Oleh: dr. M Faiq Sulaifi dalam kajian al-Islam di RSMB Muharram 1437
Belakangan ini, demam batu akik melanda negeri ini. Fenomena tersebut disiarkan media
massa secara masif baik media cetak maupun elektronik. Di mana-mana orang bicara batu
akik, tentang keindahannya dan juga tentang khasiatnya. Di kedai atau kantor, batu akik juga
menjadi obrolan utama bagi banyak orang bahkan batu akik juga dijadikan sebagai hadiah
atau buah tangan seseorang yang baru pulang dari daerah orang. Jadilah batu akik sebagai
primadona dalam masyarakat yang trendnya semakin meningkat. Yang memburu dan
memakai batu akik bukan hanya orang dewasa saja, tetapi remaja dan anak-anak juga
meminatinya bahkan kaum hawa juga tidak ketinggalan.
شيًب
ِ َوَبنَ خَبحَمُ رَسٌُيِ الّلَوِ صَّلََ الّلَوُ عََّليْوِ ًَسَّلَمَ مِهْ ًَرِقٍ ًَوَبنَ فَّصُوُ َحب
“Adalah cincin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terbuat dari perak. Adalah mata
cincinnya berasal dari Habasyi.”1
An-Nawawi menyatakan bahwa maksudnya adalah batu Habasyah (Etiopia) yang berupa batu
onyx atau batu akik yang berasal dari pertambangan di Habasyah.2
Kita tidak boleh meyakini adanya khasiat magis pada batu akik seperti untuk pagar diri,
menarik wanita, penglaris, penyehat badan dan sebagainya. Dan ini termasuk kategori
mengalungkan jimat dan termasuk kesyirikan. Rasulullah shallallahu alahi wasallam
bersabda:
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyatakan dalam Kitabut Tauhid:
“Bab: Termasuk Syirik, Menggantungkan Lingkaran atau Benang untuk Mencegah atau
Menghilangkan Bala’.”5
Dan Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu pernah mendatangi batu Hajar Aswad lalu
beliau menciumnya dan berkata:
َإِوِي َأعّْلَمُ أوَهَ َحجَزٌ لَب حَضُزُ ًَلَب َحنْفَعُ ًََلٌْلَب أَوِي رَأَيْجُ الَنبِيَ صَّلََ الّلَوُ عََّليْوِ ًَسَّلَمَ يُ َمبُِّلهَ مَب لَبَّْلخُه
“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu yang tidak bisa memberikan
bahaya dan tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi
shallallahu alaihi wasallam menciummu, maka aku pun tidak akan menciummu.”6
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarangku memakai cincin di jari ini dan ini.
Kemudian ia mengisyaratkan kepada jari tengah dan jari setelahnya.”7
Dalam riwayat at-Tirmidzi:
Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah bahwa larangan ini adalah makruh tanzih.9 Dan
yang paling dianjurkan adalah memakai cincin di jari kelingking.
4
HR. Ahmad: 16781 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7513 (4/243) dari Uqbah bin Amir al-Juhani. Di-shahih-
kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 6394.
5
Kitabut Tauhid: 17.
6
HR. Al-Bukhari: 1494, an-Nasai: 2889, Abu Dawud: 1597 dan Ibnu Majah: 2934.
7
HR. Muslim: 3911.
8
HR. At-Tirmidzi: 1708 dan ia berkata hasan shahih, an-Nasai: 5116. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih
wa Dhaif Sunan at-Tirmidzi: 1789.
9
Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/71.
2
ٍَخنّْصِزِ مِهْ يَدِهِ اْلُيّسْز
ِ وَبنَ خَبحَمُ الَنبِيِ صَّلََ الّلَوُ عَّلَيْوِ ًَسَّلَمَ فِي ىَذِهِ ًَأَشَبرَ إِلََ اْل
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan cincin di sini.” Anas berisyarat pada
jari kelingking di tangan sebelah kiri.10
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa yang sesuai sunnah, cincin
pria diletakkan di jari kelingking. Sedangkan untuk wanita, cincin tersebut diletakkan di jari
mana saja.”11
Apakah cincin itu di tangan kanan atau di kiri? Maka an-Nawawi menjawab: “Adapun
memakai cincin di kanan ataukah di kiri, maka kedua-duanya terdapat hadits shahih yang
memperbolehkannya.”12
Kerangka cincin akik yang dipakai oleh kaum lelaki tidak boleh berasal dari emas. Bara’ bin
Azib radliyallahu anhu berkata:
ِسَخبْزَق
ْ ِسبْعٍ وَيَبوَب عَهْ خَبحَمِ الذَىَبِ أًَْ لَبيَ حَّلْمَتِ الذَىَبِ ًَعَهْ اْلحَزِيزِ ًَالْإ
َ َْويَبوَب الَنبِيُ صَّلََ الّلَوُ عََّليْوِ ًَسَّلَمَ عَه
“Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kami (kaum lelaki, pen) dari 7 (tujuh) perkara;
beliau melarang kami dari memakai cincin atau gelang emas, memakai baju dari sutera halus
dan sutera kasar, memakai karpet sutera merah, memakai baju Qiss dan menggunakan wadah
perak.”13
Menurut al-Imam Zainuddin al-Iraqi rahimahullah bahwa pengharaman cincin emas bagi
kaum laki-laki merupakan kesepakatan (ijma’) ulama’.14
Diperbolehkan menuliskan atau mengukir nama Allah ta’ala pada mata cincin akik dan
sebagainya. Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu:
10
HR. Muslim: 3909.
11
Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/71.
12
Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/71.
13
HR. Al-Bukhari: 5414 dan Muslim: 3848.
14
Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib: 4/181.
3
أَنَ الَنبِيَ صَّلََ الّلَوُ عََّليْوِ ًَسَّلَمَ اَحخَذَ خَبحَمًب مِهْ فِضَتٍ ًَوَمَشَ فِيوِ ُمحَمَدٌ رَسٌُيُ الّلَوِ ًَلَبيَلِّلنَبسِ إِوِي اَحخَذْثُ خَبحَمًب
ِشجُ فِيوِ ُمحَمَدٌ رَسٌُيُ الّلَوِ فَّلَب َينْمُشْ َأحَدٌ عَّلََ وَمْشِو
ْ َِمهْ فِضَتٍ ًَوَم
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menggunakan cincin dari perak dan memahat
tulisan Muhammad Rasulullah pada mata cincin tersebut. Beliau bersabda kepada manusia:
“Sesungguhnya aku menggunakan cincin dari perak dan mengukirnya dengan tulisan
‘Muhammad Rasul Allah’. Maka tidak boleh seorang pun mengukir cincinnya dengan
tulisan tersebut.”15
Adapun mengukir dengan gambar makhluk bernyawa atau salib, maka itu dibenci. Aisyah
radliyallahu anha berkata:
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidaklah meninggalkan sesuatu yang mengandung
‘tashlib’ di dalam rumah beliau, kecuali beliau menghapusnya.”18
Kata ‘tashlib’ dalam hadits di atas mempunyai dua (2) makna; pertama: adalah gambar salib
seperti salib orang nasrani, kedua: adalah ‘tashlib’ dengan makna ‘tashwir’ yaitu gambar
makhluk bernyawa seperti binatang dan manusia.19
15
HR. Muslim: 3901, an-Nasai: 5113 dan at-Tirmidzi: 1667.
16
Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/68.
17
Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/68.
18
HR. Al-Bukhari: 5496.
19
Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud: 11/138, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 13/232.
4
“Pakailah cincin dari akik, karena ia bisa mengilangkan kemiskinan. Dan tangan kanan lebih
pantas untuk dihiasi.”
Al-Imam Ibnu Adi rahimahullah berkata: “Ini adalah hadits batil. Husain bin Ibrahim majhul
(tidak dikenal).”20 Bahkan adz-Dzahabi menyatakan hadits palsu.21
Hadits kedua:
Di dalamnya sanadnya ada perawi yang bernama Ya’qub bin al-Walid al-Madani. As-Suyuthi
rahimahullah berkata: “Ya’qub adalah pendusta dan pemalsu hadits.”22
Hadits ketiga:
Al-Imam Ibnu Thahir al-Maqdisi berkata: “Di dalam sanadnya terdapat Abu Bakar bin
Syuaib. Ia meriwayatkan dari Malik dengan hadits yang bukan darinya. Tidak halal berhujjah
dengannya.”23
20
Al-Ilalul Mutanahiyah fil Ahadits al-Wahiyah: 2/693.
21
Al-Maqashidul Hasanah: 252.
22
Al-Lali’ul Mashnu’ah fil Ahaditsil Maudlu’ah: 2/230.
23
Ma’rifatut Tadzkirah: 61.
24
Al-Asrarul Marfu’ah fil Ahaditsil Maudhu’ah: 158
5