Anda di halaman 1dari 3

Seperti biasa, setelah pembelajaran selesai, guru olah raga 

sebut saja namanya Pak


Sugara mengecek siswanya satu per satu. Siswa yang namanya dipanggil mengacungkan tangan.
Hingga suatu saat dia memanggil nama seorang siswa anggaplah namanya Panji, tapi tidak
mengacungkan tangan. Guru tersebut kemudian bertanya kepada teman-temannya, kemana
Panji? Apakah ada yang melihatnya? Bukankah dia tadi bersama dengan siswa-siswa yang
lainnya belajar renang. Tapi teman-temannya tidak ada yang tahu. Guru tersebut mulai gusar dan
mencari siswa tersebut. Setelah lama mencari alangkah terkejutnya, ketika Panji ditemukan
sudah menjadi mayat di dasar kolam renang.

Suasana pun sontak berubah menjadi riuh. Dengan tergesa-gesa, guru dibantu oleh beberapa
orang mengangkat jasad siswa tersebut. Melihat kenyataan Panji sudah tidak bernyawa, semua
histeris, menangis, termasuk gurunya. Dengan tergesa-gesa, guru olah raga tersebut menelepon
Kepala Sekolah dan mengatakan bahwa telah terjadi musibah dimana salah satu siswanya
meninggal tenggelam di kolam renang pada saat pelajaran berenang. Mendengar kejadian
tersebut, pihak sekolah segera menghubungi orang tua siswa dan menyampaikan bahwa anaknya
telah meninggal dunia.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan bagi guru olah raga yang kebetulan
statusnya masih honorer tersebut. Di satu sisi dia bersedih karena salah satu anak didiknya tewas
pada saat belajar renang, dan di sisi lain dia dituntut oleh keluarga korban untuk bertanggung
jawab. Keluarga korban melapor kepada polisi. Mereka menuduh guru tersebut lalai dalam
mengawasi anak didiknya sehingga megakibatkan anak didiknya ada yang tewas saat belajar
renang. Dalam keadaan bersedih, guru tersebut digelandang ke kantor polisi. Malam itu dia
terpaksa menginap di tahanan.

Melihat kondisi seperti itu, pihak keluarga pelaku dan sekolah dimediasi oleh polisi berupaya
untuk menyelesaikan secara damai (kekeluargaan) dengan pihak keluarga korban. Awalnya
keluarga korban bersikukuh guru tersebut harus diproses secara hukum karena telah teledor
memperhatikan anak didiknya, tetapi setelah dialog yang alot akhirnya keluarga korban mau
“berdamai” dengan pelaku (baca = guru) tetapi dengan syarat pelaku memberikan sejumlah uang
damai, dan jumlahnya besar. Akhirnya, perdamaian disepakati, dan pihak pelaku
memberikan “uang damai” kepada keluarga korban.

Jika kita membaca kasus tersebut di luar perspektif hukum, menurut penulis kasus tersebut lebih
tepat disebut musibah baik bagi guru maupun bagi keluarga korban daripada disebut tindak
pidana. Oleh karena itu, penyelesaian kasus tersebut dengan menggunakan pendekatan
kekeluargaan akan jauh lebih baik dibandingkan dengan proses hukum. Anggaplah guru tersebut
lalai karena kurang memperhatikan anak didiknya sehingga menyebabkan kematian, tapi penulis
yakin bahwa tidak ada guru yang ingin mencelakakan anak didiknya. Dan ketika ada yang
terjerat kasus hukum, perlindungan hukum terhadap guru sangat lemah. Advokasi dari organsasi
guru pun bisa dikatakan belum optimal.

Kita sering membaca berita guru dilaporkan kepada polisi karena dituduh melakukan tindakan
kriminal dalam menjalankan tugasnya. Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja
melakukan pelanggaran hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus
dihukum. Tetapi dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga korban
sebenarnya sama-sama berduka karena ditinggal oleh orang yang dicintainya.

Indonesia adalah negara hukum, tetapi bukan berarti setiap masalah harus selalu diselesaikan
secara hukum jika masih bisa diupayakan penyelesaian secara damai (kekeluargaan). Tapi,
maksud damai di situ bukan berarti diselesaikan dengan cara pelaku memberikan “uang
damai” kepada korban yang jumlahnya sampai jutaan karena akan membentuk budaya yang
kurang baik, yaitu budaya transaksional. Apalagi menimpa kepada seorang guru honorer yang
penghasilannya juga sangat minim. Hal tersebut tentunya akan sangat memberatkan guru
tersebut.

Perlindungan hukum terhadap guru diakui memang masih lemah. Ketika guru terkena masalah
hukum khususnya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru dia seolah harus berjuang
sendiri. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7 ayat (1) huruf h
mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada pasal 39 secara rinci dinyatakan:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan
wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum
terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak
adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap
pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian
imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap
profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugas.

(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran
pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, perlindungan bagi guru merupakan hal yang mutlak.
Tetapi sayangnya, banyak guru yang bekerja dalam ketidakpastian baik berkaitan dengan status
kepegawaiannya, kesejahteraannya, pengembangan profesinya, atau pun advokasi hukum ketika
terkena masalah hukum. Organisasi profesi guru dalam kepengurusannya nampaknya perlu
melengkapi kepengurusannya dengan personel yang tugasnya melakukan advokasi hukum. Dan
guru pun perlu didorong untuk menjadi anggota profesi guru supaya ketika ada masalah, dia bisa
meminta bantuan kepada induk organisasinya untuk melakukan pendampingan atau bantuan
hukum.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan
tugasnya guru mendapat perlindungan. Perlindungan guru yang dimaksud sebagaimana
dimaksud pada UU Guru dan Dosen adalah perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan
tugas dan mampu bekerja dengan baik.

Sejauh mana perlindungan tersebut sudah dilaksanakan? Sampai sejauh ini memang belum ada
evaluasi yang menyeluruh. Tetapi secara umum, memang perlindungan bagi guru dinilai masih
rendah. Ada guru yang dipidanakan gara-gara memberikan sanksi yang dinilai berlebihan kepada
peserta didik. Ada guru yang diteror, terancam karir dan keselamatan jiwanya karena
mengadukan penyimpangan Ujian Nasional dan penyimpangan dana BOS. Ada guru yang belum
tersentuh pengembangan profesi (diklat). Bahkan selama sekian lama bertugas sampai pensiun
belum pernah sekalipun didiklat. Banyak guru swasta yang mendapatkan honor sangat minim.
Sangat jauh dari Upah Minim Regional (UMR).

Belum adanya jaminan kesehatan bagi guru honor. Ketika PNS mendapat fasilitas Asuransi
Kesehatan (Askes), buruh mendapat fasilitas Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), guru
honor memiliki jaminan apa? Ketika guru honor sakit, dia harus berobat mengunakan dana
sendiri sementara honor yang diterimanya sangat kecil, tidak cukup untuk hidup satu bulan. Hal
inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah bagaimana memberikan perlindungan kepada
guru khususnya guru honorer.

Gerakan Guru Sadar Hukum

Pentingnya perlindungan hukum bagi guru juga perlu disertai dengan adanya sosialisasi
pendidikan hukum bagi guru. Pemerintah, organisasi profesi, atau juga Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang peduli pendidikan menjadi lembaga yang tepat untuk melakukannya.
Tujuannya supaya guru mengetahui, memahami, sekaligus mampu melaksanakan hak dan
kewajibannya. Kemudian hal ini bisa menjadi sebuah gerakan sadar hukum bagi guru.

Di satu sisi perlindungan guru merupakan kewajiban pemerintah, tetapi di sisi lain guru harus
mengupayakan terwujudnya perlindungan tersebut. Ajaran Islam pun sudah mengamanatkan
bahwa sebuah kaum tidak akan dapat mengubah nasibnya kecuali mereka sendiri yang
melakukannya. Guru harus kritis konstruktif terhadap kebijakan pemerintah dan ikut
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik. Ketika guru merasa dirugikan oleh sebuah
kebijakan baik kebijakan sekolah maupun kebijakan pemerintah, maka bisa melakukan langkah-
langkah untuk mengkritisi kebijakan tersebut.

Untuk dapat melakukan hak dan kewajibannya, guru pun harus membaca tentang peraturan
perundang-undangan tentang pendidikan khususnya tentang guru seperti UU Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), PP nomor 74 tahun 2008
tentang Guru, dan sebagainya. Kelemahan yang terjadi saat ini, berdasarkan dialog penulis
dengan cukup banyak guru, guru (maaf) cenderung malas untuk membaca peraturan perundang-
undangan tersebut. Mereka hanya peduli terhadap tugas rutin mereka yaitu mengajar di kelas.

UU Guru dan Dosen sebenarnya sudah dengan jelas mengatur perlindungan bagi guru. Dan
pelaksanaannya tergantung kepada political will dari pemerintah, pengelola satuan pendidikan,
dan semangat dari guru itu sendiri. Semoga dengan adanya perlindungan bagi guru bisa
mewujudkan guru sebagai profesi yang terhormat dan bermartabat.

Anda mungkin juga menyukai