Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

“Association of Tinnitus and Hearing Loss in Otological Disorder : A Decade-


long Epidemiological Study in a Shout Indian Population”

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Pendidikan Dokter


Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammdiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Nurmala S, Sp. THT-KL, M.Kes

Disusun Oleh:
Riski Ima Rahmawati, S. Ked J510185031
Zudha Mauliyani, S. Ked J510185011
Muhammad Fatwa R, S.Ked J510185033

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK


RS. IR SOEKARNO KABUPATEN SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
JOURNAL READING
“Association of Tinnitus and Hearing Loss in Otological Disorder : A Decade-
long Epidemiological Study in a Shout Indian Population”

Disusun Oleh :
Riski Ima Rahmawati, S. Ked J510185031
Zudha Mauliyani, S. Ked J510185011
Muhammad Fatwa R, S.Ked J510185033

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Profesi Pendidikan Dokter
Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Pembimbing :

dr. Nurmala S, Sp. THT-KL, M.Kes (…………………………….)

Dipresentasikan dihadapan :

dr. Nurmala S, Sp. THT-KL, M.Kes (…………………………….)


“Association of Tinnitus and Hearing Loss in Otological Disorder : A Decade-
long Epidemiological Study in a Shout Indian Population”

I. Abstrak
Pendahuluan: Tinnitus adalah gangguan umum yang sering terjadi di semua
strata populasi dan merupakan masalah kesehatan yang penting. Tinnitus
sering dikaitkan dengan berbagai bentuk gangguan pendengaran dengan
berbagai tingkat keparahan.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tinnitus


dengan gangguan pendengaran dari populasi India Selatan.

Metode: Sebanyak 3255 subjek dirujuk ke Rumah Sakit THT MAA,


Hyderabad, dari tahun 2004 hingga 2014, dengan diagnosis penyakit otologis
dimasukkan dalam penelitian cross-sectional ini. Diagnosis penyakit
dikonfirmasi oleh Spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT)
menggunakan pemeriksaan medis dan klinis yang terperinci. Analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan regresi logistik biner.

Hasil: Tinnitus diamati pada 29,3% (956) dari total subyek penelitian yang
menunjukkan peningkatan prevalensi pada usia lebih dari 40 tahun. Ada
peningkatan risiko yang signifikan tinitus dengan penyakit telinga bagian
tengah dan (OR = 1,79, 95% CI = 1,02 --- 3,16) dan batin (OR = 3,00, 95%
CI = 1,65 --- 5,45). Telah dicatat bahwa 96,9% (n = 927) dari subyek tinitus
dikaitkan dengan gangguan pendengaran. Otitis media (60,9%), presbikusis
(16,6%) dan otosklerosis (14,3%) adalah gangguan otologis yang sangat
umum menyebabkan tinitus. Tinnitus secara bermakna dikaitkan dengan
tingkat gangguan pendengaran yang lebih tinggi terjadi pada subyek otitis
media supuratif kronis (OMSK).

Kesimpulan: Penelitian ini dapat mengidentifikasi faktor risiko otologis yang


paling umum untuk pengembangan intervensi tinitus dengan gangguan
pendengaran pada populasi India Selatan.
II. Pendahuluan
Tinnitus adalah ekspresi perseptif dari suara apa pun itu. Berasal dari cara
yang tidak disengaja, baik secara sepihak ataupun secara bilateral, tanpa
adanya akustik eksternal atau rangsangan listrik. Etiologi tinitus tetap tidak
diketahui, tetapi beberapa penyebab klinis yang mendasari seperti penyakit
telinga tengah, alergi hidung, autoimun, cardiovascular dissease, diabetes,
gangguan saraf degeneratif, faktor sosial-demografis, dan lingkungan telah
dilaporkan sebagai penyebab tinitus.Banyak studi klinis yang telah
melaporkan bahwa kelainan otologis menyebabkan perubahan struktur koklea
atau perubahan neuroplastik di jalur pendengaran pusat yang mengarah ke
tinnitus.

Secara global, sekitar 10 -15% dari populasi diperkirakan akan menderita


dengan tinitus, dengan atau tanpa gangguan pendengaran secara bersamaan.
Selain itu, prevalensi tinitus berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
karakteristik frekuensi dari gangguan pendengaran yang ada, tinitus hadir
dengan 70 -85% dari gangguan pendengaran yang disebabkan oleh berbagai
patologi sistem pendengaran. Di India, diperkirakan sekitar 4,5 juta orang
India menderita tinitus; sayangnya tidak ada data pasti yang tersedia mengenai
prevalensi dan etiologi tinitus. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan prevalensi dan mengidentifikasi potensi predisposisi faktor
yang menyebabkan tinitus dan gangguan pendengaran di India Selatan.

III. Metode
A. Subjek

Dalam penelitian cross-sectional ini, terdapat total 3255 pasien dengan


berbagai penyakit otologis yang dirujuk ke MAA THT.Rumah Sakit,
Hyderabad, Negara Bagian Telangana, selama periode 10 tahun dari 2004
-2014 dijadikan subyek penelitian. Semua pasien menjalani pemeriksaan
medis terperinci dan riwayat klinis dicatat. Ambang audiometri gangguan
pendengaran dievaluasi menggunakan nada murni rata-rata untuk
frekuensi 0,5, 1, 2, 4 dan 8 kHz. Penelitian telah mendapatkan ijin komite
etika kelembagaan.

B. Analisis statistik

Data yang diperoleh dikodekan untuk evaluasi statistik. Analisis


statistik yang tepat dilakukan menggunakan PASW STATISTIK 18.0
(SPSS Inc. --- Chicago, IL, Amerika Serikat). Data kontinu
direpresentasikan sebagai sarana dan standar deviasi, sedangkan data
kategori sebagai proporsi. Tes 2 digunakan untuk membandingkan
proporsi, sedangkan logistik biner analisis regresi dilakukan untuk asosiasi
kategori variable.
IV. Hasil
Di antara 3255 subyek penelitian dengan penyakitotologis, 58,6% (n =
1906) yang dipengaruhi oleh hidung atau nasofaring, 36,5% (n = 1188) dan
4,9%(n=161) oleh gangguan metabolisme. Peningkatan prevalensi penyakit
otologis telinga tengahyaitu, 86,2% (n = 2808), dibandingkan dengan telinga
dalam 11,2% (n = 364) dan penyakit telinga luar 2,6% (n = 83). Para pasien
berusia antara 7 dan 83 tahun denganusia rata-rata 36,0± 18,94 dengan
58,4%(n=1902) laki-laki dan 41,6%(n=1353) perempuan. Prevalensi tinitus
ditemukan 29,4% (n = 956) di antara seluruh subyek penelitian.

Persentase subyek tinnitus yang dipengaruhi dengan penyakit telinga


adalah 63,8% (n = 610), hidung atau nasofaringadalah 30,3% (n = 290), dan
gangguan metabolisme 5,9% (n = 56). Onset tinitus adalah pada usia rata-rata
32.2 ±20.45 dan peningkatan risiko yang signifikan terlihat pada kelompok
usia> 40 tahun (OR = 1.45; 95% CI = 1.27 1.73). Di antara subyek tinitus,
55,2% (n = 528) adalah laki-laki dan 44,8% (n = 428) adalah perempuan,
dengan peningkatan dominan pada laki-laki sebesar 1,23. Namun,
peningkatan yang signifikan dalam risikountuk perempuan(OR = 1,20; 95%
CI = 1,03 1,40). Terjadinya tinitus ditemukan lebih banyak pada unilateral
(58,0%) dibandingkan bilateral (42,0%). Namun, tidak ada hubungan yang
signifikan yang diamati antara tinitus dan lateralisasi. Distribusi jenis
kelamin,usia onset,tempat penyakit, lateralitas, jenis tuli, dan faktor
predisposisi ditunjukkan padaTabel 1.
Risiko tinitus ditemukan meningkat secara signifikan pada subyek yang
terkena pada penyakittelingadalam 39,8% (OR = 3,00; 95% CI = 1,65 5,45),
diikuti oleh penyakit telingatengah 28,4% (OR = 1,79; 95% CI = 1,02 3,16). Di
antara penyakit telingadalam, presbikusis (16,6%), penyakit Meniere (3,3%), dan
tuli sensorineural mendadak (SSNHL) (2,8%) lebihumum. Otitis media
supuratifkronis (OMSK) ditemukanpada 49,6%, otosklerosispada 14,2%, dan
otitis media dengan efusi (OME) pada 7% gangguan otologis, berkontribusi
terhadap tinitus di telinga tengah. Di antara faktor-faktor predisposisi lainnya,
gangguan pernapasan bagianatas berkontribusi 69,4%, tonsilofaringitis 10,6%,
hipertensi 2,9%, dan diabetes 2,6% untukkasustinitus (Gbr. 1).

Dalam penelitianini, prevalensi tuli dengan tinitus adalah 29,8% (n =


927). Prevalensi berbagai penyakit otologis yang merupakan predisposisi tinitus
digambarkan pada Gambar. 1. Faktor-faktor predisposisi seperti OMSK, OME,
otomikosis, dan penyakit Meniere dikaitkan dengan frekuensi yang lebih tinggi (>
40 dB) dari tuli pada subjek tinitus (Tabel 1). Namun, hubungan yang signifikan
hanya terlihat pada OMSK (OR = 1,76; 95% CI = 1,32 2,38). Lebih lanjut juga
diamati bahwa faktor-faktor predisposisi lain jugaterkait padafrekuensi tuli yang
lebih tinggi. Di antara, tonsilofaringitis menunjukkan signifikan sistatistik (OR =
2,86; 95% CI = 1,46,59) (Tabel 2).

Tuli sensorineural pada 21,0% (n = 201) dan tipe campuran13,3% (n =


127) dari kasus tinnitus (Tabel 3). Diamati bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tinitus dengan tulisensorineural (37,2%) dan tuli campuran (40,1%) bila
dibandingkan dengan tuli konduktif (26,6%) (Tabel 1, Gambar. 1). Prevalensi
yang tinggi pada tuli sensorineural dan campuran diamati pada kasus tinnitus yang
dipengaruhi oleh otitis media (Tabel 3).
V. Pembahasan
Tinnitus adalah gangguan umum yang sering terjadi pada semua strata
populasi dan menuntut perhatian yang lebih dalam bidang kesehatan. Studi klinis
dan epidemiologis tentang tinitus mengungkapkan bahwa 5 -32% dari populasi
dunia mengalami tinnitus.Banyak faktor risiko yang terkait dengan onset tinitus,
yaitu usia, jenis kelamin, gangguan pendengaran, metabolisme dan neurologis,
perubahan vaskular, faktor gigi, paparan kebisingan, obat ototoksik, kafein,
nikotin, dan alkohol. Gangguan otologis adalah penyebab paling umum dari
tinitus.

Berbagai penyakit otologis dapat menyebabkan tinitus dan berbagai jenis


gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan oleh infeksi atau pengerasan tulang
atau spasme salah satu dari dua otot kecil yang melekat pada tulang telinga
tengah, yang akan mempengaruhi sistem transmisi suara di telinga. Selanjutnya,
berbagai faktor nasofaring terlibat dalam disfungsi tuba yang merupakan faktor
predisposisi infeksi telinga tengah. Pada penelitian ini, 29,3% dari gangguan
otologis adalah gejala tinnitus, dengan 30,3% akibat faktor nasal atau nasofaring
terutama tonsilofaringitis yang menyebabkan disfungsi tuba eustachius dan
infeksi telinga tengah dan berakhir dengan munculnya gangguan pendengaran dan
tinitus, serta kemungkinan penyebaran infeksi melalui kelenjar limfatik. Namun
hal ini perlu dipelajari lebih lanjut.

Banyak penelitian yang dilakukan pada tinitus melaporkan prevalensi


dominan laki-laki, yang terutama dikaitkan dengan tingginya paparan lingkungan
dan pekerjaan.2,18,19 Namun, jumlah wanita yang lebih tinggi sebagai penderita
tinitus juga dilaporkan oleh beberapa penelitian. 20 Dalam penelitian ini, tinnitus
lebih dominan diderita oleh laki-laki daripada perempuan, hal ini disebabkan oleh
angka kunjungan rumah sakit yang lebih tinggi pada laki-laki bila dibandingkan
dengan perempuan Namun, juga perlu diperhatikan bahwa ada peningkatan yang
nyata pada wanita untuk kasus perawatan penyakit telinga kronis / tinitus di
RSUP.

Onset tinitus dilaporkan memiliki hubungan yang kuat dengan bertambahnya


usia tetapi juga dapat ditemukan di usia yang lebih muda. 5,6,16,21 . Perbedaan dalam
timbulnya tinitus diperkirakan karena etnis, variasi usia, dan kriteria diagnostic
yang telah dipertimbangkan.5,22,23 Pada studi ini, prevalensi tinitus lebih tinggi
ditemukan pada kelompok umur lebih dari 40 tahun di Indonesia. Perubahan gaya
hidup, kelainan pada tingkat metabolisme, dan faktor predisposisi penyakit
metabolik yang dialami oleh orang lanjut usia dilaporkan menyebabkan tinitus.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan level resistensi insulin dan beberapa
obat yang digunakan untuk hipertensi memperburuk resistensi dan mempercepat
onset tinitus. 21,24.

Pada penelitian ini, tinitus diamati pada 30,1% pasien dengan diabetes
mellitus, 38,8% pada hipertensi dan 40% dengan hipotiroidisme. Obat-obatan
seperti salisilat, antibiotik aminoglikosida, quinine, atau cisplatin yang digunakan
untuk mengobati penyakit otologis dan nasofaringeal dapat menyebabkan
1,25,26
kerusakan pada koklea dan memicu atau meningkatkan kejadian tinitus, .
Ditemukan bahwa 13,3% dari kasus ototoxic berkontribusi terhadap tinitus dalam
penelitian ini. Kehilangan pendengaran dan tinitus berhubungan erat, dimana
prevalensi gangguan pendengaran lebih tinggi pada kasus tinnitus. Penelitian ini,
96,9% kasus dengan tinitus memiliki signifikansi dengan gangguan pendengaran,
hal ini menunjukkan bahwa tinitus sebagai salah satu faktor risiko penting pada
gangguan pendengaran. Apalagi terjadinya gangguan pendengaran pada subyek
dengan tinnitus menunjukkan tingkat keparahan yang lebih oleh karena
disebabkan karena gangguan otologis.27,28

Selanjutnya, gangguan pendengaran di telinga bagian tengah dan dalam


dapat menyebabkan berbagai pola gangguan pendengaran. Menariknya, dalam
penelitian ini diamati bahwa bentuk gangguan pendengaran konduktif adalah
penyebab paling umum dari gangguan pendengaran dan tinitus bila dibandingkan
dengan gangguan pendengaran sensorineural. Selain itu, penyakit telinga tengah
dalam penelitian ini lebih dikompromikan daripada penyakit di telinga dalam,
tidak seperti penelitian lain.29,30 Variasi ini bisa jadi dikaitkan dengan distribusi
status geografis dan sosial ekonomi. Selanjutnya, dalam penelitian ini 95%
penyakit telinga tengah dapat sembuh dan 86% dari tinnitus setelah memperoleh
perawatan medis dengan intervensi bedah. Pada penelitian ini, terdapat
peningkatan gangguan pendengaran yang signifikan pada frekuensi tinggi dengan
gangguan pendengaran tipe sensorineural dan campuran pada pasien dengan
OMSK. Hasilnya menunjukkan OMSK sebagai salah satu penyakit otologis
paling umum yang mempengaruhi telinga tengah dan dalam yang menyebabkan
tinitus dan gangguan pendengaran.

VI. Kesimpulannya
Pada penelitian ini menunjukkan otitis media, presbikusis, dan otosklerosis
adalah yang faktor yang paling umum dalam menyebabkan tinitus dan gangguan
pendengaran. Prevalensi tinnitus meningkat dengan perkembangan gangguan
otologis. Karenanya, upaya untuk mengendalikan faktor risiko ini dapat
membantu memperbaiki tinitus dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pembelajaran lebih lanjut secara genetika pada tinnitus dan gangguan
pendengaran akan mengarah pada pendekatan terapeutik yang efektif dan
manajemen klinis tinitus.

Anda mungkin juga menyukai