Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Remaja

1. Pengertian remaja

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan individu dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan

dan perubahan yang sangat pesat baik fisik, psikologis dan sosial (potter &

perry,2005).

Menurut WHO, masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-

kanak menuju masa dewasa, di mana pada masa itu terjadi pertumbuhan yang pesat

termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan- perubahan

perkembangan, baik fisik, mental, maupun peran sosial (Surjadi, 2002 dan

Kumalasari, 2012:13)

Pada masa remaja percepatan perkembangan berhubungan dengan

pematangan seksual yang akhirnya mengakibatkan suatu perubahan dalam

perkembangan sosial. Sebelum memasuki masa remaja biasanya seorang anak sudah

mampu menjalankan hubungan yang erat dengan teman sebayanya. Seiring dengan

hal itu juga timbul kelompok anak-anak yang bermain bersama atau membuat rencana

bersama. Sifat yang khas pada kelompok anak sebelum masa remaja adalah bahwa

kelompok tadi terdiri dari jenis kelamin yang sama. Persamaan kelamin yang sama ini

dapat membantu timbulnya identitas jenis kelamin dan juga berhubungan dengan

perasaan identifikasi untuk mempersiapkan pengalaman identitasnya. Sedangkan pada

masa remaja ini, anak sudah mulai berani untuk melakukan kegiatan dengan lawan

jenisnya dalam berbagai macam kegiatan. Selama tahun pertama masa remaja,

seorang anak remaja cenderung memiliki keanggotaan yang lebih luas. Dengan kata
lain, tetangga atau teman-temannya seringkali menjadi anggota kelompoknya.

Biasanya kelompoknya lebih hiterogen daripada berkelompok dengan teman

sebayanya. Misalnya kelompok teman sebaya pada masa remaja cenderung memiliki

suatu campuran individu-individu dari berbagai kelompok. Interaksi yang semakin

intens menyebabkan kelompok bertambah kohesif. Dalam kelompok dengan kohesif

yang kuat maka akan berkembanglah iklim dan normanorma tertentu. Namun hal ini

berbahaya bagi pembentukan identitas dirinya. Karena pada masa ini, dia lebih

mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada pola pribadinya. Tetapi

terkadang adanya paksaan dari norma kelompok membuatnyua sulit untuk

membentuk keyakinan diri.

Menurut ciri perkembangannya, tahap remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu :

masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja tengah 15-18 tahun, dan masa remaja

akhir 18-21 tahun (Sarwono,2006).

2. Tahap perkembangan remaja

Pembagian Usia Remaja Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga

tahap sesuai tingkatan umur yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap tahap

memiliki keistimewaannya tersendiri. Ketiga tahap tingkatan umur remaja tersebut

antara lain:

 Remaja Awal (early adolescence) Tingkatan usia remaja yang pertama adalah

remaja awal. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15

tahun. Umumnya remaja tengah berada di masa sekolah menengah pertama

(SMP). Keistimewaan yang terjadi pada tahap ini adalah remaja tengah

berubah fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai tertarik

kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.


 Remaja Pertengahan (middle adolescence) Tingkatan usia remaja selanjutnya

yaitu remaja pertengahan, atau ada pula yang menyebutnya dengan remaja

madya. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun.

Umumnya remaja tengah berada pada masa sekolah menengah atas (SMA).

Keistimewaan dari tahap ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik

remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang

masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan

senang jika banyak teman yang menyukainya.

 Remaja Akhir (late adolescence) Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah

remaja akhir. Pada tahap ini, remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun.

Remaja pada usia ini umumnya tengah berada pada usia pendidikan di

perguruan tinggi, atau bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan

tinggi, mereka bekerja dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga.

Keistimewaan pada tahap ini adalah seorang remaja selain dari segi fisik

sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah menganut

nilai-nilai orang dewasa.

3. Perkembangan psikososial remaja

Perkembangan sosial yang harus dipenuhi remaja yaitu, mempunyai hubungan

yang baru dan lebih dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis,

mencapai peran sosial maskulin dan feminim, menerima keadaan fisik dan dapat

mempergunakannya secara efektif, mencapai kemandirian secara emosional dari

orang tua dan dewasa lainnya, mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi,

menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara

sosial, memperoleh rangkaian sistim nilai dan etika sebagai pedoman perilaku

(Furhman, 2013)
Perkembangan emosional remaja adalah suatu perubahan progresif organisme

dalam konteks ini adalah remaja awal yang telah mengalami masa pubertas, mulai

berpikir tentang sekitar atau sekelilingnya dan mengekspresikan emosinya baik dalam

tingkah laku atau tidak. Perkembangan emosional lebih mengarah pada hubungan

seseorang dengan orang lain. Hubungan ini berkembang karna adanya dorongan rasa

ingin tau terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Hal ini diartikan sebagai

cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana

pengaruh terhadap dirinya (affandi, 2011).

4. Karakteristik perkembangan psikososial remaja

a. Perkembangan kognitif

perkembangan kognitif pada usia remaja, anak berada pada tahap operasional

formal. Tahap operasional formal dicirikan dengan kemampuan penalaran

anak berubah dari penalaran secara naluriah menjadi lebih logis dan ilmiah.

Mereka mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda, unik, dan

terpisah dari individu lain. Pola fikir remaja juga mengalami perkembangan

yang dicerminkan dalam pola pikir yang sistematis ketika mereka

memecahkan suatu masalah dengan menghubungkan sebab dan akibat yang

terjadi. Remaja dapat memandang masalah dari beberapa sudut pandang dan

menyelesaikannya dengan melakukan banyak pertimbangan (Potter&Perry,

2005)

b. Perkembangan sosial

perkembangan sosial remaja merupakan kelanjutan dari perkembangan sosial

pada tahap perkembangan sebelumnya. Pada tahap remaja, perkembangan

sosial terlihat lebih jelas dari aktifitas dalam membentuk kelompok


seusiannya. Karakteristik lain dari perkembangan sosial remaja adalah pada

umumnya remaja memiliki dorongan untuk dapat berdiri sendiri dan cendrung

ingin memisahkan diri dari orangtua serta lebih suka berkumpul dengan

kelompoknya (Winkelstein & Schwartz, 2009).

c. Perkembangan emosional

perkembangan emosional pada remaja belum stabil sepenuhnya atau masih

sering berubah-ubah. Kadang-kadang mereka semangat bekerja tetapi tiba-tiba

menjdi lesu, kadang-kadang mereka terlihat sangat gembira tiba-tiba menjadi

sedih, kadang-kadng mereka terlihat sangat percaya diri tiba-tiba menjadi

sangat ragu. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki perasaan yang sangat

peka terhadap rangsangan dari luar (Al-Mighwar, 2006).

B. Konsep Menstruasi

1. Pengertian menstruasi

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat

dalam aspek fisik, emosi, kognitif dan sosial. Pada remaja putri akan terjadi

pematangan seksual yang ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama kali

atau menarche.

Menstruasi (Haid) adalah perdarahan secara periodik dan siklik uterus, disertai

pelepasan (deskuamasi) endometrium (Hanafiah, 2009). Menstruasi merupakan

pengeluaran darah secara periodik, cairan jaringan dan debris sel-sel endometrium

dari uterus dalam jumlah bervariasi (Jones, 2002). Menstruasi atau haid adalah

perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi)

endometrium (Sarwono, 2006:103). Menstruasi atau haid adalah perdarahan secara

periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan endometrium. Terjadi saat lapisan

dalam rahim luruh dan keluar (Proverawati & Misaroh, 2009:35).


Panjang siklus mentrsuasi atau haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid

yang lalu dan mulainya haid berikut. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari

pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu

keluar haid dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus

mengandung kesalahan kurang lebih satu hari. Panjang siklus haid yang normal atau

dianggap sebagai siklus haid yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas,

bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Juga pada

kakak beradik bahkan saudara kembar, siklusnya tidak terlau sama. Panjang siklus

haid dipengaruhi oleh usia seseorang. Rata-rata panjang siklus haid gadis usia kurang

dari 12 tahun ialah 25,1 hari, pada wanita usia 43 tahun 27,1 hari, dan pada wanita

usia 55 tahun 51,9 hari. Jadi, sebenarnya panjang siklus haid 28 hari itu tidak sering

dijumpai (Hanafiah, 2009). Lama haid biasanya antara 3- 5 hari, ada yang 1-2 hari

diikuti darah sedikit-sedikit kemudian, dan ada yang sampai 7-8 hari. Pada setiap

wanita biasanya lama haid itu tetap (Hanafiah, 2009). Jumlah darah yang keluar rata-

rata 33,2 ± 16 cc atau 40 mL. Pada wanita yang lebih tua biasanya darah yang keluar

lebih banyak. Pada wanita dengan anemia defisiensi besi jumlah darah haidnya juga

lebih banyak. Jumlah darah haid lebih dari 80 cc dianggap patologik dan dapat

menimbulkan anemia. Darah haid tidak membeku; ini mungkin disebabkan

fibrinolisin (Hanafiah, 2009).

Menjelang atau selama menstruasi, perempuan dapat mengalami kekakuan

atau kejang atau kram perut, payudara terasa nyeri, murung dan ingin marah.

Kejadian disebut Premenstrual Syndrome (PMS) atau sssebagai bentuk pre test dan

post test dan melakukan sindrom pramenstruasi.


C. Konsep sindrom pramenstruasi

1. pengertian sindrom pramenstruasi

Sindrom pramenstruasi (PMS) adalah berbagai gejala fisik, psikologis dan

emosional yang terkait dengan perubahan hormonal karna siklus menstruasi

(Proverawati, 2009:107)

Menurut El manan (2011:143) pramenstruasi sindrom merupakan suatu

keadaan yang menerangkan bahwa sejumlah gejala terjadi secara rutin dan

berhubungan dengan siklus menstruasi biasanya, gejala tersebut muncul pada 7-10

hari sebelum menstruasi dan menghilang ketika menstruasi dimulai.

Sindrom pramenstruasi merupakan gangguan siklus yang umum terjadi pada

wanita muda dan pertengahan, ditandai dengan gejala fisik dan emosional yang

konsisten, terjadi selama fase luteal pada siklus menstruasi (Saryono, 2009).

Sindroma pramenstruasi adalah sekumpulan gejala yang muncul akibat perubahan

hormon yang terjadi dalam tubuh perempuan menjelang menstruasi (Dita, 2010).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pramenstruasi sindrom adalah suatu gejala fisik

dan emosional yang terjadi menjelang menstruasi. Gejela-gejala tersebut dapat berupa

perubahan perasaan maupun fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan pada

seseorang. Gejala tersebut akan hilang seiring dengan berjalannya masa menstruasi.

2. gejala-gejala sindrom pramenstruasi

Gejala-gejala yang terjadi dapat tetap sama atau bervariasi dari bulan ke bulan.

Pada umumnya gejala yang datang adalah manifestasi dari produksi hormon

progesteron pada bagian akhir dari siklus menstruasi, lebih dekat dengan datangnya

masa menstruasi. Pada dasarnya, gejala pramenstruasi sindrom berhubungan dengan

berbagai perubahan. Diantaranya ialah perubahan fisik, perubahan suasana hati dan

perubahan mental.
a. perubahan fisik, diantaranya : sakit punggung, perut kembung, payudara

terasa penuh dan nyeri, perubahan nafsu makan, sembelit, pusing, pingsan, sakit

kepala, daerah panggul terasa berat atau tertekan, hot flashes ( kulit wajah, leher, dan

dada tamapk merah serta terasa hangat saat dirabah ), susah tidur, tidak bertenaga,

mual dan muntah.

b. perubahan suasana hati, diantaranya : mudah marah, cemas, depresi, mudah

tersinggung, gelisah, merasa sedih dan gembira secara bergantian.

c. perubahan mental, diantaranya : merasa kalut, sulit berkonsentrasi, dan

pelupa ( el manan,2011:144-145).

3. Faktor – faktor yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi

Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya sindrom

pramenstruasi , antara lain : stres, meningkatnya usia, pola makan yang tidak baik,

faktor diet yaitu rendahnya beberapa vitamin dan mineral, terutama magnesium,

vitamin E dan vitamin B, rutinitas sehari- hari yang jarang dilakukan. Faktor

psikologik dan sosio-kultural yang mungkin mempunyai kontribusi terhadap sindrom

pramenstruasi antara lain kepribadian, serta dukungan orang-orang terdekat.

Kepribadian seseorang turut berkontribusi, terutama pada yang bersifat tidak fleksibel

(cenderung kaku) atau disebut sebagai gangguan kepribadian. Individu dengan

gangguan kepribadian akan lebih rentan dan sulit beradaptasi dengan sindrom

pramenstruasi, serta tidak mudah menerima saran dan terapi. Terlalu sedikit makan

juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya siklus menstruasi yang tidak

teratur. (Sylvia, 2010: 18)

1. Stress

Faktor stres akan memperberat gangguan sindrom pramenstruasi. Hal ini

sangat mempengaruhi kejiwaan dan koping seseorang dalam menyelesaikan masalah.


Stres merupakan reaksi tanggung jawab seseorang, baik secara fisik maupun

psikologis karna adanya perubahan. kemarahan, kecemasan dan bentuk lain emosi

merupakan reaksi stres. Menyatakan ketegangan merupakan respon psikologis dan

fisiologis seseorang terhadap stressor berupa ketakutan,kemarahan, kecemasan,

frustasi atau aktivitas saraf otonom. (Rahajeng,2006).

Suheimi (2008), mengatakan bahwa penyebab terjadinya gejala sindrom

pramenstruasi adalah interaksi yang kompleks antara hormon, nutrisi esensial dan

neurotransmitter yang dikombinasikan dengan stress psikologis. Jadi sindrom

pramenstruasi, merupakan keadaan abnormalitas dari wanita untuk beradaptasi

terhadap perubahan fluktuasi hormonal bulanannya. Kehidupan yang penuh stres akan

memperparah gejala-gejala fisik maupun psikologis dari sindrom pramenstruasi ini.

2. Pola Konsumsi.

Arisman (2007) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah cara seseorang

dalam memilih dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh

psikologis, fisiologi, budaya dan sosial. Kebiasaan makan adalah suatu perilaku yang

berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan,

distribusi makanan dalam keluarga, preferensi terhadap makanan dan cara memilih

makanan.

Ada pertambahan jumlah penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan

antara pola makan dengan sindrom pramenstruasi. Namun, para dermatolog sepakat,

fakta ini masih membutuhkan lebih banyak penelitian. Kebanyakan ibu yang tidak

mengatur makanannya sehari – hari akan sangat berpengaruh pada sistem pencernaan

tubuh kita , dan hal ini bisa berlangsung hingga sampai tua. Pada kasus-kasus

lain,sindrom pramenstruasi lebih disebabkan faktor genetik. Namun, secara umum

sindrom pramenstruasi ditimbulkan dipicu oleh makanan. Sindrom pramenstruasi


sebenarnya timbul ketika akan datangnya mentruasi. Dulu para dermatolog meyakini

tidak ada hubungan antara pola makan dan sindrom pramenstruasi. Akan tetapi, bukti-

bukti yang bermunculan menunjukkan bahwa beberapa makanan dan minuman

tertentu mungkin telah menyebakan atau memicu sindrom pramenstruasi pada

beberapa orang (Admin, 2012).

Pola konsumsi atau masukan karbohidrat yang berlebihan dapat meningkatkan

resiko terjadinya sindrom pramenstruasi, masho al et ( 2005 ) menyebutkan intake

karbohidrat yang berlebihan dapat meningkatkan resiko kejadian sindrom

pramenstruasi. Karena dengan kelebihan karbihidrat akan mengalami kenaikan berat

badan, sehingga rentan terkena sindrom pramenstruasi.

3. Pola Olahraga

Olahraga berupa lari di katakankan dapat mengurangi keluhan. Berolahraga

dapat mengurangi stress dengan cara memilih waktu untuk keluar dari rumah dan

pelampiasan untuk melepas marah atau kecemasan yang terjadi . beberapa wanita

mengatakan pada saat dia mengalami sindrom pramenstruasi, dapat membuat

relaksasi dan tidur di malam hari.

Menjaga berat badan merupakan salah satu penanganan sindrom

pramenstruasi, karena berat badan yang berlebihan dapat meningkatkan resiko

menderita sindrom pramenstruasi.( widayati, 2007 ).

Nurlela At Al (2008) menunjukkan peluang terjadinya sindrom pramenstruasi

lebih besar pada wanita yang tidak melakukan olahraga rutin dari pada wanita yang

sering melakukan olahraga. Karena olahraga sangat berpengaruh terhadap terjadinya

sindrom pramenstruasi. Aktifitas olahraga yang teratur dan berkelanjutan

berkontribusi untuk meningkatkan produksi dan pelepasan endorphin. Endorphin

memerankan peran dalam pengaturan endogen. Wanita yang mengalami sindrom


pramenstruasi, terjadi karena kelebihan estrogen, kelebihan estrogen dapat di cegah

dengan meningkatnya endhorpin. Hal ini membuktikan olahraga yang teratur dapat

mencegah atau mengurangi sindrom pramenstruasi, Pada wanita yang jarang

melakukan olahraga secara rutin hormon estrogen akan lebih tinggi sehingga

kemungkinan akan terjadi sindrom pramenstruasi lebih besar.

Nurlela At Al (2008) menunjukkan sebagian responden yang tidak melakukan

aktifitas olahraga secara rutin, yaitu sebanyak 68 responden (57,1%). Aktifitas

olahraga di ukur dari rutinitas tiap minggu dan lamanya dalam melakukan olahraga.

Berdasarkan takaran yang di lakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indinesia

frekuensi olahraga yang dapat di lakukan 3-5 kali dalam seminggu, dalam waktu 20-

30 menit. Nurlela at al (2008) melakukan pengukuran terhadap aktivitas olahraga

pada masyarakat umum, rutinitas di ukur berdasarkanm aktivitas rutin minimal 1 kali

setiap minggu dengan waktu 15-60 menit.

D. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan pada dasarnya adalah seluruh

bentuk upaya yang direncanakan ataupun ditujukan untuk mempengaruhi orang lain,

baik secara individu, kelompok, ataupun masyarakat, sehingga mereka melakukan apa

yang diharapkan oleh pelaku pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah

segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu,

kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh

pelaku pendidikan atau promosi kesehatan tersebut dan memperoleh pengetahuan

tentang kesehatan. (Notoatmodjo, 2012).


Setelah dilakukan pendidikan kesehatan, hasil yang diharapkan dari suatu

pendidikan kesehatan tersebut adalah adanya perilaku kesehatan, atau perilaku untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran dari pendidikan

kesehatan tersebut. (Notoadmojo, 2012)

1. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Menurut Nursalam, dkk (2009) menyebutkan tujuan pendidikan kesehatan

adalah untuk membentuk perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga,

kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina serta memelihara perilaku hidup

sehat dan juga agar dapat berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang

optimal.

Menurut Notoadmodjo (2012) peranan pendidikan kesehatan adalah

melakukan intervensi terhadap faktor perilaku sehingga perilaku individu, maupun

kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan akan

berpengaruh terhadap perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact)

dari pemberian pendidikan kesehatan tersebut. Setelah itu perilaku kesehatan akan

berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan individu atau kelompok sebagai

keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.

Menurut (Notoadmojo, 2012) pendidikan kesehatan mempengaruhi 3 faktor

penyebab terbentuknya perilaku yaitu :

1) Pendidikan kesehatan dalam faktor predisposisi

Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah untuk memberikan

kesadaran atau meningkatkan pengetahuan individu maupun kelompok

tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi diri sendiri,

keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks pendidikan kesehatan

juga memberikan pengertian atau pemahaman tentang tradisi,


kepercayaan individu, kelompok dan lain sebagainya, baik yang

merugikan maupun yang memberi keuntungan bagi kesehatan. Bentuk

pendidikan ini dilakukan dengan penyuluhan kesehatan, pameran

kesehatan, iklan-iklan layanan kesehatan, billboard, dan sebagainya.

2) Pendidikan kesehatan dalam faktor enabling (penguat)

Pendidikan kesehatan ini dilakukan agar individu dapat

memberdayakan dirinya agar mampu mengadakan sarana dan

prasarana kesehatan dengan memberikan kemampuan dengan cara

bantuan teknik, memberikan arahan, dan cara dalam mencari dana

untuk melakukan sarana dan prasarana.

3) Penddikan kesehatan dalam faktor reinforcing (pemngkin)

Pendidikan kesehatan dalam faktor ini mempunyai maksud dalam

mengadakan pelatihan bagi tokoh agama, tokoh masyarakata dan

petugas kesehatan sendiri dengan tujuan agar sikap dan prilaku petugas

kesehatan tersebut dapat mencadi panutan, contoh dan acuan bagi

masyarakat tentang bagaimana menjalani hidup sehat.

2. Metode-Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoadmojo (2012), pembagian metode pendidikan kesehatan yang

dilakukan ada 3 yaitu :

a) Metode berdasarkan pendekatan perorangan

Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan

membentuk perilaku baru, atau mendidik seseorang yang mulai tertarik

dengan suatu perubahan perilaku atau inovasi. Pendekatakan individual

ini pada dasarnya digunakan karena setiap individu memiliki masalah


atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau

perilaku baru. Ada 2 cara dalam melakukan pendekatan ini, yaitu :

1) Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and Counceling)

2) Wawancara

b) Metode berdasarkan pendekatan kelompok

Pemberi materi atau penyuluh berhubungan dengan sasaran

secara kelompok. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyampaian

pendidikan kesehatan dengan metode ini adalah besarnya kelompok

sasaran atau target serta tingkat pendidikan formal dari sasaran atau

target tersebut. Ada 2 jenis kelompok dalam metode ini, tergantung

besarnya kelompok yaitu kelompok besar, dan kelompok kecil.

c) Metode berdasarkan pendekatan massa

Metode menggunakan pendekatan massa ini cocok untuk

memberikan informasi atau pesan-pesan kesehatan yang ditujukan

kepada masyarakat, sehingga sasaran dari metode ini bersifat umum,

yang artinya tidak membedakan umur, jenis kelamin (laki-laki ataupun

perempuan), pekerjaan, status social ekonomi, tingkat pendidikan, dan

lain-lain, sehingga pesan-pesan kesehatan yang ingin disampaikan

harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa.

Menurut Kemenkes (2012), salah satu metode pendidikan kesehatan adalah

melalui KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang dapat digunakan adalah

dengan pendidikan sebaya atau peer education.


E. Konsep Peer Education

1. Pengertian Peer education

Suatu proses komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang dilakukan oleh

kalangan sebaya dan untuk kalangan sebaya itu sendiri. Contohnya kelompok sebaya

pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan profesi, ataupun disesuaikan berdasar

jenis kelamin (Harahap dan Andayani, 2004). Menurut Romlah (2001), edukasi peer

group adalah suatu tindakan perubahan perilaku kesehatan melalui kelompok sebaya,

mereka akan berinteraksi dalam kelompok sehingga akan timbul rasa ada kesamaan

satu dengan yang lainnya, serta mengembangkan rasa sosial sesuai dengan

perkembangan kepribadian. Bahasa yang digunakan oleh pendidik sebaya kurang

lebih sama sehingga informasi yang disampaikan lebih mudah dipahami serta pesan-

pesan sensitif bisa disampaikan secara lebih terbuka dan santai sehingga pengetahuan

remaja, terutama masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi banyak diperoleh

(BKKBN dan YAI, 2002).

Peer education sering disebut dengan pendidikan sebaya, dilaksanakan antar

kelompok sebaya dengan dipandu oleh fasilitator yang juga berasal dari kelompok itu

sendiri atau yang mengerti kelompok itu. Pendidikan sebaya menjadi istilah konsep

yang popular yang memberikan pendekatan, saluran komunikasi, metodologi,

fisiologi dan strategi. Istilah ini digunakan pada pendidikan dan pelatihan. Pendidikan

sebaya sekarang dilihat sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif (Negara,

Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006). Pendidikan sebaya biasanya melibatkan

pelatihan dan anggota kelompok tertentu. Melakukan perubahan diantara anggota

kelompok, pendidikan sebaya sering digunakan untuk efek perubahan dalam

pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku pada tingkat individu (Horizons, 2002).
Jadi dapat disimpulkan, peer education adalah suatu proses komunikasi

dalam memberikan informasi antar kelompok sebaya yang dapat dipandu oleh

fasilitator dari kelompok sebaya itu sendiri.

a.Peer Education

Peer Education atau pendidikan sebaya, merupakan sistem penyampaian sex

education melalui pendidikan teman sebaya.Sedangkan peer educator (PE) atau

pendidik sebaya menurut skala PKBI Lampung (2002) adalah seseorang yang

mewakili sekolah atau kelompoknya yang mempunyai komitmen dan telah mendapat

pelatihan untuk memberikan informasi seputar Kesehatan Reproduksi, IMS, HIV dan

AIDS kepada teman sebaya atau Kelompok Dampingan (KD) secara kontinyu dan

bersifat sukarela untuk menanamkan pendidikan seks secara tepat. Mereka adalah

orang yang aktif dalam kegiatan sosial dilingkungannya, misalnya aktif di organisasi

seperti Karang Taruna, Pramuka, OSIS, PKK, kader, dan lain-lain.

Keberhasilan pelaksanaan peer education terletak pada peer educator yang

terlatih dan berkapabilitas. Peer educator harus dipilih dengan baik dan cermat

dengan mempertimbangkan kredibilitasnya dengan kelompok sasaran (Bleeker, 2001,

dalam Hulu, 2005).

Menurut skala PKBI Lampung (2002), alasan dikembangkannya PE :

1) penyampaian informasi,

2) Mempermudah penjangkauan dengan kelompok dampingan,

3) Mempersiapkan kelompok dampingan untuk mandiri sebagai

penerus program secara mandiri,

4) PE dari kelompok sendiri lebih dipercaya oleh kelompok tersebut,

5) Mempercepat penyampaian informasi karena mempunyai kesamaan

bahasa
6) Mempunyai waktu lebih banyak/fleksibilitas waktu dalam

mendampingi kelompok dampingan,

7) PE dapat menjadi panutan awal ke arah perubahan perilaku.

1. Manfaat

Dalam pemberian KIE pendidikan sebaya dipandang sangat efektif. Hal ini

dikarenakan penjelasan yang diberikan oleh teman sebayanya sendiri akan lebih

mudah dipahami. Pendidikan yang diberikan lebih bermanfaat dilaksanakan antar

kelompok sebaya mereka sehingga komunikasi menjadi lebih terbuka. Hal-hal yang

tidak dapat dibicarakan bersama orang lain termasuk yang sifatnya sensitif dapat

didiskusikan secara terbuka dan dapat diselesaikan bersama sehingga hasilnya lebih

baik (Negara, Pawelloi, Jelantik, & Arnawa, 2006).

2. Karakteristik Pendidik Sebaya

Ada 3 hal pokok dalam proses peer education Menurut Rahardjo,

Topatimasang, & Fakih (2001) diantaranya adalah belajar dari realita atau

pengalaman, tidak menggurui, dan dialogis. Semua orang berada pada posisi dan

kedudukan yang sejajar sebagai sumber informasi. Menurut WF Connell (1972),

kelompok sebaya (peer group) mempunyai ciri-ciri yaitu jumlah anggotanya kecil.

Sebaiknya pendidik sebaya mulai melatih diri untuk menyebarkan informasi

kesehatan khususnya kesehatan reproduksi dalam kelompok kecil yang berjumlah

tidak lebih dari 12 orang. Pendidik Sebaya harus mempunyai keterampilan atau skill

komunikasi interpersonal, dimana ada hubungan timbal balik yang bercirikan

komunikasi dua arah, perhatian pada aspek komunikasi verbal dan non-verbal,

penggunaan pertanyaan tertutup/terbuka untuk menggali informasi, perasaan dan

pikiran dan sikap mendengar yang efektif (Muadz, dkk, 2008).


3. Kriteria Pendidik Sebaya

Pendidik sebaya haruslah seseorang yang berasal dari kelompoknya, yang

memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, mempunyai jiwa kepemimpinan, dapat

diterima anggota kelompoknya, dan dapat membaca serta menulis. Peran fasilitator

dilakukan dengan merangkum, mengkomunikasikan kembali dan membangun

komitmen serta dialog. (Rahardjo, Topatimasang, & Fakih, 2006).

Menurut Depkes RI (2004), kriteria peer educator yakni:

a. Mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dan mampu

mempengaruhi teman sebayanya;

b. Mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, hukum,

agama, serta peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan

reproduksi;

c. Mempunyai hubungan pribadi yang baik serta memiliki kemampuan

untuk mendengarkan pendapat orang lain;

d. Mempunyai perilaku yang cenderung tidak menghakimi;

e. Mempunyai rasa percaya diri dan sifat kepemimpinan;

f. Mampu melaksanakan pendidikan kelompok sebaya.

Syarat-syarat menjadi peer educator/pendidik sebaya menurut Pusat Kajian

dan Perlindungan Anak, 2008 :

a. Aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya

b. Berminat pribadi menyebarluaskan informasi kesehatan

c. Lancar membaca dan menulis

d. Memiliki ciri-ciri kepribadian antara lain : ramah, lancar dalam

mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan


kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau

belajar serta senang menolong.

4. Kegiatan dalam Peer Education

Pendekatan pendidikan sebaya dapat dilakukan melalui metode pelatihan

yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang

atau kelompok orang. Peer education dilakukan dalam rangkaian aktivitas diskusi,

ceramah, latihan pengenal persiapan karir dan diskusi panel. Pendidikan sebaya

berjalan dengan baik dalam melibatkan remaja untuk mengungkapkan pengetahuan

mereka dan belajar lebih banyak dibanding hanya mendapatkan informasi yang

sekedar terstruktur satu arah. Melalui pendidik sebaya, dapat membuat lebih terbuka

dan berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan dengan pendekatan bersahabat

yang tidak bersifat menggurui atau menghakimi (Negara, Pawelloi, Jelantik, &

Arnawa, 2006).

Mengadakan diskusi perorangan, diskusi kelompok kecil maupun besar,

memberikan motivasi kepada perorangan maupun kelompok, membagi,

menggunakan, membahas bahan-bahan pendidikan dan dapat bersama-sama membuat

bahan pendidikan adalah beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh pendidik

sebaya dengan anggota kelompoknya (Negara, Pawelloi, Jelantik, & Arnawa, 2006).

5. Prosedur Pelaksanaan Metode Peer Education

Prosedur pelaksanaan peer education menurut BKKBN (2008):

1) Jumlah ideal peserta kegiatan pendidikan sebaya yang ideal diikuti

oleh tidak lebih dari 12 peserta agar setiap peserta mempunyai

kesempatan bertanya. Bila peserta terlalu banyak, tanya jawab menjadi


kurang efektif, dan peserta tidak akan mendapatkan pemahaman serta

pengetahuan yang cukup memadai.

2) Pendidik sebaya mencari teman seusia yang berminat terhadap

kesehatan reproduksi. Menghindari cara-cara pemaksaan. Para peserta

harus bersedia mengikuti seluruh pertemuan yang telah disepakati.

3) Tempat dan waktu pertemuan ditentukan bersama oleh peserta.

4) Pendidikan diberikan oleh dua orang pendidik sebaya. Satu pendidik

menyampaikan dan memandu diskusi. Satu pendidik lainnya

melakukan pencatatan terhadap pertanyaan yang diajukan peserta,

observasi tentang proses diskusi, serta membantu menjawab

pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh pendidik sebaya pertama.

Peran pendidik sebaya dilakukan bergantian dengan tujuan agar setiap

pendidik mempunyai kesempatan untuk menyampaikan informasi dan

memandu diskusi. Selain itu, mereka juga bisa saling memberikan

umpan balik selama menjadi pemandu.

5) Pendidik sebaya memulai acara dengan menyampaikan materi selama

tidak lebih dari setengah jam, waktu selebihnya digunakan untuk

diskusi dan menampung pertanyaan.

6) Untuk dapat memahami keseluruhan materi kesehatan reproduksi,

paket pertemuan sekurangnya 8 kali. Jadi untuk satu materi kesehatan

reproduksi dibutuhkan 2 kali pertemuan. Setiap kali pertemuan

berlangsung 30 menit sampai 60 menit.

7) Bila ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab, jawaban bisa ditunda

untuk ditanyakan kepada mereka yang lebih ahli, bisa dokter/

paramedis, tokoh masyarakat atau tokoh agama, dan lain-lain.


8) Topik-topik yang perlu dibahas, yaitu pengenalan organ reproduksi

laki-laki perempuan dan fungsinya masing-masing, proses terjadinya

kehamilan, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan dan bahaya

aborsi yang tidak aman, metode-metode pencegahan kehamilan

(metode kontrasepsi), penyakit menular seksual (HIV/AIDS),

seksualitas dan NAPZA, topik bisa disesuaikan.

6. Hal yang perlu diperhatikan dalam peer education

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam peer education

diantaranya:

a. Pesan yang disampaikan harus jelas

b. Menggunakan bahasa yang sederhana dan menghindari istilah-istilah

yang sulit dimengerti

c. Kekonkritan saran serta kemudahan untuk melaksanakannya

d. Menciptakan komunikasi dua arah dan berikan kesempatan tanya

jawab

e. Menciptakan suasana yang santai tapi serius

f. Memilih tempat yang jauh dari keramaian/kegaduhan

g. Peka terhadap sasaran (memperhatikan situasi, tempat, waktu, serta

lingkungan) (Negara dkk, 2006).

E. Konsep Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa.Hal ini

mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap mungkin dihasilkan dari

perilaku tetapi sikap tidak sama dengan perilaku. Menurut Fishbein dalam Ali
(2006:141) “Sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons

secara konsisten terhadap suatu objek”. Sedangkan menurut Secord dan Backman

dalam Saifuddin Azwar (2012:88) “Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal

perasaan (afeksi), pemikiran (kognitif), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang

terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya”.

Menurut Randi dan Imam (2011:32) mengungkapkan bahwa “Sikap

merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri atau

orang lain atas reaksi atau respon terhadap stimulus (objek) yang menimbulkan

perasaan yang disertai dengan tindakan yang sesuai dengan objeknya”. Selanjutnya

Menurut Ahmadi dalam Aditama (2013:27) “Orang yang memiliki sikap positif

terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka (like) atau memiliki sikap yang

favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap negative terhadap objek

psikologi bila tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek

psikologi”. Sikap yang menjadi suatu pernyataan evaluatif, penilaian terhadap suatu

objek selanjutnya yang menentukan tindakan individu terhadap sesuatu.

a) Menurut Azwar S (2012:33) struktur sikap dibedakan atas 3 komponen

yang saling menunjang, yaitu:

1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh

individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan

stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamarkan

penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau

problem yang kontroversal.

2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling

dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling


bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah

mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan

perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi

tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/ bereaksi terhadap

sesuatu dengan cara-cara tertentu dan berkaitan dengan objek yang

dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang

adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.

b) Ciri-ciri Sikap Ciri-ciri sikap menurut Purwanto dan Rina (2013:16) adalah:

1) Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat

ini yang membedakannya dengan sifat motif-motif biogenis seperti

lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap

dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan keadaan dan

syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap orang itu.

3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan

tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain sikap itu terbentuk

dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek

tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4) Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.


5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat

alamiah yang membedakan sikap dan kecakapankecakapan atau

pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

c) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Menurut Azwar (2013:17)

faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap antara lain:

1) Pengalaman pribadi Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,

pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena

itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi

tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pada umumnya, individu

cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan

sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain

dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk

menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3) Pengaruh kebudayaan Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan

garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.Kebudayaan telah

mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karna kebudayaanlah yang

memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4) Media massa Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara

objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya

berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

5) Lembaga pndidikan dan lembaga agama Konsep moral dan ajaran dari

lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem


kepercayaa tidaklah mengherankan jika pada gilirannya konsep

tersebut mempengaruhi sikap.

6) Faktor emosional Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan

pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam

penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

d) Fungsi Sikap Daniel Katz dan Rina (2013:18) membagi fungsi sikap dalam

4 kategori sebagai berikut:

1) Fungsi utilitarian Melalui instrumen suka dan tidak suka, sikap positif

atau kepuasan dan menolak yang memberikan hasil positif atau

kepuasan.

2) Fungsi ego defensive Orang cenderung mengembangkan sikap

tertentu untuk melindungi egonya dari abrasi psikologi. Abrasi

psikologi bisa timbul dari lingkungan yang kecanduan kerja. Untuk

melarikan diri dari lingkungan yang tidak menyenangkan ini, orang

tersebut membuat rasionalisasi dengan mengembangkan sikap positif

terhadap gaya hidup yang santai.

3) Fungsi value expensive Mengekspresikan nilai-nilai yang dianut

fungsi itu memungkinkan untuk menngkspresikan secara jelas citra

dirinya dan juga nilai-nilai inti yang dianutnaya.

4) Fungsi knowledge-organization Karena terbatasnya kapasitas otak

manusia dalam memproses informasi, maka orang cendrung untuk

bergantung pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan

informasi dari lingkungan.

d) Katz dan Zaim Elmubarok (2008:50) menyebutkan empat fungsi sikap yaitu

:
1) Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat yang menunjukkan bahwa

individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal – hal

yang diinginkan dan menghindari hal – hal yang tidak diinginkan.

Dengan demikian, maka individu akan membentuk sikaf positif

terhadap hal – hal yang dirasakan akan mendatangkan keuntungan dan

membentuk sikap negatif terhadap hal – hal yang merugikan.

2) Fungsi pertahanan ego yang menunjukkan keinginan individu untuk

menghindarkan diri serta melindungi dari hal – hal yang mengancam

egonya atau apabila ia mengetahui fakta yang tidak mengenakkan,

maka sikap dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang

akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut.

3) Fungsi pernyataan nilai, menunjukkan individu untuk memperoleh

kepuasan dalam menyatakan sesuatu nilai yang dianutnya sesuai

dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya.

4) Fungsi pengetahuan, menunjukkan keinginan individu untuk

mengekspresikan rasa ingin tahunya, mencari penalaran dan untuk

mengorganisasikan pengalamannya. Berdasarkan beberapa uraian

mengenai sikap di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan

suatu kebiasaan atau tingkah laku dari seseorang untuk dapat

mengekspresikan sesuatu hal atau perasaan melalui perbuatan baik

yang sesuai dengan norma yang berlaku, sikap juga merupakan

cerminan jiwa seseorang.

e) Pembentukkan sikap

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu.

Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan
hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial,

terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang

lainnya.

Menurut Saifuddin Azwar (2012:30) “faktor – faktor yang mempengaruhi

pembentukkan sikap adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap

penting, pengaruh kebudayaan, media masa, lembaga pendidikan dan lembaga agama,

pengaruh faktor emosional.”

1) Pengalaman Pribadi Pengalaman pribadi yang telah dan sedang kita

alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita

terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar

terbentukknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan

penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan

dengan objek psikologis. Middlebrook dan Azwar (2012:31)

mengatakan “ bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh

seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk

sikap negative terhadap objek tersebut”.

2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting orang lain disekitar kita

merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut

mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting,

seseoramg yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak

tingkah dan pendapat kita, seseoramg yang tidak ingin kita

kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant

others) , akan banyak mempengaruhi pembentukkan sikap kita

terhadap sesuatu.
3) Pengaruh Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi pembentukkan pribadi seseorang. Kebudayaan

memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat.

Kebudayaan lah yang menanamkan garis pengaruh sikap individu

terhadap berbagai masalah.

4) Media Masa Berbagai bentuk media massa seperti radio, televisi, surat

kabar, majalah, dan lain – lain mempunyai pengaruh yang besar dalam

pembentukkan opini dan keprcayaan orang. Media masa memberikan

pesan – pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang.

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan

pengetahuan baru bagi terbentukknya sikap terhadap hal tersebut. Jika

cukup kuat, pesan – pesan sugestif akan memberikan dasar afektif

dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Lembaga pendidikan dan

lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam

pembentukkan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian

dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan

buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh

dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta

ajaran – ajarannya.

6) Pengaruh faktor emosional suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh

emosi, yang befungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau

pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat

merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi


telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih

persisten dan bertahan lama.

f) Perubahan Sikap Menurut Kelman dan Azwar S (2012:55) ada tiga proses

yang berperan dalam proses perubahan sikap yaitu :

1) Kesedihan (Compliance) Terjadinya proses yang disebut kesedihan

adalah ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain

atau kelompok lain dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi

positif, seperti pujian, dukungan, simpati, dan semacamnya sambil

menghindari hal – hal yang dianggap negatif. Tentu saja perubahan

perilaku yang terjadi dengan cara seperti itu tidak akan dapat bertahan

lama dan biasanya hanya tampak selama pihak lain diperkirakan

masih menyadari akan perubahan sikap yang ditunjukkan.

2) Identifikasi (Identification) Proses identifikasi terjadi apabila individu

meniru perilaku tau sikap seseorang atau sikap sekelompok orang

dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya

sebagai bentuk hubungan menyenangkan antara lain dengan pihak

yang dimaksud. Pada dasarnya proses identifikasi merupakan sarana

atau cara untuk memelihara hubungan yang diinginkan dengan orang

atau kelompok lain dan cara menopang pengertiannya sendiri

mengenai hubungan tersebut.

3) Internalisasi (Internalization) Internalisai terjadi apabila individu

menerima pengaruh dan bersedia menuruti pengaruh itu dikarenakan

sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percaya dan sesuai dengan

system nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, maka isi dan hakekat

sikap yang diterima itu sendiri dianggap memuaskan oleh individu.


Sikap demikian itulah yang biasnya merupakan sikap yang

dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak mudah untuk berubah

selama sistem nilai yang ada dalam diri individu yang bersangkutan

masih bertahan.

Anda mungkin juga menyukai