PENDAHULUAN
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung. Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok usia
dan sering berhubungan dengan multiple systemic disorders (misalnya: diabetes
melitus, hipertiroidisme, lupus eritema-tosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit
Parkinson dan Alzheimer).1,2
1
BAB II
2
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di
bagian belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe faring.4
Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan superior
tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal dan pangkal
lidah, dan perbatasan posterior dibentuk oleh otot-otot konstriktor superior dan media
dan mukosa faring.3,4
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran masuk
orofaringeal, yang menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal terbuat dari lipatan
palatoglossal lateral, tepat di anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri terbuat dari
otot palatoglossus, yang berasal dari palatum mole itu sendiri dan mukosa diatasnya. 4
3
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah, meneruskan
perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang antara pangkal lidah
dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari orofaring. Ini biasanya setara
dengan tulang hyoid. 3,4
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina di
fosa anterior yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh lipatan
palatopharyngeal. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam respon
imun lokal untuk patogen oral.3,4
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot konstriktor
faring superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya yang saling tumpang
tindih. Saraf glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus memasuki faring pada
perbatasan antara konstriktor superior dan tengah. 3,4
Hipofaring
4
2.1.2 Anatomi Esofagus
5
2.1.3 Vaskularisasi Faring dan Esofagus
a. Faring
Pasokan arteri ke faring berasal dari 4 cabang dari arteri karotis eksternal.
Kontribusi utama adalah dari arteri faring asenden, yang berasal dari arteri karotis
eksternal yang tepat berada diatas bifurkasio (percabangan) karotis dan melewati
posterior selubung karotis, memberikan cabang ke faring dan tonsil. 3,4
Cabang arteri palatina memasuki faring tepat diatas dari muskulus konstriktor
faring superior. Arteri fasialis juga bercabang menjadi arteri palatina asenden dan
arteri tonsilaris, yang membantu pasokan untuk muskulus konstriktor faring superior
dan palatum. Arteri maksilaris bercabang menjadi arteri palatina mayor dan cabang
pterygoideus, dan arteri lingualis dorsalis berasal dari arteri lingual memberi sedikit
kontribusi. 3,4
Darah mengalir dari faring melalui pleksus submukosa interna dan pleksus
faring eksterna yang terkandung dalam fasia buccopharyngeal terluar. Pleksus
mengalir ke vena jugularis interna dan, sesekali, vena fasialis anterior. Hubungan
yang luas terjadi antara vena yang terdapat di tenggorokan dan vena-vena pada lidah,
esofagus, dan laring. 3,4
b. Esofagus
6
Vaskularisasi vena juga mengalir secara segmental. Dari pleksus vena
submukosa yang padat darah mengalir ke vena cava superior. Vena esofagus
proksimal dan distal mengalir ke dalam sistem azygos. Kolateral dari vena gaster
sinistra, cabang dari vena portal, menerima drainase vena dari mid-esofagus.
Hubungan submukosa antara sistem portal dan sistem vena sistemik di distal esofagus
membentuk varises esofagus pada hipertensi portal. Varises submukosa ini yang
merupakan sumber perdarahan GI utama dalam kondisi seperti sirosis. 3,4
a. Faring
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan
dibentuk oleh cabang dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX), nervus vagus
(saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus
stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf glossopharingeus, semua otot-otot faring
dipersarafi oleh nervus vagus. 3,4
7
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang
nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari cabang
eksternal dari nervus laringeus superior, juga dari cabang nervus vagus.
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan glossopharingeus untuk
persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring, menerima baik
sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus glossopharingeus. Otot krikofaringeus
(UES) menerima persarafan parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan
persarafan simpatis untuk kontraksi dari serabut post ganglionik dari ganglion
servikalis superior. 3,4
b. Esofagus
a. Faring
8
mengalir ke KGB paratrakeal. Pembuluh limfatik laring mengalir ke kelenjar
servikalis profunda, nodus pretracheal, dan nodus prelaryngeal. 3,4
a. Esofagus
Lidah sebagian besar disusun oleh serat-serat otot rangka yang dapat bergerak
ke segala arah. Sehubungan dengan proses menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral
dan bagian faringeal. Lidah bagian oral meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan
belakang daun lidah. Lidah bagian oral aktif selama proses bicara dan proses menelan
pada fase oral, dan berada dibawah kontrol kortikal (volunter). Lidah bagian faringeal
atau dasar lidah dimulai dari papila sirkumvalata sampai tulang hioid. Dasar lidah
aktif selama fase faringeal dan berada dibawah kontrol involunter dengan koordinasi
batang otak, tetapi bisa juga berada dibawah kontrol volunter. Atap mulut dibentuk
oleh maksila (palatum durum), velum (palatum mole), dan uvula. 2,4,5
9
Struktur faring yang berperan dalam proses menelan meliputi 3 otot
konstriktor faringeal, yaitu superior, medial, dan inferior, yang berorigo pada
kranium, tulang hioid, dan kartilago tiroid, serta berinsersio pada bagian posterior
median raphe. Otot krikofaringeal merupakan struktur faring yang paling inferior.
Kontraksi otot ini akan mencegah masuknya udara ke dalam esofagus saat respirasi.
Otot ini melekat pada kartilago krikoid dan bersama dengan lamina krikoid
membentuk valvula ke dalam esofagus yang dikenal dengan upper esophageal
sphincter (UES) atau pharyngoesophageal sphincter (PES). UES berfungsi mengu-
rangi risiko aliran balik makanan dari esofagus ke faring. Pada waktu tertentu sfingter
ini terbuka untuk mengijinkan bo-lus makanan masuk ke dalam esofagus. 2,4,5
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut : (1) Pembentukan
bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat
masuknya bolus makanan kedalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah
masuknya makanan dan minuman kedalam nasofaring dan laring , (5) kerjasama yang
baik dari otot-otot dirongga mulut untuk mendorong bolus makanan kearah lambung,
(6) usaha untuk membersihkan kembali esophagus. Proses menelan dimulut, faring,
laring dan esophagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : Fase oral, fase faringal dan fase esofagal.
,2,4
10
Gambar 5. Proses menelan.6
a. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak ditengah lidah akibat kontraksi otot intrinsic lidah.1,4,6
11
b. Fase Faringal
Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esophagus.1,4
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliges. Bersamaan dengan ini terjadi juga
penghentian aliran udara kelaring karena refleks yang menghambat pernapasan,
sehingga bolus makanan tidak akan masuk kedalam saluran napas. Selanjutnya bolus
makanan akan meluncur kearah esophagus, karena valekula dan sinus piriformis
sudah dalam keadaan lurus. 1,4
c. Fase Esofagal
Setelah bolus makanan lewat maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat,
melebihi tonus introitus esophagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak
akan kembali kefaring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. 1,4
Gerak bolus makan diesophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi
m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan
akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltic esophagus1,4
12
Dalam keadaan istrahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan didalam lambung, sehingga tidak akan
terjadi regurgitasi isi lambung.1,4
Pada akhir fase esophageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esophagus servical untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka sfingter ini akan menutup kembali. 1,4
13
BAB III
DISFAGIA
3.1 Definisi
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung.2,9
3.2 Epidemiologi
Disfagia adalah masalah umum. Satu dari 17 orang akan mengalami masalah
disfagia dalam hidup mereka. Sebuah studi 2011 di Inggris melaporkan tingkat
prevalensi 11% untuk disfagia pada masyarakat umum. Kondisi ini mempengaruhi
40-70% pasien dengan stroke, 60-80% pasien dengan penyakit neurodegeneratie,
hingga 13% orang dewasa berusia 65 dan lebih tua dan >51% pasien lansia yang
dilembagakan, serta 60-75% pasien yang menjalani radioterapi untuk kanker kepala
dan leher.8
Prevalensi disfagia pada populasi umum adalah 16-23% meningkat menjadi
27% pada mereka yang berusia di atas 76 tahun. Banyak orang tua akan mengalami
masalah menelan.9
Menururt American Speech Language Hearing Association (ASHA)
memperkirakan bahwa 6 hingga 10 juta orang Amerika menunjukkan beberapa
tingkat disfagia, walaupun tidak diketahui bagaimana perkiraan ini dibuat.
Kuhlemeier melaporkan bahwa kejadian disfagia yang dilaporkan di negara bagian
14
Maryland naik dari 3 dalam 1000 pada 1979 menjadi 10 dalam 1000, mungkin
sebagai akibat dari metode pelaporan yang lebih baik. Dengan menggunakan
perkiraan ini, sekitar 25.000 orang di Maryland pada tahun 1989 memiliki disfagia
sebagai diagnosis primer atau sekunder.10
3.3 Etiologi
Disfagia dapat terjadi pada satu atau lebih fase menelan dan dapat disebabkan
oleh berbagai macam penyebab (Tabel 1). Penderita dengan gangguan neurologik
lebih sering mengalami gangguan pada fase oral.2, 11
15
-Syphilis Intentional)
-Viral (Coxsackie, Herpes,
Cytomegalovirus)
Neuromuscular disorders :
- Achalasia
- Difusse esophageal spasm
- Scleroderma
- Gastroesophageal reflux disease
Structural lesions (Intrinsic)
- Benign peptic stricture
- Esophageal rings and webs
- Esophageal diverticula
- Foreign bodies
- Esophageal carcinoma
- Medication –induced strictures
- Eosinophilic esophagitis
Structural lesions (extrinsic)
- Vascular compression
- Mediastinal lesions
- Cervical osteoarthritis
16
3.4 Klasifikasi
a. Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibar peradangan mukosa esophagus,
striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen esophagus dari luar,
misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelemjar getah bening di
mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.4
b. Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf
otak n. V, n. VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta
gangguan peristaltic esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari
disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan otot faring
dan skleroderma esophagus.4
1. Disfagia orofaringeal
17
2. Disfagia esophageal
3.5 Patogenesis
18
3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang memiliki disfagia dapat datang dengan berbagai tanda dan gejala.
Mereka biasanya mengeluhkan batuk atau tersedak atau sensasi abnormal menempel
makanan di belakang tenggorokan atau dada bagian atas ketika mereka mencoba
menelan, namun, beberapa kasus bisa dengan keluhan yang sangat minimal atau
bahkan tidak ada keluhan (misalnya, pada mereka dengan aspirasi diam).2,4
b. Pemeriksaan fisik
19
Pemeriksaan fisik untuk disfagia meliputi:
Selama pemeriksaan fisik, mencari mekanisme oral-motor dan laring.
Pengujian n.V tengkorak dan n.VII-XII sangat penting untuk menentukan
apakah bukti fisik disfagia orofaringeal ada
Pengamatan langsung penutupan bibir, penutupan rahang, mengunyah dan
pengunyahan, mobilitas lidah dan kekuatan, elevasi palatal dan laring, air liur,
dan kepekaan oral diperlukan.
Periksa tingkat kewaspadaan dan status kognitif pasien, karena dapat
berdampak pada keselamatan menelan dan kemampuan untuk belajar
langkah-langkah kompensasi.
Disfonia dan disartria adalah tanda-tanda disfungsi motor struktur yang
terlibat dalam mulut dan faring menelan.
Periksa rongga mulut dan faring untuk integritas mukosa dan gigi.
Periksa langit-langit lunak untuk posisi dan kesimetrisan selama fonasi dan
beristirahat.
Evaluasi elevasi faring dengan menempatkan 2 jari di laring dan menilai
gerakan selama menelan volunter. Teknik ini membantu untuk
mengidentifikasi ada atau tidak adanya hambatan mekanisme pelindung
laring.
Refleks muntah yang ditimbulkan oleh menyentuh mukosa faring dengan
spatula lidah. Pengujian untuk refleks muntah sangat membantu, tetapi tidak
adanya refleks muntah tidak selalu menunjukkan bahwa pasien tidak mampu
menelan dengan aman. Memang, banyak orang dengan tidak ada refleks
muntah memiliki kemampuan menelan yang normal, dan beberapa pasien
dengan disfagia memiliki refleks muntah yang normal.
Auskultasi servikal menjadi bagian dari evaluasi klinis pasien disfagia.
Menilai kekuatan dan kejelasan suara, waktu episode apneic, dan kecepatan
menelan.
20
Menilai fungsi pernafasan juga sangat penting. Jika kekuatan pernapasan
batuk atau kliring tenggorokan tidak memadai, risiko aspirasi meningkat.
Langkah terakhir dalam pemeriksaan fisik adalah pengamatan langsung dari
tindakan menelan. Minimal, menonton pasien sementara dia minum air. Jika
memungkinkan, menilai makan pasien berbagai tekstur makanan. Sialorrhea,
inisiasi menelan tertunda, batuk, atau kualitas suara serak basah atau mungkin
menunjukkan masalah. Setelah menelan, mengamati pasien selama 1 menit
atau lebih untuk melihat apakah respon batuk tertunda hadir. 2,4
c. Pemeriksaan penunjang
21
b. Barium swallow
Barium swallow umumnya digunakan sebagai tes evaluatif awal untuk pasien
dengan ED, terutama untuk memberikan peta jalan sebelum endoskopi bagian atas.
Namun, dengan ketersediaan endoskopi fleksibel, barium walet terutama
diindikasikan sebagai tes diagnostik pertama di UGD untuk pasien yang diduga
memiliki striktur proksimal. Jenis lesi ini dapat terjadi setelah terapi radiasi, paparan
konsumsi kaustik, atau setelah laringektomi untuk kanker laring. 11
22
3.7 Penatalaksanaan
Terdapat beberapa cara penanganan penderita disfagia, yaitu: teknik postural,
modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi diet, compensatory
swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness, stimulasi
elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan yang digunakan.2
a. Tekhnik Postural
c. Modifikasi diet
23
terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih
aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil. Selain itu,
bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu mempercepat
terjadinya inisiasi fase faringeal. 2
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita
juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan makanan kental,
makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan pilihan. 2
24
proses menelan kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air)
tetapi diminta untuk menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian
menelan dan rileks. 2
f. Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan
stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas otot-
otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan
bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman untuk penderita
disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES ini efektif pada
25
disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada kepala dan leher, serta
multipel sclerosis. 2
g. Terapi latihan
Terapi latihan digunakan untuk me-nguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup
gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita
suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang,
latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode Shaker. 2
3.8 Komplikasi
26
BAB IV
KESIMPULAN
1. Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esophagus.
2. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan
gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung.
3. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas: disfagia mekanik, disfagia
motorik dan disfagia oleh gangguan emosi.
4. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
5. Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan dalam
proses menelan.
6. Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan
jiwa yang berat yang dikenal sebagai globus histerikus.
7. Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas: disfagia orofaringeal dan disfagia
esophageal.
8. Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring ke
dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal ke
kerongkongan.
9. Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal
ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis.
10. Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase oral dan fase
faring adalah Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS) dan Flexible
Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES).
27
DAFTAR PUSTAKA
28