Anda di halaman 1dari 30

TUGAS INDIVIDU

ANATOMI FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI SISTEM


INTEGUMEN

Disusun Oleh

NAMA : FAUZIAH ELITA APZA

KELAS : IIIB

NIM : 14121962

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas anugerah
dan petunjuk serta hidayah-Nya lah, makalah ini dapat terselesaikan meskipun memiliki
banyak sekali kekurangan.

Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang


“Anatomi fisiologi dan Patofisiologi Sistem Integumen” dalam rangka untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sistem Integumen.

Tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan di dalam pembuatan


makalah ini. Oleh karena keterbatasan ilmu dan referensi yang kami jadikan sebagai acuan
untuk menyusun makalah ini ataupun karena hal – hal lain. Namun, karena adanya niat untuk
belajar, maka dengan antusias dan semangat yang tinggi, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan kita semua
umumnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing serta
kepada teman teman yang telah memberikan dukungannya yang sangat berharga bagi penulis
untuk dapat menyelesaikan makalah ini.

Padang, 20 September 2016

Penulis
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR i
2. DAFTAR ISI ii
3. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
4. BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi fisiologi sistem integumen 3
B. Patofisiologi 9
5. BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 25
B. Saran 25
6. DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu sistem yang disebut sebagai
sistem integumen. Sistem integumen adalah sistem organ yang paling luas.Sistem ini terdiri
atas kulit dan aksesorisnya, termasuk kuku, rambut, kelenjar (keringat dan sebaseous), dan
reseptor saraf khusus (untuk stimuli perubahan internal atau lingkungan eksternal).

Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh, kulit. Ini sistem organ yang luar
biasa melindungi struktur internal tubuh dari kerusakan, mencegah dehidrasi, lemak toko dan
menghasilkan vitamin dan hormon. Hal ini juga membantu untuk mempertahankan
homeostasis dalam tubuh dengan membantu dalam pengaturan suhu tubuh dan keseimbangan
air. Sistem integumen adalah garis pertama pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus dan
mikroba lainnya. Hal ini juga membantu untuk memberikan perlindungan dari radiasi
ultraviolet yang berbahaya. Kulit adalah organ sensorik dalam hal ini memiliki reseptor untuk
mendeteksi panas dan dingin, sentuhan, tekanan dan nyeri. Komponen kulit termasuk rambut,
kuku, kelenjar keringat, kelenjar minyak, pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan
otot. Mengenai anatomi sistem yg menutupi, kulit terdiri dari lapisan jaringan epitel
(epidermis) yang didukung oleh lapisan jaringan ikat (dermis) dan lapisan subkutan yang
mendasari (hypodermis atau subcutis).

Selain kulit, ada pula rambut dan kuku yang termasuk kedalam sistem integumen. Rambut
adalah organ seperti benang yang tumbuh di kulit terutama. Rambut muncul dari epidermis
(kulit luar), walaupun berasal dari folikel rambut yang berada jauh di bawah dermis. Serta
pada kuku tumbuh dari sel mirip gel lembut yang mati, mengeras, dan kemudian terbentuk
saat mulai tumbuh dari ujung jari. Kulit ari pada pangkal kuku berfungsi melindungi dari
kotoran. Fungsi utama kuku adalah melindungi ujung jari yang lembut dan penuh urat saraf,
serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan rambut yang antara lain
terbentuk dari keratin protein yang kaya akan sulfur.
B. Tujuan
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami tentang
anatomi fisiologi dan patofisiologi pada sistem integumen.
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM INTEGUMEN

ANATOMI FISIOLOGI KULIT

1. Pengertian Kulit

Kulitadalah organ yang sangat penting untuk mengetahui tingkat kesehatan


seseorang.kecantikan seseorang secara fisik dapat dilihat dari kesehatan kulitnya. Kulit yang
sehat mencerminkan kebersihan, status gizi, status emosi / psikososial, juga kepribadian
seseorang. Oleh karena itu, kesehatan kulit / integumen perlu mendapat perhatian yang
cukup besar.

2. Struktur dan Fungsi Integumen

Sistem integumen merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang
menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering kita sebut sebagai kulit.
Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling luar
sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme serta mudah
dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh darah, saraf, dan
kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit.luas kulit
orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan. Kulit mencerminkan
kesehatan seseorang yang erat hubungannya dengan kecantikan, keindahan, kondisi
psikologis, penyakit yang diderita, dan citra diri atau kepribadian seseeorang.
Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapsan epidermis, lapisan
dermis, dan lapisan subkutis.

a. Epidermis

lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh darah dan saraf. Oleh
karena itu, jika lapisan kulit ini terkelupas, tidak akan ditemukan perdarahan dan juga tidak
akan terasa sakit. Sel mendapat makanan melalui proses difusi dari jaringan dibawahnya.
Bagian terluar dari kulit ini terdiri dari stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
Berikut ini dijelaskan batasan setiap bagian dari lapisan epidermis.

a) Stratum lusidium adalah lapisan yang terdapat langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin.
b) Stratum granulosum merupakan lapisan epidermis yang mempunyai fungsi penting
dalam pembentukan protein dan ikatan kimia stratum korneum.
c) Stratum spinosum (stratum malfigi) adalah lapisan yang alami proses mitosis.
d) Stratum basale merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel
berbentuk kubus (kolumnar) yang berbasis seperti pagar (palisade).

b. Dermis
merupakan lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

a) Pars papilare, yaitu baian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis
b) Pars retikulare, yaitu bagian bawah yang menonjol ke arah subkutis. Bagian ini terdiri
atas serabut-serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit yang
melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. Di samping itu, di dalam lapisan
dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar keringat.
Hampir diseluruh tubuh kita terdapat kelenjar keringat, kecuali pada bagian bibir dan
telinga. Kelenjar keringat memiliki fungsi mempertahankan suhu tubuh. Oleh karena itu, jika
kita kepanasan, maka kita akan banyak mengeluarkan keringat. Sebaliknya, jika kita
kedinginan, kelenjar keringat akan menutup sehingga tubuh kita akan merasa lebih hangat.
Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu :

a. Kelenjar ekrin yang berukuran kecil, terletak dibagian dangkal dermis dengan sekret
yang encer. Kelenjar ini langsung bermuara di permukaan kulit. Kelenjar ini terdapat
diseluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan aksila. Sekresi
kelenjar ini bergantung pada beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik
(mis, faktor suhu, metabolisme, dan stres emosional).
b. Kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila, areola mamae,
pubis, labia minora, dan saluran telinga luar (FKUI, 2001)

Rambut dibentuk dari keratin mati; sel-sel epidermis terentu akan berdiferensiasi menjadi
rambut. Manusia memiliki dua jenis rambut, yaitu:

1. Rambut lanugo, dengan ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di dalam
dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh bayi
(biasanya akan hilang setelah lahir).
2. Rambut terminal, dengan ciri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul di
daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. Rambut ini memiliki siklus
pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).

c. Subkutis

Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh,
dan tempat penyimpanan energi. Tebal atau tipisnya jaringan lemak tidak sama, bergantung
pada lokasinya. Di abdomen, ketebalannya dapat mencapai 3 cm, sedangkan di daerah
kelopak mata dan penis sangat tipis.

Kulit mempunyai beberapa fungsi yang perlu kita ketahui, yaitu:

a) Fungsi absorpsi. Kulit memiliki sifat permeabel selektif. Artinya, kulit menyerap bahan-
bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut dalam lemak, sedangkan air dan elektrolit
sukar masuk melalui kulit.
b) Fungsi protekis. Kulit melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benteng
pertahanan terhadap gangguan kimiawi, bakteri, virus dan jamur. Fungsi kulit untuk
proteksi sangatlah penting. pH kulit berkisar 5 - 6,5. Besar pH tersebut sangat
menguntungkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
c) fungsi ekskresi. Saat kita kepanasan atau setelah berolahraga, kulit akan mengeluarkan
keringat. Demikian juga dengan seseorang yang kulitnya cenderung berminyak. Kelenjar
kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa-sisa metabolisme dalam bentuk
sebum dan keringat.
d) fungsi persepsi. Semua orang pasti pernah merasakan sentuhan. Bayi akan tidur lelap
jika dibelai, kita akan kesakitan jika dicubit, atau akan merasa nyaman ketika dipijit. Itu
semua karena kita dapat merasakan. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik
didemis dan subkutis yang peka terhadap rangsangan panas, dingin, rabaan, dan
tekanan.
e) fungsi pengaturan suhu tubuh. “pernahkah anda kedinginan?” coba perhatikan kulit
anda! Apa yang dapat anda lihat? Kulit kita tampak berkerut, bahkan pori-pori kulit
tidak terlihat dan agak menonjol . ini karena kulit memiliki kemampuan vasokonstriksi
pada suhu tubuh dapat meningkat (hangat), kemampuan vasodilatasi pada suhu panas
sehingga suhu tubuh dapat turun, serta kemampuan termoregulasi melalui evaporasi
(berkeringat).
f) fungsi pembentukan pigmen. Mengapa seseorang dapat berkulit hitam atau putih?
Ternyata faktor pigmen ini yang menentukan warna kulit seseorang, apakah putih atau
hitam. Sel pembentuk pigmen ini disebut melanosit.
g) fungsi pembentukan vitamin D. Dihidroksi kolesterol dapat terjadi dengan pertolongan
sinar matahari sehingga terbentuk vitamin D

Gangguan sistem integument

Gangguan pada sistem integumen banyak sekali macamnya, bergantung pada lokasi
lesi. Gangguan tersebut bisa mengenal bagian epidermis, dermis, lapisan subkutis, rambut,
atau sistem saraf. Efek samping yang ditimbulkan bukan hanya mengenai aspek fisik , tetapi
juga mengaruhi aspek psikologis dan sosial, klien maupun keluarga.

Efek psikologis masalah kulit

Kulit merupakan organ pembungkus tubuh yang berhubungan erat dengan


kecantikan dan keindahan. Sebagian besar klien dengan masalah kulit memiliki perasaan
yang lebih sensitif sehingga timbul perasaan kurang dihargai, rendah diri, dianggap jijik dan
perasaan dikucilkan. Setiap orang dengan kekurangan dan ketidakmampuan terutama yang
menimbulkan perhatian orang lain, akan merasa takut dan tidak nyaman secara emosi.
Besarnya reaksi emosi dan kemampuan penyesuaian diri bergantung pada penampilan dan
penyesuaian pribadi masing-masing individu (long 1989).

Masalah utama kulit

Penyakit kulit merupakan masalah yang kompleks. Banyak faktor yang memengaruhi
timbulnya penyakit ini. Diantaranya adalah faktor kebersihan, daya tahan tubuh (imunitas)
kebiasan, atau perilaku sehari-hari (makanan, pergaulan atau pola hubungan seksual, faktor
fisik, bahan kimia, mikobiologi, serta faktor lingkungan. Banyak klien dengan masalah kulit
tidak menjalani perawatan dirumah sakit. Mereka lebih senang berobat jalan dan dirawat
dirumah, karena merasa tidak bermasalah secara klinis, dan baru mau menjalani perawatan
dirumah sakit jika kondisi penyakitnya sudah parah atau sudah menggangu sistem organ
yang lain. Ini perlu diperhatikan oleh perawat walaupun klien menjalani perawatan dirumah.
Klien perlu dibekali dengan pengetahuan proses penyakit, cara perawatan lesi prsoedur
pengobatan, maupun pola hidupnya. Hal ini penting dilakukan agar penyakit klien tidak
menjadi kronis dan klien dapat berobat secara tuntas sehingga tidak menulari anggota
keluarga atau orang lain.

Masalah pada sistem integumen banyak macamnya. Diantara nya bisa disebabkan
oleh infeksi virus (mis, herpes simflek dan herpes zoster). Infeksi bakteri (mis, kusta).
Inflamasi oleh jamur (mis, tinea kruris, tinea versikolor, dan tinea pedis). Atau infestasi
parasit (mis, kabies dan pedikolosis). Disamping itu, penyakit kulit bisa juga disebabkan oleh
faktor imunologi dan inflamasi (mis, dermatitis, sporiasis, dan keganasan kulit).

Pencegahan gangguan kulit

Pencegahan kondisi dermatologis tidak hanya meringankan ketidaknyamanan klien,


namun juga memiliki nilai yang lebih efektif, baik dari segi kesehatan, ekonomi, psikologis,
maupun sosial. Memperthankan keutuhan kulit sehat sangat besar manfaatnya begi
kesejahteraan seseorang.

Untuk mencegah gangguan kulit, tindakan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mempertahankan kulit sehat:
a. Hindari penggunaan sabun, deterjen atau bahan alergen yang dapat
menimbulkan iritasi pada kulit.
b. Pertahankan kulit agar cukup hidrasi, gunakan krim pada daerah yang kering, dan
jangan terus-menerus menggunakan tetarias yang tebal.
c. Cegah menggaruk kulit secara keras dan kasar
d. Keringkan daerah yang selalu lembap
e. Pakai pakaian yang longgar dan dapat menyerap keringat pada hari-hari yang
panas

2. Menghindari bahan penyebab penyakit kulit:


a. Menghindari bahan-bahan yang merusak kulit pada kebanyakan orang
b. Mencegah bahan spesifik yang diketahui merusak kulit atau menimbulkan alergi
pada orang tertentu
c. Gunakan krim tabir surya

3. Observasi perubahan kulit


a. Amati kulit anda secara keseluruhan dan sering, sebaiknya cermin yang
digunakan dapat melihat seluruh tubuh
b. Catat dan konsultasikan jika ada perubahan warna, tekstur kulit, serta
penampilan pigmentasi umum pada daerah kulit, terutama tahi lalat
c. Catat dan konsultasikan perubahan warna, ukuran, dan keadaan cidera kulit yang
sudah ada

4. Hindari terapi sendiri:


a. Jangan gunakan resep lama pada cedera kulit baru atau lesi yang lain, serta
jangan gunakan obat kulit yang tidak diketahui secara pasti kegunaanya
b. Secara dapatkan nasibat medis atau kunjungi tempat pelayanan kesehatan bila
terjadi gangguan kulit (long, 1996)

Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakan diagnosis gangguan kulit, pemeriksaan penunjang yang diperlukan
adalah biopsi kulit, uji kultur dan uji sensitivitas, pemeriksaan dengan menggunakan
pencahayaan khusus dan uji tempel.

Biopsi kulit, adalah pemeriksaan dengan cara mengambil contoh jaringan dari kulit
yang terdapat lesi. Apabila jaringan yang diambil cukup dalam, kita perlu menggunakan
anestesi lokal. Biopsi kulit ini digunakan untuk menentukan apakah ada keganasan atau
infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.

Dalam proses pengambilan biopsi kulit, klien tidak memerlukan persiapan khusus.
Akan tetapi, perlu dikaji apakah klien atau keluarga memiliki riwayat alergi. Hal ini dilakukan
karena klien akan menggunakan zayt-zat anestesi lokal. Sebelum dan sesudah dilakukan
biopsi, tugas kesehatn perlu mengomunikasikan tindakan yang dilakuan.

Uji kultur dan sensitivitas. Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya virus,
bakteri, atau jamur pada kulit yang diduga mengalami kelainan. Disamping itu, uji ini
dilakukan untuk mengetahui apakah mikoroorganisme tersebut resisten terhadap obat-
obatan tertentu sehingga dalam proses pengobatan dapat dipilih jenis dan cara terapi lebih
cepat. Cara pengambilan uji kultur adalah dengan mengambil eksudat yang terdapat pada
permukaan lesi.

Pemeriksaan dengan menggunakan pencahayaan khusus. Artinya, dalam melakukan


pemeriksaan kulit, tidak perlu mempersiapkan lingkungan pemeriksaan dengan
pencahayaan khusus sesuai dengan kasus yang dihadapi. Untuk mengetahui jenis lesi kulit
dan menegakan diagnosis, faktor pencahayaan mememgang peranan yang sangat penting.

B. PATOFISIOLOGI
1) Dermatitis psoriasiformis : psoriasis

Gambaran klinis

Psoriasis adalah suatu penyakit kulit berskuama, kronik persisten atau kambuhan yang
sering dijumpai. Bentuk klasik kesi individual sangat khas : berbatas tegas dan eritematosa
serta ditutupi oleh skuama keperakan. Sebagian pasien dengan psoriasis hanya
memperlihatkan beberapa plak, tetapi gambaran klinis dapat sangat bervariasi.
Epidemiologi dan etiologi

Pada kebanyakan kelompok etnik, psoriasis mengenai antara 1% sampai 2% individu pada
kedua jenis kelamin. Usia awitan tersering adalah pada dekade ketiga, tetapi psoriasis
pernah dilaporkan baru timbul pada lansia berusia 100 tahun atau lebih.Beberapa bukti
telah memastikan bahwa faktor genetik berperan dalam timbulnya psoriasis. Angka kejadian
concordance untuk psoriasis pada kembar monozigot sangat tinggi dan terdapat
peningkatan insidence pada anggota keluarga pasien. Produk gen dari alel-alel kompleks
histokompatibilitas mayor (MHC) kelas I mengalami ekspresi berlebihan pada pasien dengan
psoriasis. Namun, psoriasis bukan semata-mata penyakit genetik karena sebagian orang
yang rentan tidak pernah mengalami lesi psoriasis. Pada sebagian orang dengan
predisposisi, sejumlah faktor lingkungan, termasuk infeksi dan cidera fisik, dapat berlaku
sebagai pemicu timbulnya psoriasis.

Histopologi dan patogenesis

Psoriasis adalah bentuk prototipik dari dermatitis psoriasiformis, suatu pola penyakit kulit
inflamotorik dengan penebalan epidermis akibat pemanjangan reteridges. Di lesi psoriasis,
penebalan epidermis mencerminkan epidermopoiesis (proliferasi epidermis) yang
berlebihan. Peningkatan epidermpoiesis tercemin dari pemendekan durasi siklus sel
keratinosit dan pengandaan populasi sel proliferatif. Akibat perubahan ini kulit dibagian lesi
mengandung keratinosit hingga 30 kali lebih banyak per satuan luas ketimbang pada kulit
normal. Selama pematangan normal keratinosit, nukleus tereliminasi sewaktu sel memasuki
lapisan tanduk dan memadat untuk membentuk suatu selubung semi permeabel. Pada
psoriasis, memendeknya siklus sel menyebabkan akumulasi sel didalam lapisan tanduk
dengan nukleus yang masih dipertahankan.

Manifestasi klinis

Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-tempat predileksi, yakni
pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak
eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema berbatas tegas dan merata,
skuama berlapis-lapis, kasar dan bewarna putih seperti mika, serta transparan. Pada
psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner. Fenomena tetesan lilin ialah
skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti lilin di gores. Pada
fenomena auspitz serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan karena papilomatosis .
trauma pada kulit misalnya garukan dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan
kelainan psoriasis dan disebut kobner. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku
yang agak khas yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan.

2) Laken planus

Gambaran klinis

Lichen planus adalah lesi putih ataupun plak pada mukosa rongga mulut yang tidak dapat
dihapuskan dan tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu lesi putih yang lain. Lesi pada
rongga mulut dapat disertai dengan lesi pada membrana mukosa yang lain ataupun pada
kulit terutama pada pergelangan tangan dan kaki. Lesi oral dari lichen planus cenderung
untuk lebih menetap daripada yang ada di kulit. Daerah yang paling sering terkena adalah
mukosa pipi. Lidah, bibir, palatum, gusi dan dasar mulut juga dapat terkena.

EpidemiologidanEtiologi
Lichen planus dipercaya berasal dari respon imun yang dimediasi sel T yang abnormal
dimana sel epitel basalis dikenali sebagai benda asing karena perubahan dalam antigenitas
permukaan sel mereka. Penyebab kerusakan sel basalis yang dimediasi imunitas ini tidak
diketahui. Demikian juga, tidak diketahui jika lichen planus menggambarkan satu proses
penyakit atau beberapa keberadaan yang berhubungan erat dengan gambaran klinis yang
serupa. Perbandingan imunologis 2 varian OLP terbaru menyarankan bahwa mekanisme
immunopathogenik yang berbeda mungkin terlibat.

Histopatologi dan Patogenesis

Liken planus adalah suatu bentuk dermatitis interface likenoid, sejenis penyakit kulit
inflamatorik dengan sebutan padat limfosit di papila dermis dan dermis superfisial tepat
dibawah epidermis disertai vakuolisasi epidermis bagian bawah. Infiltrat di papila dermis
yang terutama terdiri atas limfosit T. Sebagian sel T juga ditemukan didalam epidermis,
tempat ditemukannya keratinosit yang mengalami cidera dan membentuk vakuol-vakuol.
Globulus eosinofilik (merah muda) padat yang dikenal sebagai badan koloid.Pada lesi liken
planus yang baru muncul limfosit T CD4 mendominasi dan sebagian sel ditemukan berada
didekat magrofag dan sel langerhans. Limfosit T sitotoksik CD8 membentuk sebagian besar
dari infiltrat pada lesi yang sudah matang. Pergeseran dalam komposisi sel T infiltrat ini
diperkirakan mencerminkan aspek aferen dan eferen dari perkembangan lesi. Pada fase
aferen antigen penyebab di proses dan disajikan ke sel T penolong, mungkin dalam konteks
determinan HLA spesifik. Limfosit T CD4 yang terangsang kemudian mengeluarkan sejumlah
sitokin spesifik yang menyebabkan rekrutmen limfosit sitotoksik.

Manifestasi klinis

Liken planus mengenai kulit dan membarne mukosa. Papul umumnya tersebar secara
bilateral dan simetris. Tempat-tempat yang sering terkena adalah permukaan fleksor
ekstremitas, kulit genital, dan membrane mukosa. Meskipun jarang liken planus dapat
mengenai mukosa organ internal misalnya esofagus. Lesi kulit hampir tidak pernah
ditemukan ditelapak tangan, telapak kaki, atau wajah.

Secara umum varian liken palnus dapat dikelompokan menjadi dua kategori

a. Papul laken planus yang tersusun secara tidak lazim


Pada varian ini, setiap papul tipikal liken planus berkelompok dalam pola yang lebih
besar. Pada liken planus anular terjadi penyatuan papul likenoid kecil untuk
membentuk pola cincin. Pola liken planus yang linear atau zosteriformis juga pernah
dilaporkan. Jika muncul dalam konfigurasi yang tak lazim, liken planus sering salah
didiagnosis atau tidak terdiagnosis
b. Papul liken planus yang tersusun di tempat-tempat tertentu
Meskipun sebagian besar liken planus tersebar kadang-kadang papul penyakit ini
terbatas dibagian tubuh tertentu , misalnya mulut (liken planus oral) atau genitalia.
Hampir 25% pasien liken planus memiliki penyakit yang terbatas di membran
mukosa

3) Dermatitis permukaan : eritema multiforme

Gambaran klinis
Eritema multiforme adalah suatu erupsi kulit akut yang memiliki spektrum jeparahan klinis
yang luas. Erupsi umumnya berlangsung singkat dan sweasirna tetapi serangan yang
berulang atau luas dapat menyebabkan hendaya atau bahkan mengancam nyawa. Seperti di
isyaratkan oleh namanya, variasi morfologi lesi dapat ditemukan, tetapi sebagian besar
pasien memperlihatkan pola monomorf pada suatu saat. Lesi prototipe adalah makula
merah papul tipis yang meluas secara sentrifugal dan berkembang menjadi pola yang mirip
sasaran dengan bagian tengah nekrotik atau bewarna gelap.

Epidemiologi dan etiologi

Eritema multiforme adalah suatu penyakit kulit yang jarang tetapi khas dan mengenai pria
dan wanita dengan angka kejadian yang hampir sama. Insiden puncak adalah pada dekade
kedua sampai ke empat kehidupan, sedangkan awitan pada masa bayi atau anak jarang
dijumpai. Seperti liken planus, eritema, multiforme mencerminkan suatu reaksi imunitas
seluler yang akhirnya menyebabkan nekrosis keratinosit epidermis.

Histopatologi dan patogenesis

Eritema multiforme adalah bentuk prototipe dermatitis permukaan fakuolar. Berbeda dari
liken planus, yang biasanya bermanifestasi sebagai infiltrat likenoid padat di dermis
superfisial, pada eritema multiforme infiltratnya jarang. Karena itu, keratinosit yang
mengalami vakuolisasi yang tersebar luas di lapisan basal epidermis terlihat menonjol
dibandingkan dengan infiltrat yang tampak jarang, dan keratinosit yang rusak ini menjadi
dasar untuk menamai pola peradangan kulit. Infiltrat disdermis pada eritema multiforme
terdiri atas campuran limfosit T CD4 dan CD8. Sel sitotoksit CD8 juga ditemukan didalam
epidermis yag berdekatan dengan keratinosit yang mengalami vakuolisasi dan nekrosis.
Keratinosit yang mati dalam reaksi peradangan kemudian kehilangan nukleusnya dan
tampak secara mikroscopis sebagai badan eosinofilik bulat padat yang mirip dengan badan
koloid pada liken planus.

Manifestasi klinis

Eritema multiforme umumnya terbatas dikulit dan membran mukosa. Lesi timbul mendadak
secara bersamaan dan pada awalnya tersebar dipermukaan akral meskipun tidak jarang
terjadi penyebaran ke proksimal (badan) dan wajah. Walaupun spektrum eritema
multiforme bersifat kontinum, setiap pasien biasanya diklasifikasikan sebagai pengidap
penyakit bentuk minor dan mayor. Penyakit disebut eritema multiforme minor jika lesi
terbatas dikulit atau lesi kulit yang ada disertai hanya oleh kelainan terbatas dimukosa : oral,
anogenital, atau konjungtiva. Pada nekrosis epidermal toksik yang paling sering
mencerminkan suatu reaksi idiosinkratik terhadap obat, terjadi nekrosis kulit dan mukosa
yang luas disertai vesikulasi sekunder. Secara patologis nekrolisis epidermal toksik serupa
dengan luka bakar berat karena integritas kulit pasien hilang sama sekali, yang
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya sekuele infeksi dan metabolik.

4) DERMATITIS VESIKOBULOSA : PEMFIGOID BULOSA

Gambaran klinis

Pemfigoid bulosa adalah suatu penyakit berlepuh dengan terbentuknya rongga-rongga


tegang berisi cairan didalam kulit yang mengalami eritema dan peradangan. Lepuhan pada
pemfigoid bulosa terjadi karena terlepasnya epidermis dari dermis (vesikulasi subepidermis)
akibat reaksi peradangan spesifik yang ditunjukan terhadap protein-protein struktural. Kata
pemfigoid mencerminkan kemiripan klinis pemfigoid bulosa dengan pemfigus yaitu bentuk
lain penyakit kulit berlepuh yang ditandai oleh vesikulasi intraepidermis (bukan
subepidermis).

Epidemiologi dan etiologi

Pemfigoid bulosa umumnya adalah penyakit pada lansia. Kasus-kasus pemfigoid bulosa pada
anak dan dewasa muda pernah dilaporkan, tetapi sebahian besar pasien berusia lebih dari
60 tahun. Tidak terdapat predileksi jenis kelamin. Telah diketahui selama bertahun-tahun
bahwa pada pemfigoid bulosa terjadi pengendapan imunoglobulin dan komplemen di
sepanjang taut epidermo-dermis.

Histopatologi dan patogenesis

Secara mikroskopis biopsi dari lesi pemfigoid bulosa yang telah terbentuk sempurna
memperlihatkan celah subepidermis yang mengandung limfosit, eosinofil, dan netrofil serta
material eosinofilik (merah muda) yang mencerminkan makromolekul yang keluar dari
pembuluh darah. Infiltrat peradangan berupa eosinofil, neutrofil dan limfosit juga terlihat di
dermis dibawah celah. Pemahaman tentang reaksi ini dapat diperoleh dari pemeriksaan
mikroskop imunofluoresensi langsung, yaitu dengan melakukan inkubasi kulit dari lesi
dengan antibodi (berlabel imunofluoresen) anti imunoglobulin G (lgG), anti lgA, anti lgM dan
antikomplemen.

Manifestasi klinis

Pasien dengan pemfigoid bulosa datang dengan lepuhan besar tegang dengan dasar yang
eritematosa. Lesi paling sering terdapat di ekstremitas dan badan bagian bawah, meskipun
dapat terbentuk dimana saja. Kebanykan pasien mengalami gatal yang cukup berat pada
lepuhannya yang mungkin dipicu oleh banyaknya eosinofil di filtrat dermis. Pemfigoid
bulosa adalah penyakit yang hanya mengenai kulit dan membran mukosa dan keterlibatan
sistemis belum pernah dilaporkan. Sebagian pasien dengan pemfigoid bulosa mengalami lesi
yang bersamaan dengan diagnosis suatu keganasan, tetapi penelitian-penelitian cermat
dengan kontrol usia sepadan tidak memperlihatkan peningkatan insidens pemfigoid bulosa
pada pasien kanker.

5) VASKULITIS : VASKULITIS LEUKOSITOKLASTIK

Gambaran klinis

Vaskulitis leukositoklastik adalah suatu penyakit inflamatorik yang mengenai pembuluh


darah halus kulit dan biasanya bermanifestasi sebagai erupsi papul-papul kemerahan atau
keunguan, yakni suatu pola yang dikenal sebagai palpable purpura. Lesi terbentuk secara
berkelompok, dan masing-masing papul menetap selama beberapa hari sampai beberapa
minggu dan umumnya kurang dari sebulan. Meskipun lesi individual bersifat transien durasi
erupsi dapat bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa bulan dan pada kasus yang
jarang, lesi dapat terus timbul selama bertahun-tahun.

Epidemiologi dan etiologi

vaskulitis leukositoklastik dapat terbentuk pada semua usia, dan insidensnya sama pada
kedua jenis kelamin. Pemicu tersering adalah infeksi dan obat. Infeksi bakteri, mikobakteri,
dan virus dapat memicu serangan, tetapi yang tersering adalah erupsi pascastreptokokus
dan pascastafilokokus. Berbagai obat telah dibuktikan menjadi pemicu vaskulitis
leukositoklastik termasuk antibiotik diuretik tiazid dan obat anti inflamasi nonsteroid .

Histopatologi dan patogenesis

penyakit ini menunjukan proses patologis utamnya yaitu reaksi peradangan yang mengenai
pembuluh darah disertai akumulasi debris nukleus nekrotik (leukositoklastik). Tahap-tahap
kunci yang berperan menimbulkan pola ini antara lain akumulasi molekul-molekul pemicu di
dinding pembuluh darah halus , stimulasi kaskade komplemen disertai pelepasan berbagai
chemoattractant dan masuknya neutrofil disertai pembebasan enzim oksidatif yang
menyebabkan kerusakan sel dan fragmentasi nukleus. Molekul-molekul yang memicu
vaskulitis leukositoklastik adalah kompleks imun yang terdiri atas antibodi yang terikat pada
antigen eksogen yang biasanya berasal dari protein mikroba atau obat. Pemeriksaan
laboraturium atas serum pasien dengan vaskulitis leukositoklastik aktif memperlihatkan
adanya kompleks imun dalam darah , dan adanya kompleks imun dalam darah juga dapat
dideduksi dari temuan rendahnya kadar komplemen serum saat terjadi eksarserbasi. Zat-zat
kemotaktik menarik neutrofil keluar dari lumen vaskular untuk memasuki dinding vaskular,
dengan pembuluh darah itu sendiri.

Manifestasi klinis

Lesi vaskulitis leukositoklastik dapat terbentuk dibagian tubuh mana saja tetapi biasanya
tersebar di ekstermitas bawah atau di bagian-bagian yang dependen. Meskipun lesi purpurik
mendominasi pola klinis, berbagai pola morfologis lain yang mencakup vesikopustul, papul
nekrotik, dan ulkus dapat terbentuk. Pola-pola ini sering mencerminkan perubahan iskemik
sekunder yang terjadi pada papul vaskulitik primer. Vesikulopustul terbentuk setelah
nekrosis iskemik epidermis yang menyebabkan pemisahan subepidermis akibat
pengendapan kompleks imun. Papul nekrotik, krusta dan ulkus adalah lesi tahap akhir yang
terjadi setelah nekrosis epidermis dan dermis superfisial. Vaskulitis juga dapat terjadi di
ginjal, hati, dan saluran cerna. Keterlibatan organ-organ abdomen ini sering bermanifestasi
secara klinis sebagai nyeri abdomen.

6) DERMATITIS SPONGIOTIK : DERMATITIS KONTAK ALERGIK


Gambaran klinis

Dermatitis kontak alergik adalah suatu erupsi, biasanya gatal, yang disebabkan oleh reaksi
imunitas seluler spesifik terhadap suatu zat yang berkontak dengan kulit. Fase akut ditandai
oleh papul, spesikel, dan bula eritematosa yang terbatas didaerah kontak primer “alergen”
lepuhan sering pecah dan menyebabkan pengeluaran cairan dan pembentukan krusta
kekuningan

Epidemiologi dan etiologi

Data yang dapat diandalkan tentang insidens dermatitis kontak alergik sulit diperoleh
karena sebagian besar orang yang terkena, termasuk mereka yang penyakitnya ringa, tidak
pergi berobat. Namun, penyakit ini diperkirakan menelan biaya jutaan dolar pertahun dalam
bentuk biaya berobat langsung terkait – pekerjaan dan penurunan produktuvitas. Faktor-
faktor yang menentukan individu mana yang akan bereaksi terhasap zat apa tidaj diketahui,
meskipun tipe-tipe HLA mungkin ikut berperan. Beberapa model hewan untuk dermatitis
kontak alergik memperlihatkan adanya pola pewarisan autosom.

Histopatologi dan patogenesis

Spongiosis adalah tanda utama patologis kategori penyakit kulit ini. Istilah “spongiosis”
merujuk pada edema epidermis, yang memisahkan keratinosit satu sama lain. Secara
mikroskopis, edema menyebabkan “duri-duri atau spina” atau desmosom, yaitu
penghubung antar keratinosit yang sebelumnya tidak terlihat menjadi tampak. Spongiosis
mungkin ringan dan sulit dilihat secara mikroskopis atau sedemikian massif sehingga tampak
secara klinis sebagai lepuhan. Dermatitis spongiotik disertai oleh peradangan perivaskular
dengan derajat bervariasi yang mungkin mengelilingi pleksus vaskular superfisial atau
terdistribusi dipleksus vaskuler superfisial dan dalam atau perivaskular interstisial. Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) terdiri atas dua fase: induksi sensitisasi dan elisitasi.
Pada fase induksi, alergen yang telah berkontak dengan individu yang naif untuk alergen
tersebut berkaitan dengan suatu protein endogen dan membuatnya menjadi tampak asing.
Kompleks protein alergen ini kemudian dikenali oleh sel-sel serveilans imun dikulit: sel
langerhans. Sel langerhans adalah sel dendritik yang berasal dari sumsum tulang dan
berdiam di epidermis serta membentuk suatu jaringan dipertemuan antara sistem imun
dengan lingkungan. Sel ini menelan kompleks imun, menguraikannya secara persial
bermigrasi ke kelenjar limfe, dan menyajikan potongan antigen dipermukaan sel bersama
dengan suatu molekul MHC-II.

Fase elisitasi dimulai setelah individu yang telah tersensitisasi kembali berjumpa dengan
antigen. Sel T memori terus menerus berpatroli dikulit. Sel langerhans kembali memproses
antigen dan bermigrasi ke kelenjar limfe tetapi penyajian dan proliferasi sel T juga terjadi
ditempat kontak dengan alergen. Sel-sel T nonspesifik sekitar direkrut dan dirangsang oleh
berbagai sitokin inflamatorik yang dikeluarkan oleh sel T reaktif spesifik, dan terjadilah
proses amplifikasi yang secara klinis tampak sebagai dermatitis. Berlangsungnya rangkaian
kejadian kompleks ini memerlukan waktu sehingga terdapat jeda 24-48 jam anatara pejanan
ulang dan erupsi. Banyak orang yang telah merasakan penundaan ini dalam pengalaman
pribadi mereka dengan poison ivy atau poison oak.

Manifestasi klinis

Hanya sedikit penyakit kulit yang tercantum dalam kosakata sehari-hari masyarakat sebagai
poison ivy dan poison oak, yaitu kausa tersering dermatitis kontak alergik. Erupsi terdiri atas
papul eritematosa, papulovesikel, vesikel, atau bula sering dalam pula linear ketika daun
penyebab menggores kulit. Kesalahan pemahaman yang sering terjadi mengenai dermatitis
rhus adalah bahwa cairan dari lepuhan yang pecah menyebabkan penyebaran erupsi. Pada
kenyataan setelah erupsi terbentuk, alergen telah berikatan secara ireversibel dengan
protein lain atau telah diuraikan sehingga tidak dapat berpindah ketempat lain. Erupsi yang
terlihat menyebar dapat diterangkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, alergen rhus
sangat stabil dan mampu memicu dermatitis kontak alergik hingga 1 tahun kemudian.
Kedua, dermatitis kontak alergik yang intens dapat memicu erupsi di kulit yang tidak pernah
berkontak dengan alergen. Fenomena yang belum dipahami ini disebut “autosensitisasi”.
Erupsi autosensitisasi terdiri atas papul-papul eritematosa atau papulovesikel yang sering
terbatas ditangan dan kaki meskipun dapat juga generalisata.

7) PANIKULITIS : ERITEMA NODOSUM


Gambaran klinis

Panikulitis adalah proses peradangan yang terjadi di lemak subkutis. Eritema nodusum
adalah bentuk tersering panikulitis, yang umumnya bermanifestasi sebagai nodul-nodul
merah nyeri ditungkai bawah anterior. Jumlah lesi bervariasi tetapi biasanya muncul selusin
atau lebih pada saat awitan. Karena infiltrat pada panikulitis terletak dalam di kulit, batas
setiap lesi sering tidak jelas. Demam dan gejala konstitusional khususnya artralgia dapat
menyertai kemunculan eritema nodosum.

Epidemiologi dan etiologi

Eritema nodosum adalah suatu penyakit umum meskipun data pasti mengenai
prevalensinya belum ada. Wanita tampaknya lebih rentan mengalami dan terdapat
predominasi wanita pria sekitar 3:1 pada orang dewasa. Hal ini tidak berlaku pada kasus
anak : anak laki-laki dan perempuan terkena sama sering. Eritema nodosum adalah suatu
proses umum akhirpada peradangan yang mungkin terbentuk sebagai respons terhadap
sejumlah kausa termasuk infeksi,obat, hormon dan penyakit peradangan. Faringitis akibat
streptokokus obat yang mengandung sulfonamid, kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen dan penyakit usus inflamatorik adalah pemicu penyakit ini yang banyak dikenal.

Histopatologi dan patogenesis

Panikulitis dapat dibedakan menjadi dua kategori umum berdasarkan distribusi peradangan:
panikulitis yang dominan di septum dan panikulitis yang dominan di lobulus. Sektum adalah
sekat fibrosa antar kompartemen-kompartemen lemak dan mengandung berkas
neurovaskular. Lobulus adalah kumpulan adiposit yang dibatasi oleh septum. Kata dominan
mengisyaratkan akan sering tumpah dari satu kompartemen-kompartemen lain. Tahap
penting dalam menegakan diagnosis histopatologis spesifik adalah menentukan tempat
terjadinya sebagian besar respon peradangan. Pada kasus eritema nodosum respons
peradangan terjadi di kompartemen septum dan terdiri atas limfosit, histiosis, dan
granulosit (neutrofil dan eosinofil). Hipotesis yang di unggulkan mengenai mekanisme
pembentukan eritema nodosum adalah terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat di
lemak septum. Keberadaan endapan kompleks imun belum pernah ditemukan di lesi. Belum
diketahui mengapa hipersensitivitas sistemis tersebut terbatas di lemak dengan cara yang
sedemikian khas secara mikroskopis.

Manifestasi klinis

eritema nodosum bermanifestasi sebagai nodul-nodul merah sampai merah coklat, terletak
dalam dan nyeri tekan. Seiring dengan waktu lesi berkembang menjadi bercak atau plak tipis
yang mirip memar. Eritema nodosum cenderung terjadi di tungkai bawah anterior tetapi
dapat juga mengenai paha, lengan atas ekstensor dan meskipun jarang . karena lesi
merupakan suatu respons hipersensitivitas terhadap suatu pemicu, lesi dapat menetap atau
berlanjut tumbuh berkelompok selama pemicu masih ada. Pada kasus eritema nodosum
terkait streptokokus, lesi mungkin akan mereda dalam beberapa minggu setelah
keberhasilan tetapi antibiotik untuk infeksi primer. Eritema nodosum yang berkepanjangan
seyogianya memicu kita untuk melakukan pemeriksaan untuk mencari infeksi persisten dan
kemungkinan kausa lain.

8) DERMATIS NODULAR: SARKOIDOSIS

Gambaran klinis

Sarkoidosis adalah suatu penyakit sistemis dengan spectrum klinis yang sangat beragam
yang berkisar dari papul kulit ringan asimtomatik hingga penyakit paru yang mengancam
nyawa, lesi sering berupa papul atau nodul dermal merah-coklat yang dapat timbul dibagian
kulit mana saja tetapi memiliki predileksi diwajah. Granuloma nodular serupa dapat timbul
dipercabangan saluran pernapasan dan organ dalam lainnya.

Epidemiologi dan Etologi

Sarkoidosis dapat mengenai pasien dari segala usia atau latar belakang etnik terapi lebih
sering pada dewasa muda dan di Amerika serikat, orang keturunan afrika. Pada populasi ini,
insidens penyakit diperkirakan adalah 35,5 sampai 64 kasusu per 100.000
dibandingkandengan 10-14 kasus per 100.000 pada orang kulit putih. Di Eropa, populsi di
Skandivania dan Irlandia mengalami peningkatan resiko.
Banyak factor yang diajukan sebagai kuasa sarkoidosis, termasuk agen infeksius. Diantara
agen-agen tersebut, spesies Mycobacterium (khususnya Mtuberculosis) merupakan agen
yang paling dicurigai, meskipun penelitian membenarkan hasil yang bertentangan. Agen
etiologis lain yang diperkirakan adalah Histoplasma, virus, dan partikel asing berukuran kecil
( yang mungkin memicu proses reaktif pada orang yang rentan), meskipun belum ada bukti
kuat yang menunjangnya. Salah satu laporan menyatakan adanya benda asing ( yang dapat
dipolarisasikan) dikulit yang sakit pada pasien dengan sarkoidosis, tetapi para penulisnya
menekankan bahwa temuan ini mungkin mencerminkan kecendrungan lesi sarkoidosis
untuk terbentuk sekitar suatu nidus benda asing pada pasien yang terkena dan tidak
mengisyaratkan bahwa sarkoidosis secara langsung disebabkan oleh benda asing. Belum
jelas seberapa besar pengaruh faktor genetic terhadap kerentanan seorang terjangkit
sarkoidosis, meskipun sarkoidosis pada anggota pasien yang lebih tinggi dari pada yang
diperkirakan yang mengisyaratkan adanya peran genetic.

Hispatologi dan Patogenesis

Sarkoidosis bermanifestasi secara mikroskopis sebagai kumpulan makrofag jaringan, yang


dikenal sebagaigranuloma, di dalam dermis. Tidak seperti granuloma tuberkuloid pada
tuberkolosis. Granuloma sarkoid tidak mengalami perkijuan dan tidak memperlihatkan
nekrosis koagulasi dibagian tengahnya. Histiosit multinukleus yang terbentuk dari fusi
beberapa sel. Granuloma sarkoid adalah sedikitnya limfosit yang menyelimuti granuloma.
Granuloma sarkoid dapat menempati hampir seluruh dermis di kulit yang terkena atau
mungkin hanya membentuk fokus-fokus kecil yang terpisah jauh satu sama lain.

Seperti kausa sarkoidosis yang belum diketahui, mekanisme pembentukan granuloma pada
sarkoidosis juga belum sepenuhnya dipahami. Secara umum rangsangan antigenik tertentu
memicu respon sel T. antigen yang disajikan dalam korteks yang sesuai memicu sel T untuk
megeluarkan berbagai sitokin. Sitokin spesifik factor kemotaktik monosit (monocyte
chemotactic factor) dan factor penghambat migrasi (migration inhibitory factor),bersama
dengan sejumlah sitokin lain, merekrut makrofag ketempat reaksi dan mengarahkan sel
untuk tetap berada ditempat tersebut. Meskipun secara mikroskopis limfosit merupakan
komponen kecil pada granuloma sarkoid, sel ini diperkirakan berperan penting dalam
patogenesis penyakit.
Penelitian- penelitian tentang organisasi granuloma sarkoid mengisyaratkan pola susunan
limfosit yang serupa dengan pola yang ditemukan pada kusta tuberkoloid, suatu penyakit
ketika responimun poten relative dapat menahan atau membatasi M. leprae. Pada penyakit
ini limfosit yang terdapat dibagian tengah granuloma adalah sel positif- CD4, sementara sel
positif-CD8 berjajar di perifer.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis sarkoidosis cukup beragam. Spectrum gejala pada setiap pasien
bergantung pada jaringan yang terkena dan seberapa luas. Terdapat beberapa gambaran
prototipikal. Salah-satunya adalah limfa denopati hilus paru bilateral(akibat granuloma
sarkoid dikelenjer limfe perihilus) dan eritema nodusum akut, suatu kombinasi yang
terkenal dengan sindrom Lofgren. Demam, artragia, uveitis, dan keterlibatan parenkim
parusering dijumpai pada sindrom Lofgren. Varian lain sarkoidosis melalui hidung dengan
papul-papul berbentuk manic-manik ditepi lubang hidung. Gambaran ini dikenal sebagai
lopus pernio, suatu istilah kuno yang masih luas digunakan dalam dermatologi.

Penyakit kulit dijumpai hanya pada sepertiga kasus sarkoidosis sistemis, meskipun sekitar
80% pasien dengan sarkoidosis kulit juga mengidap kelainan sistemis. Paru adalah organ
yang paling sering terkena, dan kemungkinan ini harus selalu diperiksa pada semua kasus
sarkoidosis. Spectrum lesi sarkoidosis dikulit mengcakup papul, plak dan nodul berwarna
seperti kulit hingga merah-coklat, kerontokan rambut dikulit kepala dan tempat lain,
perubahan pigmentasi, ulkus dan berbagai pola lain yang mirip dengan banyak penyakit lain.

Diagnosis sarkiodosis mungkin sulit ditegakkan. diagnosis ini sering merupakan diagnosis
eklusi. Hanya jika spectrum klinis konsisten dengan sarkiodosis dan pemeriksaan standar
gagal mengungkapkan penyebab yang jelas, diagnosis sarkiodosis dapat ditegakkan.

9) FOLIKULITIS DAN PERIFOLIKULITIS: AKNE

Gambaran klinis

Akne paling sering bermanifestasi sebagai komedo yang terbentuk di folikel, papul yang
meradang, atau pustul di wajah, leher, dada, dan punggung. Remaja adalahkelompok yang
biasa terkena, tetapi akne neonatus dan akne pada orang dewasa juga sering dijumpai. Akne
nodulokistik yang menyebabkan jaringan parut berat dan perubahan tampilan muka tidak
terjadi sebelum pubertas.

Epidemiologi

Akne vulgaris terjadi sedemikian sering sehingga dikatakan oleh sebagian penulis praktis
mengenai semua orang pada suatu saat selama kehidupan mereka. Insidens puncak adalah
pada usia 18 tahun, meskipun cukup banyak juga orang dewasa yang masih terkena akne
hingga usia 40tahun.

Histopatologi dan patogenesis

Secara histopatologis, akne komedonal bermanifestasi sebagai folikel yang melebar dengan
sumbat keratin tebal didalam infundibulumnya. Jika orifisium folikel terbuka, lesi
aknedianggap sebagai komedo terbuka. Jika orifisium normal dan folikel melebar dibawah
permungkaan kulit, lesinya disebut komedo tertutup. Di lesi folikular yang tertutup ini sering
terjadi perubahan inflamatorik sekunder. Neotrofil dapat menyertai sumbat keratin dan
menimbulkan lesi pustular. Lesi akne inflamatorikmerupakan konsekuensi dari pecahnya
folikel yang menyebabkan tumpahnya debris kerati kedalam dermis perifolikel yang memicu
reaksi peradangan hebat dengancampuran neutrofil, limfosit, dan histiosit.

Pemahaman tentang evolusi lesi akne menjadi dasar bagi pengembangan terapi yang efektif
untuk sebagian besar pasien. Terdapat empat komponen esensial dalam pembentukan lesi
akne: 1) penyumbatan unit folikulosebasea, 2) pembentukan sebum, 3) pertumbuhan
berlebih propionibacterium acnes didalam folikel yang tersumbat dan 4) respon peradangan
sekunder. Pembentukan sumbat keratin didalam folikel merupakan suatu proses kompleks
yang diperkirakan dikontrol secara genetis ditingkat sel. Keratinosit menjadi lengket dan
tidak dapat terkelupas secara normal yang membentuk sumber folikel.

Namun sumbatan folikel saja tidak akan menyebabkan lesi yang melebihi komedo
seandainya tidak terdapat produksi sebelum dan pertumbuhan berlebih p. acnes.p. acnes
adalah organisme komensal dikulit. Namun,dengan berlimpahnya sebum sebagai sumber
makanan didalam lingkungan yng terlindungioleh sumbat folikel, p acnes dapat tumbuh
subur . kegagalan debris keratinosa dan sebum keluar dari folikel mudah menyebabkan
pelebaran kanal folikel. Bakteri mengeluarkan factor-faktor kemotaktik untuk neotrofil, dan
infiltrasi sel-sel ini ke folikel menyebabkan terbentuknya pustul. Enzim –enzim neutrofil
melemahkan dindingfolikel sehingga terjadi roptur folikel yang menyebabkan pembebasan
sejumlah besar reaktan inflamotorik kedalam dermis. Limfosit , makrofag dan neutrofil
berespon, dan lesi komedo berubah menjadi papul yang meradang, pustule, atau nodul
akne.

Manifestasi klinis

Spectrum keparahan akne cukup luas. Pada neonates, androgen ibu merangsang
pembesaran kelenjer sebasea dan pembentukan sebelum dalam jumlah besar. Adanya
sebelum mendorong pertumbuhan p. acnes dan timbul akne sampai androgen ibu lenyap
dan kelenjer sebasea kembali menciut keukuran yang normal untuk neonates. Dalam
rangsangan androgen saat pubertas, kelenjer sebasae kembali membesar dan menghasilkan
sebum didaerah soboroik tubuh, yaitu wajah, leher,dada, dan punggung. Awitan mungkin
berlahan atau cepat, dan keparahan dapat berkisar dari hanya komedo hingga papul
infamotorik dan pustul hingga nodul sangat meradang atau nyeri.

Akne dapat merupakan suatu komponen dari suatu sindrom seperti penyakit ovarium
polikistik atau apa yang disebut sebagai sindrom SAPHO (sinovitis, akne, pustuloris
palmoplantar, hiperostosis dan osteitis.Mungkin terdapat pengaruh hormon yang
mempermudah timbulnya lesi akne, paling tidak ada sindrom Stein- Leventhal terapi akne
sering bersifat multifeset dan berupa pemulihan keratinisasi dan deskuamasi keratinosit
folikel dengan analoq vitamin A topical atau sistemis yang mengendalikan p. acnes dan
peradangan dengan antibiotic (misalnya benzoil peroksida topical) dan penurunan produksi
sebum dengan retinoid atau obat antiandrogen seperti spironolakton. Perlu dicatat bahwa
pasien biasanya dimintak untuk menghindaripencucian wajah yang berlebihan karena
tindakan ini tidak membantu kehialangan akne dan dapat menyebabkan iritasi sekunder
sehingga menurunkan toleransi terhadap terapi local.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bahwa didalam tubuh manusia terdapat berbagai macam sistem yang beragam yang
masing-masing mempunyai fungsi, struktur dan tata letak yang berbeda-beda. Termasuk
didalamnya sistem integumen, yang sangat berperan dalam melindungi sistem-sistem yang
berada didalam tubuh. Karena sistem integumen terletak pada luar tubuh. Selain itu juga
masih banyak fungsi dari sistem integumen sendiri, diantaranya yaitu menjaga suhu normal
tubuh. Mencegah patogen-patogen masuk kedalam tubuh. Maka bisa disimpulkan bahwa
sistem integumen merupakan ketahanan pertama atau awal dari pengaruh buruk keadaan
diluar tubuh.

Saran
Dalam makalah ini diharapkan para pembaca bisa memahami fungsi tentang system
integument (kulit). pembaca dan peserta diskusi tidak hanya mengkaji masalah ini dalam
proses belajar saja atau dalam proses diskusi ini tetapi juga dapat dipelajari kembali
dirumah dengan membuka kembali makalah ini atau dengan buku yang berkaitan dengan
pelajaran ini.Maka dari itu, penulis menyarankan agar menjaga kulit dengan baik mengingat
peranan penting dari kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Stanley, mickey, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed.2. Jakarta:EGC.

Corwin, J Elizabeth. 2002. Buku Saku Patofisiologi.Ed.3.Jakarta EGC.

Ode, La Sarif. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik.Yogyakata: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai