Anda di halaman 1dari 4

BERBAGAI PERMASALAHAN PESERTA DIDIK DALAM

PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS


Oleh. Mahmud Budi Santoso, S.Sos
Guru BK di SMAIT Darut Taqwa Ponorogo
Adapun siswa memiliki hak yang sama dalam memperoleh peluang untuk
mencapai hasil Prestasi belajar khususnya di sekolah ataupun di Pondok
Pesantren. Namun tidak bisa dimungkinkan, bahwa setiap siswa memiliki
kelebihan dan kekurangan dalam menerima ilmu dari seorang guru yang sehari-
hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak
yang mengalami kesulitan dalam belajar atau yang berperilaku bermasalah.
Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi pelajaran, baik
pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Begitu pula dengan siswa yang
sehari-hari selalu membuat berbagai tingkah dan perilaku yang tidak sesuai
dengan aturan.
Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana
menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki
anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar atau perilaku yang
bermasalah. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai,
mendapatkan nilai yang baik di sekolah, bertingkah laku yang baik dan sesuai
aturan, menambah kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-
anak mereka kesulitan dalam belajar atau berperilaku bermasalah.
Pada dasarnya setiap anak memiliki masalah-masalah emosional dan
penyesuaian sosial. Masalah itu tidak selamanya menimbulkan perilaku yang
bermasalah atau menyimpang yang kronis (Darwis, 2006: 44). Dalam
melaksanakan perannya guru terlebih dahulu harus mencari penyebab anak
yang biasanya tampak bermasalah di dalam kelas. Kebiasaan perilaku
bermasalah diantaranya kesulitan belajar, kelainan tubuh, hiperaktif, dan
gangguan konsentrasi, yang dilakukan di dalam keseluruhan interaksi dengan
lingkungannya. Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin
hanya nampak pada sebagian anak. Setelah mengetahui perilaku bermasalah
pada anak, guru dapat melakukan penanganan dengan tepat.
Adapun permasalahan-permasalahan yang dialami oleh peserta didik
biasanya karna mereka mengalami kesulitan belajar atapun masalah dengan
teman (Bullying). Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak
jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan
perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas,
mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering kabur dari
sekolah.
Secara garis besar menurut Syah (2003: 173), faktor-faktor penyebab
timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam. Yang pertama yaitu faktor
intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri
siswa sendiri. Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan
psiko-fisik siswa, yakni:

1) yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/intelegensi siswa.

2) yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.

3) yang bersifat psikomotorik (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya


alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).

Dan yang kedua, faktor eksternal siswa, yakni hal-hal atau keadaan-
keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Faktor eksternal siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan
sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi
menjadi tiga macam antara lain:

1. lingkungan keluarga, contohnya: ke tidak harmonisan hubungan antara


ayah dengan ibu atau rendahnya kehidupan ekonomi keluarga. Kerap
terjadi siswa yang bermasalah itu karna kondisi di rumah mereka tidak
mendukung atau memberi kenyamanan untuk ia dapat belajar. Sehingga
mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka diluar rumah
atau membolos sekolah karna adanya masalah keluarga. Dalam hal ini
peran orang tua sangat penting karna untuk mengembalikan motivasi
anaknya untuk dapat belajar dengan baik kembali, mereka harus
menciptakan suasana yang nyaman dan suasana agar si anak merasa
termotivasi untuk sekolah dan belajar ketika ia berada di Pondok
pesantren. Dan juga seringkali terjadi siswa jarang masuk sekolah karna
ekonomi dalam keluarganya sangat rendah sehingga terkadang banyak
juga dari mereka yang lebih memilih putus sekolah dan memilih bekerja di
usia yang belum siap untuk bekerja.

2. lingkungan masyarakat, contohnya wilayah perkampungan kumuh (slum


area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal. Hal ini sangat
memberikan dampak terutama pergaulan yang dapat membawa siswa yang
baik-baik saja menjadi berbelok ke arah negatif karena pergaulan yang
kurang sehat. Karna lingkungan masyarakat yang baik akan memberikan
pengaruh yang baik terhadap hasil belajar siswa, sedangkan lingkungan
belajar yang tidak baik juga akan memberikan pengaruh yang buruk
terhadap perilaku dan hasil belajar siswa. Peran guru dan orang tua disini
sangatlah penting, karna siswa harus dibina dan diberikan nasihat serta
diberi tahu dampak negatif yang kelak akan diterimanya, agar ia dapat
menentukan apa yang baik serta buruk bagi dirinya sendiri.
3. lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang
buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang
berkualitas rendah. Lingkungan sekolah juga mempengaruhi peserta didik
saat proses pembelajaran berlangsung, seperti sekolah yang berada di dekat
balai kota atau tepat berada di pinggir jalan, saat pembelajaran berlangsung
terkadang banyak masyarakat yang berdemo di depan balai kota atau pun
kendaraan yang mengeluarkan suara yang bising sehingga perhatian dan
rasa ingin tahu siswa saat guru menerangkan menjadi terpecah dan
terfokus pada suara suara tersebut. Lalu jika sekolah yang berdekatan
dengan pasar, saat pembelajaran mungkin perhatiannya saat guru
menerangkan akan terpecah karna aroma tidak sedap dari pasar dan juga
kebisingan dari aktifitas pasar akan mengganggu fokus mereka untuk
belajar.
Untuk menetapkan alternatif pemecahan masalah kesuliatan belajar
siswa dalam (Sukardi, 2008: 82-88) maka dapat melakukan konferensi
kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus.
Konferensi kasus secara spesifik dibahas permasalahan yang dialami oleh
siswa tertentu dalam sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh pihak-pihak
terkait. Tetapi tidak semua siswa perlu di konferensi-kasuskan. Guru
pembimbing menyelenggarakan konferensi kasus apabila untuk penanganan
masalah siswa perlu data atau keterangan tambahan dan masukan dari pihak-
pihak tertentu.
Kunjungan rumah mempunyai dua tujuan, yaitu pertama untuk
memperoleh berbagai keterangan (data) yang diperlukan dalam pemahaman
lingkungan dan permasalahan siswa, dan kedua untuk pembahasan dan
pengentasan permasaahan siswa. Tetapi dalam keadaan tertentu kunjungan
rumah dapat digantikan dengan pemanggilan orang tua ke sekolah.
Alih tangan kasus disekolah diartikan bahwa guru mata pelajaran/wali
kelas atau orang tua mengalihtangankan siswa yang bermasalah kepada guru
pembimbing. Alih tangan kasus bertujuan untuk mendapatkan penanganan yang
lebih tepat dan tuntas atas masalah yang dialami oleh siswa, dengan jalan
memindahkan penanganan kasus dari satu pihak kepada pihak yang lebih ahli.
Adapun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin hanya tampak
pada sebagian anak, pada dasarnya setiap anak memiliki masalah-masalah
emosional dan penyesuaian sosial. Sehingga guru atau pembimbing harus
melakukan penanganan yang tepat sesuai dengan latar belakang masalah
masing- masing siswanya.
Referensi

Sukardi, D. K. (2008). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Dan


Konseling Di Sekolah. Jakarta: PT Adi Mahasatya.

Syah, M. (2003). Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya

Sylviana, M. (2016). Studi Kasus Penanganan Perilaku Bermasalah Pada


Siswa Sekolah Dasar Di Kecamatan Mijen Kota Semarang.
Semarang: Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai