Anda di halaman 1dari 22

Osteoarthritis pada Wanita Lansia

Kelompok A7

Risya Malida 102012098

Andrew Timothy F 102013135

Sisca Natalia 102013221

Erwin Febrianto 102013399

Yussi Septiana 102014079

Deviat Astriana Amier 102014135

Dewi Luckyta Mahenu 102014195

Thavinaash Ramany 102014239

Lynett Dawina Tokiu 102014253

Dokter Pembimbing:

Dr. Budiman

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510

2016
Pendahuluan

Penyakit nyeri sendi adalah penyakit yang umum terjadi di negara Indonesia bahkan di
dunia.Umumnya penyakit sendi ini menyerang kaum lanjut usia yang mengakibatkan
menurunnya aktivitas yang dapat dilakukan sehari-hari.Salah satu penyakit sendi yang sering
mengenai individu saat lanjut usia adalah osteo arthritis yang memang merupakan suatu
penyakit degeneratif.Bertambahnya kaum lanjut usia sekarang ini mengakibatkan
bertambahnya juga penderita osteo arthritis,mengakibatkan penyakit ini harus mendapat
perhatian yang lebih besar. Ditambah lagi faktor gaya hidup yang memperburuk berjalannya
penyakit ini membuat penyakit ini menjadi lebih sering diketemukan pada kaum lanjut usia.1
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui perjalanan penyakit dari
penyakit osteo arthritis,serta prognosis dan komplikasi dari penyakit osteo arthritis itu
sendiri.Selain itu dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai pemeriksaan fisik dan
penunjang dari penyakit osteo arthritis, ciri-ciri dan penatalaksanaan juga akan dibahas pada
makalah.Dalam makalah ini juga akan disinggung mengenai cara mencegah terkena osteo
arthritis,karena penyakit osteo arthritis adalah peyakit yang sangat mengganggu aktivitas
individu sehari-hari,sehingga mencegahnya adalah suatu hal yang penting.1

Anamnesis

Hal paling utama yang harus dilakukan oleh seorang dokter adalah anamnesis. Yaitu
menyanyakan keadaan pasien sebelum datang ke rumah sakit (RS). Apa saja keluhan yang
dirasakannya dan dapat menempatkan rasa empati dengan benar, serta mendapatkan
kepercayaan pasien sehingga pasien dapat menceritakan semua yang dirasakannya tanpa
menutup-nutupi apa yang dia alami.

Apabila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diajak berbicara mengenai penyakitnya,
maka anamnesis ini dapat dilakukan oleh orang terdekat atau orang yang mengantarkan
pasien ke tempat praktek atau unit gawat darurat (UGD) yang disebut dengan allo anamnesis.

Sangat penting untuk mendapatkan anamnesis yang akurat, karena dari anamnesis, dokter
dapat mengetahui gejala-gejala yang dialami pasien sehingga dapat mengenali lebih lagi
penyakit apa yang dialami oleh pasien.

Jika kita mencurigai adanya gejala dan keluhan nyeri sendi, maka hendaklah kita lakukan
anamnesis dengan baik. Diantaranya kita dapat melakukan anamnesis sebagai berikut.1,2
a. Identitas pasien (Nama, Usia, Pekerjaan, dll).
b. Keluhan Utama
 Nyeri kedua lutut : kapan mulai serangan pertama? Sudah berapa kali
serangan sampai sekarang?
 Intensitas beratnya serangan : tetap? makin berat? atau malah menurun?
 Adakah riwayat trauma ?
c. Riwayat penyakit sekarang
 Apakah ada faktor pemicu nyeri? Seperti beraktivitas dan lain-lain.
d. Riwayat penyakit dahulu
 Apakah pernah seperti ini sebelumnya?
 Apakah ada riwayat darah tinggi atau diabetes dll sebelumnya?
e. Riwayat penyakit Keluarga
 Apakah ada keluarga yang mengalami masalah yang sama?
f. Riwayat penyakit sosial
 Bagaimana pola hidup ?
 Apakah rajin berolah raga atau tidak?

Pemeriksaan

1. Fisik
Pemeriksaan fisik pada sistem muskuloskeletal meliputi inspeksi pada saat diam/
istirahat, inspeksi pada saat gerak, dan palpasi. Yang dinilai dalam pemeriksaan fisik
antara lain:

Inspeksi

Gaya Berjalan

Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase, loading / stance
phase , toe off phase dan swing phase. Pada heel strike phase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi
lutut. Pada loading / stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan
rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strike phase. Pada toe
off phase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai. Pada swing phase,
sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi talokruralis.
Gaya berjalan abnormal meliputi gaya berjalan antalgik (Gaya berjalan pada pasien
artritis dimana pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri), Trendelenburg
(Disebabkan oleh abduksi koksae yang tidak efektif sehingga panggul kontralateral akan
jatuh pada swing phase), Waddle gait (Gaya berjalan tendelenburg bilateral sehingga
pasien akan berjalan dengan pantat bergoyang), Paraparetik Spastik (Kedua tungkai
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram kuat
sebagai usaha agar tidak jatuh), Paraparetik flaksid (Gaya berjalan seperti ayam jantan),
hemiparetik (tungkai yang kesemutan akan digerakan ke samping baru diayun ke depan
karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan), ataktik (Kedua tungkai dilangkahkan
secara bergoyang ke depan dan ditapakkan ke lantai secara ceroboh secara berjauhan satu
sama lain), parkinson (gerak berjalandilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-tatih
dengan jangkauan yang pendek-pendek), scissor gait (Gaya berjalan dengan kedua tungkai
bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lain secara
bergantian).

Sikap / Postur Badan

Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi bagian badan yang sakit.
Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intraartikular yang tinggi, oleh karena
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut seenak
mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan
bantal. Pada sendi bahu dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi.

Atrofi atau Penurunan Kekuatan Otot

Atrofi otot merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Pada sinovitis segera
terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada
artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf,
gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih
penting dari besar otot.2

Palpasi
Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi
yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya
paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut.Pembengkakan
sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak
(100cc),sebab lain karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi,sering
terdapat pembengkakan sendi lutut dan kantong suprapatela sehingga cekungan normal di
sekitar patela menghilang.
Nyeri Raba
Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal yang penting untuk
menentukan penyebab keluhan pasien.Nyeri pada OA dapat berupa penjalaran atau
radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal. Nyeri biasanya paling berat pada
malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik di siang hari.
Pada artritis reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari, membaik
pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari. Pada artritis gout, nyeri yang
terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada
malam hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, nyeri ini biasanya self limiting
dan sangat resposif dengan pengobatan. Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan
malam) pada tulang merupakan tanda proses keganasan.
Move
Kisaran gerak dan manuver
Gerakan sendi lutut yang terutama adalah fleksi, ekstensi, rotasi internal dan
eksternal. Pada penderita osteoarthritis biasanya ditemukan pengurangan range of
movemen / ROM. Terutama pada gerakan fleksi-ekstensi. Normalnya pada pergerakan ini
pasien setidaknya dapat mencapai ROM sebesar 120o. Namun sudut ini dapat menurun
pada penderita osteoarthritis. Umumnya pasien akan kesulitan melakukan fleksi yang
dalam seperti pada saat berlutut.
Pergelangan kaki dan kaki juga merupakan tempat yang sering terjadi perubahan
radiografi akibat terjadinya proses peradagan. Oleh karena itu pemeriksaan di daerah ini
tidak kalah pentingnya.
Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klini OA lutut.Pada awalnya hanya berupa
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak
tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada
saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi.
2. Pemeriksaan Penunjang

Artrosentesis
Merupakan teknik pengambilan cairan sendi (aspirasi) yang harus disesuaikan dengan
lokasi anatomi dan ukuran sendi.Pemeriksaan artrosentesis diindikasikan (diagnostik)
untuk membantu diagnosa artritis, memperbaiki fungsi gerak persendian, dan digunakan
selama pengobatan artritis septik secara serial untuk menghitung jumlah leukosit,
pengecatan gram dan kultur cairan sendi.Sedangkan indikasi terapeutik pemeriksaan
artrosentesis adalah pemberian kortikosteroid intraartikular yang bertujuan untuk
membantu terapi fisik pada kontraktur sendi, menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat,
mempersingkat periode nyeri pada artritis gout, dan mengontrol inflamasi steril pada sendi
(bila obat non steroid telah gagal, kemungkinan akan gagal atau kontraindikiasi). 1,2
Kontraindikasi diagnostik artrosentesis ialah apabila terdapat infeksi jaringan lunak
yang menutupi sendi, bakteremi, secara anatomis tidak dapat dilakukan (fraktur intra
artikuler, sendi yang tidak stabil), dan pasien tidak kooperatif. Kontraindikasi terapeutik
artrosentesis meliputi instabilitas sendi, nekrosis avakular, artritis septik, dan telah
kontraindikasi diagnostik.1

Tes Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan bedside.Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam kelompok
apa. Dalam pemeriksaan makroskopis, cairan sendi dibedakan menjadi 5 macam
kelompok. Kelompok 1 – Normal, Kelompok 2 – Non Inflamasi, kelompok 3 – Inflamasi,
Kelompok 4 – Purulen, dan kelompok 5 – Hemoragik. Diagnosis spesifik jarang bisa
ditentukan hanya berdasarkan pemeriksaan makroskopis saja. Dalam pemeriksaan
makroskopis cairan sendi, yang dilihat meliputi volume, viskositas, kejernihan dan warna,
bekuan musin, dan polimorfonuklear.2,3
Volume,sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi, bahkan pada
sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3-4 mL cairan sinovial.
Viskositas,cairan sendi normal sangat kental karena tingginya konsentrasi polimer
hyaluronat. Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama cairan sinovial dan
berperan penting pada lubrikasi cairan sinovial. Pada penyakit sendi inflamasi , asam
hyaluronat rusak dan menurunkan viskositas cairan sendi. Viskositas merupakan penilaian
tidak langsung dari konsentrasi asam hyaluronat dalam cairan sinovial. Penilaian
viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan string test,yaitu melihat cairan sendi
pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi normal akan dapat
membentuk juluran (string out) 7-10 cm lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan
menggunakan viscometer. 1,2
Warna dan kejernihan,cairan sendi yang normal tidak berwarna ( seperti air atau putih
telur). Pada sendi inflamasi,jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovial meningkat.
Eritrosit pada sinovial selanjutnya akan mengalami kerusakan dan akan memberikan
warna kekuningan (xantokrom) pada sendi inflamasi. Leukosit akan membuat warna
cairan sendi menjadi putih , sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan
berwarna putih seperti susu. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan leukosit, warna
cairan sendi juga dipengaruhi oleh kuman dan kristal yang ada dalam cairan sendi.
Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan, serratia marcescens akan
memberikan warna kemerahan dan kristal monosodium urat akan memberikan warna
putih seperti susu.1
Bekuan,cairan sinovial mengandung sedikit sekali kandungan protein pembekuan
seperti fibrinogen , protombin, faktor V, faktor VII dan tromboplastin jaringan sehingga
cairan sinovial normal tidak membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi membran dialisat
sendi mnjadi rusak sehingga protein berat molekul yang lebih besar seperti protein-protein
pembekuan akan menerobos masuk ke cairan sinovial, sehingga cairan sinovial pada
penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknuya bekuan tergantung
dengan derajat inflamasi sinovial.
Bekuan musin,pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksaan untuk
menilai konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
menambahkan 1 bagian sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2 %. Pada cairan sendi
normal atau kelompok 1 akan membentuk bekuan, sedangkan pada cairan sendi kelompok
III dan IV (Inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.2

Tes Mikroskopis
Jumlah dan hitung Leukosit,pemeriksaan jumlah dan hitung sel leukosit sangat
membantu dalam mengelompokan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat
membedakan kelompok inflamasi dan non inflamasi. Pada cairan sendi kelompok II
seperti artritis reumatoid, jumlah leukosit umumnya 3000 – 50000 sel / mL sedangkan
pada kelompok III , jumlah leukosit biasanya > 50000 / mL. Pada cairan sendi normal,
umumnya PMN < 25 %, sedangkan pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari
70%.
Kristal,pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah
aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat (MSU) dapat diperiksa dengan mikroskop
cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan polarisasi. Kristal
MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar 40 µm (4 x leukosit). Kristal ini sangat
berpendar sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang.2

Tes Mikrobiologi
Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis inflamasi yang terjadi
bersama dengan infeksi di tempat lain (misalnya endokarditis, selulitis, pneumonia) atau
sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien diabetes pasca
transplantasi. Pada pengelompokan cairan sendi, artritis septik termasuk dalam kelompok
III, yang jumlah leukositnya umumnya lebih dari 50000/mL. Tetapi kadang-kadang cairan
sendi septik dapat memberi gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi
kelompok III dapat juga terjadi pada artritis inflamasi non infeksi seperti pada gout. Pada
umumnya pengecatan gram dan kultur bakteri cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi
beberapa pengecatan dan biakan pada media khusus saangat membantu pada kondisi
tertentu misalnyab mycobacterium tuberkulosis dan jamur.3

Tes Kimia
Tes glukosa,tes glukosa sendi harus dilakukan dengan tes glukosa darah untuk
membandingkan peningkatan glukosa pada pasien tersebut pada saat itu. Tes ini dibagi
menjadi 4 kelompok , yakni Normal (apabila perbedaan antara glukosa serum dan glukosa
cairan sendi < 10 mg%), Non Inflamatorik (Perbedaan < 10 mg%), kelompok inflamatorik
( pada artritis reumatoid rata-rata 12 mg%, Faktor reumatoid : perbedaan 6 mg%), dan
kelompok septik (Pada artritis tuberkulosa dapat mencapai 57 mg% dan pada Artritis
gonore dapat mencapai 26 mg%)
Laktat dehidrogenase,nilai normal sekitar 100 – 190 U/L. Meningkat pada reumatoid
artritis , gout , dan artritis karena infeksi.2,3
Hasil pemeriksaan laboratorium pada Osteo arthritis biasanya tidak banyak
berguna.Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal,
kecuali oseteo astritis generalisata yang harus dibedakan dengan artritis
peradangan.Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga
normal. Pada osteo arthritis yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan
viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan
(<8000/m) dan peningkatan protein.4

Radiologi
Foto polos
Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan pencitraan
penyakit sendi walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan MRI. Biayanya
murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detail trabekula dan erosi kecil tulang dapat
dilihat dengan baik. Meskipun resolusikontrasnya tidak sebaik CT-Scan ataupun MRI,
foto polos merupakan sarana yang berguna untuk menilai pengaruh massa jaringan lunak
terhadap tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi dalam jaringan lunak.
Namun teknik ini tidak cocok untuk mengevaluasi jaringan lunak (soft tissue).
CT-Scan (Computed Tomography)
Meskipun relatif mahal, CT-Scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spasial lebih
baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional. CT-Scan dapat
memperlihatkan kelainan jaringan lunak yang lebih baik daripada foto konvensional,
walaupun tidak sebaik MRI.
CT-Scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit
degenaratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua.
Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen intervertebralis lebih muda dievaluasi
daripada MRI.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena
kesanggupannya memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan
oleh pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur
berdasarkan densitas proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan lingkungan
terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang
berbeda-beda.
MRI relatif lebih mahal daaripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga
peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. Struktur jaringan
lunak sendi seperti meniskus dan krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas.
Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras
paramagnetik intravena seperti gadolinium. Demikian juga kelainan lain seperti efusi
sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan
integritas tendo dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligamen antara
tulang karpal dan fibrokartilago trianguler.
Kalsifikasi jaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang
rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang juga mempunya pancaran sinyal yang rendah
akan menimbulkan masalah, tetapi karena sumsum tulang memiliki sinyal yang tinggi,
MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang.2
Artrografi
Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras ke dalam sendi diikuti oleh
pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional , ruang sendi diisi dengan bahan
kontras yang mengandung yodium dan kadang-kadang udara. Biaya pemeriksaan lebih
murah dibandingkan CT-Scan dan MRI dan dapat dilakukan jika tersedia fluoroskopi.
Tetapi kemungkinan masuknya bakteri ke dalam sendi ataupun reaksi terhadap bahan
kontras dan anestesi lokal harus dipertimbangkan.3
Salah satu alasan utama melakukan artrografi adalah untuk memeriksa struktur dalam
sendi seperti meniskus sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan radiologi
konvensional. Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan lokasi jarum
intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi
merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan asal spesimen.3
Pemilihan Pemeriksaan Radiologi
Hampir semua pemeriksaan pencitraan dimulai dengan foto polos. Jika diperlukan
informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering
merupakan pilihan kedua. Pada kebanyakan kasus, hasil pemeriksaan MRI harus
dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau
erosi ringan pada korteks.3,4
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis Osteo arthritis ialah:

 Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menanggung beban).
 Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
 Kista tulang
 Osteofit pada pinggir sendi
 Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi Osteo arthritis


dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence),yaitu:
 Derajat 0 : normal, celah sendi baik, tidak ada osteofit dan kista subkondral.
 Derajat 1 : adanya penyempitan celah sendi yang meragukan dan adanya
kemungkinan pembentukan osteofit.
 Derajat 2 : adanya osteofit yang disertai dengan kemungkinan penyempitan pada
celah sendi.
 Derajat 3 : jumlah osteofit yang lebih dari satu, penyempitan celah sendi,
beberapa gambaran sklerotik pada tulang yang disertai dengan kemungkinan
adanya deformitas tulang.
 Derajat 4 : osteofit yang besar, celah sendi yang menyempit, sklerosis dalam
tingkatan yang parah serta didapatkan adanya deformitas pada tulang.
Pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.3

Diagnosis kerja
Osteo arthritis
Penyakit ini merupakan penyakit arthritis kronik yang angka kejadiannya meningkat
seiring dengan bertambahnya umur oleh karena itu disebut penyakit degeneratif sendi
sinovial. Terdapat kerusakan kartilago hialin disertai sklerosis, pembentukan kista dan
osteofit pada tulang subkondral yang mendasari, dan penyempitan rongga sendi. Ada dua
jenis osteoartritis, yaitu osteoartritis primer (tidak diketahui penyebabnya), dan osteoartritis
sekunder (pencetusnya adalah penyakit lain).Baik Rhematoid arthritis maupun Osteo arthritis,
keduanya menyebabkan terjadinya radang sendi sehingga mengakibatkan nyeri (hebat), kaku,
kerusakan jaringan sendi dan hilangnya fungsi. Pada dasarnya Rhematoid arthritis sangat
berbeda dengan Osteo arthritis, Rhematoid arthritis adalah penyakit autoimun, artinya, sistem
imun tubuh menyerang jaringan sehat sehingga mengakibatkan rusaknya sendi, inflamasi
kronik yang ditambah dengan rusaknya organ-organ lain dan sistem organ.Rhematoid
arthritis cenderung muncul pada usia yang lebih muda, dan tidak terbatas pada sendi-sendi
penyangga (berat) tubuh. Sebaliknya pada Osteo arthritis, rusaknya sendi dikarenakan oleh
penggunaan dan usia, Osteo arthritis biasanya menyerang sendi penyangga (berat) tubuh,
tidak menyerang organ-organ lain, dan biasanya berkaitan dengan bertambahnya usia.2,3
Gejala klinis

1. Nyeri sendi. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan
istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang
lebih disbanding gerakan yang lain. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau
akibat radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal. OA lumbal yang
menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang
biasa disebut dengan claudicatio intermitten.
2. Hambatan gerakan sendi. Gangguan ini semakin bertambah berat perlahan
bersamaan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku pagi. Pada beberapa pasien, gejala ini timbul setelah imobilitas, seperti duduk
di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.
4. Tanda – tanda peradangan. Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri
tekan, bengkak, gangguan gerak, rasa hangat, dan kemerahan) mungkin dijumpai pada
OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda – tanda ini tak menonjol dan timbul
belakangan, seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi – sendi kecil
tangan dan kaki.
5. Krepitasi. Rasa gemeretak(kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
6. Pembesaran sendi(Deformitas). Perubahan yang khas terjadi pada tangan. Nodus
Heberden atau pembesaran tulang sendi interfalang distal sering dijumpai.
7. Perubahan gaya berjalan. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut
atau panggulnya berkembang menjadi pincang.
8. Sendi-sendi yang terkena. Adanya kecenderungan Osteo arthritis pada sendi-sendi
tertentu (carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang,
lutut dan paha) adalah nyata sekali. Sebagai perbandingan, Osteo arthritis pada siku,
pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama
terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif seperti itu sampai sekarang masih
sulit dijelaskan. Salah satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering tekena
Osteo arthritis adalah sendi-sendi yang paling akhir mengalami perubahan-perubahan
evolusi, khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki.
Sendi-sendi tersebut mungkin mempunyai rancang bangun yang sub optimal untuk
gerakan-gerakan yang mereka lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak
mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal daripada sendi-sendi yang sudah
mengalami adaptasi lebih lama.3
Diagnosis banding
Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh
dan mudah patah. Osteoporosis terbagi menjadi dua tipe, yaitu :

1. Tipe 1 : Osteoporosis pasca menopause yang terjadi karena defisiensi estrogen.


2. Tipe 2 : Osteoporosis senilis yaitu karena gangguan absorbsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan menjadi osteoporosis.

Dalam hal osteoporosis ini estrogen sangat berperan pada pasca menopause dan senilis. Peran
estrogen pada tulang sendiri meliputi regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang
penting, efek langsung terhadap sel-sel tulang yaitu meningkatkan formasi tulang dan
menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas, dan efek tak langsungnya yang berhubungan
dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi
1,25(OH)2D,ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid.

Wanita akan mengalami kehilangan massa tulang lebih cepat terutama setelah menopause.
Hal ini disebabkan estrogen yang diproduksi di ovarium yang berperan mencegah kehilangan
masa tulang sangat rendah sehingga kehilangan massa tulang akan terjadi lebih cepat.

Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif yang melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-
pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan
sifat progresivitasnya. Pasien dapat pula menunjukan gejala konstitusional berupa kelemahan
umum, cepat lelah, atau gangguan nonartikular lain.
Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya
sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian,seringkali
juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit
kronik yang hilang timbul. Walaupun faktor genetik, hormon seks, infeksi dan umur telah
diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini, hingga saat ini,
etiologi artritis reumatoid yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui secara pasti.
Gambaran radiografi juga bisa membedakan OA dan rematoid arthritis (RA) :
 Kepadatan tulang terjadi pada sendi OA, pada RA terjadi sebaliknya, yaitu osteopeni.
 Erosi periartrikular yang tidak terdapat pada OA, tetapi terdapat pada RA.
 Terdapat sklerosis dan osteofit pada OA yang tidak terdapat pada RA.
OA biasanya terjadi pada sendi – sendi penahan beban, DIP dan CMC tangan, tetapi
RA biasanya bilateral simetris dan bisa menyerang sendi apapun.4

Epidemiologi
Osteo arthritis ini adalah bentuk penyakit sendi tersering di dunia.Sekitar 7% populasi
di amerika serikat terkena penyakit OA ini.Prevalensi keseluruhan 12-15% pada paling
sedikit satu sendi,dan meningkat pada kelompok usia diatas enam puluh lima tahun.Terdapat
peningkatan yang sering dengan bertambahnya usia.Contohnya adalah lebih dari 80% pasien
berusia diatas tujuh puluh lima tahun memiliki bukti radiologis terkena osteo
arthritis.Kecenderungan wanita sedikit lebih tinggi secara keseluruhan,terutama pada
penyakit sendi pada interphalanx dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah satu
berbanding sepuluh.Osteo arthritis juga dihubungkan dengan antigen limfosit manusia yaitu
A1 B8 tipe haploid,selain itu juga pada konrokalsinosis familial,dan konnrodisplasia.5,6

Etiologi
Untuk etiologi dari osteoarthritis terdapat berberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan
terkenanya osteo arthritis pada seorang individu,faktor tersebut adalah:

1. Umur. Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
OA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan
sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA bukan akibat
ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan
pada OA.
2. Jenis Kelamin. Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, dan
lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan
wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada
wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis
OA.
3. Suku Bangsa. Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat
perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih jarang di
antara orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering dijumpai
pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada orang-orang kulit putih. Hal ini
mungkin berkaitaii dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi
kelainan kongenital dan pertumbuhan.
4. Genetik. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA misalnya, pada ibu dari
seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden)
terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya
perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering, daripada ibu dan anak
perempuan-perempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi dalam gen
prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi
seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan
dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (terutama OA banyak
sendi).
5. Kegemukan dan Penyakit Metabolik. Berat badan yang berlebih nyata berkaitan
dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pada pria.
Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung
beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atas sternoklavikula). Oleh karena itu
di samping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis),
diduga terdapat faktor lain (metabolic) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut.
Peran faktor metabolic dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga
disokong oleh adanya katan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes
mellitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis ternyata mempunyai risiko
penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tnpa
osteoartritis.
6. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga. Pekerjaan berat maupun dengan
pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas)
berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan
olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA yang
lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya OA masih menjadi
pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi OA cedera
traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak stabilan ligamen) yang dapat
mengenai sendi. Akan tetapi selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian tak
menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu faktor untuk timbulnya OA.
Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor
penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat
berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.
7. Kelainan Pertumbuhan. Kelainan congenital dan pertumbuhan paha (misalnya
penyakit Perthes dan dislokasi congenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA
paha pada usia muda. Mekanisme ini juga diduga berperan pada lebih banyaknya OA
paha pada laki-laki dan ras tertentu.
8. Faktor-faktor Lain. Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan
risiko timbulnya OA.Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras)
tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi.
Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan
pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai
tulang yang lebih padat) dan kaitan negatif antara osteoporosis dan OA. Merokok
dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya OA, meskipun
mekanismenya belum jelas.3

Patofisiologi
Berdasarkan patogenesisnya Osteo artritis dibedakan menjadi dua yaitu Osteoartritis
primer dan Osteo artritis sekunder. Osteo artritis primer disebut juga oseteo arthritis idiopatik
yaitu Osteo artritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Osteo artritis sekunder adalah
Osteo artritis yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik,
pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteo
artritis primer lebih sering ditemukan dibanding Osteo artritis sekunder.3
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan
perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks
baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi
kondrosit untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta
proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-1),
growth hormon, transforming growth factor β (TGF-β)dan coloni stimulating factors (CSFs).
Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan
sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek IGF-1.
Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu
merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzym yang
mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan
efek inhibisi sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi
sistesis komponen kartilago adalah testosteron, P-estradiol, plateletderivat growth factor
(PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin Peningkatan degradasi kolagen akan
mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi
matriks rawansendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi sendi serta
mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi . Rerata perbandingan
antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih
rendah dibanding normal yaitu 0,29 berbading satu.
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik
dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut . Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator
kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina
lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi,
peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang
berlebihan .Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum
dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler
akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkhondrial .
Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas
mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin
aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α
dan β, dan interferon (IFN) α dan τ..Sitokin-sitokin ini akan merangsang khondrosit melalui
reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi
monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai
kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya .Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks
rawan sendi.
Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan
sistesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa,
menghambat proses sintesis dan perbaikan normal khondrosit. Pada percobaan binatang
ternyata pemberian human recombinant IL-1 a sebesar 0,01 dapat menghambat sistesis
glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Khondrosit pasien OA mempunyai
reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu normal dan khondrosit sendiri
dapat memproduksi IL-1 secara lokal
Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan
selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks
rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA
lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama.3

Penatalaksanaan
Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat
ringannya sendi yang terkena.

 Terapi non-farmakologis:Edukasi atau penerangan,Terapi fisik dan rehabilitasi,


Penurunan berat badan.
 Terapi farmakologis:Analgesik oral non-opiat,Analgesik topical,OAINS (obat anti
inflamasi non steroid),Chondroprotective, Steroid intra-artikuler
 Terapi Bedah

Terapi Non Farmakologis

1. Penerangan. Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk-
beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah
parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
2. Terapi fisik dan rehabilitasi. Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya
tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
3. Penurunan berat badan. Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor
yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga
agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan
penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.

Terapi Farmakologis

1. Analgesik Oral Non Opiat. Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati
sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit.
Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit.Pada
penderita osteoarthritis yang digunakan sebagai lini pertama penanganan penyakit adalah
asetaminofen.5

Asetaminofen/Paracetamol merupakan obat analgesik-antipiretik yang berasal dari


golongan Para Amino Fenol. Dosis yang digunakan berkisar antara 350-650 mg dan
digunakan 4 kali sehari. Obat ini dapat mengurangi rasa nyeri dalam tingkat ringan yang
timbul akibat gejala awal dari osteoarthritis.Yang perlu diperhatikan adalah efek samping
obat yang dapat menyebabkan reaksi alergi seperti eritemia, urtikaria dan demam. Selain itu
dapat timbul nefropati analgesik. Dalam dosis yang toksik maka bisa terjadi nekrosis hati dan
tubuler ginjal.5

2. Analgesik Topikal

Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali
yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum
memakai obat-obatan peroral lainnya. Contohnya adalah Capsaicin yang berasal dari ekstrak
cabe merah. Capsaicin melepas substansi P dari serabut saraf sehingga dapat mengurangi
nyeri pada osteoarthritis. Agar efektif, Capsaicin harus digunakan secara reguler setidak-
tidaknya selama 2 minggu. Pemberian Capsaicin dapat dikombinasikan dengan analgesik
maupun OAINS.5

3. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai
datang kedokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena
obat gologan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi.
Oleh karena pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini harus
sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara
pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya
efek samping selalu harus dilakukan. OAINS juga bersifat toksik dan mengiritasi lambung,
jadi harus berhati – hati pada pemberiannya. Bisa diberi naproxen 375 – 500 mg 2x sehari,
salisilat 1500 mg 2x sehari, naproxen 600 – 800 mg 2x sehari.Bisa diberikan juga OAINS
COX-2 selektif untuk mengurangi iritasi gastrointestinal seperti celecoxib dengan dosis 100 –
200 mg per hari.3
Bila penggunakan Asetaminofen dan OAINS tidak memberi perubahan yang berarti
pada pasien, maka dapat diberikan analgesik opiod dalam dosis yang rendah yang
dikombinasikan dengan Asetaminofen. Contohnya ialah penggunaan 8 mg kodein ditambah
dengan 650 mg Paracetamol. Tetap perhatikan efek samping seperti mual, muntah, pusing,
sakit kepala dan penurunan tingkat kesadaran pada pemakaian obat ini.

Terapi Bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa
sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu
aktivitas sehari-hari.
Secara umum ada 2 tindakan yang dilakukan dalam pembedahan yaitu artroskopi dan
total joint replacement. Tindakan ini diindikasikan sesuai dengan derajat keparahan
radiologis penderita OA menurun Kellgren dan Lawrance (Pembagian derajat Kellgren
Lawrance dapat dilihat pada bagian pemeriksaan penunjang). Untuk OA derajat 1 dan 2
dilakukan artroskopi sedangkan untuk OA derajat 3 dan 4 dilakukan total joint replacement.
Berikut ini akan dideskripsikan mengenai kedua bentuk pembedahan tersebut.6
Artroskopi
Artroskopi merupakan prosedur pembedahan tanpa operasi terbuka dengan cara
melihat sendi melalui kabel serat optik sambil melakukan proses pembedahan dengan
semacam selang kecil yang ditusukan ke dalam persendian. Indikasi dilakukannya artroskopi
ialah bila ada peradangan tiba-tiba serta keluhan terkunci (locking), tertahan (catching), dan
sempoyongan (giving way). Selain itu artroskopi dapat dilakukan untuk memperbaiki robekan
meniskus/bantalan sendi. Pada artroskopi dapat dikeluarkan benda asing dan pencucian sendi.
Umumnya pasca operasi nyeri dapat hilang hingga 2-5 tahun pada 50-85% pasien.
Ada dua bentuk artroskopi yang dipakai saat ini yaitu lavage dan debridement.
Lavage merupakan proses pencucian cairan sendi dengan memakai larutan garam yang
kemudian dikeluarkan lagi bersama benda asing dari dalam sendi beserta dengan cairan sendi
yang berlebihan. Sedangkan debridement merupakan proses yang sama namun ditambah
dengan proses penipisan dan pelembutan kartilago sendi yang telah keras dan meradang serta
pengambilan serpihan tulang rawan yang ada dari persendian. Selain itu pada debridement
dapat pula dilakukan synovectomy yaitu tindakan membuang selaput sinovial yang
meradang.6,7
Berdasarkan prospective study yang dilakukan Jackson pada tahun 1982, ditemukan
bahwa debridement memiliki angka keberhasilan yang lebih baik dibandingkan lavage dalam
jangka waktu 3 tahun pasca operasi.6
Total Joint Replacement
Merupakan operasi penggantian permukaan sendi yang rusak dengan metal dan
plastik. Operasi ini telah dimulai sejak tahun 1950. Saat ini dilakukan penelitian untuk
mendapatkan material yang lebih baik sehingga sendi buatan ini bertahan lebih lama. Operasi
penggantian sendi secara total diindikasikan pada orang yang mengalami ostearthritis derajat
3 dan 4. Operasi ini jarang dilakukan pada usia muda. Kontraindikasi dilakukannya total joint
replacement ialah adanya penyakit tambahan seperti diabetes dan jantung yang dapat
memperparah keadaan pasien.Operasi ini dilakukan pada penderita yang mengalami nyeri
lutut parah hingga terjadi deformitas (seperti varus dan valgus pada lutut), kegagalan
pengobatan serta keterbatasan dalam melakukan gerakan / penurunan range of movement
yang berujung pada kehilangan fungsi sendi seperti ketidakmampuan berjalan dan
berjongkok.6
Sendi yang paling sering dilakukan total joint replacement adalah sendi lutut dan
pangkal paha. Umumnya keluhan nyeri berkurang setelah operasi dan terdapat koreksi pada
deformitas. Pada lutut didapati fleksi hingga 120 derajat bahkan dengan desain implant high
flex knee fleksi hingga 155 derajat bisa tercapai. Hal ini akan sangat membantu pasien dalam
melakukan gerakan yang melibatkan fleksi yang dalam seperti berlutut pada saat berdoa.
Selain itu tingkat keberhasilan operasi ini cukup tinggi, yaitu mencapai lebih dari 95% dalam
kurun waktu 10-15 tahun pasca operasi.8
Namun, ada komplikasi yang dapat timbul dari operasi total joint replacement, yaitu
infeksi akibat operasi terbuka, trombosis vena-vena dalam, keterbatasan gerakan sendi, nyeri
lutut yang menetap dan keausan implant dalam jangka panjang. Untuk mengatasi berbagai
kekurangan ini dikembangkan suatu sistem operasi dengan bantuan komputer. Sistem ini
dikenal sebagai Computer Assisted Surgery. Sistem ini memiliki tingkat akurasi yang lebih
tinggi dibanding operasi yang dikerjakan secara manual. Selain itu resiko infeksi dan
penggunaan tourniquet dapat diturunkan dalam penggunaan operasi ini.6

Kesimpulan
Osteo arthritis adalah penyakit sendi tersering yang umumnya menyerang individu
lanjut usia.Umumnya osteo arthritis menyerang sendi-sendi besar yang menopang berat
badan tubuh.Berat badan yang berlebih juga dapat mengakibatkan terjadinya osteo
arthritis,karenanya menjaga berat badan yang ideal harus dilakukan bagi penderita osteo
arthritis.Pada osteo athrititis komponen kartilago sendi akan mengalami disorganisasi dan
degradasi.Prognosis bagi penderita osteo athritits umunya lebih baik dibandingkan penderita
rhemaoid arthritis,namun hal ini juga tidak terlepas dari bagaimana penderita OA merubah
gaya hidupnya,terutama bagi penderita OA yang mempunyai berat badan berlebih.

Daftar pustaka
1. Aru WS, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus SK, Siti Setiati. Ilmu penyakit
dalam. Jakarta : EGC;2009.

2. Moskowitz RW, Altman RD, Hochberg NC, Bickcalter JA, Goldberg VM.
Oateoarthritis diagnosis and medical surgical management.USA: Lippincott Williams
and Milkins. 2007.p.1-17.
3. Sudoyo AW,Setiyohadi B,Alwi I,Simadibrata M,Setiati S.Ilmu penyakit
dalam.Jakarta: Interna Publishing.2009.p.1205-11.
4. Ahuja AT, Antonio GE, Wong KT, Yuen HY. Case studies in medical imaging
radiology for students and trainees. Ith ed. New York; Cambridge University Press:
2006. p. 198-9.
5. Brashers VL.Aplikasi klinis patofisiologi.Jakarta:EGC.2007.p.351-5.
6. Gunderman RB. Essential radiology. Edisi ke-2. New York: Thieme; 2006.h.220-57.
7. Davey P.At a glance medicine.jakara:Erlangga.2006.p.374-98.
8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-
6. Jakarta : EGC ; 2005. h. 1380-3.

Anda mungkin juga menyukai