Anda di halaman 1dari 12

Jalani Konsep Ajeg Bali

Gadis Bali dengan berpakaian adat saat mengikuti festival Kuta Karnival ke-10 di Pantai Kuta,
Bali, Rabu (10/10). Event yang rutin dilaksanakan setiap tahun ini dipadati wisata lokal maupun
internasional. Kuta Karnival yang berlangsung hingga Minggu 14 Oktober tersebut mengangkat
tema Prosperity World yang menandakan bahwa dunia perekonomian di Bali sudah mengarah
kepada kemakmuran pasca tragedi bom 10 tahun lalu. (TRIBUN MEDAN/DEDY SINUHAJI)
TRIBUNNEWS.COM,GIANYAR - Sebuah konsep mengenai Ajeg Bali, dipandang oleh Ida
Ketut Suryawan adalah hal yang sangat penting.

Mengingat, dengan hal tersebut bisa menampung semua kerajinan yang dihasilkan dari
pengerajin Bali.

Yang selanjutnya, hasil karya mereka bisa dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan. Dan
akhirnya digunakan untuk membeli hasil kerajianan masyarakat lainnya.
Pemilik Bagus Arts di Banjar Tebuana Sukawati Gianyar ini, menempatkan idealismenya dengan
berjualan jenis kerajinan tangan.
Baginya dengan posisi sekarang yang memiliki artshop sederhana, pria penggemar masakan
vegetarian ini bisa mengamalkan mantra suci yang paling sering terlontar saat ini, “Ajeg Bali”.
“Berbicara mengenai Ajeg Bali adalah kemandirian, hanya dengan kemandirian kita bisa
membantu teman-teman lainnya yang belum mandiri,” ujarnya saat di jumpai Tribun Bali, Rabu
(28/5).

Dalam sebuah artshop yang berukuran kurang lebih 4x3 meter tersebut, dirinya memajang
berbagai kerajinan tangan khas Bali.
Seperti berbagai jenis alat musik tradisional rindik dengan berbagai ukuran.
Selain itu, ada beberapa kerajianan lainnya seperti Pinekan, topeng, topi petani atau biasa disebut
capil dan lukisan.
Semua barang kerajinan tersebut, dijamin asli buatan tangan-tangan orang Bali.
Ia menjual barang dari warga sekitar artshopnya, namun ada juga beberapa barang yang
diambilnya dari luar. Barang-barang tersebut nantinya akan dijualnya kepada tamu domestik
maupun macanegara.
“Apa yang saya jual adalah untuk mewujudkan Ajeg Bali. Beginilah cara saya memparaktekan
teori tersebut,” ungkap pria asli Griya Jelantik Culik Karangasem ini.
Dari beberapa barang kerajinan yang dijualnya, satu diantara yang paling laris adalah rindik.
Hal ini dikarenakan keluarganya adalah pencinta rindik.
Bahkan ia mengaku anaknya yang belum genap berusia 10 tahun sudah pandai memainkan alat
musik yang terbuat dari bamboo tersebut.
Untuk rindik ukuran orang dewasa, yang kayunya sudah diukir dan diprada, Ia bisa menjual
dengan harga Rp 3,5 juta. Sementara untuk ukuran yang paling kecil, biasanya diapakai anak-nak
bermain harganya berkisar Rp 35 ribu sampai Rp 50 ribu.
“Tetap rindik sebagai benda yang dicari walaupun dalam jumlah yang tidak besar, dalam satu
hari hanya satu atau dua saja terjual,"jelasnya.
Untuk pedagang artshop di Sukawati, tentunya hari raya adalah moment yang berfaedah bagi
mereka. Pada saat Galungan dan menjelang Kuningan, Ia mengaku mengalami peningkatan
omzet.
Hal ini dinilainya wajar, karena uforia hari raya erat kaitannya dengan mengibur diri.
“Lumayan ramai, namanya juga perayaan. Untuk kedepan, sesuai dengan jiwa saya, saya akan
berkosentrasi terhadap produksi yang dihasilkan masyarakat Bali,” kata dia.
“Saya memulai Ajeg Bali dengan apa yang bisa saya lakukan dulu. Menguatkan diri sendiri, agar
bisa membantu orang lain. Cara saya hidup, cara saya berbisnis agar bisa mencerminkan
kemandirian,” jelasnya.
Siswa dan Guru Ajeg Bali Siapkan Generasi Penyelamat Bali

Pimpinan Kelompok Media Bali Post ABG Satria Narada (tengah) saat pembukaan Pasraman
Ajeg Bali di Pasraman Dalem Ketut, Lumajang, Tabanan. (BP/wan)
TABANAN, BALIPOST.com – Bali di segala hal sedang mengalami kritis. Hal ini perlu
disikapi bersama dalam menyelamatkan generasi penerus Bali. Salah satunya dengan
membentuk karakter pada generasi penerus, untuk Bali yang terus langgeng dari sisi
agama, adat-istiadat, dan budaya.
Hal tersebut dikatakan Pimpinan Kelompok Media Bali Post ABG Satria Naradha saat
pembukaan kegiatan Pasraman Ajeg Bali bagi para nominasi Guru dan Siswa Ajeg Bali Tahun
2019 di Pasraman Dalem Ketut, Lumajang, Tabanan, Kamis (8/8).
Sebanyak 36 orang nominator Siswa Ajeg Bali (SAB) dan Guru Ajeg Bali (GAB) 2019
mengikuti pasraman hingga Minggu (11/8) mendatang. Nominator SAB dan GAB terdiri atas
guru SD, SMP, dan SMK/SMA serta siswa SD, SMP, SMA/SMK. Masing-masing tingkatan
diikuti enam peserta.
Program pemilihan Guru dan Siswa Ajeg Bali ini bertujuan menjalankan swadarma, bagaimana
Bali yang ada manusia, alam, budaya serta kehidupannya, berlandaskan agama Hindu bisa tetap
berlangsung, dari generasi ke generasi berikutnya.

Para Guru dan Siswa Ajeg Bali ini, dikatakan Satria Naradha, selama di pasraman diajarkan
bagaimana membangun karakter secara alami, bagaimana cara menghadapi kehidupan yang akan
datang secara alami sehingga benar-benar memiliki karakter budaya Bali, agar nantinya mampu
melanjutkan penyelamatan alam, manusia, agama, dan budayanya.
Menurutnya, tantangan Bali ke depan cukup berat. Kegiatan pasraman guru dan siswa Ajeg Bali
ini merupakan fondasi atau dasar dalam menghadapi tantangan tersebut. Hal ini harus
dipersiapkan sejak dini. Kalau tidak dipersiapkan dari sekarang, akan hilang di tengah situasi
perkembangan internal dan eskternal Bali sendiri.
Sementara itu, I Gusti Ketut Suwela, GAB 2004, menyambut baik pernyataan pimpinan KMB.
Di era globalisasi saat ini sangat dibutuhkan penguatan karakter generasi penerus dalam menjaga
Bali. Melalui kegiatan positif seperti ini (pasraman ajeg Bali), kiranya mejadi benteng kita
sebagai orang Bali, pemeluk agama Hindu dalam menghadapi persaingan. (Agung
Dharmada/balipost)
131 Peserta Ikuti Seleksi Siswa dan Guru Ajeg Bali

Saat itu 131 siswa dan guru se-Bali mengikuti seleksi berupa tes wawancara dan kompetensi ajeg
Bali serangkaian Pemilihan Siswa Ajeg Bali (SAB) dan Guru Ajeg Bali 2019. Program ini
dirintis Bali Post sejak 2003. Peserta yang berjumlah 131 orang, terdiri dari 48 dari guru dan 83
dari siswa SD, SMP, SMA/SMK se-Bali. Mereka diuji oleh Paguyuban Guru Ajeg Bali yang
dipimpin Drs. A.A. Dalem Mahendra, M.Si., bersama Wayan Wenten, Made Musna, IB Pawana,
IB Sudirga, Ayu Made Puspawati, A.A. Rimbya Temaja dan Sudibawa.
Ketua Panitia SAB dan GAB 2019, I Made Sueca menegaskan peserta kali ini datang merata dari
seluruh kabupaten dan kota di Bali. Mereka beradu wawasan soal ajeg Bali, prestasi akademik
dan non-akademik, serta keterampilan dalam ajeg dan budaya Bali.
Aspek penilaian juga meliputi kemampuan bahasa asing. Ini artinya duta ajeg Bali nanti bukan
saja cerdas intelektualnya, tapi juga cerdas secara sosial dan spiritualnya. Mereka wajib memiliki
kompetensi budaya Bali. “Jadi, di ajang ini kita juga menghargai siswa dan guru yang cerdas,
kuat akar budayanya serta berdaya saing internasional lewat penguasaan bahasa asing,” tegasnya.
Di ajang yang digagas serangkaian HUT ke-71 Bali Post tahun ini akan dipilih 36 nominator.
Masing-masing enam orang setiap tingkat SD, SMP dan SMA/SMK.

Pada 8-11 Agustus mendatang akan digembleng di Pesraman Lumajang, Samsam agar SAB dan
GAB kuat karakternya. Hasil penilaian selama di pesraman ini dijadikan dasar menentukan para
juara. Ketua Paguyuban Guru Ajeg Bali, A.A. Dalem Mahendra mengungkapkan ajang
Pemilihan SAB dan GAB adalah komitmen krama Bali guna memperkuat SDM Bali,
mendukung visi Gubernur Nangun Sat Kerthi Loka Bali. KMB sebagai penyelenggara tak ingin
ajeg Bali hanya bisa diucapkan tanpa diikuti dengan penguatan SDM Bali. Untuk itu ia
mengapresiasi peserta seleksi SAB dan GAB semakin banyak. Bahkan sebagian besar guru ajeg
Bali sebelumnya semakin dipercaya sebagai tokoh di masyarakat dan oleh pemerintah diangkat
menjadi kepala sekolah. Dari rangkaian proses evaluasi, dia menilai kualitas peserta tahun ini
merata. Siswa dan guru banyak memiliki prestasi, baik di akademik dan ajeg Bali.
Ada yang menjadi guru sambil menjadi dalang dan mengajar guru pidarta bahasa Bali. Siswanya
juga ada yang menjadi penari arja, bondres, dalang, penulis lontar hingga juara lomba karya tulis
internasional, namun kuat budaya Balinya. ‘”Semua prestasi siswa dan guru, kami berikan skor
sesuai tingkat juara. Makanya juri harus bekerja keras dan hati-hati menentukan 36 besar,”
tegasnya.
Dukung Ajeg Bali, Pedagang Pasar Sangsit Kompak Berpakaian Adat

BULELENG, Balifactualnews.com Mendukung Ajeg Bali, Desa Adat Sangsit, mendukung


Pergub Bali no 79 Tahun 2018 tentang penggunaan pakaian adat bali pada setiap hari kamis.
Kepada tim Balifactualnews.com di lokasi pasar Sangsit, Kamis(10/10/19) Klian Desa Adat
Sangsit Wayan Wissara mengatakan, penggunaan pakaian adat bali ini pada saat hari kamis, dan
hari raya Purnama dan Tilem.

Hal ini diatur secara persuasif hanya dalam rangka pelestarian dalam rangka ajeg Bali, dengan
pemahaman tentang penggunaan pakaian adat bali, bukan menyangkut agama, dan tidak
mewajibkan bagi pedagang yang melaksanakan kegiatan teknis yang tidak bisa dihindari, seperti
yang tugas mengangkut, naik turun mobil mengangkut barang.

“Ini kita terapkan dalam rangka ikut melestarikan ajeg bali sesuai pergub gubernur no 79 tahun
2018,” jelas Wissara.
Terkait sanksi yang dikenakan Wissara mengatakan sementara belum ada sangsi yang diberikan
kepada pedagang yang belum menggunakan pakaian bali, hanya sebatas teguran saja, dan
pemahaman yang lebih jelas tentang pelestarian ajeg bali.
“Untuk pedagang yang belum menggunakan pakaian adat, tidak kami berikan sanksi, hanya
sebatas teguran saja,” ucap Wissara.
Sementara salah satu pedagang pindang Nyoman Sudarmi (65) mengatakan bangga bisa ikut
melestarikan ajeg bali. Dan sebagian besar pedagang yang ada di pasar tersebut sudah
menggunakan pakaian adat bali, walaupun ada beberapa yang belum. “Tyang malah bangga bisa
ikut melestarikan ajeg bali,” kata Sudarmi sambil tersenyum. (sri/ger)
Tri Hita Karana Dasar Ajeg Bali

(Kemenag Kab. Badung) Atas ijin Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Badung ( I Nyoman
Arya S.Ag.M.Pd.H), dalam usaha meningkatkan profesinalisme penyuluh dan pengawas serta
meningkatkan pemahaman umat Hindu terhadap agamanya sendiri, maka Pengawas agama Hindu
Tk. SD (Dra. Ni Wayan Sri Yustikia) disamping melaksanakan tugas pokok sebagai pengawas
juga memberikan dharma wecana kepada Karyawan karyawati yang beragama Hindu pada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Badung, pada hari Jumat, 24 Oktober 2014 yang bertempat di
aula kantor, menyampaikan materi “ Tri Hita Karana dasar ajeg Bali”. Yang dihadiri oleh Kasi
Urusan Agama Hindu (Dra. Ni Sayu Kade Supariati, M.Pd.H) beserta penyuluh, pengawas serta
pegawai yang beragama Hindu. Dalam Agama Hindu ada 3 (tiga) hal yang membuat kesukertan
kerahajengan pada kehidupan yakni Tri Hita Karana, Tri berarti tiga, Hita berarti Kebahagiaan
serta karana berarti penyebab yang terdiri dari (1) Parahyangan yang berasal dari kata Hyang yaitu
Sang Hyang Widhi (Tuhan), Cara menjaga keharmonisan terhadap Tuhan dengan memuja,
membuat tempat suci, mempelajari kitab suci dan lain sebagainya. Siapapun yang tidak akan
mendapat kebahagiaan, kerahajengan apabila lupa dengan Tuhan (Yayur Weda XXXI.18). (2).
Pawongan berasal dari kata wong yaitu manusia, menjaga keharmonisan dengan sesama yang
dapat diaplikasikan dengan memupuk rasa persaudaraan, saling menghormati, saling menghargai,
menjaga toleransi, dalam kearipan lokal “segilik seguluk selulung sabayan taka, menyama beraya,
saling asah, saling asuh saling asih, sehingga terjalin hubungan yang harmonis dengan keluarga,
tetangga, lingkungan tempat kerja, maupun tempat-tempat lainnya. Adanya harmonisan dengan
sesama dapat meminimalkan terjadinya komplik antar sesama sehingga terjalin hubungan yang
harmonis dalam upaya untuk mewujudkan hidup rukun. (3) Palemahan berasal dari kata lemah
yang berarti tanah atau bumi merupakan tempat kita berpijak. Menjaga hubungan yang harmonis
dengan alam dapat diaplikasikan dengan menjaga kebersihan lingkungan, menanam pohon untuk
meminimalkan pemanasan global, serta membuat aturan-aturan yang dapat meminimalisir
kerusakan lingkungan. Secara sekala khususnya Umat Hindu dapat dilakukan dengan upacara caru
sehingga keharmonisan dengan lingkungan alam dapat terjaga dengan baik sehingga lingkungan
alam dapat berdaya guna untuk kesejahteraan tanpa melakukan ekploitasi, ilegalloging terhadap
alam secara berlebihan. (Pokjaluh)
Joged Bumbung, “Anak Durhaka” Ajeg Bali

Oleh I Wayan Sumahardika


Sudah sejak lama sesungguhnya saya dan kawan-kawan di Teater Kalangan membayangkan
suatu pentas, di mana kami berkesempatan menyelami kehidupan suatu kelompok masyarakat
hingga menggali kenyataan-kenyataan di dalamnya.
Dalam benak kami, sudah tentu, ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dijadikan bahan kajian
pentas. Agak heroik memang kami membayangkannya. Bagai anak ABG labil tetumbenan saja
keluar rumah, ingin merekam segala kejadian yang lintas di kepalanya.
Dalam pentas kali ini, kami memberanikan diri keluar dari rutinitas pembentuk alam pikir kami.
Beranjak menuju kekosongan hingga sampai pada kenyataan di luar realitas kami sehari-hari.
Namun, kenyataan yang ada sungguh berlainan dengan apa yang kami bayangkan. Fenomena
joged porno yang notabene kami sepakati sebagai tema pentas tak serta merta sesuai dengan
khayalan kami.
Jika sebelumnya kami membayangkan fenomena ini akan banyak bicara tentang perjuangan para
penari dan sekaha joged porno dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang mencoba
mengekang ruang geraknya, pada kenyataan di lapangan hal tersebut ternyata hanyalah serpihan
narasi dari realitas besar tentang eksistensi mereka sebagai penari dan sekeha joged porno.
Berdasarkan observasi dan wawancara selama beberapa hari yang kami lakukan di Desa
Silangjana, Seririt, Patemon, dan Marga, kami menemukan kenyataan bahwasanya para penari
dan sekeha joged porno bukanlah individu atau kelompok lemah yang merasa kalah oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka senantiasa siap dengan berbagai kemungkinan
sesilangan makna, peristiwa dan segala hal yang melintasi realitas mereka.
Sebutlah, misalnya, kreativitas para sekaha joged yang berkembang di banjar kebanyakan desa
Bali. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, begitu cairnya mereka merespon alat, gaya dan
bentuk musik luar Bali untuk diadopsi menjadi miliknya sendiri. Penggunaan bass, gitar, simbal,
rebana, bahkan didgeridoo tak jarang menghiasi aransemen joged.
Pada musik joged inilah saya merasakan spirit orang Bali yang begitu lapang dengan
perkembangan budaya di luar arena produksi kulturalnya sendiri.
Bukankah itu yang sering terjadi pada proses penciptaan kebudayaan Bali masa lalu, pun sampai
saat ini? Entah dilakukan secara sadar atau tidak. Dari zaman Bali Aga, Mpu Kuturan, Dang
Hyang Nirarta, Penjajahan, dan era globalisasi saat ini. Semuanya saling pengaruh
mempengaruhi, pinjam meminjam hingga tak bisa lagi disebut manakah yang Bali asli dan
manakan yang turunan.
Hal ini tentu berkebalikan dengan wacana-wacana media dan pemerintah yang terus saja
mengumandangkan ajeg Bali sebagai sesuatu yang beku tanpa menemukan konteks yang jelas.
Yang pada akhirnya membuat seluruh persoalan tentang tradisi budaya diobjektifikasi
sedemikian rupa dengan nilai-nilai ajeg Bali yang sayangnya bermuara hanya untuk kepentingan
pariswisata.
Alhasil, hal-hal di luar pariwisata seolah dikaburkan dan kian luput dari pandangan mata. Ini
pula yang menjadikan kerja-kerja kesenian joged memiliki daya juang berbeda jika dibandingkan
dengan kesenian lainnya. Daya hidup para sekeha joged ini telah mampu melintasi peristiwa,
ruang dan waktu yang berpotensi untuk mengehentikan kerja kreatifnya.
Sebab, sebagaimana yang diketahui, para penari dan sekaa joged ini adalah salah satu kesenian
yang boleh dikata terpinggirkan keberadaannya. Meski jarang dilirik oleh pemerintah tak jadi
soal. Mereka mampu menghidupi diri sendiri, dengan perjuangannya sendiri pula. Eksistensinya
dihidupi oleh masyarakat penggemarnya.
Bahkan, ketika eksistensi joged porno berusaha dihilangkan oleh wacana budaya pariwisata, para
seka joged ini lempeng saja menuruti aturan-aturan yang ada. Tanpa beban.
Pentas dalam rangka upacara agama, di pura-pura, balai banjar, rumah warga, hotel, bahkan
lapangan sepak bola begitu akrab digauli tanpa mengurangi esensi joged itu sendiri sebagai tari
pergaulan. Ketika waktunya penari sembahyang, ia sembahyang dengan khusyuk. Ketika menari
porno ia lakukan pula dengan kualitas dan kapasitasnya sebagai penari. Pun ketika dilarang joged
porno, ya nurut-nurut saja.
“Nahh.. luwung sih maksud pemerintahe ento.. nak pedalem masih jogede gisang-gisange keto
ajak pengibinge.. nak mule nyajang-nyajang pengibinge ento.. Kala yen sing ada pengibing ane
cara keto, joged masih kan sing ada.. nak serba salah gen iraga dadine.. jani sing be ada ane
bani joged porno..” Demikian yang dikatakan sebagian besar para penari dan sekeha joged yang
kami wawancarai tentang kebijakkan pemerintah.
Apakah karena mereka hidup berkecukupan jadi bisa bicara demikian? Kami berani katakan
tidak! Ini bukan masalah ekonomi, kemiskinan, atau sejenisnya. Bicara masalah ekonomi,
sebagian para penari dan sekaha joged ini dapat dikata hidup seadanya. Pekerjaannya rata-rata
menjadi buruh dan petani. Lalu, keikhlasan macam apakah ini sesungguhnya?
Kenyataan-kenyataan semacam inilah yang kemudian membuat kami menyelam kian dalam pada
persoalan joged di Bali. Tak cukup dengan penari dan sekaha joged saja, wawancara juga
dilakukan dengan perspektif seniman-seniman lintas disiplin lainnya. Artikel, sejarah, penelitian,
hingga komen dan status Facebook tentang joged kami cari.
Joged porno yang berkembang awal tahun 2000-an yang kehadirannya disinyalir dipengaruhi
oleh meledaknya goyang ngebor Inul, sejarah joged bumbung yang dulunya hanya menggunakan
alat musik bambu, joged yang digunakan sebagai alat pengecoh tentara Belanda di Desa
Patemon, tradisi “adar” yang kemudian menjadi cikal bakal judul pentas kami, juga bagaimana
interpretasi joged sebagai salah satu jenis tarian Bali dibentuk dari masa kanak, sekolah, sampai
dewasa, juga respon dan pembentukan wacana joged yang dilakukan oleh media dan pemerintah.
Saking banyaknya data-data yang diperoleh, alhasil niatan untuk menjangkarkan pentas pada
suara-suara yang redam di masyarakat jadi kian samar. Keterhanyutan kami inilah yang
membawa realitas joged bukan lagi sebagai tema dan tujuan pentas. Melainkan menjadi media
dalam memukan kenyataan-kenyataan yang tersisih dari wacana besar kebudayaan masyarakat
Bali hari ini.
Sekaa Joged Werdi Budaya Ramaikan PKB 2018 dengan Joged Ajeg Bali

Empat penari joged cantik yang siap mengajak penari untuk berjoged bersama di Panggung
Madya Mandala. Sekaa Joged Werdi Budaya, Desa Ambengan, Sukasada, Buleleng membuat
semarak Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Taman Budaya-Art Center, Denpasar.
Sekaa Joged Werdi Budaya termasuk salah satu joged yang mampu bertahan hingga kini. Berdiri
sejak 26 Oktober 2006, sekaa ini tetap eksis, bahkan penabuhnya belum pernah ganti personil.
Terlihat kemarin, anggota sekaa tersebut didominasi laki-laki berumur 50 tahun. Hanya
penarinya saja yang sering berganti.

Selain itu, di PKB mereka bahkan sudah tampil sebanyak tiga kali. Pertama tahun 2008, mereka
membawa joged tradisi era 70-an. Kemudian tahun 2011, mulai menampilkan joged kreasi.
Sedangkan tahun ini mereka menampilkan joged tradisi seni pakem.
Sekaa Joged Werdi Budaya berdiri sudah 12 tahun dan belum mengganti penabuh. Hanya
penarinya saja sering berganti, karena menikah. Sebab setelah menikah, mereka kebanyakan
tidak diizinkan lagi menari joged. Alasan tersebut mengapa hanya penarinya saja yang sering
diganti.
Jro Sirkayasa menegaskan kalau sekaa-nya konsisten menggunakan pakem joged ajeg Bali.
Pihaknya tidak khawatir kehilangan tawaran pekerjaan meskipun tetap memakai pakem yang
diwariskan pendahulunya. Walaupun joged jaruh saat ini semakin diperhatikan diperhatikan oleh
tim dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Budayawan, MUDP Desa Pakraman, dan Polda Bali.
Pakem joged ajeg Bali akan tetap mereka lestarikan. Karena inilah seni budaya yang diwariskan
ke kita.
Joged-joged sudah dibina dengan baik oleh Dinas Kebudayaan, dan layak untuk di apresiasi.
Karena tampilkan joged Bali juga membawa citra desa sendiri.
Sementara Kasi Kesenian Tradisional Dinas Kebudayaan Buleleng, Nyoman Mulyawan
mengatakan, kesenian Joged terus diperhatikan dengan pembinaan-pembinaan. Namun
menurutnya, Sekaa Joged jarang yang melakukan hal yang etikanya kurang. Biasanya, penari
lepas yang kadang melakukan hal itu. “Karena tuntutan ekonomi juga, lama tidak diupah,
akhirnya menerima permintaan goyang berlebihan seperti itu. Tapi di sekaa tidak ada yang
begitu. Lagian, kami selalu libatkan mereka dalan event-event festival selain PKB,” tandasnya.
16 SMP ikuti lomba Ajeg Bali

Sebanyak 88 peserta dari 16 MP di Kabupaten Buleleng mengikuti kegiatan lomba seni dan
budaya Bali.
Singaraja, Para peserta nampak begitu antusias dalam mengikuti lomba seni dan budaya Bali yang
dibagi menjadi lima kategori yakni Lomba Ngulat Tipat, Lomba Cerdas Cermat Agama Hindu,
Lomba Mapidarta Bahasa Bali, Lomba Busana Adat ke Pura dan Lomba Nyurat Aksara Bali diatas
daun lontar. Lomba yang diikuti oleh 88 peserta dari 16 SMP di Buleleng dibuka Asisten I Setda
Buleleng Arya Sukerta dengan didampingi ketua PHDI Buleleng Dewa Nyoman Suardana. Dalam
kegiatan lomba tersebut nampak tim SMP N 8 Singaraja bergabug untuk pertama kalinya dalam
kegiatan lomba. Seklah yang baru berumur satu bulan tersebut dengan semangat mengikuti lomba.
SMP N 8 Singaraja mengirim satu rangsiswa dan satu orang siswi dalam lomba mepidarta Bahasa
Bali dan Lomba Ngulat Tipat.
Ditemui disela-sela kegiatan, Guru Pendaping ang juga Guru Bahasa Bali Kadek Dewi Purnawati
menatakan, keikutsertaan SMP N 8 Singaraja bukan semata-mata untuk mengejar juara, melainkan
untuk memberikan pengalaman kepada siswa dalam 2 mata lomba yang diikuti. “Ini ada 5 lomba,
tapi kami hanya bisa mengambil 2 lomba sebagai motivasi untuk anak – anak,” ujar Kadek Dewi
Purnawati.
Hal senada diungkapkan pembina SMP N 2 Seririt Made Sutanaya mengatakan, ajang lomba seni
dan budaya bali ini dapat memberikan pengetahuan terhadap seni dan budaya bali. “Merasa sangat
gembira sekali artinya bisa menuangkan bakat – bakat siswa di sekolah,” tambah Made Sutanaya.
Ketua PHDI Buleleng Dewa Nyoman Suardana mengapresiasi partisipasi SMP N 8 SINGARAJA
dalam keterlibatannya [ada kegiatan Lomba Seni dan Budaya Bali. Disamping itu ia ja
menyayangkan salah satu sekolah di Bulele yang tidak ikut dalam kegiatan tersebut tiga kali
berturut-turut sepanjang dilaksankannya kegiatan Lomba Ajeg Bali.
Dewa Nyoman Suardana berharap kegiatan lomba seni dan budaya bali ini dapat membikan
motivasi kepada siswa dan guru pembina. Ia juga akan mengusulkan kepada Bupati Buleleng agar
setiap Hari Rabu seluruh masyarakat Bulelen baik sekolah maupun isntansi menggunakan Bahasa
Bali Sehari. “Ini momen terpenting sebenarnya bagi guru – guru terutama siswa juga agar dia
mengetaui bagaimana sih budaya Bali yang harus kita pertahankan,” ungkap Dewa Nyoman
Suardana.
Sementara itu, Asisten I Setda Buleleng Arya Sukerta mengapresiasi kegiatan Lomba Seni dan
Bdaya Bali yang diselenggarakan PHDI Buleleng dalam rangka meningkatkan kecintaan siswa
terhadap budaya Bali. (dyn/ea)
Setop KB, Koster Tegaskan Hak Warga Bali Punya Wayan-Made-Nyoman-Ketut

Gubernur Bali Wayan Koster (Foto: dok. Pemprov Bali)


Denpasar - Gubernur Bali Wayan Koster menginstruksikan kepala daerah di Bali menghentikan
sosialisasi 'Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak cukup atau dua anak lebih baik'. Koster
mengizinkan keluarga Bali melahirkan lebih dari dua anak.
Hal itu tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program
Keluarga Berencana (KB) Krama Bali. Dalam instruksi gubernur tersebut, KB Krama Bali
diarahkan untuk mengatur kelahiran, jarak, dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan
dengan tetap menghormati hak reproduksi sesuai kearifan lokal Bali yang bertujuan untuk
mewujudkan manusia/krama Bali yang unggul dan keluarga berkualitas.
"Menimbang bahwa adanya penghormatan atas hak reproduksi, mempunyai makna krama Bali
berhak untuk melahirkan anak lebih dari 2 (dua) orang, bahkan 4 (empat) orang, yang
penyebutannya terdiri atas wayan, made, nyoman, dan ketut, atau sebutan lain sesuai dengan
kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhur dan tetua krama Bali," demikian petikan
Ingub seperti dikutip detikcom, Kamis (27/6/2019).
Dasar Ingub yang dibuat Koster mengacu pada UU No 52/2009 tentang Perkembangan
Penduduk dan Pembangunan Keluarga, dan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 9/2015 tentang Perubahan Kedua
Atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Berikut petikan instruksi Koster tersebut:
Menginstruksikan Walikota/Bupati se-Bali
Pertama: Segera menghentikan kampanye dan sosialisasi 'keluarga berencana (KB) dengan dua
anak cukup atau dua anak lebih baik' kepada jajarannya yang menangani urusan keluarga
berencana.
Kedua: Memerintahkan seluruh jajarannya yang menangani urusan keluarga berencana agar
mengkampanyekan dan mensosialisasikan Keluarga Berencana (KB) Krama Bali berdasarkan
kearifan lokal yang diarahkan untuk mewujudkan manusia/krama Bali yang unggul dan
keluarga berkualitas.
Ketiga: Instruksi ini harus dilaksanakan dengan disiplin dan penuh tanggung jawab sebagai
pelaksanaan visi Pembangunan Daerah Bali 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali' melalui Pola
Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru.
Instruksi ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
KAMIS "AJEG BALI"

Setiap hari Kamis, seluruh pegawai lembaga dan instansi baik pemerintah maupun swasta di Bali
menggunakan busana adat Bali semenjak diberlakukannya Peraturan Gubernur No 79 tahun 2018
tentang hari penggunaan busana adat Bali. Dengan berlakunya Peraturan Gubernur ini, Peraturan
Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Bali sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 20
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali (Berita Daerah
Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 20) mengenai penggunaan pakaian dinas setiap Hari Kamis,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Waktu pelaksanaan Hari Penggunaan Busana Adat Bali yaitu pada jam kerja setiap Hari Kamis,
Purnama, Tilem, dan Hari Jadi Provinsi pada tanggal 14 Agustus.
Tujuan Hari Penggunaan Busana Adat Bali yaitu untuk mewujudkan:
a. menjaga dan memelihara kelestarian Busana Adat Bali dalam rangka meneguhkan jati diri,
karakter, dan budi pekerti;
b. menyelaraskan fungsi Busana Adat Bali dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah
pemajuan Kebudayaan Bali dan Indonesia;
c. mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam budaya Bali
untuk digunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional; dan
d. mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan industri busana lokal Bali

Anda mungkin juga menyukai