Anda di halaman 1dari 4

OMNIBUS LAW DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011

(MENANTI LAHIRNYA PENYEDERHANAAN REGULASI)

Pendahuluan

Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang


menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi
suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act). Dan
ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa aturan hasil
penggabungan dan substansinya selanjutnya dinyatakan tidak berlaku, baik untuk
sebagian maupun secara keseluruhan. Jelas kita belum mengerti apa itu omnibus
law sebab Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara omnibus
law lahir dari tradisi sistem hukum common law.

Di dalam hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia


sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, belum memasukkan
konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun
sebagai kerangka metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-
undangan. Hal inilah yang menyebabkan kekuatiran lantaran Indonesia sudah
mulai mendesign pembuatan omnibus law yang kabarnya akan bakal terbit. Maka
saat inilah kita mencari bagaimana meleburkan omnibus law dengan UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar
tercapai penyederhanaan regulasi untuk kepentingan pembangunan Indonesia.

Benang Merah Omnibus Law dan UU Nomor 12 Tahun 2011

Proses harmonisasi peraturan perundang-undangan selain terdapat


hambatan prosedural juga memakan waktu yang lama. Dengan konsep Omnibus
Law maka peraturan yang dianggap tidak relevan atau bermasalah dapat
diselesaikan secara cepat. Apabila kita meyakini Omnibus Law merupakan konsep
yang dianggap efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan tumpang
tindih peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satu pangkalnya bisa
ditelisik dari Undang-undang Nomor Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UUP3). Irisan antara konsep harmonisasi
sebagaimana diatur dalam UUP3 dengan Omnibus Law paling tidak menghasilkan
dua isu besar yakni : pertama, hierarkhi peraturan-perundang-undangan; kedua,
klusterisasi berdasarkan rumpun peraturan perundang-undangan dalam rangka
pelaksanaan Omnibus Law.

Penyederhanaan Regulasi

Hal selanjutnya terkait dengan irisan antara konsep harmonisasi dalam


UUP3 dengan Omnibus law yang perlu menjadi bahan pertimbangan para
perumus peraturan perundang-undangan adalah jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UUP3 sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (pasal 7 UU No.11 tahun 2011)

Selain hierarki sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UUP3 dalam
pasal 8 ayat (1) juga diatur mengenai peraturan yang ditetapkan oleh
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan antara lain Peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat. (pasal 8 UU No.11 tahun 2011).

Terkait dengan konsep Omnibus Law untuk menyederhanakan dan


melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan, pertanyaan yang perlu
diajukan adalah apakah lahirnya satu Undang-undang baru hasil Omnibus
Law akan mencabut seluruh peraturan perundang-undangan secara vertikal dan
horizontal memiliki tumpang tindih ataukah hanya mencabut peraturan
perundang-undangan tumpang tindih yang sederajat/horizontal?

Sementara secara faktual hambatan regulasi tidak hanya pada tingkat


peraturan perundang-undangan namun juga pada berbagai level termasuk pada
Peraturan Badan-badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang.
Apabila Omnibus Law akan mencabut seluruh peraturan perundang-undangan
pada berbagai tingkatan baik secara horizontal maupun vertikal maka perlu kajian
yang intensif dan bersifat utuh menyeluruh serta produk peraturan perundang-
undangan baru hasil Omnibus Law dengan bentuk yang bersifat komperhensif
dibagi kedalam setiap buku untuk merevisi beberapa peraturan perundang-
undangan baik vertical maupun horizontal yang bersifat tumpang tindih.
Harapannya Pemerintah harus mampu menjadikan Omnibus Law menciptakan
keadilan, kesejahteraan umum dan melindungi hak individu.

Referensi:

Firman Freaddy Busroh, “Konseptualitas Omnibur Law dalam Menyelesaikan


Permasalahan Regulasi Pertanahan”, Arena Hukum, Vol. 10, No. 2,
(Agustus 2017).

Henry Donald Lbn. Toruan, Pembentukan Regulasi Badan Usaha dengan model
Omnibus Law, Jurnal Hukum to-ra, Vol.3, No. 1, April 2017
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Undang- Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan

Anda mungkin juga menyukai