Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KEGIATAN PENGEMBANGAN PENANGGULANGAN MASALAH GIZI


KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)

Disusun Oleh :

Erina Novita Putri

P07131116012

PRODI D III GIZI JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN YOGYAKARTA

TAHUN 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena
defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran
masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun
beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga
memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Penyakit
akibat KEP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang
energi dan Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KEP
umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda
anak yang mengalami Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi
kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami
Marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit. Adapun
yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam
jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP timbul pada anggota keluarga
rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata
pencaharian. Bentuk berat dari KEP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai
penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem). Menurut perkiraan Reutlinger dan
Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan energi sehingga
tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada ± 0,5
milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan
pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara
normal. Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu
masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan
kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan
pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung
pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak
hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan
petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk
kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta
menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan
kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KEP sangat erat kaitannya dengan
keadaan ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KEP pada balita,
dari data Susenas, seiring sejalan dengan menurunnya jumlah penduduk dengan
pendapatan di bawah garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, anggota rumahtangga dari
kelompok rawan biologis sekaligus memberikan gambaran ketersediaan pangan, dan
rawan biologis memiliki resiko kurang energi protein. Pada tingkat mikro (rumah
tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi yang juga menggambarkan
keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status gizi. UPGK dan Posyandu
merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi
KEP. Peningkatan kedua program ini berdampak positif untuk menurunkan prevalensi
KEP. Meskipun demikian keterlibatan aktif masyarakat, organisasi wanita, LSM dan
perbaikan keadaan ekonomi mempunyai andil yang besar didalam keberhasilan
meningkatkan status gizi balita. Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang
dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita, penyuluhan gizi (KIE),
peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian
kapsul vit.A takaran tinggi, pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan
beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggung jawab saling menopang
untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil
dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu. Keterlibatan masyarakat sangat diharapkan dan
sekaligus menentukan di dalam pembentukan dan pelaksanaan Posyandu. Hal ini
disebabkan keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia dan luasnya. Dengan demikian,
peran kader desa yang telah dilatih serta tokoh masyarakat setempat sangat menentukan
kelangsungan pelaksanaan posyandu.
B. Nama Program Pengembangan
1. Pelatihan kader posyandu tentang pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita
2. Penyuluhan kepada ibu balita mengenai pemberian ASI eksklusif
3. Pelatihan ibu balita mengenai pemberian Makanan Pendamping (MP-ASI)
4. Pelatihan kepada keluarga mengenai pemanfaatan pekarangan rumah untuk ditanami
sumber bahan pangan lokal
5. Pelatihan ibu mengenai pengolahan makanan gizi seimbang dalam lingkungan
keluarga
6. Pelatihan ibu balita mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita

C. Tujuan
1. Meningkatkan kemampuan kader posyandu Dusun Jowah tentang pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan balita dengan pengisian KMS balita
2. Meningkatkan pengetahuan ibu balita di Dusun Jowah tentang pemberian ASI
eksklusif
3. Meningkatkan kemampuan ibu balita di Dusun Jowah tentang pembuatan MP-ASI
balita
4. Meningkatkan kemampuan keluarga Dusun Jowah memanfaatkan pekarangan rumah
untuk ditanami sumber bahan pangan lokal
5. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ibu dalam pengolahan makanan gizi
seimbang di dalam keluarga
6. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita

D. Manfaat
1. Kader posyandu Dusun Jowah mampu melakukan kegiatan pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan balita dengan tepat
2. Ibu balita mampu membuat MP-ASI secara mandiri
3. Ibu balita mampu memberikan PMT dan ASI eksklusif bagi anaknya
4. Keluarga mampu memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami bahan pangan
lokal
BAB II
METODE PELAKSANAAN

A. Lokasi
Kegiatan pengembangan penanggulangan dilakukan di Balai pertemuan Dusun Jowah,
Sidoagung, Godean, Sleman, Yogyakarta

B. Sasaran
Sasaran dalam kegiatan pengembangan penanggulangan ini meliputi tiga kelompok
sasaran. Ketiga kelompok sasaran tersebut meliputi sasaran langsung, sasaran tidak
langsung, dan sasaran di masyarakat
1. Sasaran langsung
Sasaran langsung pada kegiatan ini adalah balita
2. Sasaran tidak langsung
Sasaran tidak langsung adalah keluarga dari balita, meliputi ayah, ibu, ataupun aggota
keluarga lain yang menjadi pengasuh balita tersebut
3. Sasaran di masyarakat
Kelompok sasaran di masyarakat adalah kader di posyandu

C. Jenis Kegiatan Pengembangan


1. Pelatihan kader posyandu tentang pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan balita melalui pengisian KMS dengan tepat
2. Pelatihan ibu balita tentang pembuatan MP-ASI
3. Pelatihan ibu mengolah makanan gizi seimbang di lingkungan keluarga
4. Pelatihan kepada keluarga tentang pemanfaatan pekarangan untuk ditanami
bahan pangan lokal
5. Pelatihan Pembuatan Makanan Tambahan (PMT) untuk balita

D. Pelatihan atau Pemberdayaan


1. Topik
Kegiatan yang dapat dikembangkan untuk penanggulangan masalah gizi KEP
2. Materi
a. Pengertian KEP
Kurang energi protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makan sehari-hari dan atau
gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG). Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua
jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu
masalah gizi di Indonesia.
b. Faktor Penyebab KEP
1. Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP
tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak
yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau
demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya
dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang
dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi
buruk.
2. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya
dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola
pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan
waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang
dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan
dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak langsung
saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan
keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan
dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat
nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan
masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan
keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.
c. Jenis-jenis KEP
1) Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan keadaan kekurangan nutrisi terutama
kekurangan protein. Umumnya keadaan ini terjadi akibat kurangnya asupan
gizi yang sering terjadi di negara berkembang atau pada daerah yang
mengalami embargo politik. Daerah yang sangat terpencil juga merupakan
salah satu faktor terjadinya kondisi kwashiorkor. Individu yang mengalami
kwashiorkor dapat mengalam berbagai macam manifestasi atau gejala antara
lain: penurunan berat badan, penurunan massa otot, diare, lemah lesu, perut
buncit, bengkak pada tungkai, perubahan warna rambut, dan lain-lain. Seperti
yang kita ketahui protein berfungsi dalam pembentukan enzim-enzim penting
dalam tubuh. Kurangnya protein mengakibatkan kurangnya enzim tersebut.
Pada anak kecil seringkali terjadi intoleransi laktosa akibat enzim pencernaan
yang kurang dan hal ini mengakibatkan terjadinya diare pada anak-anak
kurang energi protein. Pada individu yang mengalami keadaan ini, pemberian
makanan haruslah dilakukan.secara bertahap. Zat makanan pertama yang
perlu diberikan adalah karbohidrat karena karbohidrat merupakan sumber
utama pembentukan energi oleh tubuh. Setelah itu barulah lemak dan protein
diberikan.
2) Marasmus
Kekurangan energi marasmus merupakan suatu keadaan kekurangan energi
protein akibat rendahnya asupan karbohidrat. Keadaan ini acapkali ditemukan
dan angka kejadiannya mencapai 49% pada kurang lebih 10 juta anak di
bawah 5 tahun yang mengalami kematian di negara berkembang, sedangkan
di negara maju angka kejadiannya tidak begitu tinggi. Adanya kondisi fisik
yang tidak baik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kekurangan
karbohidrat pada anak-anak. Kondisi fisik tersebut antara lain adalah penyakit
jantung bawaan, retardasi mental, penyakit kanker, infeksi kronis, keadaan
yang mengharuskan anak dirawat lama di rumah sakit. Anak akan tampak lesu
dan tidak bersemangat, diare kronis, berat badan tidak bertambah.
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah anak menderita marasmus dapat
dilakukan melalui pengukuran tebal lipat lemak pada lengan atas, perut.
Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan karena rata-rata anak berusia di bawah
5 tahun memiliki tebal lipat lemak pada lengan atas yang tidak jauh berbeda.
3) Marasmus kwashiorkor
Pada kekurangan energi marasmus kwashiorkor terdapat kekurangan energi
kalori maupun protein. Mengapa ada anak yang jatuh ke dalam keadaan
kwashiorkor, marasmus, atau marasmus kwashiorkor masih belum jelas dan
masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Namun semua
bentuk kekurangan energi protein pada anak-anak ini disebabkan oleh asupan
makanan bergizi yang tidak adekuat atau adanya kondisi fisik tubuh yang
mengakibatkan makanan yang dikonsumsi tidak dapat diserap dan digunakan
oleh tubuh selain adanya keadaan metabolisme yang meningkat yang
disebabkan mungkin oleh penyakit kronis atau penyakit keganasan.

d. Gejala-gejala KEP
1) Kwashiokor
a. Oedema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki
(dorsum pedis )
b. Wajah membulat dan sembab
c. Pandangan mata sayu
d. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit,rontok
e. Perubahan status mental, apatis dan rewel
f. Pembesaran hati
g. Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
h. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
i. Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.
2) Marasmus
a. Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Cengeng rewel
d. Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
e. Perut cekung
f. Iga gambang
g. Sering disertai penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis
atau konstipasi/susah buang air.
3) Marasmik- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS
disertai oedema yang tidak mencolok.(DEPKES RI. 1999). Kekurangan zat
gizi makro ( energi dan protein ) dalam waktu besar dapat mengakibatkan
menurunya status gizi individu dalam waktu beberapa hari atau minggu saja
yang ditandai dengan penurunan berat badan yang cepat.Keadaan yang
diakibatkan oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi kurang
atau gizi buruk.Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi badan) pada
tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun kekurusan pada individu
yang lebih tua dapat mudah dikenali dengan mata . Demikian pula halnya
dengan kasus kekurangan energi berat (marasmus) dan kekurangan protein
berat(kwasiokor) serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali
tanda- tandanya dengan mudah (Soekirman, MPS. 1998)

e. Penanggulangan KEP
Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk
ke rumah sakit dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk
menentukan status gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium.
Penentuan status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :
1) Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian
makanan di rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk
memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI
sampai 3 tahun.
2) Balita KEP sedang;
1) Penderita rawat jalan diberikan nasehat pemberian makanan dan
vitamin serta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya.
2) Penderita rawat inap diberikan makanan tinggi energi dan protein,
dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan
(angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya.
3) Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan dilaksanakan sesuai
pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi :
a) Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita
beradsarkan berat badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya
dalam hitungan bulan pada saat itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung
kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang
berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil
perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan status gizi
dengan KMS atau standar antropometri.
b) Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah
program intervensi bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk
mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar meningkat status gizinya sampai
mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan
yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya sehingga balita KEP
tidak semakin berat kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu
untuk memberikan bimbingan kepada keluarga balita KEP agar mampu
merawat balita KEP sehingga dapat mencapai status gizi yang baik
melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa
dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal
ini diberikan untuk jangka pendek. Suplementasi gizi meliputi pemberian
sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia 6-11 bulan dosis
100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis
200.000 IU); kapsul minyak beryodium, adalah larutan yodium dalam
minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium diberikan 1x
dalam setahun.
Adapun penanggulangan lainnya pada penderita KEP yaitu :
1) Jangka pendek
a. Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di posyandu
b. Rujukan kasus KEP dengan komplikasi penyakit di RSU
c. Pemberian ASI Eklusif untuk bayi usia 0-6 bulan
d. Pemberian kapsul vitamin A
e. Pemberian makanan tambahan (PMP)
f. Pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3 bulan
g. Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita
keluarga miskin usia 6-12 bulan
h. Promosi makanan sehat dan bergizi
2) Jangka menengah
a. Revitalisasi Posyandu
b. Revitalisasi Puskesmas
c. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
3) Jangkah panjang
a. Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
b. Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program
penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan.
1. Alat Bantu
a. Leaflet
b. Food model
c. Tabel bahan penukar
d. Contoh bahan makanan sumber karbohidrat dan protein
2. Perlengkapan
a. Proyektor
b. LCD
c. Laptop
d. Mikrofon
e. Alat memasak : kompor, wajan, panci, sotil, dll
f. Alat menanam : cangkul, sapu lidi, sekop, dll
g. Bahan pangan lokal tinggi karbohidrat, meliputi ubi, jagung, singkong,
kentang, dll
1. Pembinaan
Pembinaan dan pelatihan dengan sasaran kader posyandu dan ibu balita
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan berkompeten di wilayah
kerja desa tersebut. Kegiatan pembinaan tersebut meliputi pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan balita, pembuatan MP-ASI, pembuatan PMT,
pengolahan makanan gizi seimbang di keluarga, dan pemanfaatan pekarangan
rumah untuk tanaman bahan pangan lokal. Kegiatan pembinaan dan pelatihan
tersebut memiliki tujuan agar baik kader posyandu maupun keluarga balita
terutama ibu memiliki kesadaran dan kemampuan melakukan kegiatan
penanggulangan masalah gizi KEP secara mandiri.
2. Evaluasi
Setelah dilakukan pembinaan dan pelatihan, diharapkan baik kader maupun ibu
balita memahami apa yang dimaksud dengan KEP, faktor penyebab KEP, gejala
KEP, dan penanggulangan KEP. Ibu balita diharapkan mampu secara mandiri
mengembangkan kegiatan dalam upaya penanggulangan masalah KEP meliputi
mengolah makanan gizi seimbang, membuat MP-ASI, membuat PMT, dan
memanfaatkan pekarangan untuk ditanami tanaman sumber pangan lokal.
Daftar Pustaka
Edwin, saputra suriadi. 2009. kejadian KEP. fkm UI Jakarta

Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi dari gizi dalam daur kehidupan. Jakarta; buku
kedokteran EG

Syafiq, ahmad. 2011. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta; rajawali pers

Anda mungkin juga menyukai