Peristiwa tragis yang menimpa salah satu guru di Jawa Timur beberapa hari lalu
menjadi viral. Guru yang diduga menjadi korban pemukulan saat mengajar di sekolah,
dikabarkan meninggal dunia. Yang lebih mengejutkan, pelakunya adalah salah muridnya
sendiri yang tidak terima saat ditegur.
Murut informasi di beberpaa media, peristiwa itu terjadi pada Kamis, 1 Februari 2018.
Ahmad Budi Cahyono, Guru Seni Rupa pada SMAN 1 Torjun Kabupaten Sampang, Madura
itu mencoret wajah seorang anak didiknya karena ribut di dalam kelas dan menggangu teman
belajar. Respon yang diberikan anak didik ternyata mengejutkan, guru dipukul di depan
kelas. Malamnya tersiar kabar duka, sang guru meninggal dunia. Inna lillahi
wainnalillajirojiun.
Peristiwa dalam berita ini sungguh sangat memilukan kita. Guru itu digugu dan ditiru,
seharusnya dihormati bukan untuk dipukuli. Kalau begini kejadiannya maka guru akan
semakin tidak nyaman dalam melaksanakan tugas. Tapi terlepas dari siapa yang salah, ada
satu titik penting yang harus menjadi perhatian kita semua, yakni telah terjadi perubahan
signifikan antara zaman dulu (zaman old) dan zaman sekarang (zaman now).
Perubahan terjadi bukan hanya pada sikap, tapi juga pada penampilan, berbicara,
berfikir, dan bergaul. Memang harus diakui bahwa perubahan pasti terjadi, sebab sudah
menjadi sunnatullah. Tapi sangat disayangkan jika perubahan terjadi dari baik ke yang buruk.
Padahal perubahan itu pilihan, tinggal kita menilai dan menjalankannya.
Dulu ada semacam doktrin bahwa guru merupakan pengganti orang tua di sekolah.
Layaknya orang tua, guru harus dihormati dan didengar kata-katanya agar ilmu jadi berkah.
Orang tua pun ikhlas bila anaknya dihukum karena nakal. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, doktrin itu mulai hilang. Kini posisi guru setara dengan murid. Guru
lebih kepada fasiltator yang memfasilitasi murid dalam belajar.
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan
psikomotorik (aktifitas fisik/praktek), dicetuskan oleh Benjamin Bloom (Taksonomi Bloom)
tahun 1956. Dari sisi kognitif peran guru sebagai fasilitator sudah tepat. Tapi guru harus
diberi ruang untuk menanamkan nilai afektif (sikap/attitude) kepada siswa. Penanaman sikap
sulit diukur karena sikap terwujud sebagai respon terhadap sesuatu. Biasanya sikap diketahui
dengan skala sikap. Guru yang telah dilatih dengan ilmu pedagogik memiliki cara dan teknik
sendiri dalam menanamkan sikap kepada siswa. Proses penanaman sikap akan berjalan lancar
jika bebas dari pengaruh.
Saat ini, istilah pada Taknonomi Bloom itu tidak lagi digunakan. Namun subtansinya
masih ada. Dalam Kurikulum 2013 (Kurikulum yang dipakai saat ini) terdapat Kompetensi
Inti spiritual, sikap, pengetahuan dan keterampilan. Di bagian spiritual dan sikap ini, guru
semestinya leluasa melakukan internalisasi nilai kepada siswa tanpa harus ditakuti dengan isu
HAM (Hak Asasi Manusia).
Azwar Ramnur, MA
Mantan Ketua Koalisi Barisan Bersatu (Kobar-Gb) Kab. Aceh Singkil, Alumni Pascasarjana
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email:azwarramnur@gmail.com.