Latar Belakang
Myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis (myelopati) yang disebabkan
proses inflamasi (NINDS 2012). Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau
menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini
menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang menganggu hubungan antara saraf pada
medulla spinalis dan tubuh. Beberapa literatur sering menyebutnya sebagai myelitis transverse
atau myelitis transverse akut (1,2).
Insiden myelitis dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan sebanyak 1-8 juta
orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru per tahun yang didiagnosis di Amerika
Serikat. Sebanyak 34000 orang dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa myelitis berupa
cacat sekunder. Sekitar 20 % dari myelitis transversal akut terjadi pada anak-anak. Sedangkan
insiden myelitis transversa idiopatik sekitar 1,34-4,6 juta per tahun (3). Myelitis dapat
disebabkan berbagai etiologi seperti infeksi bakteri dan virus, penyakit autoimun sistemik,
beberapa sclerosis, SLE, Sjogren sindrome, pasca trauma, neoplasma, iskemik atau perdarahan
saraf tulang belakang dan jarang penyebab iatrogenik. Pada kasus dimana penyebab dari
myelitis tidak dapat diidentifikasi maka disebut sebagai idiopatik (1,4).
Selama terjadi inflamasi pada saraf tulang belakang, akson yang bermyelin mengalami
kerusakan yang dapat menyebabkan gejala berupa gejala motorik seperti kelumpuhan,
disfungsi sensori seperti rasa nyeri dan rasa kebas, dan disfungsi otonom seperti retensi urin.
Sedangkan prognosis dari myelitis adalah buruk. Prognosis setelah serangan myelitis sangat
bervariasi antara dewasa dan anak (5).
Adapun beberapa jenis dari myelitis : 1. Poliomyelitis : penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus ke gray matter medulla spinalis dengan gejala kelemahan atau kelumpuhan otot,
2. Leukomyelitis : lesi di bagian white matter medulla spinalis, 3. Transverse myelitis : proses
inflamasi pada saraf tulang belakang disebabkan oleh demyelinasi aksonal meliputi kedua sisi
tulang belakang, 4. Meningococcal myelitis : inflamasi pada daerah meningens dan spinal cord
(6).
Dari banyaknya jenis myelitis maka diperlukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat
untuk mencegah progresifitas maupun komplikasi dari penyakit tersebut. Inilah uraian singkat
dari penyaji yang lebih lengkapnya dapat dibaca di uraian selanjutnya.
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Myelitis
Pada abad ke-19, hampir semua penyakit pada medulla spinalis disebut myelitis.
Dalam Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince seorang ahli neuro pernah
menulis tentang myelitis traumatik, myelitis kompresif dan sebagainya, yang agak
memberikan kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya
pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang
tergolong benar-benar karena radang atau inflmasi saja yang masih tertinggal (7).
Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) myelitis adalah terminologi
nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medulla spinalis. Tetapi Adams dan Victor
(1985) menulis bahwa myelitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang
menyebabkan kerusakan hingga nekrosis pada substansia grisea dan alba (7,8).
Menurut NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) tahun
2012, myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis (myelopati) yang disebabkan
proses inflamasi (1).
Menurut kamus kedokteran Dorland 2007, myelitis adalah proses inflamasi pada
medulla spinalis/ spinal cord (9).
Beberapa literatur sering menyebut beberapa inflamasi yang menyerang medulla
spinalis sebagai myelitis transverse atau myelitis transverse akut. Bahkan bentuk subakut
dari myelitis juga disebut sebagai myelitis transverse akut (2).
Makna “transversa” pada kasus myelitis menggambarkan secara klinis adanya band
like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau toraks. Sejak saat itu, sindrom
paralisis progresif karena inflamasi di medulla spinalis dikenal sebagai myelitis
transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi
dan potensial menimbulkan kerusakan. Jadi tidak ada keterlibatan saraf tulang belakang baik
dari segi patologi maupun pencitraan, tapi hingga hari ini masih sering literatur yang
menggunakannya (2).
Patologi
Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga mielitis merupakan
bagian dari inflamasi serebrispinali yang umum misalnya pada ensefalomielitis. Pada stadium
akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada potongan melintang bisa menunjukan
perdarahan. Gambaran patologi yang penting adalah degenerasi medulla spinalis yang sifatnya
destruktif mielin dan musnahnya aksis silinder. Elemen inflamasi misalnya limfosit dan sel
plasma, berada di jaringan medulla spinalis dan di sekeliling pembuluh darah disertai infiltrasi
ke meningen. Pada beberapa bentuk bisa dijumpai nekroisi yang lengkap dari medulla spinalis,
dengan respon fagositik yang ekstensif dan ploriferasi mesodermal. Sel-sel neuron dalam
substansia grisea bisa mengalami degenerasi berat. Reaksi mesodermal biasanya hebat disertai
dengan dilatasi, proliferasi atau infiltrasi pembuluh darah. Pembentukan parut sel-sel glia
didapatkan pada beberapa bentuk. Kelainan patologik ini bisa terjadi disetipa tingkat : sevikal,
torakal, atau lumbal. Tapi paliing sering terletak di regio torakal karena bagian medulla spinalis
ini paling panjang dan pemasokan darahnya paling jelek.
Gambaran Klinis
1. Motorik
Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping gangguan
sensorik dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai tingkat tertentu
dipengaruhi oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk menentukan simtomatologinya
yang lebih penting adalah topik patologiknya di medulla spinalis atau tingkat medulla spinalis
disamping intensitas dan luasnya proses patologik.
Jika prose topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat terjadi
tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada di tingkat
servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau tetraplegi yang pada
anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah bersifat spastik atau UMN.
Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan berakibat sebagai
paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN. Namun yang paling sering
topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan menimbulkan paraparesis atau paraplegi
inferior yang bersifat spastik atau UMN. Kelumpuhannya juga dapat mengambil bentuk
monoparesis atau monoplegi yang bersifat flaksid atau LMN jika topiknya ada dibagian ventral
subtansia grisea misalnya poliomielitis. Pada mielitis dissreminata ataupun pada mielitis
transversa parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak simetris.
Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus atau bakteri
bisa didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi traktus respiratorus
bagian atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa gangguan gastrointestinal.
Gejala lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau eksantem, nyeri kepala, kaku kuduk
bisa ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit ini dapat berlangsung akut sub akut atau
khronis.
Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Periode ini
terjadi berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak. Dibawah tingkat
lesinya bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik, hilangnya fungsi otonom dan
arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran kemi yang berat atau ulkus dekubitus
periode syok spinal akan memanjang.
Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum, suatu
periode syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada periode ini dapat
terjadi kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis tranversa dengan toppik di segmen
torakal, setelah periode syok spinal lewat akan terjadi kandung kemih otomatik atau
neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering dijumpai.
2. Sensoris
pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering digambarkan
seperti rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau kaki kemudian naik ke
tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas. Nyeri dirasakan dipunggung
menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan, (rasa seperti sabuk).
Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah level
tertentu yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola inervasi
segmental. Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa nyeri, vibrasi dan
propiosepsi.
Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang
kebersihan. Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan trokanter
mayor. Gejala lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia, hipotensu, paralisis
diafragma.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi defisit
motorik, sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang mendahului atau
menyertai berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah dengan bukti tidak adanya
blokade pada aliran LSS.
Diagnosis Bandingan
2.2.3.2. POLIOMIELITIS
A. Definisi Poliomielitis
Poliomielitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus
dengan predileksinya merusak sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang (anterior
horn cells of the spinal cord) dan batang otak (brain stem); dengan akibat kelumpuhan
otot-otot dengan distribusi dan tingkat yang bervariasi serta bersifat permanen (14).
B. Epidemiologi Poliomielitis
Penyakit poliomyelitis tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan satu-
satunya reservoir penyakit ini. Di negara mempunyai 4 musim, penyakit ini lebih sering
terjadi di musim panas, sedangkan di negara tropis musim tidak berpengaruh. Sebelum
tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadis, di mana epidemi yang pertama
sekali dilaporkan dari Scandinavia dan Eropa Barat lalu Amerika Serikat (14).
Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an epidemi poliomyelitis secara
teratur ditemukan di AS dengan 15.000-21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada
tahun 1920, 90 % kasus polio terjadi pada anak < 5 tahun, sedangkan di awal tahun
1950an, kejadian tertinggi adalah pada usia 5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih dari
sepertiga kasus terjadi pada usia > 15 tahun (14).
Hingga saat ini kasus poliomyelitis jarang di negara barat, polio masih endemik di
Asia selatan dan Afrika, terutama Pakistan, dan Nigeria. WHO memperkirakan ada 10-20
miliar penderita di seluruh dunia. Pada tahun 1997 ada 254000 orang yang tinggal di
Amerika Serikat yang menderita paralisis akibat polio. Amerika mendeklarasikan bebas
polio tahun 1994 dan Eropa bebas polio pada tahun 2002 (16).
Mortalitas tinggi terutama pada poliomyelitis tipe paralitik,disebabkan oleh
komplikasi berupa kegagalan nafas, sedangkan untuk tipe ringan tidak dilaporkan adanya
kematian. Walaupun kebanyakan poliomyelitis tidak jelas /inapparent (90-95%), hanya 5-
10% yang memberikan gejala poliomyelitis (14,15).
C. Klasifikasi Poliomielitis
Poliomielitis terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: (14,15,17)
1. Poliomielitis asimtomatis : setelah masa inkubasi 6-20 hari, tidak terdapat gejala
karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.
2. Poliomielitis abortif : timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejala berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Poliomielitis non paralitik : gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif ,
hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari
kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan
hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan
kolumna posterior.
4. Poliomielitis paralitik : dibagi menjadi 2 yaitu paralisis spinal dan paralisis bulbar.
Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun
strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari
200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan
terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh
pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Virus Polio
menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik -- yang mengontrol gerakan
fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang
tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang
seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan
memengaruhi sistem saraf pusat -- menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan
berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan
syaraf motorik. Syaraf motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang
berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf
pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas, kondisi ini
disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat
menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan
abdomen (perut), disebut quadriplegia.
Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak
ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan
dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol
pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan
pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur
pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai
fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal
ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima
hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika
otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi
kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim 'perintah bernapas' ke paru-
paru. Yang terkena bagian atas nervus cranial (N.III – N.VII) dan biasanya dapat
sembuh. Lalu bagian bawah (N.IX – N.XIII ) sehingga terjadi pasase ludah di faring
terganggu sehingga terjadi pengumpulan air liur,mucus dan dapat menyebabkan
penyumbatan saluran nafas sehingga penderita memerlukan ventilator.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 2-5% pada anak dan 15-30 %
pada dewasa (tergantung usia penderita).
D. Etiologi Poliomielitis
Penyebab polio adalah virus polio. Virus polio merupakan RNA virus dan
termasuk famili Picornavirus dari genus Enterovirus. Virus polio tahan terhadap Ph asam
tetapi mati terhadap bahan panas, formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Selain itu,
penyakit ini mudah berjangkit di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, melalui
peralatan makan, bahkan melalui ludah (15,17).
Secara serologi virus polio dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
• Tipe I Brunhilde
• Tipe II Lansing dan
• Tipe III Leoninya
Tipe I yang paling sering menimbulkan epidemi yang luas dan ganas (14).
Penularan virus terjadi melalui (17) :
1. Secara langsung dari orang ke orang
2. Melalui tinja penderita
3. Melalui percikan ludah penderita
Resiko terjadinya Polio (15) :
a) Belum mendapatkan imunisasi
b) Berpergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
c) Malnutrisi
d) Stres atau kelelahan fisik yang luar biasa (karena stress emosi dan fisik dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh).
e) Defisiensi imun
E. Patofisiologi Poliomielitis
Virus polio masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam
tenggorokkan dan saluran pencernaan, diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh
darah dan getah bening. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan dan mengalir ke
sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis)
(15).
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu. Tidak semua
neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi
penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang
biasanya terkena poliomyelitis ialah medula spinalis terutama kornu anterior, batang otak
pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio retikularis yang mengandung
pusat vital, serebelum terutama inti-inti vermis, otak tengah “midbrain”
terutama gray matter substansi nigra dan kadang-kadang nukleus rubra (15).
C h r i s t i n e W e i l e . 2 0 0 9 . A c u t e P o l i o m
y e l i t i s . A v a i l a b l e f r o m : http://www.emedicine.com/p
mr/topic6.htm.
DAFTAR PUSTAKA
1. Transverse Myelitis fact sheet. National Institute of Neurological Disorders
and Stroke. 2012.
2. Timothy W West. Transverse Myelitis- A Review Of The Presentation,
Diagnosis And Initial Management. 2013.
3. Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Lotze. Pediatric Acute
Transverse Myelitis Overview and Differential Diagnosis. J Child Neurol.
2012; 27: 1426.
4. Muzaffer Keklik, Leylagul Kaynar, Afra Yildirim, et al. An Acute
Transverse Myelitis Attack after Total Body Irradiation: A Rare Case. Case
Reports in Hematology. 2013.
5. Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl J
Med. 2010: 363;6.
6. Anonymous. Diakses dari Wikipedia pada tanggal 22 Oktober 2013.
7. Poser C.M. Notes on the Epidemiology of Transverse Myelitis.
Neuroepidemiolgy. 1983; 2:266-69.
8. Douglas Kerr. The history of TM : The Origins Of The Name And The
Identification Of The Disease. The transverse myelitis association. 2013.
9. Kamus Kedokteran Dorland. 2007.
10. Sema Y et al. Transverse Myelitis caused by varicella zoster : case
report.Braz J Infect Dis. 2007 ; 11 : 1.
11. Amer Awad and olaf Stuve. Idiopathic transverse myelitis and
neuromyelitis optica : clinical profiles, pathofisiology ang therapeutic
choices. Current neuropharmacology.2001:9; 417-428.
12. Transverse Myelitis Consortium Working Group. Proposed diagnostic
criteria and nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59:
499–505.
13. T.F. Scott, E.M. Frohman, J. De Seze, et al. Evidence-based guideline:
Clinical evaluation and treatment of transverse myelitis: Report of the
Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American
Academy of Neurology .Neurology. 2011;77;2128-2134.
14. Syahril Pasaribu. Aspek Diagnostik Poliomielitis. USU 2005.
15. The late effects of Polio. Information for general practitioners. 2001.
16. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Our Progress Against
Polio. 2013.
17. Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S. 2009. "Poliomyelitis"
Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink
Book) (11th ed.). Washington DC: Public Health Foundation. pp. 231–44.