Anda di halaman 1dari 12

PENGALAMAN masa laluku, adalah rahasia pribadiku.

Tapi secara jujur sudah kuceritakan


semua kepada istriku. Tampaknya istriku penuh pengertian. Bahkan dengan tenang ia
menanggapi pengakuanku, “Masih bagus mas tidak main sama perempuan nakal. Jadi tidak ada
penyakit yang dibawa ke masa depan anak-anak kita. Yang penting mulai sekarang Mas jangan
macam-macam lagi ya.”

Oh, Sinta memang istri yang bijaksana. Bukan hanya cantik tapi juga memiliki jiwa yang besar.
Membuatku semakin mencintainya.

Tapi pengalaman yang “aduhai” di masa laluku, seringkali menggodaku. Lalu mendatangkan
fantasi baru. Fantasi yang ternyata banyak dikhayalkan oleh suami-suami lain. Aku masih ingat
benar ketika aku menyetujui keinginan Aldi untuk gabung denganku, kemudian melakukan
semuanya di villa Blue Roses. Kenangan itu melekat terus di batinku. Lalu kini berkembang.
Mulai membayangkan seandainya istriku diajak melakukan seperti waktu di villa Blue Roses.

Pada mulanya aku sering berpikir apakah aku ini normal atau tidak. Tapi setelah membaca dari
sebuah situs terkemuka di internet, katanya pikiran yang sering menggodaku ini normal-normal
saja. Bahkan kata situs itu, lebih dari 50% para suami suka membayangkan seperti yang sering
kubayangkan. Suka membayangkan, seandainya istri mereka disetubuhi lelaki lain. Terutama
mereka yang sudah mulai dilanda kejenuhan dalam rumah tangganya.

Apakah aku sudah mulai jenuh pada Sinta yang sudah 10 tahun menjadi istriku dan menjadi ibu
dari kedua anak-anakku? Bukankah dahulu aku begitu tergila-gilanya pada Sinta, sehingga tak
sabar lagi ingin cepat-cepat menikahinya waktu ia baru tamat SMA? Karena takut keburu
disamber pria lain?
Ya, tadinya Sinta adik kelasku di SMA. Waktu aku kelas 3, dia baru kelas 1. Dan aku hanya
mengejar D2, lalu kerja dan cepat-cepat menikahi Sinta yang baru lulus SMAnya.

Sinta lahir dari keluarga yang cukup mapan. Sehingga ia tidak terlalu merongrong padaku,
bahkan mertuaku mendorong agar aku melanjutkan kuliah sampai S1. Kerja sambil kuliah,
akhirnya membuatku lumayan berhasil di kantorku. Setelah meraih S1, posisiku makin baik di
kantorku.

Sinta bisa kusebut luar biasa bentuknya. Teman-temanku juga menganggapku sukses, karena
berhasil mempersunting Sinta yang demikian cantik dan seksinya. Kulitnya termasuk putih
bersih untuk ukuran orang Indonesia. Tubuhnya tinggi langsing, tapi payudaranya lumayan
montok, dengan bra ukuran 36, yang selalu dirawat agar tetap kencang. Wajahnya rada mirip
Sarah Azhari. Bahkan di mataku, Sinta lebih cantik. Kulitnya pun lebih putih daripada kulit
Sarah Azhari. Hanya hidungnya memang tidak sebesar hidung artis seksi itu. Tapi hidung Sinta
tetap tergolong mancung.

Aku mau to the point mengapa aku membuat tulisan ini. Sekaligus untuk sharing dengan teman-
teman yang memiliki kesamaan dengan pengalamanku.

Yang menjadi titik masalahku adalah gairah seksualku. Meskipun aku mempunyai seorang istri
yang cantik dan seksi, gairah seksualku menurun sejak setahun yang lalu. Kalau aku
bersenggama dengan istriku, rasanya aku sangat memaksakan diri, mencari-cari gairah untuk
memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami. Padahal umurku baru 30 tahun, sementara istriku
baru 28 tahun.

Aku sering merasa bersalah kalau tidak memenuhi kewajiban batin pada istriku. Padahal aku
tahu Sinta sangat dominan nafsu seksnya. Terkadang ia sengaja merangsangku sedemikian rupa,
dengan tujuan agar aku menyetubuhinya. Lalu aku pun mengkhayalkan macam-macam supaya
gairah seksualku bangkit. Anehnya khayalanku lain dari yang lain. Aku suka membayangkan
Sinta sedang disetubuhi orang lain. Lalu aku merasa cemburu dan dari kecemburuan itu
bangkitlah nafsuku. Kemudian aku berhasil membangkitkan kejantananku dan menggauli SInta
sebagaimana mestinya.

Aneh memang. Aku seperti mendapatkan obat yang mujarab kalau mengkhayalkan istriku
sedang disetubuhi orang lain, sementara aku seakan-akan berada di dekat mereka. Kemudian hal
ini berlanjut dengan kebiasaan baru. Aku suka nonton dvd bokep. Tapi setelah sering digoda oleh
khayalan aneh itu, aku jadi pilih-pilih waktu mau membeli plat dvdnya. Hanya yang 3some atau
swinger yang kupilih. Yang 3some, hanya MMF (male-male-female) yang kupilih. Lalu aku
nikmati dvd-dvd porno itu dengan membayangkan seolah-olah aku jadi salah seorang pria yang
sedang menggauli wanita itu. Isteriku juga suka kuajak nonton bareng. Meski ia tidak begitu
suka nonton film porno, tapi setelah sering kupaksa akhirnya mau juga menontonnya di dalam
kamarku.
Waktu nonton film 3some atau bang my wife atau swinger, pada mulanya istriku berkomentar
seperti tidak suka, “Ih…masa satu perempuan dikeroyok dua laki-laki begitu?!”

Aku berusaha menjawab sambil memberi sugesti sedikit demi sedikit, “Tapi dengan threesome
begitu, semua pihak jadi puas sekali.”
“Maksud Mas?” Sinta memandangku dengan sorot heran.
“Hehehe…cewek itu pasti akan merasa lebih puas digauli dua orang cowok daripada sama satu
cowok. Lihat…dia dielus dari dua arah, jadi lengkap kan? Dan hehehe…pasti lebih variatif,
karena ada dua macam batang kemaluan….”
“Tapi cowok-cowoknya?”
“Akan lebih puas juga. Waktu temannya sedang menyetubuhi perempuan itu, gairahnya jadi
bangkit lagi. Jadi yang biasanya cuma kuat satu kali dalam semalam, kalau threesome begitu bisa
tiga atau empat kali seorang. Kalau dua orang…ya bisa sampai delapan kali atau lebih
perempuan itu menerima ejakulasi partner-partnernya.”
“Ihhh…” Sinta bergidik.
Lalu pandangan kami tertuju ke film lain. Tentang seorang suami yang sudah tua, sementara
istrinya masih muda. Judulnya juga “Please bang my wife”. Bisa ditebak seperti apa jalan cerita
film itu.
Lagi-lagi istriku protes, “Kok bisa ya suami itu menyuruh orang lain menyetubuhi istrinya?”
“Itulah salah satu kreativitas dalam kehidupan seksual, untuk mengatasi kejenuhan. Di zaman
sekarang hal seperti itu sudah lazim.”
“Lazim?! Di barat kali Mas.”
“Di negara kita juga sudah banyak sekali yang melakukannya. Nanti deh kuperlihatkan sebuah
situs yang menawarkan swinger, threesome, gang bang dan sebagainya.”
Kemudian kujelaskan apa yang disebut swinger, threesome, gang bang dan sebagainya. Sinta
seorang pendengar yang baik. Tapi malam itu ia memperlihatkan ketidaksetujuannya pada
penjelasanku,
“Manusia kok aneh-aneh sih? Masa istrinya dibiarin digauli orang lain? Disaksikan sama
suaminya sendiri lagi. Apa suaminya nggak cemburu?”
“Tentu saja cemburu. Tapi dari cemburunya itu sang suami mendapatkan sensasi. Sehingga
nafsunya jadi timbul secara luar biasa. Lebih hebat daripada memakai obat perangsang.”

“Ih,” istriku bergidik, “Kalau aku dibegituin sama orang lain, Mas begitu juga? Jadi tambah
nafsu padaku?”
Pertanyaan itu agak mengejutkan. Terlalu cepat rasanya. Tapi aku berusaha menjawabnya sambil
berusaha menenangkan diri, “Aku malah sering membayangkan kamu digauli pria lain.
Khayalan itu memang nyebelin pada mulanya. Tapi anehnya, setelah membayangkan hal itu,
nafsuku jadi timbul, sayang.”

Sinta menatapku dengan sorot penuh selidik, “Nggak salah tuh? Jangan memancing pertengkaran
ah. Kita kan sudah sepakat tidak mau bertengkar lagi, demi ketentraman anak-anak kita.”

Aku tersenyum. Kupeluk pinggangnya, lalu kuelus rambutnya sambil berbisik, “Aku serius,
sayang. Hidup di zaman sekarang memang harus kreatif. Jangan berjiwa kampungan.”

“Maksud Mas? Mau ikut-ikutan seperti di film itu? Terus hubungan kita jadi rusak dan anak-
anak jadi korban, begitu?”

Susah sekali meyakinkan istriku agar mengikuti jalan pikiranku. Padahal biasanya ia penurut,
senantiasa mengikuti jalan pikiranku. Tapi seperti yang kubaca dari sebuah situs, hal seperti ini
memang perlu waktu. Jangan memaksakan kehendak. Semuanya harus berjalan tenang dan
smoothly.

Tapi diam-diam kubujuk terus istriku agar mau mengikuti apa yang senantiasa menggoda
pikiranku. Jawabannya malah semakin tegas, “Nggak ah. Jangan ngaco Mas. Mungkin Mas
sudah bosan padaku dan ingin dapat izin untuk selingkuh dengan cewek lain kan? Buang saja
jauh-jauh pikiran edan itu Mas. Ingat akibatnya nanti.”

Aku terhenyak. Tapi aku masih punya senjata. Dengan membelai rambutnya secara lembut dan
berkata setengah berbisik, “Kamu salah paham, sayang. Fokusnya bukan seperti itu. Aku ingin
mendapatkan manfaat yang fantastis dari keinginan itu. Sungguh, aku akan tetap mencintaimu
dengan sepenuh hati. Aku berjanji bahwa aku justru akan semakin mencintaimu, sayangku, buah
hatiku, permataku….”

Sinta hanya menatapklu dengan sorot nanar. Lalu memelukku, tanpa kata-kata terlontar lagi dari
mulutnya. Aku pun tak mau mendesak terus. Biarlah semuanya berjalan secara santai. Jangan
ada unsur pemaksaan.
Tapi diam-diam aku pun semakin aktif mengcopy kisah-kisah dan pengakuan dari para pelaku
swinger maupun threesome. Semuanya kusimpan di komputerku yang bisa selalu online ke
internet di dalam kamarku. Dan pada suatu pagi, sebelum aku berangkat ke kantor, kubisiki
istriku, “Nanti bacalah semua salinan dari situs terkenal itu. Aku sudah saving di file dengan
kode MMF. Minimal pelajari dulu, supaya kamu mulai mengerti, Yang.”
Istriku tidak menjawab. Tapi sorenya, setelah aku pulang dari kantor dan sedang menikmati kopi
panas di depan TV, Sinta menghampiriku di sofa. Duduk di sampingku sambil menyandarkan
kepalanya di bahuku. Dan berkata, “Tadi sudah kubaca semuanya Mas.”

“File MMF itu?” tanyaku dengan jantung deg-degan, karena ingin tahu reaksinya.
“Iya,” sahut istriku perlahan, “Ternyata sudah banyak yang melakukan itu, ya Mas. Hampir di
semua kota besar di negara kita sudah ada clubnya.”
“Iya. Dan kisah-kisah nyatanya sudah dibaca juga?”
“Sudah. Ih…bikin aku degdegan bacanya.”
“Sekarang mari kita bicara jujur. Kamu terangsang nggak waktu membaca kisah-kisah nyata
itu?” tanyaku sambil memperhatikan wajah istriku.
“Iya sih…terangsang banget….membayangkan dua orang cowok me…ah…pokoknya
terangsang Mas. Tapi Mas nggak marah kan?”
“Kenapa harus marah? Kan semuanya itu aku yang mulai, aku yang menginginkannya, karena
sudah lama aku mengkhayalkannya.”
“Terus?”
“Sekarang ya terserah kamu, sayang. Aku nggak mau main paksa. Aku ingin agar seandainya hal
itu terjadi, tidak ada yang merasa dipaksa.”
“Dan tidak boleh ada yang menyesal?!” Sinta menatapku dengan senyum malu-malu.
“Aku jamin, sayang. Kamu buktikan sendiri nanti, aku malah akan semakin sayang padamu.”
Istriku terdiam. Kuelus pipinya dengan lembut, “Sudah mulai mengerti apa yang kuinginkan?”
“Nggak tau Mas. Aku takut akibatnya. Lagian emang ada orang yang mau kita ajak?”
“Ada. Dijamin ada. Orangnya dijamin bersih. Tampan dan intelektual. Bukan orang urakan.”
“Lho…kok sepertinya sudah dipersiapkan sematang itu, Mas?”
“Mmm…tadinya dia itu teman chatting. Dia orang baik. Sering datang ke kantorku. Dia sudah
26 tahun, tapi masih bujangan. Dia trauma, karena pacarnya meninggal ketika dia sedang siap-
siap mau menikahi cewek itu.”
“Kenapa meninggal? Kecelakaan?”
“Bukan. Kena kanker hati. Dibawa ke Singapura, tapi tetap tidak tertolong.”
“Terus…emangnya Mas sudah janjian sama dia?”
“Baru diajak ngobrol sepintas saja. Dia cepat mengerti, karena pernah kuliah di Amerika. Dia
bilang, di Amerika hal seperti itu sudah biasa. Padahal sebenarnya di negara kita juga sudah
banyak yang melakukannya.”

Sinta terdiam. Ketika aku bertanya mengenai keputusannya, ia cuma berkata perlahan, “Nggak
tau Mas. Aku masih takut…masih harus dipikirkan dulu baik buruknya.”

“Baiklah,” kataku sambil membelai rambutnya, “Pikirkan dulu sematang-matangnya. Yang jelas,
aku menganggap hal itu positif. Sangat positif, demi keutuhan hubungan kita. Bukan
sebaliknya.”
“Kedengarannya rada aneh memang. Demi keutuhan hubungan kita, tapi jalannya seperti itu,”
kata istriku dengan nada dingin.
“Karena aku bisa memiliki khayalan yang fantastis. Lebih kuat daripada obat perangsang. Ini
akan menimbulkan gairah yang luar biasa, baik bagiku maupun bagimu.”
Hari itu tidak ada keputusan. Keesokannya kudesak lagi istriku. Lalu ia berkata, “Kalau soft dulu
bagaimana Mas? Jangan langsung…soalnya aku masih risih sekali.”
“Boleh,” sahutku gembira. Minimal sudah ada “kemajuan” dalam pendirian istriku. “Misalnya
ciuman saja dulu. Kalau kamu merasa kurang enjoy, ya jangan dilanjutkan.”
“Tapi Mas…jujur aja, aku belum bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi nanti. Jangan-jangan
aku pingsan sebelum ketemuan orang itu.”
“Hmmm…jangan takut, sayang. Kan ada aku di sampingmu,” kataku sambil mengelus
punggungnya.
“Justru aku nggak bisa bayangin dipeluk…dicium dan sebagainya oleh laki-laki lain, di depan
suamiku sendiri.”
“Yah…di situlah kita harus sama-sama tegar, demi sesuatu yang lebih bermanfaat buat batin
kita.”
—-XXXXXXXXXXXXXX—-

BARU sampai di situ isi file “Istri Tercinta” itu. Jelas file itu belum selesai, kalau Mas Toni mau
menyelesaikannya. Karena aku paling tahu apa yang telah terjadi. Isi file itu baru awalnya,
awalnya sekali.
Setelah membaca kisah nyata yang belum selesai itu, aku pun jadi tercenung dibuatnya.
Terbayang lagi semuanya dengan jelas di pelupuk batinku. Sangat jelas, karena itu awal dari
suatu perjalanan yang tadinya kuanggap aneh, tapi lalu aku berusaha membiasakan diri. Dan
lama kelamaan jadi suatu tuntutan batin, untuk melakukannya lagi dan lagi dan lagi.

Oh, kenapa aku harus mengalami kisah hidup seperti ini? Tapi, apakah aku bisa disalahkan?
Bukan aku membela diri. Semua yang terjadi itu adalah untuk mengikuti keinginan suamiku.
Tadinya aku malah tak pernah membayangkan akan terjadi seperti itu.

Aku masih ingat benar, sore itu aku masuk ke dalam hotel dengan jantung berdegup kencang.
Mas Toni yang mengatur semuanya itu. “Kita harus datang duluan, supaya kamu tidak terlalu
canggung, sayang.”
Kalau tidak salah jam 18.30 aku dan suamiku sudah berada di dalam kamar hotel five star itu. Di
kamar yang terletak di lantai 16. Padahal Mas Toni sendiri yang bilang bahwa janjinya dengan
orang itu jam 19.30. Berarti harus menunggu sejam.

Aku menurut saja ketika suamiku menyuruhku mengganti pakaian dengan kimono yang dibawa
dari rumah. “Biar lebih seksi,” katanya dengan senyum menggoda.

Kucubit lengan suamiku dengan jantung berdebar-debar. Lalu masuk ke kamar mandi untuk
mengganti celana panjang dan blouse dengan kimono sutra putih bercorak sakura biru muda.
Anehnya, di kamar mandi aku merasa harus menanggalkan behaku. Lalu menggantungkannya di
kapstok kamar mandi. Apakah ini pertanda bahwa aku sudah siap melakukan apa yang Mas Toni
inginkan? Entahlah. Ketemu sama orangnya juga belum.
Waktu aku masih di kamar mandi, terdengar suara Mas Toni berbicara dengan seorang pria.
Dengan siapa ya? Dengan bell boy? Tapi kedengarannya mereka cukup akrab. Membuatku
penasaran. Lalu aku mengintip dari pintu kamar mandi yang kubukakan sedikit. Ada seorang
cowok tinggi dan tampan sedang berbicara dengan Mas Toni. Ah…itukah orang yang sudah
dijanjikan oleh suamiku? Orangnya setampan itu? Ah…kenapa dia sudah datang secepat ini?
Bukankah janjiannya sejam lagi?

Lututku terasa gemetaran. Dengan perasaan bergalau.

“Sin…ini Yan sudah datang!” seru suamiku. Yang kusahut dengan “Iya,” sambil berkaca
sebentar di depan cermin kamar mandi. Dengan jantung semakin degdegan.

Duh, apa yang akan terjadi nanti? Kenapa aku mendadak jadi grogi begini?
Aku keluar dari kamar mandi. Menghampiri suamiku dan tamunya yang…ah…benar-benar
tampan orang itu!
“Kenalan dulu sayang,” kata suamiku sambil memegang bahuku.
Cowok yang kata suamiku sudah berusia 26 tahun, tapi kelihatan jauh lebih muda, menjulurkan
tangannya dengan senyum simpatik, sambil menyebutkan namanya, “Yansen….”
“Sinta…” kataku mengenalkan diri, dengan suara tersendat.

Dan…tanganku yang sedang dijabat oleh Yansen tidak dilepaskan. Bahkan ia menarikku untuk
duduk di sofa panjang, sementara suamiku duduk di kursi lain sambil menggoyang-goyang
kakinya.

“Cantik kan istriku?” kata Mas Toni.


Yansen yang masih memegang tanganku dengan hangatnya, menatapku dengan senyum dan
berdesis, “Iya Mas. Cantik sekali…”

Aku tersipu-sipu dibuatnya. Harusnya kutanggapi bahwa dia pun tampan sekali. Belakangan aku
tahu bahwa Yansen itu blasteran Menado dengan Belanda. Pantaslah tampang dan postur
tubuhnya sebagus itu. Belakangan juga aku tahu bahwa kamar di hotel mahal itu dibayar oleh
Yansen.

“Mas, di kulkas hotel ini suka ada minuman, silahkan ambil sendiri,” kata Yansen sambil
menunjuk ke kulkas di kamar hotel berbintang lima itu.

Suamiku mengangguk, lalu melangkah ke arah kulkas itu. Sementara tangan Yansen sudah
bukan memegang tanganku lagi, melainkan menyelinap ke belakang dan memeluk pinggangku.
Ini membuatku semakin degdegan.
Apakah aku tergerak dengan semuanya ini? Ya, aku harus mengakuinya secara jujur. Tapi aku
jadi begini gugupnya. Sementara harum khas parfum buat lelaki, tersiar ke penciumanku.

“Hebat,” seru suamiku sambil mengeluarkan beberapa botol minuman dari kulkas. Ada chivas
regal, martini, tequila dan tiga sloki.

“Ayang suka ini kan?” kata suamiku sambil mendekatkan botol Martini ke dekatku. DI depan
orang lain Mas Toni suka memanggilku dengan sebutan “ayang”, sebagai tanda menghargaiku.

“Tapi tequila lebih bagus,” kata Yansen, “Bikin semangat.”


aku pernah mendengar bahwa tequila bisa membuat wanita jadi horny. Tapi aku belum pernah
mencobanya. Aku memang bukan peminum, tapi sesekali bolehlah. Apalagi saat itu aku merasa
butuh keseimbangan, mungkin bisa dibantu oleh minuman.

“Iya Mas. Aku ingin nyoba tequila,” kataku sambil berusaha menenangkan diri.
“Aku chivas regal aja, biar kerasa greng,” kata suamiku.
“Aku juga chivas, Mas,” kata Yansen sambil mencium pipiku tanpa ragu. Aku terkejut. Tapi
diam saja.

Bahkan…aduh, aneh, tubuhku terasa lemas mendapatkan kecupan ini. Tapi harus kuakui
sejujurnya, lemasnya ini karena belenggu birahi yang mulai mencuat di dalam batinku.

Dan setelah minum tequila, dinginnya AC tidak terasa lagi. Kecanggunganku juga mulai cair.
Tapi tetap saja ada degdegan di dada, karena makin lama Yansen makin merapatkan duduknya
ke tubuhku, sementara Mas Toni malah menyalakan TV, dengan botol minuman di depannya
dan sloki yang sudah hampir kosong di tangannya. Aku mencuri pandang berkali-kali ke arah
suamiku yang sedang memandang ke arah TV, dengan perasaan bersalah. Karena tangan Yansen
mulai menyelinap ke balik belahan kimonoku di bagian dada. Pasti Yansen tahu bahwa aku tak
memakai beha di balik kimono sutra ini. Dan ketika tangannya memegang payudaraku dengan
lembut, oooh, aku benar-benar sudah runtuh !

Desir darahku sudah mulai merajalela dalam arus birahi yang tak terkendalikan. Tapi sebagai
seorang wanita, aku masih menyembunyikan hasrat ini. Aku hanya membiarkan buah dadaku
mulai diremas dengan lembut oleh belia tampan itu, sementara bibirnya berkali-kali mengecup
pipiku. Aku juga tahu suhu badanku mulai meningkat.

“Mas Toni,” kata Yansen pada suatu saat, “Mungkin lebih baik kalau lampunya dimatiin dulu,
supaya kami tidak canggung. Nanti bisa dinyalakan lagi…kalau Mas setuju.”
“Iya, iya…” suamiku menjulurkan tangannya ke sakelar lampu yang tidak begitu jauh darinya.
Lalu klik….lampu di kamar mewah ini pun mati. Hanya layar TV LCD yang masih
membersitkan cahaya remang-remang.
Usul Yansen bagus sekali.Karena setelah digelapkan, aku pun tidak merasa rikuh lagi. Bahkan
ketika bibirnya mencium bibirku, kusambut dengan lumatan penuh gairah.

Sungguh, baru sekali inilah aku sangat bergairah untuk saling lumat bibir dan saling julurkan
lidah. Maka tanpa ragu-ragu lagi aku mulai memeluk Yansen erat-erat, terkadang bercampur
dengan remasan bergelora.
Tapi…oh…jiwaku semakin diamuk nafsu, karena tangan Yansen mulai merayapi lutut dan
pahaku. Rasanya aku makin sulit bernafas. Sulit menahan gelora nafsu di dalam jiwaku. Aneh
memang, elusan di pahaku terasa begini membangkitkan. Terlebih setelah menyelinap ke balik
celana dalamku…mulai meraba-raba kemaluanku yang sudah mulai merekah dan membasah.
Mulai mengelus bibir kemaluanku, kelentitku dan ah…ini membuatku semakin tergetar dalam
arus birahi yang semakin merajalela. Terlebih ketika jemari nakal itu mulai menyelinap ke dalam
celah vaginaku, lalu bergerak-gerak binal di dalam liang memekku, ah, rasanya tak tahan lagi
aku dibuatnya. Aku sudah kepengen merasakan kejantanan. Tapi aku harus menahan diri.
Kubiarkan saja tangan Yansen mempermainkan liang memekku. Bahkan kubiarkan juga celana
dalamku ditarik sampai terlepas dari kakiku. Berarti di balik kimono ini aku tidak mengenakan
apa-apa lagi.

“Minta lagi tequilanya, Yan,” bisikku. Yan mengangguk, lalu menuangkan tequila ke slokiku.
Kuteguk setengahnya. Lalu aku merasa semakin bergairah. Sesekali aku melirik ke arah Mas
Toni yang masih tampak di keremangan, masih asyik menonton TV. Lalu kubiarkan tangan
Yansen mengelus dan mencolek-colek kemaluanku lagi. Bahkan seperti pencuri yang
memanfaatkan kelengahan calon korban, diam-diam tanganku mulai menarik celana Yansen.
Lalu menyelinap ke balik celana dalamnya. Berdegup jantungku dibuatnya, karena aku sedang
memegang batang kemaluan yang begini besar dan panjangnya…sudah keras dan hangat pula !
Secara jujur harus kuakui, batang kemaluan Yansen jauh lebih besar dan panjang daripada punya
Mas Toni.

Ini membuatku semakin bernafsu. Tanpa ragu lagi tanganku mulai meremas dan mengelus zakar
Yansen dengan lembut. Diam-diam Yansen pun mulai menanggalkan celana panjang dan celana
dalamnya.
Dan aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, ketika Yansen melepaskan ikatan tali
kimonoku, lalu dengan hangat mencelucupi puting payudaraku. Aku menggeliat dan merebahkan
diri, terlentang di sofa panjang yang ukurannya hampir sama dengan bed nomor 3 itu.

Tapi jilatan dan sedotan Yansen tak terbatas pada puting payudaraku saja. Ia menjilati leherku.
Lalu melumat bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat juga. Lalu turun lagi, dengan
gigitan-gigitan lembut di payu daraku. Dengan jilatan-jilatan hangat di pusar perutku…dan turun
terus…mulai menjilati kemaluanku. Oh, aku tak kuat menahan nafsu birahiku. Jilatan Yansen
memang enak sekali. Membuat sekujur tubuhku sering mengejang dan menggeliat.

Aku tak kuat lagi. Ingin segera merasakan persetubuhan yang sebenarnya. Maka kucubit-cubit
bahu Yansen, sebagai isyarat agar dia menghentikan jilatannya, lalu mulai dengan persetubuhan
yang sebenarnya. Tapi bagaimana dengan suamiku yang tampak masih asyik menikmati
minumannya?

Yansen mengerti apa yang kuinginkan. Ia merayap ke atas tubuhku, sambil meletakkan puncak
“pohon jamur”nya di antara sepasang bibir kemaluanku. Dan sebelum melakukan penetrasi,
Yansen berkata, “Silakan nyalakan Mas…”

Aku terkejut. Tak menyangka Yansen akan minta diterangin lagi. Padahal aku sedang di puncak
hasrat birahiku. Dan kamar ini jadi terang kembali. Tepat pada saat Yansen tinggal mendorong
saja batang kemaluannya yang sudah siap di mulut memekku.

“Mas…mohon izin…” kata Yansen sambil menoleh ke arah suamiku.


Aku juga menatap suamiku, seolah-olah minta izin juga.
Mas Toni menghampiri kami. Mengelus pipiku sambil tersenyum, “Ya, lakukanlah. Ini rahasia
kita bertiga. Orang luar takkan ada yang tahu.”

Tanpa basa basi lagi Yansen mendesakkan batang kemaluannya yang panjang gede itu. Perlahan-
lahan terasa liang kenikmatanku diterobos batang kemaluan yang jauh lebih besar daripada
batang kemaluan suamiku. Membuatku terengah dan memegang pergelangan tangan Mas Toni
erat-erat. Oh…ini adalah pertama kalinya memekku dimasuki batang kemaluan orang selain
suamiku sendiri!

Tapi Mas Toni malah tersenyum dan berkata, “Nikmati saja. Ini kan keinginan aku, sayang.
Jangan kaku…lebih hot lebih bagus.”

Lalu suamiku duduk lagi di kursi depan TV, sambil menyaksikan kejadian yang sedang kualami.
Apakah aku mulai dipengaruhi tequila yang kuminum tadi, ataukah memang gairah birahiku
sedang memuncak, atau karena ukuran batang kemaluan Yansen yang aduhai…entahlah. Yang
jelas aku mulai menikmatinya. Mulai merasakan enaknya ayunan batang kemaluan Yansen, yang
begitu mantap dan terasa sekali begitu kuatnya menggesek-gesek dinding liang memekku. Oh,
ini membuatku mulai mendesah-desah histeris…aaaah….oooh…aaah….oooh….aaaah….

Lebih enak lagi ketika Yansen mulai mengemut puting payudaraku, menyedot-nyedot dan
menjilatinya, sementara batang kemaluannya demikian mantap mengentot memekku.
Tak peduli lagi dengan kehadiran suamiku, maka terlontar begitu saja celotehan histeris dari
mulutku yang sedang diamuk kenikmatan, “Oo….Yan…ooo….ini enak sekali
Yan….aaaah….terus genjot jangan brenti-brenti Yan…ooooh….”

Ketika aku melirik ke arah Mas Toni, malah kulihat suamiku mengacungkan jempolnya.
Mungkin ia sangat terangsang dengan apa yang sedang kulakukan dengan Yansen yang tampan
dan perkasa ini. Maka tanpa ragu lagi aku pun mulai mengayun pinggulku.

Rasanya Yansen sangat memperhatikan titik-titik kenikmatan seorang wanita. Waktu mengayun
batang kemaluannya, bibir dan tangannya pun tiada hentinya menyelusuri titik-titik peka di
tubuhku. Terkadang ia menggigit daun telingaku dengan lembut, kadang-kadang juga menjilati
lubang telingaku, lalu menggigit-gigit kecil di leher dan buah dadaku, lalu melumat bibirku
kembali, sementara batang kamaluannya benar-benar perkasa bergerak maju mundur dengan
mantapnya di dalam liang memekku.

Aku jadi merasa punya tempat pelampiasan. Sambil mendekap pinggang Yansen erat-erat,
kulumat bibir cowok tampan itu.

Aneh memang. Berciuman dengan Yansen terasa indah sekali. Malah lebih indah daripada
berciuman di masa remajaku dengan Mas Toni dulu.

Semuanya membuatku lupa daratan. Saling lumat bibir dan lidah, sehingga tak peduli lagi
dengan air ludah yang bertukar-tukar tampat, sambil saling dekap erat dan hangat, sementara
memekku dienjot terus dengan mantapnya oleh batang kemaluan Yansen yang “giant size” itu.

Aku malah dibuat lupa bahwa di kamar mewah itu ada suamiku yang sedang menyaksikan
semuanya ini. Soalnya gesekan batang kemaluan Yansen yang begitu terasa mendenyut-
denyutkan kenikmatanku telah membuatku seolah tiada orang ketiga di kamar ini. Lagian aku
teringat pada ucapan suamiku sendiri sebelum Yansen datang tadi, “Lakukan semuanya seseksi
mungkin. Semakin kelihatan bergairah, akan semakin positif pengaruhnya bagi jiwaku.”
Jadi, salahkah kalau aku menikmati semuanya ini demi kepuasanku dan demi keinginan suamiku
sendiri?
Tapi terlalu enaknya geseran batang kemaluan Yansen, ditambah dengan saling lumat bibir dan
saling remas dengan hangat dan gairah birahi yang terlalu dahsyat ini, membuatku cepat
mencapai titik orgasme…membuatku mengejang sambil merasakan puncak kenikmatan dari
hubungan seksual yang aduhai ini. Maka aku pun mengejang, menahan napas dan memeluk
pinggang Yansen seerat-eratnya. Lalu terasa liang memekku berkedut-kedut. Ini orgasmeku yang
aduhai. Tapi aku tidak mau membisikkannya kepada Yansen bahwa aku sudah mencapai
orgasme, karena malu.

Hanya saja aku jadi terdiam dalam lunglai dan kepuasan. Sementara batang kemaluan Yansen
jadi lancar bergerak maju mundur di dalam liang memekku yang sudah mulai basah oleh lendir
kenikmatanku.
Dalam kondisi yang masih lesu, tapi gairah masih berkobar, aku baru teringat pada suamiku yang
sedang memperhatikan gerak-gerikku sambil tersenyum-senyum. Aku jadi merasa kasihan juga
padanya. Lalu kulambaikan tanganku agar ia mendekat.

Mas Toni mendekatiku. Tanganku menjulur dan mrnarik-narik ritsleting celananya. Ia mengerti
apa tujuanku. Disembulkannya batang kemaluannya dari belahan celananya.
Sudah keras sekali! Lalu kutarik ke arah mulutku.

Mas Toni jadi pindah untuk mencapai tujuanku. Dia jadi berlutut dengan kaki berada di kiri
kanan kepalaku. Sementara Yansen mengentotku sambil menahan badan dengan kedua
tangannya.
Aku berhasil menarik batang kemaluan Mas Toni ke dalam mulutku. Akupuin mulai menjilati
dan menyedot-nyedot batang kemaluan Mas Toni. Ini adalah pertama kalinya aku meladeni dua
orang pria sekaligus.
Bukan main…aku jadi sibuk tapi nikmatnya luar biasa.Gesekan-gesekan batang kemaluan
Yansen yang makin gencar mengentot memekku, membuatku terengah-engah dalam nikmat.
Lalu kulampiaskan ke arah zakar suamiku, dengan menyelomotinya seedan mungkin.

Sungguh aku tak menduga akan mengalami peristiwa yang luar biasa bergairahnya ini. Tapi
sayang sekali, baru beberapa menit kuselomoti batang kemaluan Mas Toni, lalu terasa
menyembur-nyemburkan air mani di dalam mulutku! Mungkin ia sangat terangsang melihat
persetubuhanku dengan Yansen, sehingga cepat sekali ia mengalami ejakulasi. Tanpa banyak
protes, kutelan seluruh cairan kental dari batang kemaluan suamiku ini. Tak kusisakan setetes
pun.

Supaya tidak mendatangkan kesan kurang enak, aku minta tequila lagi. Suamiku menuruti
permintaanku. Kuminta agar Yansen mencabut dulu batang kemaluannya dari memekku. Lalu
kuteguk tequila di slokiku sekaligus. Gairahku semakin menjadi-jadi setelah minum tequila yang
konon dibuat dari sari buah nanas itu.
Aku mengajak Yansen pindah ke atas tempat tidur. Yansen setuju. Sementara suamiku
merebahkan diri di sofa panjang itu. Pasti karena lemas setelah ejakulasi tadi.
“Tukar posisi ya,” kataku sambil mendorong dada Yansen agar menelentang di kasur. Yansen
tersenyum dan mengikuti kehendakku. Kemudian aku merayap ke atas tubuhnya. Memegang
batang kemaluannya sambil mengarahkan ke mulut vaginaku.

Dengan gairah yang makin menggila, aku menurunkan pinggulku, sehingga batang kemaluan
Yansen membenam ke dalam liang kenikmatanku.
Aku menjatuhkan diri ke dada Yansen, sehingga payudaraku terasa mendesak dadanya yang
bidang dan atletis.

Seperti serigala lapar, aku dengan edan mengayun pinggulku, naik turun dan meliuk-liuk,
sehingga liang memekku seperti membesot-besot batang kemaluan Yansen…membuat Yansen
ternganga-nganga mungkin karena merasa enaknya besotan liang vaginaku. Tapi kututup mulut
Yansen dengan ciuman hangatku, yang lalu menjadi luamatan penuh gairah. Aku sudah minum
tequila lagi tadi, membuatku yakin takkan ada bau kurang sedap tersiar dari mulutku. Dalam
posisi seperti ini, terasa buah pinggulku diremas-remas oleh Yansen, membuatku tambah
bersemangat untuk mengayun pantatku dengan gerakan yang erotis, terkadang gerakan
pinggulku seperti angka 8.

Aku tak peduli lagi siapa diriku dan siapa lelaki muda yang sedang bersetubuh denganku.
Mungkin Mas Toni benar, seperti yang diungkap dalam file pribadinya itu, bahwa aku ini pada
dasarnya memiliki nafsu besar. Hanya aku sering menyembunyikannya, karena aku ini seorang
wanita.

Gilanya, Yansen belum ejakulasi juga. Padahal aku sudah 3 kali merasakan orgasme.
“Kamu minum obat kuat?” bisikku terengah, tanpa menghentikan ayunan pinggulku.
“Nggak. Swear…nggak pernah menyentuh obat kuat segala macam…” sahut Yansen sambil
menciumi puting payudaraku.
“Kamu kuat sekali sayang….kalau begini bisa ketagihan aku nanti…” bisikku pelan, takut
kedengaran sama Mas Toni.
“Emang biasanya suka berapa jam?”
“Nanti deh kuceritakan. aku memang lain dari yang lain…oooh….memekmu enak sekali
Mbak….aku pasti ketagihan nih…” Yansen terpejam-pejam ketika liang memekku membesot
dengan kencang. Ini sebenarnya untuk kenikmatanku juga. Karena makin kencang aku
membesotnya, makin enak juga rasanya buatku.
Aku tidak tahu apa yang ia maksud dengan “lain dari yang lain”. Aku cuma merasa ia terlalu
tangguh, sehingga aku harus berjuang keras untuk membuatnya ejakulasi. Maka besotan-besotan
liang vaginaku juga semakin kupergila. Tapi akibatnya…aku malah orgasme lagi untuk yang
kesekian kalinya. Gila, belum pernah aku mengalami persetubuhan seedan ini.Padahal keringat
Yansen sudah membasahi tubuhnya, berbaur dengan keringatku.

Yansen malah seperti menyukai keringat yang membasahi leherku. Ia pun menjilati keringat di
leherku, membuatku merinding dalam nikmat. Sungguh…tak pernah kubayangkan bahwa ide
suamiku telah memberikan kenikmatan yang aduhai begini.

Kelopak mataku juga tak luput dari kecupan dan jilatannya. Sehingga aku makin bersemangat
untuk mengayun pinggulku, tanpa mempedulikan suamiku yang sudah terkapar di sofa.
Batang kemaluan Yansen yang begitu panjangnya, membuat ujung liang memekku disundul-
sundul terus. Sungguh fantastis rasanya, karena puranaku (seperti cincin yang berada di ujung
liang vagina) disundul-sundul terus, membuatku merem melek dalam nikmat yang sulit
kulukiskan dengan kata-kata.

Yansen sendiri sering membisikiku, “Mbak…oooh…Mbak enak sekali….luar biasa enaknya….”


Aku sendiri seolah melayang-layang di langit yang ke tujuh saking nikmatnya. Sehingga
terkadang aku meremas setengah mencakar-cakar bahu Yansen dalam keadaan lupa daratan.
Begitu lama Yansen menyetubuhiku, sehingga aku merasa berkali-kali orgasme, tapi aku tidak
mengatakannya, karena malu mengakui bahwa semuanya ini terlalu nikmat bagiku.
Sampai pada satu saat, Yansen membisiki telingaku, pelan sekali, seperti takut terdengar oleh
suamiku: “Aku mau lepas…gakpapa kalau kulepasin di dalam?”
Aku malah menjawabnya dengan spontan, “Iya, lepasin di dalam aja biar enak.”

Lalu kugoyang pinggulku seedan mungkin. Dan pada satu saat Yansen menekankan batang
kemaluannya sedalam mungkin, sampai aku terbeliak dalam arus birahi yang fantastis. Dan
batang kemaluan perkasa itu terasa mengejut-ngejut di dalam liang vaginaku, sambil
menyemprot-nyemprotkan cairan hangat dan kental…srrrt…srrrt…srrttttt…srttttt…..oooh enak
sekali semburan air mani Yansen ini. Rasanya baru sekali ini aku meresapi arti nikmatnya
bersetubuh,bukan dengan suamiku pula, sehingga aku mendekap pinggang Yansen dengan penuh
perasaan. Dan membiarkan keringatnya membanjiri tubuhku. Air maninya pun terasa meluap,
meleleh dari memekku ke seprai. Begitu banyak dia memuntahkan air maninya.
Oh, indahnya malam yang penuh birahi ini…..seakan takkan berujung…seakan nafasku sudah
menyatu dengan perjalanan baru ini.

Anda mungkin juga menyukai