Keadilan disini meliputi segala bidang kehidupan manusia termasuk
keadilan dari sisi hukum, ekonomi, dan persaksian. Semua manusia akan diperlakukan sama oleh Allah tanpa melihat latar belakang manusia tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah: 8 dan QS. An-Nahl: 90 “Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) “Sesungguhnya Allah (menyuruh) kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Nahl: 90) Keadilan adalah harapan dan fitrah semua manusia, sehingga Allah melarang manusia berlaku tidak adil. Dalam peperangan juga, Islam telah mengajarkan manusia untuk tidak berbuat keji, serta tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan akhlak mulia.
Mewujudkan Kemaslahatan Manusia
Semua ketentuan Al-Qur’an dan sunnah mempunyai manfaat yang hakiki yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia. Al-Qur’an berasal dari Allah Swt. yang sangat mengetahui tabiat dan keinginan manusia, sementara sunnah berasal dari Rasulullah yang mendapat bimbingan langsung dari Allah Swt. Mewujudkan kemaslahatan manusia di dalam Islam dikenal sebagai maqashidus syariah (tujuan syariah). Dari segi bahasa, maqasid syariah berarti maksud dan tujuan adanya hukum Islam yaitu untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan ini ada lima unsur pokok yang harus dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Maqashidus Syariah
Menjaga Menjaga Menjaga Menjaga Menjaga
Harta Keturunan Akal Jiwa Agama
Secara Filosofi, seluruh kegiatan harus
sesuai dengan Maqashidus Syariah
Muamalah Ibadah Hak Khusus Hak Umum Ekonomi
1. Menjaga Agama (Al Muhafazhah ‘alad Dien)
Islam melindungi kebebasan beragama, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 256 “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas yang benar daripada jalan yang salah.” Setiap manusia memiliki kebebasan beragama yang dianutnya. Namun perlu diingat bahwa kita semua akan dimintai pertanggung jawaban di hari akhir kelak atas segala kelakuan yang kita perbuat. Sikap muslim dalam hal ini tidak boleh memaksa, membujuk, dan memberi materi agar seseorang mau masuk islam. Rasulullah hanya mengajarkan agar setiap muslim menyampaikan firman Allah walaupun hanya satu ayat. Untuk menjaga agamanya, Allah mewajibkan manusia untuk melaksanakan salat, zakat, puasa, dan haji. Apabila manusia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan maka di mata Allah akan mendapatkan dosa. Ibadah juga dapat menyucikan jiwa sehingga manusia menjadi sumber kebaikan, atau rahmat bagi alam semesta. Ulil Amri (pemerintah) seharusnya mendukung tujuan menjaga agama ini, dengan cara menegakkan ketetapan Allah yang harus dijalankan oleh penganutnya dalam kehidupan.
2. Menjaga Jiwa (Al Muhafazhah ‘alan Nafs)
Menjaga jiwa adalah menjaga hak untuk hidup secara terhormat agar manusia terhindar dari pembunuhan, penganiayaan, baik fisik maupun psikis, fitnah, caci maki, dan perbuatan lainnya. Allah melarang membunuh, dan bila dilanggar, maka ada hukum qishash (hukuman yang setara dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia), sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya. Akan tetapi, di sisi lain hukum qishash yang keras ini tidak selalu harus dilakukan, karena dapat diselesaikan dengan memaafkan atau meminta untuk membayar diyat (tebusan) sebagaimana tertuang dalam QS. Al- Baqarah: 178 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” Pada ayat lain, Allah Swt. mengatakan bahwa memaafkan kesalahan orang adalah suatu kebaikan. “Balasan perbuatan jahat adalah kejahatan yang seimbang dengannya. Barang siapa yang memaafkan dan berlaku damai, pahalanya ada di tangan Allah Swt.” (QS. Asy-Syura: 40)
3. Menjaga Akal (Al Muhafazhah ‘alan Aql)
Menjaga akal bertujuan agar tidak terkena kerusakan yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi tidak berguna lagi di masyarakat sehingga dapat menjadi sumber keburukan. Akal merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan hewan. Akan tetapi, Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa manusia dapat menjadi lebih hina daripada hewan apabila tidak memiliki moral. Akal membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta yang benar dan yang salah. Bila orang tersebut akalnya sudah rusak maka ia dapat melakukan apa saja yang dia mau tanpa memperdulikan orang di sekitarnya dan lingkungannya, serta dia juga dapat membahayakan dirinya sendiri. Oleh karena itu, harus ada sanksi hukum untuk orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat membahayakan kesehatan akalnya. Sebagaimana Allah Swt. melarang manusia untuk meminum khamr (minuman yang memabukkan) karena dapat merusak akal dan membuat manusia tidak dapat berpikir (QS. Al-Baqarah: 219).
4. Menjaga Keturunan (Al Muhafazhah ‘alan Nasl)
Menjaga keturunan adalah menjaga kelestarian manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pernikahan yang sah, sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga dapat membentuk keluarga yang yang tentram dan saling menyayangi. Seorang anak yang lahir di luar pernikahan, akan mengalami perkembangan mental yang kurang sehat sehingga dirinya tidak berkembang secara utuh. Oleh karena itu, untuk menjaga keturunan, ditetapkan sanksi hukuman yang keras bagi seseorang yang melakukan perbuatan zina. Walaupun hukuman atas zina begitu keras, namun Allah Swt. memberikan solusi berupa pernikahan, di mana syarat dan rukun pernikahan dalam Islam tidak memberatkan bagi muslim yang akan melaksanakannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nur:2 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang- orang yang beriman.”
5. Menjaga Harta (Al Muhafazhah ‘alan Mal)
Menjaga harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah. Aturan syariah mengatur proses perolehan dan pengeluaran harta. Dalam memperoleh harta harus bebas dari riba, judi, menipu, merampok, mencuri, dan tindakan lainnya yang dapat merugikan orang lain, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa:29. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Oleh karena itu, terdapat hukum potong tangan bagi si pencuri. Dengan hukuman yang berat ini orang lain akan tahu bahwa dia adalah mantan pencuri, sekaligus mencegah orang lain untuk mencuri. Namun, hukuman ini tidak diberlakukan kepada mereka yang mencuri karena lapar. Mereka yang lapar seharusnya dijamin oleh pemerinah dan baitul maal melalui pengelolaan zakat/infak/sedekah dari harta orang kaya. Sedangkan untuk penggunanya juga harus sesuai dengan tuntunan syariah, seperti ada kewajiban membayar zakat sesuai ketentuan, tidak boros, dan tidak kikir.