KELOMPOK :
WAHYUNI MARTALINA
HABIL HABIBI
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung termasuk ke dalam kelompok penyakit kardiovaskuler, dimana
penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah seperti Indonesia (Delima, Mihardja dan Siswoyo,
2009). Menurut World Health Organization (WHO) (2013) kematian akibat penyakit
kardiovaskuler mencapai 17,1 juta orang per tahun. Penyakit kardiovaskuar
diantaranya penyakit jantung koroner dan stoke menjadi urutan pertama dalam daftar
penyakit kronis di dunia.
Jantung sanggup berkontraksi tanpa henti berkat adanya suplai bahanbahan energi
secara terus menerus. Suplai bahan energi berupa oksigen dan nutrisi
ini mengalir melalui suatu pembuluh darah yang disebut pembuluh koroner.
Apabila pembuluh darah menyempit atau tersumbat proses transportasi bahanbahan
energi akan terganggu. Akibatnya sel-sel jantung melemah dan bahkan bisa
mati. Gangguan pada pembuluh koroner ini yang disebut penyakit jantung
koroner (Yahya, 2010).
Pengobatan penyakit jantung tidak sekedar menggurangi atau bahkan
menghilangkan keluhan. Yang paling penting adalah memelihara fungsi jantung
sehingga harapan hidup akan meningkat (Yahya, 2010). Sebagian besar bentuk
penyakit jantung adalah kronis, pemberian obat umumnya berjangka panjang,
meskipun obat-obat itu berguna tetapi juga memberikan efek samping (Soeharto,
2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan ada beberapa obat, meskipun
memulihkan keadaan, tidak selalu membuat lebih baik, penggunaan obat harus secara
teratur. Penghentian penggobatan tanpa konsultasi dengan dokter dapat menimbulkan
masalah baru (Soeharto, 2001).
Adanya keterkaitan penyakit jantung koroner dengan faktor resiko dan
penyakit penyerta lain seperti DM dan hipertensi, serta adanya kemungkinan
perkembangan iskemik menjadi infark menyebabkan kompleksnya terapi yang
diberikan. Oleh karena itu, pemilihan jenis obat akan sangat menentukan kualitas
pengguanan obat dalam pemilihan terapi. Obat berperan sangat penting dalam
pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan
pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu
penyakit. Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia dapat memberikan masalah
tersendiri dalam praktik, terutama menyangkut pemilihan dan penggunaan obat
secara benar dan aman (Anonim, 2000). Banyak penderita serangan jantung yang
kembali ke rumah setelah perawatan beberapa hari. Sebagian perlu perawatan
berminggu-minggu sebelum dipulangkan karena fungsi jantung sudah menurun.
Di antara penderita serangan jantung itu, ada pula yang tidak dapat diselamatkan
(Yahya, 2010).
STEMI adalah singkatan dari ST-elevation myocardial infarction. STEMI
adalah salah satu jenis serangan jantung yang sangat serius dimana salah satu arteri
utama jantung (arteri yang memasok oksigen dan darah yang kaya nutrisi ke otot
jantung) mengalami penyumbatan. Elevasi segmen ST adalah kelainan yang
terdeteksi pada EKG 12-lead. Kondisi ini merupakan keadaan darurat medis yang
sangat mengancam jiwa dan biasanya terkait dengan proses penyakit yang disebut
dengan aterosklerosis (Yahya, 2010).
STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan, terjadi peningkatan
baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan pemberian nitrat, yang
dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu yang disertai Infark Miokard Akut
dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur
plak aterosklerosis yang tak stabil (Pusponegoro,2015).
Menurut American Heart Association (AHA) infark miokard tetap menjadi
penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia, Setiap tahun
diperkirakan785 ribu orang Amerika Serikat mengalami infark miokard dan sekitar
470 ribu orang akan mengalami kekambuhan berulang, setiap 25 detik diperkirakan
terdapat 1 orang Amerika yang mati dikarenakan Infark Miokard (AHA,2012).
Di Indonesia menurut Kemenkes (2013) prevalensi jantung koroner berdasarkan
wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 %, dan berdasarkan
terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi
Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 persen. Sementara prevalensi jantung
koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%),
diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%).
Prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis
dokter atau gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,0 % dan 3,6 % menurun sedikit pada kelompok
umur ≥ 75 tahun. Prevalensi penyakit jantung koroner yang didiagnosis dokter
maupun berdasarkan diagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan (0,5%
dan 1,5%).
Dari hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan di ruangan CVCU RSUP
Dr. M djamil Padang didapatkan bahwa dari 8 orang pasien yang ada di ruang CVCU
5 diantaranya mengalami penyakit STEMI.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Untuk menentukan :
1. DEFINISI
STEMI adalah singkatan dari ST-elevation myocardial infarction. STEMI
adalah salah satu jenis serangan jantung yang sangat serius dimana salah satu arteri
utama jantung (arteri yang memasok oksigen dan darah yang kaya nutrisi ke otot
jantung) mengalami penyumbatan. Elevasi segmen ST adalah kelainan yang
terdeteksi pada EKG 12-lead. Kondisi ini merupakan keadaan darurat medis yang
sangat mengancam jiwa dan biasanya terkait dengan proses penyakit yang disebut
dengan aterosklerosis (Yahya, 2010).
2. PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
Pemeriksaan fisik jantung meliputi :
a. Inspeksi
Voussure Cardiaque Merupakan penonjolan setempat yang lebar di daerah
precordium, di antara sternum dan apeks codis. Kadang-kadang memperlihatkan
pulsasi jantung . Adanya voussure Cardiaque, menunjukkan adanya :
- Kelainan jantung organis
- Kelainan jantung yang berlangsung sudah lama/terjadi sebelum penulangan
sempurna
- Hipertrofi atau dilatasi ventrikel
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, sering kali tampak dengan mudah
pulsasi yang disebut ictus cordis pada sel iga V, linea medioclavicularis kiri.
Pulsasi ini letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2 cm,
dengan punctum maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada
waktu sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar,
kemungkinan adanya pembesaran ventrikel kiri. Pada pericarditis adhesive, ictus
keluar terjadi pada waktu diastolis, dan pada waktu sistolis terjadi retraksi ke
dalam. Keadaan ini disebut ictus kordis negatif.
Pulpasi yang kuat pada sela iga III kiri disebabkan oleh dilatasi arteri
pulmonalis. Pulsasi pada supra sternal mungkin akibat kuatnya denyutan aorta.
Pada hipertrofi ventrikel kanan, pulsasi tampak pada sela iga IV di linea sternalis
atau daerah epigastrium. Perhatikan apakah ada pulsasi arteri intercostalis yang
dapat dilihat pada punggung. Keadaan ini didapatkan pada stenosis mitralis.
Pulsasi pada leher bagian bawah dekat scapula ditemukan pada coarctatio aorta.
b. Palpasi
Palpasi Hal-hal yang ditemukan pada inspeksi harus dipalpasi untuk lebih
memperjelas mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat angkat,
frekuensi, kualitas dari pulsasi yang teraba. Pada mitral insufisiensi teraba pulsasi
bersifat menggelombang disebut ”vantricular heaving”. Sedang pada stenosis
mitralis terdapat pulsasi yang bersifat pukulanpukulan serentak diseubt
”ventricular lift”.
Disamping adanya pulsasi perhatikan adanya getaran ”thrill” yang terasa pada
telapak tangan, akibat kelainan katup-katup jantung. Getaran ini sesuai dengan
bising jantung yang kuat pada waktu auskultasi. Tentukan pada fase apa getaran
itu terasa, demikian pula lokasinya.
c. Perkusi
Perkusi Kegunaan perkusi adalah menentukan batas-batas jantung. Pada
penderita emfisema paru terdapat kesukaran perkusi batas-batas jantung. Selain
perkusi batas-batas jantung, juga harus diperkusi pembuluh darah besar di bagian
basal jantung. Pada keadaan normal antara linea sternalis kiri dan kanan pada
daerah manubrium sterni terdapat pekak yang merupakan daerah aorta. Bila
daerah ini melebar, kemungkinan akibat aneurisma aorta.
d. Auskultasi
Auskultasi Jantung Pemeriksaan auskultasi jantung meliputi pemeriksaan :
- Bunyi jantung
- Bising jantung
- Gesekan pericard
Bunyi Jantung
Untuk mendengar bunyi jantung diperhatikan :
1. Lokalisasi dan asal bunyi jantung
2. Menentukan bunyi jantung I dan II
3. Intensitas bunyi dan kualitasnya
4. Ada tidaknya unyi jantung III dan bunyi jantung IV
5. Irama dan frekuensi bunyi jantung
6. Bunyi jantung lain yang menyertai bunyi jantung.
a) Lokalisasi dan asal bunyi jantung
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut :
o Ictus cordis untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup
mitral
o Sela iga II kiri untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup
pulmonal.
o Sela iga III kanan untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari
aorta
o Sela iga IV dan V di tepi kanan dan kiri sternum atau ujung sternum
untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal.
Tempat-tempat auskultasi di atas adalah tidak sesuai dengan tempat
dan letak anatomis dari katup-katup yang bersangkutan. Hal ini akibat
penghantaran bunyi jantung ke dinding dada.
b) Menentukan bunyi jantung I dan II
Pada orang sehat dapat didengar 2 macam bunyi jantung :
o Bunyi jantung I, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup mitral dan
trikuspidal. Bunyi ini adalah tanda mulainya fase sistole ventrikel.
o Bunyi jantung II, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup aorta dan
pulmonal dan tanda dimulainya fase diastole ventrikel.
Bunyi jantung I di dengar bertepatan dengan terabanya pulsasi nadi
pada arteri carotis.
Intesitas dan Kualitas Bunyi
Intensitas bunyi jantung sangat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sebagai
berikut :
- Tebalnya dinding dada
- Adanya cairan dalam rongga pericard
Intensitas dari bunyi jantung harus ditentukan menurut pelannya atau
kerasnya bunyi yang terdengar. Bunyi jantung I pada umumnya lebih keras
dari bunyi jantung II di daerah apeks jantung, sedangkan di bagian basal bunyi
jantung II lebih besar daripada bunyi jantung I. Jadi bunyi jantung I di ictus
(M I) lebih keras dari M 2, sedang didaerah basal P 2 lebih besar dari P 1, A 2
lebih besar dari A 1.
Hal ini karena :
M 1 : adalah merupakan bunyi jantung akibat penutupan mitral secara
langsung.
M 2 : adalah penutupan katup aorta dan pulmonal yang dirambatkan.
P 1 : adalah bunyi M 1 yang dirambatkan
P 2 : adalah bunyi jantung akibat penutupan katup pulmonal secara langsung
A 1 : adalah penutupan mitral yang dirambatkan
A 2 : adalah penutupan katub aorta secara langsung A 2 lebih besar dari A 1.
Kesimpulan : pada ictus cordis terdengar bunyi jantung I secara
langsung sedang bunyi jantung II hanya dirambatkan (tidka langsung)
Sebaliknya pada daerah basis jantung bunyi jantung ke 2 merupakan bunyi
jantung langsung sedang bunyi I hanya dirambatkan
Beberapa gangguan intensitas bunyi jantung.
- Intensitas bunyi jantung melemah pada :
Orang gemuk
Emfisema paru
Efusi perikard
Payah jantung akibat infark myocarditis
- Intensitas bunyi jantung I mengeras pada:
Demam
Morbus basedow (grave’s disease)
Orang kurus (dada tipis)
- Intensitas bunyi jantung A 2 meningkat pada :
Hipertensi sistemik
Insufisiensi aorta
- Intensitas bunyi jantung A 2 melemah pada :
Stenose aorta
Emfisema paru
Orang gemuk
- Intensitas P 2 mengeras pada :
Atrial Septal Defect (ASD)
Ventricular Septal Defect (VSD)
Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Hipertensi Pulmonal
- Intensitas P 2 menurun pada :
Stenose pulmonal
Tetralogy Fallot, biasanya P 2 menghilang
Intensitas bunyi jantung satu dengan yang lainnya (yang berikutnya) harus
dibandingkan. Bila intensitas bunyi jantung tidak sama dan berubah ubah pada
siklus-siklus berikutnya, hal ini merupakan keadaan myocard yang memburuk.
3. Intensitas Bising
Levine membagi intensitas bising jantung dalam 6 tingkatan :
- Tingkat I : Bising yang sangat lemah, hanya terdengar dengan konsentrasi.
- Tingkat II : bising lemah, namun dapat terdengar segera waktu auskultasi.
- Tingkat III : sedang, intensitasnya antara tingkat II dan tingkat IV.
- Tingkat IV : bising sangat keras, sehingga terdengar meskipun stetoskp
belum menempel di dinding dada.
/HEARTORG/Support/Resources/WhatisCardiovascularDisease/What-
isCardiovascular-Disease_UCM_301852_Article.js p#.WRABldw3PZ4