Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TOKSIKOLOGI

“PENYALAHGUNAAN HEROIN”

Oleh :

1. Anggit Pramita Sari (1801046)


2. Rike Nur Safitri (1801070)
3. Rizky Ariska Ningsih (1801072)
4. Widia Wulandari (1801077)
5. Wisnu Wati (1801078)
Kelas : S1-3B

DOSEN PENGAMPU:

Rahmayati Rusnedy, M.Si.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat nya kami dapat menyelesaikan ini dengan baik. Makalah ini disusun sebagai
salah satu tugas mata kuliah Toksikologi dan juga untuk menambah pengetahuan
pembaca mengenai “Penyalahgunaan Heroin”. Dalam penyusunan makalah ini, kami
selaku penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Maka pada kesempatan ini, kami selaku penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kami selaku penulis menerima kritik dan saran yang
membangun agar kedepannya bisa lebih baik lagi. Kami harap makalah ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Pekanbaru, 07 Desember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
2.1 Latar Belakang................................................................................................1
2.2 Rumusan Masalah...........................................................................................2
2.3 Tujuan.............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................4
2.1 Definisi heroin................................................................................................4
2.2 Jenis heroin.....................................................................................................5
2.3 Farmakokinetik...............................................................................................5
2.4 Farmakodinamik.............................................................................................6
2.4.1 Mekanisme kerja......................................................................................6
2.4.2 Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter.............................6
2.4.3 Pelepasan asetikolin.................................................................................7
2.5 Tempat kerja....................................................................................................7
2.6 Efek ke sistem organ lainnya..........................................................................7
2.6.1 Susunan saraf pusat.................................................................................7
2.6.2 Efek perifer..............................................................................................8
2.7 Cara penggunaan.............................................................................................9
2.7.1 Injeksi..........................................................................................................9
2.7.2 Dihirup...................................................................................................10
2.7.3 Dihisap...................................................................................................10
2.8 Toksisitas dan efek lain yang tidak diinginkan dari pemakai heroin............11
2.8.1 Intoksikasi akut (overdosis)...................................................................11
2.8.2 Intoksikasi kronis...................................................................................12
2.9 Teknik identifkasi pengguna heroin..............................................................14

2
BAB III PENUTUP...................................................................................................16
3.1 Simpulan.......................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) saat ini
semakin marak terjadi. Penyalahgunaan ini akhirnya menimbulkan ketergantungan.
Ketergantungan dapat menyebabkan masalah serius dalam hal ekonomi, sosial,
mental, kriminalitas dan penyakit fisik. Penyalahgunaan NAPZA terjadi seperti
fenomena gunung es dimana terdapat peningkatan prevalensi namun hanya sedikit
yang terlihat. Hal ini disebabkan karena peredaran gelap yang tidak bisa dicegah
sehingga mendapatkan zat tersebut menjadi mudah.

Data penyalahgunaan narkoba yang dilaporkan oleh United Nations Office


on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2014 menyebutkan bahwa tahun 2012 di
dunia diperkirakan ada 162 sampai 324 juta orang. Penyalahgunaan tertinggi heroin
di kawasan Asia yaitu sebesar 1,2 persen(United Nations Office on Drugs and
Crime, 2014). Diperkirakan terdapat 900 ton opium dan 375 ton heroin yang keluar
dari Afganistan setiap tahunnya.

Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang lebih
rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas
bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan
penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk pengobatan dalam
obat batuk dan obat diare.

Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, jumlah


kasus narkoba yang terkait hukum pada tahun 2013 sebanyak 35.436 orang.Dari
jumlah tersebut sebanyak 21.119 orang merupakan pengguna golongan narkotika
dengan jumlah 1.695 orang memakai heroin.Usia terbanyak adalah 26 sampai 40
tahun. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan data yang disajikan oleh BNN

1
mengenai jumlah kasus narkoba tahun 2011 sebanyak 29.526 kasus dengan
pemakaian heroin sebanyak 689 kasus (Badan Narkotika Nasional, 2014).

Penggunaan heroin lebih sering dengan suntikan atau injeksi, dan


penggunannya disebut dengan Injection Drug User (IDU). Pemakaian heroin 2
dengan jarum suntik akan memperbesar risiko timbulnya penyakit fisik seperti HIV,
hepatitis, dan penyakit fisik lainnya. Penyakit fisik ini juga dapat menular dari satu
pemakai ke pemakai lainnya akibat pemakaian jarum suntik secara bersama-
sama.Hal ini menjadi perhatian untuk dicegah karena semakin meluasnya penularan
penyakit tersebut (Kementerian Kesehatan, 2012).

Ketergantungan heroin dapat terjadi karena berbagai macam faktor salah


satunya faktor keluarga dan faktor kepribadian.Faktor keluarga yang dimaksud
adalah fungsi dari sebuah keluarga.Kepribadian yang dimaksud adalah kepribadian
yang mempermudah terjadinya ketergantungan.Hal ini menjadi dasar untuk
melakukan penelitian ini.Keparahan ketergantungan heroin pada masingmasing
individu berbeda menurut faktor-faktor yang memperberat.Keparahan
ketergantungan heroin dapat diukur dengan menggunakan WHO ASSIST (Sargo &
Subagyo, 2014).

Terkait berbagai masalah di atas, maka penulis menyusun sebuah makalah


ilmiah mengenai penyalahgunaan heroin melalui study literatur yang disusun secara
sistematis.

2.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini secara umum adalah “bagaimanakah
penggunaan heroin dalam tindak pidana kriminalitas (crime)”. Secara rinci rumusan
masalah dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Apakah yang dimaksud dengan heroin serta jenis-jenisnya?


2) Bagaimanakah farmakokinetik & farmakodinamika heroin dalam tubuh
manusia?
3) Bagaimanakah efek heroin bagi tubuh manusia?

2
4) Bagaimanakah toksisitas heroin?
5) Bagaimanakah mekanisme kerja heroin dalam tubuh manusia?
6) Bagaimanakah teknik identifikasi pengguna heroin?

2.3 Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini, yaitu:

1) Mampu mengklasifikasikan heroin serta jenis-jenis lainnya


2) Mengetahui farmakokinetik & farmakodinamika heroin dalam tubuh
manusia.
3) Mengetahui mekanisme kerja heroin dalam tubuh manusia
4) Mengetahui efek heroin bagi organ tubuh manusia
5) Mengetahui cara maupun teknik identifkasi heroin dalam tubuh
manusia.
6) Mengetahui teknik identifikasi pengguna heroin?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi heroin


Menurut UU No.22 Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”.

Heroin masuk dalam Jenis Narkotika Golongan I, hal ini berdasarkan UU


No.22 Tahun 1997 narkotikadiklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan,
yaitu :“Narkotika Golongan I adalah narkotika yan adiktif yang sangat tinggi.
Karenanya tidak diperbolehkan penggunaannya untuk terapi pengobatan, kecuali
penelitian dan pengembangan pengetahuan. Narkotika yang termasuk golongan ini
adalah ganja, heroin, kokain, morfin, golongan ini adalah ganja, sebagainya”

Heroin atau diamorfin (INN) adalah sejenis opioid alkaloid. Heroin adalah
derivatif 3.6-diasetil dari morfin (karena itulah namanya adalah diasetilmorfin)dan
disintesiskan darinya melalui asetilasi darinya melalui adalah garam hidroklorida,
Bentuk kristal putihnya umumnya garam hidroklorida, diamorfin
hidroklorida.Heroin dapat menyebabkan kecanduan. Nama lain dari heroin yaitu:
Acetomorphine, (Dual) Acetylated morphine,Morphine diacetate.

Rumus molekul C21H23NO5

4
2.2 Jenis heroin

Jenis heroin yang sering diperdagangkan adalah:

1. Bubuk putih

Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas


secara khusus dengan ukuran 3x1,5 cm, berisi 100 mg bubuk dengan
kadar heroin berkisar antara 1-10%. Pada saat ini kadar heroin dalam
bubuk cenderung meingkat, rata-rata berkisar 35%. Biasanya bubuk
tersebut dicampur dengan gula, susu bubuk atau kanji. Banyak
diperjualbelikan di daerah Asia.

2. Bubuk coklat

Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubuk putih,


hanya warnanya yang coklat. Banyak didapatkan di daerah Mexico

3. Black Tar

Banyak diperjualbelikan di Usa. Warna hitam disebabkan oleh


metode prosesing.Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket.
Kadar heroin didalamnya berkisar 20-80%. Pemakaian biasanya
dilarutkan dengan sedikit air kemudian dihangatkan diatas api. Setelah
dilarutkan dapat dimasukkan ke dalam alat suntik.

2.3 Farmakokinetik

Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan permukaan


mukosa hidung atau mulut. Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju
ke dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa,
sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak
relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin

5
menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin
atau golongan opioid lainnya.

Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin


dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam
glukuronik menajdi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.
Heroin /morfin terutama diekstresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan 6
dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam heroin
didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai morfin.

2.4 Farmakodinamik

2.4.1 Mekanisme kerja

Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor


spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi
transmisi dan modulasi nyeri.Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor
μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa).Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide
yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ, β
endorfin dengan reseptor μ dandynorpin dengan reseptor κ. Reseptor μ merupakan
reseptor untuk morfin (heroin).Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein
G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik
AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat.

2.4.2 Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter

Pelepasan noradrenalin Opiat menghambat pelepasan noradrenalin


dengan mengaktivasi reseptor μ yang berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin
tidak terbatas dikorteks, tetapi juga di hipokampus, amigdala, serebelum, daerah
peraquadiktal dan locus cereleus

6
2.4.3 Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor deltha,
didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor μ. Pelepasan dopamin Pelepasan
dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa.

2.5 Tempat kerja


Ada dua tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan
visceral.Di dalam susunan saraf pusat opiat berefek di beberapa daerah termasuk
korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik,
locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis.Di
dalam sistem saraf visceral, opiat bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus
submukous yang menyebabkan efek konstipasi.

2.6 Efek ke sistem organ lainnya

2.6.1 Susunan saraf pusat

1. Analgesia

Khasiat analgesic didasarkan atas 3 faktor:

a) meningkatkan ambang rangsang nyeri

b) mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat


mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu
penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat
penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri,
tetapi reaksi khawatir takut tidaklagi timbul. Efek obat ini
relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif
(emosional) dibandingkan sensorik

c) Memudahkan timbulnya tidur

7
2. Eforia

Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri,


akan menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan
mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya
pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal
yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa
perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik
berkurang dan ekstrimitas terasa berat.

3. Sedasi

Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan


lethargi. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi
sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat
dalam.

4. Pernafasan

Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan,


yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di
batang otak.Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit
setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau
intramuskular. Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam.

5. Pupil

8
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan
miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger
Westphal N. III

6. Mual dan muntah

Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic


chemoreceptor trigger zone di batang otak.

2.6.2 Efek perifer

1. Saluran pencernaan

a) Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung,


mortilitas lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum
meninggi.

b) Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga


dapat menimbulkan konstipasi

2. Sistem kardiovaskular

Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan


darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak
hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan
keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena
akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi
vasomotor dan pelepasan histamin

3. Kulit

Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit


tampak merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan

9
keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran
darah di kulit akibat efek sentral danpelepasan histamin

4. Traktus urinarius

Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot


sphinkter meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

2.7 Cara penggunaan

2.7.1 Injeksi

Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular Injeksi lebih


praktis dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat
menimbulkan efek eforia dalam 7-8 detik,sedangkan secara intra muskuler efeknya
lebih lambat yaitu 5-8 menit. Kerugian injeksi:

1) Dapat menyebabkan septikemi daninf lain

2) Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV

3) Injeksi nerulang dapat merusak vena, menyebabkan


trombosis dan abses

2.7.2 Dihirup

Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api,


kemudian asapnya dihirup melalui hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara
dihirup/dihisap biasanya dirasakan dalam 10-15 menit

2.7.3 Dihisap

Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup


atau dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon)
saat ini meningkat untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan.

10
Penggunaan secara dihisap lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk ke
dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.

Efek yang timbul akibat penggunaan heroin Menurut national Institute


Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera (short term) dan efek jangka
panjang (long term)

Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:

1. Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur

2. Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi
untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)

3. Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala
with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah
gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar,
muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang umum.

Komplikasi neurologis yang dapat terjadi akibat penggunaan heroin:

1. Edema serebri

2. Myelitis

3. Postanoxia encephalopathy

11
4. Crush injury

5. Gangguan koordinasi, kesulitan untuk berbicara

2.8 Toksisitas dan efek lain yang tidak diinginkan dari pemakai heroin

2.8.1 Intoksikasi akut (overdosis)

Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik.Gejala overdosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):

1. Kesadaran menurun, sopor – koma

2. Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit,


dan pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

3. Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif

4. Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

5. Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi


apabila pernafasan memburuk danterjadi syok

6. Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

7. Bradikardi

8. Edema paru

9. Kejang

10. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka


kematian meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan
yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.

- Angka kematian heroin + alkohol → 40 %

12
- Angka kematian heroin + tranquilizer → 30 %

2.8.2 Intoksikasi kronis

Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita


ketagihan akan obat tersebut.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena


faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk


mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat
pertama penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu
penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila
diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat.
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana
bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran
terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan
sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat: Mekanisme


secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler yang menyebabkan
perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin tertentu atau beberapa respon
immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan
gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic
dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid danalpha-adrenergic
memberikan respon yang sama pada intraseluler

Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas


adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus,
akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari

13
adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dihentikan
dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka
akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan
berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.

Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi


bila pecandu obat tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba.Gejala
biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan
puncaknya pada 36-48 jam.Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat
penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian
antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone.Dalam 3 menit setelah injeksi
antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit,
kemudian menghilang setelah 1 jam.

Gejala putus obat:

1. 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

2. 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi),


anoreksia

3. 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai


adanya kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri
pada otot dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian,
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari
lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit

4. Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara


berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung
kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6
bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan

14
dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah
usia 1 tahun.

2.9 Teknik identifkasi pengguna heroin


1. Anamnesa
a) Auto anamnesa (pengakuan jujur dari pasien)
b) Alo anamnesa (dari keluarga yang dapat dipercaya)
2. Pemeriksaan fisik Intoxikasi akut:
a) Penurunan kesadaran
b) Ganguan otonom, bradikardi, hipotermia, hipotensi, sianosis, pin point
pupil
c) Depresi pernafasan
d) Edema paru
e) Kejang (jarang)
f) Mata, sklera dapat ikterik akibat komplikasi pemakaian opiat secara IV
g) Bicara menjadi kaku, dismetri
Gejala abstinensia: Gelisah, insomnia, berkeringat, sering menguap,
pupil dilatasi, takikardi, kram perut. Baik pada intoksikasi maupun
abstinensia, pada kulit ditemukan bekas suntikan (hiperpigmentasi) di
sepanjang pembuluh vena lengan
Ditemukannya benda-benda yang berhubungan dengan penggunaan obat
seperti jarum suntik, pipa, aluminium foil, bubuk heroin dan lain-lain
disekitar penderita
3. Pemeriksaan laboratorium
1) Urine (drug screening)
Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine
harus diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat
terakhir. Metode pemeriksaan antara lain dengan cara paper
chromatography, Thin Layer Chromatography, Enzym Immunoassay.
2) Rambut
Cara ini dinilai lebih mantap dibandingkan tes urin untuk
memastikan seseorang pecandu narkoba atau tidak.Ada beberapa
kelebihan dari analisis rambut bila dibandingkan dengan tes urin.
Salah satunyaadalah narkoba dan metabolism narkoba akan berada
dalam rambut secara abadi dan mengikuti pertumbuhan rambut yang
berlangsung sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan, kandungan

15
narkoba dalam urin segera berkurang dan menghilang dalam waktu
singkat.Dengan metode Liquid chromatography menggunakan
ultraviolet dapat dideterminasi adanya opiat pada rambut pexcandu
heroin (opiat).Seseorang dikatakan pecandu heroin, bila pada
rambutnya ditemukan kandungan 10 ng heroin/mg rambut.
3) Tes Darah
Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti
Strip/Stick dan Card Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna
narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena
biasanya pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya hepatomegali. Berikut ini disediakan tabel
pemeriksaan tes darah dan tes rambut tentang mendeteksi keberadaan
narkoba.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Heroin merupakan golongan narkotik yang sangat kuat dalam
menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik dan psikis. Penggunaan heroin lebih
sering dengan suntikan atau injeksi, dan penggunaannya disebut dengan Injection

16
Drug User (IDU). Pemakaian heroin dengan jarum suntik akan memperbesar risiko
timbulnya penyakit fisik seperti HIV, hepatitis, dan penyakit fisik lainnya. Penyakit
fisik ini juga dapat menular dari satu pemakai ke pemakai lainnya akibat pemakaian
jarum suntik secara bersama-sama.

Penghentian obat yang tiba-tiba dapat menimbulkan gejala abstinesia


(putus obat). Penggunaan heroin dapat pula menyebabkan gejala intoksikasi akut
(overdosis), komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk penanggulangan
penderita pecandu obat diperlukan penanganan yang terpadu antara dokter, pasien
dan keluarga pasien karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan
badan pasien.

3.2 Saran
Di era modern ini,obat – obatan yang disalahgunakan bukan hal yang
sulit lagi untuk didapat. Bahkan obat – obatan yang beredarkan di pasaran terkadang
banyak disalahgunaakan oleh remaja saat ini. Untuk itu, sebagai seorang farmasis
kita sebaiknya tahu tentang obat-obat apa saja yang sering disalahgunakan dan kita
sebaiknya mampu memberikan penyuluhan ke depannya tentang bahaya dari
penyalahgunaan obat – obatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

IskandarJapardi. 2002. Efek Neurologis Penggunaan Heroin (Putauw). Fakultas


Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara

17
Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas dan
Rutin

Buletin: Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia. ISSN 2088-


270X. 2014. Kementrian Kesehatan RI

Kriegstein. 1999.Chasing The Dragon Heroin Use Can Damage Brain. New York:
Reuteut Health.

Ruttenberg AJ.Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science,35(4) Juli


1990; 890-900

WayWL.Drugs of Abuse in Basic and ClinicalPharmacology.Katzung BG (ed).7the


d. Stamfort: Appleton, 1998 (32): 518-9

Way WL.Opioid Analgosics And Antagonists In Basic And Clinical Pharmacology


. Katzung BG (ed). 7th ed. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514

18

Anda mungkin juga menyukai