Kelompok A7
Dokter Pembimbing:
Dr. Budiman
2016
Abstrak
Masalah yang sering terjadi pada tulang adalah fraktur yang bisa terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu fraktur yang bisa terjadi adalah fraktur terbuka dimana terjadi
hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga bisa terjadinya kontaminasi bakteri
yang dapat menimbulkan infeksi. Fraktur terbuka pula boleh diklasifikasikan kepada
beberapa derajat mengikut dari derajat I hingga IIIc. Pada fraktur terbuka dapat menimbulkan
komplikasi seperti infeksi, kehilangan darah, emboli lemak pada orang yang sudah tua, dan
deep vein thrombosis. Penatalaksanaan bagi fraktur terbuka pula boleh dilakukan mengikut
derajat frakturnya.
Abstract
Most common problem that can happened to our bone is fractured that can caused by a few
factors. One of the fracture that can happen is an open fracture where broken bone that is in
communication through the skin with the environment and caused infection. Open fracture
can be classified into a few degree from I to IIIc. Open fracture can cause complications such
as infection, blood loss, fat embolism for the old people, and deep vein thrombosis. The
management of an open fracture is by the degree of fracture.
Pendahuluan
Masalah yang sering terjadi pada tulang adalah fraktur. Hal ini bisa terjadi akibat cedera
misalnya pukulan langsung atau terjatuh atau mungkin akibat gerakan memuntir, yang
mungkin terjadi saat permainan sepak bola atau sebagainya. Tulang mana pun bisa patah, tapi
keretakan paling sering terjadi, lengan, kaki, tapak kaki dan tangan. Orang tua sering kali
mengalami patah tulang paha atau pergelangan. Terdapat dua tipe utama fraktur, terbuka dan
tertutup. Pada fraktur terbuka, ujung tulang yang patah menembus kulit. Pada fraktur tertutup,
tulang yang patah tetap berada d bawah permukaan. Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk
membahas tentang klasifikasi fraktur terbuka dan penatalaksanaannya.1
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui
kulit sehingga bisa terjadinya kontaminasi bakteri yang dapat menimbulkan infeksi. Ia terjadi
disebabkan tusukan tulang yang tajam menembus keluar dari kulit atau tekanan dari luar
seperti pukulan. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga
diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal
yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang
dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman yang berulang-ulang, stabilisasi
fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.1
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak.
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah
trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada kasus fraktur terbuka adalah:
i) Gaya berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase yaitu heel strike phase, loading
phase, toe off phase, dan swing phase.pada heel strike phase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan
ekstensi sendi lutut. Pada loading phase, pelvis bergerak secara simetris dan
teratur melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada
heel strike phase. Pada toe off phase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai
terangka dari lantai. Pada swing phase, sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi
talokruralis.3
ii) Sikap postur badan
iii) Deformitas
Perubahan bentuk ini akan lebih terlihat nyata pada keadaan terjadi antara lain,
genu varus, genu valgus,genu rekurvatum, sublukasi tibia posterior, deformitas
fleksi, boutonnierre finger, swan neck finger, ulnar deviation, subluksasi sendi
metacarpal dan pergelangan tangan, unstable Z-shaped thumbs, valgue ankle.3
Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain, psoriasis dan eritema nodosum.
Kemerahan yang disertai deskuamasi pada kulit sekitar sendi menandakan adanya
inflamasi perartikular.3
Kenaikan suhu dapat dirasakan pada sekitar sendi yang mengalami inflamasi.3
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak,dan jaringan tulang.3
Nyeri raba kapsuler artikular terbatas pada daerah sendi merupakan tanda atropati
atau penyakit kapsular. Nyeri raba perartikular agak jauh dari batas daerah sendi
merupakan tanda bursitis atau enesopati.3
viii) Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan
dibandingkan kiri dan kanan. Pada sinovitis dan artropati luas gerak sendi ke
semua arah akan berkurang. Pada tenosinovitis atau lesi periartikular gerak sendi
akan berkurang pada satu arah saja.3
ix) Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur
yang terserang. Terdapat krepitus halus dan krepitus kasar. Krepitus halus dapat
ditemukan pada radang sarung tendon, bursa atau synovia. Krepitus kasar dapat
ditemukan pada kerusakan rawan sendi atau tulang.3
x) Bunyi lainnya
Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri.
Cracking merupakan bunyi akibat tarikan pada sendi yang disebabkan
terbentuknya gelembung gas intraartikular. Cloncking merupakan suara yang
ditimbulkan oleh permukaan yang tidak teratur, seperti pada gesekan antara
scapula dengan iga.3
Dapat terjadi pada sinovitis akibat terjadinya hambatan reflex spinal local. Selain
itu dapat juga terjadi pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot yang dapat
menyebabkan atrofi lokal.3
xii) Ketidakstabilan/goyah
Goyah dapat terjadi akibat trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi,
kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau rupture ligament.3
xiv) Nodul
Perubahan kuku yang dapat ditemukan antara lain, jari tabuh ( clubbing finger),
thimble pitting onycholysis, serpihan berdarah (splinter haemorhages).3
Keadaan ini sering muncul tanpa adanya gejala (Reiter, artropati reaktif) atau
dengan gejala (SLE, vaskulitis, sindrom Bechet).3
Evaluasi sendi yang dapat dilakukan antara lain, sendi temporamandibular sendi
sternoklavikular, manubristernal dan sternokostal, sendi akromioklavikular, sendi
bahu, sendi siku, pergelangan tangan, sendo coxae, sendi lutut, pergelangan kaki,
kaki, vertebra.3
Penanda fraktur yang pasti adalah adanya pemendekkan, rotasi angulasi dan false
movement. Penanda fraktur lainnya adalah nyeri gerak, nyeri sumbu, krepitasi di
tempat fraktur. Penanda yang tidak pasti ialah odema, nyeri, memar.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi untuk mengetahui letak
pasti dari fraktur, serta untuk menentukan jenis fraktur yang terjadi. Pemeriksaan radiologis
yang dapat dilakukan:3
i) Foto polos
ii) Tomografi
v) Ultrasonografi
vi) Artrografi
vii) Angiografi
Dalam melakukan pemeriksaan radiologis ada syarat-syaratnya yang harus ditaati, yaitu foto
dengan 2 posisi (AP, lateral), 2 sendi pada bagian yang mengalamai fraktur.3
Diagnosis
Patah batang tibia dan fibula biasa disebut patah tulang kruris, merupakan fraktur yang sering
terjadi disbanding fraktur batang tulang panjang lainnya. Periost yang melapisi tibia agak
tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapsi kulit sehingga tulang ini mudah patah
dan biasanya fragmen tulang bergeser. Karena berada langsung dibawah kulit sering
ditemukan juga fraktur terbuka.Fraktur terbuka tibia dekstra 1/3 tengah. Fraktur corpus tibia
adalah fraktur diafisis tibia yang biasanya tidak melibatkan persendian atau daerah merafisis.4
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak. Fraktur terbuka dibagi menjadi 2, yaitu: Inside out yang
merupakan fraktur terbuka dari dalam keluar, dan outside in yang merupakan fraktur dari luar
ke dalam.4
Pada fraktur terbuka dapat menimbulkan komplikasi seperti infeksi, kehilangan darah, emboli
lemak pada orang yang sudah tua, deep vein thrombosis. Pada fraktur tibia jika tidak
ditangani dengan baik dapat menyebabkan non-union dimana tulang yang patah tidak
menyatu antara 6-8 bulan, delayed union dimana fraktur tidak sembuh dalam waktu 3
bulan untuk ekstremitas atas dan 5 bulan untuk ekstremitas bawah. Malunion dimana tulang
menyatu tapi membentuk deformitas.3,5
Komplikasi pada fraktur tibia dan fibula adalah cedera pada pembuluh darah, cedera
saraf terutama nervus peroneus, pembengkakan yang menetap, pertautan lambat,
pseudoartrosis, dan kekakuan sendi pergelangan kaki. Sindrom kompartemen sering
ditemukan pada patah tulang tungkai bawah tahap gini, tanda dan gejala 5 P yaitu: pain saat
keadaan istirahat, parestesia karena rangsangan saraf perasa, pucat karena iskemia,
paresis/paralisis karena gangguan saraf motorik, pulse tidak dapat diraba lagi.3,5
Untuk penanganan dapat dilakukan Gips. Biomekanika adalah satu alat stress-
sharing. Cara penyembuhan tulang pula sekunder. Indikasi adalah penggunaan long leg cast
memuaskan untuk penangan fraktur corpus tibia stabil dengan kominutif minimal serta
kesegarisan yang memadai setelah 9 imobilisasi. Kriteria relative stabilitas meliputi
pergeseran kurang dari 50% lebar tibia dan pemendekan kurang dari 1 cm. kesegarisan
harus dapat mengembalikan rotasi dan angulasi pada semua bidang dengan perbedaan
maksimal 5-10o dibandingkan dengan tibia yang sehat.5,6,7
Selain itu adalah batang intrameduler. Biomekanikanya adalah suatu alat yang
berfungsi sebagai stress-sharing bila paku terkunci dinamis, dan dapat berubah fungsi
menjadi alat stress-shielding parsial bila paku terkunci statis. Cara penyembuhan tulang
pulasekunder. Indikasinya penanganan dengan metode ini merupakan gold standard untuk
kasus fraktur tibia segmental yang tidak stabil atau fraktur dengan kesegarisan yang tidak
memadai dan diimobilisasi dengan cara non bedah. Batang intrameduler memungkinkan
mobilisasi yang lebih awal bagi pasien dan kisaran gerak sendi lutut yang lebih awal.
Penempatan sekrup pengunci pada bagian proksimal dan distal lokasi fraktur diperlukan pada
fraktur dengan fragmen butterfly yang tidak stabil atau kominutif berat. Sekrup tersebut
menghasilkan fiksasi statis dan mencegah pemendekan dan hilangnya kesegarisan
rotasional. Fraktur transversal dan fraktur dengan kominutif minimal dapat dibiarkan
tanpa pengunci pada salah satu ujungnya. Teknik ini menghasilkan fiksasi dinamis
serta memungkinkan kompresi interfragmental pada saat penanggunan beban, yang akan
menstimulasi penyembuhan.5,6,7
Selain itu adalah fiksator eksterna. Biomedikanya adalah alat stress-sharing. Cara
penyembuhan tulang juga sekunder. Indikasi adalah metode ini sering digunakan untuk
fraktur terbuka dengan hilangnya fragmen tulan dan kominutif serta kontaminasi yang hebat.
Pada keadaan ini, fiksator eksterna digunakan bersamaan dengan debridement intraoperative
dan irigasi pulsasi. Penangan ini bersifat sementara sampai tercapai penutupan jaringan
lunak dengan graft kulit.5,6,7
Terdapat juga reduksi terbuka dan fiksasi interna dengan pelat. Biomedikanya
adalah alat stress-shielding. Cara penyembuhan tulang pula primer. Indikasinya metode
fiksasi ini akan mengorbankan jaringan lunak untuk pemasangan fiksasi serta pengelupasan
periosteum yang signifikan. Oleh karena itu, reduksi terbuka dan fiksasi interna memiliki
peranan yang terbatas pada penanganan fraktur corpus tibia, kadang teknik ini
diaplikasikan pada kasus non union tibia yang dilakukan bersama dengan graft tulang.5,6,7
Penutup
Fraktur corpus tibia adalah fraktur diafisis tibia yang biasanya tidak melibatkan
persendian atau daerah merafisis. Untuk memastikan terjadinya fraktur haru dipastikan
adanya salah satu dari pemendekan, rotasi, angulasi, dan false movement.
Penatalaksanaan yang dilakukan mencakup tindakan bedah dan rehabilitasi. Tindakan
bedah yang dapat dilakukan antara lain gips, batang intramedular, fiksator eksterna, dan
reduksi terbuka dan fiksasi interna dengan pelat.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
205.h.886-7.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.1-
17.
3. Isbagio H, Setiyohadi B. Anamnesis dan Pemeriksaan fisis penyakit
musculoskeletal. Albar Z. Pemeriksaan pencitraan dalam bidang reumatologi.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi
ke-5. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h. 2445-55, 2472-6.
4. Taylor KW, Murthy VL. Fraktur corpus tibia. Dalam: Hoppenfeld S, Murthy VL.
Terapi dan rehabilitasi fraktur. Jakarta: EGC; 2011.h.353-69.
5. Schwarz, Shires, Spencer. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2000.h.660.
6. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2007. h.355-
61, 368-9. Grace PA, Borley NR.
7. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2004. h. 298-301.