Anda di halaman 1dari 7

NEUROPATI OPTIK TOKSIK KARENA ETAMBUTOL

DEVI AZRI WAHYUNI


DEPARTEMEN MATA RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG/
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB paru ) adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tubercolosis. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan dunia termasuk
indonesis, 75 % penderita TB paru adalah kelompok usia produktif. World Health organization (
WHO ) memperkirakan terdapat lebih kurang 9,2 juta kasus baru tuberkulosis setiap tahunnya. Lebih
kurang 55% dari penderita ini menggunakan etambutol setiap tahun untuk pengobatan tuberkulosis
dan diperkirakan 2% dari penderita yang menggunakan etambutol akan mengalami kehilangan
penglihatan yang permanen, sehingga insiden setiap tahun dari komplikasi iatrogenik yang serius ini
mencapai 100.000.( J Neuro-ophthalmol, vol 28,no 4, 2008 ).

Di Indonesia insiden TB paru menempati urutan nomor tiga di dunia setelah India dan Cina.
Survei yang dilakukan di enam provinsi pada tahun 1983-1993 mendapatkan prevalensi TB di
indonesia berkisar 0,2-0,65 %. Dalam upaya penanggulanagn Tb paru di Indonesia, pemerintah
melaksanakan program Nasional penanggulanagn Tb paru dengan menggunakan obat anti TB paru
(OAT) berupa kombinasi etambutol (EMB), isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Terapi ini
diberikan selama 6 bulan pada penderita TB kasus baru. Dalam kurun waktu tersebut OAT dapat
menimbulkan efek samping pada mata yang dikenal dengan neuropati optik toksik. Intoksikasi akibat
etambutol ini telah banyak dipublikasikan, kehilangan visus banyak didapatkan pada penderita yang
menerima etambutol ≥ 25 mg / kg bb /hari meskipun demikian kehilangan visus pada dosis terapi
yang direkomendasikan yaitu 15-25 mg/kg bb/hari lebih kurang 1 % ( Wallsh & Hoyt’s Vol 1 Hal
455). komplikasi berupa neuropati optik toksik ini bila tidak kita kenali dan atasi segera dapat
menimbulkan gangguan pengllihatan yang permanent. (Pedoman nasional penanggulanagn
tuberkulosis. Jakarta. Departemen kesehatan republik indonesia; 2005, Winstanley PA. Clinical
pathology of tuberculosis. In Davis P, Editors. Clinical tuberculosis .London. Chapman and Hall;
19987.P.226-41; Choi SY, Hwang JM. Optic neuropathy associated with etambutol in koreans.
Korean JK ophthalmology 1997;11:106-10)

DEFINISI

Neuropati optik toksik secara umum dapat diartikan sebagai kerusakan sraf optikus yang
disebabkan oleh paparan substansi tertentu. Neuropati optik toksik yang disebabkan etambutol dikenal
dengan neuropati optik toksik etambutol. ( Liesegang TJ. Neuro-ophthalmology; america. American
Academy of Ophthalmology, section 5;2010 )
ETAMBUTOL

Etambutol merupakan senyawa sintetik, larut dalam air, dan stabil dalam keadaan panas,
dijual sebagai garam hidroklorid, struktur isomer d ditunjukkan di bawah ini (Butler, 2007).

Gambar 9. Struktur Kimia Etambutol

Secara in vitro, banyak strain M Tuberculosis dan mikobakteria lain dihambat oleh etambutol
dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Hampir semua galur M. Tuberculosis dan M. Kansasii sensitif terhadap
etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain, tetapi obat ini tetap menekan pertumbuhan
kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol menghambat
sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif
terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. Efektivitas pada hewan coba sama
dengan isoniazid. Invivo, resistensi terhadap etambutol sukar terjadi dan timbulnya pun lambat, tetapi
resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tungggal (Butler, 2007; Goodman, 2005 : Katzung
2005).

Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam
plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan
kadar dalam plasma sekitar 5 mg/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar
etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan
sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma. Dalam
waktu 24 jam, 50% etambutol yg diberikan diekskresi dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai
metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk etambutol kira-kira
8,6ml/menit/kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi
melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa
dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak. (Katzung, 2005). Etambutol hidroklorid 15 mg/kg
BB biasanya diberikan sebagai dosis tunggal harian yang dikombinasikan dengan isoniazid atau
rifampisin. Dosis obat ini sebanyak 25 mg/kg masih dapat digunakan (Goodman, 2005).

Etambutol dikontraindikasi terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun, penderita neuritis optikus,
dan penderita yang hipersensitif terhadap obat ini. Toksikitas okuler etambutol tergantung pada dosis
dan lamanya pengobatan. Kehilangan visus banyak didapatkan pada penderita yang menerima
etambutol ≥ 25 mg / kg bb /hari meskipun demikian kehilangan visus pada dosis terapi yang
direkomendasikan yaitu 15-25 mg/kg bb/hari didapatkan lebih kurang 1 % ( Wallsh & Hoyt’s Vol 1
Hal 455). Pada umumnya perubahan visual reversibel selama beberapa minggu atau beberapa bulan,
tetapi bisa juga setelah 1 tahun atau lebih, bahkan irreversibel. Efek samping lain yang bisa
ditimbulkan etambutol selain toksiksitas okular adalah reaksi anafilaktoid, pruritis, dermatitis,
anoreksia, nyeri abdomen, demam, nyeri sendi, gangguan gastrointestinal (mual, muntah), malaise,
sakit kepala, pusing, gelisah, disorientasi, halusinasi juga dapat terjadi. Walaupun jarang ditemukan,
bisa timbul rasa kaku dan kesemutan pada ekstremitas yang disebabkan karena neuritis (Butler, 2007;
Katzung, 2005).

PATOGENESIS

Etambutol merusak bakteri dengan cara mengikat ion logam yang terdapat didalam ribosom
prokaryotik.. Terikatnya logam ini akan menghambat arabinosyl transferase yang merupakan enzim
penting pada sintestis didinding sel mikobakterial. Karena adanya kesamaan dari DNA mitokondria
mamalia dan ribosom dari bakteri ini sintesis protein pada mitokondria juga terhambat. Pelepasan
ribososm dari rough endoplasmic reticulum dan pemisahan dari polysomes menjadi monosomes yang
diikuti dengan deplesi ATP yang berkepanjangan berkontribusi ( menambah) dalam menurunkan
sintesis protein. (Carelli,2002)

Dalam proses fosforilasi oksidatif yang terjadi pada mitokondria, elektron ditransfer kerantai
komplek sebagai proton yang mengalami translokasi melintasi inner membran untuk membentuk
gradien elektrokimia. Energi yang tersimpan didalam transport elektron ditambahkan (coupled )
untuk sintesis ATP. Sebagai pengikat logam, etambutol dapat mengganggu fosforilasi oksidatif dan
fungsi mitokondria dengan mengganggu besi yang terdapat pada komplek 1 dan tembaga dalam
komplek IV. Penurunan kronik dari produksi energi dan akumulasi reactive oxigen species (ROS)
akhirnya menyebabkan apoptosis dan degenerasi syaraf optik.(Sadun 2005; Philips 2005)

Mitokondria menyediakan sebagian besar ATP yang dibutuhkan oleh sel. Pada proses
fosforilasi oksidatif reactive oxygen species (ROS) dihasilkan sebagai produk samping. Deplesi energi
dan stress oksidatif dapat menyebabkan kerusakkan mitokondria sehingga menyebabkan terbukannya
mitochondrial permeability transition pore ( MPTP ) yang mengakibatkan bocornya atau keluarnya
cytochrome c (Cyt c) yang memicu jalur apoptosis di dalam sitosol. Setiap kali akson melakukan
perambatan potensial aksi pompa sodium/potasium ( pompa Na-K ) harus memperbaiki sisa membran
potensial. Langkah ini membutuhkan ATP dalam jumlah besar. Tidak mengherankan mitokondria
sebagai sumber utama ATP menumpuk di simpul Ranvier dan daerah lainnya sepanjang akson yang
tidak bermielin ( unmyelinated axons ) (barboni 2005, Philip 2005 )

Karena transportasi akson membutuhkan energi yang besar dan mitokondria perlu diangkut
dari neural somata ke distal terminal synaptik dalam jangka hidup mitokondria yang singkat, sel
ganglion retina (RGC) dengan aksonnya yang panjang sangat rentan untuk mengalami kerusakan.
Fungsi mitokondria yang rusak / tidak baik membahayakan efisiensi transport akson termasuk
transport dari mitokondria itu sendiri. Akson sel ganglion retina (RGC) dari serabut papillomacular
bundle sangat rentan karena diameter/ ukurannya yang sempit memberikan area permukaan yang
tinggi menyebabkan konsumsi energi yang tidak sebanding dengan produksi. Sebagai tambahan
kurangnya mielinisasi pada bagian dalam mata dan cepatnya firring rate karena stimulasi
menyebabkan akson sel ganglion retina ( RGC ) rentan. (Sadun 2005)

Pada tahap awal dari toksik karena etahambutol terjadi kompensasi yang sangat baik,
mitokondria menumpuk dalam kason sel ganglion retina (RGC), penumpukan ini terdeteksi dengan
OCT sebagai pembengkakan aksonal. Resolusi dari pembengkakan aksonal pada penghentian
pemakaian etambutol menyebabkan penurunan ketebalan lapisan serabut syaraf dan perbaikan lapang
pandang yang terjadi pada beberapa penderita. Remielinisasi akson dapat membantu menjelaskan
adanya perbaikan penglihatan yang lama pada beberapa penderita yang mengalami toksikk
etambutol, namun hilangnya kasonal yang terlihat sebagai diskus optikus yang pucat adalah suatu
proses yang irreversibel.(Barboni,2005)

Jalur Apoptosis Mitokondria.

Akumulasi dari reactive oxygen species (ROS) menyebabkan penurunan electrical potensial yang
melintasi membran mitokondria yang menyebabkan terbukanya mitochondrial permiability transition
pore (MPTP) terbuka sehingga terjadi pelepasan cytochrome c (cyt c) ke dalam sitosol. Cytochrome
terikat pada apoptosis activating factor-1 (APAF-1) yang mengaktifkan procaspase -9 yang
mencetuskan caspase cascade dan apoptosis.

GAMBARAN KLINIS

Neuropati optik toksik karena etambutol memiliki karakteristik berupa gejala berjalan perlahan,
progresif , simetris bilateral, tanpa disertai rasa nyeri, kehilangan visus sentral dan adanya skotoma
sentral atau sekosentral (AAO) . Gejala okular akibat toksik etambutol bervariasi. Penderita dengan
toksik etambutol akan mengeluh adanya penurunan penglihatan pada kedua mata yang progresif tanpa
disertai rasa nyeri, kehilangan penglihatan biasanya terjadi paling sedikit 2 bulan dengan rata-rata 7
bulan setelah mengkonsumsi etambutol , Meskipun langka, kasus toksikitas yang terjadi beberapa hari
setelah inisiasi telah dilaporkan baik pada pasien dengan dosis standar 15 mg / kg per hari ataupun 25
mg / kg per hari (Heng, 1999). Penderita juga mengalami penurunan persepsi warna, defek
penglihatan sentral adalah defek lapang pandang yang paling sering timbul walaupun defek lapang
pandang lain juga dapat dijumpai. Beberapa individu dengan neuropati ptik toksisk etambutol dapat
bersifat asimptomatik dan gangguan penglihatan hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan mata.
(Zafar, 2008, alvin kwok). Faktor resiko yang teridentifikasi pada pasien dengan toksikitas okuler
akibat etambutol diantaranya fungsi ginjal yang buruk, penyakit sistemik yang menyertai (diabates),
dan konsumsi tobacco dan alkohol dalam jangka panjang (Barboni et al, 2005).

Temuan pemeriksaan fisik pada penderita toksik etambutol juga bervariasi. Jika terdeteksi
bentuk abnormalitas apapun, kedua mata biasanya secara simetris terpengaruh. Pupil biasanya
bereaksi lambat terhadap cahaya tanpa adanya defek pupil aferen relatif (RAPD). Penurunan
ketajaman penglihatan bervariasi mulai dari penurunan penglihatan minimal hingga tidak ada
persepsi cahaya. Skotoma sentral adalah gejala yang paling umum mengenai defek lapang pandang,
tetapi defek bitemporal atau penyempitan lapang pandang perifer juga dapat terjadi (Melamud, 2003).
Diskromatopsia (persepsi warna abnormal) biasanya merupakan gejala paling awal dari toksikitas,
didokumentasikan sebagai perubahan persepsi warna merah-hijau (Trusiewicz, 1975). Pada tahap
awal dari neuropati optik toksik etambutol umumnya saraf optik masih tampak normal, namun edema
diskus dan hiperemia dapat ditemukan dalam beberapa kasus intoksikasi, khususnya pada fase akut.
Hilangnya berkas papilomakular dan atrofi optik dapat terjadi tergantung pada berbagai hal terutama
jenis intoksikasinya.. Bila obat tetap dilanjutkan, maka akan terlihat timbulnya atrofi papil optik pada
pemeriksaan funduskopi (Melamud, 2007).

Optical coherence tomography (OCT) yang sering digunakan untuk mengukur ketebalan serat
saraf dapat juga digunakan pada neuropati akibat etambutol. Dengan OCT dapat diketahui kuantitas
serat saraf retina yang hilang dari nervus optikus sebagai tanda awal toksikitas dari obat yang tidak
mungkin dapat diketahui dengan funduskopi. Karakteristik toksikitas okular dari etambutol
digambarkan sebagai dose-related, duration-related, dan sebagian besar reversibel (Philips, 2005;
Zafar, 2008).

a. Dose-related
Insiden neuritis retrobulbar terkait ethambutol bervariasi antara 18% pada pasien yang
menerima lebih dari 35 mg / kg per hari, 5% sampai 6% pada pasien dengan dosis 25 mg / kg per hari,
dan kurang dari 1% pada pasien dengan dosis 15 mg / kg per hari dengan durasi konsumsi lebih dari 2
bulan. Tidak ada dosis aman dari efek toksik etambutol, toksikitas juga dapat terjadi pada dosis
serendah 12,3 mg / kg per hari. Dosis tinggi (25 mg/kg pr hari) hanya diberikan pada pasien dengan
Tb kavitatory yang parah, drug resistant Tb, dan kasus Tb berulang (Tsai, 1997).

Jalur ekskresi utama etambutol adalah melalui ginjal, pasien dengan fungsi ginjal yang buruk
berisiko lebih tinggi untuk mengalami toksikitas okular etambutol (Chuenkongkaew, 2003).
b. Duration-related
Manifestasi toksikitas okular biasanya lambat, dan umumnya tidak timbul sampai setidaknya
1,5 bulan – 2 bulan setelah terapi dengan etambutol (Melamud, 2003). Rata-rata interval antara onset
terapi dan efek toksik yang telah dilaporkan adalah 3-5 bulan (Tsai, 1997) dan kepustakaan lainnya
menyebutkan rata rata 7 bulan.

c. Reversibilitas
Secara umum toksikitas okuler akibat etambutol bersifat reversibel, pada penghentian terapi
dapat terjadi pemulihan ketajaman penglihatan selama periode minggu ke bulan. Penurunan fungsi
penglihatan yang permanen telah dilaporkan pada follow-up setelah 6 bulan hingga 3 tahun pada
beberapa pasien dengan penghentian terapi etambutol. Salah satu faktor risiko yang teridentifikasi
dalam memperngaruhi perbaikan fungsi visual adalah faktor usia. Perbedaan yang signifikan dalam
perbaikan visual ditemukan diantara kelompok pasien berusia lebih tua dari 60 tahun (20%) dan
mereka yang berusia lebih muda dari 60 tahun (80%). Meskipun perbaikan fungsi penglihatan dapat
terjadi, perbaikan total jarang dapat tercapai (Tsai, 1997; Chuenkongkaew, 2003)

PENATALAKSANAAN

Pemakaian etambutol harus segera dihentikan bila terdapat toksisitas okuler yang
diinduksi etambutol. Penghentian pemakaian etambutol merupakan penatalaksanaan yang
paling efektif yang dapat mencegah kehilangan penglihatan yang progresif dan sekaligus
untuk proses penyembuhan. (Tsai, 1997).

Beberapa langkah dalam manajemen penggunaan etambutol pada penderita Tb untuk


menghindari kemungkinan komplikasi toksisitas okuler (Zafar, 2008):

1. Identifikasi pasien
Identifikasi diperlukan untuk membedakan pasien Tb yang tidak direkomendasikan
untuk mendapat terapi etambutol atau mempunyai kontraindikasi terhadap etambutol.
Pemberian etambutol kontraindikasi pada pasien yang tidak kooperatif seperti pada pasien
dengan demensia, retardasi mental dan anak-anak. Pada penderita dengan kelainan
oftalmologis seperti katarak, peradangan mata yang berulang, retinopati diabetik, retinopati
hipertensi sulit untuk dinilai ada tidaknya perubahan fungsi visual, sehingga sebaiknya tidak
diberikan terapi dengan etambutol.
2. Edukasi pasien
Transfer informasi dari dokter ke pasien sangat penting. Penjelasan mengenai
kemungkinan efek samping etambutol yaitu turunnya tajam penglihatan, gangguan persepsi
warna dan defek pada lapang pandang perlu dijelaskan kepada pasien. Peringatan kepada
pasien untuk segera menghentikan konsumsi etambutol sesegera mungkin jika terdapat
gejala-gejala penurunan fungsi visual diikuti dengan segera mencari pertolongan kesehatan
terdekat.

3. Pre-treatment visual test


Sebelum memulai pengobatan Tb dengan etambutol, perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan oftalmologis diantaranya pemeriksaan visus atau tajam penglihatan (Snellen
chart), pemeriksaan persepsi warna (Ishihara test), dan pemeriksaan lapang pandang
(Humprey test). Monitoring pasien dengan konsumsi etambutol sebaiknya dilakukan secara
periodik setiap 1 hingga 3 bulan sekali. Pemeriksaan reguler perlu diprioritaskan pada pasien
yang mengkonsumsi etambutol dengan dosis tinggi (>25 mg/kg per hari) dan pada pasien
dengan durasi terapi memanjang (prolonged treatment)

4. Jika telah terjadi gangguan fungsi visual akibat toksisitas etambutol, maka terapi
yang dapat dilakukan diantaranya pemberian kortikosteroid dosis tinggi yaitu
metilprednisolon, dengan dosis dewasa: 4x250 mg 3-5 hari, anak-anak: 4x125 mg 3-5 hari.
Mecobolamin sebagai homolog dari vitamin B12 dengan dosis 2x250-500 mg per hari
dapat diberikan sebagai terapi tambahan.

Anda mungkin juga menyukai