Anda di halaman 1dari 2

URGENSI PERLINDUNGAN PROFESI GURU

Karakter siswa di jaman sekarang sudah mulai memudar. Baru- baru ini sebuah video
beredar dan sempat viral yang berisi seorang siswa SD menendang kepala sekolahdi SDN
Balongsari I, Kecamatan Tandes Surabaya. Seorang siswa SD menendang kepala sekolah.
Dalam video yang berdurasi 2 menit 54 detik tersebut, siswa tersebut menendang kepala
sekolah sehingga tangan kepala sekolah tersebut patah. Kejadian tersebut bermula karena
siswa tersebut kesal karena pihak sekolah akan memanggil orang tuanya ke sekolah.

Ketika di panggil ke kantor untuk menjelaskan masalahnya, siswa tersebut malah


berani membentak- bentak gurunya. Disini terlihat jelas bahwa karakter dari siswa tersebut
sudah memudar.

Pada Undang-undang No. 14 Pasal 1 ayat (1) Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
disebutkan bahwa guru, secara khusus, adalah pendidik profesional dengan tugas untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa tugas professional guru tidaklah ringan.
Semakin hari tantangan yang dihadapinya semakin berat dan kompleks. Namun guru tetap
harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya.
Agar guru mempunyai pegangan dalam menjalankan tugas, baik keselamatan dan
kesehatan kerja maupun terhindar dari tindakan kekerasan, diskriminatif ataupun perlakuan
intimidasi, maka Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 sangat penting. Dengan adanya
penerbitan Permendikbud nomor 10 tahun 2017, guru lebih tenang mengajar. Namun guru juga
tidak diperkenankan untuk seenaknya memberikan sanksi terhadap peserta didiknya. Sanksi
tersebut diberikan secara bijaksana dan dengan sebisa mungkin menghindari sanksi fisik.
Guru sering diadukan ke aparat kepolisian dengan tuduhan melanggar Undangundang
Perlindungan Anak (UUPA). Undang-undang Perlindungan Anak tersebut ibarat ranjau yang
bisa menyandera seorang guru dari kewenangan profesinya. Undang-undang tersebut juga
seolah menjadi alat kriminilasasi untuk guru. Kondisi yang demikian merupakan salah satu
konsekuensi dari pengartian HAM yang kebablasan setelah masa reformasi.
Masih banyak kasus tentang penganiayaan guru di Indonesia. Para orang tua wali
peserta didik seolah tidak lagi punya rasa hormat terhadap guru. Mereka terlalu memanjakan
anak-anaknya dengan menuruti semua yang diminta oleh anak-anaknya. Sehingga ketika anak
berbuat salah, mereka tetap menganggapnya benar. Hal tersebut membuat anak-anak zaman
sekarang mempunyai mental rendah.
Banyaknya kasus penganiayaan terhadap guru menyebabkan para guru kehilangan
semangatnya. Bahkan seorang guru ada yang akhirnya mengambil jalan aman agar tidak
dipusingkan dengan dampak yang akan terjadi apabila guru melakukan hal-hal yang dianggap
melakukan kekerasan terhadap peserta didiknya, yaitu dengan membiarkan saja atau “cuek”
terhadap perilaku peserta didiknya yang kurang sopan atau beretika kurang baik. hal tersebut
merupakan sebuah dilema yang dihadapi guru.
Seorang guru harus bertanggungjawab atas sikap dan karakter peserta didiknya,
sedangkan di sisi lain guru merasa takut tersangkut masalah hukum yang akan menimpanya.
Akhirnya, dengan adanya kasus-kasus tersebut, ketika di sekolah guru hanya sebatas mengajar
bukan mendidik. Sehingga tujuan pembelajaran yang dicapai hanya sampai pada ranah
pengetahuan saja. Padahal proses pendidikan seharusnya meliputi tiga ranah, yaitu ranah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Guru sebagai pendidik yang profesional dalam melaksanakan tugasnya sudah pasti akan
bersinggungan dengan subyek yang bernama peserta didik, orang tua peserta didik, dan
masyarakat selaku pemerhati. Ketika guru melaksanakan tugas profesionalismenya,
dimungkinkan akan terjadi beda tafsir antara guru profesional dengan pihak lain yaitu para
subyek tersebut. Guru secara normatif memang telah memperoleh perlindungan profesi,
sebagaimana tercantum dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 (1)

Anda mungkin juga menyukai