Anda di halaman 1dari 6

Bawalah Ucapan Saudaramu Kepada Makna

yang Benar, Jagalah Persatuan


Posted on 24 Maret 2012

‫سمم ر‬
‫ام الررححمممن الررمحيِمم‬ ‫بم ح‬

Telah dimaklumi bersama bahwa perpecahan sangat tercela dalam agama Islam yang mulia ini,
bahkan perpecahan termasuk ciri-ciri orang kafir dan ahlu bid’ah. Allah ta’ala telah
mengingatkan dalam kitab-Nya yang mulia,

‫ب بممماَ لممدحيمهحم فممرححوُمن‬ ‫شمرمكيِمن مممن الرمذيمن فمررحقوُا مدينمحهحم مومكاَحنوُا م‬


‫شيِمععاَ حكلل مححز ب‬ ‫مولَ تمحكوُحنوُا مممن احلحم ح‬

“Janganlah kamu seperti kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka
sehingga mereka menjadi bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada mereka.” [Ar-Rum: 31-32]

Oleh karena itu, generasi Salaf senantiasa berusaha menjaga persatuan kaum muslimin dengan
menghindari sebab-sebab terjadinya perpecahan, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Sehingga, Salaf dahulu sangat berhati-hati dari semua yang mengandung sebab perpecahan dan
rusaknya hubungan antara sesama muslim.

Sampai Al-Khalifah Ar-Rasyid, Sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu
berkata,

‫ت تمرجمد لممهاَ رفيِ احلمخحيرر ممححمملل‬


‫ك مش رلرا موأمحن م‬
‫ت رمحن أمرخي م‬
‫لم تمظظنن مكلرممةل مخمرمج ح‬

“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap kalimat yang diucapkan saudaramu sedang
engkau masih menemukan kemungkinan makna yang baik dalam ucapannya itu.” [Al-Adab Asy-
Syar’iyah, Ibnu Muflih rahimahullah, (2/418)]

Demikianlah wasiat generasi teladan kita, para sahabat nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam
menyikapi ucapan saudara muslim kita yang masih mengandung kemungkinan benar dan salah,
terlebih jika saudara kita telah menegaskan bahwa yang dia maksudkan adalah makna yang
benar, bukan makna yang salah.
Sebagai contoh, jika saudara kita mengucapkan bahwa, “Hukum karma itu ada dalam Islam.”
Maka ucapan seperti ini mengandung dua makna:

1. Makna yang batil, jika yang dimaksudkan dengan hukum karma adalah yang dipahami
oleh umat Hindu dan Budha yang kafir kepada Allah ta’ala.
2. Makna yang benar, adalah makna yang dipahami oleh kebanyakan orang awam dalam
ilmu tentang Bahasa Indonesia, dimana mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan
karma adalah balasan setimpal atas pelaku kejahatan.

Tidak diragukan lagi makna pertama salah dan makna kedua benar, maka hendaklah Anda
bertanya apa yang dimaksud dalam ucapan saudaramu, apakah makna yang pertama atau kedua.
Kalau memang Anda tidak mau bertanya maka bawalah ucapan saudaramu kepada makna yang
benar sebagaimana bimbingan teladanmu, para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Terlebih jika saudaramu telah menegaskan bahwa karma yang dia maksudkan adalah makna
yang kedua, seperti dalam penegasan berikut ini,

“Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat
kejelekan, ada seseorang dia juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam
ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya,
bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya
itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala,
iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat dosa sesuai dengan amalannya masing-
masing.”

Dan terlebih lagi jika saudaramu adalah seorang penyeru kepada kebaikan, kepada manhaj yang
haq di tengah-tengah ramainya manusia yang menyeru kepada kesesatan, bukankah engkau
memiliki kewajiban untuk menolong saudaramu dengan mengharumkan namanya agar manusia
mengikuti seruannya dan tidak lari dari kebenaran yang ia serukan. Sedangkan Anda memaklumi
bahwa sang penyeru kepada kebenaran tersebut adalah manusia biasa yang mungkin berbuat
kesalahan,

Berikut ini adalah ringkasan nasihat Al-Walid Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah dalam
menyikapi kesalahan para da’i Ahlus Sunnah dalam sebuah risalah yang berjudul, “Uslub An-
Naqd bayna Du’at wat Ta’qib ‘alaihi.”

Beliau rahimahullah berkata,

‫وقد شاَع فيِ هذا العصر أن كثيرا من المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون فيِ أعراض كثير من إخوانهم الدعاَة‬
‫ وربماَ سجلوه فيِ أشرطة‬. ‫ يفعلون ذلك سرا فيِ مجاَلسهم‬. ‫ ويتكلمون فيِ أعراض طلبة العلم والدعاَة والمحاَضرين‬, ‫المشهورين‬
‫ وهذا المسلك مخاَلف لماَ أمر ا به ورسوله من‬, ‫ وقد يفعلونه علنية فيِ محاَضرات عاَمة فيِ المساَجد‬, ‫تنشر على الناَس‬
: َ‫جهاَت عديدة منها‬

Telah tersebar di zaman ini, banyak orang yang menghubungkan dirinya kepada ilmu dan “
dakwah kepada kebaikan, mereka itu telah menodai kehormatan banyak saudara-saudara mereka
para da’i yang terkenal (berjalan di atas kebenaran). Mereka juga menjatuhkan kehormatan para
penuntut ilmu, da’i dan penceramah. Mereka lakukan itu secara rahasia di majelis-majelis
mereka dan bisa jadi mereka merekamnya dan disebarkan kepada khalayak. Bisa jadi juga
perbuatan tersebut mereka lakukan secara terang-terangan dalam ceramah umum di masjid-
masjid. Dan ini adalah sebuah metode yang menyelisihi perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya dari
”.banyak sisi

:Berikut ringkasan pelanggaran dalam perbuatan tersebut

Pertama: Perbuatan tersebut melampaui batas terhadap hak-hak manusia, bahkan manusia yang
paling mulia, yaitu para penuntut ilmu dan da’i yang telah mengerahkan tenaga mereka untuk
membimbing manusia kepada kebaikan, memperbaiki aqidah umat dan manhaj mereka serta
bersungguh-sungguh dalam mengadakan pengajaran, ceramah dan penulisan buku-buku yang
.bermanfaat

Kedua: Perbuatan tersebut memecah belah kesatuan kaum muslimin, terlebih para du’at Ahlus
Sunnah membutuhkan kekuatan dalam persatuan untuk menghadapi ahlul bid’ah dan orang-
.orang kafir

Ketiga: Perbuatan tersebut menolong ahlul bid’ah dan orang-orang kafir dalam menjatuhkan
.Ahlus Sunnah

Keempat: Perbuatan tersebut merusak hati kaum muslimin yang umum maupun yang khusus,
sehingga memunculkan banyaknya kedustaan, ghibah, namimah dan membuka pintu-pintu
keburukan terhadap orang-orang yang lemah jiwanya lagi suka menebar syubhat dan fitnah serta
.menyakiti kaum muslimin

Kelima: Bahwa kebanyakan ucapan yang disebarkan tersebut adalah kedustaan atau sebuah
kalimat yang masih mungkin ditafsirkan kepada makna yang benar sebagaimana ucapan Salaf
.(Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu) di atas

Keenam: Sebagian ulama dan penuntut ilmu yang melakukan ijtihad tidaklah dicela karena
kesalahan mereka dalam berijtihad, akan tetapi hendaklah dinasihati dengan cara yang terbaik
dalam keadaan kita mengingankan agar sampai kepada kebenaran dan menolak tahrisy
(memecah belah) yang dilakukan oleh setan. Jika tidak memungkinkan disampaikan secara
langsung dan sembunyi-sembunyi, dan mengharuskan adanya nasihat secara terbuka maka
.hendaklah dinasihati dengan kata-kata yang paling halus dan lemah lembut

,Pada bagian akhir Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mewasiatkan

‫ أو‬, ‫فاَلذي أنصح به هؤلَءا الخأوُة الذين وقعوُا في أعراض الدعاَة وناَلوُا منهم أن يتوُبوُا إلى ا تعاَلى مماَ كتبته أيديهم‬
, ‫ وشغلهم عن طلب العلم الناَفع‬, ‫تلفظت به ألسنتهم مماَ كاَن سبباَ في إفساَد قلوُب بعض الشباَب وشحنهم باَلحقاَد والضغاَئن‬
. ‫ وتكلف ذلك‬, َ‫ والبحث عماَ يعتبرونه أخأطاَءا للخأرين وتصيِدها‬, ‫وعن الدعوُة إلى ا باَلقيِل والقاَل والكلما عن فلن وفلن‬

Maka yang aku nasihatkan kepada para Ikhwah yang menjatuhkan kehormatan para da’i dan “
melecehkan mereka, untuk segera bertaubat kepada Allah ta’ala dari apa yang mereka tulis
dengan tangan-tangan mereka atau yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka yang telah menjadi
sebab rusaknya hati sebagian pemuda dan membakar mereka dengan kedengkian dan kebencian,
serta menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan dakwah kepada Allah ta’ala
dengan qila wa qaala (desas desus) dan pembicaraan tentang fulan dan fulan, dan membahas apa
”.yang mereka anggap sebagai kesalahan orang lain, mencari-carinya dan berlebihan padanya

Sebagaimana beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah) juga mewasiatkan agar tidak terburu-
buru dalam menulis suatu bantahan sebelum mengembalikannya kepada para orang-orang yang
berilmu. Allah ta’ala telah mengingatkan,

‫سوُمل موإمملى حأوملي احلمحممر ممحنحهحم لممعلمممهح الرمذيمن يم ح‬


‫ستمحنبم ح‬
‫طوُنمهح ممحنحهحم‬ ‫ف أممذاحعوُا بممه مولمحوُ مرلدوهح إمملى الرر ح‬
‫موإممذا مجاَمءاحهحم أمحمرر مممن احلمحممن أممو احلمخحوُ م‬

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [An-Nisa’: 83]

[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
(7/311-314)]

Peringatan: Tidak diragukan lagi yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
dalam wasiat beliau di atas adalah para da’i Ahlus Sunnah, bukan dalam mengkritik ahlul bid’ah
dan orang-orang kafir. Hal ini perlu kami ingatkan sebab seringkali ahlul bid’ah dari kalangan
hizbiyun bertameng dengan nasihat ini sebagaimana mereka juga bertameng dengan kitab
Rifqon Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah untuk menyalahkan Ahlus Sunnah
yang mengkritik da’i-da’i mereka yang sesat.

Bimbingan Ulama dalam Menasihati Kesalahan Orang-orang yang Berilmu

Terlebih lagi jika ternyata orang yang engkau jatuhkan kehormatannya itu adalah seorang yang
berilmu maka ketahuilah, tidak ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang
yang berilmu melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus
Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah memuliakan
orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan kehormatan mereka.

Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-
orang yang berilmu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

‫ لمن ؟ قاَل ل ولكتاَبه ولرسوُله ولئمة المسلميِن وعاَمتهم‬: َ‫الدين النصيِحة قلنا‬

“Agama itu adalah nasihat,” Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin (ulama dan pemerintah) kaum muslimin
dan seluruh kaum muslimin.” [HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu]

Adapun yang dimaksud dengan nasihat terhadap orang-orang yang berilmu adalah,

1. Mencintai mereka
2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran

3. Membela kehormatan mereka

4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN

5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia

Tahapan Dalam Menyikapi Kesalahan Orang yang Berilmu

Seorang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi
kesalahan orang yang berilmu dan orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang
yang berilmu, kami ringkas dengan sedikit perubahan dari penjelasan Faqihul ‘Asrh
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,

TAHAPAN PERTAMA: Melakukan tatsabbut [pemastian] berita tentang kesalahan tersebut


kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu
secara dusta.

TAHAPAN KEDUA: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut
benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di
awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti
lebih jauh menjadi jelas bahwa hal itu adalah kebenaran.

TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau
untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah
suatu kebenaran.

TAHAPAN KEEMPAT: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu
kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan
adalah:

 MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN,
lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin
engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
 Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau
memiliki hak untuk munaqosyah [menyampaikan pendapatmu], akan tetapi dengan
ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan
kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
 Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta
menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap
‘ujub [kagum terhadap diri sendiri] dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah
Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh
dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat
yang lainnya kecil di hadapannya.
[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142]

Anda mungkin juga menyukai