Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat
pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia
mencapai kematangan seksusal (Sarwono, 2013). Kelompok remaja menurut
WHO adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, sedangkan menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia
remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah (Infodatin RI, 2015).
Periode baru masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan di
dalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif, sosial dan
psikologis (Desmita, 2010). Tidak sedikit remaja yang mengalami
ketidakmampuan dalam menguasai perubahan baik secara fisik dan
psikologis yang akhirnya berdampak pada gejolak emosi dan tekanan
jiwa sehingga remaja akan mudah menyimpang dari aturan-aturan dan
norma-norma sosial yang berlaku. Ketegangan-ketegangan yang dialami
kadang-kadang tidak dapat terselesaikan dengan baik, yang kemudian
menjadi sebuah konflik yang berkepanjangan. Ketidakmampuan remaja
didalam mengatasi konflik-konflik akan menyebabkan perasaan gagal
yang mengarah kepada bentuk frustrasi. Bentuk reaksi yang terjadi
akibat frustrasi yang dialami dapat menjadi bentuk kekerasan untuk
menyakiti diri dan orang lain, yang sering disebut dengan tindakan
agresi (Monks dalam Baron & Byrne, 2012).
Selain perilaku agresi, remaja juga membentuk perilaku-perilaku
yang menarik perhatian orang lain, hal tersebut dilakukan oleh remaja
karena mereka ingin mendapatkan perhatian dari lingkungan, karena
pada masa ini muncul sifat egoisentrisme dan keinginan yang kuat
untuk menjadi pusat perhatian oleh orang lain (Desmita, 2010). Namun
keinginan kuat remaja untuk menjadi pusat perhatian juga membuat
remaja melakukan hal-hal menyimpang, salah satunya adalah perilaku
bullying (Halimah, Khumas & Zainuddin, 2015).

1
Prevalensi bullying di dunia diperkirakan 50% terjadi di beberapa
negara seperti, Asia, Amerika, dan Eropa. Sebuah studi yang dilakukan
baru-baru ini di Amerika Serikat, menemukan tingkat bullying lebih
tinggi di Amerika daripada di beberapa negara lain. Dan anak-anak di
Norwegia yang berusia 8-16 tahun melaporkan mengalami intimidasi.
Hasil studi oleh ahli intervensi bullying, Dr. Army Huneck
mengungkapkan bahwa 10-60% siswa di Indonesia melaporkan
mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun
dorongan sedikitnya sekali dalam seminggu (Ari, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada 2008
tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Jogjakarta,
Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9%
di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 66,1% di Sekolah Tingkat
Lanjutan Pertama (SLTP). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa tecatat
sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan
kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua
ditempati kekerasan verbal (mengejek) dan terakhir adalah kekerasan fisik
(Wiyani, 2012).
Menurut KPAI, saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas
pengaduan masyarakat. Dari tahun 2011 hingga 2014, KPAI mencatat
369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari
total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1480 kasus. Sekitar 5
% dari peserta didik SMA dilaporkan terancam dan 6,6 % secara fisik
diintimidasi seperti didorong, dijambak, diejek.
Perilaku bullying dipengaruhi beberapa faktor antara lain status sosial
ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orang tua, lingkungan sekolah yang
kurang baik, keharmonisan keluarga, dan parentingstyle atau pola asuh.
Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai seluruh cara perlakuan orang tua
yang diterapkan pada anaknya. Pola asuh juga bisa diartikan sebagai interaksi
yang dilakukan oleh orang tua dengan anak dimana dalam interaksinya
tersebut keluarga memberian pengasuhan berupa penilaian, pendidikan,

2
pengetahuan, bimbingan, kedisiplinan, kemandirian, dan perlindungan
berkaitan dengan kepentingan hidupnya (Shochib, 2010).
Beberapa penelitian yang membahas tentang perilaku pola asuh orang
tua sudah banyak dilakukan. Penelitian Martinez (2018) menunjukkan bahwa
pola asuh yang memanjakan (permisif), ditandai dengan penggunaan praktik
penalaran dan kehangatan, dapat bertindak sebagai faktor pelindung untuk
intimidasi tradisional dan viktimisasi bullying. Namun, penelitian Ramadia
dan Putri (2019) yang dilakukan di SMK Negeri Bukit Tinggi justru
menunjukkan bahwa pola asuh permisif merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya perilaku bullying karena pola asuh yang cenderung
terlalu memanjakan menyebabkan anak tidak mampu mengatasi
permasalahnnya sendiri, tidak memiliki kemampuan bersosialisasi, kontrol
diri yang buruk dan kurang menghargai orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian tentang hubungan pola
asuh orang tua dengan perilaku bullying di SMA Negeri Kota Padang penting
untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara
pola asuh orang tua dengan perilaku bullying pada siswa SMA Kota
Padang?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku
bullying di SMA Kota Padang.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pola asuh orang tua siswa SMA Kota Padang
b. Untuk mengetahui perilaku bullying di SMA Kota Padang
c. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara pola asuh orang tua
dengan perilaku bullying siswa SMA Kota Padang

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis

3
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya
dan menambah pengetahuan yang berhubungan dengan psikologi
khususnya Psikologi Pendidikan, Psikologi Sosial dan Psikologi
Perkembangan.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pengajar (guru)
dalam mencegah serta menangani kasus bullyingsecara tepat dan dapat
menciptakan duniacpendidikan yang aman dan nyaman bagi siswa.
b. Bagi Orang Tua
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada
orang tua dalam mengurangi terjadinya perilaku bullyingbahwa pola
asuh memainkan peranan penting dalam perkembangan anak, oleh
karena itu, para orangtua diharapkan menampilkan pola asuh yang
sesuai dalam mendidik anak.

4
DAFTAR PUSTAKA

Ari, N. (2015). Hubungan Persepsi Jenis Pola Asuh Orang Tua Dengan
Prilaku Resiko Perilaku Bullying Remaja. Jakarta : Fakultas Ilmu
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarifhidayaullah
Baron, R. A., & Byrne, D. (2012). Psikologi Sosial Jilid 1 (Ed.10). Jakarta:
Erlangga.
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Halimah, A., Khumas, A., & Zainuddin, K. (2015).Persepsi Pada Bystander
Terhadap Intensitas Bullying Pada Siswa SMP. Jurnal Psikologi,
42(2), 9-140
Kementerian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data Dan Informasi
Kemeterian Kesehatan RI Situasi Kesehatan Remaja. 2015.
Korua, S. (2015). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Bulliyng
Pada Remaja SMK Negeri 1 Manado. E-Journal Keperawatan, Volume 3,
No. 2,
Martinez, Isabel., Murgui, Sergio., Garcia, Oscar F., Garcia, Fernando. 2018.
Parenting In The Digital Era: Protective And Risk Parenting Styles For
Traditional Bullying And Cyberbullying Victimization. Computers In
Human Behavior 90, 84-92
Ramadia, Arya., Putri, Rila Karmalia. 2019. Analisis Pola Asuh Orang Tua
Terhadap Kejadian Perilaku Bullying Pada Remaja Di Smk Negeri Kota
Bukittinggi. Menara Ilmu. Vol. XIII No.3 Januari 2019 Hal 1-7
Sarwono, S.W. (2013). Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Schohib, M. (2010). Pola Asuh Orang Tua. Jakarta: Rineka Cipta.
Wiyani, N.A. (2012). Save Our Chilldren From School Bullying. Yogyakarta:
Arrus Media.

5
6

Anda mungkin juga menyukai