Anda di halaman 1dari 195

Edisi Ketiga Tahun 2008

Pedoman Imunisasi

Di Indonesia

Penyunting

I.G.N. Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko

Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman


Imunisasi di Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi
IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam
melakukan imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat.
Kemungkinan dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan
ilmu dan kebijakan setempat.
Hak Cipta Dilindungi Undang-
undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga
kali tahun 2008
Koordinator Penerbitan

Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi

Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo

Edisi 3, cetakan pertama 2008

Penerbit buku ini dikelola oleh:

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kata Sambutan Menteri Kesehatan

Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapai


Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah
dengan imunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus
neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu
dekat diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program
imunisasi yang berkesinambungan.
Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga
kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi
IDAI yang telah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini
akan menunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang
senantiasa berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam
bidang kesehatan.
Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebar luas
di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program
imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan bersama-
sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada (Kepmenkes No.
1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi).
Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasi oleh
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya
dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Jakarta, April 2008

DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri Kesehatan Republik


Indonesia

Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat menyajikan
Buku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang perlu
disesuaikan dengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan,
bukan saja untuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa
kesehatan yang berkecimpung dengan program imunisasi.
Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai upaya pencegahan yang
penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi
ketiga diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya
perubahan epidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin,
upaya pemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksi
campak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwal
imunisasi.
Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab beberapa masalah, antara lain,
(1) bertambahnya jenis vaksin di luar program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin
baru maupun vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2)
keamanan pemberian suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3)
sesuai dengan maturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan
akibat kejadian ikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah
menunjukkan sikapnya menghadapi hal ini.
Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa menjadi acuan,
tentunya buku ini tetap memerlukan revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua
Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas
kerja keras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantu
penerbitan buku imunisasi ini.
Jakarta, Mei 2008

Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC

Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI

ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala, bahwa Buku Pedoman
Imunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan oleh
dokter dan petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam
waktu singkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan untuk mencetak ulang
buku ini, maka kami menerbitkan Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan
adanya tambahan informasi vaksin-vaksin baru.
Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,

Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi ditambah dan
dibagi menjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan kualitas vaksin,
Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan tambahan topik safety injection,
Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tambah an informasi terbaru,
Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,
Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus (HPV), untuk
anak remaja,
Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi satu dalam Bab VI
mengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu
menjadi 12,
Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsi
Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX
Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, terutama yang telah melakukan revisi,
perbaikan dan penambahan topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan
untuk membuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,

kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr. Ismoedijanto dr.,Sp.A(K)
dan Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para pengguna buku ini, untuk
penyempurnaan pada edisi mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak
yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia
semakin meningkat.
Tim Penyunting

Prof. I.G.N. Ranuh dr., Sp.A(K)

Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)

Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc.,
Ph.D., SpA(K) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)
Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.

Daftar Isi

Halaman

Disclaimer............................................................................................................ ii

Kata sambutan Menteri Kesehatan .................................... iii

Prakata ketua Pengurus Pusat IDAI .................................. iv

Kata pengantar tim Satgas Imunisasi IDAI........................ v

Daftar.................................................................................... isi vii

Daftar.................................................................... kontributor ix

Daftar............................................................................. istilah xii

Bab I. Dasar-dasar Imunisasi........................................ 1

1. Imunisasi upaya pencegahan primer 2


2. Aspek imunologi imunisasi 10
...... 3...... Jenis vaksin 23

Bab II. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin..........29

1. Rantai vaksin 30
2. Kualitas vaksin 40
Bab III. Prosedur Imunisasi..........................................45

1. Tatacara pemberian imunisasi 46


2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi 62
3. Catatan imunisasi 72
4. Safety injection..........................................................................76
Bab IV. Jadwal Imunisasi.............................................89

1. Program pengembangan imunisasi 90


2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 97
3. Jadwal imunisasi tidak teratur 117
4. Imunisasi anak sekolah, remaja, dan dewasa 122

Bab V. Vaksin pada Program Imunisasi........130


Nasional (PPI) ...
1. Tuberkulosis.........................................................131
2. Hepatitis B .......................................................
135
3. DTP (difteria, tetanus, pertusis)
.......................... 143

4. Poliomielitis ......................................................
157
5. Campak
171
..........................................................
Bab VI. Vaksin yang Dianjurkan (non 178
PPI).......................
1. MMR (campak, gondong, rubella)
179
......................
2. Haemophilus inß uenzae tipe B (Hib)
188
............
3. Demam tifoid ..................................................
192
4. Varisela ...........................................................
197
5. Hepatitis A ......................................................
203
6. Rabies..............................................................
210
7. Inß uenza ........................................................
221
8. Pneumokokus.................................................. 232
9. Rotavirus ........................................................ 241
10. Kolera + ETEC.................................................. 244
11. Yellow fever ................................................... 248
12. Japanese encephalitis
...................................... 254

13. Meningokokus.................................................. 262


14. Human Papilloma Virus (HPV)..................... 267
Bab VII. Imunisasi Pasif 271
..................................................
Bab VIII. Vaksin Kombinasi 292
...........................................
Bab IX. Imunisasi Kelompok 304
Berisiko..........................
1. Imunisasi bayi 305
berisiko.......................................
2. Imunisasi bayi pada ibu 315
berisiko..........................
Bab X. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi 318
(KIPI) ...........
1. KlasiÞ kasi kejadian ikutan 319
pasca imunisasi..........
2. Pelaporan kejadian ikutan pasca 341
imunisasi ..........
Bab XI. Miskonsepsi dan Kontroversi dalam Imunisasi 348

1. Miskonsepsi imunisasi....................................... 349


2. Kontroversi dalam imunisasi ........................... 360
Bab XII. Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi ......... 371

Daftar vaksin yang beredar di Indonesia........................ 385

Daftar Kontributor

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK

(alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,


Jogyakarta

Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas


Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Alan R UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen
Tumbelaka IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Cissy B UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA,
FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr.
Kartasasmita
Hasan Sadikin, Bandung
Corry UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian
S.Matondang
IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP
(alm)
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial
IDAI
Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK
Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA

Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto


Mangunkusumo, Jakarta
Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial

Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP


Dr. Kariadi, Semarang
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen
IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/


RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas


Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA,
FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA,
FK Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK
Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI

Noenoeng UKK Pulmonologi IDAI


Rahajoe
Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI
Pujiarto

Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK


Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,

S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/


RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sumatera
Utara/ RSUP Dr. H Adam Malik, Medan
Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sam
Ratulangi/ RSUP Dr. Malalayang, Manado
Titut UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS
S.Poesponegoro Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
(alm)
Toto Wisnu UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS
Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
Hendarto

UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI

Daftar Istilah

AAP American Academy of Pediatrics

ACIP Advisory Committee on Immunization

AEFI Adverse Events Following Immunization

AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh

AKABA Angka Kematian Balita

AKB Angka Kematian Bayi

APC Antigen Presenting Cell

ASI Air Susu Ibu

BCG Bacille Cal mette Guerin

BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah

BTA Bakteri Tahan Asam

CDC Center of Disease Control

DALY Disability Adjusted Life Year

DT Difteria, Tetanus

DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)

DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)

ERAPO Eradikasi Polio

ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum

FDA Food Drug Administration

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GVHD Graft Versus Host Disease


HBIg Hepatitis B Immunoglobulin

HbsAg Hepatitis B surface antigen

Hep-B Hepatitis B

Hib Haemophyllus influenza type b

HIV Human Immunodeficiency Virus

HLA Human Leucocyte Antigen

HPV Human Papilloma Virus

IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia

IgA Imunoglobulin A

IgG Imunoglobulin G

IgM Imunoglobulin M

IPV Inactivated Polio Vaccine

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

IU International Unit

KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

KLB Kejadian Luar Biasa

MHC Major Histocompatibility Complex

MMR Measles, Mumps, Rubella

NHMRC National Health and Medical Research Council

NIGH Normal Immunoglobulin Human

OPV Oral Polio Vaccine

PIN Pekan Imunisasi Nasional

PPI Program Pengembangan Imunisasi

PRP Polyribosyribitol Phosphate

PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein

PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus


Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

UKK Unit Kerja Koordinasi

Bab I

Dasar-Dasar Imunisasi

Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi

1 - 3 Jenis Vaksin

Pengantar

Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan
yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan balita. Dasar
utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit
menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia; dinyatakan
bebas penyakit cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit menular secara
mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis, campak, dan
polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan
diharapkan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah
imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun 1798 pertama kali
menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah penyakit cacar. Untuk dapat
melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada
anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang
meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat penting bagi para profesional untuk
melakukan imunisasi terhadap anak maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan
kesadaran pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan mencegah
penyakit yang berat.

Bab 1-1

Imunisasi Upaya Pencegahan Primer

I.G.N. Ranuh

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan ditengarai pula
bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak sesuai dengan
perhitungan semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk
hanya difokuskan pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene
jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia subur di Indonesia
Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk akan terus turun
bahkan pada tahun 2020 – 2025 dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa
ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi 1,3%.
Jumlah anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan penduduk yang sangat besar,
yaitu kurang lebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%).
Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah meningkatnya kurang gizi di berbagai
pelosok Indonesia. Apabila gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai
19,3% pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan setelah
tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini.
Penyebabnya adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak
krisis moneter 1997, bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi
politik dan keamanan yang tidak kondusif.
Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat
dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu,
pemantauan

anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan


anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun
yang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam
tifoid, difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.
Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas hidup
sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda
yang memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat
menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna
meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut.
Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di
masyarakat masih memerlukan perhatian khusus yaitu,
Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun
Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun
Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahun
Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahun
Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%,
TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO)
Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan
yang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk
menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu
lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71
menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran
hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya
angka kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.

Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena penggunaan teknologi
tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan baik Kartu Menuju Sehat dalam
memantau secara akurat tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI,
pemberian segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberian
imunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu
BCG, Polio, Hepatitis B, DTP dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah
mencapai Universal Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90%
pada anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi
Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997 secara berturut-
turut dan serentak di seluruh tanah air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun
(1997-2005).
Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa Barat dilakukan
tindakan-tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara
intensif dengan pengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil
mengendalikan. Pada kesempatan tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi
terhadap tetanus dan campak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan
kematian karena kedua penyakit tersebut.
Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas
hidup bangsa akan meningkat pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 orang
anak) maka kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah
15 tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatian
yang lebih besar lagi.
Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di
suatu negara berkaitan, yaitu makin

rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan
terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu
mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna
dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa.
Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa pencegahan adalah suatu
cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dari pada
mengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit.
Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan
menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan keracunan karena kecelakaan,
kekerasan pada anak, fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan
tersier yang dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi,
prenatal, masa neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju dewasa.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang
mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan
sanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan serta
vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer.
Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya penyimpangan
kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau pengobatan perlu segera
diberikan untuk koreksi secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah
suatu upaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu
sampai meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkan
pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya
pemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh
pada terapi rehabilitasi medik

pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan lain-
lain sebab.
Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat
berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan
ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu
upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya
kesehatan lainnya.
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya
imunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI) cakupan
terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat
terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian,
masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta
anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan lain-lainnya di dunia
adalah sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara
optimal. Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah
tertularnya anak oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang
endemik dan erat hubungannya dengan lingkungan hidup.
WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994 dengan EPI dan
kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global programme for vaccines and immunization),
organisasi pemerintah dari seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank.
Ditambah lagi organisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme
dan Rockefeller Foundation.
Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari
pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun
aktif. Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif

yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental, yaitu
antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang
dikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari
ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah
disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi baru lahir dari
ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifik hepatitis B
yang harus diberikan setelah lahir dengan segera.
Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik secara pasif sesuai
antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun
buatan. Secara alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang
berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak
membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme
yang sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif
membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.
Imunisasi dan Vaksinasi

Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama.
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan
istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat
merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin
yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma
donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi
penyakit tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi
imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali

dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsung
permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulin
yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara
kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih
mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada
anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian
terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan
antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit
menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi
alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah
memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi
sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang
masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya
Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang
dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.
Daftar Pustaka

1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public health
security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and
Immunization. Geneva: WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

Bab 1-2

Aspek Imunologi Imunisasi

Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak
terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu
kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari
luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin
yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian
suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme
oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih
pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung
lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.
Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan
yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui
manusia, seperti misalnya penyakit difteria.

Respons imun

Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap
antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan
tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif
atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk
berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen
adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih
cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigen TD (T
dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas
humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah
protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan
secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan
imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan
organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Respons imun terdiri dari dua fase,

fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel
limfosit B, limfosit T
fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor (Gambar 1)

Pajanan Antigen pada Sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T
helper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang kompleks
seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak
memerlukan sel T (TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi dengan cara
langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya sederhana dan
berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan IgM, IgG2 dan sel
memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada
dinding sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat merangsang aktivasi sel B
dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai
stimulan sel B poliklonal.
Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor-faktor
lain seperti,
Jumlah dosis antigen
Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im),
subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv)
berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan
melalui inhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial.
Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain
Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya
Faktor genetik pejamu
Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk
MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat
pada membran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan

dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadi
ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasi
menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori atas
pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag
(Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkan
antibodi.
Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat dibedakan
dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya Th1 mensekresi sitokin
IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13.
Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenal dan kemudian melisis
sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T
lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.

Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan dimodifikasi
dari Abdul K Abbas, 2001
Respon Imun Selular

Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung melisis sel
yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau mensekresi sitokin
yang akan merangsang terjadi proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe
lambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi
virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang
mengandung virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk
mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang mensekresi
sitokin bila dirangsang oleh Ag.
Respons Imun Humoral

Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitop
antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM dan pada perkembangan
selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan
bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen tertentu.
Pajanan Antigen pada Sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th
(bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi
dan membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel
B tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya
hilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalam
proses opsonisasi. Kadang fagositosis

dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi penghancuran Ag.

Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa ini
disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir
aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila
terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal
inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak
berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif
dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu
atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan
dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)

Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral

Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001

Respons antibodi terhadap antigen

Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya
dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah
IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imun
sekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imun
sekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya
lebih tinggi serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun
sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan
pada antigen yang serupa.
Memori Imunologik

Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B memori
terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat
dengan antibodi akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen
(C). Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit

Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.
Abbas 2001

folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel


dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasma
yang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang
tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi ke
sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigen
yang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula
dengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi.
Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantung
dari dosis antigen yang diberikan.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan
mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul MHC di
jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah
satu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dan
diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan
jaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk
mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk
jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC menjadi peptida yang
akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC
akan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksi
sitokin sel helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang
mempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan mikobakterium
intrasel (Gambar 1).
Keberhasilan Imunisasi

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu,
faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Status Imun Pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapat
antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada
saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang
memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA)
terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara
oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada
waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi,
Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah
tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi
terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian
kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi
makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA
(human leucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran
serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin
komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts
(T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi
imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada
bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi
dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang
dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan,
jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit
yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun
merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan
penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang
menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan
mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan
limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun
kadar globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk
tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi
makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor Genetik Pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan
vaksinasi yang tidak 100%.
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks
MHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan
dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul
MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal

antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara
genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun.
Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X
yang hanya terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang
menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit
yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun,
hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

Kualitas dan Kuantitas Vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa
faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin
polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin
polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis
terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah
tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi
pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons
imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping

frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila
pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,
maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat
terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga
terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti
apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap
antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen
pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen
presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi
interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin
mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari
mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi,
karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang
mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan
atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit
yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah
empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam
selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain
tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

Persyaratan Vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat
empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi interleukin, 2)
mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi
sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang
ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang
persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori
direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya
variasi respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat
memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi
yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga
pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada
penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.
Daftar Pustaka

1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.


2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO:
Wolters Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated
Microbes. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic
Immunology,functions and disorders of the immune system. Edisi pertama.
W.B.Saunders, 2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of
Antibodies. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology,
functions and disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders, 2001.h.125-45.

Bab 1-3

Jenis Vaksin

Hariyono Suyitno

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu


Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif)
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini
menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.
Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus
atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki
kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak
menyebabkan penyakit.
Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi)
dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis
polisakarida. Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated)
dan produk sub-unit atau sub -vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas
dinding sel polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida
adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena
hubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin Hidup Attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar
ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.
Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi

untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan
cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari
seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak
(mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang
diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya
sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya)
atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar)
dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat
ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan
(adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara
suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh
dari antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya
respons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap
antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit
terkena pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas
atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan
hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio,
rotavirus, demam kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksi n Inactivated

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni
dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya
kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada
orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi
oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di
dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang
dihasilkan darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan
sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini
berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama dengan
infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen
inactivated menurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated
membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.

Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit


masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial
seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi
ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-
komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh
antigen pertusis dalam vaksin DPT).
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio (injeksi


disuntikkan), rabies, hepatitis A
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-
seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophillus
influenzae tipe b
Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus)
Vaksin Polisakarida

Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik
terdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul
bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu
pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenzae type b.
Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T independen khusus
yang berarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T
helper. Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik
pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap
antigen polisakarida; mungkin

ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya,
terutama fungsi sel T.
Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan
(booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer antibodi
menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai pada antigen
polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakarida mempunyai aktifitas
fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh antigen protein. Hal
ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap vaksin polisakarida hanya
didominasi IgM dan hanya sedikit IgG yang diproduksi.
Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas dapat
diatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi (conjugation).
Konjugasi mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T dependen
yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan respons
peningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang
pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin konjugasi lainnya ialah
vaksin pneumokok.
Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering
disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa
genetik yang saat ini telah tersedia.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus
hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini
menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.

• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus
kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus
manusia apabila mereka mengalami replikasi.
Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK.,


Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases.
Edisi ke 25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation
Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and
Immunization. Geneva: WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W,
Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable
Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8

5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

Bab II

Penyimpanan dan

Transportasi Vaksin

Bab II-1. Rantai vaksin Bab II – 2. Kualitas vaksin

Pen gantar

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu
harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin
potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak
diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan
potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal yang tidak
diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu
dan pemahaman rantai vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak
dari pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu
perlu pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari
tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM),
kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan.

Bab II-1

Rantai Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan
menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin
sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses
penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam
alat pembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu.
Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR,
varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus,
typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak perubahan suhu pada
vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap
vaksin sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing.
Suhu optimum untuk vaksin hidup
0 0
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +8 C, di atas suhu +8 C vaksin
hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum
dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang
o
dari 2 C s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila
o o o 0
disimpan pada suhu -25 C s/d -15 C, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2 C s/d +8 C.
o o
Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25 C s/d -15 C, umur vaksin
o o
tidak lebih lama dari suhu +2 C s/d +8 C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun.
Oleh

o
karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -15
C atau di dalamfreezer.
Suhu optimum untuk vaksin mati
o o
Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2 C s/d +8 C juga, pada suhu
o
dibawah +2 C (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -
o
0.5 C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi
o
dalam suhu di atas 8 C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis
o o
B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5 C s/d – 10 C vaksin DPT, DT dan
TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu
o
di atas 8 C.
Kamar Dingin dan Kamar Beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik,
distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang
besar dengan kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu
o o
kamar dingin berkisar +2 C s/d +8 C, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh
o o
beku. Suhu kamar beku berkisar antara -25 C s/d -15 C, untuk menyimpan vaksin yang boleh
beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus,
menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak boleh terputus
sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila
listerik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara
o o
otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2 C, atau diatas 8 C, atau listrik padam.
Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan
untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda

lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari pendingin

tersendiri Lemari es dan freezer

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak lemari es


dengan dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya
harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung.
o o
Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2 C s/d +8 C, digunakan untuk menyimpan
vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair).
o o
Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara -25 C s/d -15 C, khusus
untuk menyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku).
Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar
o o o o
antara +2 C s/d +8 C dan suhufreezer berkisar -15 C s/d -25 C. Perubahan suhu dapat
diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau
Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze
watch atau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai
dibawah 0 derajat.
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pita
perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya
pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan
mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.
Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-
masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas
lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.

Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas

Pintu membuka ke depan


Pintu membuka ke atas
1. Suhu lebih stabil. 1. Suhu tidak stabil.

Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,

kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas

dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar

2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa

tidak bertahan lama bertahan lebih lama

3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa

disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak

4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit

dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit

dilihat dari atas

Karet-karet pintu harus diperiksa


kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah
terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan
pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau
lemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer terbuka
selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu
0 0
sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 8 C dan suhufreezer – 15
C, masukkan vaksin sesuai tempatnya.
Susunan vaksin di dalam lemari es

Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin,
maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkan
vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian
yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm)
agar udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Text Box:

Text Box:
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack,
untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari
es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku.
Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena
akan menjadi rapuh, mudah pecah.
Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam
lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka.
Lemari es dengan pintu membuka kedepan

Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam
freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah freezer untuk meletakkan
vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh
darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak
terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau
Muller diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3

Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa
vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh
dari pendingin (freezer)

Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang
membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-
kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari
evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm).
Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.
Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas

Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh
dari pendingin

Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat
menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box
berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari
poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara.
Untuk mepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold
pack atau cool pack.
Gambar 2.3. Kotak
Dingin, b) Vaksin Carrier,
c) cool pack
Cold Pack dan Cool Pack

Cold pack berisi air yang


Text Box:
dibekukan dalam suhu -15 s/d –
0
25 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah
plastik berwarna putih. Cool pack berisi air
dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu
0
+2 s/d +8 C selama 24 jam, biasanya di dalam
wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold
pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa
vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan vaksin mati (inaktif).

Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier

Daftar Pustaka
1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization
Program. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of
Australia; 2008.
5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics.
PickeringLK, Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003
Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village,
IL: American Academy of Pediatrics; 2003.
6. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia,
Tokyo, WB Saunders, 2004.
7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and
Immunization. Geneva: WHO. 2002.

Bab II-2

Menilai Kualitas Vaksin

Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas
tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan
vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan
tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita
perlu memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak
diberikan kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin yang
sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rumit.
Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus
memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezer
dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau twermos yang tertutup
rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal
kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch / tag belum
melampaui batas suhu tertentu.
VVM (vaccine vial monitor)

Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas
yang dibolehkan, dengan membandingkan

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empat
lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin
belum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B
harus segera dipergunakan.
A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin.

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar

Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar

JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang
diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien.
Freeze watch dan freeze tag
0
Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0 C. Bila dalam freeze
watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang
o
(X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0 C yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Warna dan kejernihan


vaksin
Warna dan kejernihan
beberapa vaksin dapat
menjadi indikator praktis
untuk menilai stabilitas
vaksin. Vaksin polio harus
berwarna kuning oranye. Bila
warnanya berubah menjadi
pucat atau kemerahan berarti
Text Box: pHnya telah berubah,
sehingga tidak stabil dan tidak boleh
diberikan kepada pasien.
Vaksin toksoid, rekombinan dan
polisakarida umumnya berwarna
putih jernih sedikit berkabut. Bila
menggumpal atau banyak endapan
berarti sudah pernah beku, tidak boleh
digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawah
ini.
Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak
boleh digunakan karena sudah rusak.

Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)

Pemilihan vaksin

Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah
dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin
dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah
lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out).
Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit,
praktek swasta)
Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan pada
pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati tanggal
0
kadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +8 C, tidak pernah terendam air, VVM A
atau B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu
ditulis tanggal mulainya penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau
sedang dipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga segera
dapat dikenali.
Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCG
0
yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8 C hanya stabil selama 3jam
(WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8
0
C hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah
24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 30 menit.

Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis

Vaksin Masa
Pemakaian
POLIO 2 minggu

DPT 4 minggu
DT 4 minggu

TT 4 minggu

Hepatitis B 4 minggu

Sisa vaksin di sarana


pelayanan luar gedung
Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda
khusus untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua
syarat-syarat masih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya
dimusnahkan dengan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau
dikubur sedalam 2-3 meter.
Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5.
Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on

Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;

2003.

Bab III

Prosedur Imunisasi

1. Tatacara pemberian imunisasi


2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi
3. Catatan imunisasi
4. Safety injection
Pengantar

Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal, memerlukan pemahaman
dan ketrampilan dari para pelakunya mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan
sebelum, selama dan sesudah melakukan imunisasi.
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan anak
dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, sampai
pada teknik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar.
Penjelasan kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu
dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada
bayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi
ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat
dengan lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi.
Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan diperoleh kekebalan yang
optimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal,
serta pengetahuan dan kepatuhan orangtua pada jadwal imunisasi.

Bab III-1

Tata-Cara Pemberian Imunisasi

Qariyono Q7uyitno

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan
secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa
mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau
pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan. Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa,
misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination)
bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum
suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut. o Berilah petunjuk
(sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi
ikutan yang lebih berat.
Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular ( P2M ).
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk
mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya dapat
bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsip
higienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi
harus dikerjakan.
Penyimpanan

Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi
pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk
sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-
o
8 C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A)
menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi
guna mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin
(OPV dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara rinci
bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan pada Bab II
Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.
Pengenceran

Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan
dalam periode waktu tertentu. Apabila

vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan
kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami
perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan
dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.
Pembersihan kulit

Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun apabila kulit telah
bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

Pemberian suntikan

Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan


dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan
BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian
besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi
petugas kesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan
dalam, dianjurkan memberikan dengan cara intra muskular.
Teknik dan ukuran jarum

Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjuk
keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan trauma
akibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan
jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis,
karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin
dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak

boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup
yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau
pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan anak-
anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar buku petunjuk ini.

Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum yang pendek
meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi
masalah untuk vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain
dalam beberapa hal seperti berikut:
v. pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi
kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm,
v. untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang
16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm,
v. untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk
(obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm,
v. untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-
27 dengan panjang 10 mm.
Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular
0 0
Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 45 sampai 60 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah
lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan
0
pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90 .
0 0
Pada suntikan dengan sudut jarum 45 sampai 60 akan mengalami
hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.

Tempat suntikan yang dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi -bayi dan
anak-anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada
anak-anak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha
adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah
gluteus) untuk menghidari risiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Buku
pedoman ACIP dan AAP dan buku pedoman Selandia Baru juga menganjurkan paha
anterolateral sebagai tempat suntikan vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha
anterolateral atau lengan atas pada bayi sebagai tempat suntikan.
Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak
dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga
pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak
disengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat.
Vaksin hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal
ini berlaku untuk semua umur.
Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio lateral sebenarnya
telah diketahui, namun beberapa petugas kesehatan masih segan meninggalkan
praktek tradisionalnya dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal
tersebut, dianjurkan untuk selalu mengulang kembali dengan memberi peringatan
bahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu
dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk menghidari saraf ischiadika. Sedangkan
untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab
suntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid.

Posisi anak dan lokasi suntikan

Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko kerusakan saraf, pembuluh
vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik,
walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah
ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau
pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka
memahami apa yang sedang dikerjakan.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah

v. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.


v. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
v. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di
daerah gluteal.
v. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat
suntikan yang menahun.
vi. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.
Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan

Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian
anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot
bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.
o o
Jarum harus membuat sudut 45 -60 terhadap permukaan kulit, dengan jarum ke
arah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas
(ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/pengasuh
atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang

Text Box:

tua atau pengasuhnya. Celana


(popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak
demikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang
menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini
akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.
Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha

Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Lokasi suntikan pada vastus lateralis

Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan


terlentang, Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut,
Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang
menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga
bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka
lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)
Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga
bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas tersebut.
Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan

Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah


deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara
lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.
Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung
aman dan berhasil
Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar
dan meningkatkan risiko penetrasi saraf.
Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak
ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara
akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat
o o
sudut 45 -60 mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik,
ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari
otot trisep.

Pengambilan vaksin dari botol (Vial)

Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai
jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang
sama. Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan
untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol
yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.
Penyuntikan subkutan

Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan*

Tempat Ukuran jarum Umur

Bayi Paha daerah anterolateral Ukuran 23-25

(0-12 bln) Panjang 16-19 mm

anterolateral atau Ukuran 23-25 1-3 tahun Paha daerah

daerah lateral lengan atas Panjang 16-19 mm

>3
tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 mm
Panjang 16-19 mm
Text Box:

*Penyuntikan subkutan
untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis
Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkan
subkutan
pada bayi (a) dan anak besar (b)

Text Box:
Text Box: Umur Tempat Ukuran Jarum

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular

Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot


0
Suntik dengan arah jarum 45-60 , lakukan dengan cepat
Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukkan
Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke
dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru. Untuk
suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda
Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama

Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yang
sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam
jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari
kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin
DPT, Hib, hepatitis B, dan polio.
Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi
apabila hanya satu macam yang diberikan. Vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh
diberikankurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap
vaksin kedua mungkin telah banyak berkurang. Sebagai tambahan perlu diperhatikan
bahwa ada interaksi spesifik antara vaksin demam kuning dan kolera, dan vaksin-
vaksin tersebut tidak boleh diberikan dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-
vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang
berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada
lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda.
Text Box:

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK.,


penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik
Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.16-20.
2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W,
HumistonS, Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine
preventable diseases, edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services,
Public Health Service, CDC 1999. h. 277-89.
3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures.
Dalam: Walson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9.
Canberra: NHMRC. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
Bab III-2

Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai

Imunisasi

Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk imunisasi, maka kita perlu
memahami dan menyadari kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberi
jasa. Untuk itu kita perlu mengetahui dan melaksanakan Undang-undang RI nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang–undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan (pelaku usaha)

Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat


5 ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Bab III pasal 4 Hak Konsumen:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian


sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau


pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut
Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya


b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa
yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat


penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa tersebut
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 6. Hak Pelaku Usaha:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai


kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak
beritikad baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen
d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, pasal 9, Pelaku
Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar : ayat 1c. dengan menggunakan kata-kata
berlebihan seperti : aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek
sampingan tan pa keterangan yang lengkap.
Hak pasien dan kewajiban dokter

Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa praktik kedokteran


berdasarkan kesepakatan dokter dan pasien untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan.

Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dokter
wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran, sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.
Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasan tersebut
sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara tindakan medis, tujuan tindakan,
alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut dapat diberikan tertulis
maupun lisan (ayat 4). Tindakan yang berisiko tinggi harus tertulis dan ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan (ayat 5). Tatacara mengenai persetujuan tindakan
kedokteran tersebut diatur oleh Peraturan Menteri (ayat 6). Peraturan menteri untuk tata
cara persetujuan tindakan kedokteran karena belum ada yang baru sementara masih
berdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban memberikan penjelasan


secara profesional dan proporsional tentang manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan
pasca imunisasi dan hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga pasien mendapat
informasi yang jelas dan benar agar tidak terjadi salah pengertian dikemudian hari.

Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)


no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi
harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1). Semua
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2
ayat 1) secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik dilakukan tanpa
adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin praktek (Pasal 13).
Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengan
tindakan medik adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehingga
banyak yang berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan medik.
Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan medik sebelum vaksinasi dianggap
perlu, walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics
(AAP) menganjurkan pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yang
disusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsen
vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi
orangtua sebelumnya menandatangani pesetujuan tertulis, atau dicatat dalam
catatan medik bahwa penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua.
The Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) juga
menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan tertulis disamping
penjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) dan
keterangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit yang
dapat dicegah dengan vaksin tersebut

untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak ada keharusan untuk
mendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa
orangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta persetujuan tertulis.
Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namun
jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua, walaupun telah ada
persetujuan tertulis pada imunisasi sebelumnya.
Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadaran
konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasi
sebaiknya memberikan penjelasan kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2 ayat 3
Permenkes 585/1989) bahwa imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit dan
mempunyai manfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat
ditimbulkannya. Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien (sesuai Pasal2 ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang
harus dilaksanakan berdasarkan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak
(di Posyandu, Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai pasal 14
Permenkes 585/1989).
Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada orangtua/keluarga
sebelum dilakukan imunisasi
Keadaan Bayi/Anak

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberi tahukan secara
lisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra
atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,
ï¶ pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
(memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit),

alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin (misalnya neomisin), sedang
mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi, menderita
sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS),
tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker,
HIV / AIDS),
tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin
campak, poliomielitis, rubela),
pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi
darah, menderita penyakit susunan syaraf pusat.
Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasi
Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi
DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan antipiretikparasetamol 15
mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi.
Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24
jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.
Manfaat vaksinasi

Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara profesional dan
proporsional manfaat vaksinasi yang akan dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksin
tidak melindunghi 100 %, tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan
dampak bila terjadi infeksi.

Reaksi KIPI
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di
tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada
jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh,
dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan,
pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi
keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa
minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
BCG

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCG
dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi
dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan
jaringan parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua
dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau
koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.
Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah
imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul
kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Jika demam pakailah
pakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam
berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24
jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di
tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua
hari. Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air
buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air
dingin, jika demam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6
kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut
memberat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
DT

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan
nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin.
Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
Polio oral

Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena


itu orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.
Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di
bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari
setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit
kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening
kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika

demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika
demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam
24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat
dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989


tentang persetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990.
2. Watson C (penyunting). The Australian Immunisation Handbook, Edisi ke-9.
NHMRC, 2008.
3. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on
Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 1994.
4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000.
5. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-
liku perjalanan UUPK. YLKI, Jakarta 2001.
6. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran. CV Eko Jaya, Jakarta 2004.

Bab III-3

Pencatatan Imunisasi

Jose RL. Batubara

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi


yang dipegang oleh orang tua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis
yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu
imunisasi tersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau
paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi

Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
Tanggal melakukan vaksinasi
Efek samping bila ada
Tanggal vaksinasi berikut
Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/ paramedis sebelumnya,
maka data tentang hal -hal tersebut di atas harus dilengkapi oleh petugas medis
yang melanjutkannya. Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik jadwal
maupun efek samping yang akan merupakan informasi penting untuk
dokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi ini
sebaiknya selalu dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yang
memberikan vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk
melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan.
Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan orang

tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari sebelum hari libur,
mengingat apabila terjadi demam ibu berada di rumah).
Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah vaksin yang diberikan dan
bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan
cara mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal.
Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi

Surat Persetujuan Imunisasi

Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)
Ya

Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk


diimunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi yang telah
direkomendasikan.
(Berikan tanda  apabila ingin diimunisasi atau beri
alasan apabila tidak boleh)
BCG
Polio oral
Hepatitis B
DPT
Campak, dst
Tanda tangan Tanggal /
/ /
Tidak
Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada
saya mengenai program imunisasi, namun saya tidak
ingin anak saya diimunisasi.
Nama orang tua/ wali........................................................
Tanda tangan Tanggal /
/ /

Jose RL. Batubara

Kartu Imunisasi

Jenis Nama No Tanggal Tempat Paraf


Vaksin Vaksin batch Imunisasi Imunisasi

Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi

Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan efektif untuk melindungi anak
bapak/ibu terhadap penyakit yang berbahaya. Terdapat 7 penyakit yang diwajibkan (vaksin
PP1) untuk diimunisasi pada bayi/anak (TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus,
dan campak). Saat mi telah bertambah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi
yang tidak tergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan seperti, gondongan, rubela,
demam tifoid, hepatitis A, cacar air.
Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan terhadap penyakitinfeksi tersebut di atas.
Namun, dengan imunisasi (suntikan atau diminum) tubuh dapat membentuk kekebalan
(antibodi) terhadap penyakit infeksi tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95%
apabila diberikan dengan cara yang tepat.
Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat mi kejadian penyakit
infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun. Hal mi bukan kemudian imunisasi tidak penting
lagi. Bakteria dan virus penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat, maka apabila
hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa (wabah).

Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan (PP1) dapat diperoleh di
semua fasiitas kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain dapat diperoleh pada dokter
pribadi anda.
Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab Jadwal Imunisasi)
Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000,
Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village:
American Academy of Pediatrics 2000.
3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C, Nelson
R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-5.
Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.

Bab III-4

Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

Soedjatmiko

Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar membentuk kekebalan
humoral atau seluler terhadap antigen yang diberikan melalui penetesan di mulut atau
disuntikan. Namun proses ini dapat pula menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang tidak diharapkan bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak dilakukan dengan benar
dan baik. Upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan tubuh dan memperkecil KIPI
dimulai dari prosedur produksi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan vaksin,
penyediaan dan penggunaan alat suntik, teknik penyuntikan yang aman (safety injection) dan
penanganan limbah.
Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk menghasilkan kekebalan
yang optimal pada bayi/anak yang disuntik dan menghindari KIPI, juga untuk
menghindari kecelakaan atau penularan infeksi pada bayi/anak tersebut, pada
dokter/paramedis yang melakukan penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya.
Jenis alat suntik (semprit)

1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD)

Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak tahun 1999 menganjurkan
penggunaan semprit auto-disable (AD) yang hanya bisa dipakai 1 kali kemudian
otomatis terkunci, macet atau patah. Semprit ini tidak dapat dipakai ulang,
sehingga tidak akan menyebarkan partikel patogen (misalnya hepatitis B atau HIV) yang
masuk ke dalam semprit ketika proses penyuntikan atau mengkontaminasi sisa vaksin ketika
menghisap vaksin dari

botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara luas.

Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet, Univec, Terumo, K1
dan Medico inject. Beberapa merek sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan
jarum terpisah. Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat
cara penggunaannya, karena berbeda-beda.
Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan atau kebelakang satu
kali saja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah
mengeluarkan semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit,
karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk menghisap
vaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang ada
didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarik
piston untuk menghisap vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang
udara yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah udara habis
terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudian
dorong piston sampai vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi atau
patah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan
dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang
2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD

Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi. Beberapa merek
yang sering digunakan antara lain Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini hanya
digunakan untuk mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum
bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu,
untuk mencegah digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak sebaiknya dengan
semprit AD.

3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD)

Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1 dosis,
untuk satu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa
dipakai lagi. Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap
vaksin dari botol atau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh:
vaksin Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas harus dimasukkan ke
dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan
mengkontaminasi orang lain.
4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD

Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1
dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit masih bisa berfungsi.
Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid, influenza, hepatitis A,
pneumokokus. Untuk mencegah pemakaian ulang semprit bekas, segera masukkan
ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu.
5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang

Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat berisiko
terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum atau vaksin yang
telah terkontaminasi ketika menghisap vaksin.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak

1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang berdekatan (bundling) di


tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung:
a. Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik (lihat bab Rantai Vaksin)
b. Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong ampul
c. Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD)
d. Desinfektan/antiseptik
e. Kotak limbah diletakan sedemikian rupa hingga mudah memasukkan semprit bekas pakai
f. Alat/obat kedaruratan yaitu adrenalin, jarum dan slang infus, cairan infus, kortikosteroid
g. Blangko pencatatan imunisasi

2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu, tanggal


kadaluwarsa, VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin, gumpalan, endapan, label
dan indikator kualitas vaksin lainnya. Bila vaksin sudah kadaluarsa, walaupun baru
beberapa hari tidak boleh digunakan. Bila ada gumpalan, endapan, perubahan
warna vaksin, perubahan warna VVM lsama atau lebih gelap da ri tepinya (kondisi C
dan D), atau label pernah terendam air, vaksin tidak boleh digunakan.
3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang terdapat dalam
KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari pemberian vaksin yang
tidak sesuai.
4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya, imunisasi yang
telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI yang pernah terjadi, dan
informasi yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang

akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik: asupan nutrisi,
pola tidur, miksi, defekasi dan tumbuhkembang.
5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik penyuntikan, manfaat,
kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara mencegah dan pertolongan pertama bila
terjadi KIPI (informed consent).
6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan bayi/anak secara umum, sambil
mencari indikasi kontra imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik.
7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan apakah kemasannya
masih utuh dan rapat. Bila kemasan sobek, tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum atau
semprit tidak digunakan, segera dibuang seperti semprit atau jarum bekas pakai.
8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah tersentuh
benda tidak steril kedalam kotak limbah kemudian dihancurkan.
9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut. Campur
vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum bukan AD,
tetapi semprit dan jarum yang telah digunakan untuk melarutkan tidak boleh
untuk menyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan
jam melarutkan vaksin.
10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Jangan
menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan meninggalkan
jarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan vaksin berikutnya.

11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau menyuntikkan,
walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti dengan jarum baru yang steril.
12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun vaksinnya sama.
13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau memberontak
ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik
dalam gendongan orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di
dada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan
dipeluk dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada
orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/ pengasuh
agar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara kedua paha orangtua/pengasuh,
atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan)
dipegang oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta
bantuan orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu memegang siku
atau lutut dekat bagian yang akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak
kesakitan atau ketakutan.
14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak bicara,
atau bermain dengan mainan. Jangan diancam atau dipaksa sehingga
membuat anak ketakutan.
15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic mixture of
local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10 menit sebelumnya, etil
klorid spray beberapa detik sebelumnya, atau ditekan dibagian yang akan disuntik
selama 10 detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan
sukrosa. Manfaatnya bervariasi.

16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/ antiseptik, tunggu
sampai mengering
17. Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan mengatur posisi
lengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain
itu kulit sebaiknya diregangkan kesamping agar jarum mudah menembus kulit untuk
mengurangi rasa nyeri.
18. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah digunakan sama
sekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrik
vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai, langsung dimasukkan ke kotak limbah
kemudian dihancurkan.
19. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin: intradermal
(sekitar 15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau intra muskular (60 – 90 derajat).
Kedalaman penyuntikan subkutan dan intra muskular harus disesuaikan dengan
ketebalan lemak dan otot bayi /anak.
20. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum penyuntikan kulit
bayi/anak digeser kesamping (metode Z – tract), setelah penyuntikan kulit
dilepaskan lagi ke posisi semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam
otot atau subkutan tidak dapat keluar lagi.
21. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan agar darah
tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan luka
berdarah dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan sebaiknya
ditutup dengan plester.
22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam KMS atau buku
imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila dilengkapi dengan nama dagang vaksin,
nomor batch/

lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf dokter/paramedis


yang bertanggung jawab.
23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung pulang, menunggu sekitar
15 menit untuk deteksi kemungkinan terjadinya KIPI yang segera.
24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah Sakit:
1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam

135
2 Campak dan meningokokus ACW Y setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 8 jam
3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu

4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu,

Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program), tetapi belum
dibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang sudah
dibuka/dilarutkanharus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masih
o
bisa dipakai dengan syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2 C
o
– 8 C, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B), tidak
pernah terendam air dan sterilitas terjaga.
Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik (paramedis, dokter)

1. Jangan menekan luka berdarah akibat suntikan dengan jari atau bahan tidak steril.
2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum bekas pakai,
karena berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah yang ada pada jarum.

3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke dalam kotak limbah
tanpa mencabut atau menutup jarum.
4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi tertunda akibat anak
meronta-ronta, penutupan jarum dilakukan dengan teknik satu tangan agar tidak menusuk
jari tangan yang lain. Caranya : tutup jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang), dengan
tangan kanan pegang semprit, masukkan jarum kedalam tutupnya, dorong terus hingga
sebagian besar jarum bisa masuk kedalam tutupnya sehingga tutup terdorong. Tekan
tutup tegak lurus di atas meja, sehingga jarum tertutup kuat. Masukkan semprit dan jarum
tersebut ke dalam kotak limbah.
5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat melukai dan
mengkontaminasi penyuntik atau orangorang yang berada dekat tempat penyuntikan.
Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan

1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat diambil atau
melukai dan mengkontaminasi masyarakat yang berada dekat tempat penyuntikan.
2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum, kapas, botol, ampul
vaksin) sesuai dengan prosedur yang dianjurkan (dikubur atau dibakar)
Mengamankan semprit dan jarum bekas

Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau untuk menyuntik
harus segera dimasukkan kedalam kotak limbah. Kotak ini harus mempunyai lubang
kecil yang mudah untuk dimasuki semprit bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar
lagi, tidak mudah tembus oleh jarum (untuk mencegah menusuk

orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran
dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal. Namun boleh
juga menggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik bekas air mineral,
jeriken plastik untuk kotal limbah Gambar 16.
Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi

Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah memasukkan semprit dan jarum
bekas, namun letakkan ditempat yang aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil,
tertendang atau terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada disekitarnya. Semprit dan
jarum bekas jangan dikeluarkan lagi dari

kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera ditutup rapat
agar ketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah keluar.

Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah

vaksinasi Membakar semprit dan jarum bekas Text Box:

Sebaiknya spuit dan jarum


bekas dibakar dalam insinerator (alat pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat
C, karena dapat menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan mikroorganisme yang
mungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari darah bayi/anak. (Gambar 3.7)
Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)

Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di dalam drum bekas yang
diganjal dengan batu bata. Kotak limbah dimasukkan ke dalam drum, api dinyalakan
dibawah drum tersebut. Semprit dan jarum yang sudah terbakar hancur kemudian
ditimbun ditempat yang aman. (Gambar 3.8)
Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana

Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang, sebaiknya di lahan


yang jarang di olah dan jauh dari pemukiman. Gali lubang sedikitnya sedalam 1
meter, masukkan kotak limbah ke dalam lubang, bakar kotak limbah menggunakan
kertas, minyak tanah atau bensin. Setelah semua terbakar, timbun lubang dengan
tanah. (Gambar 3.9)

Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi

Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang khusus

Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat dibuang ke dalam lubang khusus.
Kedalaman lubang sedikitnya 2 meter, dengan lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton,
ditengahnya ada pipa besi. Semprit dan jarum bekas dimasukkan kedalam lubang melalui
pipa besi tersebut tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada kemungkinan
mengkontaminasi lingkungan.
Menimbun semprit dan jarum bekas di dalam lubang pembuangan

Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun tidak akan digali.
Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini
masih berbahaya karena bila ada banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau
mengkontaminasi lingkungan sekitarnya.
Daftar Pustaka

1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005.
2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.

Bab IV

Jadwal Imunisasi

Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) 4-2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI
4-3. Jadwal imunisasi yang tidak teratur
4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa

Pen gantar

Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi
guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization. Melalui PPI diharapkan
beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi dapat dilaksanakan seperti
eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan
mutu pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan keamanan
pengelolaan limbah tajam.
Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih tegas, kapan seorang bayi/anak
sebaiknya mendapat imunisasi sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini
juga akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Pada anak
yang mendapatkan imunisasi tidak sesuai dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa,
tidak tahu, atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu membuat
jadwal imunisasi yang sesuai.
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi diperuntukkan kepada
seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi pada kelompok anak sampai dewasa adalah
sebagai penguat kadar antibodi yang telah menurun atau untuk memberikan
perlindungan pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.

Bab IV-1

Program Pengembangan Imunisasi

Sofyan Ismael

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau
expanded program on immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977.
Program PPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai
komitmen internasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program UCI
secara nasional dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal
80% sebelum umur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG minimal 90%.
Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B.
Program imunisasi melalui PPI, mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan
komitmen internasional yaitu,
Eradikasi polio (ERAPO),
Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus elimination
- MNTE),
Reduksi campak (RECAM),
Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices), Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w).
Cakupan Imunisasi

Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang berarti
cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,

dan hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bahkan
di setiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten) di Indonesia telah mencapai target
UCI. Jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta.
Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia
Jenis Imunisasi Cakupan Cakupan
1996/1997 (%) 2003 (%)
1 dosis BCG 99,6 97,7
3 dosis DPT 90,9 90,8
4 dosis polio 85,0 90,4
3 dosis hep.B 62,0 79,4
1 dosis campak 91,7 90,4
2 dosis TT ibu hamil 73,3 71,5
Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruh
dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai
tidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun
melihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari
regional Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun
2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin yang
tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun
berturut-turut, (3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5)
sertifikasi polio.

Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur 0-59 bulan
yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa melihat status
imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selang
sekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002,
2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN
telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.
Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu dari 3
strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari Survailans AFP untuk
mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan
menemukan semua anak berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak
tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah kelumpuhan tersebut
disebabkan oleh virus polio atau bukan. Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun
1995 sampai tahun 2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu
kasus yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja tidak adekuat.
Namun sejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio
berdasar pada ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga
laboratorium yang telah dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian &
Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya)
menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia.
Virus polio liar terakhir ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap,
Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus

tipe 1, 2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di
Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio Farma Bandung dan
Laboratorium Virologi Rujukan WHO di Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan
pada penderita di Cidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya
juga berjangkit di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons immunization
mopping-up, dan PIN, sejak februari 2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.
Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan imunisasi polio masal lagi
yang dikenal sebagai outbreak respons immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuan
memutuskan sisa fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,
sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar ditemukan maupun
pada virus polio yang kompatibel.
Masalah yang dihadapi

1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997
telah melemahkan kinerja program imunisasi rutin, survailans AFP, serta suplemen
vitamin A terutama di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya.
2. Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari negara lain di dalam
regional Asia Tenggara yang belum bebas polio (misalnya India, Afganistan, dan China),
dapat muncul kembali.
3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian
Jaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub Nasional (Sub PIN) yang dilaksanakan
pada bulan September, Oktober 2006 dan februari 2007 bersamaan dengan
imunisasi campak.
Eliminasi tetanus neonatorum (ETN)

Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan Indonesia dari penyakit tetanus
neonatorum, sehingga tahun 2005 tetanus neonatorum tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat lagi. Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologis berarti menurunkan
insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per 10.000 kelahiran hidup di pulau Jawa-Bali pada tahun
1995 dan seluruh Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angka kematian tetanus
neonatorum menjadi separuh dari CFR (case fatality rate) sebelumnya, dengan jalan menemukan
kasus dan mencari faktor risiko. Eliminasi tetanus neonatorum di Indonesia telah dilaksanakan sejak
tahun 1991. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan risiko yaitu meliputi status imunisasi TT
ibu hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali pusat. Untuk pelayanan imunisasi tetanus
toksoid (TT) dilakukan pada anak sekolah SD kelas VI, calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO
merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untuk mendapatkan kekebalan seumur hidup, sedangkan
untuk meningkatkan pertolongan persalinan melalui peningkatan pelatihan dan pembinaan dukun
bayi.

Reduksi campak

Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak, yaitu penurunan
90% kasus dan 90% kematian akibat campak dibandingkan dengan keadaan sebelum
program imunisasi campak mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi campak ialah,
1. Imunisasi campak dalam PPI sejak tahun 1982 secara nasional telah
mencapai cakupan 80%,
2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi,
3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak cukup.

Maka strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah,

1. Cakupan imunisasi campak rutin minimal harus > 90%, kepada sasaran campak
diberikan juga vitamin A 100.000 IU.
2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9 bulan sampai 5
tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung cakupan. Upaya ini dicapai
dengan mengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping
diperlukan untuk membantu Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa.
3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,

a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit dicapai, pemukiman
transmigrasi baru),
b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,
Pada kedua kegiatan di atas, vitamin A dosis 100. 000 IU untuk bayi umur 6-11 bulan dan
200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin
A dalam 1 bulan terakhir).
4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa KLB, sasaran. umur
9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua, diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa
melihat status imunisasi sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila
dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga vitamin A untuk anak 9-
11 bulan 100.000 IU sedangkan untuk usia 1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah
mendapat vitamin A dalam 1 bulan terakhir).
5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di seluruh
Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap dalam program BIAS
(bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja
dan Dewasa).
Daftar Pustaka

1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen


Kesehatan Rl. Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option=
news&task=viewarticle& sid=1826&Itemid=2.
2. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan
Imunisasi Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.
3. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

Bab IV-2

Jadwal Imunisasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan, departemen


Kesehatan/ WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.
Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal tahun
2004 yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua. Perbedaan terletak pada
penambahan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine),
vaksin influenza pada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal
imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007),
Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin rotavirus dan HPV (human papilloma virus).
Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk mengurangi penularan hepatitis
B dari ibu ke bayinya sedini mungkin.
Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk mempersingkat jadwal, mengurangi
jumlah suntikan, dan mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasi
DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/ Hib, atau DTaP/Hib/IPV), Departemen
Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB) dalam
PPI.
Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dalam kajian
Badan Penelitian & Pengembangan Depkes ternyata kurang memberikan
perlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak diberikan penguat pada saat
masuk sekolah dasar melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program eradikasi polio, apabila di
Indonesia tidak terdapat lagi virus polio liar (wild polio virus) selama 3 tahun berturut-
turut, besaran cakupan imunisasi polio cukup tinggi (>90%), serta survailans AFP yang
baik; maka untuk imunisasi rutin (PPI) dapat diberikan eIPV (enhanced inactivated polio
vaccine, injectable poilo vaccine). Namun untuk PIN vaksin polio oral tetap merupakan
pilihan
Jadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen Kesehatan
yang baru tetap dapat dipergunakan, bersama jadwal imunisasi IDAI.
Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

BCG

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi
BCG pada umur antara 0-12 bulan.
Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun).
VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada
insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha).
Hal ini mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu
struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau
paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila
diperlukan. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat


mencegah komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa
1. efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%,
2. sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus
dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%)
walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat
ini WHO sedang mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid
jangka panjang, atau menderita infeksi HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepB
merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan
melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
ï¶ Imunisasi hepB -1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko
penularan kepada bayinya sebesar 45%.
ï¶ Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval
imunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
ï¶ Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan

status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak
diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif.
ï¶ Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-0 monovalen
(dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada
umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk
mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah.
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu

ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1 harus diberikan
dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan.
Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B
imunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin hepB-1dan HBIg
0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.
Ulangan imunisasi hepatitis B
ï¶ Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak dari ibu
pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur
5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti HBs >10
ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di
Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum
diperlukan. Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar
anti HBs.
ï¶ Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan

imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali


pemberian (catch-up vaccination).
ï¶ Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang kan pada umur 10-12
tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 µg/ml).
Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan dengan
DTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal
Departemen Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal Depkes dapat
dipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI
Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B*

Kemasan Umur Imunisasi

Uniject (hepB-monovalen) Saat lahir HepB-0

2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1

3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2

4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3

*Jadwal Departeman Kesehatan

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di samping vaksin
DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua
vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.
Jadwal imunisasi
ï¶ Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4 -8 minggu. Interval terbaik
diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur
4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya
diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada

umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Vaksinasi ulangan pada program BIAS

v. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis
(sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat
kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah
sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
v. Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar (pada bulan
imunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat
masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
v. Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk diubah ke vaksin
dT (adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.
Dosis vaksinasi DTP

v. DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.
Pemberian DTP kombinasi

v. Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwP/HepB,
DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.
Tetanus

Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum


(ETN) tahun 2000 belum terlaksana sepenuhnya. Maka pada pemberian vaksin
tetanus beberapa hal perlu mendapat perhatian.
Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi DTP
Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoid
sebanyak lima kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, setiap
wanita usia subur (WUS) telah mendapat perlindungan untuk bayi yang akan dilahirkannya
terhadap bahaya tetanus neonatorum (pemberian vaksin TT WUS dan TT ibu hamil).

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.

v. Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan imunitas selama 1-3 tahun.
Tiga dosis toksoid pada bayi tersebut, setara dengan 2 dosis toksoid pada dewasa.
v. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu
sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3 dosis toksoid.
v. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah,
akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun;
pada umur dewasa dihitung setara 4 dosis toksoid.
v. Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun
berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang

imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5

dosis toksoid.

v. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah
melalui kegiatan BIAS.
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.

OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.


IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.

Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan
pada anak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat diberikan
sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan
dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi.
Jadwal

v. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk mendapatkan
cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap
transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat
OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah
bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.
v. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan, interval
antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
v. Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi Polio (PIN)
yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapat
imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais
diberikan IPV) untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan
transmisi virus polio liar.
Dosis

OPV diberikan 2 tetes per-oral.


IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat
diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV).
Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya
saat masuk sekolah (5-6 tahun).

Campak

Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan
dalam, pada umur 9 bulan.
Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL Departemen
Kesehatan mengenai campak didapatkan,
v. Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah
mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan,
v. Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,
v. Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak,
Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak, sebagai berikut.
Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua
(second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.
Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi
pada tahun 2006 dan 2007.
Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-
up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS.
Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6
tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.
Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat burden of disease


namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas.
Imunisasi dianjurkan adalah Hib, pneumokokus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A,
varisela, rotavirus, dan HPV.

Haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisi
PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate – konjugasi dengan protein
tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan

+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga
(6 bulan) tidak diperlukan.
+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib,
DTaP/Hib/IPV)

Dosis

+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin kombinasi yang
beredar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan

+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan.

+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

Pneumokokus

Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus dimasukkan dalam
kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan Rekomendasi Satgas imunisasi
IDAI tanggal 30 April 2006.

Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus


yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23
serotipe disebut pneumococcus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus
generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7).
Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7

Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksin


polisakarida konjungasi (PCV7)
T cell
independent • T cell dependent (memory cell)
Tidak imunogenik
pd umur <2 tahun Imunogenik pada umur
Indikasi: umur> 2
<2 tahun
thn, risiko tinggi Indikasi: anak sehat dan
Mempunyai
anak risiko tinggi
imunitas jangka
Umur 2 bulan-5 tahun
pendek Mempunyai imunitas
jangka panjang
Nama: Pneumo- @
Nama: Prevenar
@
23 (Sanofi (Wyeth)
Pasteur)

Jadwal dan dosis PCV7

Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan interval pemberian sesuai
umur tertera pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7

dasar Imunisasi Dosis pertama Imunisasi

(bulan) ulangan*

mgg 1 dosis, 12-15 bulan 2- 6 3 dosis, interval 6-8

7-11 2 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan

12-23 2 dosis, interval 6-8 mgg

≥24 1 dosis
*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar
Dikutip dengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.

Cara pemberian

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara intramuskular.

Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu.


Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6 -8 minggu,
tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai > 2000gram.
Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib, HepB, IPV, MMR,
atau varisela, dengan mempergunakan syringe terpisah. Untuk setiap vaksin diberikan
pada sisi badan yang berbeda.
Kelompok risiko tinggi

Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama vaksin PPV23
karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah
anak yang menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia kongenital/didapat,
disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantung bawaan dan gagal
jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi,
cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuk sindrom nefrotik, penyakit yang
berhubungan dengan pengobatan imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan
transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin


PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59 bulan
Dosis sebelumnya
Dosis PCV7 dan PPV23
4 dosis PCV7 Umur 24
bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan
PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin
PCV7
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23:
1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
1 dosis PPV23 2 dosis
vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg setelah PPV23 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
Belum pernah 2 dosis vaksin
PCV7 interval 6-8 mgg
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis terakhir.

Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama

Influenza

Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI sejak April 2006 dan
telah dimasukkan dalam kelompok vaksin yang dianjurkan, sesuai jadwal Satgas Imunisasi
IDAI periode 2006.
Vaksin influenza

Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe A yaitu
H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi
dua kali setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang
bersirkulasi di masyarakat.
WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi vaksin
influenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan September
dan Februari. Musim influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan
bumi Selatan (Southern hemisphere),
dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern

hemisphere).

Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan utara atau selatan yang
diproduksi oleh produsen vaksin sesuai dengan waktu yang tepat (perhatikan tanggal
kadaluarsa vaksin tersebut).
Jadwal

Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi vaksin belahan utara adalah
A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus; A/Wisconsin/6 7/2005 (H3N2)-like virus; dan
B/Malaysia/2506/2004 like virus.
Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan, baik anak sehat maupun
dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan diabetes)
Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap tahun terjadi pergantian
jenis galur virus yang beredar di masyarakat. Vaksin tahun sebelumnya tidak boleh
diberikan untuk tahun sekarang.
Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja sosial
yang berhubungan dengan kelompok risiko tinggi
Dosis dan cara pemberian

Dosis tergantung umur anak,

v. umur 6-35 bulan: 0.25ml


v. umur ≥ 3 tahun : 0.5 ml
v. umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval
minimal 4-6 minggu, pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis.
Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha anterolateral
atau deltoid.

MMR

Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal


interval 6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan
MMR. Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.
MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan dan
6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu
diberikan.
Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.
Demam tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral (bakteri
hidup yang dilemahkan).
Vaksin capsular Vi polysaccharide
ï¶ diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun.

ï¶ kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara intramuskular

Tifoid oral Ty21a


ï¶ diberikan pada umur lebih dari 6 tahun

ï¶ dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5).

ï¶ imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya
diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure). Di
samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal, saat ini telah beredar
vaksin kombinasi HepB/HepA.

Jadwal imunisasi

+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka
vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk
catch-up immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah
mendapat imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi HepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian

+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.

+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan

interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid

+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA

720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml

intramuskular.

+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1 ml, 2 dosis, interval
6-12 bulan.
Varisela

Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan perubahan
umur pemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berdasarkan,
1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan imunisasi belum
tinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke dewasa (pubertas).
Akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan anak.
2. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila
terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela kongenital
dengan angka kematian yang tinggi.
3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).

Berdasarkan pertimbangan tersebut,


maka imunisasi varisela diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5
tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang tua dapat
diberikan pada umur > 1 tahun.
Jadwal

Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun.


Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat
mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak (catatan: kontak harus
segera dipisahkan).
Dosis

Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.


Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.
Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian
Vaksin Umur
Keterangan
Saat lahir Hepatitis B-1 HB-
1 harus diberikan dalam waktu 12

jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status
HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg
0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg
ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya
diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig
0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi
yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan
(untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).
1
bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1
bulan,
Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

Umur

Vaksin Keterangan

dapat diberikan sejak lahir. Apabila 0-2 bulan BCG BCG

BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
DTP diberikan pada umur lebih dari 6 2 bulan DTP-1

minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secara


kombinasi dengan Hib (PRP-T).
Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib
dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP.
Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan
dengan DTP-1.
PCV-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan

DTP-2 (DTwP atau DTaP)


dapat diberikan terpisah atau
4 bulan DTP -2 dikombinasikan dengan Hib-2
(PRP-T).
Hib -2 Polio-2 diberikan bersamaan
Polio-2 PCV-2 dengan DTP-2
PCV-2 diberikan pada umur 4
bulan
DTP-3 dapat diberikan terpisah atau 6 bulan DTP -3

dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).

Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan


tidak perlu diberikan.
Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan
DTP-3.
PCV-3 PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan

6 bulan
Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk
mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2
bulan, terbaik 5 bulan.
6-23 bln
Influenza Influenza dapat diberikan sejak umur 6
bulan Umur
Vaksin Keterangan

Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, 9 bulan Campak

Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun.


Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidak
perlu diberikan.
Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15 12 -15 bl PCV-7

bulan

Apabila sampai umur 12


bulan belum mendapat
imunisasi campak, MMR
MMR dapat diberikan pada
15-18 bulan Hib-4 umur 12 bln
Hib-4 diberikan pada 15-
18 bulan (PRP-T atau
PRP-OMP).
(DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun 18 bulan DTP-4 DTP-4

setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib

Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan


DTP-4.
Vaksin HepA direkomendasikan pada 2 tahun Hepatitis A

umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.

polisakarida injeksi direko‑ 2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoid

mendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi


perlu diulang setiap 3 tahun.
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun 5 tahun DTP-5

(DTwP/DTaP)

Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan


DTP-5
Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 5
tahun.
Diberikan untuk catch-up immuniza‑ 6 tahun MMR

tion pada anak yang belum mendapat MMR-1. 10

tahun dT/ TT Menjelang pubertas vaksin tetanus


ke-5

(dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama


25 tahun.

Umur
Vaksin Keterangan
10 thn
HPV Vaksin HPV diberikan pada perempuan
berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3 kali, dengan jadwal agak
berbeda untuk vaksin bivalen (HPV 16, 18) dan kuadrivalen (HPV 6,
11, 16, 18).
Vaksin bivalen kedua disuntikan 1 bulan setelah suntikan pertama,
sun-tikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.
Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan 2 bulan setelah suntikan pertama,
suntikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.
Daftar Pustaka

1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo;
WB Saunders, 2004.
2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics.
Illinois; Amerika Serikat, 2006.
3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global
st
public health security in the 21 century. Diunduh dari:
http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.
5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat.
London: Blackwell Science, 2001.
6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006
7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003

Bab IV-3

Jadwal Imunisasi Tidak

Teratur

Dahlan Ali Musa

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah
disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang
sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan
respons imunologis sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mencapai hasil yang optimal.
Dengan perkataan lain, anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena belum
mendapat imunisasi yang lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih di bawah
ambang kadar yang memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar
antibodi yang bisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long
immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus
menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melengkapi imunisasi yang belum selesai.
Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung panjang

Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang daya
perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, maka
keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan mengakibatkan
meningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikan
maka risiko terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut akan
hilang atau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat
menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup baik karena sistem
imunitas tubuhnya sudah lebih matang.
Belum pernah mendapat imunisasi

Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyai
antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila usia anak sudah berada di
luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi maka
imunisasi harus diberikan kapan saja, pada umur berapa saja sebelum anak terkena penyakit
tersebut, karena dia sangat sedikit atau sama sekali belum punya antibodi.
Imunisasi multidosis dengan interval tertentu

Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan interval waktu tertentu agar kadar
antibodi yang diinginkan tercapai (di atas ambang perlindungan) seperti vaksin DPT, polio, Hib,
pneumokok konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B, keterlambatan atau memanjangnya interval
tidak mempengaruhi respons imunologis dalam membentuk antibodi. Jumlah pemberian
imunisasi tetap harus dilengkapi supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak
terlindung dari penyakit. Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar antibodi
yang memberikan perlindungan.
Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang daya perlindungannya
terbatas hingga kurun waktu tertentu saja (setelah itu kadar antibodi berada di bawah
ambang perlindungan), sehingga membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkan
kembali kadar antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau tidak dilakukan, maka
kadar antibodi yang sudah rendah itu (terutama pada anak-anak yang tidak pernah
mendapat infeksi alamiah) akan meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut.

Status imunisasi tidak diketahui atau


meragukan
Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan, misalnya dokumentasi
imunisasi yang buruk atau hilang, menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudah
dan belum diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan (susceptible) dan harus
diberikan imunisasi yang diperkirakan belum didapat. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
pemberian vaksin MMR, varisela, Hib, hepatitis-B, campak, DPT atau polio yang berlebih akan
merugikan penerima yang sudah imun.
Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur

Vaksin
Rekomendasi bila vaksinasi terlambat
BCG Umur < 12 bulan, boleh
diberikan kapan saja.
Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya dilakukan terlebih
dahulu uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0.1 ml intrakutan
DPwT atau Bila dimulai dengan
DPwT boleh dilanjutkam dengan
DPaT DPaT.

Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT walaupun vaksin tersedia.

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval
keterlambatan dari pemberian sebelumnya.
Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan, imunisasi diberikan
sesuai imunisasi dasar, baik jumlah maupun intervalnya.
Bila pemberian ke -4 sebelum ulang tahun ke-4, maka pemberian ke-5
secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur
4 tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi.
Polio oral Bila
terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/
interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya.

Vaksin
Rekomendasi bila vaksinasi terlambat
Campak Pada umur
antara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saat
bertemu.
Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR

Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin


campak/MMR diberikan kapan saja saat bertemu melengkapi jadwal
MMR Bila sampai dengan
umur 12 bulan belum mendapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan
saja setelah berumur 1 tahun
Hepatitis B Bila terlambat,
jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari
pemberian sebelumnya.
Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi,
bisa mendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung.
Hib Umur saat ini Riwayat
Rekomendasi
(bulan) vaksinasi imunisasi

1x umur 6–11 bulan 6 – 11 1 dosis

Ulang 1x setelah 2 bulan atau umur 12 – 15 bulan

12 – 14 1 dosis sebelum umur 12 bulan

Berikan 2 dosis, interval 2 bulan

Berikan Jadwal tidak lengkap 15 – 59

1 dosis

P n e um o - Umur saat
ini Dosis Keterangan

kokus (bulan) Vaksin

7 – 11
3 dosis 2 dosis, interval 4 minggu.

Dosis ke-3 setelah umur 12 bulan, paling sedikit 2 bulan


setelah dosis ke-2
12 – 23 2 dosis Interval paling sedikit 2

bulan

>24 - 5th 1 dosis

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK,
Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the
Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.

Bab IV-4

Imunisasi Anak Sekolah,

Remaja dan Dewasa

I G N Ranuh

Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu dengan paparan
lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian usia balita masih sekitar 56 per
1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang menurun
dan meningkat lagi pada usia yang lebih lanjut.
Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi nasional sudah
sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karena
dilaksanakannya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November
setiap tahunnya. Hanya penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan
karena imunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB sekunder
lainnya seperti milier dan spondilitis TB sudah jauh berkurang.
Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir ini, penyebab
utama kesakitan dan kematian telah mengalami perubahan seperti yang dilaporkan di
dalam SKRT1995 dengan bergesernya penyebab kematian karena infeksi ke penyakit
kardiovaskuler, terjadinya cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karena
obat-obatan terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun
demikian, laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan
sekolah), penyakit infeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut
seperti kolera dan penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa atau
wabah, seperti demam berdarah dengue masih merupakan hambatan utama dalam
tumbuh kembang menuju dewasa.

Keterlambatan Imunisasi Dasar

Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang seharusnya namun anak
belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP 4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-2 bulan
dan ke-4 diberikan 6 bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun, diberikan dT
(adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap 10 tahun.

Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10 tahun setelah dosis
terakhir. Meskipun demikian seorang anak yang telah menerima 5 dosis vaksin pertusis,
kemungkinan terjangkitnya penyakit batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja.
Kebutuhan booster pertusis pada usia remaja dan dewasa masih menjadi lahan penelitian.
Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps, rubella), imunisasi tersebut
dapat diberikan pada semua umur di atas satu tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita
penyakit campak maupun gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR, karena
dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksin MMR terutama
menjadi penting untuk wanita usia subur karena komponen rubela yang ada di dalamnya dapat
mencegah rubela kongetial apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelah pemberian MMR
diperlukan uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru dapat dilaksanakan
sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang mengandung virus hidup dapat
mengurangi sensivitas terhadap tuberkulin.

Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat diberikan secara
simultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari. Vaksin hidup yang kedua
harus diberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang pertama (rekomendasi Advisory
Committee
on Immunization Practices).

Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa

Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua
jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk
dipantau dalam upaya pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit dalam kehidupan
menuju dewasa.
Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan, urin, maupun
darah dan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan sekolah, infeksi dapat terjadi di
antara para siswa sekolah melalui jalan nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai
lahan penularan penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa
mengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi penularan melalui fekal-oral
dan urin.
Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah harus memiliki
catatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah terutama tentang penyakit yang
masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6 tahun, booster harus sudah diberikan terhadap
penyakit difteria, tetanus dan polio. Secara luas telah dilaksanakan sebagai program BIAS.
Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanya
pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah ambang
pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl), ulangan perlu diberikan.
Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan antibodi. Data terakhir
mengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan mengurang dari tahun ke
tahun, tetapi ternyata memori imunitas (anamnestic anti-HBs response) tetap
bertahan selamanya setelah mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs
sudah menurun sekali bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara
klinis dan sakit kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang
yang jelas telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.

Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1.


Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan karena adanya
kebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan SMP untuk membeli makanan dan
pedagang kaki lima di sekolah yang tentunya kurang dapat dijamin kebersihannya.
Pada usia pra-remaja (10 -14 tahun) khususnya anak perempuan
diperlukan vaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk mencegah
kemungkinan terjadi tetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan.
Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman pada usia dan
tidak pada berat badan. Meskipun berat badan melebihi orang dewasa dosis
vaksin hepatitis A tetap dengan dosis anak seperti halnya pada vaksin hepatitis
B karena response rate ternyata lebih tinggi dari orang dewasa meskipun berat
badannya melebihi normal.
Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia di atas 50 tahun khususnya
kepada orang yang berisiko tinggi seperti yang bekerja di lingkungan kesehatan (dokter,
perawat) dan menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma. Imunisasi rubela
diberikan pada wanita usia subur (tidak sedang mengandung) terutama pada mereka
dengan seronegatif.
HPV
Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi HPV, untuk mencegah infeksi
HPV yang menetap lama (persisten) pada leher rahim yang dapat berkembang menjadi
kanker leher rahim.

Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa

Indikasi Vaksin
Imunisasi Kontra indikasi
Perlu 3 dosis
Hepatitis B Individu berisikoAdolesen: 1/2
Cacat mental Hemodialisis dosis dewasa Reaksi
Diberikan 2 anafilaktik
kali (usia 11-
Remaja belum pernah mendapatkan imunisasi
19 tahun)
Remaja/

dewasa
Remaja yang sudah
yang belum imun: 2
pernah
dosis IPV IPV: reaksi
imunisasi
Pekerja dengan anafilaktik
kontak interval 4-8 setelah dosis
dengan minggu. sebelumnya
Polio (IPV atau OPV) Alergi
pasien polio Dosis ke-3: terhadap
Dewasa
yang belum 6-12 bulan. streptomisin,
imun & Bagi yang polimiksin B,
neomisin
anaknya belum imun
diberikan diberikan
OPV dosis
imunisasi
dasar

Varisela Semua usia yang

belum vaksinasi /sakit

Seronegatif
Guru TK, petugas TPA, mahasiswa kedokteran
Wanita usia subur yang tidak hamil
Individu yang seringkali ke luar negeri

<13th: 1 dosis

13 tahun: 2 dosis interval 4-8 minggu

Dosis: 0,5 ml (s.k)

Alergi anafilaktik terhadap gelatin/ neomisin


Menderita TB aktif
Mendapatkan terapi imunosupresif
Imunodefisiensi
Menderita kelainan kongenital
Wanita hamil

Vaksin
Indikasi Imunisasi Kontra
indikasi

Tinggal di
daerah
endemik
Mengidap
peny. Dosis 2 kali,
selang 6-1 2
kronik Peka terhadap
bulan Dewasa:
Hepatitis A Mengidap 1,0 ml aluminium & bahan

gangguan Usia 2-1 7 tahun: pengawet


pembekuan
0,5ml
darah
Petugas
saji/memasak
Homoseksual

DTP /dT • Mempunyai


Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu penyakit
syaraf
Remaja 11 -12th/ Dosis: 0,5 ml (i.m) Hyper-
14-16 tahun apabila 5 tahun sebelumnya belum Booster setiap 10 tahun sensitif
mendapat DTP/dT berat
Petugas kesehatan Usia >
6 bulan dengan
Influenza •kardiovaskular/paru kronik
termasuk asma Usia > 6 Dosis: 0,5
•bulan dengan peny ml (i.m)
metabolik (diabetes), ggn Anafilaksis
•fungsi ginjal, Diberikan
hemolobinopati. defisiensi sekali terhadap telur
• •imun Ibu hamil trimester 2-
3 (saat outbreak) Usia 50 setiap tahun
•tahun ke-atas Usia 6 bln-
18 thn mendapat terapi
aspirin jangka panjang

Indikasi Imunisasi Vaksin


Kontra
indikasi

Usia 65 tahun
ke-atas
Anak >2 tahun
dengan
penyakit
kardiovaskular/Perlu 1
paru kronik, dosis
termasuk Dosis: 0,5
gagal jantung ml
kongestif, sakit (i.m/s.k)
hati kronik. Dosis ke- Hati-hati
iabetes, 2 perlu
alkohol, pada
Pneumokokus kardiomiopati, pada hamil
COPD atau risiko trimester
emfisema Usia tinggi pertama
> 2 tahun sedikitnya
dengan 5 tahun
gangguan setelah
fungsi limpa,
suntikan
penyakit darah
berat. gagal pertama
ginjal,
transplantasi
organ,
mengidap HIV

Rubela • Khusus wanita yang

belum mendapatkan imunisasi rubela

Mereka dengan risiko paparan penyakit rubela

2 dosis Terapi
Campak selang 1
Remaja/ dewasa imuno-
bln
& supresif
Memiliki risiko
Gondong- tinggi Dosis: Hamil
an (MMR) 0,5ml, sub TB aktif
kutan
Wanita yang belum/ tidak
terinfeksi HPV:
Semua wanita usia 10-26 tahun
Semua wanita usia 26-55 tahun dengan hasil pap smear (-)

Diberikan dalam 3 kali pemberian, pada bulan 0, (1-2), 6 bulan secara intramuskular.

Tidak diperlukan booster.

Hamil Hipersensitivitas

Daftar Pustaka

1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001


2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.
Jakarta, Depkes & Kesos, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St.
Louis:Wolter Kluwer Health, Inc. 2006.
4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer
2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm
5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy
of Pediatrics. 2006.
6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts.
http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm

Bab V

Vaksin pada Program Pengembangan

Imunisasi (PPI)

Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG)

5-2. Hepatitis B

5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP) 5-4. Poliomielitis

5-5. Campak

Pen gantar

Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI di Indonesia
telah mencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga. Sesuai kesepakatan global, perlu
diingat bahwa cakupan vaksin PPI harus dipertahankan tetap tinggi di seluruh pelosok negeri
sebelum pemerintah memutuskan untuk menambahkan vaksin lain dalam PPI.
Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap menganjurkan pemberian
BCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir sangat
dianjurkan untuk Indonesia yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untuk mengurangi
KIPI vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP
dapat diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain (dengan
hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan (inaktif) dapat
diberikan sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi ulangan (penguat) vaksin
campak diberikan pada saat masuk sekolah dasar, namun apabila telah diberikan MMR pada
umur setelah 15 bulan maka ulangan campak tidak diperlukan lagi.

Bab V-1

Tuberkulosis

Nastiti N.Rahajoe

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium


bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paruparu, tetapi dapat juga mengenai
organ-organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain.
Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit
tuberkulosis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium
tuberculosis terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji
tuberkulin.
Epidemiologi

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan terdapat 7.433.000 kasus
TB di dunia dan terbanyak di Asia Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia
merupakan tiga besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+)
sebesar 0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 mendapatkan
bahwa TB adalah penyebab kematian ke empat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan
bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian ke dua di negara kita, sesudah penyakit
kardiovaskular. Dari penelitian di 6 propinsi antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka
prevalensi antara 0,21% (DI Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO memperkirakan
bahwa di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB, dan terdapat 450.000
kasus TB baru setiap tahunnya. Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun,
separuhnya tidak terdiagnosis dan baru sebagian kasus tercakup dalam program
pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.

Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang diperkenalkan oleh
world bank, TB merupakan 7,87% dari total disease burden di Indonesia. Angka 7,7%
ini lebih tinggi dari berbagai negara di Asia lain sekitar 4%.
Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai rumah sakit di
Indonesia angka perawatan TB berat (TB milier, meningitis TB) masih tinggi.
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis
yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen
tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas
terhadap tuberkulin. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai sensitivitas
terhadap tuberkulin yang terjadi berkaitan dengan imunitas yang terjadi.
Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT. Biofarma Bandung.
Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak
mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti
meningitis TB dan tuberkulosis milier.
Vaksin BCG diberikan pada umur <2 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji
Mantoux (tuberkulin) negatif.
Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara
0– 80%, berhubungan dengan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin
yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur,
keadaan gizi dan lain-lain).
Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru
lahir. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2 -8° C,
tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

Tuberkulosis

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG

Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3
minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2 -3 bulan,
dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi
maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka
parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).
Limfadenitis

Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG.
Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan
sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul
fistula maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral.
Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak efektif.
BCG-itis diseminasi

BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat.


Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi
ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG

Reaksi uji tuberkulin >5 mm,


Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat
pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi,
penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe, Menderita gizi
buruk,
Menderita demam tinggi,

Menderita infeksi kulit yang luas,


Pernah sakit tuberkulosis,
Kehamilan.
Rekomendasi

BCG diberikan pada bayi <2 bulan


Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam
(BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah
tenang bayi dapat diberi BCG.
BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi,
misalnya HIV, gizi buruk dan lain-lain.
Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional


penanggulangan tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000.
2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report
2006. WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications
/global_report/2006/ pdf/full_report_correctedversion.pdf).
3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in
health-care settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).
4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious
tuberculosis: Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association
and CDC — MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.
5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second
edition). WHO 2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/
WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)
6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the
United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).

7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America.

Treatment of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).

Bab V-2

Hepatitis B

Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat
ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak
umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan
menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS
disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di lain
pihak, terapi antivirus belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi
secara vertikal atau pada usia dini.
Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada awal masa kanak-kanak
baik secara vertikal maupun horisontal. OIeh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHB
adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir
merupakan upaya yang paling efektif dalarn menurunkan prevalens VHB dan KHS.
Epidemiologi

Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg pada donor (1994)
adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%).
Pen u laran

Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius. Transmisi terjadi
melalui kontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. Transmisi
antar anak merupakan modus

yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan bertahan di
permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular.
Darah bersifat infeksius beberapa minggu sebelum awitan, menetap selama fase
akut berlangsung. Daya tular pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila
HBeAg positif.
Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak memiliki
antibodi anti -HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia
saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang terinfeksi saat
lahir, oleh 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5%
anak besar dan orang dewasa.Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila
mengenai pada individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi
HIV, terapi imunosupresi, hemodialisis).
Pencegahan

Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara garis besar, upaya
pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.
Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen
kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan
pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex,
penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir),
menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu
risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah
imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga
pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil menurunkan prevalens
infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia, Alaska, Polynesia.
Imunisasi Pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan


1,5,14
proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan).
HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak
seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg
diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.
Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury
Kontak Tatalaksana bila sumber
penularan
yg HBsAg
terpapar(+))
HBsAg
atau Vaksin atau periksa Imunisasi (-) HBIg & vaksin

Periksa anti HBs bila anti HBs bila tergolong

tergolong risiko tinggi * risiko tinggi

Tidak perlu Tidak perlu

Imunisasi (+) profilaksis


Responder profilaksis
HBIg 2x (jarak 1 Bila sumber
Imunisasi (+) penularan risiko
Non bulan) atau tinggi VHB,
responder HBIg & vaksin perlakukan seperti
HBsAg + (*)

Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml)


dalam 48 jam pertama setelah kontak
Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-31% kontak
mengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel
5.1). Kebijakan kontak seksual tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).

Kontak yg terpapar

Imunisasi (-) atau anti HBs

Sumber Penularan : VHB Akut

HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg vaksin atau Periksa anti HBs bila risiko tinggi

Sumber Penularan: Carrier

HBIg dan Vaksin atau periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi

Imunisasi (+) Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis

Lupa : periksa anti HBs

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg;


maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda, dalam
waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB
dan kronisitas. Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.
Imunisasi aktif

Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri vaksin dan
dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons
protektif (anti HBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi diberikan di
anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid.
Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?

Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu


Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
Pasien hemodialisis

Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang


Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat
hubungan seksual
Drug users
Homosexuals, bisexual, heterosexuals
Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel
sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program
imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat.

Minimal diberikan sebanyak 3 kali


Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi
paling optimal
Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang
interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas
atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).
Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.
Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4 - 12
bulan), semakin tinggi titer antibodinya.
Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.
Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari
imunisasi kedua.
Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan.
Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan dosis sesuai umur (age-specific
dose) yang dapat menim bulkan respons antibodi yang optimum. Oleh karena itu, dosis yang
direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada
bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.
Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan.

Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir.

Imunisasi keterangan HBsAg ibu

ml) dan Dosis 1: <12 jam Positif HBIg (0.5

Vaksin HB pertama

Negatif atau Vaksin HB Dosis I: Segera setelah

lahir
tidak diketahui*

Status HBV ibu semula tidak diketahui

tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu

HBV, segera beri HBIg


Pada pasien koagulopati penyuntikan
segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil (no ≤ 23).
tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.
Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau
berat badan sudah mencapal 2 kg.
Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah
diimunisasi atau terlambat > dari 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi
hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama
dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu
19
atau 16 minggu sesudah dosis pentama.
Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90%-
95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada
5,12,17,18
anak normal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster.
Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanya
berlangsung selama titer anti HBs ≥ 10 mIU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun
menjadi <10 mIU/ml.

Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer,
diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg positif). Tambahan satu kali
vaksinasi menyebabkan 15%-25% non responder memberikan respons antibodi yang
adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben tuk
antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi
serokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi.
Uji serologis. Pada bayi -anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-ca imunisasi tidak
dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh
profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi
pas-ca irnunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang
memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromis. Uji serologis,
pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-3.
Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.
Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB.
Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.
Daftar Pustaka

1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis


B. 2002.
2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Disease
in children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB,
Halsey NA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the
committee on infectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001;
34 (6): 1225 -41.

5. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule.


MMWR 2003, 52(4): Q1-4.
6. Mast E, Mahoney F, Kane M, et al. Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, editors. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of
occupational exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for
postexposure prophylaxis. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report.
2001;50(RR-11):1-54.
8. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis
B Virus Infection in the United States. Recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants,
Children, and Adolescents. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report.
2005;54(RR16);1-23
9. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations
needed for lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.
10. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study of
Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
2004:39:857-61.

Bab V-3

Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP)

Qla* . QumuelaAa, Q5ri RexeAi Q5. Qadi*egoio

Difteria

Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin -mediated disease dan disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa Yunani
cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh
Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6
oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien difteria tahun
1883 oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid
dibuat sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman
tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin.
Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteri
yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis
adalah yang paling virulen.
Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian
akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan
destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan
nafas. Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran
darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa
miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.
Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian merupakan akibat langsung
dari toksin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya
kelainan lokal.

Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada kelompok usia
di bawah lima tahun.
Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda di Amerika Serikat pada
tahun 1891. Pemberian antitoksin ini dimaksudkan untuk mengikat toksin yang
beredar dalam darah, dan tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada
jaringan tertentu. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan
pengobatan antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan
teknik isolasi ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan
jalan perlu diberikan segera bila diperlukan.
Pertusis

Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan
oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad
16, menurut laporan Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru
dapat diisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukan
vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan
penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun).
Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif dan membutuhkan
media khusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin
pertusis (PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase,
endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit
pertusis dan kekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut akan
menyebabkan serangan penyakit yang ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan
terhadap B. pertussis tidak bersifat permanen.

Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin yang


dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu
getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan,
berpotensi menyebabkan sumbatan jalan napas dan pneumonia.
Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis
Komponen

toksinAktifitas biologik Peran antibodi

Pertusis toxin
Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran
(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral

pada binatang percobaan. Mencegah gejala klinis pada

Limfositosis

Aktifasi sel pankreas Merangsang sistem imun

untuk Mencegah kerusakan saluran Filamentous Memegang peran

hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan

(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang

nafas percobaan

Nonfimbrial Memicu pencegahan Pertactine 69-

kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas

berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang

kerja adenylcyclase percobaan)

Aglutinogen
Surface antigen Memicu pencegahan
berhubungan dengan fimbriae untuk infeksi pada saluran
nafas oleh B. pertussis
melekatnya B. pertussis pada sel epitel
(binatang percobaan)
Menghambat fungsi Belum diketahui Adenylcyclase

fagositosis
ciliary Belum diketahui Tracheal Menyebabkan

cytotoxin stasis dan cytopathic

effects pada mukosa trakea

Sumber: Centre for Disease Control,


1994.

Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas
akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk
paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk
seperti ini, pasien akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang.
Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan
dapat menderita batuk namun tanpa disertai suara whoop.
Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena pertusis termasuk
komplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial,
gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi ringan
yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibat tekanan
intraabdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis, hernia,
perdarahan konjungtiva, pneumotoraks dan lainnya.
Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya eritromisin, dan
pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat. Pemberian pengobatan eritromisin untuk
pencegahan pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan.

Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh eksotoksin yang
diproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM,
namun baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien
tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat
dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato (1889), sedang Nocard (1897)
mendemonstrasikan efek dari transfer pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi
pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924 oleh

Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia ke II.

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik, gram positif
yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini sensitif
terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya,
spora tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora
tetanus dapat tetap hidup dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 10-15 menit. Kuman
tetanus terdapat di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing,
kucing, tikus dan lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka
dan dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin (tetanospasmin) dan
disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin tetanus kemudian akan menempel pada
reseptor di sistem syaraf. Gejalautama penyakit initimbul akibat toksin tetanus
mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi.
Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan
sistim syaraf otonom.
Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yang
bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi antara lain laringospasme, infeksi
nosokomial, dan pneumonia ortostatik. Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi yang
merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga (OMSK) merupakan
pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baikaktif
maupun pasif.
Vaksin DTP

Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan diproduksi secara
komersial tahun 1892. Penggunaan kuda sebagai sumber anti toksin dimulai tahun 1894. Pada
mulanya anti toksin

difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan


diragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa efikasi pemberian anti toksin untuk
pengobatan difteria terutama dengan mencegah terjadinya toksisitas terhadap
kardiovaskular. Pemberian antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat
difteria, sesuai laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi pada kelompok yang menerima
antitoksin pada hari pertama dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada kelompok
yang mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era pencegahan difteria
dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai ramuan imunisasi,
yang ternyata tidak efektif.
Vaksinasi DTP

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid) yang
kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.
Vaksin DTP

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf
adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang
terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml.
Jadwal

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6,15-
18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-
kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian vaksin pertusis

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer
lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Dalam penelitian terhadap
bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made Setiawan (1992) melaporkan
bahwa (1) 71% - 94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi protektif
terhadap difteria, (2) pasca DTP 3 kali didapatkan 68% - 81% telah memiliki kadar antibodi
protektif terhadap difteria denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalam laporan program
pengembangan imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi mempunyai antibodi 0,1545
(0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalan sesudah mendapatkan
imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa
penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu
tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Tosoid difteria

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama
ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)
sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian
tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk
menekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah dilakukan
beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut, yaitu (1) meningkatkan
kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2) melarutkan toksoid
dalam garam aluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang
dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.
Toksoid Pertusis

Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam
serum neonatus dengan konsentrasi sama dengan

ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini ternyata tidak
memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah vaksin yang merupakan suspensi
kuman B. pertussis mati. Pada awalnya vaksin ini sering tercemar dengan campuran
mikroflora saluran nafas lainnya. Vaksin wP (whole -cell pertussis) awalnya dibuat di
Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin
pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus (DTP). Campuran
DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak 1962 dimulai usaha untuk
membuat vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel (aselular)yang bila dibandingkan
dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga
akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris. Di Jepang telah dimulai upaya
untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanya mengambil komponen toksin yaitu FHA,
pertactine, pertussis train dan aglutinogen
untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak 1981 di Jepang
dengan hasil baik.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP

Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada
separuh (42,9%) penerima DTP.
Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di antaranya dapat
mengalami hiperpireksia.
Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca
suntikan (inconsolable crying).
Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi
yang dihubungkan dengan demam yang terjadi.
Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau
reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh

pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP

klinis Derajat Gejala


Resipien (%)
Ringan Reaksi
lokal 10-50
o 10-50
Demam >38,5 C

Iritabel, lesu, sistemik 25-55


Onset Berat Gejala klinis

interval Per dosis Per juta

dosis

Menangis >3 jam 0-24 1/5-1.000 1.000-


jam
(inconsolable crying) 60.000
1/1750-
Kejang 0-2 hari 80-570
12.500
Hypotonic hyporesponsive 0-24 1/1000- 30-990
jam 33.000
Reaksi anafilaktik 1-1 1/50.000 20
Ensefalopati jam 1/50.000 20
1-2 hari

Indikasi kontra

Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap
pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu
Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya
Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya
sebelum pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai,
riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis
terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak

berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan pasca imunisasi,


atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun

demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus

dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan


risiko pemberiannya.
Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi terhadap imunisasi dasar
dengan vaksin pertusis whole cell tergantung pada kadar antibodi maternal yang
didapat dari ibu. Sebaliknya respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin
aselular memberikan hasil baik dan tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi maternal
pravaksinasi. Made Setiawan (1992) melaporkan serokonversi antibodi protektif
terhadap pertusis pada 65,8% bayi setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedang
peneliti lain di Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%.
Vaksin Pertusis a-seluler

Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari
Bordettellapertusisyanq dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan
perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis
secara klinis.
Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular

Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini walaupun
mempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya data kejadian ikutan
pasca imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang serius(termasukensefalopati)yang
bersifat temporal association.
VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas terhadap anti PT, anti
FHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi.
Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada
umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.

Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah
daripada DTwP.

Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP

Gejala KIPI DTaP DTwP


Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
o
Demam > 38.0 C 72 406
o
> 40.0 C 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic 0,07 0,67
hyporesponsive
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22

Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med,


1996
Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP

Vaksin Dosis Kejadian


ikutan pasca imunisasi (%)
Nyeri Kemerahan Bengkak
Demam Demam

>2 cm >2 cm >38,5OC >39oC

DTaP 1275 2,5 0,1 0 9,9 0,2


DTwP 455 19,1 1,1 1,3 42,2 1,3

Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro J


Ped, 1993
Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasi
pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut
disebabkan orang dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan
pada anak. Vaksin DTwP dan DTaP dapat dipergunakan secara oergantian
(interchangable) apabila keadaan mendesak
Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (Bab VIII
Vaksin Kombinasi).

Toksoid Tetanus (TT)

Dosis dan kemasan

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap
dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis.
Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteria
dan atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti
Hib dan hepatitis B.
Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian
berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan
pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat, sebab sudah terbukti
bahwa respons imun yang diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah
sama dengan interval yang pendek. Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup baik.
Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik
terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml
pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.
Jadwal

Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi.


Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau lebih, hal
ini juga terbukti pada penelitian bayi-bayi di Indonesia.
Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis,
pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.
DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu,
disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang
respons terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup baik tanpa
memperdulikan adanya antibodi maternal.
DT dan dt

Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap vaksin
pertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada pemberian
sebelumnya. Hati-hati bila pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat:
hiperpireksia, hipotonik -hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah
pemberian DTP.
Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah (4 Lf) daripada vaksin
DTP (40 Lf), tetapi toksoid tetanusnya sama (15 Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umur
lebih dari 7 tahun, untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena toksoid difteri.

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization.
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th
ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005
global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect
Dis. 2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th
ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.

7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of the


Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American
Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-
2):1– 35.
8. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of
tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recommm Rep. 2006;55(RR-3):1–50.
9. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria and
Pertussis (Tdap) Vaccine for Adults. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/ tdap_adult_recs.pdf.
10. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In:
PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders
Co.; 2004:745- 81.
11. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance
– United States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.
12. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in
developing countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination
Initiative. Vaccine. 2003;21:3442-5.
13. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus
toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations
of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.
2006;55(RR-3):1-34.
14. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 report
of the Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003. p. 498-520.
15. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines.
4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.
16. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxis of
pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.

17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.

Bab V-4
Poliomielitis

Hariyono Suyitno

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti
medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalis
yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang
berasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian
bawah (ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis.
Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun
kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim
panas dan gugur. Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan
terdapat lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis
menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus terakhir virus
polio liar ditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai
oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun
1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi

Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenal
tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif
apabila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.

Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio
liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat, eliminasi polio sejak tahun
1991. Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio
liar di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi
virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya
pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala.
Namun tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada
orang yang menderita defisien sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro -faecal. Pada
beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada
musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi.
Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat
serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan
setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.
Eradikasi Polio (ERAPO)

Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat pertemuan anggota WHO
pada tahun 1988 yang mencanangkan bebas penyakit polio tahun 2000. Dalam program
ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi,
meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin
melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN)
melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus polio
liar (wild virus) dan
melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang mantap.

Data dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV dapat
dipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah konflik dan terpencil
cakupan imunisasinya rendah.
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu tahun 1995,
1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100% target sekitar 20 juta balita
pada tiap NID. Pada hari PIN tersebut telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita
di seluruh Indonesia.
Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir menunjukkan bahwa dari
pemeriksaan laboratorium hanya ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1,
2, dan 3) pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio liar.
Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah dilakukan mopping up
pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan.
Disamping itu masih dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10
kecamatan yang surveilans AFP-nya rendah.
Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua kasus AFP pada
anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan dilaporkan, yang kemudian tinjanya
diambil dalam waktu 24 jam untuk diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun
terus meningkat dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90
dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak situasi politik dan
sosial ekonomi saat itu yang tidak stabil.
Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai saat ini tidak ditemukan
lagi virus polio liar. Maka secara virologis Indonesia telah bebas polio, namun hal ini
belum cukup dan masih harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasil
ditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate meningkat kembali
lebih dari 1.

Pada bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus lumpuh
layuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri Jaya (kecamatan Cidahu,
Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah mendapat imunisasi polio. Pada
pemeriksaan tinja oleh laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di Mumbai
India, menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain (galur) yang
sama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka disimpulkan bahwa VPL
(virus polio liar) tersebut berasal dari luar (impor).
Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena transmisi
setempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa sekitarnya dijumpai
13 anak dengan onset lumpuh layuh hampir bersamaan
Tahun 2005 merupakan tahun munculnya kembali kasus polio (outbreak), sejak
Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303 kasus dengan VPL
positif, yang terbanyak propinsi Banten dan Jawa Barat. Tindakan untuk mengatasi ini
ialah melakukan outbreak respons immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi
mopping up di beberapa desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5
putaran (bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April 2006)
serta melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh Indonesia.
Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil menekan kasus polio,
yang sepanjang tahun 2006 ini hanya ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di
Aceh (NAD) dan di Jawa Timur masing -masing satu kasus. Disamping kasus AFP yang
disebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang disebabkan oleh VDPV
(virus derived polio vaccine) di Madura.

Patogenesis

Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi
dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di daerah
tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus
terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja
dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam
pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat. Replikasi virus polio dalam neuron
motor kornu anterior medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan
menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis

Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari. Respons
terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala
atau asimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang
paralitik bervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi
tanpa gejala mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain.
Sekitar 4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis
atau laboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis
abortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang dari seminggu.
Meningitis aseptis non paralitik

Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh gejala prodomal
penyakit ringan yang berlangsung beberapa

hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung
dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.
Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala kelayuhan
umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan berlangsung 2-3 hari. Pada
umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada fase
prodromal dapat terjadi bifasik terutama pada anak -anak dengan permulaan gejala
ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala
prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks
tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan
punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam,
keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat,
kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak
anak dengan poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali
pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit pertama
kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.
Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok,

1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik yang tercatat dari tahun 1969–
1979 di Amerika Serikat. Terjadi paralisis asimetris yang sering pada tungkai bawah.
2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik mengakibatkan
kelumpuhan otot-otot yang dilayani oleh saraf kranial
3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan merupakan kombinasi
antara paralisis bulbar dan spinal.

Diagnosis laboratorium

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis.
Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide mapping (finger
printing) atau genomic sequencing. Untuk menentukan apakah virus tersebut
termasuk virus liar atau virus vaksin.
Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi (neutralizing
antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saat
penderita masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang
tidak diketahui.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi kenaikan
3
jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm , yang sebagian besar limfosit) dan terjadi
kenaikan kadar protein ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml.
Vaksi n

Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV)

Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe
1,2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan(attenuated ).
Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap
dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0 CCID50
dan tipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak
lebih dari 10 mcg.
Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus
vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik
dalam darah

maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus
polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi
polio virus liar dalam masyarakat dapat dikurangi.
Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk bersamaan, maka
sangat berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis vaksin virus polio ini dapat
bertahan dalam tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV.
Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis
berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio.
o
Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C.
Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi
disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan
Departeman
Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi
imunisasi (pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO
membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada
sesi-sesi imunisasi, bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi:
v. tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui
o
v. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8 C)
v. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh
petugas Puskesmas.
o
Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur <-20 C. Vaksin yang beku
dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-
gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda
(sebagai indikator pH).
Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat
dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan
tanggal kadaluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)

Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan
dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut dijumpai dalam jumlah
kecil selain formaldehid juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B.
0
Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-8 C dan tidak boleh dibekukan.
Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-
turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas
jangka panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.
Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang
ditimbulkan oleh OPV.
Rekomendasi

Imunisasi primer bayi dan anak

Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai dengan PPI
dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3
bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu.
Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat
diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang
diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan
imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan
kontak mereka yang dekat harus diimunisasi dengan IPV.

• Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin
selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi.
Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV
supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.

Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi

Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya dan
mendapat kontak anak -anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan
vaksinasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini
tidak boleh diberikan IPV, mengingat risiko infeksi yang didapat dari anak dapat terjadi
sebelum antibodi terbentuk sebagai respons terhadap IPV. Kepada orang
dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi
penguat (booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan
dapat menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi.
Imunisasi penguat (booster)

Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat
dosis DPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19
tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon jemaah haji dan
umroh di bawah umur 15 tahun, harus mendapat 2 tetes OPV
Imunisasi polio untuk orang dewasa

Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberi kan 3 dosis
berturut-turut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8 minggu. Semua orang dewasa seharusnya
divaksinasi terhadap poliomyelitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat

untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam risiko
khusus, misalnya
Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau saat terjadi
epidemi Petugas-petugas kesehatan yang kemungkinan mendapat kontak dengan
kasus poliomyelitis.
Bagi mereka yang secara terus -menerus mengalami risiko infeksi, dianjurkan
diberikan dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10 tahun.
Vaksinasi untuk anak imunokompromais

Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya mereka dengan
imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai
vaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga dipakai untuk saudara-saudara anak
imunokompromais dan anggota keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar,
diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam
atau intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan yang jadwalnya
sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan anggota keluarga serumah
yang mendapat kontak harus menerima IPV.
Kejadian ikutan pasca imunisasi

Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien
(VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine associated polio paralytic).

Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin


terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan.
Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding dengan dosis-
dosis berikutnya. Risiko yang relatif

kecil pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak boleh
diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan perubahan
terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut terbukti sangat
berguna. Harus ditekankan bahwa kebersihan terhadap kontak penerima vaksin
yang baru adalah sangat penting.
Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare
ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejala
yang timbul setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Indikasi kontra

Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,


o
Penyakit akut atau demam (suhu >38.5 C), vaksinasi harus
ditunda, Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral
maupun suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak
dengan pasien),
Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem
retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme
imunologisnya terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia, Infeksi HIV atau
anggota keluarga sebagai kontak,
walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan
kepada orang hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan
mendesak, misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis,
Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan
virus hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,
Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat

pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan


antibodi dengan cara replikasi dalam usus,
OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin,
streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali pada
anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan,
Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi
jangan diberikan IPV, jangan OPV.
Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio


infections. Dalam: Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee On
Infectious Diseases. Edisi ke-25 Elk Grove Village: American Academy of
Pediatrics, 2000.h.465-70.
2. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP
Surveilance data Bulletin. 2006-2007.
3. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio
Sukabumi, 2006.
4. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute
paralysis caused by VDPV in Madura, Indonesia. Third Asian Congress of Pediatric
Infectious Diseases, March, 2006
5. CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds. Epidemiology
and prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington, DC: Public
Health Foundation; 2006. p. 97-110.
6. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and epidemiology
of polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701.
7. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9.
8. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August–
October, 2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5.
9. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derived
polioviruses and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev
Microbiol. 2005:59;587-635.
10. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2006;55:1093-7.
11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences of importations
—21 countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-50.

12. CDC. Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide,


January 2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.
13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the
Advisory Committee onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October
2005. Wkly Epidemiol Rec. 2005;80;410-6.

Bab V-5

Campak

Soegeng Soegijanto

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak yang sangat
menular pada anak-anak, ditandai dengan panas, batuk, pilek, konjungtivitis dan ditemukan
spesifik enantem (Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yang menyeluruh.
Bertahun-tahun kejadian penyakit campak terjadi pada anak-anak balita meminta banyak
korban tetapi masyarakat belum menyadari bahayanya; bahkan ada mitos jangan
memberikan obat apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak merah
pada kulit keluar.
Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1) kurang gizi sebagai akibat
diare berulang dan berkepanjangan pasca campak; (2) Sindrom subakut panensifilitis (SSPE)
pada anak> 10 tahun; (3) Munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih parah
pasca mengidap penyakit campak yang berat yang disertai pneumonia.
Etiologi

Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak termasuk didalam famili
paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu
0
37 C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dan
trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2
jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu -
o
70 C.

Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemi
cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada permulaan musim
hujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya kelangsungan hidup virus pada
keadaan kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu
setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakit
campak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari
droplet infeksi atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).
Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak global hanya 20%,
didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan tahun 1990, dengan angka
cakupan 80%, angka tersebut turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan
angka cakupan 80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global.
World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded Programme on
Immunization telah mencanangkan target global untuk mereduksi insidens campak sampai
90,5% dan mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapa
negara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi dan
strategi telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini
biasanya disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana strategi secara
adekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan
program imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantai
penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara teori adalah mungkin
oleh karena tidak adanya binatang reservoir dan pemberian imunisasi sangat efektif.
Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi masal pada
anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi
umur 9 bulan, (3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi

massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program


penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan indikasi
pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin intravena dan risiko tuberkulosa
sebagai komplikasi jangka panjang.
Gejala Klinis

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau keenam pada
puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam
awal pada 24 sampai 48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal
selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh
0
yang cepat mencapai 40 C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada
kasus yang tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu
tubuh yang normal.
Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata merah selanjutnya di cari
gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tanda
pathognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik pada
tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, pada
pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya dua
atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan dan warna merah muda
disekarnya merupakan tanda patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang
noda putih keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung dan
terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam,
sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.
Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari timbulnya demam. Ruam
dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping
atas leher, daerah

belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian


menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnya
menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai kaki pada
hari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung lebih banyak lesi daripada yang
terkena kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi
berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan
tidak memucat dengan penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan
warna dari ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian
disusul dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.
Imunisasi campak

Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak


a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada
dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium)
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau
sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun
demikian dapat diberikan secara intramuskular.
Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi dan
seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada
bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak
berumur 12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan
secara rutin pada umur 4-6 tahun, tetapi dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode
anak dengan tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.

Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yang
mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang
terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa bukti
kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang tinggi bersama-
sama dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibodi maternal
hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian penyakit campak. Pada
anak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan,
dan pada anak-anak di negara maju setelah 15 bulan.
Dosis dan cara pemberian

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah
1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml.
Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik.
Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan
walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular.
Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu
indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus
campak sesudah pelaksanaan program imunisasi.
Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD (program BIAS)
Reaksi KIPI

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin
campak dari virus

yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun


dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.
Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama
2 hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian
peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10 sesudah
imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat
imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa
inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan risiko terjadinya kedua efek samping
tersebut 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin.

Daftar Pustaka

1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and Molecular
Immunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization Program
.The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.
3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359) :
763-73.
4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles
laboratory network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.
5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook
of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.
6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly
Rep. August 13;53(31):713-716.
7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003.
Impact of alternative approaches to accelerated measles control : experience in the African
region, 1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.

8. Strebel P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E,


Wright P, Katz S. 2003. The unfinished measles immunization agenda. J Infect
Dis. 187 Suppl 1: S1-7.
9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World
Health Assembly. 28 May 2003.
10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network
– update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.
11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book:
2006 report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006. p. 441-52.
12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.
13. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,
2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American
Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR02):1-36.

Bab VI

Vaksin yang Dianjurkan

(non PPI)

1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella)


2. Haemophillus influenzae tipe b (Hib)
3. Demam tifoid
4. Varisela
5. Hepatitis A
6. Rabies dan vaksin anti rabies
7. Influenza
8. Pneumokokus
9. Rotavirus
10. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli)
11. Yellow fever
12. Japanese ensefalitis (JE)
13. Meningokokus
14. Human Papilloma Virus (HPV)
Pen gantar

Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak termasuk vaksin PPI, namun
penting diberikan pada bayi/anak di Indonesia mengingat burden of diseases dari masing-
masing penyakit tersebut. Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui mengenai indikasi
pemberiannya. Pertimbangan umum dalam memberikan vaksin-vaksin tersebut antara lain
adalah insidens penyakit, kelompok susceptible, mortalitas, komplikasi, dan sekuele yang
mungkin diakibatkan oleh penyakit tersebut; disamping imunogenisitas dan keamanan
vaksin, serta harga vaksin. Dalam Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus
dan Human Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.

Bab VI-1

Campak, Gondongan & Rubela

(Measles, Mumps, Rubella = MMR)


Syahril Pasaribu

Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5 Gondongan (mumps, parotitis)

Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh paramyxovirus, dengan
predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf. Pada gondongan, paling sering terjadi
pembengkakan pada kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis. Penyebaran penyakit ini
adalah melalui droplet dan terutama terjadi pada anak dengan insidens puncak pada usia
5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifik ditandai dengan
mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam ringan. Setelah itu timbul
pembengkakan unilateral/bilateral kelejar parotis. Gejala ini akan berkurang setelah 1
minggu dan biasanya menghilang setelah 10 hari. Namun pada beberapa keadaan infeksi
terjadi tanpa gejala sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapat terjadi pada 15%
kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan. Ketulian
adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi (1: 500 kasus yang dirawat di
rumah sakit). Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai
9 hari kemudian. Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20% pada kasus gondongan
lelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang ditemukan. Imunisasi dengan live attenuated
vaccine sangat berhasil. Di USA telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara
tahun 1967 (ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan tahun 1985).

Rubela

Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan, yang
disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus. Penyebaran
penyakit ini melalui udara dan droplet. Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya
ruam makulo-papular yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan
kelenjar post-auricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis dan
arthralgia. Walaupun jarang, dapat terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan
trombositopenia. Apabila rubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom
rubela kongenital pada bayi yang dikandungnya.
Sindrom rubela kongenital

Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama pemberian


imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan malapetaka apabila terjadi pada
awal kehamilan, karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacat
bawaan. Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat ringannya
dampak virus rubella terhadap janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Sampai 85% bayi yang
terinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala setelah lahir. Meskipun
infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah
kehamilan di atas 20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua sistem
organ bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan kadang-kadang merupakan
manifestasi tunggal infeksi rubela kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan
pada mata berupa katarak, glaukoma, retinopati dan mikroftalmia. Kelainan pada jantung
berupa patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis dan retardasi
mental. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, spenomegali, hepatitis,
trombositopenia dan purpura. Manifestasi SRK ini dapat baru tampak pada umur 2-4 tahun.

Vaksi n

Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin kombinasi
yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin
MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
o
temperatur 2-8 C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan
dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari
cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan
o
potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25 C, akan kehilangan potensi
o
50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37 C vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Dosis

Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra-muskular
atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan sero-konversi terhadap ketiga virus ini >
90% kasus. Diberikan pada umur 12-18 bulan.
Rekomendasi

Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubella atau
imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Bayi dan anak berisiko infeksi campak

Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi MMR dapat
diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah
• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung
bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.

Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan playgroups.
Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat

Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi dasar
tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara
bersamaan dengan menggunakan alat untuk dan tempat yang berbeda.
Anak dengan riwayat kejang

Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus diberikan
MMR dan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 hari
setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberian
parasetamol.
Reaksi KIPI

Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan
setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam atau ruam yang sering terjadi 1
minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demampada 0,1% anak
ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-
kadang lebih lama.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih
kecil dibandingkan apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.

Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan


dengan komponen rubela dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang
kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi
demam, termasuk penggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.
Indikasi Kontra

Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas,
mereka yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau
mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit
bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin.
Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh.
Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup)
dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1
bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi
negatif setelah pemberian vaksin.
Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama
2 bulan, seperti pada vaksin rubela.
Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV
bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta
petunjuk pada spesialis anak konsultan.
Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin
rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau produk
darah yang mengandung
imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh
diberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.
v. Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan
mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah
mendapat suntikan.
Penggunaan Imunoglobulin

v. Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi, kontak dengan
pasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin
(dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih
singkat dari masa inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak
dengan imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human)
dapat diberikan segera mungkin setelah paparan.
v. Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk membuat sesuatu
keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena imunisasi sebelumnya atau kadar
serum antibodi yang rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak pada
individu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan
memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini
mungkin mempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif campak.
v. Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak,
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada
mereka harus segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 hari
paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin MMR
harus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3
bulan setelah pemberian imunoglobulin.
v. Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat dan 0,5
ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis

maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan campak dapat
diberikan NIGH 0.2 ml/kgbb.
v. Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah terpapar
dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak menimbulkan infeksi,
vaksin akan memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya. Imunoglobulin
tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis setelah terpapar
dengan penyakit ini. Dari satu hasil penelitian di Alaska menunjukkan bahwa,
pemberian immunoglobulin terhadap orang yang rentan tidak menunjukkan
penurunan kejadian mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi.
Antibodi maternal yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi
selama 1 tahun kehidupan.
v. Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi
virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubela
kongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah
terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan perlindungan, sehingga
pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah rubela pada wanita hamil.
Kontroversi seputar imunisasi MMR

Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit Crohn dan kolitis ulserativa
dengan MMR. Pada penelitian ini terlihat adanya risiko relatif kasus yang mendapat
MMR akan menjadi penyakit Crohn sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05. Namun
setelah ditelusuri ternyata desain penelitian ini tidak benar. Kemudian dilakukan
penelitian yang sama dengan skala besar secara internasional dan hasilnya tidak
terdapat hubungan kejadian penyakit ini dengan MMR.
Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram televisi Denmark pada
tahun 1993, yang berasal dari seorang ibu yang anaknya kembar, salah satu
diantaranya menderita autism dan diklaim bahwa penyebabnya MMR.

Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National Department of Epidemiology
dan UK Joint Committee on Vaccination and Immunization. Ternyata tidak ada satupun
data biologi dan epidemiologi yang menyokong pernyataan ini.
National Autistic Society menyatakan bahwa tidak ada peningkatan kasus
autistic spectrum disorders dengan pemberian MMR.
Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama 10 tahun.
Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten. Mereka mengikuti
insiden autism di Gothenburg selama 10 tahun sewaktu vaksin MMR
diperkenalkan sebagai program imunisasi pada anak. Terbukti bahwa kejadian
autism tidak meningkat sehubungan dengan pelaksanaan imunisasi MMR.
Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada satupun
penelitian yang menyokong adanya hubungan asma dengan vaksin MMR.
Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of
the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American

2. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance.


Wkly Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.
3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR
Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:629-630.
4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.
5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of the
mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.
6. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17
March 2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.

7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal


Wkly Rep. 2004;53:713-6.

8. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,


2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
9. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and
the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR02):1-36.
10. CDC. Licensure of a combined live attenuated measles, mumps, rubella, and
varicella vaccine. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14.
11. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. The
changing epidemiology of rubella in the 1990s: on the verge of elimination
and new challenges for control and prevention. JAMA. 2002;287:464-72.
12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella
and congenital rubella syndrome: global update. Rev Panam Salud
Pública. 2003;14:306-15.

Bab VI-2

Haemophillus Influenza tipe b

Hardiono D.Pusponegoro

Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi merupakan suatu
bakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dan tidak
berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanya menyebabkan
infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul terbagi dalam 6
serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b merupakan tipe yang paling
ganas dan merupakan salah satu penyebab tersering dari kesakitan dan kematian pada
bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun.

Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan gejala demam,
kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat
terjadi adalah pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis.
Meningitis

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per 100.000 penduduk. Perbedaan
angka kejadian tersebut disebabkan perbedan teknik pemantauan/surveilans, teknik
pengambilan materi pemeriksaan, teknik pemeriksaan laboratorium, dan pola penggunaan
antibiotik. Beberapa faktor risiko misalnya umur kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa
kuman di tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak, lingkungan yang
padat, dan bayi tidak mendapat ASI. Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan
penyebab terpenting meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di
antara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan didapatkan
bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan anak berumur
kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia cenderung menunjukkan bahwa Hib
merupakan penyebab meningitis terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi
insidens meningitis rendah.
Pneumonia

Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit dibuktikan karena


metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit. Penelitian membuktikan bahwa
pneumonia disebabkan oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya
ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan, kemungkinan
pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan vaksin, H. influenzae
tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting. Identifikasi yang sulit dari
bakteri ini mengakibatkan insiden yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b
bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah
berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae
tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.
Epidemiologi

Haemophyllus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran terjadi melalui droplet
dari individu yang sakit kepada orang lain. Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidak
menjadi sakit, tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok. Prevalensi
karier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di
Lombok menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi.
Bila prevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan
pneumonia akibat Hib biasanya juga tinggi.

Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat dipastikan setelah adanya
suatu penelitian populasi di lapangan. Penelitian populasi sedang dilakukan di Lombok.
Vaksin Hib

Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensi
dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRP
murni ternyata kurang efektif, sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan
protein dari berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di Indonesia adalah
vaksin konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang disebut
sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang disebut sebagai PRP-T.
Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang sangat tinggi. Kedua
vaksin tersebut boleh digunakan bergantian baik monovalen atau kombinasi.
Jadwal dan dosis

Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan.


PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan.
Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah suntikan
pertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi
yang tertinggi ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T.
Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.
Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.
Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan–1 tahun, 2 kali suntikan
sudah menghasilkan titer protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan
tanpa memerlukan booster. Hal ini dokter sering menunda pemberian

vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hib
lebih sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6
bulan dan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur
3 bulan.
• Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum
dapat membentuk antibodi.
Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga meneliti manfaat imunisasi
Hib terhadap kejadian dan kematian pneumonia pada balita. Data yang ada
menunjukkan bahwa Hib memang merupakan penyebab meningitis yang terbanyak.
Saat ini vaksin Hib digolongkan dalam vaksin yang dianjurkan, diharapkan 1-2 tahun
mendatang dapat masuk dalam program nasional.
Daftar Pustaka

1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on


bacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis
J 1998; 17:S176-8
2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of
Haemophylus influenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island,
Indonesia. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82.
3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced
by epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.
4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation
of Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries:
current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.
5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.
6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program
Network, Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and
Human Services; 2005.
7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in
Africa: implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.
8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.

Bab VI-3

Demam Tifoid

T. H. Rampengan

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan


infeksi invasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare.
Bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena
perforasi usus, perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Virulensi Salmonella
typhi untuk melakukan sirkulasi ke dalam sirkulasi sebagian berhubungan dengan
antigen permukaan Vi.
Epidemiologi

Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan dikeluarkan melalui
tinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam
tifoid pada anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak
negara berkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan
dan Bangladesh.
Patogenesis

Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah berada dalam usus halus
mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan
limfoid mesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman
melewati pembuluh limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam
sistem retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh

sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh
terutama limpa dan kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali
dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya
sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid disebabkan karena
Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen
oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar
dalam aliran darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan menghasilkan substansi aktif
yang di sebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis selular
dan merangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler, depresi sumsum
tulang dan demam.
Gejala klinis
v. Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan
dewasa. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
pada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada anak bervariasi yaitu demam
satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
v. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
v. Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa disertai gangguan
kesadaran dari ringan sampai berat.

v. Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang – kadang mempunyai
gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten
0
(39-41 C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi.
v. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengan
tanda–tanda antara lain lidah tampak kering, di lapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan
dan bila penyakit lebih progresif maka akan terjadi deskuamasi epitel sehingga
papila lidah lebih prominen.
v. Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaan
minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm,
berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena
emboli kuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada,
kadang– kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.
Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dibagi dua:

1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia, ensefalopati,
kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik karier.
Vaksin Demam Tifoid

1. Vaksin demam tifoid oral


ï¶ Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang
telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus
dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin
parenteral, respons imun pada vaksin ini termasuk sekretorik

lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang
diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih
rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a.
0 0
+ Penyimpanan pada suhu 2 C–8 C
+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.

+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam sebelum
o
makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37 C. Kapsul ke-4 pada hari ke-
7 terutama bagi turis.
+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati
oleh asam lambung.
+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid,
atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa,
pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian
terakhir dari vaksin tifus ini.
+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspose
dengan infeksi Salmonella sebaiknya di berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.

+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun
dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
2. Vaksin polisakarida parenteral
+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
0 0
+ Penyimpanan pada suhu 2 C-8 C, jangan dibekukan. + Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
+ Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.

v. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun


v. Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea,
nyeri perut jarang di jumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam
kulit dan urtikaria.
v. Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin. Juga pada saat
demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.
v. Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan
untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Daftar Pustaka

1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.


2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am
2000: 47; 435-48.
3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf
GD, Prober CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on
Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove: 2003. h. 541-7.
4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company.
Ped Clin of N Am 47, April 2000.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. Health
Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World
Health Organ. 2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoid
fever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison
of two combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults.
Vaccine. 2004;23:29-35.

Bab VI-4

Varisela

Hindra Irawan Satari

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella vaccine)


dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang dikenal dengan strain Oka.
Di Amerika mendapat lisensi untuk dipegunakan pada anak sejak tahun 1995. Vaksin
berasal dari VZV liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang Oka,
berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika Serikat pada anak sehat menunjukkan
bahwa vaksin aman dan mempunyai efektivitas tinggi untuk mencegah varisela yang
berat.
Epidemiologi

Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virus
varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster
merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian meningkat pada individu
imunokompromais 7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%.
Patogenesis

Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama masa prodromal yang
singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah
berubah menjadi krusta, pasien tidak menularkan penyakit.
Gejala Klinis

Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu tinggi dan lemah
badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit
24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula yang dapat
disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam beberapa jam, terasa
gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat ini pada umumnya
diagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel kemudian
krusta, berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah menjadi
krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanya bersifat ringan dan
berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih berat dan dapat menyakibatkan
penyakit yang serius serta fatal, terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak
yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik, tanpa bergantung
kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun, sekitar 75% anak telah terserang varisela.
Lima persen diantaranya bersifat sub-klinis.

Herpes Zoster

Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat reaktivasi virus varisela-
zoster laten, akan timbul pada saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui
sebelum umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes
zoster sering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang menderita
imunokompromais; sehingga dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ
dalam, susunan syaraf dan paru.
Sindrom varisela kongenital

Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal akibat varisela dari ibu
hamil. Sindrom varisela kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengah
kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data
terakhir dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul

pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi intrauterin juga mempunyai
risiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila
paparan terjadi pada kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5
hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca kelahiran dan diperkirakan akan berakibat
varisela berat pada 17% -30% bayi yang dilahirkan.
Komplikasi

Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan


terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat terjadi
pada vesikel dan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat
terjadi komplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis transversa,
trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat
menyerang organ dalam dan sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi
baru lahir serta pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau
salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena ditakutkan
terjadinya sindrom Reye.
Vaksi n

Vaksin virus hidup varisela -zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentuk
bubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,
sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan sesuai
dengan petunjuk pabrik. Vaksin variselazoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan
o o
pada suhu 2 C-8 C.
Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu imunokompromais serta remaja
(sama atau di atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Serokonversi didapat pada 97% individu yang divaksinasi dan sekitar 70%
terlindungi apabila terpapar infeksi oleh anggauta keluarga. Infeksi setelah terpapar
apabila telah divaksinasi dapat terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi
pada umumnya bersifat ringan.
Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini diberikan 2 kali
bagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan pertama diberikan pada umur
12-15 bulan, sedangkan suntikan ulangan pada umur 4-6 tahun. Dosis kedua
dapat diberikan lebih awal dengan jarak antar suntikan 3 bulan.
Cara pemberian

Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada anak yang telah
bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah) dan (2) penularan varisela (kepada
adik atau anggota keluarga yang lain) terbanyak terjadi pada saat usia
sekolah, maka Satgas Imunisasi pada tahun 2007 merekomendasikan:

Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5 tahun, dosis 0,5 ml
secara subkutan, dosis tunggal.
Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat diberikan setelah umur >1 tahun.
Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 1 bulan. Pada
keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan
dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak
berhubungan).
Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada sekelompok anak tertentu
tidak mengubah epidemiologi penyakit ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur
yang lebih tua.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi simpang jarang terjadi.


Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam papula-vesikel ringan.
Pada individu imunokompromais:
ï¶ Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien
leukemia dalam pengobatan rumatan) daripada reaksi lokal.
ï¶ Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kompromais dapat
timbul penyulit varisela.
ï¶ Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela dapat muncul
ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat
terjadi varisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.
Indikasi kontra

Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari
1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit
keganasan atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi
kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang
alergi pada neomisin.
Daftar Pustaka

1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,
penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al.
Varicella disease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-
2000. JAMA. 2002;287:606-11.
3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354 4/9/07
10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.

4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001.


MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.
5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 1999;48:1-6.
6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.
gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).
7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year follow-
up of healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr
Infect Dis J. 2004;23:132-7.
8. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al.
Evaluation of a quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in
healthy children. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:665-9.
9. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.
10. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine
(http://www.cdc. gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).
11. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available
under an Investigational New Drug application expanded access protocol.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210
Bab VI-5

HEPATITIS A

Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis sesuai tingkat
higiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. VHA bersifat self limiting namun
potensial menimbulkan dampak epidemiologis dan klinis. Indonesia merupakan daerah
endemis hepatitis virus baik VHA maupun hepatitis virus B dan C (VHB dan VHC).
Sulit untuk mengetahui insidens pasti VHA karena pada sebagian kasus infeksinya
bersifat asimtomatis terutama pada anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis ini
merupakan reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua. Pasien penyakit
hati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas lebih tinggi. Virus hepatitis A
tergolong picornavirus (berukuran 27 nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linear
yang dibungkus 3 protein yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizing
antibody pasca imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat stabil pada suhu
tinggi maupun pada pH 3–10.
Epidemiologi

Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di daerah
prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area
prevalens rendah, infeksi terjadi pada dewasa dan usia lanjut.
Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19
tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di
rural Sulawesi 47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi
tinggi di Jakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV

hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu imunisasi VHA.

Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk


penularan antar individu (kontak erat) dan penularan melalui makanan atau minuman
yang tercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu
sejak 2-3 minggu sebelum sampai dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis rnuncul.
Transmisi dalam kontak erat terbukti dengan terjadinya penularan intrafamilial satu
rumah (26%), di tempat penitipan anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan
di kalangan homoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula terjadi di
rumah sakit. Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan modus transmisi yang
kerap. Infeksi VHA di sekolah merefleksikan adanya infeksi di populasi.
Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan), jarang terjadi tetapi
dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Di beberapa negara berkembang,
kejadian wabah VHA cukup tinggi akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak
diklorinisasi dengan adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat juga terjadi melalui transfusi
darah/komponen darah dan donor yang sedang berada pada fase viremia. Selain itu, transmisi
juga terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta pada wisatawan mancanegara (14%).
Populasi risiko tinggi tertular VHA

Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2 tahun antibodi
maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin
tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar.
Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian hepatitis
fulminan pada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.

Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati, pengguna narkotik intravena,
pekerja dengan primata, dan kelompok sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompok
sosioekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan persentase rendah anak sekolah kelompok
sosio ekonomi tinggi yang sudah memiliki proteksi alamiah.
Manifestasi klinis

Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat simtomatik atau
asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis dialami 70% anak usia < 6 tahun
sedangkan 85% anak besar dan dewasa simtomatis dan umumnya memerlukan rawat
inap. Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10% - 15% pasien mengalami prolonged
atau relapsing hepatitis selama 6 bulan. Sebagian besar hepatitis akut yang dirawat di
rumah sakit adalah infeksi HVA.
Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di tinja. Selama 2 minggu sebelum
ikterik atau sebelum terjadinya peningkatan SGPT, daya tular sangat tinggi karena
konsentrasi virus di tinja sangat tinggi. Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja jauh
berkurang tetapi telah dilaporkan fecal shedding bisa berlangsung beberapa bulan. Viremia
berlangsung singkat, sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal masa penyembuhan.

HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%) yang pada VHB dan
VHC meningkat (55% dan 33%); (2) prolong hepatitis (12-18 minggu); dan (3) relapsing
hepatitis (3,8% - 20%), biasanya kekambuhan Iebih dan satu kali.
Pencegahan

Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan pola
hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.

Imunisasi pasif

Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya mengandung 100 IU anti HAV
Diberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual,
saat epidemi) atau upaya profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya
profilaksis pra paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke
daerah endemis). Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.
Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002 ml/kg
berat badan, pada anak besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi
tidak melebihi 3 ml.
Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA.

Usia (tahun) Saat paparan (minggu)


Rekomendasi
≤2 <
2 Ig
≥2 Ig dan vaksin

2 Ig >2 <

≥2 Vaksin

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis

Umur Lama
Rekomendasi Keterangan
(thn) kunjungan

0.02ml/kg 1 kali <2 < 3 bulan Ig

3 - 5 bulan Ig 0.06 ml/kg 1 kali

Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg saat berangkat, di‑

ulang setiap 5 bln

Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal ≥2 <3 bulan Vaksin atau

3 - 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat

Jangka panjang Vaksin di bagian perihal

imunisasi aktif

Keterangan: Ig=imunoglobulin

Imunisasi aktif
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop
permukaan virus. Kandidat vaksinasi VHA berdasarkan rekomendasi ACIP tertera pada Tabel
6.3. Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis A diberikan
pada anak berusia ≥ 2 tahun.
Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA

Kandidat vaksinasi HVA

Imunisasi
rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah
dengan wabah periodik
Risiko tinggi VHA
Pengunjung ke daerah endemis
Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU

Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf TPA, staf dan
penghuni institusi untuk cacat mental
Pekerja dengan primata bukan manusia Staf bangsal neonatologi

Risiko hepatitis fulminan Pasien


penyakit hati kronis
Risiko menularkanYHA Penyaji
makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA
Vaksin

Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis


vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Vaksin
diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi antara 6
sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk. Vaksin
diberikan pada usia ≥2 tahun.
Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik.
Efek Samping

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek
samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.

Uji serologi pra-pasca vaksinasi

Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap infeksi
masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu dengan gangguan
imunologis termasuk PHK.
Lama proteksi

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥ 20 tahun. Proteksi
jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat
anamnestic boosting infeksi alamiah.
Pemberian bersama vaksin lain

Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak mengganggu respons
imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping.
Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian khusus

Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.
Daftar Pustaka

1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta,


Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000.
2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensif
hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg
M. The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997.
Hepatol 2000; 31: 469- 73.

5. Rosenthal P. Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in children, adolescents,


and adults. Hepatol 2003; 37 (1): 44-51.
6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D, Kuter
B. Ward C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through routine
vaccination of children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73.
7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in
a former frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial
of VAQTA®. Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701.
8. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; RR 55:1-23.
9. Bell BP, Feinstone SM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA,
editors. Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004.
10. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in
travelers, 1988-2004. Clin Infect Dis. 2006;42:490-7.
11. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicine
considerations for North American immigrants visiting friends and relatives.
JAMA. 2004;291:2856-64.
12. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department
of Health
and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006.

13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk.

Hepatitis A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.

Bab VI-6

Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Q)skandar Qyarif

Rabies dari bahasa latin yang berarti kemarahan yang sangat, merupakan subjek yang
menarik perhatian karena menyebabkan ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan
dahulu kala. Rabies pada manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusat biasanya
ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang terinfeksi virus rabies.
Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat dicegah (preventable fatal disease) dengan
profilaksis pasca paparan (postexposure prophylaxis).

Epidemiologi

Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun domestik
dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini. Diperkirakan terdapat
50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta
orang menerima vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko
terhadap penyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan,
India melaporkan sekitar 30.000 kematian tiap tahunnya.
Di Indonesia hanya beberapa daerah yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI,
Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies). Pada Tabel
6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.

Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2001
s/d 2005
No

Propinsi GHTR Rabies


Sumatera
1 11022 44
Barat
2 Sulawesi 6700 37*
Selatan
3 Sumatera 4537 5*
Utara
4 NTT 4214 34
5 Sumatera 4208 6
Selatan
6 Sulawesi 2646 21
Utara
7 Maluku 3295 37
8 Sulawesi 2029 35*
Tenggara

GHTR : Gigitan Hewan Tular Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun
2001-2004
Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia tahun 2001-2005 yang telah
terdata sebanyak 56.245, yang mendapatkan vaksin anti rabies 33.135 (+50 %) dan yang
mendapatkan vaksin dan serum anti rabies 193 orang (0,34%), sedangkan jumlah kasus
rabies 365 orang (0,6% dari kasus gigitan hewan tersangka rabies).
Etiologi

Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk
peluru dengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm.
Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus,

galur 1 Caninerabies virus rabies klasik

galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria

galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria galur 4 Duvenahage virus pada manusia
(Afrika Selatan) galur 5 Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di
Rusia)

galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia) galur 7 Baru terisolasi di kelelawar
Australia

Patogenesis

Secara umum diterima apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki sel
otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera melekat di reseptor
nikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki saraf
pertahanan tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam akson
menuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi 3 mm perjam, 20-24 mm
perhari, 8-20 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula
spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini karena kerusakan
batang otak. Hidrophobi ini tidak ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies
yang mengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar.
Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang merupakan hallmark dari
rabies ini saat ini hanya pada sekitar 50% kasus sehingga tidak ditemuinya negri bodies
ini tidak mematikan diagnosis. Saat ini dikembangkan direct flurescent antibody test (DFAT)
dengan sensitivitas yang lebih baik mendekati 100%. Selain luka gigitan dari binatang yang
sakit, virus dapat juga melalui mukus membran dan kulit yang aberasi, transplantasi jaringan
dan inhalasi dari eksreta kelelawar.
Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan mayoritas
kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di daerah kepala bila
dibandingkan ekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih
pendek jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala.
Gejala dimulai pada masa prodromal berupa malise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan
demam. Nyeri dan parestesi di tempat gigitan atau ekspsur ditemui 50%-80% kasus. Rasa
takut, agitasi, iritabel, nervus, sukar tidur, dan depresi menonjol pada masa ini. Masa
prodromal ini berlangsung 2-10 hari.
Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut yang dapat berupa bentuk furipus
(hebat) dan bentuk paralitik yang akan berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furious
ditandai dengan hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang mendadak, disorientasi, kelakuan yang
aneh (bizarre) diselingi lusid interfal. Pada fase lusid ini penderita dapat mengutarakan apa
yang terjadi dan yang dirasakan serta ditakutkan. Pada fase ini juga ditandai dengan disfungsi
saraf otonom berupa dilatasi pupil dan hipersalivasi. Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengan
gambaran seperti sindrom Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang simetris, bentuk
ini ditemui pada sekitar 20% kasus terutama setelah digigit kelelawar. Beberapa pasien dengan
gejala meningismus sampai epistotonus dengan LCS normal atau gejala iritasi meningeal
dengan peningkatan sel limfosit dan protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode akut
akibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium koma. Walaupun dengan
tersedianya perawatan intensif dapat memperpanjang hidup sementara pasien dengan
komplikasi miokarditis, gangguan hipofise dan syndrome inappropriate antidiuretic hormon
(SIADH).
Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala sampai sekitar 5 minggu setelahnya.
Walaupun prinsipnya dapat menularkan tetapi sampai saat ini belum ada laporan penularan
antar manusia kecuali pada transplantasi kornea dari pasien yang sebelumnya tidak
terdiagnosis rabies. Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena
gigitan, air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh diharuskan mendapat
vaksinasi pasca terpapar (lihat pencegahan). Umumnya pasien yang telah menunjukkan
gejala rabies akan meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat ini, walaupun ada
beberapa laporan yang selamat (3 kasus) tetapi semuanya telah mendapat pencegahan
secara parsial sebelum terpapar.

Pengobatan

Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian imun globulin dan
vaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian penting dari tatalaksana pasca gigitan yakni
mencuci luka dengan sabun, detergen dan air yang banyak sekurang-kurangnya 10 menit. Luka
dapat diberikan povidone-iodine, alkohol 40%-70%, bila luka cukup besar perlu dipasang
kateter untuk irigasi dan jahitan hanya jahitan situasi. Pemberian anti tetanus serum dan
antibiotika untuk pengobatan luka dari infeksi perlu diberikan.
Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing yang menggigit
apa hewannya telah diimunisasi atau tidak atau anjing liar yang dapat ditangkap atau
lari. Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000) memberikan bagan alur
sebagai berikut,

Hewan penggigit lari/hilang


& tdk dpt ditangkap, mati atau dibunuh
Spesimen otak hewan
Text Box:
Dapat diperiksa
Di labor

Hewan penggigit dpt ditangkap & diobservasi 10-14


hari

Positif
Negatif
Stop VAR

Lanjutkan VAR

Tidak diberi VAR

Spesimen otak hewan diperiksa di lab

Text Box:
lanjutkan VAR di VAR

stop Positif
Jika tdk dpt diperiksa

Lanjutkan VAR VAR lanjutkan

* VAR= vaksin anti rabies SAR= serum anti rabies

Gambar 6.1. alur pengobatan digigit hewan

Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure rabies prophylaxis/ treatment PEP/PET)


sebagai berikut.
1. Setiap serangan hewan tanpa provokasi terlebih dahulu berisiko tinggi rabies.
2. Setiap gigitan atau mukous membran kontak dengan hewan domestik yang telah
diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya dapat menjamin hewannya selama 10 hari
maka PEP dapat ditunda.
3. Pada hewan dengan gejala rabies hewan segera dimatikan dan diperiksa
otaknya di laboratorium hewan segera untuk melihat ada atau tidaknya rabies.
4. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko tinggi
kecuali hanya pada orang yang telah divaksinasi sebelumnya dan antibodi dapat
dideteksi hanya pemberian vaksin ulangan tanpa imunoglobulin.
Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO

Kategori Tipe kontak


dengan hewan Pengobatan yang dianjur‑
yang diduga kan

I Kontak atau memberi


makan Tidak diterapi
hewan, jilatan pada kulit
yang utuh

Berikan vaksin
segera
Stop terapi jika
II hewan tetap
sehat selama
Nibbling pada observasi 10
kulit yang hari atau jika
tidak utuh,
hewan
garutan kecil dibunuh dan
atau aberasi hasil
kulit tanpa pemeriksaan
perdarahan , rabies negatif
jilatan pada pada
kulit yang
tidak utuh laboratorium
yang dipercaya
III Satu Berikan VAR
atau lebih danSAR
gigitan atau
segera.
garutan pada Hentikan terapi
kulit jika hewan
Kontaminasi tetap sehat
air liur pada
selama 10 hari
membran observasi atau
mukosa,
jika hewan
misalnya dibunuh hasil
jilatan pemeriksaan
rabies negatif
pada laborato-
rium yang
dipercaya

Pemberian serum anti rabies (SAR) yang berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB,
sedangkan yang berasal dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi anafilaksis jarang
terjadi tetapi uji kulit diperlukan pada serum yang berasal dari kuda. Pemberian SAR ini
diinfiltrasikan sebanyak mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular dengan jarum dan
tempat yang berbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat diberikan dalam 7 hari setelah
pemberian vaksin dan tidak diperlukan lagi setelahnya.
Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi dapat tetap diberikan dengan
pretreatmen dengan adrenalin/ epinefrin im dan antihistamin dan pasien diperlukan
tinggal 1 jam setelah pemberian, test kulit negatif untuk serum dari kuda ini tidak
menjamin tidak akan ada reaksi anafilaksis karenanya tetap disediakan adrenalin
dengan dosis anak 0,01/kg BB dan dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di Indonesia
tersedia rabies imunoglobulin serum manusia (Imogam vaksin rabies dari Aventis
Pasteur).
Vaksin rabies

Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin) yang mungkin masih
ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah tidak dipakai lagi karena efek
samping yang serius, dapat berupa meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transverse
mielitis dan paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa
human diploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari Aventis Pasteur
reaksi minimal. Di Eropa dan negara yang sedang berkembang melisensikan vaksin dari
kultur sel monyet vero disebut purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang
Verorab dengan hasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara.
Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml atau 0,5 ml tergantung
vaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat

diberikan reduksi jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu dosis hari
ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat mengurangi kebutuhan satu vaksin dan
waktu kunjungan lebih singkat. Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral pada anak,
dan jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang rendah.
WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya yang cukup
tinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan secara intradermal.

Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih pemberian intradermal
dan tidak diberikan pada kasus yang mendapat obat antimalaria kloroquin karena
dapat menurunkan pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im
0,5 dan 0,2 bila sediaan im 1 ml.
Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen (2-2-2-0-1-1) yaitu
2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1 suntikan hari ke-28 dan ke-90.
Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 2, 4 suntikan
hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan suntikan ini masing
-masing 2 regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral
quadran bawah. Empat suntikan hari ke -7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan.
Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus dipakai dalam
6jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995), Srilangka (1995), dan
Filipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan im dengan dosis
standar, kecuali untuk pre-exposure prophylaxis.
Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada orang yang berisiko
tinggi terhadap rabies seperti dokter hewan, petugas karantina hewan, pemburu, penangkap
anjing, tenaga lab yang berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah
endemis masih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0, ke-7,
ke-21 atau ke-28 baik im

Text Box:

maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali setelah 1


tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai 5
tahun. Orang ini harus dicek titer antibodinya
setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun.
Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian vaksinasi pada
anak secara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3, dan 4 bulan.
WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi awal pada anak yang hidup di daerah
dengan rabies merupakan problem utama.
Regimen Intramuskular Standar WHO

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Day 0 3 7 14 28

SAR*

Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat dengan jumlah vaksin


dikurangi (2-1-1)
Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus

Hari 0 7 21

Tempat x2 x1 x1

SAR*

S A R = serum antirabies

Text Box: Text Box:

Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat (8-0-4-0-1 -1)

Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan


Hari 0 7 28 90

Tempat x8 x4 x1 x1
SAR
Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-0-1 -1)

Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular (0,1 atau 0,2 ml) pertempat

Hari 03 7 28 90
Tempat x2 x2 x2 x1 x1

SAR

Pencegahan pada binatang

Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi menularkan rabies
diberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan pada hewan liar dengan daerah yang sangat
luas diberikan umpan yang ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral). Bila
80% populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk menghambat penularan.
Pemusnahan hewan liar terutama anjing dapat menurunkan penyebaran penyakit ini di Cina,
Indonesia, Thailand dan Vietnam.

Daftar Pustaka

1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson
Text Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasus
Gigitan Hewan tersangka Rabies.
6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases.
Lancet. 2004;363:959- 69.
7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics
for treatment and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et
al. Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health
Organ. 2005;83:360-8.
9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for
travel medicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe
fur Reisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern
European countries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr.
2005;117 Suppl4:11-9.
11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs
Times. 2006;102:34-6.
12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et
al. Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the
Advisory Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48(RR-1):1-21.
14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech
Rep Ser. 2005;931:1-88.
15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W,
Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure
regimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of
infection prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.
17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J
Med. 2004;351:2626-35.

Bab VI-7

INFLUENZA

Cisy Kartasasmita
Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus influenza A
dan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat mengakibatkan
komplikasi serius. Namun demikian, seringkali masyarakat dan dokter, memakai istilah
“influenza” atau “flu” untuk setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam,
rinitis, nyeri tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus penyebabnya,
dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut tidak spesifik, dan di masa
lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi virus penyebabnya, karena
pengobatannya simtomatis. Pada saat ini dengan adanya obat dan vaksin untuk
pencegahan beberapa jenis virus, perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.
Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine) kepada
individu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi, merupakan satu-satunya cara untuk
pencegahan atau mengurangi infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi.
Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yang
dapat melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan, individu
tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia lanjut, dan pasien dengan
gangguan kekebalan, akan menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi. Dengan
perkataan lain vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran nafas bawah atau
komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa vaksin influenza tidak mencegah
infeksi primer akibat virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.

Virologi

Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses), termasuk kelompok


Orthomyxoviridae. Gambaran karakteristik virus yaitu mempunyai glikoprotein
dipermukaannya, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe
virus yaitu A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa sub-tipe, yang dibedakan
berdasarkan surface antigen HA dan NA. Telah dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NA
subtipe yang berbeda. Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1 dan
N2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen HA berperan terhadap
penempelan virus (virus attachment) pada sel manusia, dan sebagai mediator untuk
reaksi bersatunya sampul virus dan membran sel, melalui persatuan ini kemampuan
akses virus ke bagian dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1 dan N2)
berperan terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia. Variasi kedua glikoprotein
eksternal HA dan NA, adakalanya secara periodik berubah, hal ini menyebabkan
perubahan antigenisitas. Virus yang sudah berada dalam sel, maka RNA akan replikasi dan
protein virus disintesis menghasilkan ribuan partikel virus baru per sel. Akibat infeksi tersebut
sel pejamu mati. Proses lisis sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan deskuamasi
epitel saluran nafas.
Antigenic shift

Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen permukaan (HA dan atau
NA), sehingga dihasilkan subtipe virus dengan HA baru (dan/atau NA baru). Menurut informasi yang
mutakhir reservoar alamiah untuk virus influenza adalah burung, semua subtipe 15HA dan 9 NA
dapat diidentifikasi pada burung. Bila terjadi proses antigenic shift subtipe virus influenza baru akan
diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa menghasilkan subtipe virus baru.

Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan unggas (avian), yaitu virus
manusia yang bersirkulasi mengubah segmen gen-nya dengan virus avian. Hal ini terjadi kalau
sel pejamu terinfeksi oleh 2 virus influenza A. Segmen RNA kedua virus bereplikasi dalam
nukleus sel, sehingga dihasilkan galur virus ketiga yang baru. Binatang yang diyakini selama ini
bisa sebagai intermediate host tempat genetic reassortment adalah babi, karena babi
mempunya mixing vessels yang ideal, selain babi bisa terinfeksi baik oleh virus manusia
maupun unggas. Akhir-akhir ini diduga pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya
mixing vessels tersebut.
Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa melalui langkah
reassortment, seperti terbukti penularan flu burung di Hongkong tahun 1997. Saat itu
virus yang diidentifikasi pada manusia dan ayam sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada
kejadian tersebut 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Begitu pula
penyebaran avian influenza di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia beberapa waktu lalu beredar
kembali, seperti yang terjadi di Rusia (Russian flu) tahun1977. Virus Rusia tersebut (H1N1)
pernah bersirkulasi sebelum tahun 1957 dan mengakibatkan epidemik besar tahun 1950.
Karena populasi secara imunologi naif terhadap subtipe virus tersebut, infeksi dapat
segera menyebar dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas di seluruh
populasi. Biasanya diasosiasikan dengan pandemik.
Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke 20. Pertama adalah Spanish flu,
yang disebabkan oleh virus H1N1 influenza A, terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia I
menyebabkan kematian sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi tahun 1957, dikenal sebagai
Asian flu, disebabkan oleh virus H2N2 dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968 akibat virus
H3N2.

Antigenic drift

Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen permukaan yang
timbul akibat mutasi viral genome, sehingga terjadi substitusi asam amino pada tempat
antigenik. Antigenic drift akan menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secara
parsial dengan galur terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru kemungkinan
masih bisa dikenal secara parsial oleh pertahanan imun pejamu. Akibat dari perubahan
antigenic drift dapat terjadi epidemi influenza yang baru. Di negara empat musim
biasanya terjadi epidemi saat musim dingin. Namun adakalanya antigenic drift sangat
dominan sehingga galur yang baru sangat berbeda dengan induknya, hal ini
menyerupai antigenic shift, akibatnya bisa terjadi pandemi seperti yang terjadi di
Hongkong tahun 1968.
Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun berat pada semua umur.
Selain menyebabkan penyakit pada manusia juga pada binatang seperti babi dan burung. Influenza
B umumnya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe A, dan terutama
menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil dari influenza A, dengan sedikit antigenic drift dan
menyebabkan immunitas yang cukup stabil. Virus ini hanya menyerang manusia. Virus influenza B
mungkin dapat dihubungkan dengan sindom Reye. Influenza C sangat jarang dilaporkan
menyebabkan penyakit pada manusia, mungkin karena pada umumnya bermanifestasi subklinis.
Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklatur untuk mendeskripsi kan tipe virus influenza
berdasarkan urutan sebagai berikut (1) tipe virus, (2) tempat dimana virus pertama kali di isolasi, (3)
nomor galur, (4) tahun isolasi, (5) subtipe virus.

Epidemiologi

Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak langsung dari
seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5
hari sesudahnya. Tak ada

status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar biasa (KLB), baik berupa
epidemi maupun pandemi influenza. Setiap kurun waktu tertentu, sepuluh tahun atau
mungkin lebih, sub-tipe influenza A baru muncul, dan menyebabkan pandemik, seperempat
atau lebih populasi dunia akan terserang pada satu periode jangka pendek. Sporadik KLB
dapat terlokalisasi di keluarga, sekolah, dan komunitas yang terisolasi.
Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza meliputi 110 National Influenza
Centers di 83 negara, memonitor aktivitas inluenza di dunia. Data surveilans setiap
tahun dipergunakan sebagai rekomendasi panduan untuk komposisi vaksin. Penyakit
influenza timbul terutama pada musim dingin dan mencapai puncaknya dari Desember
sampai Maret di daerah yang beriklim subtropis, tetapi dapat timbul lebih awal atau
lebih lambat. Selama tahun 1976-2001, di Amerika Serikat aktivitas puncak timbul
paling sering pada bulan Januari (24%) dan Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000
kematian per tahun. Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap saat selama
setahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit adalah 500 per
100.000 orang yang berisiko tinggi dan 100 per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi.
Dalam kelompok usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah anak umur 0-
1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang ditemukan pada orang usia ≥
65 tahun.
Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia, ataupun eksaserbasi penyakit
kardiopulmonal dan penyakit kronis lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi dari
tahun 1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama 19 dari 23 musim epidemi
influenza. Selama 19 musim influenza tersebut, perkiraan angka kematian akibat influenza
kira-kira 30 sampai > 150 kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun. Lebih dari 90%
kematian pada lansia karena pneumonia dan influenza.

Manifestasi Klinik

Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa sembuh spontan.
Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana karena cenderung diam di epitel
saluran nafas dan paru paru. Oleh karena itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi darah
atau organ lain. Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala
klinis bisa ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam
0
tinggi mendadak (38 – 40 C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri kepala,
nyeri otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan diare. Gejala saluran
pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri menelan. Batuk yang mula mula
kering berubah menjadi produktif dengan sputum yang tidak banyak, dan bening kental
(mukoid), namun bisa purulen. Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea.
Gejala demam dan saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisa
berlangsung 7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2
minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat berisiko
menyebabkan kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung kronis.
Vaksinasi influenza

Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus), diproduksi dari
virus yang tumbuh pada embrio ayam. Formulasi vaksin influenza di-review secara berkala,
sehingga perubahan komposisi menyesuaikan dengan antigenic shifts dan antigenic drift.
Vaksin influenza mengandung antigen dari 2 subtipe virus influenza A dan satu galur virus
influenza B, subtipe-nya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO
berdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim influenza, yang didapat dengan
melakukan surveilans aktif galur influenza baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap
tahun untuk dunia belahan utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern
hemisphere). Namun pada umumnya tidak banyak beda antara

galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di rekomendasikan untuk vaksin
di tahun yang akan datang. Untuk periode 2006–2007 WHO merekomendasikan untuk
belahan utara vaksin influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin /
67/2005 (H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004- like virus. Sedangkan untuk belahan
bumi selatan berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like
virus dan B/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan bumi tidak banyak perbedaan
galur virusnya. Untuk daerah sekitar katulistiwa dapat menyesuaikan.
Vaksin influenza

Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan split-virus vaccine. Untuk
menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukan
vaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang me
ngandung galur yang mutakhir.
Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi.
Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi.
o o
Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2 C-8 C. Tidak
boleh dibekukan.
Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix (GSK)
dan Vaxigrip (Aventis Pasteur ).
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006)

Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulan


Semua orang usia ≥ 65 tahun
Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal, kelemahan
sistim imun
Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes,
penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi

Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi
mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan
dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang
kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orangorang yang melayani atau
erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi.
Jadwal dan Dosis

Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml.
Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) usia ≤ 8
tahun vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian
imunisasi diulang setiap tahun.
Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid pada
orang dewasa dan anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi dapat diberikan di
paha anterolateral.
Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2 dosis dengan
jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.
Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur, setiap tahun satu kali.

KIPI vaksin influenza

Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9% menunjukkan reaksi lokal ringan
dan transien serta 28% reaksi sistemik ringan.
Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%.
Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, pada 15%-20%
resipien, terjadi selama 1–2 hari
Gejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa demam, lemas dan mialgia
(flu-like symptoms), yang timbul beberapa jam

setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6 - 12 jam
pasca vaksinasi, selama 1 atau 2 hari.
Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angiooedema, asma, sistemik
anafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen
vaksin, seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau
adanya respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza.
Indikasi Kontra

Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza


sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza.
Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami
pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan.
Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit
demam akut yang berat.
Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.
Antivirus

Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin, keduanya merupakan M2
inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan zanamivir adalah golongan neuramidase inhibitor. Obat
antivirus dapat dibedakan menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit influenza (amantadin,
rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk pencegahan influenza (amantadin, rimantadin,
oseltamivir dan zanamivir). Hanya oseltamivir dan zanamivir efektif untuk influenza B.
Oseltamivir merupakan salah satu pilihan utama mengingat resistensi virus influenza A
terhadap amantadin dan rimantadin meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat
diberikan pada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun dan 5 – 16 tahun.

Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza

1. Pasien yang berisiko dan orang serumah yang belum mendapat imunisasi pada
waktu infeksi influenza terjadi didaerahnya.
2. Untuk mengendalikan kejadian luar biasa di komunitas terisolasi atau semi isolasi.
3. Pasien yang berisiko karena adanya riwayat alergi telur (sehingga tidak dapat diimunisasi).
4. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. 5. Ancaman
pandemik dan vaksin tidak tersedia.
Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak mulai
sakit. Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek samping
berupa keluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi, sulit tidur,
pusing, nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin dan mungkin
rimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak dengan riwayat
pernah kejang.
Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice
vote to recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www.
cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm.
3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
4. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,
th
Wolfe C, Nelson R. Eds. 5 edition. Department of Health & Human Services, Public
Health Service, CDC, January 1999.
5. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and
Medical Research Council (NHMRC), 1997.
6. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatrics, 2006.
7. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000.
8. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.

9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity


of paediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000.
10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent
Infuenza Vaccine among Healthy Children 6 – 24 months of age.
Peasitrics,117:pp:e821-e826, 2006.
11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.

Bab VI-8

PNEUMOKOKUS

Cisy Kartasasmita

Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif diplokokus merupakan


penyebab terpenting penyakit infeksi saluran nafas pada masa anak. Diduga di negara
berkembang, setiap tahun sedikitnya 1 juta anak meninggal karena penyakit infeksi
pneumokokus. Pneumokokus selain merupakan penyebab utama pneumonia, juga
menyebabkan meningitis, bakteremia, sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis
terutama pada anak usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian pneumokokus dapat
ditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas, sedangkan yang lain merupakan
kuman yang berhubungan dengan penyakit invasif. Kemampuan pneumokokus untuk
mengadakan invasi karena peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakit
invasif maupun non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif antara lain
adalah pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi di tempat lain dikelompokkan sebagai
Invasive Pneumococcal Diseases (IPD). Risiko untuk seorang anak menderita IPD
dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan
berbagai penyakit kronis.
Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang melingkari dinding sel. Sampai saat
ini telah dapat diidentifikasikan lebih dari 90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipe
menyebabkan penyakit yang serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F
merupakan penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika. Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14,
19A, 19F, dan 23F merupakan isolat yang tersering yang dihubungkan dengan penisilin
resistensi. Kapsul polisakarida melingkari dinding sel dan merupakan

komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang menentukan virulensi kuman.
Virulensi pneumokokus ditandai oleh jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyak
menghasilkan polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri melakukan invasi kapsul
polisakarida akan memproteksi kuman dengan cara menginhibisi fagositosis neutrofil dan
pemusnahan bakteri yang klasik melalui sistim komplemen. Faktor penting untuk terjadinya
penyakit pneumokokus termasuk kemampuan kuman menyerang sistem imun dan tidak
adanya antibodi spesifik terhadap pneumokokus.
Epidemiologi

Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada anak
sehat, dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan ludah.
Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar antara 5%–30%,
pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa kuman pneumokokus setiap
saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal
di Panti dan anak yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak. Faktor risiko lain untuk
kolonisasi
bayi yang tidak dapat ASI,
infeksi virus pada saluran nafas atas,
perokok pasif,
saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,
negara 4 musim pada musim dingin.
Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan keluarga dan
rumah tangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya pasien infeksi saluran
pernafasan bagian atas, pnemonia, atau otitis.
Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi imunoglobulin,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dan
keganasan

limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru kronis, diabetes melitus,
alkoholisme, sirosis hepatis dan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma
atau pasca operasi.
Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan pada balita setiap
tahun, disebabkan karena infeksi pneumokokus. Dari Amerika Serikat dilaporkan
insidensi bakteriemia 15- 19/100.000, meningitis 1-2/100.000, kematian 10-30%.
Sebelum imunisasi pneumokokus diberlakukan, setiap tahun di Amerika Serikat
dilaporkan sebanyak 4 juta anak menderita infeksi telinga, 125.000 anak dirawat
dengan pneumonia, 2500 kasus meningitis dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku
Aborigin insidensi infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun,
dengan kematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian akibat infeksi
saluran nafas pada anak berhubungan dengan S.
pneumoniae.

Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita dengan pneumonia tidak berat,
didapatkan isolat positif 25,4% dan 67,8% diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian
lanjutan di Majalaya dari 1012 spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif untuk
pneumokokus dan 42% positif H.influenzae. Penelitian lain di Ujung Berung, Bandung, pada
bayi baru lahir yang diikuti sampai usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif pneumokokus pada
bayi baru lahir dan 2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9% pada minggu ke 2, ke 4, ke 6 dan ke 8. Pada
saat yang sama didapatkan 57,1% saudara bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang
kemungkinan besar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo dkk. yang
dilaksanakan di Lombok pada 484 anak umur < 24 bulan, didapatkan pada 48 kasus S
pneumoniae positif, dengan peningkatan dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian pada
169 isolate ditemukan serotipe 6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7.
Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat pneumokokus terhadap
berbagai antibiotik. Di Amerika Serikat

didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%, dan 79% diantaranya multi
drug resistance. Adanya peningkatan resistensi ini merupakan salah alasan perlunya imunisasi.
Vaksi n

Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena ada 90 serotipe
yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit. Namun, hanya 7 serotipe
pneumokokus yang mempunyai kontribusi terhadap 80% infeksi pada anak.
Jenis vaksin

Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus

Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide vaccine = PPV). Vaksin


PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14,
15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, dan 33F) yang bertanggung jawab terhadap 85%–
95% IPD pada anak dan dewasa di Amerika. Vaksin PPV 23 yang
®
tersedia di Indonesia adalah Pneumo-23 .
Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia muda dan bayi
sehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk meningkatkan
imunogenositas pada bayi, dikembangkan vaksin pneumokokus konjugasi.
Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal conjugate vaccine = PCV).
Vaksin PCV pertama berisi 7-valen, mengandung serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F.
Ketujuh serotipe PCV penyebab hampir 90% penyakit pneumokokal invasif pada anak usia
muda di Amerika Serikat dan Canada, dan 75% anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat ini
®
beredar di Indonesia adalah Prevenar .

Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7

PPV-
23 PCV-7
Polisakarida bakteri
o Konyugasi polisakarida dengan
T- independent antigen protein difteri
Tidak imunogenik pada < 2 o T-dependent
tahun, rekomendasi untuk > 2 o Imunogenik pada anak < 2

tahun tahun

Imunitas jangka pendek, tidak o Mempunyai memori jangka

ada respon booster panjang

Mengandung 23 serotipe o Imunitas jangka panjang, respon

14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A, booster positif

6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, o Mengandung 7 serotip: 4,

12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F

® ®
(Pneumo-23 ) (Prevenar )

Impak dari pemberian vaksin

Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di atas 60 tahun
atau anak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian case-control pada anak ≥2 tahun dengan
risiko dan lansia ≥ 65 tahun di Amerika mendapatkan efikasi sebesar 81% (34%–94%) pasca
vaksinasi.
Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara.

Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤ 2 tahun, 32,2% tahun pertama
dan 23,4% tahun kedua. Efikasi 100% vaksin PCV7 untuk bayi LBW dan prematur, Efek
samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di tempat suntikan, nyeri pada
0
rabaan dan demam ≥ 38 C tidak berbeda antara bayi BBLR dan bayi berat badan normal.
Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode OMA
yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34%

(21 %–45%). Penurunan 51% terhadap OMA yang karena serotipe

sejenis dalam vaksin.

Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis.


Mengurangi kunjungan berobat.
Menurunkan kolonisasi di nasofaring.

Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian penyakit pada umur < 1
tahun 77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun 73% dan umur 4 tahun 49%. Penurunan
kejadian bakteriemia 66%, pneumonia 39% dan meningitis 56%. Penurunan resistensi
S. pneumonia terhadap penisilin 40%
Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan orang dewasa yang
tidak diimunisasi akan terlindungi dari paparan.
Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%.
Rekomendasi

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni 2006

Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada,

Lansia di atas 65 tahun.


Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD yaitu anak
dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit sickle cell, splenic
dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ.
Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis
yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes. Pasien
umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal.
Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi PCV7 sesuai umur
dan pengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun.
Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk anak di atas 2 bulan.

Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun.


Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital
atau didapat, termasuk anak dengan

penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu
sebelum splenektomi.
Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel
mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, keganasan lain dan transplantasi organ.
Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit
jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.
Pasien kebocoran cairan serebrospinal.
Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya padat,
lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis media.

Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedangkan


dengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak minimal 2
bulan, diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian.
Dosis & cara pemberian

Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan, dan diulang pada umur 12-
15 bulan.
Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu,
Interval antara dua dosis 4-8 minggu,
Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga.
Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan jadwal dan dosis seperti
tertera pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan

Umur datang pertama kali


Dosis vaksin yang diberikan
3 dosis* 7-11 bulan

12-23 bulan #
2 dosis

≥ 24 bulan sampai 5 tahun 1 dosis


Keterangan:

* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit 2
bulan setelah dosis kedua
# 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan

Imunisasi untuk anak risiko tinggi

Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan vaksin dengan serotipe
yang lebih banyak menjadi dasar pemikiran pemberian kombinasi ini.
Setelah pemberian imunisasi PCV7, diberikan lanjutan imunisasi PPV23.
Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada
umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik ≥ 2 bulan
setelah PCV terakhir.
Reaksi KIPI

Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping


yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama.
Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas
tempat suntikan.
Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur tidak
tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam ringan sering timbul,
o
namun demam tinggi di atas 39 C jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian
dosis ketiga.
Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang ditemukan.
Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik sindrom, limfadenopati, dan
hiper-imunoglobulinemia.
Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun berlangsung tidak lama,
akan menghilang dalam 3 hari.
Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S,
th
Wolfe C, NelsonR. Eds.5 edition. Department of Health & Human Services, Public
Health Service, CDC, January 1999.

3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children


& Practice 2000;l3:15-17.
4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third
edition, Wiley, 2003.
5. Red Book. Report of the Committee on
Infectious Diseases. American Academy of
Pediatric, 1997.

6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be


reduced by pneumococcal conjugate vaccines?. In
Proceeding of Pneumococcal diseases in Asian Children.
Seoul Korea, 2003.
7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics
in Review, 25: 2004.
8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS,
Tan TQ, Hoffman JA, Givner LB, Yogev R, Barson WJ.
Decrease of invasive pneumococcal infections in children
among 8 Children’s Hospitals inthe United Statesafter the
introduction of the 7-valent Pneumococcal Conjugate
Vaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004.
9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ.
Streptococcus pneumoniae: Description of the
Pathogen, Disease Epidemiology, Treatment, and
Prevention. Pharmacotherapy 25(9):1193-1212, 2005.
10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, Whitney
CG, Mstat EZ, Lexau CA, Thomas AR, HarrisonLH,
Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ,
Schaffner W. Invasive Pneumococcal Disease among
infants before and after introduction of Pneumococcal
Conjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.

Bab VI-9

Rotavirus

Agus Firmansyah

Epidemiologi

Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat musim,
umumnya terjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian diare karena
rotavirus terjadi pada musim panas yaitu sekitar bulan Juli -Agustus. Diare karena
rotavirus terjadi pada usia 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan.
Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia disebabkan oleh
rotavirus dengan angka kematian 600.000 pertahun. Angka tersebut mencerminkan 20-
25% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita. Di
Indonesia dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit atau Puskesmas
berkisar 36-61% dari kasus diare pada balita. Namun laporan data survailans di tiga rumah
sakit di Jogyakarta dan Purworejo mendapatkan rotavirus sebagai penyebab diare mencapai
53,4% dari 1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24 bulan. Genotipe
terbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2 10,9%, dan campuran (mixed infection)
G1 dan G2 7,9%.
Patogenesis

Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang terjadi merupakan
resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek transport akibat
efek toksik protein virus (NSP4). Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus
telah mengalami regenerasi.

Gejala klinis

Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi antara 24-72 jam
dan gejala yang timbul didahului oleh demam dan muntah dan diare berair yang
menyebabkan dehidrasi berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7
hari, 5% kasus disertai kejang demam.
Pengobatan

Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi dan


pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan selama sakit.
Vaksi n

Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human RV vaccine
R/X 4414, dengan sifat sebagai berikut.
Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.
Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope yang
sama dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang
ditemukan pada manusia.
Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya.
Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan interval 8 minggu.
Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,
Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral)
Masih terdapatnya antibodi maternal
Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Rotavirus

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan Singapura, tidak
ditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV baru. Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah
diare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1%.
Daftar Pustaka

1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl.
Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus in
Indonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM
& PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos
B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccine in
adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.

5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on
Vaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.
Bab VI-10

Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia coli

(ETEC)

Agus Firmansyah

Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio cholerae
serotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas, yaitu serangan mendadak berupa
diare cair yang menyemprot yang kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik,
dan hipotensi. Kolera dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada kasus berat
bila tidak diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya akan meninggal. Penyakit ini
umumnya ditularkan lewat air atau makanan yang tercemar dengan tinja manusia,
walaupun Vibrio cholerae dapat pula berkembang biak di air laut dan air tawar.
Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau ringan, infeksi Vibrio cholerae dapat
menimbulkan diare berair yang masif yang menyebabkan syok dan kematian. Infeksi
Vibrio cholerae terjadi melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan
resusitasi cairan dan antibiotik akan berhasil baik.
Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta sertifikat vaksinasi kolera. Oleh
karena vaksin yang beredar saat ini efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek
sampingnya, maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambung
merupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasi kolera
dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkus peptikum yang
mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine) dan proton pump inhibitor (misalnya
omeprazol). Secara epidemiologis daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia,
Afrika, Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.

Vaksin Kolera

Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba dan Ogawa) yang telah
dimatikan lewat pemanasan dengan penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini
memberi perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak efektif terhadap Vi
cholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang dengan baik di Banglades dan Filipina, efektivitas
kolera hanya 50-70% dengan lama perlindungannya antara 3-6 bulan.
Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan dan efektif selama 3
tahun. Efek samping berupa anoreksia, diare dan muntah terjadi pada kurang dari
10% resipien dan berlangsung sementara. Vaksin kolera hidup oral sedang dalam
pengembangan.
Rekomendasi

Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi rutin tidak


dianjurkan. Kepada orang yang melakukan perjalanan dianjurkan lebih baik hati-
hati memilih makanan dan minuman, dipandang lebih penting dari pada vaksinasi.
Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan tentang vaksinasi kolera.
Walaupun demikian, masih ada pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta
sertifikat vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan perjalanan
telah dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin sehingga memiliki sertifikat sebelum
berangkat (ini lebih baik daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatu
negara)
Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan perbatasan sangat lemah,
maka nasehat di atas masih perlu dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada
dasar medis untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka yang
melakukan perjalanan ke luar negeri.

Agus Firmansyah

Dosis vaksin kolera

v. Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalam


v. Dosis dewasa 0,5 ml
v. Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 ml
v. Dosis bayi 0,1 ml
vi. Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memperkuat respons imun,
tetapi tidak direkomendasikan kecuali ada risiko terpajan yang substantif.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan, sedangkan
gejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius jarang terjadi.
Indikasi Kontra

Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang diketahui hipersensitif


terhadap dosis yang diberikan sebelumnya atau
Bayi berumur kurang dari 6 bulan
Anak-anak yang sering sakit
Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.
Pengelolaan Wabah

Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian wabah.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL.
Characterization of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’
diarrhea acquired in Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82.
4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval F,
et al. Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s diarrhea
in 3 regions of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9.
5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49.
6. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable
bowel syndrome. Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86.
7. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al.
Rifaximin versus ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a
randomized double blind clinical trial. Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15.
8. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-
308. 9. Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera
outbreaks worldwide, 1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.

Bab VI-11

Yellow Fever

Agus Firmansyah

Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow fever yang
termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena penyakit ini menyebabkan
ikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti serangan flu dan dapat seberat hepatitis
atau demam berdarah. Masa inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal
berupa nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus
berat dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup
tinggi sekitar 50 persen.
Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya vaksinasi wajib yang
disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata. Sangat dianjurkan bagi mereka
yang mengunjungi Afrika dan Amerika Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta
Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki

negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik
Afrika Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana, Liberia, Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda,
Sao Tome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan French Guyana di Amerika Selatan.
Epidemiologi

Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang ada diperkotaan
(urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik klinis maupun etiologis tidak
berbeda. Yellow fever yang ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang
ditularkan dari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah
dilakukan pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat
menghilang. Bentuk yang ditemukan di
hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh berbagai
macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat menyebabkan infeksi. Bila orang
tersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran
yellow fever bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan
pada tahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat dan
Timur, ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow
fever meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan
vaksinasi. Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya dapat dicegah dengan cara vaksinasi.
Vaksinasi untuk perjalanan international

Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada negara yang akan
dikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui. Persyaratan ini dapat mengalami perubahan
dari waktu ke waktu sehingga semua orang yang dalam perjalanan harus mencari informasi
dari pejabat kesehatan negara yang bersangkutan. Orangorang yang tak memenuhi
persyaratan untuk vaksinasi yellow fever harus dikarantina. Semua orang yang berumur
lebih dari 1 tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara telah bepergian dari daerah
infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO, harus memiliki sertifikat vaksinasi
international yang baru (yang masih berlaku). Sertifikat vaksinasi yellow fever berlaku
sampai 10 tahun, yaitu berlaku sejak 10 hari setelah tanggal vaksinasi atau pada kasus
revaksinasi sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang
sebelumnya telah dimiliki sampai tanggal revaksinasi.
Vaksin yellow fever

• Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin live attenuated,
berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine), aman digunakan, dan efektif.

Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units.
Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak lebih dari 2
IU neomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk 5 dosis.
Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan
dapat memberi proteksi sampai 10 tahun.
Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10 tahun.
Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu hamil,
imunokompromais, dan alergi telur.
Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut dan
berjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B
dan campak dapat diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever.
Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam keadaan beku di bawah -
5°C.
Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus disimpan pada suhu
0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam.
Rekomendasi

Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan atau bertempat tinggal di
daerah yellow fever (saat ini di beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan)
harus divaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari
petugas kesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan.
Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan perjalanan ke daerah di luar
perkotaan yellow fever endemis. Perlu waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang
belum sempat dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum divaksinasi.

Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus dipertimbangkan untuk vaksinasi
bila melakukan perjalanan ke daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat
ditunda, dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow fever juga
harus divaksinasi.
Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya bersifat ringan; sekitar
2-5% penerima vaksin merasa pusing, mialgia, demam atau gejala ringan lainnya yang
terjadi 5-10 hari setelah vaksinasi.
Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari terjadi pada 20%
kasus. Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau serangan asma
sangat jarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1 juta dosis pada umumnya terjadi
pada seseorang dengan riwayat alergi telur.
Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun hanya 2 kasus ensefalitis
yang ada hubungannya dengan vaksinasi yellow fever yang telah dilaporkan di Amerika
Serikat. Dari satu kasus yang meninggal, dari jaringan otaknya telah diisolasi virus galur
17D.
Indikasi kontra

Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih rentan terhadap
kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak yang lebih besar.
Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi yellow fever sangat
besar. Walaupun belum ada informasi khusus tentang kejadian ikutan terhadap
perkembangan fetus, namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda

perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah persalinan.

Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat penyakit leukemia,
limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit keganasan pada umumnya, dan juga mereka
yang respons imunnya tertekan oleh kortikosteroid, obat-obat lainnya dan radiasi.
Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang dikembangkan
dalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan kepada anak yang hipersensitif
terhadap telur. Bila seseorang mempunyai pengalaman hipersensitif terhadap
telur, harus dilakukan uji intradermal terlebih dahulu dengan pengawasan
medis. Juga terhadap pasien yang sudah jelas hipersensitif terhadap neomisin
dan polimiksin tidak diberikan vaksinasi.
Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup, misalnya
campak dan kolera tidak boleh diberikan bersama -sama dengan vaksin yellow
fever, diperlukan waktu 4 minggu interval untuk vaksin tersebut apabila diberikan
berurutan.
Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan pengaruh vaksin lain
misalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan Japanese ensefalitis dengan yellow
fever.
Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC, 2008.
4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia:
WB Saunders; 1999. p. 815-80.
5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics.
Clin Infect Dis. 2002;34:1369-78.
6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—
United States, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.

7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller
PF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow
fever vaccination. Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and death
following vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of
fatal adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol
Infect. 2004;132:939-46.
11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet.
2001;358:1908-9.
12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow
fever vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.
13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al.
Yellow fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor
for serious adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63.
14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005.
Geneva. Diunduh
dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.

Bab VI-12
Japanese Ensefalitis

Q)skandar Qyarif

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat yang
disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab utama penyakit
ensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese ensefalitis ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Culex, Anopheles dan Mansonia.
Epidemiologi

Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 – 15.000 kematian
terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka adalah anak. Di daerah endemik,
setiap tahunnya kejadian klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000
penduduk. Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virus
tersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke -
19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000.
Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub -benua India; 3) Negara Asia
Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan
Vietnam. Di Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun
1968, Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun 1999.
Patogenesis

Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini disebabkan oleh
virus yang termasuk genus Flavivirus.

Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis nyamuk spesifik yang
menularkan virus JE adalah nyamuk Culex tritaeniochynchus, yang berkembang biak di
perairan tanaman padi, rawa-rawa dan juga pada air menggenang yang terdapat di kolamkolam
tempat penanaman padi.
Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar negara, dan dari tahun
ke tahun. Di kebanyakan daerah, masa penularan dimulai pada bulan April dan Mei
dan berlangsung hingga bulan September atau Oktober.
Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering berpindah-pindah
mengikuti musim dari belahan bumi Utara ke Selatan dan sebaliknya adalah host virus
yang utama. Sekali binatang tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalam
darah mereka tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus ini dapat dengan
mudah menyebar pada setiap nyamuk yang belum terinfeksi yang menggigit binatang
yang telah terinfeksi dan kemudian melanjutkan siklus penularan. Binatang setempat,
kelelawar, ular dan katak dapat juga terinfeksi JE. Manusia dan kuda merupakan
pejamu akhir dari virus dan tidak berkontribusi pada siklus penularan.
Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi dengan virus JE akan
memperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan sampai berat. Faktor yang menentukan hal ini
tidak diketahui. Diduga adalah jalan masuk virus, jumlah virus, keganasan virus, faktor
pejamu, usia, genetik, keadaan umum dan imunitas.
Manifestasi klinis

Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan menimbulkan viemia
sebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejala
awal adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah dan penurunan
kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.

Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis, hanya menimbulkan gejala -gejala
ringan atau bahkan tanpa gejala sedikitpun. Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata
1 dari 300 infeksi. Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14 hari setelah terjadinya
infeksi dan ditandai dengan gejala seperti sakit flu, disertai demam mendadak, menggigil, nyeri
kepala, rasa lelah, mual, dan muntah. Pada anak tahap awal dari penyakit dapat didominasi
oleh nyeri perut dan gangguan pada fungsi pencernaan. Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan
pada saraf akan muncul disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai dari limbung hingga
koma.
Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari dengan gambaran
klinis dibagi atas 3 stadium.
1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai dengan nyeri kepala,
lemas, mual, muntah. Gejala ini berlangsung dalam 1-6 hari.
2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda rangsangan meningeal,
kejang, spastis dan gejala piramidal. Stadium ini berlangsung selama 2 minggu.

3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya demam berkurang,
gejala neurologis menetap, gejala sisa menetap seperti kerusakan mental, emosi
labil, lesi motor neuron dan afasia.
Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi meningitis aseptik. Kejang terjadi
pada 85% anak dan pada 10% dewasa. Beberapa anak mengalami kejang yang diikuti
perbaikan kesadaran dengan cepat sehingga didiagnosis kejang demam. Kejang umum tonik
klonik lebih sering terjadi daripada kejang fokal. Kejang berulang atau kejang lama
menandakan prognosis yang jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching jari-jari, mata dan mulut,
nistagmus, deviasi mata atau pernafasan tidak teratur.
Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata tidak berkedip,
tremor, hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-

80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada
15% pasien.
Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill rolling, opsoklonus mioklonus,
koreoatetosis, bizarre facial grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor
neuron (UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahan pola
pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda prognosis yang jelek.

Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan gejala lumpuh layu
mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai dibanding lengan dan biasanya
asimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun
kemudian terdapat kelemahan yang menetap.
Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang berakibat fatal
pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan kerusakan otak yang
serius termasuk kelumpuhan dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang
mendukung untuk ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan JE.
Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami sekuele
pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan
gejala sisa pada saraf dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang
terjadi pada trimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam
rahim yang berakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit
meninggal dan 1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan atas
dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen kasus mengalami gangguan
kognitif berat dan gangguan bahasa. Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah
laku dan kelainan neurologis yang ringan.
Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi. Peningkatan tekanan
intrakranial ditemukan pada 50% pasien dan

3
mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm dengan limfosit
predominan, protein 50-200 mg% dan glukosa normal.
Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus, herpes, enterovirus,
postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis), infeksi susunan saraf pusat (SSP)
lain (meningitis bakteri, TBC, malaria serebral, leptospirosis, tetanus, abses), infeksi
lain dengan manifestasi SSP (tifoid ensefalopati, kejang demam), dan penyakit
noninfeksi (tumor, Reye sindrom, epilepsi, ensefalopati toksik dan alkoholik).
Diagnosis

Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis laboratorium


dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara serologis, biologis, identifikasi
virus JE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus
JE jarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi antibodi
1,2
netralisasi. Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi
(HI), uji komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji
HI dan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat mendeteksi JE
pada stadium lebih lanjut.
Pencegahan
1. Terhadap vektor

Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia, ekologis dan genetik.

2. Terhadap reservoir

Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya virus JE atau antibodi
dalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.

3. Pencegahan terhadap manusia

mencegah terjadinya gigitan nyamuk.


memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan.
Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus per tahun yang
terdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang bepergian ke daerah
pedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah endemik kemungkinan terkena
terutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa dipertimbangkan jika bepergian ke daerah
pedesaan dan tinggal selama lebih dari 2 minggu.
Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese ensefalitis.
Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di beberapa negara, tetapi
vaksin tersebut memiliki banyak keterbatasan. Vaksin tersebut merupakan inactivated
mouse-brain derived vaccine, dan diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksi
setiap dosis vaksin sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai
90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.
Vaksin JE

Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu vaksin
inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin inactivated galur
Nakayama yang dibuat dari otak mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur
jaringan ginjal marmut.
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7 dan
28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml
dengan jadwal yang sama.
Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml 3 tahun kemudian.

Penelitian terkontrol yang dilakukan di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JE
ternyata efektif dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama masa
kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE pada 9 dari 10 orang.
Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan dan keamanan vaksin JE pada anak
berusia di bawah 1 tahun.
KIPI VaksinasI JE

Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup, tempat suntikan


menjadi kemerahan dan bengkak, demam, nyeri kepala, bercak pada kulit, menggigil,
pusing, mual dan muntah, serta sakit perut. Juga dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini
secara resmi vaksin ini belum masuk ke Indonesia, tapi di beberapa tempat seperti
Bali, vaksin ini tersedia.
Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap virus, dan
obat anti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi
perawatan pasien yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejala
dan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil penelitian double
blind plasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon
efektif untuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan percobaan.
Daftar Pustaka

1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol


Neurosurg Psychiatry 2000; 68: 405-15.
2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around
Pondicherry, South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.

Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.


3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine.
Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children.
Pediatrica Indonesiana 2005; 44: 46-8.
5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of Japanese
encephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12): 1020-5.
6. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure
in Vietnamese patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93.
7. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypical
presentation of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6.
8. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1
year after immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a
case control study. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
9. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein
WA, editors. Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58.
10. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38.
11. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and Japanese
encephalitis vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinN

12. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378.


13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects.
Curr Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38.
14. Plesner AM. Allergic reactions to Japanese encephalitis vaccine. Immunol Allergy Clin
North Am. 2003;23:665-97.
15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse events after
Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data from Japan and
the United States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963- 2969.

Bab VI-13

Meningokokus

Dahlan Ali Musa

Epidemiologi

Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan meningokoksemia, dan atau
meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram
negatif. Bakteri yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan
polisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup. Serogrup
tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yang pasti antara
serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan C merupakan 45%
dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia, yang sering mengalami epidemi maka
serogrup A sering sebagai penyebabnya. Di Australia pada
tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan
puncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadi
secara siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelah
timur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian selatan. Di
Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini
oleh serogrup A dan C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang
dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan terjadi pada musim haji di
Saudi Arabia pada tahun 2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135
di Afrika Sub-Sahara.
Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di saluran nafas yang asimtomatik
terdapat sekitar 20%, prevalensi akan meningkat pada penduduk yang hidup berkelompok di

suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di kelompok yang terlokalisasi,
sering diantara anggota keluarga serumah, kelompok anak-anak prasekolah atau unit militer,
dimungkinkan karena penyebaran organisme galur ganas di dalam kelompok.
Manifestasi klinis

Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang dari 4 hari. Onset
penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan demam, menggigil, sangat
lemah, prostration dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula, ruam
makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskular
deseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapat
bermanifestasi dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda
klinis meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat
bakteri patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis,
miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.
Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan kepada jemaah
haji yang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yang
sangat banyak serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yang
sering terjadi siklus epidemik meningokokus.
Vaksin tetravalen

Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified polysaccharides dari N.meningitidis


serogrup A,C,W-135 dan Y, masing-masing antigen 50 mcg di dalam 0.5 ml dengan
fenol 25% sebagai preservasi.
Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan garam faali sebagai pelarut
dalam botol yang terpisah dan vial 10 dosis dengan vial pelarut yang terpisah.

Saat ini belum tersedia vaksinuntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena
vaksin yang mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup
B secara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan antibodi.
Imunitas yang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.
Rekomendasi

Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam


Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90% penerima
vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi
dalam waktu 10-14 hari setelah pemberian vaksin.
Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada tempat
yang berbeda
o o
Vaksin disimpan pada temperatur 2 C-8 C dan tidak boleh beku.
Indikasi

Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkan


Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai
risiko tinggi.
Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa oleh salah satu serogrup
yang dikandung oleh vaksin.
Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju daerah atau
negara yang dikenal sebagai daerah hiperendemik atau epidemik penyakit meningokok.
Imunisasi ulang

Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama 10 tahun, tetapi pada
anak khususnya yang menerima vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi
dengan cepat menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.

Apabila terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh infeksi subgrup
C, maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun kepada anak yang menerima
imunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan setelah 5 tahun kepada anak yang menerima
imunisasi pada usia di atas 4 tahun.
Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi pertama
tampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi paparan baru
terhadap penyakit dalam kurun waktu tersebut.
Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi

Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan kemerahan lokal selama
1-2 hari.
Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik

Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.
3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor.
Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village,
IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J
Med. 2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C
meningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine.
Lancet. 2002;359:1829-31.
7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal
conjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2006;55: 364-6.

8. CDC. Notice to Readers: Recommendation from the Advisory Committee on


Immunization Practices (ACIP) for Use of Quadrivalent Meningococcal Conjugate
Vaccine (MCV4) in Children Aged 2-10 Years at Increased Risk for Invasive
Meningococcal Disease. MMWR 2007;56(48):1265-1266.
9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal
Conjugate Vaccine. MMWR 2007;56(31):794-795.

Bab VI-14

HUMAN PAPILLOMA VIRUS

Kusnandi Rusmil

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan suatu infeksi yang
sering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi HPV dapat sembuh sempurna, namun
apabila menetap lebih dari 2 tahun (persistent infection) dapat berkembang menjadi
lesi pra-kanker disebut CIN= cervical intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akan
menjadi kanker serviks (kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625 infeksi HPV.
Terbukti hasil pemeriksaan patologi dari spesimen pasien kanker serviks 99,7%
ditemukan HPV DNA, tipe risiko tinggi atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe
16 dan 18.
Epidemiologi

Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab kematian wanita
akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000 kasus baru, 288.000 kasus meninggal, atau
setiap dua menit seorang wanita meninggal oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leher
rahim 80% kasus dijumpai di negara yang sedang berkembang. Di Asia Pasifik setiap empat
menit seorang wanita meninggal dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian kanker leher
rahim merupakan penyebab kematian pertama kanker pada perempuan. Diperkirakan
terdapat 80-100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk pertahun.
Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian infeksi pada wanita
berkisar 50%-80% selama hidupnya, 50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kanker
leher rahim merupakan manifestasi klinis dari infeksi (HPV) persisten.

Risiko tertinggi infeksi HPV terjadi pada usia remaja dan kanker leher rahim bisa
mengenai wanita mulai umur 15 tahun.
Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah infeksi HPV
menetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi
infeksi HPV menjadi kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada
usia muda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginya
frekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus),
koinfeksi klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif,
faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan pendidikan
rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan pelayanan kesehatan).
Vaksin HPV

Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan imunogenisitas yang


tinggi.
Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi rekombinan. Vaksin
HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan infeksi HPV.
Terdapat 2 jenis vaksin HPV
@)
Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix
@
Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil ),
Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan
di Indonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.

Human Papilloma Virus

KIPI vaksin HPV

Efek samping lokal vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah


nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan.
Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah demam, nyeri
kepala dan mual.
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI

Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak umur > 10 tahun.
Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid.
Jadwal
Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan,
Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan.
Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen
16/18 Vaksin HPV
Vaksin HPV
6/11/16/18

mL Per dosis 0,5 mL Volume Per dosis 0.5

Adjuvant A
SO4 Garam aluminium 225
ug
Al(OH)3 500 ug
MPL 50 ug

ug L1 HPV 6 40 ug Antigen L1 HPV 16 20

L1 HPV 18 20 ug L1 HPV 11 20 ug

L1 HPV 16 40 ug L1 HPV 18 20 ug
Baculovirus Ragi (yeast) Expression system Hi- 5

Jadwal pemberian
0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular Umur pra remaja(>10 th)
Umur pra remaja (>10 th)
Daftar Pustaka

1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs289/en/html.
2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of
pediatrician knowledge and attitudes regarding human papillomavirus vaccination.
Pediatrics 2006;118:2280-9.
3. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen
Obstetri-Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007.
4. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78.

5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.

Pen gantar

Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya proteksi yang
ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat tergantung dosis, biasanya
hanya bertahan beberapa minggu.
Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik. Imunoglobulin yang normal
berasal dari kumpulan plasma darah donor yang mengandung antibodi terhadap virus yang
banyak ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik digunakan untuk
proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV, hepatitis B, rabies,
tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari darah penderita dengan
penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barn mendapat imunisasi atau
seseorang yang pada skrening mempunyai titer antibodi tinggi.

Toto Wisnu Hendrarto

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan untuk memberikan
imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan
tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan
terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap
infeksi bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja antibodi terhadap
infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan masuknya virus ke dalam sel dan promosi
sel natural-killer untuk melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan
menimbulkan efek proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel memori dalam sistem
imunitas tubuh, proteksi bersifat sementara selama antibodi masih aktif di dalam tubuh
resipien, dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap
patogen/ antigen spesifik.
Jenis imunisasi pasif

Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas pasif alami terjadi
saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir
trimester pertama kehamilan, dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasenta adalah
imunoglobulin G (IgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui
kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer imunitas pasif
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya. Jenis imunisasi pasif
atau seroterapi tergantung dari cara pemberian dan jenis antibodi yang diinginkan, yaitu
Imunoglobulin (Ig)
Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV)
Imunoglobulin spesifik (hyperimmune)
Antiserum (antibodi dari binatang)
Plasma manusia
Indikasi imunisasi pasif

Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila antibodi diberikan pada pasien
defisiensi sistem imun dan untuk pengobatan bila antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu.
Indikasi pemberian imunisasi pasif,
1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun didapat.
Kelainan tersebut dapat murni gangguan pada limfosit B sendiri, dapat juga
kombinasi gangguan/ defisiensi sistem imun lainnya.
2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila terpapar oleh
infeksi tertentu karena adanya imunokompromis, misalnya pasien leukemia
yang terpapar infeksi campak atau cacar air.
3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang tidak
dapat terpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada neonatus dengan
ibu HBsAg positif.
4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus
difteri, tetanus.
5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ tertentu, misal
pada pasien penyakit Kawasaki.

Imunoglobulin (Ig)

Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang diproses melalui fraksinasi alkohol,
steril dan tidak tercemar oleh virus hepatotropik, HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar 16,5% atau 165
mg/mL merupakan komposisi protein tertentu berasal dari plasma populasi yang sembuh/ pernah
terpapar satu infeksi atau telah mendapat vaksinasi tertentu, sehingga memiliki antibodi spesifik
terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang dikandung 95% IgG, sisanya IgA dan IgM.

Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada anak yang lebih besar atau
paha bagian anterior lateral pada pasien anak lebih kecil atau bayi. Jumlah maksimal yang
dapat diberikan pada setiap kali suntikan adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3 ml
pada anak lebih kecil atau bayi. Khusus kasus defisiensi imun diberikan subkutan, tidak
direkomendasikan pemberian intrakutan, sedangkan pemberian intravaskular merupakan
kontraindikasi. Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig diberikan pada suhu
kamar.
Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam 48-72 jam
setelah pemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu.
Indikasi pemberian Imunoglobulin

1. Terapi defisiensi antibodi

Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara intra muskular (im)
per bulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis, selanjutnya diberikan dengan interval
2-4 minggu. Pada pasien dewasa dapat diberikan subkutan, sehingga dapat
dilakukan secara rawat jalan di rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada 1% kasus,
dan reaksi jaringan lokal biasanya ringan.
2. Profilaksis hepatitis A

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit hepatitis A bila diberikan dalam 14
hari setelah terpapar. Semua

wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang, termasuk Afrika, Timur
Tengah, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan, perlu diberikan Ig atau vaksin
hepatitis A sebelum keberangkatan. Ig dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau 2 ml diberikan
untuk orang dewasa, yang akan terpajan lebih dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebih
lama, diberikan 0.06 ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses
pemajanan terus berlangsung.
3. Profilaksis campak

Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak bila diberikan dalam 6
hari setelah terpapar.
Efek samping Imunoglobulin

1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila Ig diberikan pada suhu
kamar. Reaksi lain dan jarang terjadi adalah muka kemerahan (flushing), nyeri kepala,
menggigil dan mual.
2. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas, reaksi
anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik meningkat bila
diberikan secara intra vena (iv). Pemberian Ig dosis berulang dapat
menimbulkan reaksi sistemik seperti demam, menggigil, berkeringat,
perasaan tidak nyaman dan renjatan.
3. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit, menimbulkan
antibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada pemberian Ig berikutnya,
tranfusi darah lengkap (whole blood) atau plasma Gejala sistemik yang timbul
adalah menggigil, dengan gejala mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini
dianjurkan pemberian IgIV tanpa IgA.
4. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat terjadi, dan
bisa menimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang terjadi.
5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.

Perhatian khusus pada pemberian imunoglobulin

1. Hati-hati memberikan Ig pada pasien yang alergi pada pemberian Ig.


2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi sistemik akut
atau anafilaksis, meskipun jarang terjadi.
3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan gangguan
koagulasi. Pada kasus ini dianjurkan pemberian IgIV
4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.
Imunoglobulin intravena

Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan pembuatan Ig,
dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yang
direkomendasi, harus mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri,
polio dan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari
satu pruduk dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya.
Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal.
Indikasi pemberian imunoglobulin intravena

1. Defisiensi antibodi

Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat badan,
diberikan sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada masing-masing pasien berbeda,
rata-rata 200-800 mg/ kg berat badan per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500
mgdL (5 g/L) sudah menghasilkan respon klinis yang baik.
2. Penyakit Kawasaki.

Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan mengurangi lamanya
demam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah
2g/ kg berat badan, dosis tunggal diberikan dalam 10-12 jam.

3. Infeksi HIV pada anak

Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut,

Adanya infeksi bakteri berulang, meskipun sudah diberikan profilaksis antibiotik.


Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak, meskipun sudah diberikan 2
kali, terutama bagi pasien yang tinggal di daerah endemis campak. Adanya
trombositopeni meskipun sudah mendapat terapi antiretroviral
Masih adanya bronkiektasis meskipun sudah mendapat terapi pulmonal dan antibiotik.
4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis, untuk mengurangi timbulnya
infeksi bakterial berulang.
5. Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien transplantasi sumsum
tulang. Pada pasien dewasa untuk menurunkan insidensi pneumonia interstisial
terutama yang disebabkan oleh sitomegalovirus.
6. Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti aman dan
efektif dalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV tidak direkomendasikan
diberikan rutin untuk mencegah sepsis awit lambat.
7. Kasus sindrom Guillain Barre
8. Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi Parvovirus B-19, mieloma
multipel, resipien organ dari pasien dengan sitomegalovirus positif, neonatus dengan
hipogamaglobulinemia yang berisiko infeksi, intractable epilepsy, sindrom
vaskulitis sistemik, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia aloimun pada
neonatal yang tidak berespon terhadap pengobatan, immune-mediated
neutropenia, miastenia gravis dekompensata, dermatomiositis, polimiositis
dan trombositopenia berat yang tidak berespon terhadap terapi.

Efek samping pemberian imunoglobulin intravena

Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat jarang terjadi dan tidak
ada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya. Beberapa efek samping yang sering terjadi,

Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi, menggigil dan gejala sistemik.
Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia, kecemasan, mual
atau muntah.
Gejala vasomotor atau kardiovaskular ringan ditandai dengan kulit kemerahan, perubahan
tekanan darah dan takikardia.
Meningitis aseptik.
Reaksi hipersensitifitas.
Gagal ginjal akut.
Perhatian khusus pada pemberian IgIV

1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat alergi pada


pemberian imunoglobulin.
2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi
reaksi sistemik akut, meskipun jarang terjadi.
3. Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan
maupun volume pemberian. Pasien dengan reaksi berat berulang yang
tidak berespons dengan cara tersebut, berikan hidrokortison 1-2
mg/kg berat badan secara IV selama 30 menit sebelum pemberian IgIV,
atau berikan preparat IgIV lain, tambahkan difenhidramin, aseaminofen
atau aspirin sebelum pemberian IgIV.
4. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagal
jantung sering terjadi saat memberikan IgIV dengan volume besar pada
pasien sakit berat.
5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin

Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi maupun karakteristik biologi


berbeda dengan imunoglobulin normal. Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandungan
antibodi spesifiknya. Sediaan ini diambil dari kumpulan darah pasien pada masa penyembuhan dari
penyakit tertentu atau setelah pemberian vaksinasi tertentu, sehingga darahnya mengandung titer
antibodi sangat tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk itu IgS diindikasikan untuk pencegahan
infeksi bakteri spesifik seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridium lain, infeksi saluran
nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan pseudomanas. Pencegahan infeksi virus seperti
hepatitis A, B, C; TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1 diuraikan ringkasan kegunaan
IgS pada pencegahan dan pengobatan infeksi.

Antitoksin difteria

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan


sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi
20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada pharing dan laring dalam waktu
48 jam.
40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing
80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.
Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk
mencegah timbulnya reaksi alergi/ anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500
U, diberikan secara intramuskular.

Imunoglobulin tetanus (human tetanus immune globulin)

Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan untuk pencegahan pada luka
dalam yang kotor, yang tidak akan terlindungi hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayat
imunisasinya tidak jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Disamping itu, juga diindikasikan untuk pengobatan dalam upaya netralisasi toksin yang bekerja
sistemik. Dosis pemberian Ig tetanus untuk pencegahan adalah 250 unit, diberikan secara im.
Untuk pengobatan, dosisnya adalah 3.000- 6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum
dosis diberikan 500 U, diberikan secara im.
Antitoksin Tetanus

Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang
sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis
tunggal antitoksin tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus
neonatorum diberikan dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah
20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan
IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im
pada paha antero lateral.

Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi

Infeksi Pencegahan
Rekomen Pengobatan Rekomen‑
dasi dasi

Infeksi Bakteri Infeksi respirasi


(S.pneumoniae, N.meningitis, Terbukti Tidak
Terbukti Tidak
H. influenzae)

Difteri Tidak terbukti


Tidak Terbukti

Pertusis Tidak terbukti


Tidak Tidak Tidak

terbukti

Tetanus
Terbukti Terbukti

Jenis clostridium

lain: Terbukti Terbukti

C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin


C.difficile
bermanfaat

Infeksi
Staphylococcus
Sindrom syok toksik
Resisten antibiotik
S.epidermidis pada
neonatus

Tidak terbukti

Tidak terbukti Mungkin bermanfaat


Mungkin bermanfaat Mungkin bermanfaat Belum ada penelitian

Infeksi Pencegahan
Rekomen Pengobatan Rekomen‑
dasi dasi

Hepatitis B
Terbukti Tidak
bermanfaat

Hepatitis C Tidak
Tidak Tidak
bermanfaat

HIV Tidak
Tidak Tidak Tidak

terbukti

RSV
Terbukti Tidak Tidak

terbukti

Mungkin
Virus Herpes bermanfaat
CMV Tidak Tidak Tidak Tidak
Terbukti terbukti
EBV Tidak Tidak Tidak Tidak
HSV Terbukti terbukti Tidak
VZV Tidak
terbukti
Parvovirus Tidak

Tidak Terbukti Tidak Enterovirus Terbukti

Tidak Terbukti Tidak Mungkin


Pada neonatus Tidak
bermanfaat

Ebola Mungkin
Tidak
bermanfaat terbukti

Rabies Terbukti
Tidak
bermanfaat

Measles
bermanfaat
Terbukti Tidak

Rubella Tidak
Tidak Tidak

bermanfaat

Mumps Tidak
Tidak Tidak
bermanfaat

Tick borne
Mungkin Tidak

encephalitis bermanfaat bermanfaat

Vaccinia
Terbukti Terbukti
Keller MA.,dan Stiehm ER.
Clin.Microbiol.Rev. 2000.

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan terlebih dulu skin
test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis. Skin test dilakukan dengan menyuntikkan
antitoksin yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100,
sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi
dengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000) dilakukan terhadap
pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum binatang.
Sebagai kontrol di tempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30
menit setelah suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan berupa
eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan kontrol maka lakukan
desensitisasi terhadap pasien.
Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune globulin)

Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin yang menyebar


secara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor di presinaptik neuro-endplate,
sehingga menimbulkan konstipasi, gangguan menelan, letargi, kelumpuhan saraf
kranial sampai kelumpuhan umum. Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat
badan, diberikan secara IV.
Imunoglobulin hepatitis A

Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada paparan virus hepatitis
A, secara im, dan perlindungan yang diperoleh sebesar 85%. Karena tidak
mengandung timerosal, dapat diberikan pada wanita hamil dan bayi.

Imunoglobulin hepatitis B

Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer tinggi anti-HBs dan bebas
terhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang
dimiliki adalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung
antibodi terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.
Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk memberikan perlindungan aktif
terutama pada ibu dengan HBsAg positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta.
Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontal
misalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig
hepatitis B
Pada masa perinatal

- Berat lahir kurang dari 2000 gram

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada paha sisi
lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang
diberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnya
diberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal vaksinasi
lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yang
tidak responsif pada vaksinasi hepatitis B.
- Berat lahir lebih dari 2000 gram,

Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada paha sisi lain
dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan
merupakan bagian 3 dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan.

Pada kasus kontak seksual hepatitis B

Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi kontak dengan dosis 0,06
mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal yang dianjurkan,
pada pasien yang belum pernah diberikan vaksinasi.
Kontak serumah dengan pasien hepatitis B:

Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml, diberikan secara im. Dosis bagi
pasien lebih tua umurnya atau dewasa diberikan dengan dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau
5 mL.
Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV)

IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap infeksi CMV. Dosis
awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan setiap 2 minggu, diturunkan
bertahap sampai 16 minggu. IgIV CMV efektif untuk penderita transplantasi ginjal dan hati.
Penggunaan pada neonatus untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus
masih belum diketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian terutama
dalam pembuktian klinis pada sukarelawan dan penderita transplantasi ginjal.
Imunoglobulin rabies

Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat badan),
diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam upaya pencegahan pasca
paparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila IgR
tidak tersedia, vaksin dapat diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 hari pertama
setelah pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harus diusahakan
untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan pengobatan. Dosis IgR 20
IU/kg berat badan, sebanyak -banyaknya diberikan secara infiltrasi di sekitar luka. Sisanya
diberikan im dengan alat dan jarum suntik yang terpisah. Bila lukanya banyak, lakukan
pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup (diencerkan 2-3 kalinya). Pada
anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian
IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL (300 IU) dan 10
mL (1500 IU). Antibodi pasif dapat menghambat

respon vaksin rabies; oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksin
tidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi
hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi.
Plasma dari Manusia

Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi walaupun terbatas karena resiko
tercemar hepatitis. Biasanya digunakan pada pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnya protein
dan adanya penelitian untuk mencegah infeksi pseudomonas. Pemberian plasma bermanfaat pula
untuk pasien defisiensi antibodi IgG, karena plasma juga mengandung Ig.

Antibodi hewan (antisera hewan)

Dibuat dari serum kuda, dengan cara mengendapkan fraksi globulin serum dengan
amonium sulfat. Digunakan pada penyakit berikut:
Antitoksin botulism, trivalen (jenis A, B, E)
Antitoksin difteri
Antitoksin tetanus
Globulin rabies
Antitoksin difteri

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan


sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi

20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada pharyng dan laryng dalam
waktu 48 jam.
40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.

Tes hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegah
timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U,
diberikan secara im.
Antitoksin tetanus

Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang sebanyak
1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin
tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan
dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksin
dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah
dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.
Antitoksin botulinum

Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya penyakit, pada pasien
dewasa dapat diberikan antara 2-4 vial, secara im atau iv. Sebelum pemberian anti
toksin botulinum harus dilakukan uji sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch, prick,
atau puncture test. Bila hasilnya negatIf dilanjutkan dengan tindakan kedua yaitu
dengan melakukan tes intradermal, yang menunjukan hasil positif bila terbentuk
indurasi selebar 3 mm dalam waktu 15-20 menit setelah tes dilakukan. Bila hasil tes
positif dan didapat riwayat alergi, antitoksin botulinum diberikan melalui desensitisasi.
Indikasi antisera hewan

Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum hewan demikian terbatas
dan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila preparat Ig dari manusia tidak tersedia,
(misalnya untuk difteria dan botulism).

Reaksi terhadap serum hewan

Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya atopi seperti asma,
rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan atopi
tersebut, pemberian serum hewan sangat berbahaya, kecuali pada kondisi tertentu.

Tes sensitivitas terhadap serum hewan

Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan. Tes Intradermal (ID)
dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari serum yang diencerkan dengan Nacl 0,9%
1:100, dan dibaca setelah 10 sampai 30 menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan. Pada
penderita yang berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah memberikan 0,05 ml serum yang
diencerkan dengan Salin 1:1000 secara intradermal. Tes intradermal dapat menimbulkan
kematian, oleh karena itu persiapkan tindakan terapi reaksi anafilaksis dengan mempersiapkan
semprit yang berisi 1 ml 1:1000 epinefrin yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianya
personil yang trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara intravena bila
diperlukan.
Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup aman adalah scratch
test. Scratch, prick atau puncture test dilakukan dengan pemberian satu tetes 1:100
serum yang diencerkan dengan Salin pada kulit yang digores secara superfisial dan
ditunggu 15–30 menit. Hasil yang positif menunjukkan kemerahan atau indurasi.

Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai ditinggalkan adalah tes mata.
Tes mata dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes serum yang diencerkan
dengan salin 1:10 pada satu mata, sementara mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin
sebagai kontrol. Hasil tes positif, apabila terdapat produksi airmata yang berlebihan
dan adanya reaksi kemerahan atau konjungtifitis setelah 10 sampai 30 menit pada sisi
mata yang diberi serum. Beberapa ahli

Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes intradermal.

Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat diindikasikan sensitif.
Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan
sensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian
iv dapat dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi
secara cepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan 10 ml salin
atau glukosa 5% diberikan secara intravena sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk
melihat reaksinya. Bila reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV
dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan diberikan apa tidak.
Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan
epinefrin 1:1000 siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya
reaksi anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut:
1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan
2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular 7. sisanya
serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular
Jenis reaksi terhadap serum hewan

Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan antibodi IgE,
yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit. 1) Reaksi demam tiba-
tiba, biasanya ringan karena semua serum
sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan

antipiretik.

2. Serum sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu),
setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria, ras makulopapuler, (90% kasus),
arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan,
sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré,
neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisa
timbul ringan dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita yang
pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi serum sickness
lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantu
mengatasi gatal, edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapat
diatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidak
berhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5
sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari.
3. Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah terpapar zat
allergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala yang terjadi. Gejala
utamanya adalah pada kulit gatal, merah, urtikaria, dan angioedem. Gangguan
pernapasan seperti serak dan stridor, batuk, mengi, sesak nafas dan sianosis.
Sistem kardiovaskular: nadi cepat dan lemah, hipotensi, dan aritmia. Gangguan
pencernaan spasme dinding perut, muntah, diare, dan mulut kering. Anafilaksis
sebagai kegawatan medis Pengobatan reaksi anafilaksis
Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus
siap menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat
medis, dan personel yang terampil dalam resusitasi

kardiopulmonal harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.

Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala ringan seperti


gatal, eritema, urtikaria dan angioedem diatasi

dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh suntikan difenhidramin atau
antihistamin lain yang diberikan per oral atau parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulang
setiap 5-15 menit, sampai kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil.
Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa dengan gejala spasme bronkus,
edem laring, renjatan dan gangguan kardiovaskuler memerlukan tindakan lanjut. Lakukan
tindakan resusitasi dengan mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga sirkulasi dengan
memberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian tetesan cepat larutan kristaloid seperti garam
fisiologis atau ringer laktat dilakukan untuk mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yang
diencerkan 1:1000, diberikan IV, merupakan indikasi pada keadaan ini. Obat-obatan lain yang
diperlukan adalah aminofilin IV untuk mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik seperti
dopamine untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi antihistamin reseptor H1, H2 yang
dapat memberikan efek sinergis, serta kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan
segera. Semua penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4 sampai 24 jam,
karena adanya reaksi berulang. (lihat bab Cara mengatasi syok anafilaksis)
Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering


LK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke
27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.
2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of
Infectious Diseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.
3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.
4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:
Wolters Kluwer Health, Inc. 2006.
Vaksin Kombinasi (vaksin kombo)

Pen gantar

Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin yang telah diperbaharui
dengan teknologi canggih berada di pasaran. Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia,
berakibat pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam jadwal imunisasi
rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur 5 tahun akan mendapat 13
kali suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan telah dicoba
memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada satu saat. Pemikiran
tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi (vaksin kombo, combined vaccine),
yang merupakan salah satu alternatif cara
untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Seperti telah
diketahui bahwa tujuan akhir dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi
di pasaran berfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.

Vaksin Kombinasi

Sri Rezeki S.Hadinegoro

Vaksin kombinasi adalah

Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah
penyakit yang berbeda. Misalnya vaksin kombinasi DTP/Hib adalah gabungan antigen -
antigen D-T-P dengan antigen Hib untuk mencegah penyakit difteria, pertusis, tetanus,
dan Hib.
Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu organisme penyebab
penyakit yang sama. Misalnya vaksin polio terdiri dari antigen polio-1, polio-2, dan
polio-3 untuk pencegahan penyakit poliomielitis (galur 1, 2, dan 3).
Dasar vaksin kombinasi

Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah,

Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan dengan vaksin vaksin monovalen,
sehingga mempermudah pemberian maka dapat lebih meningkatkan cakupan imunisasi,
Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan sehingga mengurangi biaya
pengobatan,
Mengurangi biaya pengadaan vaksin,
Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang
telah ada,
Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up immunization), dan
Biaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran termasuk biaya berobat,
transportasi, kecemasan anak dan

orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin, maka vaksin kombinasi lebih
murah dibandingkan apabila beberapa vaksin monovalen diberikan secara terpisah.
Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan.

Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi maupun fisis, sebagai akibat


percampuran beberapa antigen beserta ajuvan, zat preservasi dan bufer.
Sulit dihindari adanya perubahan respons imun (imunogenitas), sebagai akibat interaksi
antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda.
Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun
jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.
Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan vaksin kombinasi, perlu
membuat perencanaan dalam jadwal imunisasi.
The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the American Academy of Pediatrics
(AAP) dan the American Academy of Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baik
mempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik daripada memberikan dua jenis
vaksin monovalen yang diberikan secara terpisah pada saat bersamaan. Vaksin kombinasi yang
dianjurkan adalah vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara
masing-masing, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan RI (BPOM Depkes).
Daya Proteksi

Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan setelah
diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian

mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan tersamar. Laporan
beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin
kombinasi di Amerika dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau
komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah.
Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang pencegahan (protective
level). Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksin
monovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti
HbsAg >10 IU/ml). Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan
DTap/Hib/ IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga
tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih rendah dibandingkan
vaksin varisela terpisah. Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa
memberikan vaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama
dengan vaksin monovalen setelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan.
Imunogenitas

Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi yang terbentuk
sehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yang
terbentuk akan mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada vaksin
kombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga
secara teori dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi untuk mengikat
antigen. Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi
efikasi vaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis akan menjadi tidak aktif
sebagai akibat proses kimiawi dari ajuvan formaldehid, aluminium hidroksida, atau
aluminium fosfat. Dapat pula karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan
setelah ditambah antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan

berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan mempengaruhi
komponen vaksin lain.
Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil beberapa penelitian mengenai vaksin
kombinasi. Penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi DTwP/hepB
atau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti memberikan imunogenisitas yang tinggi
terhadap semua antigen (anti difteria, anti pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP)
tanpa mempengaruhi respons imun satu sama lainnya. Khususnya antiHBsAg pada vaksin
kombinasi DTwP/HepB memberikan respons antibodi lebih baik daripada diberikan terpisah,
sesuai dengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga DTwP menjadi ajuvan pada vaksin
kombinasi DTwP/HepB sehingga akan membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam
penelitian di Mexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin kombinasi DTwP/
HepB dibandingkan dengan pemberian terpisah pada umur 3, 4, dan 5 bulan. Setelah
pemberian dosis kedua, proporsi titer antibodi anti HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih tinggi
(94,9%) dibandingkan pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan juga bahwa pada penelitian
serupa dari kelompok vaksin DTwP/ hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%)
sebanding dengan kelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib (95,7%).
Reaktogenitas

Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran vaksin kombinasi


di Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan keamanan (reaktogenitas) vaksin
kombinasi tersebut, dibandingkan dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yang
telah beredar sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwa
reaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan dari pada antigen
yang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi baik pada vaksin kombinasi
DTwP/hepB tidak berbeda dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada
pemberian
vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal daripada DTwP dan Hib
terpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi MMR/V, jumlah ruam morbili form akan lebih
banyak dijumpai walaupun jumlah ruam tidak lebih banyak dibandingkan vaksin yang diberikan
terpisah.
Angka Cakupan

Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate) vaksin kombinasi
DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan
daya cakupan yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah
(84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat
mengurangi total biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu
pengurangan jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan biaya dapat
menjadi sebab meningkatkan angka cakupan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan

Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda

Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda
dapat diberikan secara bergantian pada seorang anak sesuai dengan jadwal
imunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib. Namun, untuk vaksin kombinasi
apabila akan digunakan secara bergantian dengan vaksin monovalen
(interchangeability) sebaiknya memilih vaksin dari pabrik yang sama. Demikian juga
untuk vaksin kombinasi yang mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin
dari pabrik yang sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat
ini belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak beredar.

Respons serologi vaksin kombinasi

Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda secara
bergantian ditentukan oleh respons serologi penyakit tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA,
dan Hib telah terbukti dapat diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda, komponen Hib
akan menentukan dapat atau tidaknya vaksin tersebut dipakai secara bergantian. Dari
beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata komponen utama vaksin Hib dalam vaksin
kombinasi adalah PRP-T (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan toksoid tetanus) dan
bukan PRP-OMP (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan outer membrane protein), jadi
apabila suntikan pertama PRP-OMP maka suntikan kedua sebaiknya PRP-T, sedangkan
suntikan ketiga boleh jenis vaksin Hib yang mana saja.
Pengadaan dan penyimpanan vaksin

Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis vaksin yang telah
direkomendasikan dalam jadwal imunisasi. Namun dalam hal penyediaan, vaksin monovalen atau
kombinasi seringkali terjadi tumpang tindih maka perlu dipertimbangkan halhal sebagai berikut, (a)
apabila terlalu banyak variasi vaksin yang disediakan, dapat membingungkan petugas imunisasi
(khususnya perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalam pengambilan dan pemberian, (b)
vaksin yang jarang dipergunakan akan mudah kadaluwarsa, (c) memerlukan tempat penyimpanan
lebih luas, dan (d) memerlukan pendanaan yang lebih besar.

Pemberian dosis antigen berlebih

Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen padahal
mereka telah imun (telah divaksinasi).
a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga sebenarmya
telah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang bersangkutan. Namun
oleh karena pengukuran

kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan ulangan diberikan
tanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada. Pemberian suntikan ulangan diberikan
berdasarkan pertimbangan klinis dan aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan
jumlah anak yang rentan (susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit
di masyarakat.
b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak sengaja oleh karena
tidak ada catatan imunisasi atau pada saat dilakukan program imunisasi masal.
c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan campak
diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan status imunisasinya.

d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya tidak seluruhnya
dibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena vaksin yang berisi antigen monovalen
yang diperlukan tidak tersedia. Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubela
monovalen maka diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi
vaksin campak.
Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih?

Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang sebenarnya tidak diperlukan
berhubungan dengan risiko terjadinya KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada
tidak dijumpai KIPI yang serius.
Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat menimbulkan
KIPI. Misalnya, pemberian vaksin kombinasi DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T)
mengandung tetanus toksoid yang tidak direkomendasikan diberikan sebelum
umur 6 minggu.
Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra vaksin yang berisi virus
hidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela, dan rotavirus yang telah dilemahkan
pada anak imunokompeten

yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya atau infeksi alamiah,
tidak menunjukkan peningkatan KIPI.
Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit yang pada umumnya mengandung
ajuvan garam aluminium. Pada pemberian dosis tambahan jenis vaksin ini, harus
dipertimbangkan mengenai keuntungan dan kerugian sehubungan dengan
reaktogenisitas yang dapat timbul.
Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada pemberian dosis tambahan vaksin
hepB atau Hib dari komponen vaksin kombinasi. Pemberian dosis tambahan dari vaksin
yang mengandung ajuvan garam aluminium dapat meningkatlan reaksi hipersensitivitas,
misalnya pemberian DT pada anak, dT atau TT pada dewasa. Pemberian dosis
tambahan komponen toksoid tetanus yang ada di dalam vaksin sebaiknya diberikan atas
pertimbangan khusus, misalnya seorang anak yang semula mendapat DT oleh karena di
kemudian hari harus diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan DPT oleh
karena tidak tersedia antigen pertusis monovalen sehingga anak tersebut kelebihan
antigen difteria dan tetanus.
Jenis Vaksin Kombinasi

Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori,

1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi yaitu DTwP (komponen
whole-cell pertussis), disebut vaksin kombinasi tradisional.
2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR.
3. Vaksin kombinasi dengan dasar DTaP (DTP dengan komponen a-cellular pertussis) atau
hepatitis B.
4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan.

30 0 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga


Tahun 2008

Jenis vaksin kombinasi tertera pada


Tabel 8.1
Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi

Vaksin
Kombinasi Jenis Vaksin
DTwP /hepB DTwP
1 Pengembangan vaksin DTwP (DTP dengan
/Hib
komponen whole-cell pertussis)
Campak/ yellow fever
2 Penambahan vaksin baru pada campak atau MMR
MMR /varisela
3 Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi

DTaP /hep B
a. Dasar kombinasi pertusis DTaP/Hib DTaP/IPV
a-selular (DTaP) DTaP/hepB/Hib
DTaP/Hib/IPV
DTaP/hep-B/Hib/IPV
b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/ Hib
Hep-B/hep-A
DPwT/ Men

4 Vaksin kombinasi DPaT/Men


lain (sedang IPV/Pneumo
dikembangkan)
IPV/Pneumo/Men
Hib/Pneumo/Men
Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTPa-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =
Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A, Pneumo
= pneumokokus, Men = meningitis
Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi

Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV dapat dimasukkan dalam
jadwal imunisasi IDAI dengan beberapa pilihan jadwal.
a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Apabila akan mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/HB, maka jadwal imunisasi


dapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes

Keterangan Umur Pemberian vaksin

Saat lahir HepB+BCG+OPV

2 bulan DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB diberikan ≥ 6

minggu

3 bulan DTwP/hepB+OPV

4 bulan DTwP/hepB+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP


dan hepB
Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB
Saat
pemberian
Umur Pilihan 1 Pilihan 2

Saat lahir
HepB+BCG+OPV HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/ DTwP/hepB+Hib+OPV
hepB+Hib+OPV
4 bulan DTwP+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

6 bulan DTwP/hepB+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

b. Vaksin kombinasi DTP/Hib

Apabila mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/ Hib, maka jadwal imunisasi
dapat disusun sebagai berikut.
Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi

Vaksin
kombinasi
Umur
DTwP/Hib DTaP/ Hib
Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV

2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV

4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV

6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV


DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
dan Hib
c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi

DTaP/Hib/IPV Umur Vaksin kombinasi

Saat lahir HepB + BCG + IPV

2 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

4 bulan DTaP/Hib/IPV

6 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB

DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation:


recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American of
Pediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999; 103:1064-8.
2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy
th
infants. Satellite symposium and regional meeting. The 9 Asian Congress of
Pediatrics, Hongkong, 24 Maret 1997.
3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative.
1998.
4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA.,
penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508
– 14.
5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood
immunization. Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity
and Mortality Weekly Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann,
penyunting. Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae
type b into childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.
7. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined
DTwPHB vaccines and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai
children. Asian Paed. J. Allergy Immunol 1999; 17:113-20.
8. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B,
Mahendra. Efficacy and reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma)
combined vaccine. Dipresentasikan pada Simposium Recent in Vaccinology.
Bandung 4 September 2004.

Bab IX

Imunisasi Kelompok

Berisiko

1. Imunisasi bayi berisiko


2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko
Pen gantar

Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang berisiko. Pada
bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untuk
pemberian imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yang
menderita defisiensi imun seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang
mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV,
transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau mereka yang pernah menderita
reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi.
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita terhadap bayi
yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian
khusus diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.

Bab IX-1

Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko

Sjawitri P. Siregar

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus
diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderita
imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta
bayi prematur, imunisasi harus diatur.
Pasien imunokompromais

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun
kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien
dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV
dan transplantasi sumsum tulang.
Defisiensi imun primer

Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular dan kombinasi defisiensi
keduanya seperti pada penyakit X-linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich,
ataxia telangiectasia dan sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin
hidup. Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV.
Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun vaksin
kuman mati/dilemahkan sedangkan pada defisiensi fagosit misalnya pada penyakit
granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk
divaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

Defisiensi imun sekunder


1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari
atau 2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama
pengobatan >1 bulan.
2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi. Untuk
penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma.
Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup
karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh
tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG.
Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian
pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.
Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat segera diberikan
seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza danHib, dosis samadengan anaksehat.
Respons imunyangtimbultidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan
pasien campak harus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human)
NIGH dosis 0.2 ml/kgBB intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0.4-1.0
ml/kgBB, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-
zoster immunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.
Pengobatan kortikosteroid

Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau obat semprot hidung,
paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah
yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin
hidup. Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap
hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan
vaksinasi dengan vaksin

hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada pendapat


yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.
Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau
selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup setelah penghentian
pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien
yang telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan
dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit
primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.
Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk
mendapatkan vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR. Vaksin
varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena
walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih
ringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.
Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1
tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila
mendapat infeksi alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal.
Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan
respons maksimal yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum
setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan
imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan,
kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan
berguna karena penyakit sudah lanjut

dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini, vaksin hidup
akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga
memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme
yang dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada
anak dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3
kali dengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai
risiko tinggi maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1)
Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak

Vaksin
Rekomendasi Keterangan
IPV DPT Hib Hepatitis B* Hepatitis A MMR** Influenza Pneumokokus BCG ** Varisela **

Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya/tidak

Pasien dan keluarga serumah Sesuai dengan jadwal anak sehat Secepat mungkin

Sesuai jadwal anak sehat Sesuai jadwal anak sehat Diberikan umur 12 bulan Tiap tahun
diulang
Secepat mungkin

Dianjurkan untuk Indonesia Tergantung berat penyakit

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004
*Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X

* MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala
HIV ringan. Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25%
Penyakit Hodgkin

• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa (close


contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena penderita ini berisiko
terhadap kedua penyakit tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan
10-

14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama dengan


imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah
kemoterapi atau radioterapi dihentikan.
Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib
sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin
dianjurkan untukpenderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap infeksi
pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak kurang dari 5
tahun dan 2 kali 250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan
amoksilin 20 mg/kg sehari.
Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis
antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila
demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis.
Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai
pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi (Tabel 9.2)
Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Rekomendasi Vaksin
Keterangan
Penderita
DPT kanker anak
Penderita
Polio (IPV)* Ya kanker
Ya
Pneumokok Ya Untuk limfoma
Hib Ya
Influenza** Ya Penderita
Ya kanker anak
Varisela* Tidak Tergantung
MMR* musim**
Penderita
seronegatif
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin
SA,2004
*Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR

* Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan
Agustus-September tiap tahun
Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defisiensi imun
disebabkan4komponen (1) pengobatan imunosupresi

terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu
(3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi
yang diberikan setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum
tulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang
dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada
TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio dan
DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus
polio, tetanus dan difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila
donor diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian
segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan
memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif
pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).
Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehingga
regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasi
alogenik. Pada transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun
pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih dahulu kepada
resipien.
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi, dan diulangi setiap tahun
sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi.
Pasien berumur diatas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa
terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus
mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum
transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun transplantasi sebaiknya diperiksa. Pada
mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubela sebaiknya
diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin

titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai
imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara
yang berbeda.
Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

Transplantasi
Vaksin Transplantasi SST
Keterangan
alogenik SST
otologus
DPT Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12
bulan transplantasi.
Polio (IPV) Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12
bulan transplantasi.
Campak Epidemik Hanya Tidak diberikan dalam
pada 24
penderita bulan setelah
campak
tranplantasi. Tidak
anak
pada GVHD.
Rubela Hib Ya Ya Ya Ya Terutama wanita.
2 dosis mulai 6-
12 bulan setelah
transplantasi.

Hepatitis B 12 bulan setelah


transplantasi. Hasil
tidak baik pada GVHD.
Tidak dalam masa 24
Ya Ya bulan setelah trans-
Pneumokok
plantasi. Tidak
Ya ? pada GVHD.
Varisela Anak dan

Tidak dewasa
muda

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004.
Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease

Bayi prematur dan berat lahir rendah

Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal
yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada
umur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan
diberikan OPV sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan
dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio

kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun kurang
bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian
vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut:
Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B bersamaan dengan
HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan
kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan
HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3
dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.
Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis B + HBIg pada 2
tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2
diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan
dan 6 bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan.
Bila HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan
dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.
Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama
saat lahir, selanjutnya umur 1 dan
6 bulan umur kronologis.

Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat berat badan telah
mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis
atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari.
umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan
dan 6-18 bulan umur kronologis.
Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan vaksin hepatitis B dalam
12 jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu
7 hari.

• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin hepatitis
B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan
HBIg dalam 12 jam.
Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP, DTaP
(DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis
setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi
pertama pada bayi prematur.
Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikan
imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Sangat
dianjurkan untuk imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus.
Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi

Paparan infeksi Inkubasi


Pemberian vaksinasi

72 jam paparan Campak 8-12 hari 0-

Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan

Rubela 14-23 hari Tidak perlu

Gondongan 12-25 hari Tidak perlu

Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam

Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif


beberapa bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

Vaksinasi pada anak dengan reaksi


efek samping
Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi,
harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Air susu ibu dan imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikan
imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan.
Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan
imunisasi.
Daftar Pustaka

1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization.


Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-
preventable diseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20.
2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian Immunization
Handbook, edisi ke-9. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

Bab IX-2

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

Toto Wisnu Hendrarto

Ibu menderita hepatitis B

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan
hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oleh status
HBsAg ibu sebagaimana tertulis pada tabel 9.5 berikut ini.
Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg ibu.*

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000


g Berat lahir <2000 g
HBsAg positif Vaksin
Vaksin Hepatitis B + HBIgHepatitis B
(dalam + HBIg
(dalam
umur 12 umur 12
jam) jam)
Imunisasi Imunisasi
dengan 3 dengan 4
dosis dosis vaksin
vaksin padapada 0, 1, 2-
0, 1, dan 6 3, dan 6
bulan umur bulan umur
kronologis. kronologis.
Periksa Periksa
anti-HBs anti-HBs
dan HBsAg dan HBsAg
pada umur pada umur
9–15 bulan 9–15 bulan
+ +
Bila HBsAg Bila HBsAg
dan anti- dan anti-
HBs negatif,HBs negatif,
reimunisasi reimunisasi
dengan 3 dengan 3
dosis, dosis,
dengan dengan
interval 2 interval 2
bulan, dan bulan, dan
periksa periksa
kembali kembali
HBsAg dan HBsAg dan
anti-HBs. anti-HBs.
Vaksin Vaksin

Hepatitis B
Hepatitis B + HBIg
(dalam 12 jam)(dalam 12
+ HBIg (dalam jam)
7 hari) bila
HBsAg
hasil Periksa
tidak pemeriksaan HBsAg ibu
diketahui HBsAg ibu segera, bila
positif tidak dapat
Periksa dilakukan
dalam 12
HBsAg ibu
jam, berikan
segera
HBIg.

Toto Wisnu Hendrarto

Status HBsAg ibu Berat lahir


≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg negatif Dianjurkan


vaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis
B saat lahir. 1 dalam 30 hari umur

kronologis, bila secara klinis keadaannya stabil, atau pada


saat keluar dari RS sebelum 30 hari umur kronologis.

HBsAg negatif Imunisasi Hepatitis B

dalam 3 dosis pada umur 0–2, 1–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu
umur kronologis
Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan

Imunisasi Hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan umur kronologis.

Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu
umur kronologis
Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan
Saat pemberian dosis vaksin
Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat lahir.
Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan
sesudah pemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.
Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan mendapat
pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi
BCG. Tindakan yang dilakukan,
Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.
Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral.
Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan
uji tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.
ï¶ Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi

Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

pengobatan anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.


ï¶ Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan pencegahan
dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.
ï¶ Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCG
sudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
ï¶ Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap
2 minggu.
Ibu menderita HIV

Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.
Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi
baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi.
Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat bayi
seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap
diberi imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.
Daftar Pustaka

1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk


dokter, perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI,
MNHJHPIEGO, Departemen Kesehatan R.I. 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders
Co.; 2004:745-81.

Bab X

Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi

1. Klasifikasi KIPI
2. Pelaporan KIPI
Pen gantar

Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca imunisasi.
Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat dan tidak
terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan
vaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita
harus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan
dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan
keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulis dari
pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain diberi informasi juga diberi
kesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.

Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat imunisasi
diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas harus melaporkan
kejadian pasca imunisasi yang serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut
dengan mengisi formulir KIPI yang telah tersedia.
Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat dan dikirimkan kepada
Komite Daerah (Komda) PP KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang
berkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat oleh Komite Nasional
(Komnas) PP KIPI.

Bab X-1

Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)

adverse events following immunization (AEFI)

Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah medikolegal
vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga mulai dibentuklah
KOMNAS pengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI yang merupakan badan
independen yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari
IDAI, Subdit Imunisasi Depkes, BPOM dan lain-lain. Pembentukan itu kemudian diikuti
oleh organisasi tingkat provinsi (Komda PP KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiring
dengan kewaspadaan terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagai
upaya pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap peningkatan
kesehatan masyarakat.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah keseimbangan
antara imunogenisitas (daya membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang
vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi vaksin harus berisi antigen yang efektif
untuk merangsang respons imun resipien sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambang
pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak
menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis
penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namun
dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat,
dan akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam
menghadapi hal tersebut

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan
ataukah secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas,
efek farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang
disebabkan Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin,
kesalahan prosedur, kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan.
Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan
dan pelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi
(yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat
membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat
akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.
Definisi KIPI

Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa kejadian ikutan pasca
imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan
dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.

Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik
pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain
pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta

infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-
effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya
secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping,
serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan
reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar
belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak,
gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin,
merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan
teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur
dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua kelainan dan
kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi
telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan
bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang
akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
(programmatic errors).
Epidemiologi KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalamjumlahbesar.
Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1,
2, 3, dan 4. Uji klinis

fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji
klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada
fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk
menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai
-
post marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan
mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat
(dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi
program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya
segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera
tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat
terhadap efek samping vaksin dengan segala akibatnya.
Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of
Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena,
Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami
Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang
Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang.
Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada imunisasi masal
atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.
Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI ) mengelompokkan


etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi,
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk petugas kesehatan
di lapangan.
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999)

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO
Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan
program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui.
Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.
a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan,
dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai
tingkatan prosedur imunisasi, misalnya,
dosis antigen (terlalu banyak)
lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan aseptik dan antiseptik
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan
lain-lain)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
Mencegah program error (VSQ 1996)

Alat suntik steril utk setiap suntikan


Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin
Vaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin


Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik
Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg

sama b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun
tidak langsung dan harus dicatat sebagai
reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak

dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak


langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat

pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,

Syncope/fainting

Sering kali pada anak > 5 tahun ,


Terjadi beberapa menit post imunisasi,
Tidak perlu penanganan khusus.
Hindari stres saat anak menunggu,
Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.
Hiperventilasi akibat ketakutan

Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.


Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu diperiksa)
Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.
Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
Teknik penyuntikkan yang benar
Suasana tempat penyuntikan yang tenang
Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar
c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin

dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan
perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
1. Reaksi lokal

+ Rasa nyeri di tempat suntikan.

+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % + Bengkak pada


suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian

ulserasi dan sembuh setelah beberapa bulan.

2. Reaksi sistemik

+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti
iritabel, malaise, gejala sistemik.
+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam dan
atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi
campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi.
+ Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,

rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV kurang dari 1%
diare, pusing dan nyeri otot.
3. Reaksi vaksin berat

Kejang
Trombositopenia
Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak merupakan
masalah jangka panjang
Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa dampak jangka
panjang Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pencegahan terhadap reaksi vaksin

Perhatikan indikasi kontra.


Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas.
Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan dianjurkan segera
kembali apabila ada reaksi yg mencemaskan.
Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan
rasa nyeri.
Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis.
Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk
ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.
Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di
saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa
tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded programme on immunisation
(EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara
berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi
programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali
pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi
patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian


pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.
2. Klasifikasi kausalitas

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi
saat ini, yaitu
Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )
Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely)
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya
makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena
pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat
terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada
obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa
efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi
beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama
observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis
imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.
Text Box:
Untuk menghindarkan kerancuan maka
gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala
klinis (Tabel 10.2).
Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI

KIPI Saat timbul Jenis vaksin Gejala klinis

KIPI

Toksoid tetanus Syok


anafilaktik 4 jam
(DPT,DT.TT) Neuritis
brakialis 2-28 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan
Tidak ter‑
dan kematian catat

Pertusis whole-cell Syok anaphilaktik 4 jam

(DPwT) Ensefalopati 72 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑

dan kematian catat

Campak Syok anafilaktik 4 jam

Ensefalopati 5-15 hari

Trombositopenia 7-30 hari

Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan


kompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

hari Polio hidup Polio paralisis 30

(OPV) Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulan


kompromais
Komplikasi akut termasuk keca Tidak ter‑

catan dan kematian catat

Hepatitis B Syok anafilaktik 4 jam

Komplikasi akut termasuk Tidak ter-


kecacatan dan kematian catat
BCG BCG-itis 4-6 minggu

Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.

Angka kejadian

KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian reaksi
anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar
reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan
orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode
hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam
setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin
(CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada
anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada
dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak
berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang
disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis.
Tabel 10.3 dapat digunakan,

Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi.


Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi.
Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan pelaporan dan penyelidikan bila
ternyata lebih besar kejadiannya.

Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.

Vaksin

Rasio
Reaksi Interval per
kejadian juta
dosis

Limfadenitis 2-6 bulan 100-


BCG
supuratif 1000
BCG-osteitis 1-12 bulan 1-700
BCG-it is 1-12 bulan 2
deseminata
Hib Tidak diketahui - -
Hepatitis B Anafilaktik
Measles Kejang demam 0-4 jam 1-2
Trombositopenia 5-12 hari 333
OPV Anafilaktik 15-35 hari 33
VAPP (vaccine 0-1 jam 1-50
1,4-3,4
associated 4-30 hari
Tetanus
paraliytic (b)
poliomyelitis)
Neuritis Brakialis 2-28 hari 5-10
Anafilaktik 0-4 jam 1-6
Abses Steril 1-6 6-10
minggu
Sama dengan
TD - -
tetanus
Persistent-
inconsolable 1000-
DTP screaming 0-24 jam
(menangis 60.000
berkepanjangan
lebih dari 3 jam)
Kejang demam 0-3 hari 570 (c)
Episode hipotenik
hiporesponsif 0-24 jam 570
(ENH)
Anafilaktik 0-4 jam 20
Ensefalopati 0-3 hari 0-1

Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization,


supplementary information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO
Keterangan :

a. Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90 % anak yang
menerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.
b. Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis),
sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.

(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat kejang
sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.

Imunisasi pada kelompok berisiko

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah,
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi ter da hu lu.
2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama
dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan.

a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi
cukup bulan.
b. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan,
kecuali untuk irnunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.
c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak
menyebabkan penyebaran virus vaksin polio melalui tinja
3. Pasien imunokompromais

Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai
akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin
hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat
diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid
dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan
pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20
mg/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid
dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin Imunisasi virus hidup diberikan
setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV memerlukan
imunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena
penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin
hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga
memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal anak sehat.

Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak


Vaksin
Rekomendasi Keterangan
IPV
Ya Pasien dan keluarga serumah
DPT Ya Pasien dan keluarga serumah

Hib Ya Pasien dan keluarga serumah

B* Ya Sesuai jadwal anak sehat


Hepatitis
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat

MMR ** Ya Diberikan umur 12 bulan

Influenza Ya Tiap tahun diulang

Pneumokok Ya Secepat mungkin

BCG *** Ya Dianjurkan untuk Indonesia

Varisela Tidak

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin


SA, 2004.
Keterangan:

* Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali

* MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan. ***
Tidak diberikan pada HIV yang berat.

Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi

Indikasi kontra dan perhatian


khusus Bukan indikasi kontra
(imunisasi dapat dilaku‑
kan)
Berlaku umum untuk
semua vaksin DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
Perhatian khusus

Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam <40,5 C pasca

sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya

penyebab lain Riwayat kejang dalam

Kolaps dan keadaan seperti syok (episode keluarga

hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca Riwayat SIDS dalam

sebelumnya keluarga
DPT
Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya Riwayat KIPI dalam kelu‑

Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPT
sebelumnya
Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca

vaksinasi
Vaksin polio

Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra
Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui

Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti

tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi biotik

imunosupresan jangka panjang) Diare ringan


Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus Kehamilan

Campak

Perhatian khusus

Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan,


tergantung produk darah dan dosisnya)
Trambositopenia

Riwayat purpura trombositopenia

Hepatitis B
Indikasi
kontra Bukan indikasi kontra
ragi Kehamilan Reaksi anafilaktoid terhadap

Dikutip dari rekomendasi ACIP dan


AAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999. Keterangan:
D = vaksin difteria DT = vaksin difteria dan tetanus

T = vaksin tetanus untuk anak Td = vaksin tetanus untuk dewasa

P = vaksin pertusis whole cell aP = vaksin pertusis aselular

SIDS = sudden infant death syndrome KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi

HIV = human immunodeficiency virus PPD = purified protein derivative

Text Box:
Text Box:
Text Box:

Daftar Pustaka

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan


KejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2005.
2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986,
Comittee from the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam
Atkinson W, Wolfe CS, Humiston S, Nelson R,2000.
3. WHO: Background rates of adverse events following immunization,
supplementary information on vaccine safety. Part 2 , 2000.

Bab X-2

Pelaporan KIPI

Hindra Irawan Satari

Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap serangan


penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin mutakhir cenderung lebih
aman walaupun demikian tidak ada vaksin yang tanpa risiko. Maka walaupun jarang,
sebagian orang dapat mengalami reaksi ringan sampai mengancam jiwa setelah
imunisasi. Pada beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin, pada kasus lain
penyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar umumnya
tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila timbul kejadian ikutan
pasca imunisasi masyarakat selalu bersikap menolak untuk pemberian imunisasi
berikutnya, sehingga anak tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu, pelaporan KIPI
yang cepat dan tepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantu
pelaksana program mengatasi masalah di lapangan sehingga masyarakat tidak resah
dan tetap mendukung program imunisasi.
Deteksi dan pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan
dianggap disebabkan oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI
menetapkan bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu
1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden
medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi

secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI
juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah.
Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan

Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:

Abses pada tempat suntikan.


Semua kasus limfadenitis BCG.
Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi.
Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan
atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
Pelapor KIPI

Pelapor KIPI adalah

Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.


Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah
sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain.
Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan

Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas kesehatan harus
dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan
lebih lanjut.

Petugas harus mengetahui faktor pencetus dan harus mampu menggunakan


definisi kasus.
Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan memberi nasehat pada orang
tua untuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil pada
tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat kepedulian orang tua cukup
bermakna.
Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui reaksi yang
diharapkan terjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta
membawa dengan segera anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit
atau fasilitas kesehatan.
Pelapo ran

Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang disediakan.


Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat Kabupaten/ Daerah Tingkat II, dengan
tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi.
Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta menetapkan
kasus tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta meneruskannya ke Instansi
Kesehatan Propinsi / Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM &
PLP Depkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI.
Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui
tele‑ pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.
Data demografi
Data yang harus dilaporkan

1. Data pasien

Riwayat perjalanan penyakit


Riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat imunisasi
Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin

Nomor batch-vaccine
Masa kadaluwarsa
Nama pabrik pembuat vaksin
Kapan dan dari mana vaksin dikirim
Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau
berhubungan 3. Data yang berhubungan dengan program Perlakuan
umum terhadap rantai dingin vaksin, Penyimpanan vaksin, membeku?
Kadaluwarsa?
Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin sebelum
disuntikkan Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah
selesai pelaksanaan imunisasi?
Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi

Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?


Apakah pelarut steril?
Apakah dosis sudah benar?
Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?
Ketersediaan jarum dan semprit

Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang?


Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4. Data sasaran lain
Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch sama atau pada
masa yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimana
gejalanya.
Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari produsen sama atau
berlainan) atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan
gejala yang sama.
Waktu pelaporan

Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan dan dilaporkan.
Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan KIPI lain harus juga segera
dilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat, seperti telepon, faksimili dan lain-lain.

Cara pelaporan

Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi. Apabila perlu, jangan ragu
untuk menuliskan laporan tambahan pada formulir tersebut.
Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada kasus (tuliskan jumlah kasus 0,
zero report).
Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus mengidentifikasi masalah dan
menilai, sehingga dapat terlihat,
v. Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang sama setiap bulan.
v. Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda melaporkan hal yang sama.
v. Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh Puskemas/tempat yang
berbeda dilaporkan.
Tindakan selanjutnya

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan
dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola
tertentu di daerah binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak
perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti
pneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau fihak
keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatan
kepada mereka untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.

Bab 10-2. Pelap

Diisi oleh KOMNAS


FORM ULIR PELAPORAN PP KIPI Kode
........................................
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)
Tanggal
Pasien terima.......................... :
Dokter penanggung jawab
Nama
Tanggal lahir .../.../.... Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)
Nama orang
Laki-laki Kel:
tua Alamat: Perempuan 0 RT/RW:
Kota: Wanita usis subur Kota Kode pos:
(WUS)
Provinsi.: Hamil 0 Provinsi:
Tidak hamil 0
Tilpon: Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/
perawat/ jurim
Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasuk
imunisasi terakhir Pemberian
Tempat
Jenis Nomer Tetes oral/
Pabrik Jumlah Tanggal Imunisasi
vaksin Batch subkutan i.m/ dosis imunisasi (*)
1 intrakutan
2
(*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidan
praktek 6. Balai Pengobatan
7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. Sekolah
Manifestasi kejadian ikutan
Waktu Lama gejala Keterangan lanjutan/
Keluhan, gejala klinis
gejalatimbul menit jam hari Hasil akhir
Reaksi alergi Tindakan darurat
* gatal Rawat inap/jalan
* bengkak bibir Sembuh/tidak
Meninggal
* urtikaria (tgl.......... )
Muntah Gejala sisa
Diare Diagnosis
Pingsan Ensefalitis/
ensefalopati
Kejang Sindrom Guillain-
Barre
Sesak nafas Hipotensif
hiporesponsif
Demam tinggi
Abses
(>39°C)
Bengkak Neuritis brakhialis
Pembesaran kel Syok anafilaksis
limf
Kelemahan/ Polio paralitik
kelumpuhan
Kesadaran Trombositopenia
menurun purpura
Riwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialami
Obat-obatan yang diberikan bersamaan 0............................ ..... 0 Data
laboratorium (bila ada)
Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik)
Diagnosis dokter ..................................
Pengobatan yang diberikan 0 0 0
Penerimaan laporan KIPI
.................. tanggal / /
Tanggal: / / Tanda tangan

pelapor,

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan
pasca imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverse
events. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious
Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.30-1.
3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-
4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions.
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-
9. Canberra: NHMRC 2008.

Bab XI

Miskonsepsi dan Kontroversi

Dalam Vaksinasi

1. Miskonsepsi
2. Kontroversi
Pen gantar

Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan yang sangat
dramatik di dunia kedokteran. Suatu program kesehatan yang paling efektif dan efisien
dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, ternyata
masih banyak kontroversi yang berasal dari faktor program imunisasi, vaksin atau
resipien yang menerima imunisasi. Pada suatu saat masalah tersebut menjadi sangat
intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada adanya pemicu yang timbul di
masyarakat. Masalahnya makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang
sehat, sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan memicu rasa tidak aman
pada orang tua. Cara pemberian imunisasi sebenarnya menirukan kejadian sakit
karena suatu infeksi secara alamiah, sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidak
berbahaya, namun cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan demikian
apabila ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak tidak menjadi sakit.

Bab XI-1

Miskonsepsi Imunisasi

Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau miskonsepsi mengenai imunisasi.
Tidak jarang dijumpai orangtua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai
alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis
tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungan
dengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang dapat dicegah
oleh vaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya.
Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi secara aktif.
Apabila orangtua mendapat jawaban akurat dan informasi yang benar, maka
orangtua dapat membuat keputusan yang benar tentang imunisasi.
Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai,

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat


perbaikan sanitasi dan higiene.
Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan adanya penurunan
insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan higiene. Namun penurunan
kejadian penyakit yang permanent baru tampak setelah program imunisasi
dijalankan secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif
bagi penyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan antibiotik dan pengobatan lain, telah
meningkatkan angka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah
menurunkan transmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun

juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi antar
keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat menerangkan dampak
vaksin dalam menurunkan penyakit.
Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan bahwa
penghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin,
menimbulkan dampak peningkatan penyakit. Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada
tahun 1974 diikuti oleh epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun
1978. Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan imunisasi
pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan peningkatan kasus pertusis dari 393
dan tanpa kematian pada tahun 1974 menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun
1979. Di Swedia, incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus
pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.
Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario yang mempunyai data
morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelum
ditemukan antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi
pada masa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang
Dunia I, meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri
secara luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis.
Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar daripada
perbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan meningkatkan kembali angka kejadian
penyakit.
2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi

Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam literatur kelompok anti
vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah
diimunisasi mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak sakit dan belum diimunisasi.

Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu tidak ada vaksin yang efektif 100%.
Supaya aman, maka bakteri atau virus dimatikan atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu.
Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85%- 95%, tergantung respon individu.
Faktor kedua adalah jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak dibanding jumlah anak yang belum
diimunisasi di negara telah yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor terebut
berinteraksi diilustrasikan dalam contoh hipotetis sebagai berikut.
Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali, kecuali 10
yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belum
diimunisasi, semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit
25 orang. Kelompok anti imunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah
71,4% (25/35) dari kelompok yang pernah imunisasi dan 28,6% (10/35) dari kelompok yang tidak
pernah imunisasi. Padahal bila dihitung efek proteksi, maka imunisasi memberikan perlindungan
sebesar (990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek proteksi sebesar 0/10
= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak;
dibanding kurang dari 2% murid yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita
sakit campak. Dengan demikian jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.
3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan
bahkan kematian.
Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin
bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan pada bekas suntikan atau
demam ringan. KIPI secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca
imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI dengan sendirinya
hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan seharihari tanpa
adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang

memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan bersifat ko-
insidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua
kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang
mungkin berhubungan dengan vaksin. Institute of Medicine tahun 1994 menyatakan bahwa
risiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).
Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek
simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka
vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit
dibandingkan dengan risiko vaksin seperti yang terlihat pada Tabel 11.1.
Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin

Penyakit Vaksin

Text Box: Campak MMR

Difteria DTaP
Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih

kembali

Tetanus Kejang/renjatan lalu

Meninggal 2: 10 pulih kembali

Ensefalopati akut

Pertussis Kematian

Pneumonia 1:8

Ensefalitis 1 : 20

Kematian 1 : 200
Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko komplikasi maupun
kematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan menderita lebih banyak sakit jika
tidak mendapat imunisasi.
4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita,
sehingga anak tidak perlu imunisasi
Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang telah menurun
drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapapun,
termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit itu secara tidak sengaja dan dapat
menimbulkan wabah.
Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu. Sejak
tahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan
April 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar
tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret
2005 yang tidak pernah diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya
menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006
tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) di
Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik virus,
diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang
diisolasi di Arab Saudi dan Yaman.
Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua
alasan. Alasan pertama adalah anak harus diindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah
kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasan
kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak
yang tidak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan
sebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap

imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang


diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan
penyakit kepadanya.
5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai penyakit pada waktu tertentu
meningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun
Anak -anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri
yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri yang
hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran napas bagian atas akan menambah paparan 4-10
antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50
antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine menyatakan bahwa dalam keadaan normal,
penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban
tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan
bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak
normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan
American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of Family Physicians
(AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan
pemberian vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah
suntikan yang diperlukan untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi. Keuntungan lain
adalah mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi biaya kunjungan
ke fasilitas kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.
Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek simpang secara keseluruhan. Vaksin
kombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi efek simpang lebih rendah disbanding vaksin
diberikan terpisah. Schmitt dkk membandingkan respon antibodi dan efek simpang vaksin
pada kelompok anak yang mendapat vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu suntikan dengan
kelompok

anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan perbedaan bermakna
dalam efek simpang vaksin pada regimen yang berbeda.
Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin dalam satu kunjungan, yaitu anak
mendapat perlindungan sedini mungkin dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalah
pemberian vaksin simultan akan menghemat waktu dan biaya serta mungkin kurang
traumatis bagi anak.
6. Vaksin MMR menyebabkan autisme
Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai dengan gangguan
interaksi, komunikasi serta perhatian dan aktivitas yang repetitif dan restriktif.
Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital London, tahun 1993
melaporkan adanya hubungan antara virus campak dan vaksin campak dengan
Inflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian dilakukan pada 25 anak dengan penyakit
Crohn dibandingkan dengan 22 anak normal. Tahun 1998 peneliti yang sama melaporkan
sindrom baru dari IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembangan seperti autism.
Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan absorpsi vitamin dan
nutrien esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya menimbulkan autism. Hubungan
kausal dalam penelitian ini, dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan.
Kekurangan pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat selektif yaitu
yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakili populasi pasien secara
umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus tidak dapat menentukan adanya
hubungan kausal. Kelemahan yang terpenting adalah hubungan
vaksin dan autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderung
menghubungkan gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.
Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12 kasus,
menunjukkan gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.

Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain tentang pemeriksaan virus campak pada
pasien inflammatory bowel disease, dugaan mekanisme terjadinya autism setelah vaksin MMR,
yang mengandung vaksin campak, tidak terbukti karena tidak mengandung virus campak.

Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO menyimpulkan bahwa dari data
epidemiologi yang ada saat sekarang, tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara virus
campak dan IBD. Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO dan internasional
berkumpul untuk membahas masalah tersebut dan berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti
yang ada saat itu, tidak ada hubungan antara campak, vaksin campak dengan penyakit Crohn
(IBD) ataupun autisme.
7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan

Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara persemakmuran)


merupakan preservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmekuri, suatu
senyawa organik yang dimetabolisme menjadi merkuri. Thiomersal mengandung
49,6% merkuri, dan berguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada
vaksin multidosis. Thimerosal telah digunakan di dalam vaksin sejak tahun 1930an.
Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal, pada bayi baru lahir
terutama bayi kurang bulan, secara teoritis dapat meningkatkan kadar merkuri dalam
darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar merkuri itu masih dalam
rentang ‘normal’ yang diacu oleh US Department of Health & Human Services. Sejauh ini
tidak ada bukti ilmiah bahwa thimerosal vaksin mengakibatkan gangguan perkembangan
anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism
dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode
pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian
vaksin bebas thimerosal, insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa vaksin dengan

thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkan
lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal, menunjukkan
bahwa tidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkan efek buruk
pada perkembangan saraf maupun psikologis.
Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority (FDA) menghimbau semua
produsen vaksin agar menghilangkan atau mengurangi thimerosal dari vaksin. Demikian pula
American Academy of Pediatrics (AAP) dan United States Public Health Service (USPHS)
mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengurangi atau menghilangkan thimerosal dari
vaksin. Pada tahun 2000 diluncurkan vaksin hepatitis B baru tidak mengandung thimerosal.

Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di atas, ada beberapa pandangan
salah yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya
Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi.
8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya tidak bekerja

Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas vaksin. Imunogenitas


adalah kemampuan vaksin tertentu untuk membentuk imunitas atau kekebalan pada
individu yang menentukan daya proteksi vaksin. Reaktogenitas
adalah respons tubuh yang tidak nyaman yang timbul setelah imunisasi.

Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah penyuntikan


pertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga adalah 68%-
81%. Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan demam menetap setelah
penyuntikan sekitar 46,9%.
9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum ASI selama beberapa jam

Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu bahwa setelah imunisasi polio
oral, pemberian ASI perlu ditunda untuk jangka waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk

menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1 jam. Pendapat tersebut
tidak beralasan.
Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti oleh John dan kawan-kawan,
pada 300 bayi berusia 6 - 51 minggu di India. Bayi dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat
vaksin polio oral (OPV) trivalen. Grup pertama mendapat ASI on demand, namun wajib
mendapat ASI dalam interval 30 menit sebelum sampai 15 menit sesudah OPV. Pada grup
kedua, tiga, empat, lima pemberian ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah dan sebelum
OPV. Grup ke enam mendapat susu formula. Sampel darah diambil pada saat sebelum
imunisasi dan dari 227 bayi pada 4 minggu setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga.
Dilakukan pengukuran antibodi terhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama dan
ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons rate sama pada seluruh kelompok yang
mendapat ASI, tidak tergantung pada jadwal pemberian ASI, demikian pula pada kelompok
susu formula. Dengan demikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan
antibodi terhadap OPV pada bayi setelah periode neonatus.
Daftar Pustaka

1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www.


who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal
19 Februari 2007.
2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to
respond to them. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm
tanggal 19 Februari 2007.
3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the common
fevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria Toxoid.
Dalam Plotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders, 2004:211-28.
4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments against
immunization. A guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and
Aged Care, 2001.

5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and
Developmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does
Not Support a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen,
Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the
Occurrence of Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based
Data. Pediatrics 2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States
Public Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination
of infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio
virus and Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed
injections. J Pediatr 2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce
distress and are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.
Bab XI-2

Kontroversi dalam Imunisasi

Ismoedijanto

Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Program
kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angka
kesakitan. Namun demikian, masih banyak kontroversi yang muncul dari faktor penerapan
program imunisasi, vaksin dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Pada
suatu saat sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya pemicu yang
timbul di masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak
yang sehat, sehingga betapapun kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman
pada orang tua. Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons tubuh dengan
sengaja, agar anak kebal terhadap paparan penyakit yang dituju di kemudian hari. Pada
perjalanan sejarah imunisasi, keseimbangan antara imunitas dan reaktogenitas ini sering
berubahubah, tergantung pada vaksin ataupun interaksi yang terjadi antara vaksin dan
resipiennya. Perubahan keseimbangan ini dapat memicu kontroversi imunisasi, terutama bila
skala besaran program menjadi sangat besar, misalnya imunisasi global. Meskipun proporsi
reaktogenitas tetap, namun besaran program menyebabkan jumlah kasus menjadi lebih
menonjol, dan menjadi lebih menakutkan.
Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja namun harus dipandang
sebagai tindakan epidemiologik dan dinilai keberhasilannya dengan parameter
epidemiologik, yaitu berapa banyak kasus dan berapa banyak penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan setiap
negara, mengakibatkan perbedaan kebutuhan akan imunisasi.

Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan acuan utama pada saat kita
merencanakan dan memutuskan upaya imunisasi. Selanjutnya berkembang praktek imunisasi yang
menekankan pada perlindungan individu, selaras dengan konsep penghargaan pada individu di
negara Barat. Praktek imunisasi menggunakan segala teknologi kedokteran yang ada, vaksin yang
efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas kemungkinan menjadi sakit.

Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih berada di sekitar
kita, mengancam kematian dan kecacatan, merupakan alasan menempatkan imunisasi
sebagai ujung tombak kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat manfaat imunisasi,
sampai ada bukti ilmiah yang menghentikannya. Kembali keseimbangan akan imunitas dan
reaktogenitas merupakan pertimbangan yang harus dikaji, melebihi pertimbangan lain seperti
pertimbangan keuntungan dan sebagainya.
Beberapa kontroversi yang timbul

1. Pelaksanaan program imunisasi

Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan dengan para penentu
kebijakan di masa yang lampau dan bahkan sampai saat ini. Dari sejarah kita ketahui
adanya pertentangan program imunisasi di masyarakat, yaitu sejak masa Pasteur
mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa
perang Boer. Demikian pula penentang imunisasi cacar di Inggris yang sampai
membawa masalah tersebut ke parlemen, bahkan perseteruan juga terjadi saat imunisasi
telah menjadi program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DTP
karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II, vaksin
berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi biakan pada sel hidup
yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa waktu keberhasilan imunisasi
mencegah kejadian penyakit dan bahkan mampu menghilangkan penyakit cacar dari

bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian muncul kembali pada
permulaan tahun 2000-an, yaitu dengan masih banyaknya orang tua yang menentang program
imunisasi melalui media massa. Vaksin DTaP yang kurang menyebabkan panas dapat
meredam sikap anti imunisasi sampai timbul kasus autisme yang menurut penelitian
Montgomery disebabkan oleh karena suntikan MMR. Kelompok penentang imunisasi pada saat
ini menggunakan media maya (internet) untuk memicu isu-isu anti imunisasi dengan bukti
ilmiah yang tingkat evidence-nya rendah namun sensasional
Masalah yang dilontarkan adalah:

a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak warganegara untuk
memilih tidak diimunisasi (hak untuk sakit dan menjadi sumber penularan). Khusus di
Indonesia, Undang Undang Wabah memberikan sanksi pada siapapun yang
melalaikan atau menghalangi pelaksanaan penganggulangan wabah.
b. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap
beberapa penyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka panjang,
penyakit tersebut pindah ke usia yang lebih tua.
c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit lain pada
usia lain dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain.
Bagi para ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini
bukan merupakan masalah baru.
2. Vaksin dan keamanannya

Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan dan dibuat
dengan menggunakan teknologi kedokteran yang paling maju. Vaksinologi telah menyerap
begitu banyak teknologi kedokteran yang terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin ini.
Bahkan Katz, 1999, menyebutnya sebagai the best science can give. Meskipun minimal ada
kelemahan dari metode imunisasi

ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman. Kelemahan ini
mungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam jangka waktu yang lama. Masalah
yang kemudian muncul adalah siapa yang berminat untuk membiayai penelitian yang
membuktikan adanya efek samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi?
Vaksin adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat dibuktikan
cacat. Kontroversi berasal dari
a. Jenis dan bahan vaksin

Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup, vaksin polisakarida, vaksin
rekombinan) semuanya dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan “kelemahan”
yang berbeda pula. Vaksin hidup paling banyak menuai tuduhan, karena atenuasi atau
proses pelemahan yang kurang kuat akan menyebabkan penyakit atau menyimpangnya
respon imun penerima.
b. Bahan dalam vaksin

Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku, bahan
pewarna dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin. Bahan ini
bermanfaat untuk penyimpanan vaksin dosis multipel, sehingga biaya
imunisasi dapat ditekan. Bahan merkuri merupakan bahan yang paling
digunjingkan merusak otak, seperti kasus keracunan merkuri di Minimata.
Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh

dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu paruh tubuh adalah 50


hari. Paparan merkuri secara menahun bersifat neurotoksik dan nefrotoksik,
Meskipun bahan ini dalam vaksin selama imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masih
lebih rendah dari batas minimal yang direkomendasikan oleh WHO, bahan ini akan
dihilangkan dengan risiko harga vaksin akan per dosis meningkat. Vaksin yang bebas
merkuri adalah
MMR, OPV, campak, BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP

dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah


sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan glutamat pada vaksin cacar air,
neomisin dan streptomisin untuk mencegah tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dan
sebagainya. Bahan ini dianggap beracun, namun perlu informasi ambang kadarnya yang
berbahaya. Bahan makanan dan minuman yang dikomsumsi sehari-hari mungkin juga
mengandung bahan ini, tergantung pada kondisi lingkungannya. Formaldehid sisa tidak
boleh lebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia) atau 0.004%
w/v (Australia Therapeutic Good Administration).

c. Manfaat dan efikasi vaksin:

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin, dinyatakan pada
perbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi. Outcome atau komplikasi
yang terjadi pada penyakit campak di negara berkembang adalah kejadian pneumonia 1
kasus dari tiap 25 kasus klinik dan ensefalitis 1 kasus setiap 2000 kasus atau 500 kasus
setiap 1.000.000 penderita. Reaksi samping yang terjadi pada suntikan campak adalah
bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1 diantara 10 suntikan, ruam pada 1 anak
diantara 100 suntikan dan kemungkinan ensefalitis 1 diatara 1.000.000 dosis. Pada
penyakit gondongan komplikasi mungkin terjadi kasus ensefalitis 1 kasus tiap 200 kasus
atau 15.000 kasus diantara 3.000.000 kasus, sementara pada imunisasi kemungkinanan
ensefalitis kasus terjadi pada 1 kasus diantara 3.000.000 dosis . Komplikasi pada rubella
yang paling berat adalah adanya sindrom rubela kongenital pada 9 kasus diantara 10
kehamilan bila serangan terjadi
pada 10 minggu pertama, inflamasi otak pada 1 diantara 6000 pasien, nyeri sendi pada 1
diantara 2 pasien yang sudah remaja, sementara bengkak, demam, meriang mungkin terjadi
pada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya nyeri sendi, pembesaran kelenjar
pada 5 kasus setiap 100 dosis. Angka diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risiko
imunisasi.

d. Kecenderungan genetik yang menyimpang

Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetik yang menyimpang,
sehingga seringkali tidak dapat memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin
tinggi cakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam imunisasi
yang mempunyai kecenderungan genetik tidak semestinya.
KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi sangat bermanfaat untuk
memperbaiki kualitas program imunisasi namun peningkatan kasus KIPI (Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi) akan menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi, menurunkan
angka cakupan dan akan menaikkan risiko wabah kembali.
3. Respon imun penerima vaksin

Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan tubuhnya
tidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau menjadi karier sehat.
Anak yang mendapat kortikosteroid, penderita HIV, anak dengan malnutrisi berat,
merupakan contoh anak bermasalah. Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi
imun akan mengakibatkan pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak
normal. Banyak keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat
pada rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.
Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai akibat
kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat dari imun respon
yang menyimpang ini, sering ditimpakan pada kualitas atau kuantitas antigen (vaccine
safety) dalam vaksin atau bahan lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan
(screening) anak dengan indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena
metode pemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum
memberikan imunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions) dibaca sekali lagi.

4. Adanya pemicu

Seringkali suatu masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir.
Beberapa pemicu masalah besar antara lain,
Autisme

Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian

yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin

MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang


diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess, autoimmune, virus campak
dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang diajukan tidak menggunakan paradigma
epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan bukti yang
sahih. Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas
ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian

dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya hubungan sebab -akibat
antara ASD (autistic syndrome disorder) dan
MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan temporal antara
awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak memberikan dukungan
hubungan suntikan MMR dengan kejadian
regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara

suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak

belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak

monovalen atau MMR atau virus campak liar.

IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa terjadi secara alamiah, pada anak
dengan kelainan genetic, seperti adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos
lewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat ditentukan. Hubungan yang diyakini
ada baru sebatas gagasan hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahan yang akan
menyebabkan kelainan perilaku belum mendapat kesepakatan yang jelas. Berapa proporsi anak
yang mempunyai infeksi virus campak yang persisten setelah imunisasi dan berapa proporsi anak
yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih lanjut. Bukti

hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum dapat dirangkai menjadi
kesimpulan yang sahih. Banyak bagian dari jigsaw puzzle ilmiah yang belum terisi. Baik
pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan Wakefield akhirnya
menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur.
Reaksi neurologik

Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini sangat jarang
dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang diduga akibat vaksin terbagi menjadi:
demyelinating disease (ADEM dan GBS).
non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy, brachial neuritis).
Reaksi imunologik

Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai reaksi tubuh terhadap
bahan tambahan maupun bahan dasar vaksinnya sendiri. Reaksi pasca imunisasi terutama
mengarah pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksi antibodi
dengan antigen jaringan, reaksi Arthus dan delayed type hypersensitivity. Reaksi pasca
imunisasi seharusnya dapat diketahui dengan memperhatikan butir-butir kewaspadaan dan
indikasi kontra sebelum memberikan imunisasi.

Autoimun

Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengan


kenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba dipakai sebagai alat untuk
menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan
mempunyai evidence-based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan
imunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular.
Menggugah respon imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari
komponen imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri. Meskipun

paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang yang
membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai kenaikan insidens penyakit
autoimun searah dengan kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang
sahih mengenai pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan
insidens penyakit autoimun.
Diabetes

Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi virus (gondong, rubella) dan
IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan
antara

IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain

virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang menyerang sel
pankreas, sehingga terjadi gangguan produksi insulin.
Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan

Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa perdebatan dan


perbedaan pendapat antara pada pakar yang makin membingungkan orangtua.
Ada beberapa tip yang bisa membantu para sejawat mencari jalan keluar masalah
kontroversi imunisasi.
• Penjelasan yang jujur

Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat diperlukan untuk mengimbangi
segala informasi penentang imunisasi yang seolah-olah berdasar alasan yang kuat dan
disertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan secara proaktif, diberikan
pada setiap orang tua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksin tertentu, meskipun
orangtua tidak menanyakannya secara aktif. Selain membangun
komunikasi yang baik antara dokter dan orang tua, kesempatan ini akan memancing mereka
sehingga mampu atau tidak malu-malu menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan
mencakup manfaat

imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana orangtua menunjukkan


penolakan atau keraguan, sebaiknya imunisasi ditunda dulu sampai orang tua yakin
akan tindakan yang kita lakukan pada bayinya.
Menunjukkan empati dan perhatian yang besar Membeberkan kelemahan alasan
anti-imunisasi saja tidak cukup, orang tua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangat
memperhatikan dan membantu orang tua dalam upaya membesarkan anak.
Kepercayaan pada dokter akan memperkuat penerimaan orangtua pada imunisasi,
sehingga keraguan dan kemungkinan ikut hanyut secara emosional pada kelompok
penentang imunisasi dapat dibatasi.
Menghindari pertempuran emosi
Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis dan rasional. Menghadapi
orangtua yang kecewa atau marah dengan kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiran
yang digunakan sangat tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan akan membawa
hasil yang lebih baik.
Membekali diri dengan pengetahuan

Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokokpokok dasar


imunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat tiap vaksin yang
kita gunakan.
Daftar Pustaka

1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review:


Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety Review
Committee, Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001
2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine
recommendation challenges and controversies, challenges and controversies in
immunization safety. Infectious Disease Clinic of North America 2001; 15: 1-16.

3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly,
Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage
in California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism:
nested case control study using data from the UK general practice Research Database
BMJ 2002;325:419-421.
6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of
measles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med 347;19:1474-6.
8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001
9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada
anak. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Pen gantar

Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan jelas kepada orang
tua atau anak yang telah besar mengenai berbagai hal yang ditanyakan. Pemberi
imunisasi harus selalu siap dengan jawaban yang sering ditanyakan oleh mereka.
Pengetahuan mengenai imunisasi pada umumnya terutama keuntungan yang
didapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar daripada kerugian apabila dia harus
menderita penyakit. Pada umumnya efek samping merupakan hal yang terbanyak
ditanyakan, namun adanya isu -isu negatif terhadap imunisasi perlu mendapat
perhatian para dokter. Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan
pertanyaan dan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian jelaskan dengan
bahasa awam yang mudah dimengerti.

Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jadwal imunisasi

Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit
berbeda-beda ?
Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antara
lain karena: sumber rujukan yang berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua,
atau pertimbangan khusus berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknya
menggunakan jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI,
karena dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan epidemiologi penyakit
tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar di Indonesia dan negara tetangga serta
memperhatikan anjuran dari WHO (Badan Kesehatan Dunia),
Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?

Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal Imunisasi PPI
Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab IV tentang Jadwal
Imunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula hal-hal lain: keadaan dan riwayat
bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca
imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi cacar air sebelum umur 10
tahun). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukan
penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal
imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?
Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi sesuai jadwal, berarti
belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah
terlewat jauh beberapa tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting,
karena kemungkinan tertular semakin kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting,
walaupun sudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk mengejar imunisasi
yang terlewatkan.
Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah perlu diimunisasi
lagi ? Mengapa perlu ?
Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT
(kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayi
ternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih banyak
dijumpai kasus difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5 kali
suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umur dewasa akan
berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV tentang Jadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?

Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan,
demikian pula DTP, hepatitis B dan Hib.
Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan Bayi/anak sedang
pilek batuk bolehkah diimunisasi ?
Boleh. Batuk pilek ringan tanpa demam boleh diimunisasi, kecuali bila bayi sangat
rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.

Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang harus dipertimbangkan
adalah penyakit dan keadaan bayi/anak sesuai pedoman umum vaksinasi.
Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?

Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/ hari, dianjurkan menunda imunisasi
1 bulan setelah selesai pengobatan.
Jika sering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ?

Boleh, karena steroid inhalasi tidak menekan sistem imun, asalkan digunakan sesuai dosis
yang dianjurkan.
Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ?

Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam keluarga bukanlah
indikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh harus diingatkan
bahwa sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu dianjurkan untuk segera
memberikan obat penurun panas. Harus diingatkan pula bahwa demam pasca vaksinasi
campak baru timbul 5 - 10 hari setelah imunisasi.
Penderita alergi bolehkah diimunisasi ?

Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita harus sangat berhati-hati
jika anak alergi berat terhadap telur. Jika ada riwayat reaksi anafilaktik terhadap telur
(urtikaria luas, pembengkakan mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi,
penurunan tekanan darah atau syok) merupakan indikasi kontra untuk vaksin influenza,
demam kuning dan demam Q. Sedangkan untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi
anafilaktik sangatjarang, masih boleh diberikan dengan pengawasan.

Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah suntik ? Atau
vaksinnya kadaluarsa ? Apakah berbahaya ?
Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan misalnya
bengkak, kemerahan, gatal, nyeri, selama 2 sampai 3 hari. Hal itu tidak berbahaya karena
merupakan reaksi normal dari tubuh terhadap vaksin yang bersifat individual. Kompres hangat
dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadangkadang teraba benjolan kecil yang agak keras
selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi
tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam
1 - 2 hari.
Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelum dan sesudah imunisasi ? Apakah tidak
mengurangi potensi vaksin ?

Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama DPT/DT, boleh diberikan obat
penurun panas (berisi parasetamol) kepada bayi/anak untuk mengurangi nyeri dan demam
pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas atau nyeri, maksimal
6 kali dalam 24 jam. Obat penurun panas tidak menmpengaruhi potensi vaksin. Jika keluhan
masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.
Kekebalan setelah diimunisasi

Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit tersebut ?

Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut, namun
jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami.

Apabila bayi/anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan bolehkah
di imunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut?
Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut vaksinasi tidaklah berbahaya.
Vaksinasi bayi/anak dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium banyak yang
meragukan. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap diberikan MMR.

Polio

Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas, mencret ?

Walaupun sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang dapat terjadi mencret ringan,
tanpa demam.
Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ?

Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan, artinya tidak dapat menimbulkan
kelumpuhan, tetapi masih bisa berkembang biak dan bisa merangsang kekebalan didalam usus
maupun di dalam darah bayi dan anak. Namun bila meneteskan terlalu banyak sebaiknya dicatat
identitas bayi/anak, kemudian dilakukan pengamatan selama beberapa minggu.

Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan pemberian
vaksin polio oral ?
ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari 1 minggu.
Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi yang dapat mengikat vaksin
polio oral. Susu formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.

Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ?

Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin polio dengan
dosis sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan harinya.
Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral)
atau yang disuntikkan ?
Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih hidup tetapi
dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan dapat merangsang usus
dan darah untuk membentuk zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila
ada virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio
liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan
di dalam darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak
tersebut, dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot lengan atau paha, sehingga
tidak dapat berkembang biak di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapat
menimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk
ke dalam usus bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa
berkembang biak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia tidak
sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena virus polio liar masih bisa
berkembang biak diususnya, maka bisa menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat
menyebabkan kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau
wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus diberi virus polio
yang diteteskan ke dalam mulut, agar ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga
menghentikan proses penyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus
polio liar, maka secara bertahap dapat menggunakan virus polio suntik.

Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah, misalnya karena
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat
obat-obat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau didalam rumahnya ada pasien tersebut.
Hepatitis B

Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau bengkak ?

Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat
penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi.
Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin,
jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi
berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
BCG

Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang
menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?
Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena
merupakan reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula) dapat membesar
dan terjadi korengi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan
menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat
mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng
semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.

Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih mahal ?

Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus.
Perbedaan utama pada komponen antigen untuk pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri
Pertusis utuh yang berisi ribuan antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan, sehingga
sering menimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan. Sedangkan
vaksin DTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak utuh dan hanya mengandung sedikit
antigen yang dibutuhkan saja, sehingga jarang menimbulkan reaksi tersebut. Karena proses
pembuatan DTaP lebih rumit, maka harganya jauh lebih mahal.
Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam tinggi, rewel, di
tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari.
Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin,
jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut
berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
Campak dan MMR

Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak
nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain
itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48
jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek.
Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR.
Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika
demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24
jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur 9 bulan ?

Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip campak, sehingga orangtua
bahkan dokter keliru, bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai
campak. Seandainya benar-benar pernah menderita campak, bayi tetap boleh diberikan vaksin
campak, tidak merugikan bayi, karena kekebalannya hanya bertahan beberapa tahun. Oleh
karena itu semua anak balita dan usia sekolah di daerah yang banyak kasus campak dan
cakupan imunisasinya masih rendah harus mendapat imunisasi campak ulangan (penguat)
agar kekebalannya bisa berlangsung lama.
Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis imunisasi
apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun
Departemen Kesehatan tetap merekomendasikan pemberian imunisasi sesuai
jadwal yang telah ditentukan.

Influenza

Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan batuk pilek lagi ?

Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza berat yang disebabkan oleh
virus Influenza A dan B jenis tertentu yang berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah
batuk pilek karena alergi, iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya.
HIB (haemophilus influenza tipe B) Apakah vaksin Hib untuk mencegah influenza ?

Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kuman Hib, yang
dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga
(otitis media) dan lain lain.
Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia, apakah
tidak perlu divaksin pneumokokus ?
Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia (radang paru)
yang disebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan pneumonia yang disebabkan
oleh kuman Pneumokokus tidak dapat dicegah dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksin
Pneumokokus. Oleh karena itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.
Tifoid

Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin tifoid ?

Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak berlangsung lama.

Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi cacar air
untuk mencegah bertambah banyaknya gelembung cacar air ?
Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti anak tersebut
sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah berkembang biak dan menyebar
keseluruh tubuh anak, sehingga vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut.
Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain harus
segera divaksin untuk mencegah penularan ?
Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air kemungkinan
besar anak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi cacar air agar tidak tertular.
Tetapi bila lebih dari 48 jam, kemungkinan anak sudah tertular virus cacar air tersebut,
kemudian sudah mulai berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi
tidak mampu mencegah kelanjutan penyakit tersebut.
Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?

Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai kekebalan
sampai dewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi
Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang disuntik

Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang dianjurkan,
apakah vaksinasi perlu diulang ?
Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat “mengingat” rangsangan
vaksin terdahulu. Lanjutkan dengan vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak
sesuai anjuran.

Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak berbahaya?

Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian tubuh yang letaknya berjauhan,
menggunakan alat suntik yang berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentang
pemberian vaksin.
Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda walaupun vaksinnya
sama. Apakah ada perbedaan kekebalan? (Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada
yang dilengan atau pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha).
Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain untuk
mendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf
di sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak akibat
gerakan, tekanan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan, atau sekedar
pertimbangan estetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan
kekebalan, asalkan kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang disuntik vaksin sesuai
dengan ketentuan untuk setiap jenis vaksin (intrakutan, subkutan, intramuskular).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi, bagaimana
jadwal vaksinasi selanjutnya ?
Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya dilanjutkan
sesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat sebaiknya dosis berikutnya tidak
dilanjutkan. Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DTP cukup berat, dosis berikutnya
menggunakan vaksin DT.

Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan mengurangi


dosis menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ?
Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat tidak dibenarkan,
karena tidak mengurangi kemungkinan KIPI dan kekebalan yang ditimbulkan
tidak memadai.
Daftar Pustaka

1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on
Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.
3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.

Text Box: Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia

Vaksin Bio Sanofi GSK BERNA Wyeth MSD


Farma Pasteur
Hib
PRP-T Act-Hib Hiberix
Tifoid Typhim- Thypherix
Hepatitis Vi Havrix
Avaxim
A 720
Varisela Okavax Varilrix
Influenza Vaxigrip Fluarix
Pneumo- Pneumo Prevenar
23
kokus (PCV)
(PPV)
Meningo-
Mencevax
kokus
Kolera Kolera
Rabies Rabies Verorab
HPV Cervarix Gardasil

Ket* MDV = multidose vial

Anda mungkin juga menyukai