Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hipospadia

Galen (130-199 AD) adalah seorang dokter gladiator di Roma, merupakan

orang pertama yang menyebutkan kata hipospadia.Kata hipospadia berasal dari

bahasa Yunani "hypo" yang berarti dibawah dan "spadon" yang berarti celah.

Hipospadia adalah salah satu kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada

laki-laki dan merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada perkembangan

penis (Smith, 1997;Hadidi, 2004;Örtqvist L et al,2016).

Gambar 2.1. Galen, Dokter Gladiator (130-199 AD) (dikutip dari Örtqvist L
et al,2016)

10
11

2.1.1 Definisi

Hipospadia adalah kelainan letak uretra dan merupakan kelainan bawaan

pada anak laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di

bagian ventral atau bagian anterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang

tidak normal dan ukurannya lebih pendek daripada laki-laki normal. Letaknya

bervariasi sepanjang bagian ventral dari penis atau di perineum sebagai akibat

gagalnya penyatuan dari lempeng uretra, hipospadia berat didefinisikan sebagai

sebagai suatu kondisi hipospadia yang disertai dengan letak muara uretra eksterna

diantara proximal penis sampai dengan di perbatasan penis dan skrotum dan

mempunyai chordee (Saleem et al, 2012; Arnaud et al, 2011, Hadidi 2004, Örtqvist

L et al,2016; Keays and Sunit, 2017).

2.1.2 Insiden

Insiden hipospadia sekitar 3,8 dari 1000 kelahiran hidup anak laki-laki, hal

itu berarti sekitar 1 dari 300 anak laki-laki menderita kelainan hipospadia (Hadidi,

2004).Prevalensi hipospadia di negara barat sebanyak 18,6 banding 10.000

kelahiranhidup dan dilaporkan mengalami peningkatan disetiap tahunnya

(Bergman et al, 2015; Springer et al, 2016).Sebuah penelitian di Amerika Serikat

melaporkan bahwa hipospadia merupakan kelainan kongenital yang paling sering

pada orang kulit putih. Di Nigeria dilaporkan insiden hipospadia sebesar 1,1%

diantara anak-anak yang dalam tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Penelitian-

penelitian terbaru juga melaporkan insiden hipospadia terus meningkat pada

negara-negara industri (Hadidi, 2004; Aisuodionoe-Shadrach et al, 2015; Springer

et al, 2016).
12

Tipe hipospadia yang paling sering adalah tipe glanular atau koronal yang

mencapai 75% dari kasus hipospadia. Studi tahun 2016 dari 42 pasien hipospadia

yang ada di Sanglah Denpasar, didapatkan 33.3% pasien dengan tipe penoskrotal

(n=14); 21,4% pasien dengan tipe scrotal (n=9),26,2% pasien dengan penile (n=11);

14,3% pasien koronal (n=6); 2,4% subkoronal (n=1); dan 2.4% perineal (n=1)

(Duarsa dan Nugroho, 2016).

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari hipospadia sampai saat ini belum bisa ditentukan secara

spesifik. Shih dan Graham, 2014; Van der zanden et al, 2012dan Shekhar Yadav,

2011 berpendapat terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam terjadinya kelainan

hipospadia ini, yaitu faktor endokrin, genetik dan lingkungan. Hipospadia bisa

terjadi karena salah satu faktor tersebut maupun kombinasi dari ketiga faktor

tersebut.

1). Faktor Endokrin

Penyebab hipospadia yang paling potensial adalah dari faktor endokrin

karena pembentukan uretra pada laki-laki sangat dipengaruhi oleh androgen

sehingga sangat memungkinkan penjelasan dari penyebab hipospadia adalah dari

abnormalitas dari metabolisme androgen.Androgen Receptor (AR) bertempat di

kromosom Xq12 dan berperan penting pembentukan genetalia laki-laki melalui

interaksinya dengan testosteron dan 5-dihydrotestosteron (DHT). Konversi

testosteron menjadi DHT dikatalisasi oleh enzim 5-reduktase. AR mempengaruhi

ekspresi androgen dalam regulasi gen yang penting dalam perkembangan fenotip

seksual laki-laki dengan cara mengenali Androgen Response Elements (AREs) pada
13

DNA yang telah membentuk suatu ikatan dengan testosteron atau DHT di dalam

sitoplasma. Mutasi AR dapat mempengaruhi fungsi reseptor yang berakibat tingkat

kepekaan atau sensitivitas androgen berkurang secara parsial maupun komplit

(Örtqvist L et al,2016; Adamovic dan Nordenskjold, 2012).

2). Faktor Genetik

Insiden pasien hipospadia pada pasien yang mempunyai ayah yang

menderita hipospadia adalah sebanyak 7%.Insiden pasien hipospadia yang tidak

mempunyai riwayat saudara kandung maupun keluarga yang menderita hipospadia

adalah sebanyak 12%.Jika dalam satu keluarga terdapat 2 penderita hipospadia dan

salah satunya adalah ayahnya maka risiko terjadi lahirnya anak yang menderita

hipospadia meningkat menjadi 26%. Insiden hipospadia didapatkan 8,5 kali lebih

sering pada kembar monozigot. Mayoritas mutasi yang teridentifikasi ditemukan

pada individudengan hipospadia proksimal, hal ini menunjukkan bahwa hipospadia

proksimal memiliki lebih banyaketiologi monogenik atau poligenik sedangkan

hipospadia distal lebih merupakan etiologi multifaktorial.Kandidat gen yang jelas

untuk hipospadia adalah gen yang terlibat dalam pengembangangenitalia eksternal

laki-laki, dan mutasi ditemukan pada lebih dari 60 gen yang terlibatperkembangan

genital. Gen tersebut adalah WT1 (Wilms Tumor 1), SF1 (NR5A1 atauFaktor

steroidogenik 1) dan FSHR (Follicle Stimulating Hormone Receptor) yangterlibat

dalam pengembangan genitalia internal dan LHCGR (Luteinizing Hormon Reseptor

Choriogonadotropin), sebuah gen yang bertanggung jawab untuk bagian

selanjutnya dari perkembangan.Yang terpenting adalah gen reseptor androgen (AR)

dan gen untuk enzim dalamproses mengubah kolesterol menjadi testosteron


14

(misalnya 17β-HSD (17 beta steroid dehidrogenase) dan testosteron terhadap

dihidrotestosteron (DHT), SRD5A2 (5-alfa reduktase) (Örtqvist L et al,2016;

Duarsa dan Nugroho, 2016).

3). Faktor Lingkungan

Beberapa penelitian melaporkan hubungan hipospadia dengan bayi berat

lahir rendah (BBLR), bayi prematur, usia ibu saat hamil dan riwayat hipertensi pada

ibu.Hubungan kejadian hipospadia dengan BBLR dan prematuritas, dari analisis

univariat BBLR dan prematuritas, memberikan pengaruh terhadap kejadian

hipospadia. Bayi dengan berat badan lahir rendah dapat menjadi penanda bahwa

telah terjadi hambatan pertumbuhan janin karena plasenta ibu kurang dalam

memberikan nutrisi dan berkurangnya pula produksi hCG sehingga memengaruhi

sintesis androgen.Usia ibu saat hamil memiliki keterkaitan kejadian dengan

hipospadia, usia ibu di atas 35 tahun cenderung akan mengakibatkan hipospadia

4,17 kali lebih tinggi. Carmichael dkk melaporkan seorang ibu yang hamil pada

usia di atas 35 tahun memiliki risiko aliran darah plasenta yang tidak baik

dikarenakan kekakuan pembuluh darah. Dengan demikian, asupan nutrisi ke janin

terganggu sehingga mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan proses

metabolisme janin. Diet vegetarian yang dilakukan selama masa kehamilan,

menunjukkan hasil statistik yang tidak berhubungan dengan kejadian hipospadia.

Sementara itu, North melaporkan bahwa pada ibu hamil yang hanya mengonsumsi

sayuran hijau saja atau sedang menjalani pola makan vegetarian, dapat terjadi

penurunan vitamin B 12, choline, methionine yang akan memengaruhi sintesis

estrogen dengan pembentukan efek phytoestrogen. North mendapatkan bahwa diet


15

vegetarian memberikan pengaruh terhadap kejadian hipospadia 4,6 kali lipat

dibandingkan dengan ibu hamil yang menjalani diet normal.Hal ini disebabkan

fungsi plasenta yang terganggu mengakibatkan regulasi hormonal dan penyediaan

nutrisi pada janin terganggu sehingga memengaruhi pembentukan saluran uretra.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian

hipospadia dengan paparan lingkungan yang berhubungan dengan bahan kimiawi,

yaitu pestisida, zat kimia dapat mempengaruhi perkembangan dan maturasi seksual

dan fungsi reproduksi janin (ShekharYadav, 2011). Pestisida adalah kontaminan

atau bahan yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.Paparan

pestisida terhadap ibu yang sedang mengandung dapat berakibat terjadinya kelainan

seperti malformasi urogenital, memburuknya kualitas sperma dan kanker

payudara.Terdapat penelitian yang menunjukkan peningkatan insiden hipospadia

pada keluarga yang tinggal di dekat tempat pembuangan limbah di Eropa dan ibu

yang mempunyai riwayat pekerjaan dengan paparan pestisida mempunyai risiko

yang lebih besar melahirkan anak dengan kelainan hipospadia. Hal ini diperkuat

dengan adanya penelitian lain yang menunjukkan bahwa ibu dengan riwayat

konsumsi sayuran organik tidak mempunyai anak dengan kelainan hipospadia

(Örtqvist L et al,2016; Shekhar Yadav, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

Sekitar minggu ke-6 gestasi, tuberkulum genital berkembang ke arah

anterior menuju ke arah sinus urogenital.Pada minggu ke-8 terjadi maskulanisasi

genetalia eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis

fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel
16

Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin).

Testosteron diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5-reduktase tipe

II menjadi dihidrotestosteron. Untuk dihidrotestosteron menjadi lebih efektif,

dihidrotestosteron harus berikatan dengan reseptor androgen yang berada di

jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari maskulanisasi adalah menjauhnya

jarak antara anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus,

pembentukan uretra dan pembentukan preputium.Uretra dibentuk dari gabungan

tepi medial lipatan endodermal uretra.Peristiwa penggabungan tepi medial lipatan

endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan berakhir pada akhir

trimester pertama.Tepi ektodermal uretra bergabung menjadi preputium.Kegagalan

menyatunya lipatan endodermal uretra ini yang memicu terjadinya hipospadia

(Örtqvist L et al,2016; Kalfa et al, 2013).

Terhentinya perkembangan kanalisasi menyebabkan abnormalitas cakupan

ventral dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat kanalisasi,

menghasilkan pembukaan uretral ektopik. Pembukaan uretral umumnya terhenti

saat mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini terjadi selama minggu

14 dan 15 massa perkembangan. Semakin lambat penghentian terjadi maka semakin

distal hipospadia terjadi (Örtqvist L et al,2016).

Penghentian dini perkembangan menghentikan fusi dari lipatan luar genital

menghasilkan dua hemiskrotal.Kulit prepusium yang terbelah atau abnormal juga

merupakan konsekuensi dari penghentian perkembangan uretra. Pada usia

kehamilan delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis dan

bergabung pada dorsum penis. Karena tidak lengkapnya perkembangan uretra,


17

lipatan preputial tidak bisa melingkar di sisi ventral. Konsekuensinya

adalahpreputiumtidak terdapat pada sisi ventral, danjaringan preputial yang

berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus juga berkembang secara tidak

normal. Kekurangan pertumbuhan mesenkimal dapat menyebabkan rangkaian

raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu pada setiap sisi

distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area segitiga

antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan

subkutan,merupakan aspek penting selama operasi. Kelengkungan penis abnormal

yang diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak pasien dengan hipospadia, namun

lebih sering terjadi danlebih berat pada pasien dengan hipospadia tipe proksimal.

Pada kasus yang lebih proksimal, kelengkungan penis disebabkan oleh apoptosis

plat uretra / korpus spongiosum karena tidak adanyastimulasi androgenik

menghasilkan lengkungan pada corpus cavernosa. Jaringan fibrosa, yang dipotong

selama koreksi kelengkungan, disebut chordee.Kelengkungan penis pada pasien

dengan hipospadia distal lebih banyak disebabkan oleh kurangnya panjang kulit

atau pertumbuhan periurethral (Örtqvist L et al,2016).

2.1.5. Klasifikasi

Klasifikasi anatomi dari hipospadia sudah berkembang dari tahun 1938

sampai sekarang. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk mengidentifikasi letak

dari meatus uretra eksterna dan mendokumentasikan profil dari hipospadia tiap-tiap

pasien sehingga para ahli bedah urologi pediatri yang melakukan operasi koreksi

hipospadia ini dapat melakukan evaluasi serta membandingkan keuntungan dan

kerugian dari beberapa teknik yang digunakan. Tipe hipospadia yang paling sering
18

adalah tipe glanular dari keseluruhan kasus, sedangkan di RSUP Sanglah yang

paling sering adalah tipe penoskrotal (33,3%). Semakin proksimal letak meatus,

semakin besar kemungkinan muncul chordee (Hadidi, 2004; Duarsa dan Nugroho,

2016).

Gambar 2.2.Klasifikasi hipospadia berdasarkan lokasi meatus uretra


eksterna (dikutip dari Hadidi, 2004).

Secara tradisional hipospadi dulunya diklasifikasikan berdasarkan posisi

meatus yaitu distal (glandular, coronal dan distal penis) atau proksimal (proksimal

penis, peno skrotal, skrotal atau perineal), klasifikasi yang didasarkan atas letak

muara uretra akan sangat mudah untuk diketahui dan memudahkan komunikasi

antara dokter yang tidak terlatih untuk koreksi hipospadia. Bagaimanapun semakin

dekat posisi uretra tidak memberikan perkiraan tingkat keparahan untuk membantu

dalam koreksi bedah. Saat ini klasifikasi telah dideskripsikan dengan menyertakan

tingkat pembagian corpus spongiosum, curvatura penis, hipoplasia ventral dan

hubungan terhadap tulang pubis. Beberapa keadaan struktur anatomi penting lain
19

yang dapat mengintervensi kesuksesan koreksi bedah dan penampilan akhir dari

alat kelamin dapat diperhitungkan dalam klasifikasi seperti panjang penis, ukuran

glans dan kualitas dari lempeng uretra (Springer, 2017)

Klasifikasi simpel berdasarkan tingkat keparahan dan rasio cost benefit

untuk pasien adalah (Springer, 2017)

a. Hipospadia ringan

Hipospadia distal terisolasi (glandular, coronal atau penile) tanpa adanya

chordae, mikropenis atau anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada tipe ini

hanya didasarkan atas alassan kosmetik, sehingga koreksi bedah hanya

dilakukan jika angka komplikasi yang sangat rendah dapat dijamin

b. Hipospadia berat

Hipospadia tipe skrotal dan perineal atau tipe apapun dengan chordae,

mikropenis dan anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada kasus ini adalah

ditujukan untuk masalah fungsional. Pada kasus ini terdapat angka komplikasi

yang tinggi, akan tetapi manfaat untuk pasien yang menjalani operasi adalah

baik.

c. Redo Hipospadia

Indikasi operasi pada kasus ini adalah untuk meminimalisir beban setelah

menjalani operasi
20

Hypospadias
preoperative
androgen
application

Severe
Mild Hypospadias
Hypospadias

Degloving Erection
No Correction TIP And Others
Test

Good Urethral
Scarred Tissue
Plate No Ventral
ventral hypoplasia
Hyposplasia Mild
severe chordae
Chordae

TIP plication and


Stage Repair
others
plication Ventral
straightening
corporectomy
Techniques

Gambar 2.3. Alogaritma pendekatan tatalaksana hipospadia ringan dan


berat (Modifikasi dari Springer, 2017).

2.2 Uretroplasti

Tujuan operasi pada hipospadia adalah untuk menciptakan uretra dengan

fungsi yang baik dan untuk memperbaiki lengkungan penis sehingga memperbaiki

penampilan penis secara kosmetik serta menghasilkan muara uretra di ujung penis,
21

sehingga pasien bisa buang air kecil dalam posisi berdiri (Hadidi, 2004).

Hipospadia dapat sangat mempengaruhi kehidupan pasien, baik secara kosmetik

maupun secara fungsional. Masalah kosmetik berefek kepada masalah emosional

pasien yang mempunyai bentuk penis yang berbeda dari teman-temannya.Masalah

fungsional seperti ketidakmampuan pasien untuk buang air kecil dengan posisi

berdiri. Hal-hal semacam inilah yang membuat solusi pembedahan tetap menjadi

pilihan yang utama (Abdelrahman et al, 2011).

Ada banyak teknik bedah yang dilakukan, dan tren kemajuan ilmu serta

penelitian sangat mempengaruhi metode mana yang paling sering

digunakan.Pilihan teknik bedah, bergantung pada tingkat keparahanhipospadia.

Tidak semua kasus perlu dikelola dengan pembedahan untuk alasan medis. Menurut

beberapa ahli hipospadia, hipospadia tipe glanural dengan fusi daripada gland

proximal dengan pembukaan uretra dan lengkung ventral <30% tidak perlu

dilakukan uretroplasti jika jarak dari bibir ventral meatus ke corona lebih dari 2mm.

Satu-satunya alasan operasi dalam kasus ini adalah kosmetik, rekonstruksi

preputium atau sirkumsisi dapat dilakukan tergantung pada tradisi budaya lokal

atau pilihan orangtua. Operasi hipospadia dimulai oleh seorang ahli bedah dari

Alexandria yang bernama Helidon dan Antyllus pada abad 1-2. Mereka melakukan

reseksi parsial dari glans penis untuk membuat letak orifisium lebih sentral. Helidon

dan Antyllus tidak bisa melakukan operasi pada hipospadia tipe proksimal. Metode

ini bertahan sampai kurang lebih 1000 tahun. Periode berikutnya, setelah 1000

tahun, ditemukan metode tunnelling and cannulation. Tunnel yang dimaksud dibuat

dengan trokar dan lubang yang terbentuk dijaga supaya tidak tertutup dengan kanul
22

sampai terbentuk epitelisasi. Guy de Chauliac (1363) dan Lusitanus (1511-1568)

menggunakan kanul yang terbuat dari perak, Dionis (1707) menggunakan kanul

yang terbuat dari timah, Morgagni (1761), Sir Astley Cooper (1815), Dupuytren

(1777-1835) dan Mettauer (1842) menggunakan kateter plastik yang elastis (Smith,

1997; Hadidi, 2004; Springer, 2017).

Saat ini telah dilaporkan lebih dari 200 metode operasi rekonstruksi uretra

dan masing-masing metode terus berkembang dan dimodifikasi untuk mencapai

hasil yang optimal seperti Mathieu, Snodgrass, Hadidi dan lain-lain. Perkembangan

ilmu anestesia, alat-alat bedah yang semakin berkembang, teknik menjahit yang

semakin bagus, antibiotika dan pengalaman para ahli bedah yang semakin

berkembang menjadikan hasil dari operasi uretroplasti ini semakin lama semakin

memuaskan. Walaupun demikian, operasi uretroplasti saat ini tetap menjadi salah

satu operasi yang paling sulit di bidang urologi pediatri (Smith, 1997; Aisuodionoe-

Shadrach et al, 2015; Hadidi, 2004). Tidak ada metode repair yang digunakan

sebagai gold standard untuk semua tipe hipospadia. Pada hipospadia distal, teknik

yang dapat dipakai adalah Meatal Advancement and Glanuloplasty, Tubularized

Incised Plate (TIP), Perimeatal-based Flap, dan Onlay Island Flap. Sedangkan

pada hipospadia proksimal dapat digunakan operasi satu tahap misalkan dengan

teknik Koyanagi atau Perimeatal Foreskin Flap, atau dengan operasi dua tahap

(Pfistermuller dkk, 2015; Hueberdkk, 2015, Hadidi, 2004).


23

Gambar 2.4. Meatal advancement and glanuloplasty (MAGPI) procedure


(Dikutip dari Hadidi, 2004).

Gambar 2.5. Snodgrass procedure or Tubularized Incised plate


Urethroplasty for distal hypospadias repair (Dikutip dari Hadidi, 2004).
24

Gambar 2.6 The Duckettprocedure.(Dikutip dari Hadidi, 2004).

Hypospadia

Proximal Distal

Distal Coronal
(Coronal,
Subcoronal, Distal
Penile)

Urethral Plate Urethral plate


Deep/Large Flat/Narrow

Gambar 2.7 Klasifikasi hipospadia (modifikasi dari Gomes et al, 2013)


25

Pendekatan modern repair hipospadia adalah dengan mempertahankan

urethral plate (Moursy, 2010; Bhat, 2010; Xudkk, 2014). Urethral plate terbentuk

dari jaringan bervaskularisasi baik dengan topangan muskulus yang baik serta kaya

akan jaringan saraf (Xudkk, 2014; Xiaodkk, 2014). Hal ini yang membuat insisi

pada urethral plateakan sembuh dengan reepitelisasi dengan jaringan normal tidak

dengan pembentukan jaringan parut (Akyoldkk, 2011).

2.2.1 Komplikasi Uretroplasti

Secara umum kesuksesan operasi pada pasien hipospadia didefinisikan

dengan mendapatkan uretra fungsional dengan pancaran normal, tanpa fistel,

divertikulum, striktur atau komplikasi pasca operasi lainnya, dan mendapatkan

penampakan penis yang lurus normal dengan glans bentuk conically dan meatus di

ujung glans dengan bentuk slit-like (Xiaodkk, 2014).

Komplikasi yang sering terjadi adalah fistula, stenonis meatal dan striktur

uretra (Hafez dan Helmy, 2012; Springer, 2014).Angka fistula dilaporkan

bervariasi antara 0 – 28% (Thapa dan Pun, 2014). Angka stenosis meatal adalah

2,1% (median = 0%), bervariasi antara 0 – 17% pada 53 penelitian. Angka rata-rata

striktur uretra adalah 9,71%(Wilkinsondkk, 2012; Pfistermullerdkk, 2015). Striktur

neouretra dapat diketahui dari gejala stranguria, retensi uria (vesika urinaria yang

dapat diraba atau distensi setelah berkemih dari ultrasonografi), atau ISK, dan

dikonfirmasi dengan uretroskopi yang menunjukan oklusi hampir total dari lumen

(Snodgrass dkk, 2013). Kelainan ini sering kali tidak memberikan keluhan sehingga

sering terlewatkan atau tidak disadari oleh pasien (Eassa dkk, 2012; Spinoit dan

Hoebeke, 2015).
26

1). Komplikasi Fungsional

Komplikasi yang bersifat fungsional pada operasi uretroplasti yang paling

banyak terjadi adalah fistula uretrokutan dan stenosis meatus. Selain dua

komplikasi tersebut, masih banyak lagi komplikasi yang bisa terjadi, antara lain

edema, nekrosis flap, striktur uretra, pancaran urin yang lemah, spasme kandung

kemih dan pelepasan uretra yang tidak sengaja (Ritch et al, 2010; Bae et al, 2014;

Saleem et al, 2012; Rayes, 2013).

a.Fistula Uretrokutan

Fistula uretrokutan adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada

operasi uretroplasti.Insiden fistula uretrokutan ini digunakan sebagai salah satu

dasar untuk evaluasi keberhasilan dari suatu metode uretroplasti.(Srivastava et al,

2011; Rayes, 2013).

Pada tahun 1973, Horton dan Devine membuat laporan insiden fistula

uretrokutan antara 15% - 45%. Pada tahun 1984, Shapiro mengemukakan, pada

penelitiannya yang memakai 176 sampel, bahwa insiden fistula uretrokutan adalah

6,25%. Saat ini insiden fistula uretrokutan bervariasi dan dibedakan menurut

metode uretroplasti yang digunakan. Secara umum, insiden fistula uretrokutan

adalah 4% - 28% dan insiden fistula uretrokutan yang ditolerasi dalam operasi

uretroplasti 1 tahap adalah 10% - 15% (Muruganandham et al, 2010; Shehata dan

Hashish, 2011; Rayes, 2013).

Faktor yang paling berperan dalam pembentukan fistula uretrokutan adalah

infeksi dan iskemia. Pembentukan fistula terjadi dalam proses penyatuan mukosa

uretra, dimana terjadi migrasi dari mukosa uretra dan epitel kulit ke dalam jalur
27

jahitan. Individu tertentu menunjukkan reaksi abnormal terhadap jahitan dimana

benang yang dipakai dianggap sebagai benda asing sehingga memicu iritasi dan

inflamasi yang pada akhirnya akan membuat fistula uretrokutan. Fistula uretrokutan

ini terjadi pada antara hari ke 7 sampai 10 setelah operasi (Shehata dan Hashish,

2011).

Insiden fistula uretrokutan lebih tinggi pada pasien yang menggunakan

benang Vicryl ukuran 6/0 dibandingkan dengan pada pasien yang menggunakan

benang polydioxanone (PDS) ukuran 7/0. Teknik yang dianjurkan untuk menjahit

uretra yang baru adalah dengan menggunakan jahitan subkutaneus dengan benang

PDS ukuran 7/0 (Shehata dan Hashish, 2011).

Fistula uretrokutan ini diklasifikasikan dari berbagai macam aspek, yaitu

berdasarkan lokasi (fistula anastomosis dan fistula non-anastomosis), berdasarkan

ukuran fistula (fistula lubang jarum, fistula kecil dan fistula besar), berdasarkan

jumlahnya (satu dan banyak), berdasarkan jenis fistula (primer dan berulang)

(Srivastava et al, 2011; Shehata dan Hashish, 2011; Mohamed et al, 2010).

Terdapat beberapa cara yang dapat mengurangi risiko terjadinya fistula

uretrokutan, antara lain dengan menggunakan jahitan subkutan, menggunakan

benang PDS ukuran 7/0, menggunakan kateter setelah operasi, menghindari

perawatan luka operasi yang sering, menggunakan dressing seperti Duoderm,

menggunakan lem fibrin (fibrin glue) (Shehata dan Hashish, 2011).

Insiden fistula juga dapat diminimalisir dengan cara menggunakan

sistostomi pasca uretroplasty, studi yang dilakukan Laura SF, Duarsa dkk tahun

2015 diketahui bahwa insiden fistula pasca uretroplasti dengan sistostomi adalah
28

2.9 % sedangkan insiden fistula yang tanpa sistostomi adalah 17,6% (Laura SF dan

Duarsa, 2015)

b. Stenosis Meatus

Komplikasi berupa stenosis meatus disebabkan oleh karena pada waktu

durante operasi, lumen meatus dibiarkan terlalu dekat. Gejala yang bisa dilihat pada

pasien adalah kesulitan sewaktu berkemih, pancaran urin yang sempit dan kencang,

diameter meatus uretra eksterna yang sempit dan kecil. Stenosis meatal bisa dinilai

juga dari ukuran meatus dibandingkan dengan ukuran kateter, jika pasien berumur

kurang dari 1 tahun normalnya meatus uretra eksterna pasien bisa dimasuki kateter

berukuran 8 Fr, jika pasien pasien berumur lebih dari 1 tahun normalnya normalnya

meatus uretra eksterna pasien bisa dimasuki kateter berukuran 10 Fr. Bentuk meatus

uretra eksterna pada pasien yang dikerjakan operasi uretroplasti metode Mathieu

lebih jelek daripada bentuk meatus uretra eksterna pada pasien yang dikerjakan

operasi uretroplasti metode TIP (Karakus et al, 2013; Ritch et al, 2010; Wang et al,

2013).

c. Pancaran Urin Maksimal

Komplikasi lain yang sering muncul setelah pasien menjalani operasi

uretroplasti adalah gangguan pada pancaran urin pasca operasi. Umumnya orang

tua ataupun pasien tidak terlalu menyadari adanya abnormalitas ini karena sering

tidak diperhatikan, atau karena tidak terlalu dikeluhkan. Gangguan ini dapat muncul

dapat sebagai akibat dari komplikasi operasi berupa adanya striktur uretra, meatal

stenosis maupun compliance atau tahanan dari dinding urethra yang tidak sama.

Namun dapat juga terjadi karena sebab lain misalnya adanya gangguan neurologis
29

pada kandung kencing (bladder spasme), adanya penyakit pada ginjal yang

mempengaruhi fungsi dan produksi urin, adanya trauma pada penis atau perineum

yang menyebabkan kerusakan uretra, adanya infeksi pada saluran kencing sehingga

mengakibatkan rasa nyeri saat kencing (Saksono, 2016).

Metode untuk mengukur pancaran urin telah berkembang sejak pertama kali

diperkenalkan oleh Johansen pada tahun 1953 lalu dikembangkan oleh vo Garrelts

pada tahun 1957 dengan menggunakan gelas ukur dan stopwatch. Saat ini alat yang

paling sering digunakan adalah uroflowmetri. Metode yang dipakai sederhana dan

tidak invasif. Dengan alat ini dapat diukur berapa pancaran urin rata-rata (Qavg),

pancaran urin maksimal (Qmax), Volume urin yang dikeluarkan (Vvoid).

Pemeriksaan uroflowmetri sendiri jarang dapat menentukan etiologi terjadinya

disfungsi berkemih, untuk bisa menentukan etiologi terjadinya disfungsi berkemih

dapat dilakukan tes urodinamik lainnya. Uroflowmetri dapat digunakan sebagai

evaluasi sebagai respon pasien setelah dilakukan tindakan tertentu (Yang et al,

2012; Saksono, 2016).

2). Komplikasi Kosmetik

Pada jaman dimana hasil tindakan semakin banyak digunakan sebagai

acuan kesuksesan suatu tindakan pembedahan, maka dibutuhkan pelaporan yang

teratur secara konsisten sehingga hasilnya dapat dibandingkan baik nasional

maupun internasional (Wilkinson dkk, 2012; Snodgrass, 2010). Banyak penelitian

dilakukan untuk menentukan metode evaluasi secara kuantitatif dan objektif untuk

kosmetik dan fungsional sebagai acuan umum (Safwat, 2013; Thapa dan Pun,

2013). Sistem penilaian yang ideal untuk hasil kosmetik setelah operasi hipospadia
30

adalah sistem yang objektif, mudah diperbanyak, dan valid untuk menilai semua

aspek yang relevan dan bisa dikoreksi secara pembedahan hipospadia (van der

Toorndkk, 2013). Sistem skor HOPE mengevaluasi tampilan penis berdasarkan

enam aspek yang bisa dikoreksi dalam pembedahan: posisi meatus, bentuk meatus,

bentuk glans, bentuk kulit penis, dan sudut penis termasuk torsio penis dan (jika

ereksi bisa dievaluasi) lengkung penis (Rayes, 2013; van der Toorn et al, 2013;

Xiao et al, 2014; Duarsa dan Nugroho, 2016).

a. HOPE (Hypospadias Objective Penile Evaluation)

Sistem penilaian HOPE adalah sistem penilaian yang dikembangkan yang

mampu memenuhi 3 syarat validitas, yaitu objektifitas, reliabilitas dan

validitas.Sistem penilaian HOPE mengevaluasi tampilan penis berdasarkan enam

hal dasar yang mampu dikoreksi melalui pembedahan : posisi meatus, bentuk

meatus, bentuk glans, bentuk kulit penis, dan sumbu penis termasuk torsi penis dan

(jika ereksi bisa diobservasi) lengkungan penis. Rentang nilai untuk penilaian

HOPE ini antara 1 sampai dengan 10 (van der Toorn dkk, 2013; Duarsa dan

Nugroho, 2016).

Sistem penilaian HOPE menggunakan 6 kriteria objektif. Pertama, gambar

baku dari penampakan penis yaitu penis difoto dari lima sudut pandang yang baku,

secara urut dorsal, lateral kanan, lateral kiri, penampakan ventral dan detail ventral

dari glans/meatus. Kedua, digunakan pasien anonim dan dikode.Ketiga, penilaian

secara independen dari urologi pediatri. Keempat, ditetapkan ketentuan baku

tentang penampakan penis “normal” oleh panel. Kelima, penilaian derajat

abnormalitas lebih dipentingkan daripada penilaian tingkat kepuasan secara


31

subjektif. Keenam, digunakan gambar referensi untuk setiap derajat abnormalitas

dari penilaian skor HOPE (van der Toorn dkk, 2013; Duarsa dan Nugroho, 2016).

b. HOSE (Hypospadias ObjectiveScoring Evaluation)

Skor yang lain dibuat oleh Holland dengan nama Hypospadias Objective

Scoring Evaluation pada tahun 2001, skor HOSE menilai lokasi meatus, bentuk

meatus, bentuk aliran kencing, arah ereksi dan keberadaan fistula, dimana setiap

item dinilai dengan skor 1-2 atau 1-4 dengan skor terendah 5 dan skor tertinggi

adalah 16. Skor lebih dari 14 dinilai sebagai hasil yang dapat diterima pada pasien

yang telah dilakukan uretroplasti jika posisi meatus minimal pada proksimal

glandular, aliran kencing singel dan sudut ereksi moderat. Akan tetapi Sistem

skoring ini juga menilai hasil fungsional seperti ada tidaknya fistula. Karena itu

sistem skor ini tidak bisa secara ideal menilai hasil kosmetik dari operasi hipospadia

(Örtqvist L et al, 2016).

3).Faktor yang Mempengaruhi Komplikasi

Hal-hal yang mempengaruhi luaran adalah: pengalaman dari ahli bedah,

standar perawatan perioperatif, dan faktor pasien, misalnya status nutrisi, usia

pasien saat operasi (Braga dkk, 2008). Bahan benang jahit dan kedalaman insisi

mungkin tidak sepenting dari posisi meatus, pengalaman ahli bedah, dan kecukupan

lapisan dartos untuk repair; tetapi, detail tindakan tetap akan mempengaruhi hasil

dari teknik tersebut (Snodgrass dkk, 2010). Penggunaan flap dartos untuk melapisi

neouretra memberikan hasil yang lebih baik. Dengan digunakan flap dartos, angka

komplikasi menurun dari 32% menjadi 8% (Hafez dan Helmy, 2012;

Wilkinsondkk, 2012).
32

Snodgrass menyebutkan bahwa pengalaman ahli bedah dan banyaknya

menangani kasus adalah hal yang penting (Braga, 2008;Bayne dan Jones, 2010;

Snodgrass dan Bush, 2011; Xiao dkk, 2014; Hueber dkk, 2015).Penelitian meta

analisis saat ini menunjukan bahwa angka komplikasi yang paling rendah

didapatkan pada repair TIP untuk hipospadia primer distal. Angka komplikasi lebih

tinggi untuk semua variabel pada TIP untuk hipospadia proksimal (Snodgrass dan

Bush, 2011; Pfistermullerdkk, 2015).

2.2.2 Usia Saat Uretroplasti

Usia ideal untuk operasi pada pasien hipospadia adalah antara 6 – 12 bulan,

rekomendasi ini didasarkan atas pertimbangan bedah, anestesi dan psikologi anak

(perkembangan kognitif, genital awarness, perkembangan emosional dan

perkembangan psikoseksual), rekomendasi lain periode jendela untuk usia

dilakukan uretroplasti adalah diantara usia 3 bulan sampai 15 bulan, karena pada

saat itu emosional, identitas seksual dan kognitif anak belum terganggu, tetapi

teknik operasi akan sangat sulit karena pada usia 1-3 tahun pertambahan ukuran

penis hanya sekitar 0,8 cm artinya penis anak usia 6 bulan hampir sama dengan

anak usia 3 tahun. Selain itu kelompok usia ideal diatas usia tersebut untuk

uretroplasti adalah usia 2.5-4 tahun atau 4-5 tahun (Yildiz et al, 2013; Springer,

2017, Schulz et al, 1983). Pada usia tersebut berisiko sedang terhadap gangguan

psikis dan emosional anak. Pasien dianggap belum dapat mengingat trauma suatu

operasi, belum menyadari sepenuhnya mengenai persepsi tubuh dan identitas

seksualnya, serta belum ada interaksi sosial. Periode khusus dimana risiko

gangguan emosional meningkat jika dilakukan tindakan operasi adalah sekitar


33

setelah lahir atau diatas 5 tahun. Risiko rendah terhadap gangguan kognitif dan

perkembangan seksual terdapat pada tahun pertama kelahiran dan pada anak usia

kurang dari 2,5 tahun yang saat perawatan saat dirumah sakit pasien didampingi

oleh ibunya. Secara psikologi idealnya anak menjalani operasi pada tahun pertama

kelahiran terutama setelah 6 minggu kelahiran. Usia optimal yang disarankan oleh

American Academy of Pediatrics Urology adalah 6 sampai 12 bulan. Rekomendasi

tersebut didasarkan atas pendapat para ahli, rekomendasi ini juga dianjurkan oleh

European Association of Urology Guideline yang menyarankan bahwa operasi pada

alat kelamin seharusnya diselesaikan pada tahun pertama kehidupan (Springer,

2017; Duarsa dkk, 2016, Weber dkk, 2009, Schulz et al, 1983).

Gambar 2.8 Evaluasi risiko repair hipospadia dari usia baru lahir
sampai usia 7 tahun. Periode jendela yang disarankan adalah usia 3-15 bulan
(modifikasi dari Schulz et al, 1983)
34

2.3 Psikososial

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup

aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang

dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan mempengaruhi

satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko

mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku)

sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang

di sekitarnya. Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup

faktor-faktor psikologis (papalia et al, 2009).

2.3.1. Perkembangan psikososial

Tiga ranah perkembangan manusia adalah perkembangan fisik,

perkembangan kognitif dan psikososial. Pertumbuhan tubuh dan otak, kapasitas

sensoris, keterampilan motorik merupakan bagian dari perkembangan fisik.

Perubahan dan stabilitas dalam kemampuan mental, perhatian, ingatan, bahasa,

pemikiran, logika dan kreativitas membentuk perkembangan kognitif. Perubahan

dan stabilitas dalam emosi, kepribadian dan hubungan sosial akan membentuk

perkembangan psikososial. Perkembangan fisik, kognitif dan psikososial saling

terkait satu sama lain, sebagai contoh kapasitas kognitif dan fisik memberikan

kontribusi besar pada kepercayaan diri dan mempengaruhi penerimaan sosial.

Perkembangan kognitif yang terjadi pada masa anak-anak pertengahan,

memampukan anak mengembangkan konsep diri mereka yang lebih kompleks,

serta tumbuh dalam pemahaman emosional dan kontrol. Emosi seperti rasa sedih,
35

gembira dan takut merupakan reaksi subjektif pengalaman yang diasosiasikan

dengan perubahan psikologis dan perilaku (Papalia et al, 2009).

Terdapat 4 tahap perkembangan kognitif pada anak menurut Jean Piaget

1987, 4 tahap perkembangan tersebut didasarkan atas usia dan kemampuan kognitif

maupun motoriknya, antara lain (Papalia et al, 2009).:

a. Tahap sensoris Motor/sensorimotorik (usia 0-2 tahun), pada tahap ini

menunjukkan bagaimana perkembangan panca indra sangat berpengaruh

terhadap diri anak. Ditandai dengan munculnya keinginan keinginan untuk

memegang dan menyentuh apapun karena dorongan keinginan untuk

mengetahui bagaimana reaksi atas perbuatannya tersebut.

b. Tahap Pra operasional (usia 2-7 tahun), pada tahap ini anak mulai

mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas.

Kemampuan berbahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis belum

dapat berfikir abstrak dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih

terbatas.

c. Tahap Operasional kongkrit (Usia 7-11 tahun), tahap ini disebut masa

performing operation, pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan

tugas tugas menggabungkan dan memisahkan, menyusun, menderetkan,

melipat dan membagi

d. Tahap operasional Formal (usia 11-15 tahun), Tahap ini juga disebut masa

proportional thinking, pada massa ini anak sudah mampu berfikir tingkat

tinggi, seperti berfikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis,


36

mampu berfikir secara abstrak dan secara reflektif serta mampu

memecahkan masalah. Pada tahap ini juga anaka memasuki usia pra remaja.

Masa terpenting perkembangan anak adalah perkembangan psikososial

yaitu yang terjadi pada awal masa kanak kanak atau biasa juga disebut dengan usia

dini (2 - 6tahun). Perkembangan psikososial merupakan proses perkembangan pada

anak yang mencakup kemampuan atau kualitas mereka untuk menjalin kontak

sosial dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun dengan orang-orang

yang lebih dewasa di sekitarnya. Mereka tidak lagi terlalu tergantung pada orang

tua dan mulai memiliki keinginan untuk menampilkan kemampuannya secara

mandiri (Zgourides, 2000; Anggraheny, 2016).

Terdapat daftar tugas tugas perkembangan psikososial sepanjang masa

kanak-kanak yang disajikan oleh Havighurst dalam Hurlock (2004):

a. Masa bayi dan awal masa kanak-kanak:

1) Belajar memakan makanan padat, berjalan, dan berbicara.

2) Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh.

3) Mempelajari perbedaan jenis kelamin.

4) Mempersiapkan diri untuk membaca.

5) Belajar membedakan “benar” dan “salah”,dan mengembangkan hati nurani.

b. Akhir masa kanak-kanak:

1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukanuntuk permainanpermainan

yangumum.

2) Membangun sikap yang sehat mengenai dirisendiri sebagai makhluk yang

sedang tumbuh.
37

3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya.

4) Mulai mengembangkan peran sosial laki-lakidan perempuan secara tepat.

5) Mengembangkan keterampilan dasar untuk menulis, membaca, dan

berhitung.

6) Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan

sehari-hari.

7) Mengembangkan hati nurani, pengertian moral,dan tata nilai.

8) Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial

9) Mencapai kebebasan pribadi.

Sedangkan menurut Erikson (Santrock, 1995;Zgourides, 2000),

kematangan psikososial pada individu atau manusia melalui tahap-tahap

(Anggraheny, 2016):

1) Kepercayaan dan ketidakpercayaan, dialami tahun pertama kehidupan;

2) Mengembangkan otonomi atau kemampuan untuk mengendalikan

keinginannya sendiri dengan rasa malu dan keragu-raguan, berlangsung pada

akhir masa bayi dan usia 13tahun;

3) Memiliki inisiatif atau keberanian untuk memulai sesuatu serta mengenal rasa

bersalah, berlangsung selama tahun tahun prasekolah (3-6tahun);

4) Tekun dan rasa rendah diri, berlangsung kira-kira pada usia sekolah dasar;

5) Identitas dan kebingungan identitas, dialami selama tahun masa remaja;

6) Keintiman dan keterkucilan, dialami selama tahun tahun awal masa dewasa;

7) Bangkit dan mandeg, dialami selama pertengahan masa dewasa;

8) Integritas dan kekecewaan, dialami selama akhir masa dewasa.


38

Berdasarkan berbagai teori tentang perkembangan psikososial tersebut,

tampak bahwa perkembangan psikososial seharusnya dimulai sejak usia dini,

berawal dari ruang lingkup yang sempit yaitu diri sendiri dan keluarga, kemudian

berkembang hingga lingkungan sosial yang lebihluas. Perkembangan psikososial

pada masa kanak-kanak ini secara otomatis dipengaruhi oleh banyak faktor yang

dapat mempengaruhi kematangan mereka, khususnya dalam hal yang berkaitan

dengan kemampuan mereka dalam menghadapi tuntutan nilai sosial (Zgourides,

2000; Anggraheny, 2016).

2.3.2. Gangguan Psikososial

Gangguan psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu

baik yang bersifat psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik

dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan

jiwa atau gangguan kesehatan secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa

yang berdampak pada lingkungan sosial (Keliat, et al., 2011)

Ciri-ciri gangguan psikososial menurut keliat, et al., 2011 adalah sebagai

berikut :

a. Cemas, khawatir berlebihan, takut

b. Mudah tersinggung

c. Sulit konsentrasi

d. Bersifat ragu-ragu

e. Merasa kecewa

f. Pemarah dan agresif

g. Reaksi fisik seperti jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala


39

Gangguan psikososial pada anak dapat mempengaruhi perkembangan diusia

selanjutnya. Aspek psikososial anak perlu mendapat perhatian khusus karena untuk

tumbuh kembang anak yang optimal selain kesehatan fisik juga diperlukan

kesehatan mental (Papalia et al, 2009)

Pada usia prasekolah terjadi perkembangan persepsi pada anak. Bila anak

bertemu dengan teman sebayanya yang normal mereka sudah dapat merasakan

bahwa diri mereka berbeda. Ada rasa yang menakutkan, tidak nyaman, mereka

ingin otonomi, sementara orang tua bertahan melindungi anak terhadap dunia luar.

Pada fase ini anak mulai berfantasi yang merupakan cara bagi anak untuk

mengungkapkan ekspresi diri. Melalui fantasi anak dapat melepaskan pikiran atau

ide yang menakutkan tentang gambaran dirinya. Pada usia sekolah mulai timbul

rasa cemas akan kecacatan yang diderita dan kemungkinannya di masa yang akan

datang, mereka menjadi lebih depresi bahkan timbul rasa ingin mati, ada perasaan

tak berguna dan percaya mereka telah dihukum (Papalia et al, 2009).

Perkembangan mental emosional adalah suatu proses perkembangan

seseorang dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalaman

pengalamannya. Masalah mental emosional dapat timbul jika terdapat sesuatu yang

menghambat seseorang dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan dan

pengalaman-pengalamannya. Masalah mental emosional pada anak dibagi menjadi

dua kategori yaitu internalisasi dan eksternalisasi (Dharmayanti M, 2011).

Masalah emosional internalisasi termasuk gejala depresi, kecemasan,

perilaku menarik diri digolongkan sebagai emosi yang menghukum diri perasaan

bersalah, ketakutan dan kekhawatiran berlebih. Gejala emosional mempunyai


40

konsekuensi yang serius, misalnya menghambat kesuksesan akademik dan

hubungan dengan teman sebaya (Alves et al, 2011; Dharmayanti M, 2011).

Gambaran masalah mental emosional eksternalisasi antara lain:

temperamen sulit, ketidakmampuan memecahkan masalah, gangguan perhatian,

hiperaktivitas, perilaku bertentangan (tidak suka ditegur/diberi masukan positif,

tidak mau ikut aturan) dan perilaku agresif (Dharmayanti M, 2011). Keberadaan

masalah-masalah tersebut pada usia muda diperkirakan akan meningkatkan risiko

kelainan fisik dan mental pada usia pertengahan. Oleh karena itu sangat penting

untuk dilakukan deteksi dan penanganan masalah emosional sedini mungkin (Alves

et al, 2011; Dharmayanti M, 2011).

2.3.3 Alat Skrining Gangguan Psikososial

Identifikasi masalah psikososial dan emosional harus menjadi bagian dari

praktik pediatrik. Studi telah mendokumentasikan peningkatan prevalensi

gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja. Di Amerika Serikat, studi epidemiologi

menunjukkan prevalensi 17 sampai 27% dari beberapa tipe gangguan jiwa pada

rentang usia ini. Di Taubaté, negara bagian São Paulo, sebuah studi dengan

kelompok yang sama menemukan prevalensi 12,5% individu dengan setidaknya

satu gangguan jiwa, dan di daerah perkotaan miskin, di mana terdapat faktor risiko

sosiokultural, tingkat tersebut adalah 13,7% (Muzzolon, 2013).

Pengenalan, intervensi, dan pencegahan gangguan mental pada anak-anak

dan remaja membantu membentuk dan mengurangi efek pada kepribadian, sebelum

terbentuk sepenuhnya sehingga berkontribusi pada perkembangan yang sehat.

Kurangnya pengenalan dini, kegigihan dan perburukan gejala pada tahap

perkembangan selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan tidak hanya pada


41

kehidupan sehari-hari anak tetapi juga pada keluarga dan masyarakat.Hubungan

antara faktor genetik dan lingkungan sebagai penyebab gangguan mental bersifat

dinamis dan kumulatif dalam kapasitasnya untuk mempengaruhi pembangunan dan

mengubah kondisi masa depan mereka. Hasil negatif dari situasi yang dialami di

masa kanak-kanak, faktor risiko genetik, biologis, psikologis, dan lingkungan, serta

interaksi kompleks di antara keduanya, dapat menyebabkan munculnya satu atau

lebih gangguan mental. Di antara yang paling umum adalah gangguan depresi

(DD), gangguan kecemasan (AD), Oppositional defiant disorder (ODD), dan

attention deficit disorder / hyperactivity (ADHD), dengan seringnya terjadi lebih

dari satu gangguan pada individu yang sama. Keterkaitan beberapa gangguan

tersebut dapat menghambat diagnosis dan, akibatnya, intervensi awal oleh

profesional kesehatan yang tidak terbiasa dengan fitur klinis tersebut juga

terhambat. Namun, indikasi adanya gangguan mental pada masa anak-anak dan

remaja tidak boleh disalahartikan dengan karakteristik normal tahap perkembangan,

yang dapat menunjukkan gejala patologis serupa. Prevalensi gangguan mental yang

tinggi pada masa anak-anak menuntut identifikasi kebutuhan akan asesmen dan

pengobatan psikologis dan / atau psikiatri. Sebagian besar profesional seperti dokter

anak, tidak merasa cukup terlatih atau tidak memiliki waktu yang cukup untuk

mengidentifikasi masalah tersebut dan membuat rujukan selanjutnya dari anak-

anak dan / atau remaja dengan indikasi gangguan mental. Alternatif lain adalah

penggunaan skala penilaian yang sudah divalidasi, seperti Child Behavior Checklist

(CBCL) dan Pediatric symtomp checklist (PSC) (Muzzolon et al, 2013).


42

1) Child Behavior Checklist(CBCL)

Child Behavior Checklist(CBCL) adalah instrumen komprehensif yang

dianggap sebagai standar emas untuk menilai adanya gangguan psikososial seperti

gangguan emlosional dan perilaku pada anak, kuisioner ini dijawab oleh orang tua

kemudian hasil interpretasi melaporkan keterampilan dan masalah pada anak-anak

atau remaja antara usia 6 dan 18 tahun dan memberikan analisis profil emosional,

sosial, dan perilaku individu, kuisioner ini terbagi dalam dua bagian. Yang pertama

mengacu pada kompetensi sosial, yaitu keterlibatan dan kinerja anak / remaja dalam

kegiatan olahraga, permainan, hobi, pekerjaan, dan tugas sehari-hari, yang nilainya

tumbuh sesuai dengan kompetensi sosial yang lebih besar dari yang dinilai. Bagian

kedua mengacu pada penilaian adanya masalah emosional dan perilaku pada anak.

Kuisioner ini terdiri dari 118 item dan jawaban yang diperoleh dari individu adalah

"tidak benar / tidak ada" (setara dengan skor 0); "Agak / kadang benar" (setara

dengan skor 1) dan "sering benar" (setara dengan skor 2). Jumlah skor diubah

menjadi nilai T, sesuai dengan analisis yang tepat untuk usia dan jenis kelamin.

Dalam hal ini, disajikan dalam skala dan sindrom, yaitu, masalah yang biasanya

terjadi bersamaan.T-score ≥70 dianggap klinis; antara 64-69, batas; dan <63,

normal. Untuk skala masalah internalisasi dan eksternalisasi, skor T ≤60 dianggap

normal, antara 60-63, batas, dan> 63 dianggap klinis (Muzzolon et al, 2013).

2) Pediatric symtomp checklist (PSC)

Pediatric symtomp checklist adalah alat skrining untuk mengidentifikasi

anak-anak atau remaja dengan masalah emosional dan / atau psikososial. Terdiri

dari dari 35 item, berlaku untuk kelompok usia 6 sampai 16 tahun. Mudah untuk
43

mengelola, memahami, dan menafsirkannya hasil. Skor yang diberikan oleh

responden, yang menunjukkan seberapa sering situasi yang diajukan dalam

pertanyaan tersebut terjadi, adalah nol untuk "tidak pernah" satu untuk "kadang-

kadang" dan dua untuk "sering". Titik potong yang ditetapkan untuk skor Amerika

adalah ≥28 poin, dalam hal ini hasilnya dianggap positif, yaitu responden akan

memiliki indikasi untuk dirujuk untuk evaluasi kesehatan mental (Muzzolon et al,

2013). Pediatric symptom checklist mendeteksi secara dini kelainan psikososial

untuk mengenali adanya masalah emosional dan perilaku, didalamnya berisi

beberapa pertanyaan tentang kondisi-kondisi perilaku anak yang dikelompokkan

dalam 3 masalah yaitu atensi, internalisasi, dan eksternalisasi. Terdapat beberapa

versi PSC, yaitu PSC-17 yang diisi oleh orang tua untuk anak usia 4-16 tahun dan

PSC-35 yang diisi sendiri oleh remaja (Youth-PSC) untuk remaja usia > 11 tahun

(Jellinek, 1999; Pujastuti, 2013).

Ini adalah peran dokter anak, seorang profesional yang memiliki ikatan yang

besar dengan keluarga, untuk mengetahui bagaimana mengenali gangguan mental

yang berbeda untuk intervensi awal.Meningkatnya penekanan pada produktivitas

dan profitabilitas menambah tekanan pada profesional ini, yang semakin membatasi

perhatian pada masalah emosional dan psikososial. Penggunaan alat skrining untuk

gangguan psikososial sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin anak-anak dan

remaja dapat memfasilitasi pengenalan dan rujukan awal, serta informasi tentang

gejala klinis asal fisik dan organik. Pediatric symtomp checklist adalah tes skrining

untuk anak-anak dan remaja berusia nol tahun sampai 16 tahun, administrasi

mudah, pengertian, dan interpretasi, disamping tingkat kehormatan, kehandalan,


44

dan validitas dalam kaitannya dengan CBCL (standar emas). Dokter anak yang

sudah menggunakan alat skrining lainnya akan mudah mengatasinya. Orangtua bisa

menjawab pertanyaan saat mereka menunggu konsultasi pediatrik anak mereka.

Pediatric symtomp checklist adalah langkah awal untuk skrining gangguan mental

di masa anak-anak, yang memudahkan dokter anak,bersama dengan orang tua,

membuat keputusan akhir mengenairujukan mengenai gangguan mental(Muzzolon

et al, 2013).

Sementara PSC-35 adalah alat skrining yang valid dan bermanfaat secara

klinis, tetapi butuh waktu hingga 10 menit untuk menyelesaikannya, yang masih

bisa juga memakan waktu untuk kunjungan kesehatan yang dilaporkan rata-rata 18-

22 menit panjang (Schor, 2007). Gardner dkk. (1999) kemudian mengembangkan

versi 17 item yang lebih pendek dari versi ukur dengan dasarnya tiga kelompok

besar yang sama gejala yang dilaporkan untuk PSC-35, termasuk internalisasi,

eksternalisasi, dan masalah perhatian (Anderson et al., 1999; Stoppelbein et al.,

2005, Stoppelbein et al., 2012). Faktor-faktor ini menunjukkan sensitivitas dan

spesifisitas sedang sampai tinggi, dan menjadi alat ukur yang baik untuk wawancara

diagnostik (Gardner et al 2007; Gardner et al., 1999, Stoppelbein et al., 2012). Bagi

orang yang melakukan skrining bagaimanapun, adalah tidak efektif dalam

mengidentifikasi anak-anak dengan gangguan kecemasan karena terbatasnya

jumlah item yang terkait dengan kecemasan pada kuisioner (Gardner et al., 2007,

Stoppelbein et al., 2012). Meski begitu, ketiganya faktor yang teridentifikasi

memungkinkan penyedia layanan kesehatan untuk mengidentifikasi lebih banyak

jenis masalah penyesuaian spesifik dari yang ditunjukkan oleh total skor masalah.
45

Spesifisitas semacam itu bisa jadi panduan lebih lanjut penyedia layanan kesehatan

saat merujuk pasien lebih jauh untuk evaluasi dan perawatan.PSC-17 telah berhasil

digunakan di perawatan primer(Borowsky et al., 2003, Stoppelbein et al., 2012).

Hal ini juga telah divalidasi dipengaturan kesehatan mental khusus(Gardner et al.,

1999, Stoppelbein et al., 2012).

Pediatric Symptom Checklist-17 (PSC-17) adalah 1 halaman kuesioner

masalah emosional dan perilaku anak-anak yang mencerminkan fungsi psikososial

anak mereka. Skor cutoff untuk anak usia sekolah dan anak usia pra-sekolah yang

menunjukkan tingkat disfungsi klinis secara empiris diperoleh dengan

menggunakan analisis karakteristik operator penerima dalam studi yang

membandingkan kinerja dari PSC dengan kuesioner lain yang telah divalidasi dan

penilaian dokter anak-anak. Dalam studi validitas, klasifikasi kasus PSC disetujui

dengan kasus klasifikasi pada Children's Behavior Checklist (CBCL).

Dibandingkan dengan skor Skala Penilaian Global Anak-anak, PSC-17 telah

menunjukkan tingkat high rate overall yang tinggi 79%, sensitivitas 95% dan

spesifisitas 68%. Harahap dkk menyatakan PSC-17 dapat digunakan sebagai alat

skrining masalah psikososial pada anak dengan sensitivitas 95,6% dan spesifisitas

69,2%. Studi dengan menggunakan PSC-17 menunjukkan tingkat prevalensi

gangguan psikososial di kelas menengah atau kondisi pada umumnya dan itu cukup

sebanding dengan perkiraan nasional akan masalah psikososial (Jellinek, 1999;

Harahap, 2010). Pediatric Symptom Checklist-17 memfasilitasi dalam hal

mengenali adanya gangguan kognitif, emosional dan masalah tingkah laku pada

anak, sehingga intervensi yang tepat dapat dilakukan sedini mungkin.Pediatric


46

symptom checklist–17 berupa kuesioner terdiri atas 17 pertanyaan. Tujuh belas

pertanyaan yang dibagi menjadi subskala internalisasi, terdiri atas 5 pertanyaan,

subskala eksternalisasi 7 pertanyaan, dan subskala perhatian 5 pertanyaan, masing-

masing pertanyaan memiliki skor 0, 1, dan 2. Pada PSC-17 poin internalisasi ada 5

sub skala yaitu sedih, tidak bahagia, merasa tidak ada harapan, sering murung,

khawatir berlebihan dan sedikit berbahagia. Sub skala eksternalisasi ada 7 item

antara lain sering berkelahi dengan anak lain, tidak mengindahkan peraturan, tidak

mengerti perasaan orang lain, selalu mengganggu orang lain, menyalahkan orang

lain untuk salahnya dia, menolak untuk berbagi dan suka mengambil barang yang

bukan miliknya. Sedangkan gangguan atensi terdiri atas 5 item, yaitu

ketidakmapuan untuk duduk, melamun terlalu sering, mudah dibelokkan, kesulitan

konsentrasi dan suka bertingkah seperti sedang mengendarai motor.Skor masing-

masing subskala tersebut dijumlahkan dan jumlah skor tersebut dijadikan skor

total.Kuesioner ini dirancang untuk mengenali masalah kognitif, emosi, dan

perilaku sehingga intervensi yang tepat dapat segera diinisiasi.Dicurigai terdapat

masalah psikososial jika jumlah skor internalisasi ≥5, jumlah skor eksternalisasi ≥7,

jumlah skor perhatian≥7, atau skor total ≥15 (Jellinek, 1999; Pujiastuti dkk, 2013).

2.3.4. Gangguan Psikososial Anak dengan Hipospadia

Dilahirkan dengan kelainan kongenital dan pernah menjalani operasi dapat

menjadi salah satu faktor risiko yang berdampak negatif terhadap adaptasi

psikososial antara lain gangguan emosional, tingkah laku dan adaptasi sosial.

Pernah dirawat di rumah sakit, menjalani operasi berulang dan diperiksa fisik
47

berulang kali merupakan faktor potensial yang membuat stres pada anak (Sanberg

et al, 2001).

Pemeriksaan genital biasanya dilakukan pada anak anak korban pelecehan

seksual, tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa pemeriksaan genital sendiri

dibandingkan pemeriksaan telinga dan rongga mulut dapat memberikan dampak

negatif terhadap emosional anak yang bukan korban pelecehan seksual. Tetapi

kebanyakan anak usia pre sekolah yang tidak memiliki riwayat pelecehan seksual

tidak menunjukkan trauma emosional setelah menjalani pemeriksaan genital

dengan catatan pemeriksaan direncanakan dengan baik oleh profesional dan

didukung atau didampingi oleh orangtua. The Genital Examination Distress Scale

(GEDS) merupakan tes yang dikembangkan untuk menilai stress emosional anak

saat pemeriksaan fisik anogenital, terdiri dari 7 item penilaian yang

mengindikasikan adanya distress tingkah laku saat pemeriksaan anogenital pada

anak, dinilai ada gangguan jika nilainya lebih dari 12 (Gully et al, 1999).

Selain itu makna operasi bagi anak anak dinilai sebagai tindakan yang

menakutkan seolah olah menjadi tindakan pemberian hukuman ataupun kebiri, dan

operasi pada daerah genitourinaria dibandingkan operasi daerah lain terbukti sangat

meningkatkan risiko gangguan emosional. Studi dari Blotcky dan Grossmas

menunjukkan bahwa anak-anak yang menjalani operasi pada area genitourinaria

mempunyai tingkat gangguan emosional yang tinggi dibandingkan dengan anak

anak yang menjalani operasi telinga hidung tenggorok. Studi ini dilakukan pada

tahun 1970 sampai dengan 1971 dan jumlah sampel yang kecil. Pada anak dengan

hipospadia yang menjalani operasi 20% mengalami gangguan emosional dan 17%
48

datang ke pskiatri untuk mencari bantuan (Schulz et al, 1983, Blotcky,MJ dan

Grossman, 1978; Örtqvist L et al, 2016;).

Kemajuan ilmu kedokteran saat ini berkembang sangat cepat, saat ini anak

anak dengan hipospadia tinggal di rumah sakit hanya satu malam selanjutnya

dilakukan perawatan dirumah oleh tim medis termasuk saat pelepasan stent. Selain

itu usia muda saat operasi yaitu kurang dari 18 bulan juga akan berpengaruh

terhadap luaran perilaku, dimana anak anak usia muda tidak akan memiliki ingatan

tentang pertama kali mereka ke rumah sakit setelah mereka dewasa. Untuk

menghindari menciptakan stigma, maka pemeriksaan fisik genital hanya dilakukan

ketika diperlukan sendiri (Blotcky,MJ dan Grossman, 1978; Butwicka, 2015;

Ortqvist L, 2016).

Selain itu juga didapatkan adanya masalah pada perkembangan psikologi

pasien dengan hipospadia. Studi tentang permasalahan perkembangan psikologi

masih sangat sedikit, beberapa penelitian menunjukkan terdapat peningkatan

frekuensi ansietas dan tanda depresi serta perubahan tingkah laku pada pasien laki

laki dengan hipospadia. Hasil epidemiologi terkini menunjukkan peningkatan

prevalensi gannguan intelektual, autism spectrum disorder (ASD), ADHD dan

gangguan emosional pada laki laki dengan hipospadia dibandingkan kelompok

kontrol. Faktor yang diduga dinilai memberikan dampak psikologis pada laki laki

dengan hipospadia antara lain adalah faktor genetik, prosedur operasi dan kelainan

hipospadia itu sendiri (Blotcky,MJ dan Grossman, 1978; Butwicka, 2015; Ortqvist

L, 2016).
49

Selain itu semakin berat tipe hipospadia akan semakin memberi pengaruh

negatif terhadap kejelasan genital dan dapat menimbulkan masalah tingkah laku.

Anak dengan tipe hipospadia yang berat dapat dinilai sebagai anak perempuan

secara klinis. Sehingga disarankan untuk mengidentifikasi hipospadia secara dini,

serta pemilihan waktu operasi yang tepat dapat membuat hasil luaran yang baik

secara fungsional dan kosmetik sehingga akan meberikan dampak postif secara

psikologis (Örtqvist L et al,2016).

Harga diri yang rendah, dan citra tubuh mereka yang terdistorsi bisa

berdampak pada perkembangan kemampuan sosial, seperti ketakutan untuk

mendekati orang, ketakutan menciptakan hubungan dan ketidakberanian untuk

berpartisipasi dalam kegiatan social, sebagai contoh ketakutan untuk mengganti

pakaian di ruang ganti bisa jadi masalah besar. Berg et al. menunjukkan pada awal

tahun delapan puluhan bahwa pria dewasa dengan hipospadias menunjukkan rasa

malu dan sering diejek lebih banyak sebagai anak-anak, dan kesulitan perilaku juga

ditunjukkan oleh Sandberg dkk, namun hasil ini tidak ditemukan pada material yang

lebih besar dari sebuah studi oleh Mureau et al. Prestasi akademis terhambat, karena

kunjungan berulang di rumah sakit atau akibat ejekan oleh teman sebaya, karena

perbedaan kelamin mengakibatkan lingkungan sekolah menjadi tidak ramah. Berg

et al menunjukkan bahwa pasien dalam penelitian mereka memiliki kualifikasi

profesi yang lebih rendah daripada kontrol, namun tingkat pendidikan dan profesi

sebanding ditunjukkan dalam beberapa studi selanjutnya (Örtqvist L et al,2016).

Perkembangan psikologis dan masalah psikiatri pada pria dengan

hipospadia hanya sedikit diselidiki, namun beberapa penelitian awal menunjukkan


50

peningkatan frekuensi kecemasan, tanda-tandadepresi, dan perilaku yang kurang

dalam hal eksternalisasi. Hasil epidemiologis terbaru menunjukkan peningkatan

prevalensi cacat intelektual, gangguan spektrum autisme (ASD),ADHD dan

gangguan perilaku/emosional pada pria dengan hypospadia dibandingkan dengan

kontrol. Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan efek psikologis yang merugikan

pada pria dengan hipospadia telah diusulkan untuk menjadi faktor genetik umum,

prosedur operasi, atau hipospadia sendiri (Örtqvist L et al,2016).

Studi yang dilakukan oleh Örtqvist L et al menunjukkan bahwa pasien

hipospadia dan kontrol memiliki situasi sosial yang sebanding dalam keluarga dan

dunia kerja. Pasien ditemukan tinggal di rumah dengan orang tua mereka sampai

usia yang lebih tua dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Pada

kelompok penderita hipospadia proksimal, tinggi badan secara signifikan lebih

pendek daripada pada kontrol. Pasien memiliki minat yang lebih tinggi terhadap

olahraga motor dan ketertarikan yang rendah terhadap kegiatan sosial dibandingkan

dengan kontrol. Pengalaman masa kecil pasien dengan hipospadia proksimal lebih

banyak menyatakan bahwa mereka memerlukan dukungan psikologikal sebanding

dengan banyaknya tindak lanjut pengobatan dibandingkan dengan pasien dengan

hipospadia distal. Bullying tidak dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi pada pasien

daripada kontrol, namun beberapa komentar tentang ejekan akan alat kelamin dan

bagaimana mereka menghindari untuk berganti pakaian diruang gantiumum

didepan teman sebaya menunjukkan bahwa masalah tersebut ada. Mengenai pola

keterikatan, tidak terdapat perbedaan signifikan, namun pasien dengan proksimal

hipospadia lebih sering memilih pola keterikatan dengan menghindar, mereka


51

memiliki keinginan untuk mendekati orang lain, tapi menghindari melakukannya

karena takut disakiti.Oleh karena itu untuk membantu anak / remaja bahwa mereka

layak untuk berteman maka perawatan secara psikologis sangat penting, dan tim

medis harus siap untuk menawarkandukungan psikologis, seperti pendidikan

psikologi tentang bagaimana strategi penanggulangannya (Örtqvist L et al, 2016).

2.3.5. Gangguan Stress pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorders)

Dilahirkan dengan kelainan kongenital, sering menjalani pemeriksaan

fisik genital dan pernah menjalani operasi dapat menjadi salah satu faktor risiko

stres pada anak yang berdampak negatif terhadap adaptasi psikososial antara lain

gangguan emosional, tingkah laku dan adaptasi sosial (Sanberg et al, 2001).

Pemeriksaan genital dibandingkan pemeriksaan telinga dan rongga mulut dapat

memberikan dampak negatif terhadap emosional anak. Makna operasi bagi anak

anak dinilai sebagai tindakan yang menakutkan seolah olah menjadi tindakan

pemberian hukuman ataupun kebiri, dan operasi pada daerah genitourinaria

dibandingkan operasi daerah lain terbukti sangat meningkatkan risiko gangguan

emosional, selain itu juga dampak pemeriksaan fisik genital dan operasi pada

daerah genital dapat berdampak dalam terjadinya gangguan stress pasca trauma atau

yang lebih dikenal dengan PTSD (Post Traumatic Stress Disorders). Gangguan

stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi maladaptif

yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis dan merupakan sindrom

kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang

amat pedih setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang

biasa. Selain itu, PTSD dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan
52

fisik dan mental secara ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,

atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang

mengancam kehidupannya. Pada anak dengan hipospadia yang menjalani operasi

33% mengalami gangguan emosional dan 17% datang ke pskiatri untuk mencari

bantuan (Schulz et al, 1983, Blotcky,MJ dan Grossman, 1978; Örtqvist L et al,

2016; Kaplan, Harold I, Benjamine J Sadock, 1997).

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-

IVTR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma

yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau

ancaman kematian, cedera serius, ancaman terhadap integritas fisik atas diri

seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem, horor,

rasa tidak berdaya (Kaplan, Harold I, Benjamine J Sadock, 1997; Verlinden E,

2014). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi dari individu

terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu

peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang

normal dialami oleh seseorang tersebut. Berdasarkan definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa PTSD merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih

kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman

kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horor,

rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan

apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang

menjadi gangguan stres pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian
53

(Kaplan, Harold I, Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule W, 2007;

Verlinden E, 2014).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) diakibatkan dari beberapa faktor

baik faktor dari dalam diri korban, maupun faktor lingkungan. Kepribadian juga

dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya PTSD, seperti pesimisme dan introvet,

menyalahkan diri sendiri, penyangkalan. Banyak faktor yang berperan dalam

apakah seseorang akan mendapatkan PTSD, faktor resiko yang membuat seseorang

lebih mungkin menjadi PTSD, yakni : a). Selama hidup pernah mengalami

peristiwa berbahaya yang membuat trauma, b). Memiliki sejarah penyakit mental,

c). Melihat orang terluka atau terbunuh, d). Merasa horor, ketidakberdayaan, atau

ketakutan ekstrim, e). Minimnya dukungan sosial, f). Mengalami kejadian

menyedihkan setelah kejadian, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau

kehilangan pekerjaan atau rumah. Dari beberapa faktor resiko di atas dapat dibagi

menjadi 2 yakni faktor resiko dari dalam diri (individu) dan faktor dari luar

(lingkungan) (Kaplan, Harold I, Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule

W, 2007; Verlinden E, 2014).

Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam

perkembangan PTSD. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita

mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin

yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis.

Setelah ancaman bahaya mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi

respon stres dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh

tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka
54

kemungkinan kita masih akan merasakan efek stres dari adrenalin. Pada korban

trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi

(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini

mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. (Kaplan, Harold

I, Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Verlinden E, 2014).

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala

mengalami, menghindari, dan terus terjaga lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang

gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan

stres akut. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR, PTSD memungkinkan klinisi untuk

merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis

(jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV-TR juga memungkinkan

klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika

awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres (Kaplan,

Harold I, Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Verlinden

E, 2014). Menurut DSM-IV-TR,

kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stres pascatrauma:

a. Kejadian traumatik

1) Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,

menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa

ancaman kematian, cidera yang serius sehingga mengancam integritas

fisik dirinya sendiri atau orang lain.

2) Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan

atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.


55

b. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

1) Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya

dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi).

2) Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya

(yang mencemaskan).

3) Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang

dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya).

4) Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang

mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa

trauma).

c. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan

mematikan perasaan/tidak berespon terhadap sesuatu sehingga akan berdampak

perubahan rutinitas pribadi. Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:

1) Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang

berhubungan dengan kejadian trauma.

2) Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma.

4) Kurangnya ketertarikan dalam berpartisipasi terhadap peristiwa

penting.

5) Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

6) Terbatasnya rentang emosi (tidak dapat merasakan cinta dan dicintai).

7) Perasaan bahwa masa depannya suram.


56

d. Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:

1) Sulit untuk memulai tidur/sulit mempertahankannya.

2) Sulit berkonsentrasi.

3) Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya.

4) Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

5) Reaksi kaget yang berlebihan.

e. Durasi dari gangguan (gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

f. Gangguan/gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan

Fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting

lainnya. Sedangkan pedoman diagnostik PTSD menurut Pedoman Penggolongan

dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dalam F 43.1 yaitu (Kaplan, Harold I,

Benjamine J Sadock, 1997)

a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

waktu enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang

berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai

melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi

waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak

didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang

kembali (flashback).
57

c. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

d. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar

biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi

dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama

setelah mengalami katastrofia).

Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya

semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki

keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam

bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak

memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut

memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanya

anak seringkali tidak memiliki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya)

dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal

untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-anak mungkin

mengalami perubahan antara hiperarousal dan numbing/withdrawl (Kaplan, Harold

I, Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Verlinden E, 2014).

Gejala PTSD bisa terdeteksi dari 3 (tiga) kategori utama, yakni: 1).

Mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience), 2). Penghindaran

(avoidance), dan 3). Gejala Ketegangan (hyperarousal). Dampak yang dapat

ditimbulkan pada penderita gangguan stress pasca trauma antara lain mudah merasa

tersinggung, kehilangan kemampuan berkonsentrasi, kehilangan minat untuk

berinteraksi dengan lingkungan, memiliki perasaan terasing dari orang lain, dan
58

mengalami mimpi buruk. Diketahui juga bahwa anak-anak dan remaja dapat

memiliki reaksi ekstrim untuk trauma, akan tetapi gejala yang ditunjukkan tidak

sama dengan orang dewasa. Pada anak-anak yang sangat muda, gejala-gejala ini

dapat meliputi; a) Mengompol, b) Melupakan bagaimana atau tidak mampu untuk

berbicara, c) Memerankan peristiwa menakutkan selama bermain, d) Menjadi luar

biasa menempel dengan orang tua atau orang dewasa lainnya (Kaplan, Harold I,

Benjamine J Sadock, 1997; Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Verlinden E, 2014)

The Children’s Revised Impact of Events Scale (CRIES) adalah alat ukur

pelaporan singkat yang dirancang untuk skrining anak-anak yang mengalami

gangguan PTSD. kuesioner ini (CRIES; Children and War Foundation, 2005)

memenuhi criteria merupakan instrumen yang baik dalam hal skrining dan telah

digunakan di banyak negara dan budaya (Barat dan Timur). Alat ukur ini telah

diterjemahkan ke lebih dari 15 bahasa dan telah digunakan di sejumlah negara yang

telah mengalami bencana baik dalam skal besar maupun kecil. Contohnya termasuk

penggunaannya pada anak-anak dan remaja akibat perang di Bosnia-Hercegovina,

dan juga anak korban kecelakaan lalu lintas atau cedera medis darurat lainnya di

Inggris dan Australia. CRIES telah menunjukkan keunggulan yang baik,

memuaskan dan validitas yang baik, stabil dan telah digunakan untuk menyaring

sampel besar anak-anak yang berisiko mengalami stress setelah berbagai peristiwa

traumatik (Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Verlinden E, 2014). Keunggulan

CRIES adalah sistem skoring sederhana dan hanya membutuhkan pelatihan

minimal, kriteria yang jelas untuk PTSD sesuai dengan kriteria diagnostik dalam

DSM, dan dapat digunakan bahkan dengan anak-anak lebih muda dari usia lima
59

tahun (Smith P, Perrin S, Yule W, 2007; Smith, P., Perrin, S., Yule, W., Hacam, B.,

& Stuvland, R. 2002; Verlinden E, 2014).

Menurut Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (edisi ke-4,

revitalisasi teks; DSMIV-TR; American Psychiatric Association, 2000) gejala stres

pasca trauma dibagi menjadi tiga klaster gejala terpisah. CRIES-8, terbatas hanya

pada dua gejala kelompok. Untuk menilai gejala DSM-IV-TR ketiga Cluster D

(arousal), lima item ditambahkan oleh Yule dan rekan, menghasilkan versi 13-item

IES yang dirancang untuk anak-anak (CRIES-13; Smith, P., Perrin, S., Yule, W.,

Hacam, B., & Stuvland, R. (2002). dari 2.976 anak-anak dalam perang, berusia 9-

14 tahun. Hasil menunjukkan bahwa CRIES-13 memiliki konsistensi internal yang

memuaskan dengan sensitivitas 91% dan spesifisitas 65% (Smith P, Perrin S, Yule

W, 2007).

Anda mungkin juga menyukai