Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur

Vaksin
Rekomendasi bila vaksinasi terlambat

BCG Umur < 12 bulan, boleh


diberikan kapan saja.

Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu
uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0.1 ml intrakutan

DPwT atau Bila dimulai dengan


DPwT boleh dilanjutkam dengan

DPaT DPaT.

Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT walaupun vaksin tersedia.

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatan
dari pemberian sebelumnya.

Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan, imunisasi diberikan sesuai
imunisasi dasar, baik jumlah maupun intervalnya.

Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka pemberian ke-5
secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4
tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi.

Polio oral Bila


terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/
interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya.

Vaksin
Rekomendasi bila vaksinasi terlambat

Campak Pada umur


antara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saat
bertemu.

Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR

Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin campak/MMR
diberikan kapan saja saat bertemu melengkapi jadwal

MMR Bila sampai dengan


umur 12 bulan belum mendapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan saja
setelah berumur 1 tahun

Hepatitis B Bila terlambat,


jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi
seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari pemberian
sebelumnya.

Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi, bisa
mendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung.

Hib Umur saat ini Riwayat


Rekomendasi

(bulan) vaksinasi imunisasi

6 – 11 1 dosis
1x umur 6–11 bulan

Ulang 1x setelah 2 bulan atau umur 12 – 15 bulan

12 – 14 1 dosis sebelum umur 12 bulan

Berikan 2 dosis, interval 2 bulan

15 – 59
Berikan Jadwal tidak lengkap
1 dosis

P n e um o - Umur saat
ini Dosis Keterangan

kokus (bulan) Vaksin

7 – 11
3 dosis 2 dosis, interval 4 minggu.

Dosis ke-3 setelah umur 12 bulan, paling sedikit 2 bulan setelah


dosis ke-2

12 – 23 2 dosis Interval paling sedikit 2

bulan

>24 - 5th 1 dosis

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.

Bab IV-4

Imunisasi Anak Sekolah,

Remaja dan Dewasa

I G N Ranuh

Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu dengan paparan
lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian usia balita masih sekitar 56 per
1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang menurun dan
meningkat lagi pada usia yang lebih lanjut.

Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi nasional sudah
sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karena
dilaksanakannya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November setiap
tahunnya. Hanya penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan karena
imunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB sekunder lainnya seperti
milier dan spondilitis TB sudah jauh berkurang.

Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir ini, penyebab
utama kesakitan dan kematian telah mengalami perubahan seperti yang dilaporkan di
dalam SKRT1995 dengan bergesernya penyebab kematian karena infeksi ke penyakit
kardiovaskuler, terjadinya cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karena
obat-obatan terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun demikian,
laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah), penyakit
infeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut seperti kolera dan
penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa atau wabah, seperti demam
berdarah dengue masih merupakan hambatan utama dalam tumbuh kembang menuju
dewasa.

Keterlambatan Imunisasi Dasar

Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang seharusnya namun
anak belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP 4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-
2 bulan dan ke-4 diberikan 6 bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun,
diberikan dT (adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap 10 tahun.

Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10 tahun setelah dosis terakhir.
Meskipun demikian seorang anak yang telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan
terjangkitnya penyakit batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja. Kebutuhan booster
pertusis pada usia remaja dan dewasa masih menjadi lahan penelitian.

Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps, rubella), imunisasi tersebut
dapat diberikan pada semua umur di atas satu tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita
penyakit campak maupun gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR,
karena dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksin MMR
terutama menjadi penting untuk wanita usia subur karena komponen rubela yang ada di
dalamnya dapat mencegah rubela kongetial apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelah
pemberian MMR diperlukan uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru
dapat dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang mengandung
virus hidup dapat mengurangi sensivitas terhadap tuberkulin.

Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat diberikan secara
simultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari. Vaksin hidup yang kedua harus
diberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang pertama (rekomendasi Advisory
Committee

on Immunization Practices).

Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa

Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua
jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk
dipantau dalam upaya pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit dalam kehidupan menuju
dewasa.

Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan, urin, maupun darah
dan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan sekolah, infeksi dapat terjadi di antara para
siswa sekolah melalui jalan nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai lahan
penularan penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa
mengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi penularan melalui fekal-oral
dan urin.
Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah harus memiliki
catatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah terutama tentang penyakit yang
masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6 tahun, booster harus sudah diberikan terhadap
penyakit difteria, tetanus dan polio. Secara luas telah dilaksanakan sebagai program BIAS.
Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanya
pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah ambang
pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl), ulangan perlu diberikan.
Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan antibodi. Data terakhir
mengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan mengurang dari tahun ke tahun,
tetapi ternyata memori imunitas (anamnestic anti-HBs response) tetap bertahan
selamanya setelah mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs sudah
menurun sekali bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara klinis
dan sakit kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yang
jelas telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.

Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1.


Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan karena adanya
kebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan SMP untuk membeli makanan dan
pedagang kaki lima di sekolah yang tentunya kurang dapat dijamin kebersihannya.
Pada usia pra-remaja (10-14 tahun) khususnya anak perempuan diperlukan
vaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk mencegah kemungkinan terjadi
tetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan.
Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman pada usia dan
tidak pada berat badan. Meskipun berat badan melebihi orang dewasa dosis
vaksin hepatitis A tetap dengan dosis anak seperti halnya pada vaksin hepatitis B
karena response rate ternyata lebih tinggi dari orang dewasa meskipun berat
badannya melebihi normal.
Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia di atas 50 tahun khususnya
kepada orang yang berisiko tinggi seperti yang bekerja di lingkungan kesehatan (dokter,
perawat) dan menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma. Imunisasi rubela
diberikan pada wanita usia subur (tidak sedang mengandung) terutama pada mereka
dengan seronegatif.
HPV

Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi HPV, untuk mencegah infeksi
HPV yang menetap lama (persisten) pada leher rahim yang dapat berkembang menjadi kanker
leher rahim.

Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa

Vaksin
Indikasi Imunisasi Kontra indikasi

Perlu 3 dosis
Hepatitis B Individu berisikoAdolesen: 1/2
dosis dewasa Reaksi
Cacat mental Hemodialisis Diberikan 2 anafilaktik
Remaja belum pernah mendapatkan imunisasi kali (usia 11-
19 tahun)

Remaja/
dewasa
Remaja yang sudah
yang belum
imun: 2
pernah
dosis IPV IPV: reaksi
imunisasi
dengan anafilaktik
Pekerja
kontak interval 4-8 setelah dosis
kontak interval 4-8
minggu. sebelumnya
dengan
Polio (IPV atau OPV) Alergi
pasien polio Dosis ke-3: terhadap
Dewasa 6-12 bulan. streptomisin,
yang belum
polimiksin B,
imun & Bagi yang neomisin
anaknya belum imun
diberikan diberikan
OPV dosis
imunisasi
dasar

Varisela Semua usia yang

belum vaksinasi /sakit

Seronegatif
Guru TK, petugas TPA, mahasiswa kedokteran
Wanita usia subur yang tidak hamil
Individu yang seringkali ke luar negeri

<13th: 1 dosis

13 tahun: 2 dosis interval 4-8 minggu

Dosis: 0,5 ml (s.k)

Alergi anafilaktik terhadap gelatin/ neomisin


Menderita TB aktif
Mendapatkan terapi imunosupresif
Imunodefisiensi
Menderita kelainan kongenital
Wanita hamil

Vaksin
Indikasi Imunisasi Kontra

indikasi

Tinggal di
daerah
endemik
Mengidap
peny. Dosis 2 kali,
selang 6-1 2
kronik Peka terhadap
bulan Dewasa:
aluminium & bahan
Hepatitis A Mengidap 1,0 ml
gangguan pengawet
Usia 2-1 7 tahun:
pembekuan
0,5ml
darah
Petugas
saji/memasak
Homoseksual

DTP /dT • Mempunyai


Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu penyakit
Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu
syaraf
Remaja 11 -12th/ Dosis: 0,5 ml (i.m) Hyper-
Booster setiap 10 tahun sensitif
14-16 tahun apabila 5 tahun sebelumnya belum
mendapat DTP/dT berat
Petugas kesehatan Usia >
6 bulan dengan
Influenza •kardiovaskular/paru kronik
termasuk asma Usia > 6 Dosis: 0,5 ml
•bulan dengan peny (i.m)
metabolik (diabetes), ggn
Anafilaksis
•fungsi ginjal, Diberikan
terhadap telur
hemolobinopati. defisiensi sekali
• •imun Ibu hamil trimester 2-3
(saat outbreak) Usia 50 setiap tahun
•tahun ke-atas Usia 6 bln-
18 thn mendapat terapi
aspirin jangka panjang

Vaksin
Indikasi Imunisasi Kontra

indikasi

Usia 65 tahun
ke-atas
Anak >2 tahun
dengan
penyakit
kardiovaskular/Perlu 1
paru kronik, dosis
termasuk Dosis: 0,5
gagal jantung ml
kongestif, sakit (i.m/s.k)
hati kronik. Dosis ke-
iabetes, 2 perlu Hati-hati
alkohol, pada
Pneumokokus kardiomiopati, pada hamil
COPD atau risiko trimester
emfisema Usia tinggi pertama
> 2 tahun sedikitnya
dengan 5 tahun
gangguan
fungsi limpa, setelah
penyakit darah suntikan
berat. gagal pertama
ginjal,
transplantasi
organ,
mengidap HIV

Rubela • Khusus wanita yang

belum mendapatkan imunisasi rubela

Mereka dengan risiko paparan penyakit rubela

2 dosis
Terapi
Campak selang 1
Remaja/ dewasa imuno-
& bln
Memiliki risiko supresif
Gondong- Dosis: Hamil
tinggi
an (MMR)
0,5ml, sub
TB aktif
kutan
Wanita yang belum/ tidak
terinfeksi HPV:

Semua wanita usia 10-26 tahun


Semua wanita usia 26-55 tahun dengan hasil pap smear (-)

Diberikan dalam 3 kali pemberian, pada bulan 0, (1-2), 6 bulan secara intramuskular. Tidak

diperlukan booster.

Hamil Hipersensitivitas

Daftar Pustaka

1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001


2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta,
Depkes & Kesos, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter
Kluwer Health, Inc. 2006.
4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer
2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm
5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of
Pediatrics. 2006.
6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.

7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts.


http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm

Bab V

Vaksin pada Program Pengembangan

Imunisasi (PPI)

Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG)

5-2. Hepatitis B

5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP) 5-4. Poliomielitis

5-5. Campak

Pen gantar

Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI di Indonesia telah
mencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga. Sesuai kesepakatan global, perlu diingat
bahwa cakupan vaksin PPI harus dipertahankan tetap tinggi di seluruh pelosok negeri sebelum
pemerintah memutuskan untuk menambahkan vaksin lain dalam PPI.

Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap menganjurkan pemberian
BCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir
sangat dianjurkan untuk Indonesia yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untuk
mengurangi KIPI vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP
dapat diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain (dengan
hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan (inaktif) dapat diberikan
sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi ulangan (penguat) vaksin campak
diberikan pada saat masuk sekolah dasar, namun apabila telah diberikan MMR pada umur
setelah 15 bulan maka ulangan campak tidak diperlukan lagi.

Bab V-1

Tuberkulosis

Nastiti N.Rahajoe

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium


bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paruparu, tetapi dapat juga mengenai
organ-organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain.
Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit
tuberkulosis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium
tuberculosis terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji
tuberkulin.

Epidemiologi

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan terdapat 7.433.000 kasus TB
di dunia dan terbanyak di Asia Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan
tiga besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+) sebesar
0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 mendapatkan bahwa
TB adalah penyebab kematian ke empat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematian ke dua di negara kita, sesudah penyakit kardiovaskular.
Dari penelitian di 6 propinsi antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka prevalensi antara 0,21%
(DI Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap
tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB, dan terdapat 450.000 kasus TB baru setiap
tahunnya. Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun, separuhnya tidak terdiagnosis
dan baru sebagian kasus tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang
dilaksanakan pemerintah.

Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang diperkenalkan oleh
world bank, TB merupakan 7,87% dari total disease burden di Indonesia. Angka 7,7% ini
lebih tinggi dari berbagai negara di Asia lain sekitar 4%.

Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai rumah sakit di Indonesia
angka perawatan TB berat (TB milier, meningitis TB) masih tinggi.

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis
yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen
tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas
terhadap tuberkulin. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai sensitivitas terhadap
tuberkulin yang terjadi berkaitan dengan imunitas yang terjadi.

Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT. Biofarma Bandung.
Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak
mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti
meningitis TB dan tuberkulosis milier.
Vaksin BCG diberikan pada umur <2 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux
(tuberkulin) negatif.
Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0–
80%, berhubungan dengan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang
dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi
dan lain-lain).
Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir.
Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8° C, tidak
boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

Tuberkulosis

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG

Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3
minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan
meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka
ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut
yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).

Limfadenitis

Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG.
Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan
sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula
maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral.
Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak efektif.

BCG-itis diseminasi

BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat.


Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi
ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG

Reaksi uji tuberkulin >5 mm,


Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat
pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
Menderita gizi buruk,
Menderita demam tinggi,

Menderita infeksi kulit yang luas,


Pernah sakit tuberkulosis,
Kehamilan.

Rekomendasi

BCG diberikan pada bayi <2 bulan


Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA)
+3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang
bayi dapat diberi BCG.

BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi, misalnya
HIV, gizi buruk dan lain-lain.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional


penanggulangan tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000.
2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006.
WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/
pdf/full_report_correctedversion.pdf).
3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in health-
care settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).
4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC —
MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.
5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second edition).
WHO 2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/
WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)
6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the

United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).

7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment

of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).

Bab V-2

Hepatitis B

Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat
ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak
umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan
menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS
disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di
lain pihak, terapi antivirus belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi
secara vertikal atau pada usia dini.

Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada awal masa kanak-kanak
baik secara vertikal maupun horisontal. OIeh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHB
adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan
upaya yang paling efektif dalarn menurunkan prevalens VHB dan KHS.

Epidemiologi

Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg pada donor (1994) adalah
9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%).

Pen u laran

Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius. Transmisi terjadi melalui
kontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. Transmisi antar anak
merupakan modus

yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan bertahan di
permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular.
Darah bersifat infeksius beberapa minggu sebelum awitan, menetap selama fase akut
berlangsung. Daya tular pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg
positif.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak
memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi oleh
faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang
terinfeksi saat lahir, oleh 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5%
anak besar dan orang dewasa.Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai
pada individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi HIV, terapi
imunosupresi, hemodialisis).

Pencegahan

Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara garis besar,
upaya pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.

Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen
kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan
pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex,
penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir),
menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu risiko
tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah
imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga
pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil menurunkan prevalens
infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia, Alaska, Polynesia.

Imunisasi Pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi
meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan).1,5,14

HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak seksual,
bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan
bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.

Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Tatalaksana bila sumber


Kontak penularan
yg HBsAg
terpapar(+))
HBsAg

Imunisasi (-) HBIg & vaksin


atau Vaksin atau periksa

Periksa anti HBs bila anti HBs bila tergolong

tergolong risiko tinggi * risiko tinggi

Tidak perlu
Imunisasi (+) Tidak perlu profilaksis
Responder profilaksis
Bila sumber
Imunisasi (+) HBIg 2x (jarak 1 penularan risiko
bulan) atau
Non tinggi VHB,
responder HBIg & vaksin perlakukan seperti
HBsAg + (*)

Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml)


dalam 48 jam pertama setelah kontak

Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-31% kontak
mengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel 5.1).
Kebijakan kontak seksual tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).

Kontak yg terpapar

Imunisasi (-) atau anti HBs

Sumber Penularan : VHB Akut

HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg vaksin atau Periksa anti HBs bila risiko tinggi

Sumber Penularan: Carrier

HBIg dan Vaksin atau periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi

Imunisasi (+) Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis

Lupa : periksa anti HBs

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg;


maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda, dalam
waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan
kronisitas. Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.

Imunisasi aktif

Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri vaksin dan dengan
dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti
HBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.

Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi diberikan di anterolateral
paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid.

Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?

Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu


Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
Pasien hemodialisis

Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang


Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan
seksual
Drug users
Homosexuals, bisexual, heterosexuals

Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel
sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program
imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat.

Minimal diberikan sebanyak 3 kali


Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi paling
optimal
Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval
antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer
antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).
Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.
Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4 - 12 bulan),
semakin tinggi titer antibodinya.
Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.
Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi
kedua.
Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan.

Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan dosis sesuai umur (age-specific
dose) yang dapat menim bulkan respons antibodi yang optimum. Oleh karena itu, dosis yang
direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada bayi,
dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.

Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan.

Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir.

HBsAg ibu
Imunisasi keterangan

Positif HBIg (0.5


ml) dan Dosis 1: <12 jam

Vaksin HB pertama

Negatif atau Vaksin HB Dosis I: Segera setelah

tidak diketahui* lahir

Status HBV ibu semula tidak diketahui

tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu

HBV, segera beri HBIg


Pada pasien koagulopati penyuntikan
segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil (no ≤ 23). tempat
penyuntikan ditekan minimal 2 menit.

Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau berat
badan sudah mencapal 2 kg.

Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum
pernah diimunisasi atau terlambat > dari 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada
imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara
dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu
atau 16 minggu sesudah dosis pentama.19

Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90%-95%.
Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anak
normal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster.5,12,17,18

Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanya
berlangsung selama titer anti HBs ≥ 10 mIU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun menjadi <10
mIU/ml.

Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer,
diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg positif). Tambahan satu kali
vaksinasi menyebabkan 15%-25% non responder memberikan respons antibodi yang
adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben tuk antibodi
yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi serokonversi, tidak
perlu imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-ca imunisasi tidak
dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh
profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi
pas-ca irnunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang
memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromis. Uji serologis,
pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-3.

Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat
sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB.
Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.

Daftar Pustaka

1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis B.


2002.
2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Disease
in children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB, Halsey
NA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the committee on
infectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001;
34 (6): 1225 -41.

5. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule. MMWR


2003, 52(4): Q1-4.
6. Mast E, Mahoney F, Kane M, et al. Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, editors. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of
occupational exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for
postexposure prophylaxis. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR-
11):1-54.
8. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of
Hepatitis B Virus Infection in the United States. Recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants,
Children, and Adolescents. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report.
2005;54(RR16);1-23
9. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations needed
for lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.
10. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study
of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
2004:39:857-61.

Bab V-3

Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP)

Qla* . QumuelaAa, Q5ri RexeAi Q5. Qadi*egoio

Difteria

Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari
bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini diperkenalkan pertama
kali oleh Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6
oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien difteria tahun 1883
oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat
sekitar tahun 1920.

Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman
tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin.
Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteri
yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis adalah
yang paling virulen.

Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan
memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi
jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas.
Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan
dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan
neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.

Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian merupakan akibat langsung dari
toksin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan
lokal.

Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada kelompok usia di
bawah lima tahun.

Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda di Amerika Serikat pada
tahun 1891. Pemberian antitoksin ini dimaksudkan untuk mengikat toksin yang beredar
dalam darah, dan tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada jaringan
tertentu. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan pengobatan
antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik isolasi
ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan jalan perlu
diberikan segera bila diperlukan.

Pertusis

Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad 16,
menurut laporan Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru dapat
diisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukan
vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan
penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun).

Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif dan membutuhkan media
khusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis
(PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin,
dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit pertusis dan
kekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut akan menyebabkan serangan
penyakit yang ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis tidak
bersifat permanen.

Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan
(melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut
sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi
menyebabkan sumbatan jalan napas dan pneumonia.

Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis
Komponen

toksinAktifitas biologik Peran antibodi

Pertusis toxin
Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran

(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral

pada binatang percobaan. Mencegah gejala klinis pada

Limfositosis

Aktifasi sel pankreas Merangsang sistem imun

Filamentous Memegang peran


untuk Mencegah kerusakan saluran

hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan

(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang

nafas percobaan

Pertactine 69-
Nonfimbrial Memicu pencegahan

kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas

berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang

kerja adenylcyclase percobaan)

Memicu pencegahan
Aglutinogen Surface antigen
infeksi pada saluran
berhubungan dengan fimbriae untuk nafas oleh B. pertussis
melekatnya B. pertussis pada sel epitel (binatang percobaan)

Adenylcyclase
Menghambat fungsi Belum diketahui
fagositosis

Tracheal Menyebabkan
ciliary Belum diketahui

cytotoxin stasis dan cytopathic

effects pada mukosa trakea

Sumber: Centre for Disease Control,


1994.

Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas
akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk
paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk
seperti ini, pasien akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang.
Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan dapat
menderita batuk namun tanpa disertai suara whoop.

Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena pertusis termasuk
komplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial,
gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi
ringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibat
tekanan intraabdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis, hernia,
perdarahan konjungtiva, pneumotoraks dan lainnya.

Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya eritromisin,
dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat. Pemberian pengobatan eritromisin
untuk pencegahan pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan.

Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh eksotoksin yang
diproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM,
namun baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien
tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat
dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato (1889), sedang Nocard (1897)
mendemonstrasikan efek dari transfer pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif
selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924 oleh

Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia ke II.

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik, gram positif
yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini sensitif terhadap
suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora
tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora tetanus
dapat tetap hidup dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 10-15 menit. Kuman tetanus
terdapat di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing,
tikus dan lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan
dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin (tetanospasmin) dan
disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin tetanus kemudian akan menempel pada
reseptor di sistem syaraf. Gejalautama penyakit initimbul akibat toksin tetanus
mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi.
Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan sistim
syaraf otonom.

Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yang
bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi antara lain laringospasme, infeksi
nosokomial, dan pneumonia ortostatik. Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi yang
merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga (OMSK) merupakan
pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baikaktif maupun
pasif.

Vaksin DTP

Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan diproduksi secara komersial
tahun 1892. Penggunaan kuda sebagai sumber anti toksin dimulai tahun 1894. Pada mulanya
anti toksin

difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan


diragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa efikasi pemberian anti toksin untuk
pengobatan difteria terutama dengan mencegah terjadinya toksisitas terhadap
kardiovaskular. Pemberian antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat
difteria, sesuai laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi pada kelompok yang menerima
antitoksin pada hari pertama dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada kelompok
yang mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era pencegahan difteria dimulai
dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai ramuan imunisasi, yang
ternyata tidak efektif.

Vaksinasi DTP

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid)
yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.

Vaksin DTP

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah
jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat
dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml.

Jadwal

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6,15-18
bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-
kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian vaksin pertusis

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer
lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Dalam penelitian
terhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made Setiawan (1992)
melaporkan bahwa (1) 71% - 94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar
antibodi protektif terhadap difteria, (2) pasca DTP 3 kali didapatkan 68% - 81% telah
memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalam
laporan program pengembangan imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi
mempunyai antibodi 0,1545 (0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalan
sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang
penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan
kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Tosoid difteria

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini
pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)
sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian
tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk
menekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah dilakukan
beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut, yaitu (1) meningkatkan kemurnian
toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garam
aluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup
efektif untuk mendapatkan imunitas.

Toksoid Pertusis

Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam serum
neonatus dengan konsentrasi sama dengan

ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini ternyata tidak
memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah vaksin yang merupakan
suspensi kuman B. pertussis mati. Pada awalnya vaksin ini sering tercemar dengan
campuran mikroflora saluran nafas lainnya. Vaksin wP (whole-cell pertussis) awalnya
dibuat di Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik.
Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan
tetanus (DTP). Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak
1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel
(aselular)yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal
dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan
debris. Di Jepang telah dimulai upaya untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanya
mengambil komponen toksin yaitu FHA, pertactine, pertussis train dan aglutinogen
untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak 1981 di Jepang dengan
hasil baik.

Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP

Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh
(42,9%) penerima DTP.
Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di antaranya dapat mengalami
hiperpireksia.
Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan
(inconsolable crying).
Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yang
dihubungkan dengan demam yang terjadi.
Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh

pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP

Derajat Gejala
klinis Resipien (%)

Ringan Reaksi
lokal 10-50

Demam >38,5oC 10-50

Iritabel, lesu, sistemik 25-55


Berat Gejala klinis
Onset

interval Per dosis Per juta

dosis

0-24
Menangis >3 jam 1/5-1.000 1.000-
jam
(inconsolable crying) 60.000
1/1750-
Kejang 0-2 hari 80-570
12.500
0-24 1/1000-
Hypotonic hyporesponsive 30-990
jam 33.000
Reaksi anafilaktik 1-1 1/50.000 20
Ensefalopati jam 1/50.000 20
1-2 hari

Indikasi kontra

Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberian
vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu

Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya


Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya sebelum
pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.

Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak

berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan pasca imunisasi, atau
alergi terhadap vaksin bukanlah

suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun

demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus

dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan risiko


pemberiannya.

Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi terhadap imunisasi dasar
dengan vaksin pertusis whole cell tergantung pada kadar antibodi maternal yang
didapat dari ibu. Sebaliknya respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin
aselular memberikan hasil baik dan tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi maternal
pravaksinasi. Made Setiawan (1992) melaporkan serokonversi antibodi protektif
terhadap pertusis pada 65,8% bayi setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedang
peneliti lain di Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%.

Vaksin Pertusis a-seluler

Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari
Bordettellapertusisyanq dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan
perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara
klinis.

Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular

Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini walaupun
mempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya data kejadian ikutan pasca
imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang serius(termasukensefalopati)yang bersifat
temporal association.
VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas terhadap anti PT, anti
FHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi.
Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada
umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.

Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah
daripada DTwP.

Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP

Gejala KIPI DTaP DTwP


Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
Demam > 38.0oC 72 406
> 40.0oC 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic
0,07 0,67
hyporesponsive
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22

Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med,


1996

Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP

Vaksin Dosis Kejadian


ikutan pasca imunisasi (%)

Nyeri Kemerahan Bengkak


Demam Demam

>2 cm >2 cm >38,5OC >39oC

DTaP 1275 2,5 0,1 0 9,9 0,2


DTwP 455 19,1 1,1 1,3 42,2 1,3

Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro J


Ped, 1993

Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasi
pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkan
orang dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak.
Vaksin DTwP dan DTaP dapat dipergunakan secara oergantian (interchangable) apabila
keadaan mendesak
Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (Bab VIII
Vaksin Kombinasi).

Toksoid Tetanus (TT)

Dosis dan kemasan

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap
dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis.
Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteria dan
atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib
dan hepatitis B.
Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian
berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan
pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat, sebab sudah terbukti
bahwa respons imun yang diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah sama
dengan interval yang pendek. Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup baik.
Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap
bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu
cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.

Jadwal

Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi.


Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau lebih, hal ini
juga terbukti pada penelitian bayi-bayi di Indonesia.
Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis,
pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.
DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu,
disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang respons
terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya
antibodi maternal.

DT dan dt

Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap vaksin
pertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada pemberian
sebelumnya. Hati-hati bila pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat:
hiperpireksia, hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah
pemberian DTP.
Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah (4 Lf) daripada vaksin
DTP (40 Lf), tetapi toksoid tetanusnya sama (15 Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umur
lebih dari 7 tahun, untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena toksoid difteri.

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization. Dalam:
Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra:
NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th
ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005
global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.
2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th
ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.

7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of the


Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American
Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-2):1–
35.
8. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of
tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).
MMWR Recommm Rep. 2006;55(RR-3):1–50.
9. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria and
Pertussis (Tdap) Vaccine for Adults. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/ tdap_adult_recs.pdf.
10. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In:
PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;
2004:745- 81.
11. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance –
United States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.
12. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in developing
countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Initiative. Vaccine.
2003;21:3442-5.
13. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus
toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations of
the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.
2006;55(RR-3):1-34.
14. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 report
of the Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American Academy
of Pediatrics; 2003. p. 498-520.
15. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines.
4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.
16. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxis
of pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.

17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.

Bab V-4
Poliomielitis

Hariyono Suyitno

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti
medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalis
yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang
berasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian
bawah (ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis.
Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun
kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim
panas dan gugur. Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat
lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis menurun
setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar
ditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio
vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun

1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi

Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenal
tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila
terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.

Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio liar
berhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat, eliminasi polio sejak tahun 1991.
Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di
seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus
polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun
tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yang
menderita defisien sistem imun.

Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal. Pada
beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim
panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio
sangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversi
lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah
timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.

Eradikasi Polio (ERAPO)

Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat pertemuan anggota WHO
pada tahun 1988 yang mencanangkan bebas penyakit polio tahun 2000. Dalam program
ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi,

meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin


melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN)
melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus polio liar
(wild virus) dan
melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang mantap.

Data dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV dapat
dipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah konflik dan terpencil cakupan
imunisasinya rendah.

Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu tahun 1995,
1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100% target sekitar 20 juta balita
pada tiap NID. Pada hari PIN tersebut telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di
seluruh Indonesia.
Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir menunjukkan bahwa dari
pemeriksaan laboratorium hanya ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2,
dan 3) pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio liar.
Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah dilakukan mopping up
pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan.
Disamping itu masih dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10 kecamatan
yang surveilans AFP-nya rendah.
Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua kasus AFP pada
anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan dilaporkan, yang kemudian tinjanya
diambil dalam waktu 24 jam untuk diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun terus
meningkat dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90 dan pada
tahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak situasi politik dan sosial
ekonomi saat itu yang tidak stabil.
Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai saat ini tidak ditemukan
lagi virus polio liar. Maka secara virologis Indonesia telah bebas polio, namun hal ini belum
cukup dan masih harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasil
ditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate meningkat kembali
lebih dari 1.

Pada bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus lumpuh
layuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri Jaya (kecamatan Cidahu,
Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah mendapat imunisasi polio. Pada
pemeriksaan tinja oleh laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di Mumbai
India, menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain (galur) yang
sama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka disimpulkan bahwa VPL (virus
polio liar) tersebut berasal dari luar (impor).
Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena transmisi
setempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa sekitarnya dijumpai 13
anak dengan onset lumpuh layuh hampir bersamaan
Tahun 2005 merupakan tahun munculnya kembali kasus polio (outbreak), sejak
Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303 kasus dengan VPL
positif, yang terbanyak propinsi Banten dan Jawa Barat. Tindakan untuk mengatasi ini
ialah melakukan outbreak respons immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi mopping
up di beberapa desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran
(bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April 2006) serta
melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh Indonesia.
Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil menekan kasus polio,
yang sepanjang tahun 2006 ini hanya ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di Aceh
(NAD) dan di Jawa Timur masing-masing satu kasus. Disamping kasus AFP yang
disebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang disebabkan oleh VDPV
(virus derived polio vaccine) di Madura.

Patogenesis

Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat
implantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan
di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu setelah timbulnya
penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus
dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid
setempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat.
Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis dan batang otak
mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis

Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari. Respons
terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala atau
asimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitik
bervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala
mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar 4% - 8%
dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis atau
laboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis
abortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang dari seminggu.

Meningitis aseptis non paralitik

Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh gejala prodomal
penyakit ringan yang berlangsung beberapa

hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dan
kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.

Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala kelayuhan
umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan berlangsung 2-3 hari. Pada
umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada fase
prodromal dapat terjadi bifasik terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala
ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala
prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks
tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan
punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam,
keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat,
kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak
anak dengan poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali pada
tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit pertama kali
akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.

Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok,

1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik yang tercatat dari tahun
1969–1979 di Amerika Serikat. Terjadi paralisis asimetris yang sering pada tungkai bawah.
2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik mengakibatkan kelumpuhan
otot-otot yang dilayani oleh saraf kranial

3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan merupakan kombinasi antara
paralisis bulbar dan spinal.

Diagnosis laboratorium

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis.
Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide mapping (finger
printing) atau genomic sequencing. Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk
virus liar atau virus vaksin.
Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi (neutralizing
antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saat
penderita masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak
diketahui.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi kenaikan
jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan
kadar protein ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml.

Vaksi n

Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV)

Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe
1,2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan(attenuated).
Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap
dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0 CCID50 dan
tipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebih
dari 10 mcg.
Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksin
ini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam
darah

maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus
polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi polio
virus liar dalam masyarakat dapat dikurangi.

Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk bersamaan, maka sangat
berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan
dalam tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV.
Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis
berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio.
Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC.
Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi
disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departeman
Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi
imunisasi (pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO
membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-
sesi imunisasi, bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi:

v. tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui


v. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8oC)
v. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh petugas
Puskesmas.

Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur <-20oC. Vaksin yang beku
dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-
gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda (sebagai
indikator pH).
Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat
dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal
kadaluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)

Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan
dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut dijumpai dalam jumlah kecil
selain formaldehid juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B.
Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-80C dan tidak boleh dibekukan.
Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut
dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka
panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.
Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang
ditimbulkan oleh OPV.

Rekomendasi

Imunisasi primer bayi dan anak

Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai dengan PPI
dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3
bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu.
Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat
diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang
diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan
imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak
mereka yang dekat harus diimunisasi dengan IPV.

• Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin
selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi.
Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV
supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.

Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi

Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya
dan mendapat kontak anak-anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan
vaksinasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal
ini tidak boleh diberikan IPV, mengingat risiko infeksi yang didapat dari anak dapat
terjadi sebelum antibodi terbentuk sebagai respons terhadap IPV. Kepada orang
dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat
(booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat
menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi.

Imunisasi penguat (booster)

Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat dosis
DPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun
atau sebelum meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon jemaah haji dan umroh di
bawah umur 15 tahun, harus mendapat 2 tetes OPV

Imunisasi polio untuk orang dewasa

Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberi kan 3 dosis berturut-
turut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8 minggu. Semua orang dewasa seharusnya divaksinasi
terhadap poliomyelitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat

untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam risiko khusus,
misalnya
Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau saat terjadi epidemi
Petugas-petugas kesehatan yang kemungkinan mendapat kontak dengan kasus
poliomyelitis.

Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi, dianjurkan diberikan
dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10 tahun.

Vaksinasi untuk anak imunokompromais

Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya mereka dengan
imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai
vaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga dipakai untuk saudara-saudara anak
imunokompromais dan anggota keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar,
diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau
intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan yang jadwalnya sama
dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan anggota keluarga serumah yang
mendapat kontak harus menerima IPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien
(VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine associated polio paralytic).

Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi
setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan.
Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding dengan dosis-dosis
berikutnya. Risiko yang relatif

kecil pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak boleh
diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan perubahan
terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut terbukti sangat berguna.
Harus ditekankan bahwa kebersihan terhadap kontak penerima vaksin yang baru
adalah sangat penting.

Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare
ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejala
yang timbul setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Indikasi kontra

Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,

Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus ditunda,


Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun
suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan
pasien),
Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial
(limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya
terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia,
Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan
kepada orang hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak,
misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis,
Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus
hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,
Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat

pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi
dengan cara replikasi dalam usus,

OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin,


streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali pada anak
yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan,
Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi jangan
diberikan IPV, jangan OPV.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio


infections. Dalam: Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee On
Infectious Diseases. Edisi ke-25 Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics,
2000.h.465-70.
2. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP Surveilance
data Bulletin. 2006-2007.
3. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio
Sukabumi, 2006.
4. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute paralysis
caused by VDPV in Madura, Indonesia. Third Asian Congress of Pediatric Infectious
Diseases, March, 2006
5. CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds. Epidemiology
and prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington, DC: Public Health
Foundation; 2006. p. 97-110.
6. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and epidemiology
of polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701.
7. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005. MMWR
Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9.
8. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August– October,
2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5.
9. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derived
polioviruses and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev Microbiol.
2005:59;587-635.
10. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2006;55:1093-7.

11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences of


importations —21 countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-50.

12. CDC. Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide,


January 2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.
13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the Advisory
Committee onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. Wkly
Epidemiol Rec. 2005;80;410-6.

Bab V-5

Campak

Soegeng Soegijanto

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak yang sangat
menular pada anak-anak, ditandai dengan panas, batuk, pilek, konjungtivitis dan
ditemukan spesifik enantem (Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yang
menyeluruh. Bertahun-tahun kejadian penyakit campak terjadi pada anak-anak balita
meminta banyak korban tetapi masyarakat belum menyadari bahayanya; bahkan ada
mitos jangan memberikan obat apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak merah
pada kulit keluar.

Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1) kurang gizi sebagai akibat diare
berulang dan berkepanjangan pasca campak; (2) Sindrom subakut panensifilitis (SSPE) pada
anak> 10 tahun; (3) Munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih parah pasca
mengidap penyakit campak yang berat yang disertai pneumonia.

Etiologi

Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak termasuk didalam famili
paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu
370C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dan
trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari
2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu -
70oC.

Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemi
cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada permulaan musim
hujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya kelangsungan hidup virus pada
keadaan kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu
setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakit
campak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari
droplet infeksi atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).

Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak global hanya
20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan tahun 1990, dengan angka
cakupan 80%, angka tersebut turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka
cakupan 80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global.

World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded Programme on


Immunization telah mencanangkan target global untuk mereduksi insidens campak sampai
90,5% dan mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapa
negara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi dan
strategi telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini
biasanya disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana strategi secara
adekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan
program imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantai
penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara teori adalah mungkin oleh
karena tidak adanya binatang reservoir dan pemberian imunisasi sangat efektif.

Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi masal pada anak
umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9
bulan, (3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi

massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program penatalaksanaan


kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan indikasi pemberian antibiotik,
pemberian imunoglobulin intravena dan risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangka
panjang.

Gejala Klinis

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau keenam pada
puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik,
ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai
normal selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh
yang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada kasus
yang tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh
yang normal.

Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata merah selanjutnya di cari
gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tanda
pathognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik pada
tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, pada
pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya dua
atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan dan warna merah muda
disekarnya merupakan tanda patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda
putih keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung dan terang
dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam,
sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.

Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari timbulnya demam. Ruam
dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atas
leher, daerah

belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian


menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnya
menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai kaki pada
hari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung lebih banyak lesi daripada yang
terkena kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi berwarna
kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan tidak
memucat dengan penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna
dari ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusul
dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.

Imunisasi campak

Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak


a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam
larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium)

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID 50 atau
sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID 50 saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun demikian
dapat diberikan secara intramuskular.

Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi dan
seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi
berumur 9 bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur
12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan secara rutin
pada umur 4-6 tahun, tetapi dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode anak dengan
tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.

Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yang
mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised
yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa
bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang tinggi bersama-
sama dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibodi maternal
hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian penyakit campak. Pada
anak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan
pada anak-anak di negara maju setelah 15 bulan.

Dosis dan cara pemberian

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000
TCID50 atau sebanyak 0,5 ml.
Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat memberikan
hasil yang baik.
Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan
walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular.
Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator
pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak
sesudah pelaksanaan program imunisasi.
Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD (program BIAS)

Reaksi KIPI

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak
dari virus

yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun dengan


digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.

Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2
hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan
suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi
dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi
yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi
penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan risiko terjadinya kedua efek samping
tersebut 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin.

Daftar Pustaka

1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and Molecular
Immunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization Program
.The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.
3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359) :
763-73.
4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles laboratory
network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.
5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook of
Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.
6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly Rep.
August 13;53(31):713-716.

7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003. Impact
of alternative approaches to accelerated measles control : experience in the African region,
1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.

8. Strebel P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E,


Wright P, Katz S. 2003. The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis.
187 Suppl 1: S1-7.
9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World
Health Assembly. 28 May 2003.
10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network
– update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.
11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006
report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2006. p. 441-52.
12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.
13. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,
2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.

14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.


Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR02):1-36.

Bab VI

Vaksin yang Dianjurkan

(non PPI)

1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella)


2. Haemophillus influenzae tipe b (Hib)
3. Demam tifoid
4. Varisela
5. Hepatitis A
6. Rabies dan vaksin anti rabies
7. Influenza
8. Pneumokokus
9. Rotavirus
10. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli)
11. Yellow fever
12. Japanese ensefalitis (JE)
13. Meningokokus
14. Human Papilloma Virus (HPV)

Pen gantar

Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak termasuk vaksin PPI, namun
penting diberikan pada bayi/anak di Indonesia mengingat burden of diseases dari masing-
masing penyakit tersebut. Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui mengenai indikasi
pemberiannya. Pertimbangan umum dalam memberikan vaksin-vaksin tersebut antara lain
adalah insidens penyakit, kelompok susceptible, mortalitas, komplikasi, dan sekuele yang
mungkin diakibatkan oleh penyakit tersebut; disamping imunogenisitas dan keamanan vaksin,
serta harga vaksin. Dalam Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus dan
Human Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.

Bab VI-1

Campak, Gondongan & Rubela

(Measles, Mumps, Rubella = MMR)


Syahril Pasaribu

Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5 Gondongan (mumps, parotitis)

Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh paramyxovirus,


dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf. Pada gondongan, paling sering
terjadi pembengkakan pada kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis. Penyebaran
penyakit ini adalah melalui droplet dan terutama terjadi pada anak dengan insidens
puncak pada usia 5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifik
ditandai dengan mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam ringan. Setelah
itu timbul pembengkakan unilateral/bilateral kelejar parotis. Gejala ini akan berkurang
setelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah 10 hari. Namun pada beberapa
keadaan infeksi terjadi tanpa gejala sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapat
terjadi pada 15% kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan. Ketulian
adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi (1: 500 kasus yang dirawat di
rumah sakit). Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9
hari kemudian. Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20% pada kasus gondongan
lelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang ditemukan. Imunisasi dengan live attenuated vaccine
sangat berhasil. Di USA telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara tahun
1967 (ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan tahun 1985).

Rubela

Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan, yang disebabkan
oleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus. Penyebaran penyakit ini
melalui udara dan droplet. Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulo-
papular yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar post-
auricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis dan arthralgia. Walaupun
jarang, dapat terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila
rubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela kongenital pada bayi
yang dikandungnya.

Sindrom rubela kongenital

Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama pemberian


imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan malapetaka apabila terjadi pada
awal kehamilan, karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacat
bawaan. Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat ringannya
dampak virus rubella terhadap janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Sampai 85% bayi yang
terinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala setelah lahir. Meskipun
infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah
kehamilan di atas 20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua sistem
organ bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan kadang-kadang merupakan
manifestasi tunggal infeksi rubela kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan
pada mata berupa katarak, glaukoma, retinopati dan mikroftalmia. Kelainan pada jantung berupa
patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis dan retardasi mental.
Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, spenomegali, hepatitis,
trombositopenia dan purpura. Manifestasi SRK ini dapat baru tampak pada umur 2-4 tahun.

Vaksi n

Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin kombinasi
yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin
MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
temperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan
dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari
cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan
potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25oC, akan kehilangan potensi
50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.

Dosis

Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra-muskular
atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90%
kasus. Diberikan pada umur 12-18 bulan.

Rekomendasi

Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubella atau
imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Bayi dan anak berisiko infeksi campak

Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi MMR dapat
diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah

• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung


bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.

Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan playgroups.
Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.

Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat

Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi dasar tidak
lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara bersamaan
dengan menggunakan alat untuk dan tempat yang berbeda.

Anak dengan riwayat kejang

Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus diberikan MMR
dan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 hari
setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberian
parasetamol.

Reaksi KIPI

Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demampada 0,1% anak
ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadang
lebih lama.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil
dibandingkan apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.

Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan


komponen rubela dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinan
gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi demam, termasuk
penggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.

Indikasi Kontra

Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka
yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat
steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas,
hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin.
Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh.
Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup)
dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan
setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif
setelah pemberian vaksin.
Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2
bulan, seperti pada vaksin rubela.
Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV bukan
indikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada
spesialis anak konsultan.
Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin rubela,
kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau produk darah yang
mengandung
imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh
diberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.

v. Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan mendapat
imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat
suntikan.

Penggunaan Imunoglobulin

v. Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi, kontak dengan
pasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin
(dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih
singkat dari masa inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak dengan
imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human) dapat
diberikan segera mungkin setelah paparan.
v. Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk membuat sesuatu
keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena imunisasi sebelumnya atau kadar
serum antibodi yang rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak pada
individu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan
memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini mungkin
mempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif campak.
v. Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak,
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada
mereka harus segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 hari
paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin MMR
harus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3
bulan setelah pemberian imunoglobulin.
v. Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat dan 0,5 ml/kgbb
pada individu imunokompromis (dosis

maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan campak dapat diberikan
NIGH 0.2 ml/kgbb.

v. Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah


terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak menimbulkan
infeksi, vaksin akan memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya.
Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis setelah terpapar
dengan penyakit ini. Dari satu hasil penelitian di Alaska menunjukkan bahwa,
pemberian immunoglobulin terhadap orang yang rentan tidak menunjukkan
penurunan kejadian mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi.
Antibodi maternal yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi selama
1 tahun kehidupan.
v. Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi
virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubela
kongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah
terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan perlindungan, sehingga pemberian
imunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah rubela pada wanita hamil.

Kontroversi seputar imunisasi MMR

Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit Crohn dan kolitis ulserativa
dengan MMR. Pada penelitian ini terlihat adanya risiko relatif kasus yang mendapat MMR
akan menjadi penyakit Crohn sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05. Namun setelah
ditelusuri ternyata desain penelitian ini tidak benar. Kemudian dilakukan penelitian yang
sama dengan skala besar secara internasional dan hasilnya tidak terdapat hubungan
kejadian penyakit ini dengan MMR.
Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram televisi Denmark pada
tahun 1993, yang berasal dari seorang ibu yang anaknya kembar, salah satu diantaranya
menderita autism dan diklaim bahwa penyebabnya MMR.

Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National Department of Epidemiology
dan UK Joint Committee on Vaccination and Immunization. Ternyata tidak ada satupun data
biologi dan epidemiologi yang menyokong pernyataan ini.

National Autistic Society menyatakan bahwa tidak ada peningkatan kasus autistic
spectrum disorders dengan pemberian MMR.
Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama 10 tahun.
Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten. Mereka mengikuti insiden
autism di Gothenburg selama 10 tahun sewaktu vaksin MMR diperkenalkan
sebagai program imunisasi pada anak. Terbukti bahwa kejadian autism tidak
meningkat sehubungan dengan pelaksanaan imunisasi MMR.
Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada satupun penelitian
yang menyokong adanya hubungan asma dengan vaksin MMR.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of
the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003. p. 441-68.
2. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance. Wkly
Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.
3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR Morbid
Mortal Wkly Rep. 2006;55:629-630.
4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.
5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of
the mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.
6. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17
March 2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.

7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal Wkly


Rep. 2004;53:713-6.

8. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,


2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
9. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR02):1-36.
10. CDC. Licensure of a combined live attenuated measles, mumps, rubella, and varicella
vaccine. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14.
11. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. The
changing epidemiology of rubella in the 1990s: on the verge of elimination and
new challenges for control and prevention. JAMA. 2002;287:464-72.

12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella and
congenital rubella syndrome: global update. Rev Panam Salud Pública.
2003;14:306-15.

Bab VI-2

Haemophillus Influenza tipe b

Hardiono D.Pusponegoro

Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi merupakan suatu
bakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dan
tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanya
menyebabkan infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul
terbagi dalam 6 serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b
merupakan tipe yang paling ganas dan merupakan salah satu penyebab tersering dari
kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun.

Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan gejala demam, kaku
kuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadi
adalah pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis.

Meningitis

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per 100.000 penduduk. Perbedaan
angka kejadian tersebut disebabkan perbedan teknik pemantauan/surveilans, teknik
pengambilan materi pemeriksaan, teknik pemeriksaan laboratorium, dan pola penggunaan
antibiotik. Beberapa faktor risiko misalnya umur kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa kuman
di tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak, lingkungan yang padat, dan
bayi tidak mendapat ASI. Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab
terpenting meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di antara kasus
meningitis. Pada penelitian lanjutan didapatkan
bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan anak berumur kurang
dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakan
penyebab meningitis terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi insidens
meningitis rendah.

Pneumonia

Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit dibuktikan karena


metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit. Penelitian membuktikan
bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteri
biasanya ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan,
kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi
bakteri. Kematian umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan
vaksin, H. influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting.
Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden yang pasti tidak diketahui,
diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di
negara yang telah berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae
tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Epidemiologi

Haemophyllus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran terjadi melalui droplet
dari individu yang sakit kepada orang lain. Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidak
menjadi sakit, tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok. Prevalensi
karier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di
Lombok menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi. Bila
prevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan pneumonia
akibat Hib biasanya juga tinggi.

Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat dipastikan setelah adanya
suatu penelitian populasi di lapangan. Penelitian populasi sedang dilakukan di Lombok.

Vaksin Hib

Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensi
dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRP
murni ternyata kurang efektif, sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan
protein dari berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di Indonesia adalah
vaksin konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang disebut
sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang disebut sebagai PRP-T.
Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang sangat tinggi. Kedua
vaksin tersebut boleh digunakan bergantian baik monovalen atau kombinasi.

Jadwal dan dosis

Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan.


PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan.
Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah suntikan
pertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi yang
tertinggi ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T.
Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.
Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.
Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan–1 tahun, 2 kali suntikan sudah
menghasilkan titer protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan tanpa
memerlukan booster. Hal ini dokter sering menunda pemberian

vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hib
lebih sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6
bulan dan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3
bulan.

• Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum dapat
membentuk antibodi.

Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga meneliti manfaat imunisasi
Hib terhadap kejadian dan kematian pneumonia pada balita. Data yang ada
menunjukkan bahwa Hib memang merupakan penyebab meningitis yang terbanyak.
Saat ini vaksin Hib digolongkan dalam vaksin yang dianjurkan, diharapkan 1-2 tahun
mendatang dapat masuk dalam program nasional.
Daftar Pustaka

1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on


bacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J
1998; 17:S176-8
2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylus
influenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia.
Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82.
3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced by
epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.
4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation of
Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries:
current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.
5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.
6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,
Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human
Services; 2005.
7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in Africa:
implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.
8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.

Bab VI-3

Demam Tifoid

T. H. Rampengan

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan infeksi
invasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak
diobati dapat menyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena perforasi usus,
perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Virulensi Salmonella typhi untuk
melakukan sirkulasi ke dalam sirkulasi sebagian berhubungan dengan antigen
permukaan Vi.

Epidemiologi

Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan dikeluarkan melalui
tinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam
tifoid pada anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negara
berkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan dan
Bangladesh.

Patogenesis

Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah berada dalam usus halus
mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewati
pembuluh limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam sistem
retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh

sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh
terutama limpa dan kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari
kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya


sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid disebabkan karena
Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen
oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar
dalam aliran darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan menghasilkan substansi aktif yang
di sebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis selular dan
merangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler, depresi sumsum tulang dan
demam.

Gejala klinis
v. Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan
dewasa. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
pada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada anak bervariasi yaitu demam
satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
v. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
v. Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,
lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadaran
dari ringan sampai berat.

v. Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang – kadang mempunyai
gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-
410C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi.
v. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengan
tanda–tanda antara lain lidah tampak kering, di lapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan
dan bila penyakit lebih progresif maka akan terjadi deskuamasi epitel sehingga
papila lidah lebih prominen.
v. Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaan
minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm,
berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli
kuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang–
kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dibagi dua:

1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia, ensefalopati, kolesistitis,
meningitis, miokarditis dan kronik karier.

Vaksin Demam Tifoid

1. Vaksin demam tifoid oral

ï​¶ Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang
telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus
dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral,
respons imun pada vaksin ini termasuk sekretorik

lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi
dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin
tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a.

+ Penyimpanan pada suhu 20C–80C

+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.

+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam sebelum
makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7
terutama bagi turis.

+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh
asam lambung.

+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau


antimalaria yang aktif terhadap salmonella.

+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa,
pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian
terakhir dari vaksin tifus ini.

+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspose
dengan infeksi Salmonella sebaiknya di berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.

+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan
untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

2. Vaksin polisakarida parenteral


+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium
fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.

+ Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. + Kadaluwarsa dalam 3 tahun.

+ Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.

v. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun


v. Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea,
nyeri perut jarang di jumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam
kulit dan urtikaria.
v. Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin. Juga pada saat demam,
penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.
v. Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Daftar Pustaka

1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.


2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am
2000: 47; 435-48.
3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD,
Prober CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on Infectious
Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove: 2003. h. 541-7.
4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. Ped
Clin of N Am 47, April 2000.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. Health
Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health
Organ. 2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoid
fever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of
two combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults. Vaccine.
2004;23:29-35.

Bab VI-4

Varisela

Hindra Irawan Satari

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella vaccine)


dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang dikenal dengan strain Oka.
Di Amerika mendapat lisensi untuk dipegunakan pada anak sejak tahun 1995. Vaksin
berasal dari VZV liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang Oka,
berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika Serikat pada anak sehat menunjukkan
bahwa vaksin aman dan mempunyai efektivitas tinggi untuk mencegah varisela yang
berat.

Epidemiologi

Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virus
varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster
merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian meningkat pada individu imunokompromais
7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%.

Patogenesis

Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama masa prodromal yang
singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah
menjadi krusta, pasien tidak menularkan penyakit.

Gejala Klinis

Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu tinggi dan lemah badan,
diikuti dengan timbulnya lesi kulit
24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula yang dapat
disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam beberapa jam, terasa
gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat ini pada umumnya
diagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel
kemudian krusta, berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian
berubah menjadi krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanya
bersifat ringan dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih berat
dan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta fatal, terutama apabila menyerang
pasien defisiensi imun, anak yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau
terapi kemostatik, tanpa bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun,
sekitar 75% anak telah terserang varisela. Lima persen diantaranya bersifat sub-klinis.

Herpes Zoster

Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat reaktivasi virus varisela-
zoster laten, akan timbul pada saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui
sebelum umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes zoster
sering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang menderita
imunokompromais; sehingga dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ
dalam, susunan syaraf dan paru.

Sindrom varisela kongenital

Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal akibat varisela dari ibu
hamil. Sindrom varisela kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengah
kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data terakhir
dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul

pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi intrauterin juga mempunyai
risiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila
paparan terjadi pada kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5
hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca kelahiran dan diperkirakan akan berakibat varisela
berat pada 17% -30% bayi yang dilahirkan.

Komplikasi

Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan terjadinya
erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikel
dan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadi
komplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis transversa,
trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerang
organ dalam dan sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir
serta pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau salisilat tidak
boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena ditakutkan terjadinya sindrom
Reye.

Vaksi n

Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentuk
bubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,
sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan sesuai dengan
petunjuk pabrik. Vaksin variselazoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan pada
suhu 2oC-8oC.
Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu imunokompromais serta remaja
(sama atau di atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Serokonversi didapat pada 97% individu yang divaksinasi dan sekitar 70% terlindungi
apabila terpapar infeksi oleh anggauta keluarga. Infeksi setelah terpapar apabila telah
divaksinasi dapat terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi pada umumnya
bersifat ringan.
Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini diberikan 2 kali
bagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan pertama diberikan pada umur 12-
15 bulan, sedangkan suntikan ulangan pada umur 4-6 tahun. Dosis kedua dapat
diberikan lebih awal dengan jarak antar suntikan 3 bulan.

Cara pemberian

Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada anak yang
telah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah) dan (2) penularan varisela
(kepada adik atau anggota keluarga yang lain) terbanyak terjadi pada saat usia
sekolah, maka Satgas Imunisasi pada tahun 2007 merekomendasikan:

Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5 tahun, dosis 0,5 ml secara
subkutan, dosis tunggal.
Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat diberikan setelah umur >1 tahun.
Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 1 bulan.
Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat
diberikan dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak
berhubungan).

Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada sekelompok anak tertentu tidak
mengubah epidemiologi penyakit ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur yang
lebih tua.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi simpang jarang terjadi.


Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam papula-vesikel ringan.
Pada individu imunokompromais:

ï​¶ Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien leukemia
dalam pengobatan rumatan) daripada reaksi lokal.

ï​¶ Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kompromais dapat timbul
penyulit varisela.

ï​¶ Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela dapat muncul ruam
pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadi
varisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.

Indikasi kontra

Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari
1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit
keganasan atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid
(2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada
neomisin.

Daftar Pustaka

1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,
penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella
disease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA.
2002;287:606-11.

3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354 4/9/07
10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.

4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWR


Morbid Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.
5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 1999;48:1-6.
6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.
gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).
7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year follow-
up of healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr Infect
Dis J. 2004;23:132-7.
8. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluation
of a quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthy
children. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:665-9.
9. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.
10. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc.
gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).
11. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available
under an Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWR
Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210
Bab VI-5

HEPATITIS A

Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis sesuai tingkat
higiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. VHA bersifat self limiting namun
potensial menimbulkan dampak epidemiologis dan klinis. Indonesia merupakan daerah
endemis hepatitis virus baik VHA maupun hepatitis virus B dan C (VHB dan VHC). Sulit
untuk mengetahui insidens pasti VHA karena pada sebagian kasus infeksinya bersifat
asimtomatis terutama pada anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis ini
merupakan reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua. Pasien penyakit
hati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas lebih tinggi. Virus hepatitis A
tergolong picornavirus (berukuran 27 nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linear
yang dibungkus 3 protein yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizing
antibody pasca imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat stabil pada suhu
tinggi maupun pada pH 3–10.

Epidemiologi

Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di daerah prevalens
sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area prevalens
rendah, infeksi terjadi pada dewasa dan usia lanjut.

Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19
tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural
Sulawesi 47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi tinggi di
Jakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV

hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu imunisasi VHA.

Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk penularan
antar individu (kontak erat) dan penularan melalui makanan atau minuman yang
tercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak
2-3 minggu sebelum sampai dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis rnuncul. Transmisi
dalam kontak erat terbukti dengan terjadinya penularan intrafamilial satu rumah (26%),
di tempat penitipan anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan di kalangan
homoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula terjadi di rumah sakit.
Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan modus transmisi yang kerap. Infeksi
VHA di sekolah merefleksikan adanya infeksi di populasi.

Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan), jarang terjadi tetapi dapat
menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Di beberapa negara berkembang,
kejadian wabah VHA cukup tinggi akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak diklorinisasi
dengan adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat juga terjadi melalui transfusi
darah/komponen darah dan donor yang sedang berada pada fase viremia. Selain itu, transmisi
juga terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta pada wisatawan mancanegara (14%).

Populasi risiko tinggi tertular VHA

Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2 tahun antibodi maternal
sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula
paparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar.

Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian hepatitis fulminan
pada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.

Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati, pengguna narkotik intravena,
pekerja dengan primata, dan kelompok sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompok
sosioekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan persentase rendah anak sekolah kelompok sosio
ekonomi tinggi yang sudah memiliki proteksi alamiah.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat simtomatik atau
asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis dialami 70% anak usia < 6 tahun
sedangkan 85% anak besar dan dewasa simtomatis dan umumnya memerlukan rawat
inap. Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10% - 15% pasien mengalami prolonged atau
relapsing hepatitis selama 6 bulan. Sebagian besar hepatitis akut yang dirawat di rumah
sakit adalah infeksi HVA.
Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di tinja. Selama 2 minggu sebelum
ikterik atau sebelum terjadinya peningkatan SGPT, daya tular sangat tinggi karena
konsentrasi virus di tinja sangat tinggi. Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja jauh
berkurang tetapi telah dilaporkan fecal shedding bisa berlangsung beberapa bulan. Viremia
berlangsung singkat, sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal masa penyembuhan.

HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%) yang pada VHB dan VHC
meningkat (55% dan 33%); (2) prolong hepatitis (12-18 minggu); dan (3) relapsing hepatitis
(3,8% - 20%), biasanya kekambuhan Iebih dan satu kali.

Pencegahan

Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan pola hidup
bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.

Imunisasi pasif

Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya mengandung 100 IU anti HAV
Diberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat
epidemi) atau upaya profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya profilaksis pra
paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke daerah endemis).
Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.

Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002 ml/kg berat
badan, pada anak besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak
melebihi 3 ml.

Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA.

Saat paparan (minggu)


Usia (tahun) Rekomendasi

≤2 <
2 Ig

≥2 Ig dan vaksin

>2 <
2 Ig

≥2 Vaksin

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis

Umur Lama
Rekomendasi Keterangan

(thn) kunjungan

<2 < 3 bulan Ig


0.02ml/kg 1 kali

3 - 5 bulan Ig 0.06 ml/kg 1 kali

Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg saat berangkat, di‑

ulang setiap 5 bln

≥2 <3 bulan Vaksin atau


Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal

3 - 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat

Jangka panjang Vaksin di bagian perihal

imunisasi aktif

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Imunisasi aktif
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop permukaan
virus. Kandidat vaksinasi VHA berdasarkan rekomendasi ACIP tertera pada Tabel 6.3.
Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis A diberikan pada
anak berusia ≥ 2 tahun.

Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA

Kandidat vaksinasi HVA

Imunisasi
rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah
dengan wabah periodik

Risiko tinggi VHA


Pengunjung ke daerah endemis

Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU

Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf TPA, staf dan penghuni
institusi untuk cacat mental

Pekerja dengan primata bukan manusia Staf bangsal neonatologi

Risiko hepatitis fulminan Pasien


penyakit hati kronis

Risiko menularkanYHA Penyaji


makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA

Vaksin

Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine).


Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien.
Vaksin diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi antara
6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.
Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.
Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik.

Efek Samping

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek
samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.

Uji serologi pra-pasca vaksinasi

Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap infeksi masa
lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu dengan gangguan imunologis
termasuk PHK.

Lama proteksi

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥ 20 tahun. Proteksi
jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnestic
boosting infeksi alamiah.

Pemberian bersama vaksin lain

Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak mengganggu respons imun
masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.

Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian khusus

Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.

Daftar Pustaka

1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan


Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000.
2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensif
hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M.
The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol
2000; 31: 469- 73.

5. Rosenthal P. Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in children, adolescents, and


adults. Hepatol 2003; 37 (1): 44-51.
6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D, Kuter
B. Ward C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through routine
vaccination of children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73.
7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in a
former frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial of
VAQTA®. Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701.
8. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; RR 55:1-23.
9. Bell BP, Feinstone SM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA,
editors. Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004.
10. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in travelers,
1988-2004. Clin Infect Dis. 2006;42:490-7.
11. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicine
considerations for North American immigrants visiting friends and relatives. JAMA.
2004;291:2856-64.
12. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department of
Health

and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006.

13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk. Hepatitis

A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.

Bab VI-6

Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Q)skandar Qyarif

Rabies dari bahasa latin yang berarti kemarahan yang sangat, merupakan subjek yang
menarik perhatian karena menyebabkan ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan
dahulu kala. Rabies pada manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusat
biasanya ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang terinfeksi
virus rabies. Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat dicegah (preventable fatal
disease) dengan profilaksis pasca paparan (postexposure prophylaxis).

Epidemiologi

Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun domestik
dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini. Diperkirakan terdapat
50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta orang
menerima vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko terhadap
penyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India
melaporkan sekitar 30.000 kematian tiap tahunnya.

Di Indonesia hanya beberapa daerah yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI,
Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies). Pada Tabel
6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.

Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2001 s/d
2005

No

Propinsi GHTR Rabies


Sumatera
1 11022 44
Barat
Sulawesi
2 6700 37*
Selatan
Sumatera
3 4537 5*
Utara
4 NTT 4214 34
Sumatera
5 4208 6
Selatan
Sulawesi
6 2646 21
Utara
7 Maluku 3295 37
Sulawesi
8 2029 35*
Tenggara

GHTR : Gigitan Hewan Tular Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun
2001-2004

Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia tahun 2001-2005 yang telah
terdata sebanyak 56.245, yang mendapatkan vaksin anti rabies 33.135 (+50 %) dan yang
mendapatkan vaksin dan serum anti rabies 193 orang (0,34%), sedangkan jumlah kasus rabies
365 orang (0,6% dari kasus gigitan hewan tersangka rabies).

Etiologi

Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk peluru
dengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm.

Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus,

galur 1 Caninerabies virus rabies klasik

galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria

galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria galur 4 Duvenahage virus pada manusia
(Afrika Selatan) galur 5 Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di

Rusia)

galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia) galur 7 Baru terisolasi di kelelawar
Australia

Patogenesis

Secara umum diterima apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki sel
otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera melekat di reseptor
nikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki saraf
pertahanan tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam akson
menuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi 3 mm perjam, 20-24 mm
perhari, 8-20 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula spinalis,
hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini karena kerusakan batang otak.
Hidrophobi ini tidak ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang
mengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar.

Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang merupakan hallmark dari
rabies ini saat ini hanya pada sekitar 50% kasus sehingga tidak ditemuinya negri bodies
ini tidak mematikan diagnosis. Saat ini dikembangkan direct flurescent antibody test (DFAT)
dengan sensitivitas yang lebih baik mendekati 100%. Selain luka gigitan dari binatang yang
sakit, virus dapat juga melalui mukus membran dan kulit yang aberasi, transplantasi jaringan dan
inhalasi dari eksreta kelelawar.

Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan mayoritas kasus
antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di daerah kepala bila dibandingkan
ekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala. Gejala
dimulai pada masa prodromal berupa malise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan demam. Nyeri
dan parestesi di tempat gigitan atau ekspsur ditemui 50%-80% kasus. Rasa takut, agitasi,
iritabel, nervus, sukar tidur, dan depresi menonjol pada masa ini. Masa prodromal ini
berlangsung 2-10 hari.
Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut yang dapat berupa bentuk furipus
(hebat) dan bentuk paralitik yang akan berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furious
ditandai dengan hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang mendadak, disorientasi, kelakuan yang
aneh (bizarre) diselingi lusid interfal. Pada fase lusid ini penderita dapat mengutarakan apa yang
terjadi dan yang dirasakan serta ditakutkan. Pada fase ini juga ditandai dengan disfungsi saraf
otonom berupa dilatasi pupil dan hipersalivasi. Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengan
gambaran seperti sindrom Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang simetris, bentuk
ini ditemui pada sekitar 20% kasus terutama setelah digigit kelelawar. Beberapa pasien dengan
gejala meningismus sampai epistotonus dengan LCS normal atau gejala iritasi meningeal
dengan peningkatan sel limfosit dan protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode akut
akibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium koma. Walaupun dengan
tersedianya perawatan intensif dapat memperpanjang hidup sementara pasien dengan
komplikasi miokarditis, gangguan hipofise dan syndrome inappropriate antidiuretic hormon
(SIADH).

Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala sampai sekitar 5 minggu setelahnya.
Walaupun prinsipnya dapat menularkan tetapi sampai saat ini belum ada laporan penularan
antar manusia kecuali pada transplantasi kornea dari pasien yang sebelumnya tidak
terdiagnosis rabies. Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena gigitan,
air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh diharuskan mendapat vaksinasi
pasca terpapar (lihat pencegahan). Umumnya pasien yang telah menunjukkan gejala rabies
akan meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat ini, walaupun ada beberapa
laporan yang selamat (3 kasus) tetapi semuanya telah mendapat pencegahan secara parsial
sebelum terpapar.

Pengobatan

Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian imun globulin dan
vaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian penting dari tatalaksana pasca gigitan yakni
mencuci luka dengan sabun, detergen dan air yang banyak sekurang-kurangnya 10 menit. Luka
dapat diberikan povidone-iodine, alkohol 40%-70%, bila luka cukup besar perlu dipasang kateter
untuk irigasi dan jahitan hanya jahitan situasi. Pemberian anti tetanus serum dan antibiotika
untuk pengobatan luka dari infeksi perlu diberikan.

Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing yang menggigit apa
hewannya telah diimunisasi atau tidak atau anjing liar yang dapat ditangkap atau lari.
Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000) memberikan bagan alur sebagai
berikut,

Hewan penggigit lari/hilang


& tdk dpt ditangkap, mati atau dibunuh

Text Box: Spesimen otak hewan


Dapat diperiksa
Di labor

Hewan penggigit dpt ditangkap & diobservasi 10-14


hari

Positif
Negatif

Stop VAR

Lanjutkan VAR

Tidak diberi VAR

Spesimen otak hewan diperiksa di lab

Text Box:
VAR

lanjutkan VAR di
stop Positif

Jika tdk dpt diperiksa

Lanjutkan VAR VAR lanjutkan

* VAR= vaksin anti rabies SAR= serum anti rabies

Gambar 6.1. alur pengobatan digigit hewan

Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure rabies prophylaxis/ treatment PEP/PET)


sebagai berikut.

1. Setiap serangan hewan tanpa provokasi terlebih dahulu berisiko tinggi rabies.
2. Setiap gigitan atau mukous membran kontak dengan hewan domestik yang telah
diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya dapat menjamin hewannya selama 10 hari maka
PEP dapat ditunda.
3. Pada hewan dengan gejala rabies hewan segera dimatikan dan diperiksa otaknya
di laboratorium hewan segera untuk melihat ada atau tidaknya rabies.
4. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko tinggi
kecuali hanya pada orang yang telah divaksinasi sebelumnya dan antibodi dapat
dideteksi hanya pemberian vaksin ulangan tanpa imunoglobulin.

Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO

Kategori Tipe kontak


dengan hewan Pengobatan yang dianjur‑

yang diduga kan

I Kontak atau memberi


makan Tidak diterapi
hewan, jilatan pada kulit

yang utuh

Berikan vaksin
segera

Stop terapi jika


hewan tetap
II sehat selama
Nibbling pada observasi 10
kulit yang hari atau jika
tidak utuh, hewan
garutan kecil dibunuh dan
atau aberasi hasil
kulit tanpa pemeriksaan
perdarahan , rabies negatif
jilatan pada pada
kulit yang
kulit yang laboratorium
tidak utuh yang dipercaya
III Satu
Berikan VAR
atau lebih
danSAR
gigitan atau
segera.
garutan pada
Hentikan terapi
kulit
jika hewan
Kontaminasi
tetap sehat
air liur pada
selama 10 hari
membran observasi atau
mukosa, jika hewan
misalnya dibunuh hasil
jilatan pemeriksaan
rabies negatif
pada laborato-
rium yang
dipercaya

Pemberian serum anti rabies (SAR) yang berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB,
sedangkan yang berasal dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi anafilaksis jarang terjadi
tetapi uji kulit diperlukan pada serum yang berasal dari kuda. Pemberian SAR ini diinfiltrasikan
sebanyak mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular dengan jarum dan tempat yang
berbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat diberikan dalam 7 hari setelah pemberian vaksin
dan tidak diperlukan lagi setelahnya.

Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi dapat tetap diberikan dengan
pretreatmen dengan adrenalin/ epinefrin im dan antihistamin dan pasien diperlukan
tinggal 1 jam setelah pemberian, test kulit negatif untuk serum dari kuda ini tidak
menjamin tidak akan ada reaksi anafilaksis karenanya tetap disediakan adrenalin
dengan dosis anak 0,01/kg BB dan dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di Indonesia
tersedia rabies imunoglobulin serum manusia (Imogam vaksin rabies dari Aventis
Pasteur).

Vaksin rabies

Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin) yang mungkin
masih ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah tidak dipakai lagi karena efek
samping yang serius, dapat berupa meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transverse
mielitis dan paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa human
diploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari Aventis Pasteur reaksi
minimal. Di Eropa dan negara yang sedang berkembang melisensikan vaksin dari kultur sel
monyet vero disebut purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab dengan
hasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara.

Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml atau 0,5 ml tergantung
vaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat

diberikan reduksi jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu dosis
hari ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat mengurangi kebutuhan satu vaksin
dan waktu kunjungan lebih singkat. Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral pada
anak, dan jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang rendah.

WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya yang cukup
tinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan secara intradermal.

Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih pemberian intradermal
dan tidak diberikan pada kasus yang mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat
menurunkan pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im 0,5 dan
0,2 bila sediaan im 1 ml.
Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen (2-2-2-0-1-1) yaitu 2
suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1 suntikan hari ke-28 dan ke-90.
Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 2, 4
suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan suntikan ini
masing -masing 2 regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral
quadran bawah. Empat suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan.
Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus dipakai dalam
6jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995), Srilangka (1995), dan
Filipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan im dengan dosis standar,
kecuali untuk pre-exposure prophylaxis.
Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada orang yang berisiko tinggi
terhadap rabies seperti dokter hewan, petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing,
tenaga lab yang berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah endemis
masih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0, ke-7, ke-21 atau
ke-28 baik im

Text Box: maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali setelah


1 tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai
5 tahun. Orang ini harus dicek titer antibodinya
setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun.

Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian vaksinasi pada anak
secara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3, dan 4 bulan. WHO
masih mempelajari pemberian vaksinasi awal pada anak yang hidup di daerah dengan
rabies merupakan problem utama.

Regimen Intramuskular Standar WHO

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Day 0 3 7 14 28

SAR*

Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat dengan jumlah vaksin dikurangi
(2-1-1)

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus

Hari 0 7 21

Tempat x2 x1 x1

SAR*

S A R = serum antirabies

Text Box: Text Box:

Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat (8-0-4-0-1 -1)

Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan

Hari 0 7 28 90

Tempat x8 x4 x1 x1

SAR
Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-0-1 -1)

Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular (0,1 atau 0,2 ml) pertempat

Hari 03 7 28 90

Tempat x2 x2 x2 x1 x1

SAR

Pencegahan pada binatang

Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi menularkan rabies
diberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan pada hewan liar dengan daerah yang sangat luas
diberikan umpan yang ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral). Bila 80%
populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk menghambat penularan. Pemusnahan
hewan liar terutama anjing dapat menurunkan penyebaran penyakit ini di Cina, Indonesia,
Thailand dan Vietnam.

Daftar Pustaka

1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson Text
Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasus
Gigitan Hewan tersangka Rabies.
6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet.
2004;363:959- 69.
7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for
treatment and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al.
Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ.
2005;83:360-8.
9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel
medicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur
Reisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European
countries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117
Suppl4:11-9.
11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.
2006;102:34-6.
12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al.
Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the Advisory
Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48(RR-1):1-21.
14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech Rep
Ser. 2005;931:1-88.
15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W,
Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure
regimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of infection
prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.

17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J Med.
2004;351:2626-35.

Bab VI-7

INFLUENZA

Cisy Kartasasmita
Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus influenza A
dan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat mengakibatkan
komplikasi serius. Namun demikian, seringkali masyarakat dan dokter, memakai istilah
“influenza” atau “flu” untuk setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam,
rinitis, nyeri tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus penyebabnya,
dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut tidak spesifik, dan di masa
lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi virus penyebabnya, karena pengobatannya
simtomatis. Pada saat ini dengan adanya obat dan vaksin untuk pencegahan beberapa
jenis virus, perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.

Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine) kepada


individu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi, merupakan satu-satunya cara untuk
pencegahan atau mengurangi infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi.
Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yang
dapat melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan,
individu tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia lanjut, dan pasien
dengan gangguan kekebalan, akan menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi.
Dengan perkataan lain vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran nafas
bawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa vaksin influenza
tidak mencegah infeksi primer akibat virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.

Virologi

Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses), termasuk kelompok


Orthomyxoviridae. Gambaran karakteristik virus yaitu mempunyai glikoprotein
dipermukaannya, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe virus
yaitu A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa sub-tipe, yang dibedakan
berdasarkan surface antigen HA dan NA. Telah dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NA
subtipe yang berbeda. Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1 dan
N2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen HA berperan terhadap
penempelan virus (virus attachment) pada sel manusia, dan sebagai mediator untuk
reaksi bersatunya sampul virus dan membran sel, melalui persatuan ini kemampuan
akses virus ke bagian dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1 dan N2)
berperan terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia. Variasi kedua glikoprotein
eksternal HA dan NA, adakalanya secara periodik berubah, hal ini menyebabkan
perubahan antigenisitas. Virus yang sudah berada dalam sel, maka RNA akan replikasi dan
protein virus disintesis menghasilkan ribuan partikel virus baru per sel. Akibat infeksi tersebut sel
pejamu mati. Proses lisis sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan deskuamasi
epitel saluran nafas.

Antigenic shift

Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen permukaan (HA dan atau
NA), sehingga dihasilkan subtipe virus dengan HA baru (dan/atau NA baru). Menurut informasi
yang mutakhir reservoar alamiah untuk virus influenza adalah burung, semua subtipe 15HA dan
9 NA dapat diidentifikasi pada burung. Bila terjadi proses antigenic shift subtipe virus influenza
baru akan diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa menghasilkan subtipe virus baru.

Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan unggas (avian), yaitu virus
manusia yang bersirkulasi mengubah segmen gen-nya dengan virus avian. Hal ini terjadi kalau
sel pejamu terinfeksi oleh 2 virus influenza A. Segmen RNA kedua virus bereplikasi dalam
nukleus sel, sehingga dihasilkan galur virus ketiga yang baru. Binatang yang diyakini selama ini
bisa sebagai intermediate host tempat genetic reassortment adalah babi, karena babi mempunya
mixing vessels yang ideal, selain babi bisa terinfeksi baik oleh virus manusia maupun unggas.
Akhir-akhir ini diduga pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya mixing vessels
tersebut.

Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa melalui langkah reassortment,
seperti terbukti penularan flu burung di Hongkong tahun 1997. Saat itu virus yang
diidentifikasi pada manusia dan ayam sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada kejadian
tersebut 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Begitu pula penyebaran avian
influenza di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia beberapa waktu lalu
beredar kembali, seperti yang terjadi di Rusia (Russian flu) tahun1977. Virus Rusia
tersebut (H1N1) pernah bersirkulasi sebelum tahun 1957 dan mengakibatkan epidemik
besar tahun 1950. Karena populasi secara imunologi naif terhadap subtipe virus
tersebut, infeksi dapat segera menyebar dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan
mortalitas di seluruh populasi. Biasanya diasosiasikan dengan pandemik.
Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke 20. Pertama adalah Spanish flu, yang
disebabkan oleh virus H1N1 influenza A, terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia I
menyebabkan kematian sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi tahun 1957, dikenal sebagai
Asian flu, disebabkan oleh virus H2N2 dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968 akibat virus
H3N2.

Antigenic drift

Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen permukaan yang timbul
akibat mutasi viral genome, sehingga terjadi substitusi asam amino pada tempat
antigenik. Antigenic drift akan menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secara
parsial dengan galur terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru kemungkinan
masih bisa dikenal secara parsial oleh pertahanan imun pejamu. Akibat dari perubahan
antigenic drift dapat terjadi epidemi influenza yang baru. Di negara empat musim
biasanya terjadi epidemi saat musim dingin. Namun adakalanya antigenic drift sangat
dominan sehingga galur yang baru sangat berbeda dengan induknya, hal ini
menyerupai antigenic shift, akibatnya bisa terjadi pandemi seperti yang terjadi di
Hongkong tahun 1968.

Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun berat pada semua
umur. Selain menyebabkan penyakit pada manusia juga pada binatang seperti babi dan burung.
Influenza B umumnya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe A, dan
terutama menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil dari influenza A, dengan sedikit
antigenic drift dan menyebabkan immunitas yang cukup stabil. Virus ini hanya menyerang
manusia. Virus influenza B mungkin dapat dihubungkan dengan sindom Reye. Influenza C
sangat jarang dilaporkan menyebabkan penyakit pada manusia, mungkin karena pada
umumnya bermanifestasi subklinis. Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklatur
untuk mendeskripsi kan tipe virus influenza berdasarkan urutan sebagai berikut (1) tipe virus, (2)
tempat dimana virus pertama kali di isolasi, (3) nomor galur, (4) tahun isolasi, (5) subtipe virus.

Epidemiologi

Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak langsung dari
seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5 hari
sesudahnya. Tak ada

status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar biasa (KLB), baik berupa
epidemi maupun pandemi influenza. Setiap kurun waktu tertentu, sepuluh tahun atau mungkin
lebih, sub-tipe influenza A baru muncul, dan menyebabkan pandemik, seperempat atau lebih
populasi dunia akan terserang pada satu periode jangka pendek. Sporadik KLB dapat
terlokalisasi di keluarga, sekolah, dan komunitas yang terisolasi.

Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza meliputi 110 National Influenza
Centers di 83 negara, memonitor aktivitas inluenza di dunia. Data surveilans setiap
tahun dipergunakan sebagai rekomendasi panduan untuk komposisi vaksin. Penyakit
influenza timbul terutama pada musim dingin dan mencapai puncaknya dari Desember
sampai Maret di daerah yang beriklim subtropis, tetapi dapat timbul lebih awal atau lebih
lambat. Selama tahun 1976-2001, di Amerika Serikat aktivitas puncak timbul paling
sering pada bulan Januari (24%) dan Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000
kematian per tahun. Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap saat selama
setahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit adalah 500 per
100.000 orang yang berisiko tinggi dan 100 per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi.
Dalam kelompok usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah anak
umur 0-1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang ditemukan pada orang usia ≥
65 tahun.

Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia, ataupun eksaserbasi penyakit
kardiopulmonal dan penyakit kronis lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi dari
tahun 1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama 19 dari 23 musim epidemi
influenza. Selama 19 musim influenza tersebut, perkiraan angka kematian akibat influenza kira-
kira 30 sampai > 150 kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun. Lebih dari 90% kematian
pada lansia karena pneumonia dan influenza.

Manifestasi Klinik

Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa sembuh spontan.
Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana karena cenderung diam di epitel
saluran nafas dan paru paru. Oleh karena itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi
darah atau organ lain. Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala
klinis bisa ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam
tinggi mendadak (38 – 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri kepala, nyeri
otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan diare. Gejala saluran
pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri menelan. Batuk yang mula mula
kering berubah menjadi produktif dengan sputum yang tidak banyak, dan bening kental
(mukoid), namun bisa purulen. Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea.
Gejala demam dan saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisa
berlangsung 7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2
minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat berisiko menyebabkan
kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung kronis.

Vaksinasi influenza

Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus), diproduksi dari
virus yang tumbuh pada embrio ayam. Formulasi vaksin influenza di-review secara berkala,
sehingga perubahan komposisi menyesuaikan dengan antigenic shifts dan antigenic drift.
Vaksin influenza mengandung antigen dari 2 subtipe virus influenza A dan satu galur virus
influenza B, subtipe-nya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO
berdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim influenza, yang didapat dengan
melakukan surveilans aktif galur influenza baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap tahun
untuk dunia belahan utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern hemisphere).
Namun pada umumnya tidak banyak beda antara

galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di rekomendasikan untuk vaksin
di tahun yang akan datang. Untuk periode 2006–2007 WHO merekomendasikan untuk belahan
utara vaksin influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin /67/2005
(H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004- like virus. Sedangkan untuk belahan bumi selatan
berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like virus dan
B/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan bumi tidak banyak perbedaan galur
virusnya. Untuk daerah sekitar katulistiwa dapat menyesuaikan.

Vaksin influenza

Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan split-virus vaccine.
Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukan
vaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang me ngandung
galur yang mutakhir.
Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi.
Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi.
Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2oC-8oC. Tidak boleh
dibekukan.

Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix (GSK) dan
Vaxigrip (Aventis Pasteur ).

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006)

Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulan


Semua orang usia ≥ 65 tahun
Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal, kelemahan sistim
imun
Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes, penyakit
disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi

Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi mendapat
komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan dan petugas
di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang kontak serumah,
pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orangorang yang melayani atau erat dengan orang
yang mempunyai risiko tinggi.

Jadwal dan Dosis

Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml.
Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) usia ≤ 8 tahun
vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian imunisasi
diulang setiap tahun.
Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid pada orang
dewasa dan anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi dapat diberikan di paha
anterolateral.
Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2 dosis dengan jarak
interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.
interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.
Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur, setiap tahun satu kali.

KIPI vaksin influenza

Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9% menunjukkan reaksi lokal ringan dan
transien serta 28% reaksi sistemik ringan.

Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%.
Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, pada 15%-20% resipien,
terjadi selama 1–2 hari
Gejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa demam, lemas dan mialgia (flu-
like symptoms), yang timbul beberapa jam

setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6 - 12 jam pasca
vaksinasi, selama 1 atau 2 hari.

Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angiooedema, asma, sistemik


anafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen vaksin,
seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya
respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza.

Indikasi Kontra

Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza


sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza.
Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami
pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan.
Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit
demam akut yang berat.
Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

Antivirus

Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin, keduanya merupakan M2
inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan zanamivir adalah golongan neuramidase inhibitor. Obat
antivirus dapat dibedakan menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit influenza (amantadin,
rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk pencegahan influenza (amantadin, rimantadin,
oseltamivir dan zanamivir). Hanya oseltamivir dan zanamivir efektif untuk influenza B.
Oseltamivir merupakan salah satu pilihan utama mengingat resistensi virus influenza A terhadap
amantadin dan rimantadin meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat diberikan
pada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun dan 5 – 16 tahun.

Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza

1. Pasien yang berisiko dan orang serumah yang belum mendapat imunisasi pada waktu
infeksi influenza terjadi didaerahnya.
2. Untuk mengendalikan kejadian luar biasa di komunitas terisolasi atau semi isolasi.
3. Pasien yang berisiko karena adanya riwayat alergi telur (sehingga tidak dapat diimunisasi).
4. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. 5. Ancaman pandemik
dan vaksin tidak tersedia.

Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak mulai sakit.
Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek samping berupa
keluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi, sulit tidur, pusing,
nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin dan mungkin
rimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak dengan riwayat
pernah kejang.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice vote
to recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www.
cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm.
3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
4. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,
Wolfe C, Nelson R. Eds. 5th edition. Department of Health & Human Services, Public
Health Service, CDC, January 1999.
5. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and Medical
Research Council (NHMRC), 1997.
6. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatrics, 2006.
7. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000.
8. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.

9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity of


paediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000.
10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent Infuenza
Vaccine among Healthy Children 6 – 24 months of age. Peasitrics,117:pp:e821-e826,
2006.

11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.

Bab VI-8

PNEUMOKOKUS

Cisy Kartasasmita

Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif diplokokus merupakan


penyebab terpenting penyakit infeksi saluran nafas pada masa anak. Diduga di negara
berkembang, setiap tahun sedikitnya 1 juta anak meninggal karena penyakit infeksi
pneumokokus. Pneumokokus selain merupakan penyebab utama pneumonia, juga
menyebabkan meningitis, bakteremia, sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis
terutama pada anak usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian pneumokokus dapat
ditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas, sedangkan yang lain merupakan
kuman yang berhubungan dengan penyakit invasif. Kemampuan pneumokokus untuk
mengadakan invasi karena peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakit
invasif maupun non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif antara lain
adalah pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi di tempat lain dikelompokkan sebagai
Invasive Pneumococcal Diseases (IPD). Risiko untuk seorang anak menderita IPD dipengaruhi
oleh beberapa faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan berbagai
penyakit kronis.

Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang melingkari dinding sel. Sampai saat
ini telah dapat diidentifikasikan lebih dari 90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipe
menyebabkan penyakit yang serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F
merupakan penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika. Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14,
19A, 19F, dan 23F merupakan isolat yang tersering yang dihubungkan dengan penisilin
resistensi. Kapsul polisakarida melingkari dinding sel dan merupakan

komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang menentukan virulensi kuman.
Virulensi pneumokokus ditandai oleh jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyak
menghasilkan polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri melakukan invasi kapsul
polisakarida akan memproteksi kuman dengan cara menginhibisi fagositosis neutrofil dan
pemusnahan bakteri yang klasik melalui sistim komplemen. Faktor penting untuk terjadinya
penyakit pneumokokus termasuk kemampuan kuman menyerang sistem imun dan tidak adanya
antibodi spesifik terhadap pneumokokus.

Epidemiologi

Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada anak sehat,
dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan ludah.

Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar antara 5%–30%,
pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa kuman pneumokokus setiap
saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal di
Panti dan anak yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak.
Faktor risiko lain untuk kolonisasi
bayi yang tidak dapat ASI,
infeksi virus pada saluran nafas atas,
perokok pasif,
saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,
negara 4 musim pada musim dingin.
Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan keluarga dan rumah
tangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya pasien infeksi saluran pernafasan
bagian atas, pnemonia, atau otitis.
Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi imunoglobulin,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dan
keganasan

limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru kronis, diabetes melitus, alkoholisme,
sirosis hepatis dan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma atau pasca
operasi.

Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan pada balita setiap tahun,
disebabkan karena infeksi pneumokokus. Dari Amerika Serikat dilaporkan insidensi
bakteriemia 15- 19/100.000, meningitis 1-2/100.000, kematian 10-30%. Sebelum
imunisasi pneumokokus diberlakukan, setiap tahun di Amerika Serikat dilaporkan
sebanyak 4 juta anak menderita infeksi telinga, 125.000 anak dirawat dengan
pneumonia, 2500 kasus meningitis dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku Aborigin
insidensi infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun, dengan
kematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian akibat infeksi saluran
nafas pada anak berhubungan dengan S.

pneumoniae.

Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita dengan pneumonia tidak berat,
didapatkan isolat positif 25,4% dan 67,8% diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian lanjutan
di Majalaya dari 1012 spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif untuk pneumokokus dan
42% positif H.influenzae. Penelitian lain di Ujung Berung, Bandung, pada bayi baru lahir yang
diikuti sampai usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif pneumokokus pada bayi baru lahir dan
2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9% pada minggu ke 2, ke 4, ke 6 dan ke 8. Pada saat yang sama
didapatkan 57,1% saudara bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang kemungkinan
besar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo dkk. yang dilaksanakan di Lombok
pada 484 anak umur < 24 bulan, didapatkan pada 48 kasus S pneumoniae positif, dengan
peningkatan dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian pada 169 isolate ditemukan serotipe
6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7.

Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat pneumokokus terhadap berbagai
antibiotik. Di Amerika Serikat

didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%, dan 79% diantaranya multi
drug resistance. Adanya peningkatan resistensi ini merupakan salah alasan perlunya imunisasi.

Vaksi n

Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena ada 90 serotipe yang
berbeda yang dapat menyebabkan penyakit. Namun, hanya 7 serotipe pneumokokus
yang mempunyai kontribusi terhadap 80% infeksi pada anak.

Jenis vaksin

Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus

Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide vaccine = PPV).


Vaksin PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A,
11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, dan 33F) yang bertanggung jawab
terhadap 85%–95% IPD pada anak dan dewasa di Amerika. Vaksin PPV 23 yang
tersedia di Indonesia adalah Pneumo-23® .

Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia muda dan bayi
sehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk meningkatkan imunogenositas
pada bayi, dikembangkan vaksin pneumokokus konjugasi.

Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal conjugate vaccine = PCV).


Vaksin PCV pertama berisi 7-valen, mengandung serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F.
Ketujuh serotipe PCV penyebab hampir 90% penyakit pneumokokal invasif pada anak usia
muda di Amerika Serikat dan Canada, dan 75% anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat ini
beredar di Indonesia adalah Prevenar® .

Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7

PPV-
23 PCV-7

Polisakarida bakteri
o Konyugasi polisakarida dengan
T- independent antigen protein difteri
Tidak imunogenik pada < 2 o T-dependent

tahun, rekomendasi untuk > 2 o Imunogenik pada anak < 2

tahun tahun

Imunitas jangka pendek, tidak o Mempunyai memori jangka

ada respon booster panjang

Mengandung 23 serotipe o Imunitas jangka panjang, respon

14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A, booster positif

6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, o Mengandung 7 serotip: 4,

12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F

(Pneumo-23® ) (Prevenar® )

Impak dari pemberian vaksin

Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di atas 60 tahun atau
anak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian case-control pada anak ≥2 tahun dengan risiko
dan lansia ≥ 65 tahun di Amerika mendapatkan efikasi sebesar 81% (34%–94%) pasca
vaksinasi.

Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara.

Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤ 2 tahun, 32,2% tahun pertama
dan 23,4% tahun kedua. Efikasi 100% vaksin PCV7 untuk bayi LBW dan prematur,
Efek samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di tempat suntikan, nyeri pada
rabaan dan demam ≥ 380C tidak berbeda antara bayi BBLR dan bayi berat badan normal.
Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode OMA

yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34%

(21 %–45%). Penurunan 51% terhadap OMA yang karena serotipe

sejenis dalam vaksin.

Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis.


Mengurangi kunjungan berobat.
Menurunkan kolonisasi di nasofaring.

Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian penyakit pada umur < 1 tahun
77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun 73% dan umur 4 tahun 49%. Penurunan kejadian
bakteriemia 66%, pneumonia 39% dan meningitis 56%.
Penurunan resistensi S. pneumonia terhadap penisilin 40%
Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan orang dewasa yang tidak
diimunisasi akan terlindungi dari paparan.
Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%.

Rekomendasi

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni 2006

Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada,

Lansia di atas 65 tahun.


Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD yaitu anak
dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit sickle cell, splenic dysfunction
dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik,
multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ.
Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu
penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.
Pasien umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal.

Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi PCV7 sesuai umur dan
pengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun.

Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk anak di atas 2 bulan.

Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun.


Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital atau
didapat, termasuk anak dengan

penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum
splenektomi.

Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma,


limfoma, penyakit Hodgkin, keganasan lain dan transplantasi organ.
Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit jantung
kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.
Pasien kebocoran cairan serebrospinal.
Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya padat,
lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis media.

Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedangkan


dengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak minimal 2 bulan,
diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian.

Dosis & cara pemberian

Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan, dan diulang pada umur 12-
15 bulan.
Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu,
Interval antara dua dosis 4-8 minggu,
Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga.

Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan jadwal dan dosis seperti tertera
pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan

Umur datang pertama kali


Dosis vaksin yang diberikan

7-11 bulan
3 dosis*

12-23 bulan 2 dosis#

≥ 24 bulan sampai 5 tahun 1 dosis

Keterangan:

* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit 2 bulan
setelah dosis kedua

# 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan

Imunisasi untuk anak risiko tinggi

Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan vaksin dengan serotipe yang
lebih banyak menjadi dasar pemikiran pemberian kombinasi ini.

Setelah pemberian imunisasi PCV7, diberikan lanjutan imunisasi PPV23.


Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada
umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik ≥ 2 bulan setelah
PCV terakhir.
Reaksi KIPI

Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping yang


serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama.

Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas tempat
suntikan.
Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur tidak
tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam ringan sering timbul,
namun demam tinggi di atas 39oC jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian dosis
ketiga.
Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang ditemukan.
Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik sindrom, limfadenopati, dan hiper-
imunoglobulinemia.
Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun berlangsung tidak lama, akan
menghilang dalam 3 hari.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,
Wolfe C, NelsonR. Eds.5th edition. Department of Health & Human Services, Public Health
Service, CDC, January 1999.

3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children


& Practice 2000;l3:15-17.
4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third
edition, Wiley, 2003.
5. Red Book. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of

Pediatric, 1997.

6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be reduced


by pneumococcal conjugate vaccines?. In Proceeding of
Pneumococcal diseases in Asian Children. Seoul Korea,
2003.
7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics in
Review, 25: 2004.
8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS,
Tan TQ, Hoffman JA, Givner LB, Yogev R, Barson WJ.
Decrease of invasive pneumococcal infections in children
among 8 Children’s Hospitals inthe United Statesafter the
introduction of the 7-valent Pneumococcal Conjugate
Vaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004.
9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ.
Streptococcus pneumoniae: Description of the Pathogen,
Disease Epidemiology, Treatment, and Prevention.
Pharmacotherapy 25(9):1193-1212, 2005.
10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, Whitney
CG, Mstat EZ, Lexau CA, Thomas AR, HarrisonLH,
Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ,
Schaffner W. Invasive Pneumococcal Disease among
infants before and after introduction of Pneumococcal
Conjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.

Bab VI-9

Rotavirus

Agus Firmansyah

Epidemiologi

Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat musim, umumnya
terjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian diare karena rotavirus terjadi
pada musim panas yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi pada
usia 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan.
Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia disebabkan oleh
rotavirus dengan angka kematian 600.000 pertahun. Angka tersebut mencerminkan 20-
25% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita. Di
Indonesia dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit atau Puskesmas
berkisar 36-61% dari kasus diare pada balita. Namun laporan data survailans di tiga rumah sakit
di Jogyakarta dan Purworejo mendapatkan rotavirus sebagai penyebab diare mencapai 53,4%
dari 1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24 bulan. Genotipe
terbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2 10,9%, dan campuran (mixed infection)
G1 dan G2 7,9%.

Patogenesis

Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang terjadi merupakan
resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek transport akibat efek
toksik protein virus (NSP4). Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah
mengalami regenerasi.

Gejala klinis

Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi antara 24-72 jam dan
gejala yang timbul didahului oleh demam dan muntah dan diare berair yang menyebabkan
dehidrasi berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7 hari, 5% kasus
disertai kejang demam.

Pengobatan

Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi dan pemberian
makanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan selama sakit.

Vaksi n

Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human RV vaccine R/X
4414, dengan sifat sebagai berikut.

Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.


Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope yang sama
dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan
pada manusia.
Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya.
Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan interval 8 minggu.
Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,

Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral)


Masih terdapatnya antibodi maternal
Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Rotavirus

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan Singapura, tidak
ditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV baru. Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah
diare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1%.

Daftar Pustaka

1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl.
Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus in
Indonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM &
PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De
Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccine
in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.

5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on
Vaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.
Bab VI-10

Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia coli

(ETEC)

Agus Firmansyah

Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio cholerae
serotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas, yaitu serangan mendadak berupa
diare cair yang menyemprot yang kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik,
dan hipotensi. Kolera dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada kasus berat bila
tidak diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya akan meninggal. Penyakit ini
umumnya ditularkan lewat air atau makanan yang tercemar dengan tinja manusia,
walaupun Vibrio cholerae dapat pula berkembang biak di air laut dan air tawar.
Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau ringan, infeksi Vibrio cholerae dapat
menimbulkan diare berair yang masif yang menyebabkan syok dan kematian. Infeksi
Vibrio cholerae terjadi melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan
resusitasi cairan dan antibiotik akan berhasil baik.

Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta sertifikat vaksinasi kolera. Oleh
karena vaksin yang beredar saat ini efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek
sampingnya, maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambung
merupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasi
kolera dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkus
peptikum yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine) dan proton pump
inhibitor (misalnya omeprazol). Secara epidemiologis daerah-daerah yang tercatat
ditemukannya kolera ialah Asia, Afrika, Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.

Vaksin Kolera

Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba dan Ogawa) yang telah
dimatikan lewat pemanasan dengan penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini
memberi perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak efektif terhadap Vi
cholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang dengan baik di Banglades dan Filipina, efektivitas
kolera hanya 50-70% dengan lama perlindungannya antara 3-6 bulan.

Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan dan efektif selama 3
tahun. Efek samping berupa anoreksia, diare dan muntah terjadi pada kurang dari 10%
resipien dan berlangsung sementara. Vaksin kolera hidup oral sedang dalam
pengembangan.

Rekomendasi

Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi rutin tidak dianjurkan.
Kepada orang yang melakukan perjalanan dianjurkan lebih baik hati-hati memilih
makanan dan minuman, dipandang lebih penting dari pada vaksinasi.
Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan tentang vaksinasi kolera.
Walaupun demikian, masih ada pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta
sertifikat vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan perjalanan telah
dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin sehingga memiliki sertifikat sebelum
berangkat (ini lebih baik daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatu
negara)
Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan perbatasan sangat lemah, maka
nasehat di atas masih perlu dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada dasar
medis untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka yang melakukan
perjalanan ke luar negeri.

Agus Firmansyah

Dosis vaksin kolera

v. Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalam


v. Dosis dewasa 0,5 ml
v. Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 ml
v. Dosis bayi 0,1 ml
vi. Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memperkuat respons imun, tetapi
tidak direkomendasikan kecuali ada risiko terpajan yang substantif.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi


Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan, sedangkan
gejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius jarang terjadi.

Indikasi Kontra

Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang diketahui hipersensitif


terhadap dosis yang diberikan sebelumnya atau
Bayi berumur kurang dari 6 bulan
Anak-anak yang sering sakit
Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.

Pengelolaan Wabah

Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian wabah.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL.
Characterization of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’
diarrhea acquired in Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82.
4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval F, et
al. Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s diarrhea in 3
regions of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9.
5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49.
6. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable bowel
syndrome. Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86.
7. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al.
Rifaximin versus ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a randomized
double blind clinical trial. Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15.
8. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-308.
9. Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera outbreaks
worldwide, 1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.

Bab VI-11

Yellow Fever

Agus Firmansyah

Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow fever yang
termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena penyakit ini menyebabkan
ikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti serangan flu dan dapat seberat hepatitis atau
demam berdarah. Masa inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal berupa
nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus berat
dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup tinggi
sekitar 50 persen.

Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya vaksinasi wajib
yang disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata. Sangat dianjurkan bagi mereka
yang mengunjungi Afrika dan Amerika Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta

Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki

negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik Afrika
Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana, Liberia, Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, Sao
Tome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan French Guyana di Amerika Selatan.

Epidemiologi

Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang ada diperkotaan
(urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik klinis maupun etiologis tidak berbeda.
Yellow fever yang ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang ditularkan
dari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah dilakukan
pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat menghilang. Bentuk
yang ditemukan di
hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh berbagai
macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat menyebabkan infeksi. Bila orang
tersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow
fever bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan pada
tahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat dan Timur,
ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow fever
meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan vaksinasi.
Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya dapat dicegah dengan cara vaksinasi.

Vaksinasi untuk perjalanan international

Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada negara yang akan
dikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui. Persyaratan ini dapat mengalami
perubahan dari waktu ke waktu sehingga semua orang yang dalam perjalanan harus
mencari informasi dari pejabat kesehatan negara yang bersangkutan. Orangorang yang
tak memenuhi persyaratan untuk vaksinasi yellow fever harus dikarantina. Semua orang
yang berumur lebih dari 1 tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara telah
bepergian dari daerah infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO, harus memiliki
sertifikat vaksinasi international yang baru (yang masih berlaku). Sertifikat vaksinasi
yellow fever berlaku sampai 10 tahun, yaitu berlaku sejak 10 hari setelah tanggal
vaksinasi atau pada kasus revaksinasi sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang
sebelumnya telah dimiliki sampai tanggal revaksinasi.

Vaksin yellow fever

• Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin live attenuated,
berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine), aman digunakan, dan efektif.

Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units.
Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak lebih dari 2 IU
neomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk 5 dosis.
Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan dapat
memberi proteksi sampai 10 tahun.
Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10 tahun.
Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu hamil,
imunokompromais, dan alergi telur.
Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut dan
berjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B dan
campak dapat diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever.
Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam keadaan beku di bawah -
5°C.
Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus disimpan pada suhu 0°C
dan dipakai dalam waktu 1 jam.

Rekomendasi

Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan atau bertempat tinggal di daerah
yellow fever (saat ini di beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus
divaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari petugas
kesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan.
Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan perjalanan ke daerah di luar
perkotaan yellow fever endemis. Perlu waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang
belum sempat dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum divaksinasi.

Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus dipertimbangkan untuk vaksinasi
bila melakukan perjalanan ke daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda,
dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow fever juga harus
divaksinasi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya bersifat ringan; sekitar 2-
5% penerima vaksin merasa pusing, mialgia, demam atau gejala ringan lainnya yang
terjadi 5-10 hari setelah vaksinasi.
Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari terjadi pada 20% kasus.
Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau serangan asma sangat
jarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1 juta dosis pada umumnya terjadi pada
seseorang dengan riwayat alergi telur.
Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun hanya 2 kasus ensefalitis
yang ada hubungannya dengan vaksinasi yellow fever yang telah dilaporkan di Amerika
Serikat. Dari satu kasus yang meninggal, dari jaringan otaknya telah diisolasi virus galur
17D.

Indikasi kontra

Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih rentan terhadap kejadian
ikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak yang lebih besar.
Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi yellow fever sangat besar.
Walaupun belum ada informasi khusus tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan
fetus, namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda

perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah persalinan.

Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat penyakit leukemia,
limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit keganasan pada umumnya, dan juga mereka
yang respons imunnya tertekan oleh kortikosteroid, obat-obat lainnya dan radiasi.
Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang dikembangkan
dalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan kepada anak yang hipersensitif
terhadap telur. Bila seseorang mempunyai pengalaman hipersensitif terhadap
telur, harus dilakukan uji intradermal terlebih dahulu dengan pengawasan medis.
Juga terhadap pasien yang sudah jelas hipersensitif terhadap neomisin dan
polimiksin tidak diberikan vaksinasi.
Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup, misalnya campak
dan kolera tidak boleh diberikan bersama-sama dengan vaksin yellow fever,
diperlukan waktu 4 minggu interval untuk vaksin tersebut apabila diberikan
berurutan.
Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan pengaruh vaksin lain
misalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan Japanese ensefalitis dengan yellow fever.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC, 2008.
4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia:
WB Saunders; 1999. p. 815-80.
5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics. Clin
Infect Dis. 2002;34:1369-78.
6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United
States, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.

7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller
PF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow fever
vaccination. Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and death
following vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of
fatal adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect.
2004;132:939-46.
11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1908-
9.
12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow
fever vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.
13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al.
Yellow fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor for
serious adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63.
14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva.
Diunduh

dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.

Bab VI-12
Japanese Ensefalitis

Q)skandar Qyarif

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat yang
disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab utama penyakit
ensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese ensefalitis ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Culex, Anopheles dan Mansonia.

Epidemiologi

Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 – 15.000 kematian
terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka adalah anak. Di daerah endemik,
setiap tahunnya kejadian klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000
penduduk. Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virus
tersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke -
19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000.
Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub-benua India; 3) Negara Asia
Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan
Vietnam. Di Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun 1968,
Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun 1999.

Patogenesis

Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini disebabkan oleh virus
yang termasuk genus Flavivirus.

Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis nyamuk spesifik yang
menularkan virus JE adalah nyamuk Culex tritaeniochynchus, yang berkembang biak di perairan
tanaman padi, rawa-rawa dan juga pada air menggenang yang terdapat di kolamkolam tempat
penanaman padi.

Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar negara, dan dari tahun ke
tahun. Di kebanyakan daerah, masa penularan dimulai pada bulan April dan Mei dan
berlangsung hingga bulan September atau Oktober.

Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering berpindah-pindah
mengikuti musim dari belahan bumi Utara ke Selatan dan sebaliknya adalah host virus
yang utama. Sekali binatang tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalam
darah mereka tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus ini dapat dengan mudah
menyebar pada setiap nyamuk yang belum terinfeksi yang menggigit binatang yang
telah terinfeksi dan kemudian melanjutkan siklus penularan. Binatang setempat,
kelelawar, ular dan katak dapat juga terinfeksi JE. Manusia dan kuda merupakan
pejamu akhir dari virus dan tidak berkontribusi pada siklus penularan.

Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi dengan virus JE akan
memperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan sampai berat. Faktor yang menentukan hal ini
tidak diketahui. Diduga adalah jalan masuk virus, jumlah virus, keganasan virus, faktor pejamu,
usia, genetik, keadaan umum dan imunitas.

Manifestasi klinis

Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan menimbulkan viemia
sebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejala
awal adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah dan
penurunan kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.

Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis, hanya menimbulkan gejala-gejala
ringan atau bahkan tanpa gejala sedikitpun. Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata 1
dari 300 infeksi. Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14 hari setelah terjadinya
infeksi dan ditandai dengan gejala seperti sakit flu, disertai demam mendadak, menggigil, nyeri
kepala, rasa lelah, mual, dan muntah. Pada anak tahap awal dari penyakit dapat didominasi oleh
nyeri perut dan gangguan pada fungsi pencernaan. Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan pada
saraf akan muncul disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai dari limbung hingga
koma.

Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari dengan gambaran klinis
dibagi atas 3 stadium.

1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai dengan nyeri kepala, lemas,
mual, muntah. Gejala ini berlangsung dalam 1-6 hari.
2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda rangsangan meningeal,
kejang, spastis dan gejala piramidal. Stadium ini berlangsung selama 2 minggu.

3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya demam berkurang,
gejala neurologis menetap, gejala sisa menetap seperti kerusakan mental, emosi labil,
lesi motor neuron dan afasia.

Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi meningitis aseptik. Kejang terjadi
pada 85% anak dan pada 10% dewasa. Beberapa anak mengalami kejang yang diikuti
perbaikan kesadaran dengan cepat sehingga didiagnosis kejang demam. Kejang umum tonik
klonik lebih sering terjadi daripada kejang fokal. Kejang berulang atau kejang lama menandakan
prognosis yang jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching jari-jari, mata dan mulut, nistagmus,
deviasi mata atau pernafasan tidak teratur.

Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata tidak berkedip, tremor,
hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-

80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada 15%
pasien.

Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill rolling, opsoklonus
mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facial
upper motor neuron (UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahan
pola pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda prognosis yang jelek.

Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan gejala lumpuh layu
mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai dibanding lengan dan biasanya
asimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun
kemudian terdapat kelemahan yang menetap.

Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang berakibat fatal pada
30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan kerusakan otak yang serius
termasuk kelumpuhan dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang mendukung
untuk ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak ada obat yang
dapat menyembuhkan JE.

Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami sekuele pada
saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan gejala sisa
pada saraf dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang terjadi pada
trimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam rahim yang
berakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit meninggal dan
1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan atas dan hiperekstensi
tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen kasus mengalami gangguan kognitif berat dan
gangguan bahasa. Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan kelainan
neurologis yang ringan.

Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi. Peningkatan tekanan intrakranial


ditemukan pada 50% pasien dan

mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm3 dengan limfosit predominan,
protein 50-200 mg% dan glukosa normal.

Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus, herpes, enterovirus,


postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis), infeksi susunan saraf pusat (SSP) lain
(meningitis bakteri, TBC, malaria serebral, leptospirosis, tetanus, abses), infeksi lain
dengan manifestasi SSP (tifoid ensefalopati, kejang demam), dan penyakit noninfeksi
(tumor, Reye sindrom, epilepsi, ensefalopati toksik dan alkoholik).

Diagnosis

Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis laboratorium


dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara serologis, biologis, identifikasi virus
JE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE
jarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi antibodi
netralisasi.1,2 Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi
(HI), uji komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji HI
dan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat mendeteksi JE pada
stadium lebih lanjut.

Pencegahan
1. Terhadap vektor

Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia, ekologis dan genetik.

2. Terhadap reservoir

Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya virus JE atau antibodi
dalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.

3. Pencegahan terhadap manusia

mencegah terjadinya gigitan nyamuk.


memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan.

Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus per tahun yang
terdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang bepergian ke daerah
pedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah endemik kemungkinan terkena
terutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa dipertimbangkan jika bepergian ke daerah
pedesaan dan tinggal selama lebih dari 2 minggu.

Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese ensefalitis.
Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di beberapa negara, tetapi vaksin
tersebut memiliki banyak keterbatasan. Vaksin tersebut merupakan inactivated
mouse-brain derived vaccine, dan diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksi
setiap dosis vaksin sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai
90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.

Vaksin JE

Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu vaksin inactivated
yang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin inactivated galur Nakayama yang
dibuat dari otak mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur jaringan ginjal
marmut.
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7 dan 28.
Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan
jadwal yang sama.
Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml 3 tahun kemudian.

Penelitian terkontrol yang dilakukan di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JE
ternyata efektif dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama masa
kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE pada 9 dari 10 orang.
Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan dan keamanan vaksin JE pada anak berusia
di bawah 1 tahun.

KIPI VaksinasI JE

Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup, tempat suntikan menjadi
kemerahan dan bengkak, demam, nyeri kepala, bercak pada kulit, menggigil, pusing,
mual dan muntah, serta sakit perut. Juga dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini secara
resmi vaksin ini belum masuk ke Indonesia, tapi di beberapa tempat seperti Bali, vaksin
ini tersedia.

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap virus, dan obat
anti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi
perawatan pasien yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejala
dan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil penelitian double blind
plasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon efektif
untuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan percobaan.

Daftar Pustaka

1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg


Psychiatry 2000; 68: 405-15.
2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around Pondicherry,
South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.

Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.


3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine. Didapat
dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children. Pediatrica
Indonesiana 2005; 44: 46-8.
5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of Japanese
encephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12): 1020-5.
6. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure in
Vietnamese patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93.
7. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypical
presentation of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6.
8. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1
year after immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a case
control study. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
9. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, editors. Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58.
10. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38.
11. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and
Japanese encephalitis vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinN
Am. 2005;19:151- 168.
12. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378.
13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects. Curr
Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38.
14. Plesner AM. Allergic reactions to Japanese encephalitis vaccine. Immunol Allergy Clin
North Am. 2003;23:665-97.

15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse events
after Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data from
Japan and the United States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963- 2969.

Bab VI-13

Meningokokus

Dahlan Ali Musa

Epidemiologi

Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan meningokoksemia, dan


atau meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokus
gram negatif. Bakteri yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan
polisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup.
Serogrup tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yang
pasti antara serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan C
merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia, yang sering
mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai penyebabnya. Di Australia pada
tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan
puncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadi
secara siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelah
timur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian selatan. Di Brazil,
India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh
serogrup A dan C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang dilaporkan di
dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan terjadi pada musim haji di Saudi Arabia
pada tahun 2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135 di Afrika Sub-
Sahara.

Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di saluran nafas yang asimtomatik


terdapat sekitar 20%, prevalensi akan meningkat pada penduduk yang hidup berkelompok di

suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di kelompok yang terlokalisasi, sering
diantara anggota keluarga serumah, kelompok anak-anak prasekolah atau unit militer,
dimungkinkan karena penyebaran organisme galur ganas di dalam kelompok.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang dari 4 hari.
Onset penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan demam, menggigil,
sangat lemah, prostration dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula,
ruam makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskular
deseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapat
bermanifestasi dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda
klinis meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri
patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis, miokarditis,
perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.

Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan kepada jemaah haji
yang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yang
sangat banyak serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yang
sering terjadi siklus epidemik meningokokus.

Vaksin tetravalen

Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified polysaccharides dari N.meningitidis


serogrup A,C,W-135 dan Y, masing-masing antigen 50 mcg di dalam 0.5 ml dengan fenol
25% sebagai preservasi.
Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan garam faali sebagai pelarut dalam
botol yang terpisah dan vial 10 dosis dengan vial pelarut yang terpisah.

Saat ini belum tersedia vaksinuntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena
vaksin yang mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup B
secara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan antibodi.
Imunitas yang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.

Rekomendasi

Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam


Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90% penerima vaksin
yang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi dalam
waktu 10-14 hari setelah pemberian vaksin.
Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada tempat yang
berbeda
Vaksin disimpan pada temperatur 2oC-8oC dan tidak boleh beku.

Indikasi

Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkan


Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai risiko
tinggi.
Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa oleh salah satu serogrup yang
dikandung oleh vaksin.
Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju daerah atau negara
yang dikenal sebagai daerah hiperendemik atau epidemik penyakit meningokok.

Imunisasi ulang

Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama 10 tahun, tetapi pada
anak khususnya yang menerima vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi dengan
cepat menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.

Apabila terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh infeksi subgrup C,
maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun kepada anak yang menerima
imunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan setelah 5 tahun kepada anak yang menerima
imunisasi pada usia di atas 4 tahun.
Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi pertama
tampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi paparan baru terhadap
penyakit dalam kurun waktu tersebut.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi

Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan kemerahan lokal selama 1-
2 hari.
Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.
3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor.
Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village,
IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J Med.
2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C
meningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine. Lancet.
2002;359:1829-31.

7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal


conjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2006;55: 364-6.

8. CDC. Notice to Readers: Recommendation from the Advisory Committee on Immunization


Practices (ACIP) for Use of Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) in
Children Aged 2-10 Years at Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease. MMWR
2007;56(48):1265-1266.
9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal
Conjugate Vaccine. MMWR 2007;56(31):794-795.

Bab VI-14

HUMAN PAPILLOMA VIRUS

Kusnandi Rusmil

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan suatu infeksi yang
sering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi HPV dapat sembuh sempurna, namun
apabila menetap lebih dari 2 tahun (persistent infection) dapat berkembang menjadi lesi
pra-kanker disebut CIN= cervical intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akan
menjadi kanker serviks (kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625 infeksi HPV.
Terbukti hasil pemeriksaan patologi dari spesimen pasien kanker serviks 99,7%
ditemukan HPV DNA, tipe risiko tinggi atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe
16 dan 18.

Epidemiologi

Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab kematian wanita
akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000 kasus baru, 288.000 kasus meninggal, atau
setiap dua menit seorang wanita meninggal oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leher
rahim 80% kasus dijumpai di negara yang sedang berkembang. Di Asia Pasifik setiap empat
menit seorang wanita meninggal dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian kanker leher
rahim merupakan penyebab kematian pertama kanker pada perempuan. Diperkirakan terdapat
80-100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk pertahun.

Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian infeksi pada wanita
berkisar 50%-80% selama hidupnya, 50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kanker leher
rahim merupakan manifestasi klinis dari infeksi (HPV) persisten.

Risiko tertinggi infeksi HPV terjadi pada usia remaja dan kanker leher rahim bisa mengenai
wanita mulai umur 15 tahun.

Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah infeksi HPV
menetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi infeksi
HPV menjadi kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada usia
muda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginya
frekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus),
koinfeksi klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif,
faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan pendidikan
rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan pelayanan kesehatan).

Vaksin HPV

Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan imunogenisitas yang


tinggi.
Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi rekombinan. Vaksin
HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan infeksi HPV.
Terdapat 2 jenis vaksin HPV
Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)
Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil @),
Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan di
Indonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.

Human Papilloma Virus

KIPI vaksin HPV

Efek samping lokal vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah


nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan.
Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah demam, nyeri kepala
dan mual.

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI

Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak umur > 10 tahun.
Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid.
Jadwal

Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan,


Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan.

Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen

Vaksin HPV
16/18 Vaksin HPV

6/11/16/18

Volume Per dosis 0.5


mL Per dosis 0,5 mL

Adjuvant A
SO4 Garam aluminium 225

Al(OH)3 500 ug ug

MPL 50 ug

Antigen L1 HPV 16 20
ug L1 HPV 6 40 ug

L1 HPV 18 20 ug L1 HPV 11 20 ug

L1 HPV 16 40 ug L1 HPV 18 20 ug

Expression system Hi- 5


Baculovirus Ragi (yeast)

Jadwal pemberian
0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular Umur pra remaja(>10 th)
Umur pra remaja (>10 th)
Daftar Pustaka

1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/


fs289/en/html.
2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of pediatrician
knowledge and attitudes regarding human papillomavirus vaccination. Pediatrics
2006;118:2280-9.
3. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen Obstetri-
Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007.
4. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78.

5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.

Pen gantar

Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya proteksi yang
ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat tergantung dosis, biasanya hanya
bertahan beberapa minggu.

Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik. Imunoglobulin yang
normal berasal dari kumpulan plasma darah donor yang mengandung antibodi terhadap
virus yang banyak ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik
digunakan untuk proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV,
hepatitis B, rabies, tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari
darah penderita dengan penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barn
mendapat imunisasi atau seseorang yang pada skrening mempunyai titer antibodi tinggi.

Toto Wisnu Hendrarto

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan untuk memberikan
imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan
tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan
terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap
infeksi bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja antibodi terhadap
infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel
natural-killer untuk melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkan
efek proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel memori dalam sistem imunitas tubuh,
proteksi bersifat sementara selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien, dan
perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap patogen/ antigen
spesifik.

Jenis imunisasi pasif

Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas pasif alami
terjadi saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi
di akhir trimester pertama kehamilan, dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasenta
adalah imunoglobulin G (IgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi
melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer
imunitas pasif didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya. Jenis imunisasi pasif atau
seroterapi tergantung dari cara pemberian dan jenis antibodi yang diinginkan, yaitu

Imunoglobulin (Ig)
Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV)
Imunoglobulin spesifik (hyperimmune)
Antiserum (antibodi dari binatang)
Plasma manusia
Indikasi imunisasi pasif

Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila antibodi diberikan pada pasien
defisiensi sistem imun dan untuk pengobatan bila antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu.
Indikasi pemberian imunisasi pasif,

1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun didapat. Kelainan


tersebut dapat murni gangguan pada limfosit B sendiri, dapat juga kombinasi
gangguan/ defisiensi sistem imun lainnya.
2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila terpapar oleh
infeksi tertentu karena adanya imunokompromis, misalnya pasien leukemia yang
terpapar infeksi campak atau cacar air.
3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang tidak dapat
terpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada neonatus dengan ibu
HBsAg positif.
4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus difteri,
tetanus.

5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ tertentu, misal pada
pasien penyakit Kawasaki.

Imunoglobulin (Ig)

Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang diproses melalui fraksinasi
alkohol, steril dan tidak tercemar oleh virus hepatotropik, HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar
16,5% atau 165 mg/mL merupakan komposisi protein tertentu berasal dari plasma populasi yang
sembuh/ pernah terpapar satu infeksi atau telah mendapat vaksinasi tertentu, sehingga memiliki
antibodi spesifik terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang dikandung 95% IgG, sisanya IgA dan IgM.

Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada anak yang lebih besar atau
paha bagian anterior lateral pada pasien anak lebih kecil atau bayi. Jumlah maksimal yang
dapat diberikan pada setiap kali suntikan adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3 ml pada
anak lebih kecil atau bayi. Khusus kasus defisiensi imun diberikan subkutan, tidak
direkomendasikan pemberian intrakutan, sedangkan pemberian intravaskular merupakan
kontraindikasi. Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig diberikan pada suhu
kamar.

Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam 48-72 jam setelah
pemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu.

Indikasi pemberian Imunoglobulin

1. Terapi defisiensi antibodi

Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara intra muskular (im) per
bulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis, selanjutnya diberikan dengan interval 2-4
minggu. Pada pasien dewasa dapat diberikan subkutan, sehingga dapat dilakukan
secara rawat jalan di rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada 1% kasus, dan reaksi
jaringan lokal biasanya ringan.

2. Profilaksis hepatitis A

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit hepatitis A bila diberikan dalam 14
hari setelah terpapar. Semua

wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang, termasuk Afrika, Timur
Tengah, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan, perlu diberikan Ig atau vaksin
hepatitis A sebelum keberangkatan. Ig dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau 2 ml diberikan
untuk orang dewasa, yang akan terpajan lebih dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebih
lama, diberikan 0.06 ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses pemajanan
terus berlangsung.

3. Profilaksis campak

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak bila diberikan dalam 6 hari
setelah terpapar.

Efek samping Imunoglobulin

1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila Ig diberikan pada suhu kamar.
Reaksi lain dan jarang terjadi adalah muka kemerahan (flushing), nyeri kepala, menggigil
dan mual.
dan mual.
2. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas, reaksi
anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik meningkat bila diberikan
secara intra vena (iv). Pemberian Ig dosis berulang dapat menimbulkan reaksi
sistemik seperti demam, menggigil, berkeringat, perasaan tidak nyaman dan
renjatan.
3. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit, menimbulkan
antibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada pemberian Ig berikutnya, tranfusi
darah lengkap (whole blood) atau plasma Gejala sistemik yang timbul adalah
menggigil, dengan gejala mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini dianjurkan
pemberian IgIV tanpa IgA.
4. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat terjadi, dan bisa
menimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang terjadi.

5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.

Perhatian khusus pada pemberian imunoglobulin

1. Hati-hati memberikan Ig pada pasien yang alergi pada pemberian Ig.


2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi sistemik akut atau
anafilaksis, meskipun jarang terjadi.
3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan gangguan koagulasi.
Pada kasus ini dianjurkan pemberian IgIV
4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin intravena

Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan pembuatan Ig,
dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yang
direkomendasi, harus mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri, polio
dan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari satu
pruduk dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya.
Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal.

Indikasi pemberian imunoglobulin intravena

1. Defisiensi antibodi

Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat badan, diberikan
sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada masing-masing pasien berbeda, rata-rata
200-800 mg/ kg berat badan per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500 mgdL (5
g/L) sudah menghasilkan respon klinis yang baik.

2. Penyakit Kawasaki.

Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan mengurangi lamanya
demam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/
kg berat badan, dosis tunggal diberikan dalam 10-12 jam.

3. Infeksi HIV pada anak

Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut,

Adanya infeksi bakteri berulang, meskipun sudah diberikan profilaksis antibiotik.


Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak, meskipun sudah diberikan 2 kali,
terutama bagi pasien yang tinggal di daerah endemis campak.
Adanya trombositopeni meskipun sudah mendapat terapi antiretroviral
Masih adanya bronkiektasis meskipun sudah mendapat terapi pulmonal dan antibiotik.

4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis, untuk mengurangi timbulnya


infeksi bakterial berulang.

5. Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien transplantasi sumsum tulang.
Pada pasien dewasa untuk menurunkan insidensi pneumonia interstisial terutama yang
disebabkan oleh sitomegalovirus.
6. Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti aman dan efektif
dalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV tidak direkomendasikan diberikan
rutin untuk mencegah sepsis awit lambat.
7. Kasus sindrom Guillain Barre
8. Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi Parvovirus B-19, mieloma
multipel, resipien organ dari pasien dengan sitomegalovirus positif, neonatus
dengan hipogamaglobulinemia yang berisiko infeksi, intractable epilepsy, sindrom
vaskulitis sistemik, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia aloimun pada
neonatal yang tidak berespon terhadap pengobatan, immune-mediated
neutropenia, miastenia gravis dekompensata, dermatomiositis, polimiositis dan
trombositopenia berat yang tidak berespon terhadap terapi.

Efek samping pemberian imunoglobulin intravena

Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat jarang terjadi dan tidak
ada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya. Beberapa efek samping yang sering terjadi,

Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi, menggigil dan gejala sistemik.
Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia, kecemasan, mual atau
muntah.
Gejala vasomotor atau kardiovaskular ringan ditandai dengan kulit kemerahan, perubahan
tekanan darah dan takikardia.
Meningitis aseptik.
Reaksi hipersensitifitas.
Gagal ginjal akut.

Perhatian khusus pada pemberian IgIV

1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat alergi pada pemberian
imunoglobulin.
2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi
sistemik akut, meskipun jarang terjadi.
3. Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan maupun
volume pemberian. Pasien dengan reaksi berat berulang yang tidak
berespons dengan cara tersebut, berikan hidrokortison 1-2 mg/kg berat
badan secara IV selama 30 menit sebelum pemberian IgIV, atau berikan
preparat IgIV lain, tambahkan difenhidramin, aseaminofen atau aspirin
sebelum pemberian IgIV.
4. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagal
jantung sering terjadi saat memberikan IgIV dengan volume besar pada
pasien sakit berat.

5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin

Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi maupun karakteristik biologi


berbeda dengan imunoglobulin normal. Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandungan
antibodi spesifiknya. Sediaan ini diambil dari kumpulan darah pasien pada masa penyembuhan
dari penyakit tertentu atau setelah pemberian vaksinasi tertentu, sehingga darahnya
mengandung titer antibodi sangat tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk itu IgS diindikasikan
untuk pencegahan infeksi bakteri spesifik seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridium
lain, infeksi saluran nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan pseudomanas. Pencegahan
infeksi virus seperti hepatitis A, B, C; TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1
diuraikan ringkasan kegunaan IgS pada pencegahan dan pengobatan infeksi.

Antitoksin difteria

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan sirkulasi,
dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan mencegah
timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi

20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada pharing dan laring dalam waktu
48 jam.
40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing
80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.

Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegah
timbulnya reaksi alergi/ anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan
secara intramuskular.

Imunoglobulin tetanus (human tetanus immune globulin)

Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan untuk pencegahan pada luka dalam
yang kotor, yang tidak akan terlindungi hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayat
imunisasinya tidak jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Disamping itu, juga diindikasikan untuk pengobatan dalam upaya netralisasi toksin yang bekerja
sistemik. Dosis pemberian Ig tetanus untuk pencegahan adalah 250 unit, diberikan secara im.
Untuk pengobatan, dosisnya adalah 3.000- 6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum dosis
diberikan 500 U, diberikan secara im.

Antitoksin Tetanus

Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang
sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis
tunggal antitoksin tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus
neonatorum diberikan dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah
20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV
dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada
paha antero lateral.

Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi

Infeksi Pencegahan
Rekomen Pengobatan Rekomen‑

dasi dasi

Infeksi Bakteri Infeksi respirasi (S.pneumoniae,


N.meningitis, Terbukti Tidak
Terbukti Tidak
H. influenzae)

Difteri Tidak terbukti


Tidak Terbukti

Pertusis Tidak terbukti


Tidak Tidak Tidak

terbukti

Tetanus
Terbukti Terbukti

Jenis clostridium

lain: Terbukti Terbukti

C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin


C.difficile
bermanfaat

Infeksi
Staphylococcus

Sindrom syok toksik


Resisten antibiotik
S.epidermidis pada
neonatus

Tidak terbukti

Tidak terbukti Mungkin bermanfaat


Mungkin bermanfaat Mungkin bermanfaat Belum ada penelitian

Infeksi Pencegahan
Rekomen Pengobatan Rekomen‑

dasi dasi

Hepatitis B
Terbukti Tidak

bermanfaat

Hepatitis C Tidak
Tidak Tidak

bermanfaat

HIV Tidak
Tidak Tidak Tidak

terbukti

RSV
Terbukti Tidak Tidak

terbukti

Mungkin
Virus Herpes bermanfaat
Tidak Tidak Tidak
CMV Terbukti Tidak terbukti
EBV Tidak Tidak Tidak Tidak
HSV Terbukti terbukti Tidak
VZV Tidak
terbukti

Parvovirus Tidak
Tidak Terbukti Tidak

Enterovirus Terbukti
Tidak Terbukti Tidak

Pada neonatus Tidak Mungkin

bermanfaat

Ebola Mungkin
Tidak

bermanfaat terbukti

Rabies Terbukti
Tidak

bermanfaat

Measles
Terbukti Tidak

bermanfaat

Rubella Tidak
Tidak Tidak

bermanfaat

Mumps Tidak
Tidak Tidak

bermanfaat

Tick borne
Mungkin Tidak

encephalitis bermanfaat bermanfaat

Vaccinia
Terbukti Terbukti

Keller MA.,dan Stiehm ER.


Clin.Microbiol.Rev. 2000.

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan terlebih dulu skin
test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis. Skin test dilakukan dengan menyuntikkan
antitoksin yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100,
sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi
dengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000) dilakukan terhadap
pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum binatang.
Sebagai kontrol di tempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30 menit
setelah suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan berupa eritema
dengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasi
terhadap pasien.

Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune globulin)

Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin yang menyebar


secara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor di presinaptik neuro-endplate,
sehingga menimbulkan konstipasi, gangguan menelan, letargi, kelumpuhan saraf
kranial sampai kelumpuhan umum. Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat badan,
diberikan secara IV.

Imunoglobulin hepatitis A

Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada paparan virus hepatitis
A, secara im, dan perlindungan yang diperoleh sebesar 85%. Karena tidak mengandung
timerosal, dapat diberikan pada wanita hamil dan bayi.

Imunoglobulin hepatitis B

Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer tinggi anti-HBs dan bebas
terhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki
adalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung antibodi
terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.

Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk memberikan perlindungan aktif
terutama pada ibu dengan HBsAg positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta.
Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontal
misalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig hepatitis
B

Pada masa perinatal

- Berat lahir kurang dari 2000 gram

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada paha sisi
lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang
diberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnya
diberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal vaksinasi
lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yang
tidak responsif pada vaksinasi hepatitis B.

- Berat lahir lebih dari 2000 gram,

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada paha sisi
lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang
diberikan merupakan bagian 3 dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan.

Pada kasus kontak seksual hepatitis B

Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi kontak dengan dosis 0,06
mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal yang dianjurkan, pada
pasien yang belum pernah diberikan vaksinasi.
Kontak serumah dengan pasien hepatitis B:

Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml, diberikan secara im. Dosis bagi
pasien lebih tua umurnya atau dewasa diberikan dengan dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau 5
mL.

Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV)

IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap infeksi CMV. Dosis
awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan setiap 2 minggu, diturunkan bertahap
sampai 16 minggu. IgIV CMV efektif untuk penderita transplantasi ginjal dan hati. Penggunaan
pada neonatus untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus masih belum
diketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian terutama dalam pembuktian
klinis pada sukarelawan dan penderita transplantasi ginjal.

Imunoglobulin rabies

Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat badan),
diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam upaya pencegahan pasca
paparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila
IgR tidak tersedia, vaksin dapat diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 hari
pertama setelah pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harus
diusahakan untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan pengobatan.
Dosis IgR 20 IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya diberikan secara infiltrasi di
sekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat dan jarum suntik yang terpisah. Bila
lukanya banyak, lakukan pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup
(diencerkan 2-3 kalinya). Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian
IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL (300 IU) dan 10 mL
(1500 IU). Antibodi pasif dapat menghambat

respon vaksin rabies; oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksin
tidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi hipersensitifitas
terhadap IgR jarang terjadi.

Plasma dari Manusia

Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi walaupun terbatas karena resiko
tercemar hepatitis. Biasanya digunakan pada pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnya
protein dan adanya penelitian untuk mencegah infeksi pseudomonas. Pemberian plasma
bermanfaat pula untuk pasien defisiensi antibodi IgG, karena plasma juga mengandung Ig.

Antibodi hewan (antisera hewan)

Dibuat dari serum kuda, dengan cara mengendapkan fraksi globulin serum dengan amonium
sulfat. Digunakan pada penyakit berikut:

Antitoksin botulism, trivalen (jenis A, B, E)


Antitoksin difteri
Antitoksin tetanus
Globulin rabies

Antitoksin difteri

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan


sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi

20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada pharyng dan laryng dalam
waktu 48 jam.
40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.

Tes hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegah
timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan
secara im.

Antitoksin tetanus

Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang sebanyak
1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin
tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan
dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksin
dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis
yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.

Antitoksin botulinum

Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya penyakit, pada pasien
dewasa dapat diberikan antara 2-4 vial, secara im atau iv. Sebelum pemberian anti
toksin botulinum harus dilakukan uji sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch, prick,
atau puncture test. Bila hasilnya negatIf dilanjutkan dengan tindakan kedua yaitu
dengan melakukan tes intradermal, yang menunjukan hasil positif bila terbentuk indurasi
selebar 3 mm dalam waktu 15-20 menit setelah tes dilakukan. Bila hasil tes positif dan
didapat riwayat alergi, antitoksin botulinum diberikan melalui desensitisasi.

Indikasi antisera hewan

Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum hewan demikian terbatas
dan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila preparat Ig dari manusia tidak tersedia,
(misalnya untuk difteria dan botulism).

Reaksi terhadap serum hewan

Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya atopi seperti asma,
rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan
atopi tersebut, pemberian serum hewan sangat berbahaya, kecuali pada kondisi tertentu.

Tes sensitivitas terhadap serum hewan

Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan. Tes Intradermal (ID)
dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari serum yang diencerkan dengan Nacl 0,9%
1:100, dan dibaca setelah 10 sampai 30 menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan. Pada
penderita yang berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah memberikan 0,05 ml serum yang
diencerkan dengan Salin 1:1000 secara intradermal. Tes intradermal dapat menimbulkan
kematian, oleh karena itu persiapkan tindakan terapi reaksi anafilaksis dengan mempersiapkan
semprit yang berisi 1 ml 1:1000 epinefrin yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianya
personil yang trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara intravena bila
diperlukan.

Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup aman adalah scratch
test. Scratch, prick atau puncture test dilakukan dengan pemberian satu tetes 1:100
serum yang diencerkan dengan Salin pada kulit yang digores secara superfisial dan
ditunggu 15–30 menit. Hasil yang positif menunjukkan kemerahan atau indurasi.

Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai ditinggalkan adalah tes mata.
Tes mata dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes serum yang diencerkan dengan
salin 1:10 pada satu mata, sementara mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin sebagai
kontrol. Hasil tes positif, apabila terdapat produksi airmata yang berlebihan dan adanya
reaksi kemerahan atau konjungtifitis setelah 10 sampai 30 menit pada sisi mata yang
diberi serum. Beberapa ahli

Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes intradermal.

Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat diindikasikan sensitif.
Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan
sensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian iv
dapat dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi secara
cepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan 10 ml salin atau
glukosa 5% diberikan secara intravena sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat
reaksinya. Bila reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV dengan
kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit

Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan diberikan apa tidak.
Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan
epinefrin 1:1000 siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut:

1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan


2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular 7. sisanya serum
tidak diencerkan diberikan secara intra muskular

Jenis reaksi terhadap serum hewan

Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan antibodi IgE,
yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit. 1) Reaksi demam tiba-tiba,
biasanya ringan karena semua serum

sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan

antipiretik.

2. Serum sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu),
setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria, ras makulopapuler, (90% kasus),
arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan,
sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré,
neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisa
timbul ringan dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita yang
pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi serum sickness lebih
cepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantu
mengatasi gatal, edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapat
diatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidak
berhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5
sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari.
3. Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah terpapar zat
allergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala yang terjadi. Gejala
utamanya adalah pada kulit gatal, merah, urtikaria, dan angioedem. Gangguan
pernapasan seperti serak dan stridor, batuk, mengi, sesak nafas dan sianosis.
Sistem kardiovaskular: nadi cepat dan lemah, hipotensi, dan aritmia. Gangguan
pencernaan spasme dinding perut, muntah, diare, dan mulut kering.

Anafilaksis sebagai kegawatan medis Pengobatan reaksi anafilaksis

Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus siap
menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat

medis, dan personel yang terampil dalam resusitasi kardiopulmonal

harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.

Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala ringan seperti gatal,
eritema, urtikaria dan angioedem diatasi

dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh suntikan difenhidramin atau
antihistamin lain yang diberikan per oral atau parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulang
setiap 5-15 menit, sampai kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil.

Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa dengan gejala spasme bronkus,
edem laring, renjatan dan gangguan kardiovaskuler memerlukan tindakan lanjut. Lakukan
tindakan resusitasi dengan mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga sirkulasi dengan
memberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian tetesan cepat larutan kristaloid seperti garam
fisiologis atau ringer laktat dilakukan untuk mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yang
diencerkan 1:1000, diberikan IV, merupakan indikasi pada keadaan ini. Obat-obatan lain yang
diperlukan adalah aminofilin IV untuk mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik seperti
dopamine untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi antihistamin reseptor H1, H2 yang
dapat memberikan efek sinergis, serta kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan segera.
Semua penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4 sampai 24 jam, karena
adanya reaksi berulang. (lihat bab Cara mengatasi syok anafilaksis)

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering


LK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27.
Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.
2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious
Diseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.
3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.
4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters
Kluwer Health, Inc. 2006.
Vaksin Kombinasi (vaksin kombo)

Pen gantar

Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin yang telah
diperbaharui dengan teknologi canggih berada di pasaran. Diperkenalkannya vaksin
baru di Indonesia, berakibat pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit.
Dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur
5 tahun akan mendapat 13 kali suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untuk
mengurangi jumlah suntikan telah dicoba memberikan beberapa jenis vaksin secara
bersama-sama pada satu saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin
kombinasi (vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu alternatif cara
untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Seperti telah diketahui
bahwa tujuan akhir dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi di pasaran
berfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.

Vaksin Kombinasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Vaksin kombinasi adalah

Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah
penyakit yang berbeda. Misalnya vaksin kombinasi DTP/Hib adalah gabungan antigen-
antigen D-T-P dengan antigen Hib untuk mencegah penyakit difteria, pertusis, tetanus, dan
Hib.
Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu organisme penyebab penyakit
yang sama. Misalnya vaksin polio terdiri dari antigen polio-1, polio-2, dan polio-3 untuk
pencegahan penyakit poliomielitis (galur 1, 2, dan 3).

Dasar vaksin kombinasi

Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah,

Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan dengan vaksin vaksin monovalen,
sehingga mempermudah pemberian maka dapat lebih meningkatkan cakupan imunisasi,
Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan sehingga mengurangi biaya
pengobatan,
Mengurangi biaya pengadaan vaksin,
Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telah
ada,
Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up immunization), dan
Biaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran termasuk biaya berobat,
transportasi, kecemasan anak dan

orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin, maka vaksin kombinasi lebih murah
dibandingkan apabila beberapa vaksin monovalen diberikan secara terpisah.

Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan.

Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi maupun fisis, sebagai akibat


percampuran beberapa antigen beserta ajuvan, zat preservasi dan bufer.
Sulit dihindari adanya perubahan respons imun (imunogenitas), sebagai akibat interaksi
antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda.
Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun jadwal
imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.

Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan vaksin kombinasi, perlu membuat
perencanaan dalam jadwal imunisasi.

The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the American Academy of Pediatrics
(AAP) dan the American Academy of Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baik
mempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik daripada memberikan dua
jenis vaksin monovalen yang diberikan secara terpisah pada saat bersamaan. Vaksin kombinasi
yang dianjurkan adalah vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara
masing-masing, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI (BPOM Depkes).

Daya Proteksi

Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan setelah
diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian

mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan tersamar. Laporan
beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin
kombinasi di Amerika dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau
komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah.
Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang pencegahan (protective level).
Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksin
monovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg
>10 IU/ml). Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/ IPV
dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga tampak pada vaksin
kombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih rendah dibandingkan vaksin varisela
terpisah. Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa memberikan
vaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama dengan vaksin
monovalen setelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan.

Imunogenitas

Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi yang terbentuk
sehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yang
terbentuk akan mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada vaksin
kombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga secara
teori dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi untuk mengikat antigen.
Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi efikasi
vaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis akan menjadi tidak aktif sebagai
akibat proses kimiawi dari ajuvan formaldehid, aluminium hidroksida, atau aluminium
fosfat. Dapat pula karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan setelah
ditambah antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan

berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan mempengaruhi komponen
vaksin lain.

Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil beberapa penelitian mengenai vaksin
kombinasi. Penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi DTwP/hepB
atau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti memberikan imunogenisitas yang tinggi
terhadap semua antigen (anti difteria, anti pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP) tanpa
mempengaruhi respons imun satu sama lainnya. Khususnya antiHBsAg pada vaksin kombinasi
DTwP/HepB memberikan respons antibodi lebih baik daripada diberikan terpisah, sesuai
dengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga DTwP menjadi ajuvan pada vaksin kombinasi
DTwP/HepB sehingga akan membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam penelitian di
Mexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin kombinasi DTwP/ HepB
dibandingkan dengan pemberian terpisah pada umur 3, 4, dan 5 bulan. Setelah pemberian dosis
kedua, proporsi titer antibodi anti HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih tinggi (94,9%)
dibandingkan pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan juga bahwa pada penelitian serupa dari
kelompok vaksin DTwP/ hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%) sebanding dengan
kelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib (95,7%).

Reaktogenitas

Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran vaksin kombinasi di


Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan keamanan (reaktogenitas) vaksin
kombinasi tersebut, dibandingkan dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yang
telah beredar sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwa
reaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan dari pada antigen
yang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi baik pada vaksin kombinasi
DTwP/hepB tidak berbeda dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada
pemberian
vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal daripada DTwP dan Hib
terpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi MMR/V, jumlah ruam morbili form akan lebih
banyak dijumpai walaupun jumlah ruam tidak lebih banyak dibandingkan vaksin yang diberikan
terpisah.

Angka Cakupan

Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate) vaksin kombinasi
DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan
daya cakupan yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah
(84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat mengurangi
total biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu pengurangan
jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan biaya dapat menjadi sebab
meningkatkan angka cakupan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan

Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda

Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda
dapat diberikan secara bergantian pada seorang anak sesuai dengan jadwal
imunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib. Namun, untuk vaksin kombinasi
apabila akan digunakan secara bergantian dengan vaksin monovalen
(interchangeability) sebaiknya memilih vaksin dari pabrik yang sama. Demikian juga
untuk vaksin kombinasi yang mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin
dari pabrik yang sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat
ini belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak beredar.

Respons serologi vaksin kombinasi

Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda secara
bergantian ditentukan oleh respons serologi penyakit tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA,
dan Hib telah terbukti dapat diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda, komponen Hib akan
menentukan dapat atau tidaknya vaksin tersebut dipakai secara bergantian. Dari beberapa studi
yang telah dilakukan, ternyata komponen utama vaksin Hib dalam vaksin kombinasi adalah
PRP-T (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan toksoid tetanus) dan bukan PRP-OMP
(polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan outer membrane protein), jadi apabila suntikan
pertama PRP-OMP maka suntikan kedua sebaiknya PRP-T, sedangkan suntikan ketiga boleh
jenis vaksin Hib yang mana saja.

Pengadaan dan penyimpanan vaksin

Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis vaksin yang telah
direkomendasikan dalam jadwal imunisasi. Namun dalam hal penyediaan, vaksin monovalen
atau kombinasi seringkali terjadi tumpang tindih maka perlu dipertimbangkan halhal sebagai
berikut, (a) apabila terlalu banyak variasi vaksin yang disediakan, dapat membingungkan
petugas imunisasi (khususnya perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalam
pengambilan dan pemberian, (b) vaksin yang jarang dipergunakan akan mudah kadaluwarsa, (c)
memerlukan tempat penyimpanan lebih luas, dan (d) memerlukan pendanaan yang lebih besar.

Pemberian dosis antigen berlebih

Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen padahal mereka
telah imun (telah divaksinasi).

a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga sebenarmya
telah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang bersangkutan. Namun oleh
karena pengukuran

kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan ulangan diberikan
tanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada. Pemberian suntikan ulangan diberikan
berdasarkan pertimbangan klinis dan aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan jumlah
anak yang rentan (susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit di
masyarakat.

b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak sengaja oleh karena
tidak ada catatan imunisasi atau pada saat dilakukan program imunisasi masal.
c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan campak
diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan status imunisasinya.

d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya tidak seluruhnya
dibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena vaksin yang berisi antigen monovalen
yang diperlukan tidak tersedia. Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubela
monovalen maka diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi vaksin
campak.

Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih?

Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang sebenarnya tidak diperlukan
berhubungan dengan risiko terjadinya KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada tidak
dijumpai KIPI yang serius.
Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat menimbulkan KIPI.
Misalnya, pemberian vaksin kombinasi DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T)
mengandung tetanus toksoid yang tidak direkomendasikan diberikan sebelum
umur 6 minggu.
Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra vaksin yang berisi virus
hidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela, dan rotavirus yang telah dilemahkan pada
anak imunokompeten

yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya atau infeksi alamiah, tidak
menunjukkan peningkatan KIPI.

Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit yang pada umumnya mengandung
ajuvan garam aluminium. Pada pemberian dosis tambahan jenis vaksin ini, harus
dipertimbangkan mengenai keuntungan dan kerugian sehubungan dengan reaktogenisitas
yang dapat timbul.
Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada pemberian dosis tambahan vaksin
hepB atau Hib dari komponen vaksin kombinasi. Pemberian dosis tambahan dari vaksin
yang mengandung ajuvan garam aluminium dapat meningkatlan reaksi hipersensitivitas,
misalnya pemberian DT pada anak, dT atau TT pada dewasa. Pemberian dosis tambahan
komponen toksoid tetanus yang ada di dalam vaksin sebaiknya diberikan atas
pertimbangan khusus, misalnya seorang anak yang semula mendapat DT oleh karena di
kemudian hari harus diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan DPT oleh
karena tidak tersedia antigen pertusis monovalen sehingga anak tersebut kelebihan
antigen difteria dan tetanus.

Jenis Vaksin Kombinasi

Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori,

1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi yaitu DTwP (komponen
whole-cell pertussis), disebut vaksin kombinasi tradisional.
2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR.
3. Vaksin kombinasi dengan dasar DTaP (DTP dengan komponen a-cellular pertussis) atau
hepatitis B.
4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan.

30 0 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga


Tahun 2008

Jenis vaksin kombinasi tertera pada


Tabel 8.1

Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi

Vaksin
Kombinasi Jenis Vaksin

DTwP /hepB DTwP


DTwP /hepB DTwP
1 Pengembangan vaksin DTwP (DTP dengan /Hib
komponen whole-cell pertussis)
Campak/ yellow fever
2 Penambahan vaksin baru pada campak atau MMR MMR /varisela

3 Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi

DTaP /hep B
a. Dasar kombinasi pertusis DTaP/Hib DTaP/IPV
a-selular (DTaP) DTaP/hepB/Hib
DTaP/Hib/IPV
DTaP/hep-B/Hib/IPV

b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/ Hib


Hep-B/hep-A

DPwT/ Men

4 Vaksin kombinasi DPaT/Men


lain (sedang
dikembangkan) IPV/Pneumo
IPV/Pneumo/Men
Hib/Pneumo/Men

Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTPa-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =
Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A, Pneumo =
pneumokokus, Men = meningitis

Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi

Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV dapat dimasukkan dalam
jadwal imunisasi IDAI dengan beberapa pilihan jadwal.

a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Apabila akan mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/HB, maka jadwal imunisasi


dapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes

Umur Pemberian vaksin


Keterangan

Saat lahir HepB+BCG+OPV

2 bulan DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB diberikan ≥ 6

minggu

3 bulan DTwP/hepB+OPV

4 bulan DTwP/hepB+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP


dan hepB

Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB


Saat
pemberian

Umur Pilihan 1 Pilihan 2

Saat lahir
HepB+BCG+OPV HepB+BCG+OPV

2 bulan DTwP/ DTwP/hepB+Hib+OPV


hepB+Hib+OPV

4 bulan DTwP+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

6 bulan DTwP/hepB+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

b. Vaksin kombinasi DTP/Hib

Apabila mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/ Hib, maka jadwal imunisasi
dapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi

Vaksin
kombinasi

Umur
DTwP/Hib DTaP/ Hib

Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV

2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV

4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV

6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV

DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
dan Hib

c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi

Umur Vaksin kombinasi


DTaP/Hib/IPV

Saat lahir HepB + BCG + IPV

2 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

4 bulan DTaP/Hib/IPV

6 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation:


recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American of
Pediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999; 103:1064-8.
2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy infants.
Satellite symposium and regional meeting. The 9th Asian Congress of Pediatrics,
Hongkong, 24 Maret 1997.
3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative.
1998.
4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA.,
penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508 –
14.
5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood
immunization. Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity and
Mortality Weekly Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann,
penyunting. Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae type
b into childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.
7. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined
DTwPHB vaccines and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai
children. Asian Paed. J. Allergy Immunol 1999; 17:113-20.
8. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B,
Mahendra. Efficacy and reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combined
vaccine. Dipresentasikan pada Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4
September 2004.

Bab IX

Imunisasi Kelompok

Berisiko

1. Imunisasi bayi berisiko


2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko

Pen gantar

Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang berisiko. Pada
bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untuk
pemberian imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yang
menderita defisiensi imun seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang
mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV,
transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau mereka yang pernah menderita reaksi
efek samping yang serius setelah imunisasi.

Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita terhadap bayi yang
dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus
diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.

Bab IX-1

Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko

Sjawitri P. Siregar

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus
diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderita
imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi
prematur, imunisasi harus diatur.

Pasien imunokompromais

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun
kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan
pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan
transplantasi sumsum tulang.

Defisiensi imun primer

Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular dan kombinasi defisiensi
keduanya seperti pada penyakit X-linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, ataxia
telangiectasia dan sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup.
Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV.

Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun vaksin
kuman mati/dilemahkan sedangkan pada defisiensi fagosit misalnya pada penyakit
granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi
terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

Defisiensi imun sekunder


1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau
2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama
pengobatan >1 bulan.
2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi. Untuk penyakit
keganasan seperti leukemia, dan limfoma.

Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup
karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh
tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG.
Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian
pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.

Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat segera diberikan seperti
hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza danHib, dosis samadengan anaksehat. Respons
imunyangtimbultidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak
harus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human) NIGH dosis 0.2
ml/kgBB intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0.4-1.0 ml/kgBB, bila
mungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zoster
immunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Pengobatan kortikosteroid

Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau obat semprot hidung, paru,
salep kulit, salep mata, injeksi lokal intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang
diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.
Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari
atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasi
dengan vaksin

hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada pendapat yang


menganjurkan setelah penghentian 14 hari.

Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau
selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup setelah penghentian
pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien
yang telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan
dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit
primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.
Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk
mendapatkan vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR.
Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena
walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih
ringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.
Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1
tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat
infeksi alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal.
Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan
respons maksimal yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum
setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan
imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan,
kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan
berguna karena penyakit sudah lanjut

dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini, vaksin hidup
akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga
memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada anak
dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali
dengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko
tinggi maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1)

Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak

Vaksin
Rekomendasi Keterangan
IPV DPT Hib Hepatitis B* Hepatitis A MMR** Influenza Pneumokokus BCG ** Varisela **

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya/tidak

Pasien dan keluarga serumah Sesuai dengan jadwal anak sehat Secepat mungkin

Sesuai jadwal anak sehat Sesuai jadwal anak sehat Diberikan umur 12 bulan Tiap tahun
diulang

Secepat mungkin

Dianjurkan untuk Indonesia Tergantung berat penyakit

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004

* Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X

** MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala HIV
ringan. Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25%

Penyakit Hodgkin

• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa (close contact)


dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadap
kedua penyakit tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-

14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama dengan


imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah kemoterapi
atau radioterapi dihentikan.

Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib


sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin
dianjurkan untukpenderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap infeksi pneumokok.
Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 kali
250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20
mg/kg sehari.
Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis
antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila
demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis.
Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai pengobatan
dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi (Tabel 9.2)

Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Vaksin
Rekomendasi Keterangan

Penderita
kanker anak
DPT Penderita
Ya kanker
Polio (IPV)*
Ya
Pneumokok
Ya Untuk limfoma
Hib
Ya
Ya Penderita
Influenza** kanker anak
Varisela* Ya
Tidak Tergantung
MMR* musim**
Penderita
seronegatif
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin
SA,2004

* Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR

** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan Agustus-
September tiap tahun

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defisiensi imun
disebabkan4komponen (1) pengobatan imunosupresi

terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu
(3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi
yang diberikan setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum
tulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang
dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada TST
alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio dan
DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio,
tetanus dan difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor
diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian
segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan
memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis,
Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).

Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehingga
regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasi
alogenik. Pada transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun
pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih dahulu kepada
resipien.

Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi, dan diulangi setiap tahun
sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi.
Pasien berumur diatas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa
terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus
mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan
sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun transplantasi sebaiknya
diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan
rubela sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin

titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai imunisasi
pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yang
berbeda.

Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

Transplantasi
Transplantasi SST
Vaksin Keterangan
alogenik SST
otologus
2-3 dosis setelah 6-12
DPT Ya Ya
bulan transplantasi.
2-3 dosis setelah 6-12
Polio (IPV) Ya Ya
bulan transplantasi.
Hanya Tidak diberikan dalam
Campak Epidemik
pada 24
bulan setelah
penderita
campak tranplantasi. Tidak
anak
pada GVHD.
Terutama wanita.
2 dosis mulai 6-12
bulan setelah
transplantasi.
Rubela Hib Ya Ya Ya Ya
12 bulan setelah
transplantasi. Hasil
tidak baik pada GVHD.
Tidak dalam masa 24
Hepatitis B
Hepatitis B
Ya Ya bulan setelah trans-
Pneumokok
plantasi. Tidak
Ya ? pada GVHD.
Varisela
Anak dan
Tidak dewasa
muda

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004.

Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease

Bayi prematur dan berat lahir rendah

Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal
yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada
umur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan
diberikan OPV sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari
rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio

kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun kurang bila
dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin
hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut:

Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B bersamaan dengan
HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan
kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs
dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi
dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.
Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis B + HBIg pada 2
tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2
diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan
dan 6 bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila
HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan
periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.
Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama saat
lahir, selanjutnya umur 1 dan

6 bulan umur kronologis.

Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat berat badan telah mencapai
2000 g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat
keluar dari RS sebelum 30 hari.
umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan
6-18 bulan umur kronologis.
Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan vaksin hepatitis B dalam 12
jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu

7 hari.

• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin hepatitis B.
Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIg
dalam 12 jam.

Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP, DTaP
(DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis setelah
6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama
pada bayi prematur.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikan
imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Sangat dianjurkan
untuk imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus.

Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi

Paparan infeksi Inkubasi


Pemberian vaksinasi

Campak 8-12 hari 0-


72 jam paparan

Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan

Rubela 14-23 hari Tidak perlu

Gondongan 12-25 hari Tidak perlu

Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam

Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif


beberapa bulan

Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

Vaksinasi pada anak dengan reaksi


efek samping

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus
diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Air susu ibu dan imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikan
imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan.
Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan
imunisasi.

Daftar Pustaka

1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization.


Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20.
2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian Immunization
Handbook, edisi ke-9. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

Bab IX-2

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

Toto Wisnu Hendrarto

Ibu menderita hepatitis B

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan
hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oleh status HBsAg
ibu sebagaimana tertulis pada tabel 9.5 berikut ini.

Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg ibu.*

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000


g Berat lahir <2000 g

HBsAg positif Vaksin


Vaksin Hepatitis B + HBIgHepatitis B
+ HBIg
(dalam (dalam
umur 12 umur 12
jam) jam)

Imunisasi Imunisasi
dengan 3 dengan 4
dosis dosis vaksin
vaksin pada pada 0, 1, 2-
0, 1, dan 6 3, dan 6
bulan umur bulan umur
kronologis.
kronologis. kronologis.

Periksa Periksa
anti-HBs anti-HBs
dan HBsAg dan HBsAg
pada umur pada umur
9–15 bulan 9–15 bulan
+ +

Bila HBsAg Bila HBsAg


dan anti- dan anti-
HBs negatif,HBs negatif,
reimunisasi reimunisasi
dengan 3 dengan 3
dosis, dosis,
dengan dengan
interval 2 interval 2
bulan, dan bulan, dan
periksa periksa
kembali kembali
HBsAg dan HBsAg dan
anti-HBs. anti-HBs.

Vaksin
Vaksin
Hepatitis B
Hepatitis B
+ HBIg
(dalam 12 jam)
(dalam 12
+ HBIg (dalam
jam)
7 hari) bila
HBsAg hasil Periksa
tidak pemeriksaan HBsAg ibu
diketahui HBsAg ibu segera, bila
positif tidak dapat
dilakukan
Periksa
dalam 12
HBsAg ibu
jam, berikan
segera
HBIg.

Toto Wisnu Hendrarto

Status HBsAg ibu Berat lahir


≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg negatif Dianjurkan


vaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis

B saat lahir. 1 dalam 30 hari umur

kronologis, bila secara klinis keadaannya stabil, atau pada


saat keluar dari RS sebelum 30 hari umur kronologis.

HBsAg negatif Imunisasi Hepatitis B

dalam 3 dosis pada umur 0–2, 1–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu
umur kronologis

Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan

Imunisasi Hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu umur
kronologis

Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan


Saat pemberian dosis vaksin
Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat lahir.

Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudah


pemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.

Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan mendapat
pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG.
Tindakan yang dilakukan,

Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.


Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral.
Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.

ï​¶ Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

pengobatan anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.

ï​¶ Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan pencegahan
dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.

ï​¶ Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCG
sudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.

ï​¶ Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap 2
minggu.

Ibu menderita HIV

Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.
Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi baru
dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi.
Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat bayi
seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap diberi
imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.

Daftar Pustaka

1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk


dokter, perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNHJHPIEGO,
Departemen Kesehatan R.I. 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;
2004:745-81.

Bab X

Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi

1. Klasifikasi KIPI
2. Pelaporan KIPI

Pen gantar

Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca imunisasi.
Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat dan tidak
terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan
vaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita
harus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan
dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan
keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulis
dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain diberi informasi juga diberi
kesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.

Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat imunisasi diberikan
bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas harus melaporkan kejadian pasca
imunisasi yang serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut dengan mengisi
formulir KIPI yang telah tersedia.

Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat dan dikirimkan kepada Komite
Daerah (Komda) PP KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang
berkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat oleh Komite Nasional
(Komnas) PP KIPI.

Bab X-1

Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)

adverse events following immunization (AEFI)

Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah medikolegal
vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga mulai dibentuklah KOMNAS
pengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI yang merupakan badan independen yang
dibentuk oleh Departemen Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari IDAI, Subdit
Imunisasi Depkes, BPOM dan lain-lain. Pembentukan itu kemudian diikuti oleh
organisasi tingkat provinsi (Komda PP KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiring
dengan kewaspadaan terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagai
upaya pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap peningkatan
kesehatan masyarakat.

Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah keseimbangan
antara imunogenisitas (daya membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang
vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi vaksin harus berisi antigen yang efektif
untuk merangsang respons imun resipien sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambang
pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak
menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis
penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namun
dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman.

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat, dan
akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi
hal tersebut

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah
secara kebetulan.

Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan.

Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang disebabkan
Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur,
kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan.

Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan
pelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi (yang
merupakan kegiatan dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat membantu
program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan
pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.

Definisi KIPI

Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa kejadian ikutan
pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi
sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.

Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik
pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada
pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta

infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-
effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya
secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta
reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi
alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang
genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,
influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau
unsur lain yang terkandung dalam vaksin.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan
teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan
teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.

Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua kelainan dan
kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi
telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan
bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang
akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
(programmatic errors).

Epidemiologi KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalamjumlahbesar.
Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1,
2, 3, dan 4. Uji klinis

fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis
fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3
selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.

Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk
menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai
post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan
mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat
(dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi
program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera
diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap
terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap
efek samping vaksin dengan segala akibatnya.

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of Medicine
(IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena,

Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami


Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang
Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang.

Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada imunisasi masal atau
setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.

Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI ) mengelompokkan etiologi


KIPI dalam 2 klasifikasi,

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk petugas kesehatan di
lapangan.
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999)

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO
Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan
program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi
lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.

a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan,
dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai
tingkatan prosedur imunisasi, misalnya,

dosis antigen (terlalu banyak)


lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan aseptik dan antiseptik
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan lain-
lain)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat


kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)

Alat suntik steril utk setiap suntikan


Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin
Vaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin


Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik
Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg sama

b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak
langsung dan harus dicatat sebagai

reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak

dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.

Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat

pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,

Syncope/fainting

Sering kali pada anak > 5 tahun ,


Terjadi beberapa menit post imunisasi,
Tidak perlu penanganan khusus.
Hindari stres saat anak menunggu,
Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.

Hiperventilasi akibat ketakutan

Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.


Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu diperiksa)

Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.


Penting penjelasan dan penenangan

Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:


Teknik penyuntikkan yang benar
Suasana tempat penyuntikan yang tenang
Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin

dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan
perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

1. Reaksi lokal

+ Rasa nyeri di tempat suntikan.

+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % + Bengkak pada suntikan


DPT dan tetanus sekitar 50%

+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi

dan sembuh setelah beberapa bulan.

2. Reaksi sistemik

+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel,
malaise, gejala sistemik.

+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam dan
atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak
tetapi berat pada kasus imunodefisiensi.

+ Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,

rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV kurang dari 1% diare,
pusing dan nyeri otot.

3. Reaksi vaksin berat

Kejang
Trombositopenia
Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak merupakan masalah
jangka panjang
Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa dampak jangka panjang
Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pencegahan terhadap reaksi vaksin

Perhatikan indikasi kontra.


Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas.
Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan dianjurkan segera kembali
apabila ada reaksi yg mencemaskan.
Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan rasa
nyeri.
Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis.
Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk ke
rumah sakit dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator
faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi
tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan
kelompok penyebab KIPI.

World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded programme on immunisation
(EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara
berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi
programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali
pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen
melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian


imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

2. Klasifikasi kausalitas

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan
laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini,
yaitu

Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )


Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely)
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala
lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat
terjadi KIPI makin berat gejalanya.

Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena
pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat
terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat
obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa
saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi
sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi
harus dilakukan observasi selama 15 menit.
Text Box:
Untuk menghindarkan kerancuan maka
gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala
klinis (Tabel 10.2).

Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI

Jenis vaksin Gejala klinis


KIPI Saat timbul

KIPI

Toksoid tetanus Syok


anafilaktik 4 jam

(DPT,DT.TT) Neuritis
brakialis 2-28 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan


Tidak ter‑

dan kematian catat

Pertusis whole-cell Syok anaphilaktik 4 jam

(DPwT) Ensefalopati 72 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑

dan kematian catat

Campak Syok anafilaktik 4 jam

Ensefalopati 5-15 hari

Trombositopenia 7-30 hari

Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan


kompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

Polio hidup Polio paralisis 30


hari

(OPV) Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulan


kompromais

Komplikasi akut termasuk keca Tidak ter‑

catan dan kematian catat

Hepatitis B Syok anafilaktik 4 jam

Komplikasi akut termasuk Tidak ter-


kecacatan dan kematian catat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.

Angka kejadian

KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian reaksi
anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar
reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan
orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik-
hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah
imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC
Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak
dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa
1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak berupa
demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan
demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis.

Tabel 10.3 dapat digunakan,

Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi.


Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi.
Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan pelaporan dan penyelidikan bila
ternyata lebih besar kejadiannya.

Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.

Vaksin

Rasio
Interval per
Reaksi
kejadian juta
dosis

Limfadenitis 100-
BCG 2-6 bulan
supuratif 1000
BCG-osteitis 1-12 bulan 1-700
BCG-it is
1-12 bulan 2
deseminata
Hib Tidak diketahui - -
Hepatitis B Anafilaktik
Measles Kejang demam 0-4 jam 1-2
Trombositopenia 5-12 hari 333
OPV Anafilaktik 15-35 hari 33
0-1 jam 1-50
VAPP (vaccine
associated 1,4-3,4
Tetanus 4-30 hari
paraliytic (b)
poliomyelitis)
Neuritis Brakialis 2-28 hari 5-10
Anafilaktik 0-4 jam 1-6
1-6
Abses Steril 6-10
minggu
Sama dengan
TD - -
tetanus
Persistent-
inconsolable
screaming 1000-
DTP 0-24 jam
(menangis 60.000
berkepanjangan
lebih dari 3 jam)
Kejang demam 0-3 hari 570 (c)
Episode hipotenik
hiporesponsif
0-24 jam 570
(ENH)
Anafilaktik 0-4 jam 20
Ensefalopati 0-3 hari 0-1

Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementary


information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO

Keterangan :

a. Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90 % anak yang
menerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.
b. Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis),
sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.

(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat kejang sebelumnya,
riwayat dalam keluarga serta umur.

Imunisasi pada kelompok berisiko

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk
dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah,

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi ter da hu lu.


2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama
dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan.

a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup
bulan.
b. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan, kecuali
untuk irnunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.

c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan
penyebaran virus vaksin polio melalui tinja

3. Pasien imunokompromais

Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai
akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin
hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikan
IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil
dan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14
hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3
bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin Imunisasi virus hidup diberikan
setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV memerlukan
imunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena
penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin
hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga
memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal anak sehat.

Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak

Vaksin
Rekomendasi Keterangan

IPV
Ya Pasien dan keluarga serumah

DPT Ya Pasien dan keluarga serumah

Hib Ya Pasien dan keluarga serumah

Hepatitis B * Ya Sesuai jadwal anak sehat

Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat

MMR ** Ya Diberikan umur 12 bulan

Influenza Ya Tiap tahun diulang

Pneumokok Ya Secepat mungkin

BCG *** Ya Dianjurkan untuk Indonesia

Varisela Tidak

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004.

Keterangan:

* Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali

** MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan. ***
Tidak diberikan pada HIV yang berat.

Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi

Indikasi kontra dan perhatian


khusus Bukan indikasi kontra

(imunisasi dapat dilaku‑


kan)

Berlaku umum untuk


semua vaksin DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B

Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya

Perhatian khusus

Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam <40,5 C pasca

sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya

penyebab lain Riwayat kejang dalam

Kolaps dan keadaan seperti syok (episode keluarga

hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca Riwayat SIDS dalam

DPT sebelumnya keluarga

Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya Riwayat KIPI dalam kelu‑

Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPT
sebelumnya

Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca

vaksinasi
Vaksin polio

Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra

Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui

Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti

tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi biotik

imunosupresan jangka panjang) Diare ringan


Imunodefisiensi penghuni serumah

Perhatian khusus Kehamilan

Campak

Perhatian khusus

Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung
produk darah dan dosisnya)

Trambositopenia

Riwayat purpura trombositopenia

Hepatitis B

Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra

Reaksi anafilaktoid terhadap


ragi Kehamilan

Dikutip dari rekomendasi ACIP dan


AAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999. Keterangan:

D = vaksin difteria DT = vaksin difteria dan tetanus

T = vaksin tetanus untuk anak Td = vaksin tetanus untuk dewasa

P = vaksin pertusis whole cell aP = vaksin pertusis aselular

SIDS = sudden infant death syndrome KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi

HIV = human immunodeficiency virus PPD = purified protein derivative

Text Box:
Text Box:
Text Box:

Daftar Pustaka

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan


KejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2005.
2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986,
Comittee from the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam Atkinson
W, Wolfe CS, Humiston S, Nelson R,2000.

3. WHO: Background rates of adverse events following immunization, supplementary


information on vaccine safety. Part 2 , 2000.

Bab X-2

Pelaporan KIPI

Hindra Irawan Satari

Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap serangan


penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin mutakhir cenderung lebih
aman walaupun demikian tidak ada vaksin yang tanpa risiko. Maka walaupun jarang,
sebagian orang dapat mengalami reaksi ringan sampai mengancam jiwa setelah
imunisasi. Pada beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin, pada kasus lain
penyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar umumnya
tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila timbul kejadian ikutan
pasca imunisasi masyarakat selalu bersikap menolak untuk pemberian imunisasi
berikutnya, sehingga anak tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu, pelaporan KIPI
yang cepat dan tepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantu
pelaksana program mengatasi masalah di lapangan sehingga masyarakat tidak resah
dan tetap mendukung program imunisasi.

Deteksi dan pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan
dianggap disebabkan oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI
menetapkan bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1
bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik
setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi

secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab
KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat
dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan

Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:

Abses pada tempat suntikan.


Semua kasus limfadenitis BCG.
Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan
dengan imunisasi.
Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi.
Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

Pelapor KIPI

Pelapor KIPI adalah

Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.


Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah sakit
serta sarana pelayanan kesehatan lain.
Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan.

Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan

Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas kesehatan harus
dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan lebih
lanjut.

Petugas harus mengetahui faktor pencetus dan harus mampu menggunakan definisi
kasus.
Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan memberi nasehat pada orang tua
untuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil pada
tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat kepedulian orang tua cukup
bermakna.
Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui reaksi yang diharapkan
terjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta membawa dengan
segera anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau fasilitas
kesehatan.

Pelapo ran

Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang disediakan.


Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat Kabupaten/ Daerah Tingkat II,
dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi.
Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta menetapkan
kasus tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta meneruskannya ke Instansi
Kesehatan Propinsi / Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP
Depkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI.
Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui tele‑
pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.
Data demografi

Data yang harus dilaporkan

1. Data pasien

Riwayat perjalanan penyakit


Riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat imunisasi
Pemeriksaan penunjang yang berhubungan

2. Data pemberian vaksin

Nomor batch-vaccine
Masa kadaluwarsa
Nama pabrik pembuat vaksin
Kapan dan dari mana vaksin dikirim
Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan

3. Data yang berhubungan dengan program

Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,

Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?


Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin sebelum disuntikkan
Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah selesai
pelaksanaan imunisasi?

Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi

Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?


Apakah pelarut steril?
Apakah dosis sudah benar?
Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?

Ketersediaan jarum dan semprit

Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang?


Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4. Data sasaran lain

Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch sama atau pada masa
yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimana
gejalanya.
Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari produsen sama atau
berlainan) atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan gejala
yang sama.
yang sama.

Waktu pelaporan

Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan dan dilaporkan.
Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan KIPI lain harus juga segera
dilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat, seperti telepon, faksimili dan lain-lain.

Cara pelaporan

Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi. Apabila perlu, jangan ragu
untuk menuliskan laporan tambahan pada formulir tersebut.
Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada kasus (tuliskan jumlah kasus 0, zero
report).
Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus mengidentifikasi masalah dan menilai,
sehingga dapat terlihat,

v. Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang sama setiap bulan.


v. Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda melaporkan hal yang sama.
v. Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh Puskemas/tempat yang berbeda
dilaporkan.

Tindakan selanjutnya

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan dimulai
oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola tertentu
di daerah binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perlu
dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti
pneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau fihak
keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatan
kepada mereka untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.

Bab 10-2. Pelap

Diisi oleh KOMNAS


PP KIPI Kode
FORM ULIR PELAPORAN ........................................
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)
Tanggal
terima.......................... :
Pasien
Dokter penanggung jawab
Nama Tanggal lahir .../.../....
Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)
Nama orang Laki-laki
tua Alamat: RT/RW: Kel:
Perempuan 0
Wanita usis subur
Kota: Kota Kode pos:
(WUS)
Provinsi.: Hamil 0 Provinsi:
Tidak hamil 0
Tilpon: Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/
perawat/ jurim
Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasuk
imunisasi terakhir
Pemberian
Tempat
Jenis Nomer Tetes oral/
Pabrik Jumlah Tanggal Imunisasi
vaksin Batch subkutan i.m/
dosis imunisasi (*)
intrakutan
1
2
(*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidan
praktek 6. Balai Pengobatan

7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. Sekolah


Manifestasi kejadian ikutan
Waktu Lama gejala Keterangan lanjutan/
Keluhan, gejala klinis
gejalatimbul menit jam hari Hasil akhir
Reaksi alergi Tindakan darurat
* gatal Rawat inap/jalan
* bengkak bibir Sembuh/tidak
Meninggal
Meninggal
* urtikaria
(tgl.......... )
Muntah Gejala sisa
Diare Diagnosis
Ensefalitis/
Pingsan
ensefalopati
Sindrom Guillain-
Kejang
Barre
Hipotensif
Sesak nafas
hiporesponsif
Demam tinggi
Abses
(>39°C)
Bengkak Neuritis brakhialis
Pembesaran kel
Syok anafilaksis
limf
Kelemahan/
Polio paralitik
kelumpuhan
Kesadaran Trombositopenia
menurun purpura
Riwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialami
Obat-obatan yang diberikan bersamaan 0............................ ..... 0 Data
laboratorium (bila ada)
Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik)
Diagnosis dokter ..................................
Pengobatan yang diberikan 0 0 0
Penerimaan laporan KIPI
.................. tanggal / /

Tanggal: / / Tanda tangan


pelapor,

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan pasca
imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverse
events. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious
Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.30-1.
3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-
4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions.
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC 2008.

Bab XI

Miskonsepsi dan Kontroversi

Dalam Vaksinasi

1. Miskonsepsi
2. Kontroversi

Pen gantar

Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik
di dunia kedokteran. Suatu program kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, ternyata masih
banyak kontroversi yang berasal dari faktor program imunisasi, vaksin atau resipien
yang menerima imunisasi. Pada suatu saat masalah tersebut menjadi sangat intens,
pada saat lain menyurut, tergantung pada adanya pemicu yang timbul di masyarakat.
Masalahnya makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat,
sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan memicu rasa tidak aman pada
orang tua. Cara pemberian imunisasi sebenarnya menirukan kejadian sakit karena
suatu infeksi secara alamiah, sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidak
berbahaya, namun cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan demikian
apabila ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak tidak menjadi sakit.

Bab XI-1

Miskonsepsi Imunisasi

Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau miskonsepsi mengenai imunisasi.
Tidak jarang dijumpai orangtua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai
alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis
tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungan
dengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang dapat dicegah oleh
vaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya.

Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi secara aktif.
Apabila orangtua mendapat jawaban akurat dan informasi yang benar, maka orangtua
dapat membuat keputusan yang benar tentang imunisasi.

Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai,

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat perbaikan


sanitasi dan higiene.

Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan adanya


penurunan insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan higiene. Namun
penurunan kejadian penyakit yang permanent baru tampak setelah program imunisasi
dijalankan secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagi
penyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan antibiotik dan pengobatan lain, telah meningkatkan
angka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah menurunkan
transmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun

juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi antar keluarga.
Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat menerangkan dampak vaksin dalam
menurunkan penyakit.

Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan bahwa
penghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin,
menimbulkan dampak peningkatan penyakit. Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada
tahun 1974 diikuti oleh epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun
1978. Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan imunisasi
pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan peningkatan kasus pertusis dari 393
dan tanpa kematian pada tahun 1974 menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979.
Di Swedia, incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus pada
tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.

Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario yang mempunyai data
morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelum
ditemukan antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi pada
masa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang Dunia I,
meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri secara
luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis.

Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar daripada
perbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan meningkatkan kembali angka kejadian
penyakit.

2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi

Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam literatur kelompok anti
vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah
diimunisasi mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak sakit dan belum diimunisasi.

Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu tidak ada vaksin yang efektif 100%.
Supaya aman, maka bakteri atau virus dimatikan atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu.
Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85%- 95%, tergantung respon
individu. Faktor kedua adalah jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak dibanding jumlah
anak yang belum diimunisasi di negara telah yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana
kedua faktor terebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh hipotetis sebagai berikut.
Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali, kecuali
10 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belum
diimunisasi, semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali,
sakit 25 orang. Kelompok anti imunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit
adalah 71,4% (25/35) dari kelompok yang pernah imunisasi dan 28,6% (10/35) dari kelompok
yang tidak pernah imunisasi. Padahal bila dihitung efek proteksi, maka imunisasi memberikan
perlindungan sebesar (990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek proteksi sebesar 0/10
= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak;
dibanding kurang dari 2% murid yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita sakit
campak. Dengan demikian jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.

3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan bahkan


kematian.

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin
bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan pada bekas suntikan atau
demam ringan. KIPI secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi.
Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI dengan sendirinya hampir
sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan seharihari tanpa adanya
program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang

memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan bersifat ko-insidens.
Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang
dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang mungkin
berhubungan dengan vaksin. Institute of Medicine tahun 1994 menyatakan bahwa risiko
kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).

Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang
berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut
tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan dengan
risiko vaksin seperti yang terlihat pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin

Penyakit Vaksin

Text Box: Campak MMR

Difteria DTaP

Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih

kembali

Tetanus Kejang/renjatan lalu

Meninggal 2: 10 pulih kembali

Ensefalopati akut

Pertussis Kematian

Pneumonia 1:8

Ensefalitis 1 : 20

Kematian 1 : 200
Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko komplikasi maupun
kematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan menderita lebih banyak sakit jika tidak
mendapat imunisasi.

4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita, sehingga
anak tidak perlu imunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang telah menurun
drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapapun,
termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit itu secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan
wabah.

Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu. Sejak
tahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan
April 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar
tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret
2005 yang tidak pernah diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya
menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006
tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) di
Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik virus, diketahui
bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus
sampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang diisolasi di
Arab Saudi dan Yaman.

Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua
alasan. Alasan pertama adalah anak harus diindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah
kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasan
kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak
yang tidak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan
sebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap

imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan
adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit
kepadanya.

5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai penyakit pada waktu tertentu
meningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun

Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri
yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri yang
hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran napas bagian atas akan menambah paparan
4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-
50 antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine menyatakan bahwa dalam keadaan
normal, penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan
beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian
menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani
sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) dan American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk
imunisasi anak. Keuntungan pemberian vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah
suntikan yang diperlukan untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi. Keuntungan lain
adalah mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi biaya kunjungan ke
fasilitas kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.

Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek simpang secara keseluruhan. Vaksin
kombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi efek simpang lebih rendah disbanding vaksin
diberikan terpisah. Schmitt dkk membandingkan respon antibodi dan efek simpang vaksin pada
kelompok anak yang mendapat vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu suntikan dengan
kelompok

anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam
efek simpang vaksin pada regimen yang berbeda.

Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin dalam satu kunjungan, yaitu anak
mendapat perlindungan sedini mungkin dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalah
pemberian vaksin simultan akan menghemat waktu dan biaya serta mungkin kurang traumatis
bagi anak.

6. Vaksin MMR menyebabkan autisme


Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai dengan gangguan interaksi,
komunikasi serta perhatian dan aktivitas yang repetitif dan restriktif.

Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital London, tahun
1993 melaporkan adanya hubungan antara virus campak dan vaksin campak dengan
Inflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian dilakukan pada 25 anak dengan
penyakit Crohn dibandingkan dengan 22 anak normal. Tahun 1998 peneliti yang sama
melaporkan sindrom baru dari IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembangan
seperti autism. Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan
absorpsi vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya menimbulkan
autism. Hubungan kausal dalam penelitian ini, dinilai lemah dan mengandung beberapa
kekurangan. Kekurangan pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat
selektif yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakili
populasi pasien secara umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus tidak dapat
menentukan adanya hubungan kausal. Kelemahan yang terpenting adalah hubungan
vaksin dan autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderung
menghubungkan gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.
Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12 kasus, menunjukkan
gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.

Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain tentang pemeriksaan virus campak
pada pasien inflammatory bowel disease, dugaan mekanisme terjadinya autism setelah vaksin
MMR, yang mengandung vaksin campak, tidak terbukti karena tidak mengandung virus campak.

Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO menyimpulkan bahwa dari data
epidemiologi yang ada saat sekarang, tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara virus
campak dan IBD. Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO dan internasional berkumpul
untuk membahas masalah tersebut dan berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti yang ada saat
itu, tidak ada hubungan antara campak, vaksin campak dengan penyakit Crohn (IBD) ataupun
autisme.

7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan

Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara persemakmuran) merupakan


preservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmekuri, suatu senyawa organik
yang dimetabolisme menjadi merkuri. Thiomersal mengandung 49,6% merkuri, dan
berguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vaksin multidosis.
Thimerosal telah digunakan di dalam vaksin sejak tahun 1930an.

Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal, pada bayi baru lahir
terutama bayi kurang bulan, secara teoritis dapat meningkatkan kadar merkuri dalam
darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar merkuri itu masih
dalam rentang ‘normal’ yang diacu oleh US Department of Health & Human Services.
Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa thimerosal vaksin mengakibatkan gangguan
perkembangan anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism
dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode
pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian vaksin
bebas thimerosal, insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa vaksin dengan

thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkan
lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal, menunjukkan bahwa
tidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkan efek buruk pada
perkembangan saraf maupun psikologis.

Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority (FDA) menghimbau semua
produsen vaksin agar menghilangkan atau mengurangi thimerosal dari vaksin. Demikian pula
American Academy of Pediatrics (AAP) dan United States Public Health Service (USPHS)
mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengurangi atau menghilangkan thimerosal dari
vaksin. Pada tahun 2000 diluncurkan vaksin hepatitis B baru tidak mengandung thimerosal.

Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di atas, ada beberapa pandangan
salah yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya Jawab
Orangtua Mengenai Imunisasi.

8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya tidak bekerja

Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas vaksin.


Imunogenitas adalah kemampuan vaksin tertentu untuk membentuk imunitas atau
kekebalan pada individu yang menentukan daya proteksi vaksin. Reaktogenitas
adalah respons tubuh yang tidak nyaman yang timbul setelah imunisasi.

Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah penyuntikan


pertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga adalah 68%-81%.
Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan demam menetap setelah penyuntikan
sekitar 46,9%.

9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum ASI selama beberapa jam

Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu bahwa setelah imunisasi polio
oral, pemberian ASI perlu ditunda untuk jangka waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk

menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1 jam. Pendapat tersebut tidak
beralasan.

Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti oleh John dan kawan-kawan, pada
300 bayi berusia 6 - 51 minggu di India. Bayi dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat vaksin
polio oral (OPV) trivalen. Grup pertama mendapat ASI on demand, namun wajib mendapat ASI
dalam interval 30 menit sebelum sampai 15 menit sesudah OPV. Pada grup kedua, tiga, empat,
lima pemberian ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah dan sebelum OPV. Grup ke enam
mendapat susu formula. Sampel darah diambil pada saat sebelum imunisasi dan dari 227 bayi
pada 4 minggu setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga. Dilakukan pengukuran antibodi
terhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama dan ketiga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa respons rate sama pada seluruh kelompok yang mendapat ASI, tidak
tergantung pada jadwal pemberian ASI, demikian pula pada kelompok susu formula. Dengan
demikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan antibodi terhadap OPV pada
bayi setelah periode neonatus.

Daftar Pustaka

1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www.


who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal 19
Februari 2007.
2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to respond
to them. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm tanggal 19
Februari 2007.
3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the common
fevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria Toxoid. Dalam
Plotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders, 2004:211-28.
4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments against
immunization. A guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and Aged
Care, 2001.

5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and
Developmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does Not
Support a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen,
Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the Occurrence
of Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based Data. Pediatrics
2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States Public
Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination of
infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio virus
and Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed injections.
J Pediatr 2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce distress
and are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.
Bab XI-2

Kontroversi dalam Imunisasi

Ismoedijanto

Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Program
kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angka
kesakitan. Namun demikian, masih banyak kontroversi yang muncul dari faktor penerapan
program imunisasi, vaksin dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Pada suatu
saat sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya pemicu yang timbul
di masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang
sehat, sehingga betapapun kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman pada
orang tua. Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons tubuh dengan sengaja,
agar anak kebal terhadap paparan penyakit yang dituju di kemudian hari. Pada perjalanan
sejarah imunisasi, keseimbangan antara imunitas dan reaktogenitas ini sering berubahubah,
tergantung pada vaksin ataupun interaksi yang terjadi antara vaksin dan resipiennya. Perubahan
keseimbangan ini dapat memicu kontroversi imunisasi, terutama bila skala besaran program
menjadi sangat besar, misalnya imunisasi global. Meskipun proporsi reaktogenitas tetap, namun
besaran program menyebabkan jumlah kasus menjadi lebih menonjol, dan menjadi lebih
menakutkan.

Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja namun harus dipandang
sebagai tindakan epidemiologik dan dinilai keberhasilannya dengan parameter
epidemiologik, yaitu berapa banyak kasus dan berapa banyak penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.

Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan setiap negara,
mengakibatkan perbedaan kebutuhan akan imunisasi.

Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan acuan utama pada saat kita
merencanakan dan memutuskan upaya imunisasi. Selanjutnya berkembang praktek imunisasi
yang menekankan pada perlindungan individu, selaras dengan konsep penghargaan pada
individu di negara Barat. Praktek imunisasi menggunakan segala teknologi kedokteran yang
ada, vaksin yang efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas kemungkinan menjadi sakit.

Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih berada di sekitar kita,
mengancam kematian dan kecacatan, merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagai
ujung tombak kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat manfaat imunisasi, sampai ada
bukti ilmiah yang menghentikannya. Kembali keseimbangan akan imunitas dan reaktogenitas
merupakan pertimbangan yang harus dikaji, melebihi pertimbangan lain seperti pertimbangan
keuntungan dan sebagainya.

Beberapa kontroversi yang timbul

1. Pelaksanaan program imunisasi

Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan dengan para penentu
kebijakan di masa yang lampau dan bahkan sampai saat ini. Dari sejarah kita ketahui
adanya pertentangan program imunisasi di masyarakat, yaitu sejak masa Pasteur
mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa
perang Boer. Demikian pula penentang imunisasi cacar di Inggris yang sampai
membawa masalah tersebut ke parlemen, bahkan perseteruan juga terjadi saat
imunisasi telah menjadi program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolak
imunisasi DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II, vaksin
berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi biakan pada sel hidup
yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa waktu keberhasilan imunisasi mencegah
kejadian penyakit dan bahkan mampu menghilangkan penyakit cacar dari

bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian muncul kembali pada
permulaan tahun 2000-an, yaitu dengan masih banyaknya orang tua yang menentang program
imunisasi melalui media massa. Vaksin DTaP yang kurang menyebabkan panas dapat
meredam sikap anti imunisasi sampai timbul kasus autisme yang menurut penelitian
Montgomery disebabkan oleh karena suntikan MMR. Kelompok penentang imunisasi pada saat
ini menggunakan media maya (internet) untuk memicu isu-isu anti imunisasi dengan bukti ilmiah
yang tingkat evidence-nya rendah namun sensasional

Masalah yang dilontarkan adalah:

a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak warganegara untuk
memilih tidak diimunisasi (hak untuk sakit dan menjadi sumber penularan). Khusus di
Indonesia, Undang Undang Wabah memberikan sanksi pada siapapun yang melalaikan
atau menghalangi pelaksanaan penganggulangan wabah.
b. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap beberapa
penyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka panjang, penyakit
tersebut pindah ke usia yang lebih tua.

c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit lain pada usia
lain dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain. Bagi
para ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini bukan
merupakan masalah baru.

2. Vaksin dan keamanannya

Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan dan dibuat dengan
menggunakan teknologi kedokteran yang paling maju. Vaksinologi telah menyerap begitu
banyak teknologi kedokteran yang terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin ini. Bahkan
Katz, 1999, menyebutnya sebagai the best science can give. Meskipun minimal ada kelemahan
dari metode imunisasi

ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman. Kelemahan ini
mungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam jangka waktu yang lama. Masalah
yang kemudian muncul adalah siapa yang berminat untuk membiayai penelitian yang
membuktikan adanya efek samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi?
Vaksin adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat dibuktikan cacat.
Kontroversi berasal dari

a. Jenis dan bahan vaksin

Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup, vaksin polisakarida, vaksin
rekombinan) semuanya dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan “kelemahan” yang
berbeda pula. Vaksin hidup paling banyak menuai tuduhan, karena atenuasi atau proses
pelemahan yang kurang kuat akan menyebabkan penyakit atau menyimpangnya respon imun
penerima.

b. Bahan dalam vaksin

Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku, bahan
pewarna dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin. Bahan ini
bermanfaat untuk penyimpanan vaksin dosis multipel, sehingga biaya imunisasi
dapat ditekan. Bahan merkuri merupakan bahan yang paling digunjingkan
merusak otak, seperti kasus keracunan merkuri di Minimata.

Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh

dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu paruh tubuh adalah 50


hari. Paparan merkuri secara menahun bersifat neurotoksik dan nefrotoksik,
Meskipun bahan ini dalam vaksin selama imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masih
lebih rendah dari batas minimal yang direkomendasikan oleh WHO, bahan ini akan
dihilangkan dengan risiko harga vaksin akan per dosis meningkat. Vaksin yang bebas merkuri
adalah

MMR, OPV, campak, BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP

dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah


sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan glutamat pada vaksin cacar air,
neomisin dan streptomisin untuk mencegah tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dan
sebagainya. Bahan ini dianggap beracun, namun perlu informasi ambang kadarnya yang
berbahaya. Bahan makanan dan minuman yang dikomsumsi sehari-hari mungkin juga
mengandung bahan ini, tergantung pada kondisi lingkungannya. Formaldehid sisa tidak boleh
lebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia) atau 0.004%

w/v (Australia Therapeutic Good Administration).

c. Manfaat dan efikasi vaksin:

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin, dinyatakan pada
perbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi. Outcome atau
komplikasi yang terjadi pada penyakit campak di negara berkembang adalah
kejadian pneumonia 1 kasus dari tiap 25 kasus klinik dan ensefalitis 1 kasus setiap
2000 kasus atau 500 kasus setiap 1.000.000 penderita. Reaksi samping yang terjadi
pada suntikan campak adalah bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1 diantara
10 suntikan, ruam pada 1 anak diantara 100 suntikan dan kemungkinan ensefalitis 1
diatara 1.000.000 dosis. Pada penyakit gondongan komplikasi mungkin terjadi kasus
ensefalitis 1 kasus tiap 200 kasus atau 15.000 kasus diantara 3.000.000 kasus,
sementara pada imunisasi kemungkinanan ensefalitis kasus terjadi pada 1 kasus
diantara 3.000.000 dosis . Komplikasi pada rubella yang paling berat adalah adanya
sindrom rubela kongenital pada 9 kasus diantara 10 kehamilan bila serangan terjadi
pada 10 minggu pertama, inflamasi otak pada 1 diantara 6000 pasien, nyeri sendi pada 1
diantara 2 pasien yang sudah remaja, sementara bengkak, demam, meriang mungkin terjadi
pada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya nyeri sendi, pembesaran kelenjar pada
5 kasus setiap 100 dosis. Angka diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risiko
imunisasi.

d. Kecenderungan genetik yang menyimpang

Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetik yang menyimpang,
sehingga seringkali tidak dapat memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin tinggi
cakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam imunisasi yang
mempunyai kecenderungan genetik tidak semestinya.

KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi sangat bermanfaat untuk
memperbaiki kualitas program imunisasi namun peningkatan kasus KIPI (Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi) akan menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi, menurunkan angka
cakupan dan akan menaikkan risiko wabah kembali.

3. Respon imun penerima vaksin

Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan tubuhnya
tidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau menjadi karier sehat. Anak
yang mendapat kortikosteroid, penderita HIV, anak dengan malnutrisi berat, merupakan
contoh anak bermasalah. Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi imun akan
mengakibatkan pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak normal.
Banyak keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat pada
rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.

Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai akibat
kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat dari imun respon
yang menyimpang ini, sering ditimpakan pada kualitas atau kuantitas antigen (vaccine
safety) dalam vaksin atau bahan lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan
(screening) anak dengan indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena metode
pemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum memberikan
imunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions) dibaca sekali lagi.

4. Adanya pemicu

Seringkali suatu masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir. Beberapa
pemicu masalah besar antara lain,

Autisme

Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian

yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin

MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang


diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess, autoimmune, virus campak
dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik,
tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan bukti yang sahih.
Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas

ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian

dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya hubungan sebab-akibat antara
ASD (autistic syndrome disorder) dan

MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan temporal antara


awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak memberikan dukungan hubungan
suntikan MMR dengan kejadian

regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara

suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak

belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak

monovalen atau MMR atau virus campak liar.

IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa terjadi secara alamiah, pada anak
dengan kelainan genetic, seperti adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos
lewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat ditentukan. Hubungan yang
diyakini ada baru sebatas gagasan hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahan
yang akan menyebabkan kelainan perilaku belum mendapat kesepakatan yang jelas. Berapa
proporsi anak yang mempunyai infeksi virus campak yang persisten setelah imunisasi dan
berapa proporsi anak yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih lanjut. Bukti

hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum dapat dirangkai menjadi
kesimpulan yang sahih. Banyak bagian dari jigsaw puzzle ilmiah yang belum terisi. Baik
pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan Wakefield akhirnya menyesal
dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur.

Reaksi neurologik

Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini sangat jarang dan
belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang diduga akibat vaksin terbagi menjadi:

demyelinating disease (ADEM dan GBS).


non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy, brachial neuritis).

Reaksi imunologik

Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai reaksi tubuh terhadap
bahan tambahan maupun bahan dasar vaksinnya sendiri. Reaksi pasca imunisasi
terutama mengarah pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksi
antibodi dengan antigen jaringan, reaksi Arthus dan delayed type hypersensitivity.
Reaksi pasca imunisasi seharusnya dapat diketahui dengan memperhatikan butir-butir
kewaspadaan dan indikasi kontra sebelum memberikan imunisasi.

Autoimun

Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengan


kenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba dipakai sebagai alat untuk
menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan
mempunyai evidence-based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan
imunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular. Menggugah
respon imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen imunologik
menyerang bagian dari tubuh sendiri. Meskipun

paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang yang
membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai kenaikan insidens penyakit
autoimun searah dengan kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang
sahih mengenai pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidens
penyakit autoimun.

Diabetes

Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi virus (gondong, rubella)
dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan
dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan
antara

IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain

virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang menyerang sel pankreas,
sehingga terjadi gangguan produksi insulin.

Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan

Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa perdebatan dan


perbedaan pendapat antara pada pakar yang makin membingungkan orangtua. Ada
beberapa tip yang bisa membantu para sejawat mencari jalan keluar masalah
kontroversi imunisasi.

• Penjelasan yang jujur

Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat diperlukan untuk
mengimbangi segala informasi penentang imunisasi yang seolah-olah berdasar alasan
yang kuat dan disertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan secara
proaktif, diberikan pada setiap orang tua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksin
tertentu, meskipun orangtua tidak menanyakannya secara aktif. Selain membangun
komunikasi yang baik antara dokter dan orang tua, kesempatan ini akan memancing mereka
sehingga mampu atau tidak malu-malu menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan mencakup
manfaat

imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana orangtua menunjukkan


penolakan atau keraguan, sebaiknya imunisasi ditunda dulu sampai orang tua yakin akan
tindakan yang kita lakukan pada bayinya.

Menunjukkan empati dan perhatian yang besar Membeberkan kelemahan alasan anti-
imunisasi saja tidak cukup, orang tua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangat
memperhatikan dan membantu orang tua dalam upaya membesarkan anak.
Kepercayaan pada dokter akan memperkuat penerimaan orangtua pada imunisasi,
sehingga keraguan dan kemungkinan ikut hanyut secara emosional pada kelompok
penentang imunisasi dapat dibatasi.
Menghindari pertempuran emosi

Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis dan rasional. Menghadapi


orangtua yang kecewa atau marah dengan kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiran
yang digunakan sangat tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan akan membawa hasil
yang lebih baik.

Membekali diri dengan pengetahuan

Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokokpokok dasar


imunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat tiap vaksin yang kita
gunakan.

Daftar Pustaka

1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review:


Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety Review
Committee, Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001
2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine recommendation
challenges and controversies, challenges and controversies in immunization safety.
Infectious Disease Clinic of North America 2001; 15: 1-16.

3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly,
Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage in
California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism: nested
case control study using data from the UK general practice Research Database BMJ
2002;325:419-421.
6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of
measles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med 347;19:1474-6.
8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001

9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak.
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Pen gantar

Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan jelas kepada orang
tua atau anak yang telah besar mengenai berbagai hal yang ditanyakan. Pemberi
imunisasi harus selalu siap dengan jawaban yang sering ditanyakan oleh mereka.
Pengetahuan mengenai imunisasi pada umumnya terutama keuntungan yang
didapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar daripada kerugian apabila dia harus
menderita penyakit. Pada umumnya efek samping merupakan hal yang terbanyak
ditanyakan, namun adanya isu-isu negatif terhadap imunisasi perlu mendapat perhatian
para dokter. Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan pertanyaan
dan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian jelaskan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti.

Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jadwal imunisasi

Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit berbeda-
beda ?

Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antara
lain karena: sumber rujukan yang berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua,
atau pertimbangan khusus berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknya
menggunakan jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI,
karena dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan epidemiologi penyakit
tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar di Indonesia dan negara tetangga serta
memperhatikan anjuran dari WHO (Badan Kesehatan Dunia),

Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?

Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal Imunisasi PPI
Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab IV tentang Jadwal
Imunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula hal-hal lain: keadaan dan riwayat
bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca
imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi cacar air sebelum umur 10
tahun). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukan
penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi,
apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?

Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi sesuai jadwal, berarti
belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewat
jauh beberapa tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting, karena
kemungkinan tertular semakin kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting, walaupun
sudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk mengejar imunisasi yang
terlewatkan.

Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah perlu diimunisasi lagi
? Mengapa perlu ?

Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT
(kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayi
ternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih
banyak dijumpai kasus difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan
5 kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umur
dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV tentang Jadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?

Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan, demikian
pula DTP, hepatitis B dan Hib.

Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan Bayi/anak sedang pilek
batuk bolehkah diimunisasi ?

Boleh. Batuk pilek ringan tanpa demam boleh diimunisasi, kecuali bila bayi sangat
rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.

Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang harus dipertimbangkan adalah
penyakit dan keadaan bayi/anak sesuai pedoman umum vaksinasi.

Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?

Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/ hari, dianjurkan menunda imunisasi 1
bulan setelah selesai pengobatan.

Jika sering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena steroid inhalasi tidak menekan sistem imun, asalkan digunakan sesuai dosis yang
dianjurkan.

Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ?

Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam keluarga bukanlah
indikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh harus diingatkan
bahwa sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu dianjurkan untuk segera
memberikan obat penurun panas. Harus diingatkan pula bahwa demam pasca vaksinasi
campak baru timbul 5 - 10 hari setelah imunisasi.

Penderita alergi bolehkah diimunisasi ?

Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita harus sangat berhati-
hati jika anak alergi berat terhadap telur. Jika ada riwayat reaksi anafilaktik terhadap
telur (urtikaria luas, pembengkakan mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi,
penurunan tekanan darah atau syok) merupakan indikasi kontra untuk vaksin influenza,
demam kuning dan demam Q. Sedangkan untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi
anafilaktik sangatjarang, masih boleh diberikan dengan pengawasan.

Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah suntik ? Atau vaksinnya
kadaluarsa ? Apakah berbahaya ?

Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan misalnya bengkak,
kemerahan, gatal, nyeri, selama 2 sampai 3 hari. Hal itu tidak berbahaya karena merupakan
reaksi normal dari tubuh terhadap vaksin yang bersifat individual. Kompres hangat dapat
mengurangi keadaan tersebut. Kadangkadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama
beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi
tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1
- 2 hari.

Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelum dan sesudah imunisasi ? Apakah tidak
mengurangi potensi vaksin ?

Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama DPT/DT, boleh diberikan obat
penurun panas (berisi parasetamol) kepada bayi/anak untuk mengurangi nyeri dan demam
pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas atau nyeri, maksimal 6
kali dalam 24 jam. Obat penurun panas tidak menmpengaruhi potensi vaksin. Jika keluhan
masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.

Kekebalan setelah diimunisasi

Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit tersebut ?

Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut, namun jauh
lebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami.

Apabila bayi/anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan bolehkah di
imunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut?

Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut vaksinasi tidaklah berbahaya.
Vaksinasi bayi/anak dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan
tidak menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium banyak
yang meragukan. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap diberikan MMR.

Polio

Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas, mencret ?

Walaupun sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang dapat terjadi mencret ringan, tanpa
demam.

Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ?

Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan, artinya tidak dapat menimbulkan
kelumpuhan, tetapi masih bisa berkembang biak dan bisa merangsang kekebalan didalam usus
maupun di dalam darah bayi dan anak. Namun bila meneteskan terlalu banyak sebaiknya
dicatat identitas bayi/anak, kemudian dilakukan pengamatan selama beberapa minggu.

Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan pemberian vaksin
polio oral ?

ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari 1 minggu.
Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi yang dapat mengikat
vaksin polio oral. Susu formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.

Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ?

Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin polio dengan dosis
sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan harinya.

Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral) atau
yang disuntikkan ?

Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih hidup tetapi
dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan dapat merangsang
usus dan darah untuk membentuk zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar.
Artinya, bila ada virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio
liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan di
dalam darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak tersebut,
dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot lengan atau paha, sehingga
tidak dapat berkembang biak di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapat
menimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk ke
dalam usus bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa berkembang
biak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia tidak sakit, karena ada
kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena virus polio liar masih bisa berkembang biak
diususnya, maka bisa menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau wilayah yang masih
ada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus diberi virus polio yang diteteskan ke
dalam mulut, agar ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan proses
penyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus polio liar, maka secara
bertahap dapat menggunakan virus polio suntik.

Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah, misalnya karena
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat obat-
obat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau didalam rumahnya ada pasien tersebut.

Hepatitis B

Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau bengkak ?

Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan
timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah
pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh
mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap,
atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

BCG

Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang menjadi
koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?

Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena merupakan
reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula) dapat membesar dan terjadi
korengi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan
jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan
cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar
orangtua harus membawanya ke dokter.

Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih mahal ?

Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus.
Perbedaan utama pada komponen antigen untuk pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusis
utuh yang berisi ribuan antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan, sehingga sering
menimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan. Sedangkan vaksin
DTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak utuh dan hanya mengandung sedikit antigen
yang dibutuhkan saja, sehingga jarang menimbulkan reaksi tersebut. Karena proses pembuatan
DTaP lebih rumit, maka harganya jauh lebih mahal.

Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam tinggi, rewel, di
tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari.
Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika
demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam
24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Campak dan MMR

Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman
di bekas penyuntikan vaksin. Selain
itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari
48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek.
Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi
MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air
buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air
dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6
kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut
berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur 9 bulan ?

Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip campak, sehingga orangtua bahkan
dokter keliru, bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai campak.
Seandainya benar-benar pernah menderita campak, bayi tetap boleh diberikan vaksin campak,
tidak merugikan bayi, karena kekebalannya hanya bertahan beberapa tahun. Oleh karena itu
semua anak balita dan usia sekolah di daerah yang banyak kasus campak dan cakupan
imunisasinya masih rendah harus mendapat imunisasi campak ulangan (penguat) agar
kekebalannya bisa berlangsung lama.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis imunisasi
apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun
Departemen Kesehatan tetap merekomendasikan pemberian imunisasi sesuai jadwal
yang telah ditentukan.

Influenza

Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan batuk pilek lagi ?

Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza berat yang disebabkan oleh virus
Influenza A dan B jenis tertentu yang berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah batuk
pilek karena alergi, iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya.

HIB (haemophilus influenza tipe B) Apakah vaksin Hib untuk mencegah influenza ?

Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kuman Hib, yang
dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga (otitis
media) dan lain lain.

Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia, apakah tidak
perlu divaksin pneumokokus ?

Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia (radang paru) yang
disebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan pneumonia yang disebabkan oleh
kuman Pneumokokus tidak dapat dicegah dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksin
Pneumokokus. Oleh karena itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.

Tifoid

Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin tifoid ?

Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak berlangsung lama.

Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi cacar air untuk
mencegah bertambah banyaknya gelembung cacar air ?

Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti anak tersebut sudah
tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah berkembang biak dan menyebar keseluruh
tubuh anak, sehingga vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut.

Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain harus segera
divaksin untuk mencegah penularan ?

Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air kemungkinan besar
anak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi cacar air agar tidak tertular. Tetapi bila
lebih dari 48 jam, kemungkinan anak sudah tertular virus cacar air tersebut, kemudian sudah
mulai berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi tidak mampu
mencegah kelanjutan penyakit tersebut.

Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?

Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai kekebalan sampai
dewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi

Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang disuntik

Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang dianjurkan, apakah
vaksinasi perlu diulang ?

Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat “mengingat” rangsangan vaksin
terdahulu. Lanjutkan dengan vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak sesuai
anjuran.

Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak berbahaya?

Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian tubuh yang letaknya berjauhan,
menggunakan alat suntik yang berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentang
pemberian vaksin.

Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda walaupun vaksinnya


sama. Apakah ada perbedaan kekebalan? (Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yang
dilengan atau pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha).

Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain untuk
mendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf di
sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak akibat gerakan,
tekanan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan, atau sekedar pertimbangan
estetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan kekebalan, asalkan
kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang disuntik vaksin sesuai dengan ketentuan untuk
setiap jenis vaksin (intrakutan, subkutan, intramuskular).

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi, bagaimana jadwal
vaksinasi selanjutnya ?

Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya dilanjutkan
sesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat sebaiknya dosis berikutnya tidak dilanjutkan.
Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DTP cukup berat, dosis berikutnya menggunakan
vaksin DT.

Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan mengurangi dosis


menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ?

Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat tidak dibenarkan,
karena tidak mengurangi kemungkinan KIPI dan kekebalan yang ditimbulkan tidak
memadai.

Daftar Pustaka

1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.

3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.

Text Box: Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia

Bio Sanofi
Vaksin GSK BERNA Wyeth MSD
Farma Pasteur
Hib
PRP-T Act-Hib Hiberix
Typhim-
Tifoid Thypherix
Vi
Hepatitis Havrix
Avaxim
A 720
Varisela Okavax Varilrix
Influenza Vaxigrip Fluarix
Pneumo
Pneumo- Prevenar
23
kokus (PCV)
(PPV)
Meningo-
Mencevax
kokus
Kolera Kolera
Rabies Rabies Verorab
HPV Cervarix Gardasil

Ket* MDV = multidose vial

Anda mungkin juga menyukai