Anda di halaman 1dari 7

Riba dalam Timbangan Syariat

(Disampaikan oleh dr. M Faiq Sulaifi dalam kajian RSMB Dzulhijjah 1435 H)

Pengertian Riba
Secara bahasa, riba berarti tambahan atau bertambah.1 Allah ta‟ala berfirman:

ٍ‫ًَرَشٍَ األَ ْسضَ ىَبيِذَحً فَِئرَا أََضَْننَب ػََهْيَب انًَْبء ا ْىزَضَدْ ًَسَثَذْ ًَأَََجَزذْ يٍِ كُمِ َصًْجٍ َثيِْح‬

“Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan bertambah suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5).

Sedangkan menurut istilah fikih, riba adalah tambahan dalam hal tertentu. Dan ini meliputi 3
hal, yaitu: riba al-Qardh, riba an-Nasi‟ah dan riba al-Fadhel.2

Pengharaman Riba
Riba diharamkan secara bertahap dalam Islam.3 Tahap pertama adalah firman Allah:

ٌٌَُ‫ضؼِف‬
ْ ًُْ‫ًَيَب آَرْزُى يٍِ سِثًب ِنَْشْثٌَُ فِِ َأْيٌَالِ اننَبطِ فَالَ َّشْثٌُ ِػنْذَ اهللِ ًَيَب آَرْزُى يٍِ صَكَبحٍ رُ ِشّذًٌَُ ًَخْوَ اهللِ فَأًَُنئِكَ ىُىُ ان‬

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39).

Tahap kedua adalah firman Allah:

‫عجِْمِ انهَوِ َكثِريًا () ًََأخْزِىِىُ انشِثَب ًَقَذْ َُيٌُا‬


َ ٍَْ‫َفِجظُهْىٍ يٍَِ انَزٍَِّ ىَبدًُا حَ َشْينَب ػََهْيِىْ َطِْجَبدٍ ُأحِهَذْ َنيُىْ ًَثِصَذِىِىْ ػ‬

ِ‫َػنْوُ ًَأَكِْهيِىْ َأْيٌَالَ اننَبطِ ثِبنْجَبطِم‬

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. An-Nisa‟: 160-161).

Tahap ketiga adalah firman Allah:

1
Lisanul Arab li Ibni Manzhur: 15/304
2
Shahih Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu: 4/290.
3
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu: 5/396.

1
ٌٌَُ‫ضؼَبفًب يُضَبػَفَخً ًَارَقٌُا انهَوَ نَؼَهَكُىْ رُفِْهح‬
ْ َ‫َّب أَُّيَب انَزٍَِّ آ َينٌُا نَب رَأْكُهٌُا انشِثَب أ‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran:
130).

Tahap keempat adalah firman Allah:

ِ‫ّشْطَبٌُ ِيٍَ انًَْظ‬


َ ‫انَزٍَِّ َّأْكُهٌٌَُ انشِثَب نَب َّقٌُيٌٌَُ إِنَب كًََب َّقٌُوُ انَزُِ ََّزخََجطُوُ ان‬

“Orang-orang yang memakan riba tidaklah bangun (dari alam kubur) kecuali seperti
bangunnya orang yang kerasukan syetan.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Riba al-Qardl atau Riba Dain


Riba Dain adalah riba dalam utang piutang. Macam pertama adalah seperti penjelasan Zaid
bin Aslam (ulama tabi‟in) -ketika menerangkan tafsir QS. Ali Imran ayat 130 di atas-: “Riba
di masa Jahiliyah adalah jika seseorang (si A) berhutang (semisal 1 juta, pen) kepada orang
lain (si B) sampai tempo tertentu. Ketika jatuh tempo si B berkata: “Kamu melunasi
hutangmu atau hutangmu menjadi 1,5 juta.?” Jika ia berhasil melunasi, maka tetap 1 juta dan
jika tidak, maka hutangnya menjadi 1,5 juta.”4

Sedangkan macam kedua adalah memberikan pinjaman atau hutang dengan syarat
pemberian manfaat atau sogokan dari pihak yang berhutang, kecuali jika si penghutang
sudah terbiasa memberikan sesuatu kepada si pemberi pinjaman sebelum terjadinya akad
utang-piutang.5 Dasar dari keterangan ini adalah hadits:

‫ فَُيٌَ سِثًب‬,ً‫كُمُ قَ ْشضٍ خَشَ َينْ َفؼَخ‬

“Setiap pemberian hutang (atau pinjaman) yang (bertujuan, pen) menarik manfaat, maka itu
termasuk riba.”6

Meskipun hadits di atas itu dhaif, para ulama telah bersepakat (ijma‟) untuk melaksanakan
isinya.7 Dan juga masih dalam makna QS. Ali Imran ayat 130.

Apabila tidak dipersyaratkan, maka tidak termasuk riba. Dasarnya adalah bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pernah berhutang seekor unta muda kepada seseorang. Beliau

4
Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 4/313, Syarh az-Zurqani alal Muwaththa’: 3/409.
5
Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar: 5/288
6
HR. Al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11252 (5/350), al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya: 437 (1/500). Di
dalam sanadnya terdapat Sawwar bin Mush’ab. Ia adalah matrukul hadits sehingga hadits ini dilemahkan oleh
al-Hafizh dalam at-Talkhish: 3/90.
7
Al-Mubdi’ Syarhul Muqni’: 4/97, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj: 19/233.

2
berkata: “Jika telah datang unta-unta sedekah, maka kami akan membayar untamu.” Ketika
saatnya mengembalikan beliau tidak mendapatkan unta muda tetapi yang ada hanyalah unta-
unta dewasa yang besar. Maka beliau membayar hutang unta muda tersebut dengan unta
dewasa yang besar. Beliau bersabda:

ً‫غُنيُىْ قَضَبء‬
َ ‫َأ ْػطِوِ إَِّبهُ فَئٌَِ ِخَْبسَ اننَبطِ أَ ْح‬
“Berikan unta dewasa tersebut kepadanya karena sebaik-baik manusia adalah orang yang
paling baik dalam membayar hutang.”8

Termasuk dalam kategori riba al-Qardh, mengambil keuntungan atau menggunakan barang
gadai dalam aqad al-Qardh.9 Kecuali jika barang gadai tersebut berupa binatang ternak,
maka boleh dinaiki dan diambil susunya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ُ‫انشَ ْىٍُ ُّشْ َكتُ ِثنَفَ َقزِوِ ِإرَا كَبٌَ يَشْىًٌَُب ًَنجٍَُ انذَسِ ُّّشْشَةُ ِثنَفَ َقزِوِ ِإرَا كَبٌَ يَشْىًٌَُب ًَػَهََ انَزُِ َّشْ َكتُ ًَّّشْشَةُ اننَفَقَخ‬

“Binatang yang digadaikan boleh ditunggangi dengan nafkahnya jika statusnya sebagai
barang gadai. Dan susu binatang yang digadaikan boleh diminum jika statusnya sebagai
barang gadai. Dan wajib atas Al-Murtahin yang menunggangi dan meminum susu binatang
gadai untuk menafkahi binatang tersebut.”10

Riba al-Fadhel dan Riba an-Nasi’ah

Riba al-Fadhel adalah jual beli barang ribawi dengan yang semisalnya dengan tambahan
selisih. Sedangkan pengertian Riba an-Nasi’ah adalah jual beli barang ribawi dengan
jenisnya atau jenisnya lainnya -yang berbeda takaran dan timbangannya- (dalam satu illat,
pen) dengan cara tempo atau tidak tunai.11

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

ٍ‫غٌَاء‬
َ ‫عٌَاءً ِث‬
َ ٍ‫ّشِؼْشُ ِثبنّشَِؼْشِ ًَانزًَْشُ ثِبنزًَْشِ ًَانًِْهْحُ ثِبنًِْهْحِ يِثْالً ثًِِثْم‬
َ ‫انزَىَتُ ثِبنزَىَتِ ًَانْفِضَخُ ثِبنْفِضَخِ ًَاْنجُشُ ثِبْنجُشِ ًَان‬

ٍ‫َّذًا ِثَْ ٍذ فَِئرَا ا ْخزَهَفَذْ ىَزِِه اْ َأل ْخنَبطُ َفِجْؼٌُا كَْفَ شِْئزُ ْى ِإرَا كَبٌَ َّذًا ِثَْذ‬

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya‟ir dengan sya‟ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan

8
HR. Al-Bukhari: 2271, Muslim: 3002, Abu Dawud: 2904, at-Tirmidzi: 1239, an-Nasai: 4538 dan Ibnu Majah:
2276.
9
Al-Mughni li Ibni Qudamah: 9/243 dan as-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ala Hada’iqil Azhar: 618
10
HR. Al-Bukhari: 2329, At-Tirmidzi: 1175, Abu Dawud: 3059 dan Ibnu Majah: 2431 dari Abu Hurairah
radliyallahu anhu
11
Shahih Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu: 4/291.

3
tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan
syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”12

Dalam hadits di atas terdapat 2 golongan illat. Golongan emas dan perak dengan illat uang
atau alat tukar. Sedangkan golongan gandum burr, gandum syair, kurma dan garam dengan
illat makanan yang dapat ditakar dan dapat disimpan.13

Maka untuk jual beli barang yang sejenis seperti jual beli emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum haruslah semisal atau sama, dan juga harus kontan. Jika tidak
sama terjadilah Riba al-Fadhel. Dan jika tidak tunai atau tidak kontan, maka terjadilah Riba
an-Nasi’ah.

Untuk jual beli barang yang berbeda jenis tetapi masih satu illat, seperti jual beli emas dengan
perak, dolar dengan emas, gandum dengan beras, jagung dengan kurma, maka tidak harus
sama atau setakar, tetapi tetap harus kontan. Jika tidak kontan, maka termasuk Riba an-
Nasi’ah.

Jika jual beli barang yang berbeda illat, seperti jual beli emas dengan gandum, perak dengan
kurma, rupiah dengan beras, maka tidak terjadi Riba an-Nasi‟ah maupun Riba al-Fadhel.
Aisyah radliyallahu anha berkata:

ٍ‫شزَشٍَ يٍِْ َّيٌُدٍُِ َطؼَبيًب إِنََ َأخَمٍ ًَسَ َىنَوُ دِ ْسػًب نَوُ ِيٍْ حَذِّذ‬
ْ ‫أٌََ سَعٌُلَ انهَوِ صَهََ انهَوُ ػََهْوِ ًَعَهَىَ ا‬

“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah membeli makanan (gandum) dari Yahudi
secara tempo (tidak kontan). Dan beliau menggadaikan baju perang beliau yang terbuat dari
besi.”14

Hadits di atas menunjukkan bolehnya jual beli makanan (semisal gandum, beras dsb) dengan
alat tukar (emas, perak, rupiah dsb) secara tidak kontan.15 Yang demikian karena mata uang
di jaman beliau adalah dinar emas dan dirham perak.

Jual Beli uang atau Sharf

Sharf disebut juga dengan Money Changer, yang meliputi jual beli emas-emas, emas-perak,
perak-perak, Fulus-Dinar, Rupiah-Fulus, Rupiah-Dirham dan sebagainya. Sedangkan ulama
Malikiyah memiliki istilah khusus yaitu Al-Murathalah dan Al-Mubadalah untuk pertukaran
mata uang sejenis seperti emas-emas dan perak-perak.16 Untuk jual beli uang sejenis haruslah

12
HR. Muslim: 2970, Abu Dawud: 2907 dan Ahmad: 21668 dari Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu anhu.
13
Asy-Syarhul Mumti’ ala Zadul Mustaqni’: 8/397.
14
HR. Al-Bukhari: 2049, Muslim: 3009, an-Nasai: 4530 dan Ibnu Majah; 2427.
15
Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam: 371.
16
Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Bathal: 6/202

4
sama dan tunai, sedangkan untuk uang yang berlainan jenisnya tidak harus sama tetapi tetap
harus tunai.

Al-Imam Rabi‟ah Ar-Ra‟yi Faqihul Madinah (ulama tabi‟in) rahimahullah menyatakan:


“Segala batangan logam yang diciptakan oleh Allah, maka didudukkan sebagai barang
dagangan biasa. Maka yang halal baginya adalah apa yang halal bagi barang dagangan yang
lainnya. Dan yang haram baginya adalah apa yang haram bagi barang dagangan yang lainnya,
kecuali batangan emas dan perak.”17

Fadlalah bin Ubaid Al-Anshari radliyallahu anhu berkata:

‫ِ َػّشَشَ دِّنَبسًا‬
ْ َ‫شزَشَّْذُ ٌَّْوَ خَْجَشَ قِهَبدَحً ثِبْثنَِْ َػّشَشَ دِّنَبسًا فِْيَب رَىَتٌ ًَخَشَصٌ فَفَصَْهُزيَب َف ٌَخَذْدُ فِْيَب أَكْثَشَ يٍِْ اثْن‬
ْ‫ا‬

َ‫فَزَكَشْدُ رَِنكَنِهَنجِِِ صَهََ انهَوُ ػََهْوِ ًَعَهَىَ فَقَبلَ نَب ُرجَبعُ َحزََ رُفَصَم‬

“Aku membeli kalung pada waktu perang Khaibar seharga 12 Dinar. Di dalam kalung
tersebut terdapat emas dan permata. Kemudian aku memisah-pisah kalung itu (antara emas
dan permatanya, pen) dan ternyata emasnya lebih berat dari uang 12 Dinar (emas). Maka aku
menceritakan perkara itu kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata: “Kalung
emas tersebut tidak boleh dijual kecuali telah dipisah-pisah terlebih dahulu.”18

Maka dalam kegiatan Sharf, kita dilarang mengadakan akad „Salam‟ (pemesanan), seperti
pesan perhiasan emas, pesan emas ANTAM, pesan uang dollar atau real dengan
menyerahkan sejumlah uang muka rupiah karena termasuk Riba an-Nasi‟ah.

Tukar Tambah Barang Ribawi

Di antara bentuk Riba al-Fadhel yang menyebar luas adalah jual beli tukar tambah barang-
barang ribawi. Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata:

ِ‫ع ٌْلُ اهللِ صَهََ اهللُ ػََهْو‬


ُ َ‫ فَقَبلَ س‬،ٍ‫ َفدَبءَهُ ِثزًَْشِ ُخنَْت‬،َ‫عٌْلَ اهللِ صَهََ اهللُ ػََهْوِ ًَعَهَىَ َسخُهًب ػَهََ خَْجَش‬
ُ َ‫عَزؼًَْمَ س‬
ْ‫ا‬

،ٍِْ‫ إََِب َننَ ْأخُزُ انصَبعَ يٍِْ ىَزَا ثِبنصَب َػ‬,ِ‫عٌْلَ اهلل‬
ُ َ‫ ًَاهللِ َّب س‬,َ‫ال‬: َ‫ (( أَكُمُ رًَْشِ َخْجَشَ ىَكَزَا ؟ )) فَقَبل‬: َ‫ًَعَهَى‬

ِ‫ ثُىَ اْثزَغْ ثِبنذَسَاىِى‬،ِ‫ ثِغْ اْندًَْغَ ثِبنذَسَاىِى‬,ْ‫ ((فَالَ رَ ْفؼَم‬: َ‫ع ٌْلُ اهللِ صَهََ اهللُ ػََهْوِ ًَعَهَى‬
ُ َ‫ فَقَبلَ س‬.ِ‫ًَانصَب َػٍِْ ثِبنثَالَثَخ‬

17
Al-Mudawwanah Al-Kubra: 3/72.
18
HR. Muslim: 2979, At-Tirmidzi: 1176, An-Nasai: 4497.

5
ٌَْ‫ ًنَ ِكٍْ ِإرَا أَ َسدْدَ أ‬،ْ‫ الَ رَفْؼَم‬،‫ َأًَهْ َػٍَْ انشِثَب‬: ((َ‫ع ٌْلَ اهللِ صَهََ اهللُ ػََهْوِ ًَعَهَى‬
ُ َ‫ قَبلَ س‬: ٍ‫ُخَنْجًب)) ًَفِِ ِسًَاَّخ‬

ِ‫شزَشِ ثِو‬
ْ ‫ّشزَشِ َُ انزًَْ َش َفِجؼْوُ ِثَجْغٍ آخَشَ ثُىَ ا‬
ْ ‫َر‬

“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi


pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang
menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar
demikian ini?” Ia menjawab: “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu
sha‟ dari kurma ini dengan dua sha‟ (kurma lainnya), dan dua sha‟ dengan tiga sha‟.”
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu lakukan, juallah kurma
yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma
dengan mutu terbaik tersebut.“ Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “Itulah riba yang sebenarnya, janganlah kamu lakukan. Akan tetapi, bila
kamu hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang
mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya
belilah kurma yang bagus.”19

Cek atau Suftajah

“Suftajah adalah menghutangkan uang dengan tujuan mendapatkan keamanan dari bahaya
perjalanan (dirampok, hilang dan sebagainya, pen). Seolah-olah ia (kreditur atau pemilik
tagihan) memindahkan bahaya yang dikhawatirkan, kepada si penghutang (debitur). Maka ini
termasuk makna „Hiwalah‟.”20

Pada akad ini kreditur (pemilik tagihan) tidak boleh mempersyaratkan faedah dari debitur
(peminjam). Pada „Suftajah‟ ini kreditur mempersyaratkan adanya suatu faedah yaitu
keamanan uangnya dari perampokan dan sebagainya. Inilah alasan pihak yang melarang
„Suftajah‟, yaitu termasuk Riba Dain. Akan tetapi sebagian ulama memberikan keringanan
untuk melakukan akad „Suftajah‟ dengan alasan bahwa akad ini tidak hanya
menguntungkan kreditur (pemilik tagihan) saja tetapi kedua-duanya mendapatkan
manfaat. Di antara mereka adalah Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma, Ibnu Sirin dan
sebagainya.21

Dasar pembolehannya dari atsar Salaf adalah cerita al-Imam Atha‟ bin Abi Rabah: “Bahwa
Abdullah bin Az-Zubair mengambil beberapa Dirham dari suatu kaum (kreditur, pen) di
Makkah. Kemudian ia menuliskan (semacam cek atau bilyet, pen) dengan beberapa Dirham
tersebut kepada Mush‟ab bin Az-Zubair di Iraq. Kemudian kaum tersebut mengambil
beberapa Dirham tadi dari Mush‟ab berdasarkan tulisan tersebut. Kejadian ini ditanyakan

19
HR. Al-Bukhari: 2050, Muslim: 2983 dan an-Nasai: 4477.
20
Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 21/253
21
Lihat Al-Mughni li Ibni Qudamah: 9/104.

6
kepada Ibnu Abbas dan beliau menjawab: “Tidak apa-apa yang demikian.” Beliau ditanya
lagi: “Bagaimana jika mereka mengambil Dirham di Iraq yang lebih baik dari Dirham
mereka?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa yang demikian jika mereka menimbang yang
sama dengan Dirham mereka.”22

Praktek „Suftajah‟ pada jaman ini dilakukan pada transaksi transfer antar rekening atau
transfer melalui cek yang disebut dengan istilah „Al-Hiwalah Al-Mashrafiyah‟. Hanya saja
pada Al-Hiwalah Al-Mashrafiyah ini sudah tidak ada lagi Riba Dain karena faedah
keamanan uang dari perampokan dan sebagainya sudah dibayar dengan biaya transfer
oleh kreditur. Adapun materi yang ditransfer, apakah berupa uang kertas, Dinar ataukah
Dirham maka hukumnya sama saja. Wallahu a‟lam.

Sangsi Perbuatan Riba


Jabir radliyallahu anhu berkata:

ٌ‫ ىُىْ عٌََاء‬:َ‫ ًَقَبل‬،ِ‫ع ٌْلُ اهللِ صَهََ اهللُ ػََهْوِ ًَعَهَىَ آكِ َم انشِثَب ًَ ُيؤْكِهَوُ ًَكَبِرجَوُ ًَشَبىِذَّْو‬
ُ َ‫َن َؼ ٍَ س‬

“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi riba,
juru tulisnya dan dua saksinya. Beliau mengatakan: „Mereka itu sama‟.”23

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

َ‫ ًََقزْمُ اننَفْظِ اَنزِِ حَشَوَ اهللُ إِال‬،ُ‫غحْش‬


ِ ‫ ًَان‬،ِ‫ انّشِّشْبُ ثِبهلل‬:َ‫عٌْلَ اهللِ ؟ قَبل‬
ُ َ‫ ًَيَب ىٍَُ َّب س‬:‫ قُْهنَب‬.ِ‫غجْغَ انْ ًٌُْثِقَبد‬
َ ‫ا ْخَزنِجٌُا ان‬

ِ‫د انًُْ ْؤِينَبد‬


ِ َ‫د اْنغَبفِال‬
ِ ‫صنَب‬
َ ْ‫ف انْ ًُح‬
ُ ْ‫ ًَقَز‬،ِ‫ ًَانَزٌَنِِ ٌََّْو انضَ ْحف‬،ِ‫ ًَأَكْمُ يَبلَ اْنَِْزْى‬، َ‫ ًَأَكْ ُم انشِثب‬،ِّ‫ثِبْنحَق‬

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Kami bertanya: “Apakah tujuh
perkara itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah (berbuat syirik),
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq,
memakan (mengambil) riba, memakan harta anak yatim, berpaling/lari pada hari bertemunya
dua pasukan (pasukan muslimin dengan pasukan kafir), dan menuduh wanita baik-baik yang
menjaga kehormatan dirinya (dengan tuduhan) berzina.”24

Semoga Allah menghindarkan kita dari bahaya riba. Amien. Wallahu a‟lam.

22
Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 11266 (5/352). Al-Allamah Al-Albani menyatakan: “Rijalnya tsiqat,
hanya saja Hajjaj bin Artha’ah adalah mudallis dan ia membawakan periwayatan ‘an ‘anah.” Lihat Irwa’ul
Ghalil: 5/238.
23
HR. Muslim: 2995, at-Tirmidzi: 1127, Abu Dawud: 2895.
24
HR. Al-Bukhari: 2560, Muslim: 129, Abu Dawud: 2490, an-Nasai: 3611 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu.

Anda mungkin juga menyukai