Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa dampak yang berarti
bagi masyarakat. Seiring dengan itu, adanya perubahan dalam hal kesejahteraan
masyarakat baik yang mengalami peningkatan maupun penurunan telah memberikan
dampak juga terhadap perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam
hal konsumsi makanan dan minuman, mau tidak mau harus disikapi oleh semua pihak
yang berkepentingan baik dari kalangan perusahaan atau pengambilan kebijakan.
Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin
kehalalannya cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi
masyarakat akan konsumsi makanan yang halal.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UU 1945) mberikan
dasar-dasar konstitusional bgi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan,
baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia,
setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan
Tuhannya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofi negara, Pancasila.
Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 sperti
hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapatkan perlindungan hukum
dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan
yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan mengunakan produk lainnya
yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia atau rakyat Indonesia.
Pemerintahun telah mengatur mengenai hal ini dalam aturan yang telah berlaku,
yakni UU No. 7 Tahun 1998 tentang pangan, UU No. 6 Tahun 1967 tentang ketentuan-
ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen. Pada ayat 1 UU No. 7 tahun 1998 tentang pangan disebutkan

1
setiap orang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang
dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan barang yang
akan di perdagangkan. Pada ayat 2 disebutkan label, sebagaimana yang dimaksud pada
ayat 1 memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. Nama Produk, b. Daftar
bahan yang digunakan, c. Berat bersih atau isi bersih, d. Nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, e. Keterangan
tentang halal, f. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
Karena kebanyakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam masalah
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik dan produk rekayasa genetik
yang terjamin kehalalannya menurut syari’at merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ibadah. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada mengenai kehalalan produk
terutama menyangkut bahan, produk dan proses, serta pengawasannya belum diatur secara
komprehensip. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang tentang jaminan produk halal
sangat penting dan akan memberikan ketentraman batin dalam mengkonsumsi produk
yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.1
Disamping itu, di dalam al-Qur’an juga yang merupakan pedoman umat Islam,
Allah telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang perintah makanan. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 168.2
   
    
   
    

1
Sahal Mahfudh, Bahtsul Masail dan Istinbbat Hukum NU Sebuah Catatan Pendek, dalam “H.M.
Jamaludin Miri (ter.), AHKAMUL FUQAHA: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar,
Munas, dan Kombes. (Surabaya: Lajnah Ta’rif Wan Nasyr (LTN) PBNU, 2011), hlm. 970

2
Al-Qur’an dan Terjemahan, 1978. Departemen Agama RI.

2
Artinya:Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Serta di dalam surat al-Maidah ayat 88 Allah SWT menyatakan bahwa:
    
    
  
Artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pangan halal ?
2. Bagaimana hukum tentang pangan halal ?
3. Bagaimana standarisasi pangan halal ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kehalalan suatu produk halal
2. Untuk mengetahui bagaimana hukum tentang pangan halal
3. Untuk mengetahui bagaimana standarisasi pangan yang halal

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Dasar Halal


Kata halal yang diserap dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia sudah sangat
familiar di kalangan masyarakat kita. Namun demikian, tidak sedikit pula masyarakat kita
yang belum mengetahui asal-usul dan memahami makna kata tersebut secara tepat sesuai
dengan cakupan hakikinya.3
Istilah lain yang sering digandengkan dengan kata halal adalah kata ‘thayyiba’.
Kata thayyiba memiliki makna lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.
Makanan yang thayyiba berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak
(kadaluarsa) atau tercampur dengan benda najis.
Di dalam kita Ihya Ulum al-din, Imam al-Ghazali dalam bab al-halal wa al-haram
telah menguraikan secara eksplisit tentang keutamaan konsumen barang halal dan
tercelanya konsumen barang haram. Mengkonsumsi barang dan jasa yang halal, bagi
konsumen muslim memiliki dampak yang sangat luas. Ia tidak hanya perkara memenuhi
kebutuhan perut (halal is not for the bread alone), tetapi juga menjaga keseimbangan jiwa
manusia yang secara hakiki suci (fitrah). Artinya, dengan mengkonsumsi barang dan jasa
halal berarti menunjukkan kosistensi manusia dengan garis kesepakatan dengan perintah
Tuhan yang selalu menyuruh menjaga makanan yang halal dan baik.4

3
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, label halal, antara spiritualitas bisnis dan komoditas agama
(Malang: Madani (Kelompok Intrans Publishing), 2009), hlm. 9

4
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, label halal, antara spiritualitas bisnis dan komoditas agama..., hlm.
25

4
Pada hal, kalau kita lebih jauh meneliti, konsepsi halal-haram selain yang sudah
final dalam perspektif syari’at juga harus menunjukkan keloyalan pada dimensi sosialnya: 5
1. Halal: Bebas dari kontaminasi daging babi dan alkohol
Konsep halal yang selama ini bersifat normatif telah mengalami
transformasi dan merambah dalam wilayah ekonomi dan bisnis secara praktis.
Transformasi ini dipengaruhi oleh maraknya penggunaan istilah halal dalam
konteks sosial, ekonomi dan bisnis.
Dalam konteks bisnis yang semakin mengglobal dan canggih, sulit
mendeteksi barang-barang yang mengandung ekstrasi hewan yang tidak halal. Biasa
ekstrasi yang demikian hanya dapat dilakukan oleh produsen besar dengan
menggunakan teknologi yang tinggi.
Hal yang sama terjadi pada produk minuman. Produk minuman yang
mengandung zat alkohol secara luas telah dipahami oleh semua produsen sebagai
sesuatu yang terlarang secara syari’at. Meskipun tidak berarti bahwa penggunaan
produk yang mengandung bahan berakohol ini hanya terjadi pada produsen tertentu,
melainkan bisa terjadi pada produsen secara keseluruhan.
2. Halal: Pembebasan konsumen dari keraguan
Halal dalam konteks ini, mengandung jaminan kepastian dari produsen
bahwa produk yang di produksi akan mampu membebaskan konsumen dari
keraguan akan terdapatnya bahan-bahan yang secara hukum Islam dilarang untuk
dikonsumsi.
Makna halal diatas adalah membebaskan konsumen dari keraguan terhadap hal-hal
yang mengandung unsur Syubhat (belum jelas halal dan haramnya) maupun haram.

5
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, label halal, antara spiritualitas bisnis dan komoditas agama..., hlm.
32

5
Dengan demikian label halal memiliki fungsi penting sebagai penanda bagi konsumen
bahwa produk tersebut terbebas dari kontaminasi unsur-unsur yang tidak halal.
Selain itu, makna pembebasan juga mengandung pengertian pembebasan diri dari
segala konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku bisnis tidak etis. Lantaran
memanipulasi konsep halal yang selama ini dipandang normatif hanya untuk mencapai
kepentingan ekonomi yang bersifat temporal.
3. Halal: Bersih dan suci
Produk pangan halal yang bersih belum mempresentasikan produk pangan
yang suci. Sedangkan pangan yang suci sudah mengandung penegrtian pangan yang
suci sudah mengandung pengertian pangan yang bersih.
Makna halal secara ontologis harus menembus batas-batas dua unsur di atas. Dalam
perspektif ekonomi Islam misalnya, produk sebuah industri atau perusahaan dikatakan
halal tidak hanya dengan menghindarkan dua unsur dua unsur tersebut, tetapi juga
mensyaratkan batasan-batasan tegas dan jelas dan kejelasan objek (barang) yang akan
diperjualbelikan. Batasan-batasan yang di maksudkan adalah: (1) halal dari sisi
substansinya, (2) halal dari segi sifat, (3) halal dari segi tempat, (4) halal dari proses, (5)
halal instrumen pemprosesannya, (6) halal dalam penyimpanannya, (7) halal dalam
pengangkutan (distribusi) produk dari pabrik ke tempat penjualan (pasar), (8) halal dalam
penyajiannya.
Sebagai ukuran kehalalan suatu produk, LPPOM MUI telah menetapkan
identifikasi dengan aspeknya yang lebih luas bahwa halal-haramnya suatu produk pangan
dari aspek realitas barangnya, meliputi: tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat
penggolongan dan transportasi harus menjamin tidak adanya atau tercampur dengan unsur
haram atau najis.
4. Halal: Tanggung jawab sosial industri
Selain beberapa makna yang telah dikemukakan di atas, halal juga
dipersepsi oleh produsen industri sebagai sebuah konsep yang memiliki makna

6
tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai makna halal merujuk pada kesadaran
industri sebagai entitas yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial sekaligus
tanggung jawab pemilik industri secara personal terhadap kepentingan orang lain.
Tanggung jawab ini diperlukan, terutama oleh produsen agar ia mampu
mengendalikan diri dari tindakan yang tercela, yang dapat mendatangkan kerugian bagi
diri sendiri dan orang lain melalui kegiatan produksi yang dilakukannya. Kesadaran akan
pentingnya tanggung jawab sosial ini harusnya bisa menjadi trend bagi produsen dan
industri. Sehingga iklim perbisnisan mampu mengakomodir pemikiran-pemikiran dan
paradigma bisnisnya yang lebih luas
5. Halal: Makna informatif
Dalam perspektif produsen label “halal” juga memiliki makna penanda atau
informasi. Makna ini merujuk pada pengertian bahwa produk yang dihasilkan oleh
industri memiliki segmen dasar yang luas, yang memungkinkan semua konsumen
dari berbagai lapisan dan agama dapat mengkonsumsinya, terutama konsumen
muslim.
Makna informatif dari label halal ini lebih bersifat khusus yang merujuk pada
segmen konsumen tertentu untuk menepis keraguan mereka terhadap produk yang
dihasilkan produsen. Keraguan ini terjadi lantaran pelaku pasar dalam dunia industri terdiri
dari produsen yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi baik dari sisi suku, agama,
dan latar belakang sosial, ekonomi serta pendidikan.
Sangat beralasan jika labal sebagaimana diuraikan di atas mengandung makna
informatif. Makna ini mengandung implikasi psikologis yang dapat mengurangi kerisauan
konsumen terhadap produk pangan yang tidak memiliki kejelasan identitas. Identitas ini,
bagi konsumen merupakan simbol dan pencitraan terhadap brand image yang dimiliki
industri atau perusahaan.
Pangan di dalam UU No. 7 Tahun 1996 pasal 1 didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, di

7
peruntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen muslim, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan dan minuman. Dalam khazanah hukum
Islam, hukum segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak
ada satu pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman
bahan tersebut. Hal ini berbeda dengan kaidah perbuatan yang menurut setiap apapun yang
dilakukan manusia dalam hal ini seorang muslim harus terikat dengan hukum syara’
(wajib, sunnah, mubah/boleh, makruh, haram). Sebagaimana kaidah fiqih yang
menyatakan ”Hukum asal bagi setiap benda/barang adalah mubah, selama tidak ada dalil
yang mengharamkannya” dan ”Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah
terikat denga hukum syara’/Islam”.
Setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi
mengkonsumsi suatu produk pngan sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih
dahulu kehalalan dan keharamannya. Halal berarti boleh, sedangkan haram berarti tidak
boleh. Selain masalah halal dalam perilaku yang menjadi standar minimal perilaku seorang
muslim, Allah SWT juga mengatur dalam masalah makanan maupun minuman. Di dalam
Qur’an Surat al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang
yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati)karena dicekik, yang (mati) karena
dupukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati)
karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang
disembelih untuk berhala”.Kata halalan menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang
berarti “lepas” atau bisa juga di sebut dengan “tidak terikat”. Secara etimoligi kata halalan
berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang
bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.

8
Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, dan baik merupakan perintah
agama dan hukumnya adalah wajib bagi orang muslim. Halal dan baik secara rohani. Oleh
karena itu, mendapat pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen.
Syari’at agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya dan manusia dengan
sesamanya. Makanan yang halal hakikatnya adalah makanan yang didapati dan diolah
dengan cara yang benar, menurut agama. Kini konsumen dapat memilih berbagai macam
pilihan produk. Salah satu adalah produk pangan yang sering kita konsumsi setiap hari.
a) Dasar hukum pencarian label halal
Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah undang-undang
pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang pangan, yaitu dalam Bab IV tentang pangan
pasal 30 ayat 2 dan pasal 34 ayat 1. Di dalam pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa
label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat
bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau yang
memasukkan pangan ke dalam wilayah indonnesia, keterangan tentang halal serta
tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsanya.
Bunyi dari ayat ini secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal
merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan
tetapi sayangnya pengertian dimentahkan oleh penjelasan dari ayat yang
menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru
merupakan kewajiban apabila setiap orang memproduksi dan memasukkan
kewilayah indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Aturan tentang label dan iklan pangan
kemudian diperinci di dalam peraturan pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang label
dan iklan pangan. Pada pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus
tercantum pada UU pangan pasal 30 ayat 2, di dalam peraturan pemerintah ini
aturan tentang label halal termaktub di dalam pasal 10 dan pasal 11. Pasal 10 ayat 1

9
menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa
pangan tersebut halal bagi umat Islam.
Sedangkan pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran
pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat , setiap orang
yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksa terlebih dahulu pangan tersebut
pada lembaga pemeriksaan yang telah diakriditasi dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ayat-ayat tersebut memperjelaskan dari UU
pangan pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label
pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi atau yang
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa
produknya halal bagi umat Islam.
b) Tinjauan titik kritis halal
Yang menjadi penentu kehalalan suatu barang atau pangan adalah
diantaranya tidak mengandung alkohol atau komponen yang memabewankkan
bukan hewanyang buas, bertaring, berkuku panjang dan babi. Untuk bahan makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan ikan dijamin kehalalannya, yang menjadi
titik kritisnya dan keharamannya adalah dari alat dan bahan yang ditambahkan
ketika pengolahan, juga kemasan. Sedangkan untuk bahan pangan yang berasal dari
hewan yang dihalalkan untuk dikonsumsi yang menjadi titik kritisnya adalah cara
penyembelihan, alat dan bahan yang digunakan atau ditambahkan ketika
pengolahan, dan pengemasan.6

6
Ali Anwar, Tinjauan Islam Terhadap Makanan dan Minuman. Tersedia di http://www.unpas.
Ac.id/life:///D:/aims/pangan%20halal/pangan%20halal/pangan%20dalam%20pandangan%20islam,htm.
Diakses 10 April 2016

10
Makanan dan minuman yang diharamkan dalam Islam, secara garis besarnya dapat
dikategorikan kepada beberapa kriteria sebagai berikut: bukan terdiri atau mengandung
bagian atau binatangyan dilarang oleh ajaran agama Islam untuk memakannya, atau yang
disembelih menurut ajaran agama Islam. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan
sebagai najis menurut ajaran agama Islam. Tidak mengandung bahan pengawet atau bahan
tambahan yang diharamkan menurut ajaran agama Islam, dalam proses menyimpan dan
menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang memeiliki
kriteria larangan. Termasuk juga yang dilarang/yang diharamkan adalah bangkai yaitu
binatang halal dimakan yang mati tampa disembelih menurut ajaran agama Islam kecuali
bangkai ikan dan belalang.7 Semua jenis darah haram untuk dikonsumsi kecuali hati dan
limpa dari jenis binatang yang halal sama juga dengan minuman, kecuali minuman yang
memabukkan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda yang najis. Untuk
menentukan halal/haramnya suatu barang harus diperhatikan cara penyembelihan, alat
yang digunakan untuk menyembelih, alat yang digunakan untuk mengola/menyajikan,
bahan tambahan dan kemasan.8
Menyikapi hal ini, Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) melalui pangan, obat-obatan,
dan kosmetik dan komesi fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan produk
makanan halal bagi konsumen muslim melalui instrumen sertefikat halal. Sertefikat halal
merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama’ Indonesia MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk. Sertefikat halal selain sebagai perlindungan konsumen dari berbagai macam
makanan yang dianggap tidak layak sesuai syari’at Islam khusus di Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, dan jugan mendorong kompetesi dan menjadi unggulan.9

7
Qardhawi Yusuf, Halal dan haram dalam Islam. Terj. Mu’amal Hamdy, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993)

8
Ibid,

9
Uno Sandiago, Agar UKM semakin berdaya saing tinggi, (Jakarta, UKM, 2011), hlm. 8

11
Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari
segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan baku yang digunakan, tetapi harus
pula di buktikan dalam proses produknya: pasal 11;
a) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang memproduksi atau memasukkan pangan
yang di kemas ke dalam wilayah Indonesia untuk di perdagangkan, wajib
memeriksa yang telah di akredetasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b) Pemeriksaan sebagaimana di maksud pada ayat (1) di laksanakan berdasarkan
pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh mentri agama dengan
memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki
kompetensi yang dibidang tersebut.
B. Hukum tentang pangan halal
Kehalalan mutlak ialah sesuatu yang esensinya tidak dicampuri oleh sifat-sifat yang
menyebabkan keharaman pada hendaknya dan terlepas dari hal-hal yang membawa pada
keharaman atau kemakruhan. Misalnya, air yang diambil seseorang dari curahan hujan
sebelumnya jatuh ke dalam bejana milik orang lain. Ia menggumpulkannya sambil berdiri.
Ia mengambilnya di udara melalui bejana miliknya atau di tanah yang mubah.10
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “perkara halal itu jelas dan perkara
haram juga jelas. Di antara keduanya perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, ia telah
menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Sebainya, barang siapa yang terlibat barang
syubhat, ia terperosok ke dalam perkara haram; seperti pengembala yang
menggembalakan ternak di sekitar daerah terlarang (pada rumput milik seseorang), ia
hampir saja masuk ke dalamnya” (HR Al-Bukhari Muslim).

10
Imam Al-Ghazali, Rahasia halal-haram, hakikat batin perintah dan larangan Allah (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2007), hlm. 47

12
Dalam PP No. 69 Tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak
mengandung unsur atau bahan yang haram atau yang dilarang untuk dikonsumsi umat
Islam, baik yang menyangkun bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa pangan dan
pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
1. Perkembangan Mentri Kesehatan RI No. 280/Menkes tentang ketentuan peredaran
dan penandaan pada makanan yang mengandung bahan berasal dabi babi:
a) Pada wruadah/bungkus pada makanan yang diproduksi di dalam negeri yang
berasal dari infor yang mengandung bahan berasal dari babi harus dicantumkan
tanda peringatan.
b) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat 1 harus berupa gambar
babi dan tulisan yang berbunyi “mengandung babi” dan harus ditulis dengan
nama barang.
2. Permenkes RI No. 76 tentang label dan periklanan makanan, pasal 2 menyatakan
bahwa: kalimat, kata-kata, dan lambang, logo, gambar dan sebagainya yang terdapat
pada label atau iklan harus dengan sesuai asal, sifat, komposisi, mutu dan kegunaan
makanan.
3. UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, pasal (34) ayat (1). Setiap orang yang
menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah
sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan berdasrkan persyaratan atau kepercayaan tersebut. Penjelasan
pasal 24 ayat 1: dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam
label atau iklan pangan tidak hanya dapat segi bahan baku pangan, bahan tambahan
pangan, atau bahan bantu lainnya yang digunakan dalam memproduksi pangan,
tetapi mencangkup pula proses pembuatannya.
Secara umum sistem jaminan halal didefinisikan sebagai sebuah sistem manajemen
jaminan proses produksi halal, produk-produk bersertifikasi halal. Sedangkan secara

13
spesifik bagi perusahaan pemegang sertifikat halal dengan tujuan untuk menjaga
kesenimbungan proses produk halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin
kehalalannya. pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality
management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen,
peningkatan tampa penambahan biaya, dan menghasilkan barang.11
Karena itu di dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan
untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk
(thee zeroconcept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level pangan (zero limit),
tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merigikan yang
diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk).12 Total Quality Manajement
didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam sistem posisi dalam
organisasi harus mempraktekkan dan berpartisifasi dalam manajemen halal dan aktivitas
peningkatan produktivitas. Manejemen halal bermula dan berakhir dengan pendidikan
yang kontinyu.
C. Standarnisasi pangan halal
Standanisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan,
dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkosumsi suatu produk yang
haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-
undang nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, salah satunya adalah pasal 4
(a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyaman, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi m orang muslin yang mayoritas konsumen di
Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah
satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak

11
Aisyah Grinda, Manajemen Kehalalan dengan Label Halal. (Bogor: Persfektif Food Review
Indonesia, 2006) hlm. 12-13

12
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Manajement (Yoyakarta: CV Andi Offset, 2003),
hlm. 29

14
bertentangan dengan kaidah agamanya, atau bisa dikatakan bahwa barang tersebut halal.
Selanjutnya, dalam pasal yang sama, (c) diseutkan bahwa konsumen juga berhak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. Hal
ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan
haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat
serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang
telah ditentukan.
Terlepas dari paham atau ketidak pahaman produsen terhadap aspek yuridis
perlindungan konsumen, fakta tersebut secara eksplisit menunjukkan adanya aspek praksis
hukum yang dilakukan oleh produsen. Secara yuridis Undang-undang No. 8 Tahun 1999
diuraikan butir-butir tentang azaz-azaz dalam memberikan perlindungan hukum kepada
konsumen. Azaz-azaz yang di maksud:13
1. Azaz manfaat
Merujuk pada kenyataan bahwa label halal yang terdapat dalam kemasan
produk industri memiliki manfaat perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi
pangan hasil produk industri.perlindungan konsumen yang dilakukan oleh
produsen juga menunjukkan kepedulian produsen dalam mengimplimentasikan
amanat undang-undang perlindungan konsumen. Dalam undang-undang ini
dikemukakan bahwa segala upaya yang mengarah pada perlindungan konsumen
harus mampu memberikan manfaat secara proporsional baik bagi konsumen
maupun bagi kepentingan produsen secara keseluruhan.
2. Azaz keadilan
Merujuk pada makna bahwa upaya perlindungan konsumen harus
ditegakkan oleh produsen, secara tidak langsung produsen telah mengamalkan
nilai keadilan, yaitu meletakkan secara proposional antara hak dan kewajiban

13
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, label halal, antara spiritualitas bisnis dan komoditas agama...,
hlm. 78

15
produsen terhadap konsumen. Produsen menempatkan kepentingan konsumen
secara setara dengan kepentingan sendiri, demikian juga keamanan konsumen
berpangkal dari keamanan produsen, yaitu dengan cara memproduksi produk yang
dapat di konsumsi secara bersama-sama oleh konsumen dan produsen.
3. Azaz keseimbangan
Azaz ini mengandung makna yang paralel dengan azaz keadilan di atas,
bahwa konsumen dan produsen sebagai dua kelompok yang memiliki kepentingan
berbeda, harus sinergis dalam kepentingan mereka untuk mencapai kemaslahatan
bersama. Produsen sebagai pihak supply menyajikan produk yang mengandung
unsur-unsur yang dapat memberikan kepuasan dan terpenuhinya selera serta cita-
cita konsumen terutama dari aspek kehalalan produknya.
4. Azaz keamanan dan keselamatan
Azaz ini menyeluruh filosofi bahwa tanggung jawab sosial industri atau
perusahaan tidak lain adalah untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Berdasarkan azaz tersebut, jelas bahwa bisnis tidak dipandang sebagai sebuah
aktifis yang memiliki tujuan tunggal. Penanganan produk yang dilakukan secara
sadar melampaui prinsip laba maksimal merefleksikan pentingnya perluasan
wawasan makna dan nilai serta kepentingan sosial dalam kegiatan bisnis.
Perlindungan terhadap konsumen dalam mengkonsumsi pangan aman menjadi
bagian yang amat mendasar, sebab pangan yang aman seperti yang di tetapkan dalam
peraturan pemerintah No. 28 tahun 2004 sangat penting perannya bagi pertumbuhan,
pemeliharaan, peningkatan derajat kesehatan dan kecerdasan masyarakat.
Pada sisi lain, peraturan pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang label dan iklan
pangan terdapat sejumlah pasal yang mengatur label halal sebagai sebuah kewajiban yang
harus dipatuhi produsen seperti pasal 10 ayat 1 dan 2 yang mewajibkan pencantuman ayat
2; bahwa halal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari label.

16
Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik
minat konsumen di Indonesia yang mayoritasnya penduduk muslim/Islam. Ia juga penting
untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan
negara-negara muslim.
Pemerintah mempunyai peran dalam melindungi komponen terhadap makanan
label halal terutama konsumen muslim, karena melindungi konsumen muslim merupakan
amanah yang di syari’atkan Islam. Islam sangat menekankan terhadap pentingnya
keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dalam Islam faktor
nyaman dalam ha ini adalah adanya jaminan makanan, atau makanan tersebut sudah jelas
kehalalannya.14
Adapun peran pemerintah, yakni terdapat dalam surat Shaad ayat 26: 15
  
   
   
   
    
    
    
 
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.
Ayat diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa, seorang pemimpin mempunyai peran
penting terhadap urusan pemerintahan, khususnya terkait masalah perlindungan hukum
bagi konsumen muslim terhadap makanan dan masalah produk makanan yang berlabel.

14
M. Qurasy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 287

15
Al-Bayan, Transliterasi-Latin Model Perbaris.

17
Peran pemerintah sangat di butuhkan untuk memberikan perhitungan kepada seluruh
konsumen khususnya konsumen muslim.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Makanan yang halal sangatlah penting bagi setiap muslim, karena kebanyakan
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam masalah makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimia biologik dan produk rekayasa genetik yang terjamin kehalalannya
menurut syari’at merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah.
Makanan yang dibolehkan menurut ajaran agama dari segi hukumnya, dan
makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama. Kemudian pangan
halal sangatlah diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk makanan lokal
Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.
Oleh karena itu, mendapat pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap
konsumen. Syari’at agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits yang berkaitan
dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya dan manusia dengan
sesamanya. Makanan yang halal hakikatnya adalah makanan yang didapati dan diolah
dengan cara yang benar, menurut agama. Kini konsumen dapat memilih berbagai macam
pilihan produk. Salah satu adalah produk pangan yang sering kita konsumsi setiap hari.
Di dalam Undang-undang juga telah di sebutkan pasal 3 ayat 2, persyaratan
minimal keterangan yang harus tercantum pada UU pangan pasal 30 ayat 2, di dalam
peraturan pemerintah ini aturan tentang label halal termaktub di dalam pasal 10 dan pasal
11. Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan
pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan
bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam.
B. Saran
Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan di konsumsi.
Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu halal atau haram.

19
1. Menindak lanjuti produsen yang produksi makanan haram.
2. Memberi sanksi terhadap terhadap orang yang mengkonsumsi makanan dan
minuman yang haram.
3. Memberi label haram terhadap yang halal, dan tidak memberi label terhadap
makanan yang haram.
4. Lebih berhati-hati dalam memilih ataupun mengkonsumsi produk pangan.

20
Daftar Pustaka

Aisyah Grinda, Manajemen Kehalalan dengan Label Halal. Bogor: Persfektif Food Review
Indonesia, 2006
Al-Bayan, Transliterasi-Latin Model Perbaris.
Ali Anwar, Tinjauan Islam Terhadap Makanan dan Minuman. Tersedia di
http://www.unpas.
Ac.id/life:///D:/aims/pangan%20halal/pangan%20halal/pangan%20dalam%20pandangan
%20islam,htm. Diakses 10 April 2016
Al-Qur’an dan Terjemahan, 1978. Departemen Agama RI.
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Manajement Yoyakarta: CV Andi Offset,
2003
Imam Al-Ghazali, Rahasia halal-haram, hakikat batin perintah dan larangan Allah
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007
M. Qurasy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, label halal, antara spiritualitas bisnis dan komoditas
agama Malang: Madani Kelompok Intrans Publishing, 2009
Qardhawi Yusuf, Halal dan haram dalam Islam. Terj. Mu’amal Hamdy, Jakarta: Bina
Ilmu, 1993
Sahal Mahfudh, Bahtsul Masail dan Istinbbat Hukum NU Sebuah Catatan Pendek, dalam
“H.M. Jamaludin Miri (ter.), AHKAMUL FUQAHA: Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Kombes. Surabaya: Lajnah Ta’rif
Wan Nasyr (LTN) PBNU, 2011
Uno Sandiago, Agar UKM semakin berdaya saing tinggi, Jakarta, UKM, 2011

21

Anda mungkin juga menyukai