Anda di halaman 1dari 8

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA KASUS

PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER DAN


RUJUKANNYA

MAKALAH
PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA KASUS
PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER DAN RUJUKANNYA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Asuhan Kebidanan V yang berjudul Makalah Penanganan Kegawatdaruratan Pada
Kasus Perdarahan Post Partum Primer Dan Rujukannya.
Selama proses penyusunan makalah ini, tidak lepas dari peran dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan makalah
ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis, teman – teman yang telah membantu dan memberi dukungan terhadap
penulis sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan
keterbatasan, oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca maupun dosen pembimbing
sangat di harapkan demi perbaikan untuk masa-masa yang akan datang.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Padang, November 2014

Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah
konsekuensi. Perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus
genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering
pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke
rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya
mortalitas tinggi.3 Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum.
HPP adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta,
robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab
kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik atau abortus. HPP bila tidak
mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
serta proses penyembuhan kembali.
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang
spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya), sisa
plasenta, dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post
partum. Dalam 20 tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan dilakukan tindakan
histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi sebagai penyebab perdarahan post
partum antara lain laserasi perineum, laserasi vagina, cedera levator ani dan cedera pada
serviks uteri.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan dari temuan kami di klinik diperoleh kasus
retensio plasenta sebagai salah satu penyebab kasus HPP, maka dari itu kami akan berupaya
untuk mengkaji kasus tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Perdarahan postpartum adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah persalinan
pervaginam atau 1000 ml setelah persalinan melalui sesar.
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah konsekuensi
perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan
struktur sekitarnya, atau keduanya. Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah
pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum
yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal
sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak.
Perdarahan post parum adalah perdarahan pervaginam > dari 500 ml, yang dapat terjadi
dalam 24 jam pertama setelah melahirkan yang disebut sebagai perdarahan postpartum
primer atau pada masa nifas setelah 24 jam yang disebut perdarahan postpartum sekunder.

Klasifikasi perdarahan postpartum :


1. Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum hemarrhage), yaituperdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
2. Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage), yaitu-perdarahan
yang terjadi setelah 24 jam pertama.

2. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari perdarahan post partum primer diantaranya :
a. Atonia uteri
Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak
mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan
baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal,
Depkes Jakarta ; 2002)
Faktor predisposisi:
• Regangan rahim yang berlebihan karena gemeli, polihidroamnion, atau anak terlalu besar
• Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan lama atau persalinan kasep.
• Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
• Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
• Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
• Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
• Umur yang terlalu muda / tua
• Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara
• Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi
Pada atonia uteri uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik sehingga dapat
menimbulkan perdarahan penanganan pada atonia uteri (Sarwono, 2007 : 191)
a. Pertama-tama dapat diberikan obat-obatan yang dapat menimbulkan kontraksi uterus
seperti oksitosin atau pemberian obat-obatan golongan metergin secara intravena atau
intramuskuler disamping pemberian obat ini dapat dilakukan masase uterus melalui dinding
abdomen.
b. Bila perdarahan masih tetap berlangsung dapat dilakukan kompresi bimanual uterus
dengan cara tangan yang satu dimasukkan dalam vagina dan digenggamkan, uterus ditekan
antara tangan yang berada di vagina dan tangan yang luar.
Manajemen Atonia Uteri

1. Masase dan kompresi bimanual


Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum /
vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
Jika uterus tidak berkontraksi maka :
a. Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lubangserviks
b. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
c. Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
 Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau
kala empat dengan ketat.
 Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual
eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika
hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
 Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
 Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

2. Uterotonika
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu
nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin
F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap
15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti:
nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme. Kadang menyebabkan
muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal,
dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar
dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan
penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan yang masih terjadi.
b. Retensio plasenta
Plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar
dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Teknik pelepasan plasenta secara manual :
1. Vulva dibersihkan begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong.
2. Setelah tangan memakai sarung tangan. Labia di buka dan tangan kanan masuk secara
obstetrik ke dalam vagina.
3. Tangan di luar menahan fundus uteri dan tangan dalam menyusuri tali pusat, yang sedapat-
dapatnya diregangkan oleh asisten.
4. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta tangan mencari pinggir plasenta dan sedapat-
dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas.
5. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan antara bagian plasenta
yang sudah terlepas dari dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dinding rahim.
6. Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik
keluar
Penanganan Retensio Plasenta
a. Tentukan jenis Retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil .
b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan bila ekpulsi plasenta tidak terjadi,
cobakan traksi terkontrol tali pusat .
c. Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 50 cc Ns/RL dengan 40 tetesan/menit. Bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal . Bila troksi terkontrol gagal, lahirkan
plasenta secara hati-hati dan halus.
d. Lakukan tranfusi darah bila diperlukan
e. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 29 Iv/oral + metronida 20 l g supositorial/oral )
f. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.
c. Robekan jalan lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim
baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Gejala klinik:
• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
• Uterus kontraksi dan keras
• Plasenta lengkap
• Pucat dan Lemah

Dibagi atas 4 tingkat


Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perineum
Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak
mengenai sfingter ani
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum

Penanganan
a. Lakukan inspeksi yang di teliti dibawah sinar yang terang untuk melihat laserasi jalan lahir.
b. Bila ditemukan adanya laserasi jalan lahir segera dilakukan penjahitan.

d. Gangguan pembekuan darah


Seringkali perdarahan post partum yang persisten adalah akibat dari kelainan
gangguan pembekuan darah. Penyebab pendarahan pasca persalinan karena gangguan
pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai
ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada
tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung, dan lain-lain.

3. Penanganan Secara Umum Hemoragic Post Partum


a. Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya
pencegahan perdarahan pasca persalinan)
c. Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan
lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
d. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
e. Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah
dan komplikasi
f. Atasi syok
g. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus,
berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan
permenit.
h. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
i. Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
j. Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
k. Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.

4. Rujukan Pada Perdarahan Postpartum


Perbaikan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan
standardisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem
rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara
keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih akan selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus
mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas
pelayanan kesehatan primer. Beberapa kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal memerlukan tempat
rujukan antara sebagai sarana untuk melakukan stabilisasi, setelah itu pengobatan dan tindakan definitif harus
dikerjakan di fasilitas pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik di fasilitas pelayanan
kesehatan primer maupun tempat rujukan antara (Puskesmas). Kasus perdarahan pasca persalinan tidak
memerlukan tempat rujukan antara, karena tindakan definitive histerektomi atau ligasi arteria hipogastrika hanya
bisa dilakukan di rumah sakit kabupaten, tetapi stabilisasi pasien tetap harus dikerjakan lebih dahulu di tempat
asal rujukan.
Sistim rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama
kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas
pelayanan.
Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED harus
langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan
dikelola di tingkat Puskesmas PONED atau dilakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK untuk mendapatkan
pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya.
Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.
Bidan di Desa dan Polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin
dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan
pertolongan persalinan normal, Bidan di Desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu
sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Puskesmas, Puskesmas
PONED dan Rumah Sakit PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai.
1. Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien dengan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang sendiri maupun dirujuk oleh kader / Dukun / Bidan di Desa
sebelum melakukan rujukan ke Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK.
2. Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu
bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di
Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu
sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK.
3. RS PONEK 24 Jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan PONEK langsung terhadap ibu hamil /
ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di
Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED.
4. Pemerintah Propinsi/Kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya memberikan dukungan
secara manajemen, administratif maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran pelayanan kegawatdaruratan
obstetrik dan neonatal. Ketentuan tentang persalinan yang harus ditolong oleh tenaga kesehatan dapat
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah, sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan
lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan
5. Pokja/Satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama lintas sektoral di tingkat Propinsi dan Kabupaten untuk
menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan
serta kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh karenanya. Dengan penyampaian pesan melalui berbagai
instansi/institusi lintas sektoral, maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem
rujukan PONEK 24 Jam
6. Rumah Sakit Swasta, Rumah Bersalin dan Dokter/Bidan Praktek Swasta dalam sistem rujukan PONEK 24 Jam
diharuskan melaksanakan peran yang sama dengan RS Ponek 24 Jam, Puskesmas PONED dan Bidan dalam
jajaran pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan rujukan
PONEK 24 Jam sebagai kelengkapan pembinaan pra rumah sakit.

Apabila tindakan yang dilakukan pada kasus perdarahan postpartum tidak berhasil untuk menimbulkan
kontraksi uterus yang adekuat sehingga menghentikan perdarahan yang terjadi, maka rujukan akan menjadi
alternatif terakhir.
Dalam melakukan rujukan perlu dipertimbangkan beberapa prinsip rujukan kegawatdaruratan obstetrik dan
neonatal:
a. Komunikasi awal harus sudah dilakukan sebelum dan selama proses rujukan dilaksanakan.
b. Rujukan harus dilakukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas dan kemampuan untuk
melakukan tindakan yang lebih baik bagi kondisi pasien.
c. Rujukan hanya dilakukan setelah upaya stabilisasi pasien sesuai dengan prosedur baku nasional (Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal) dan upaya stabilisasi ini harus tetap dilakukan selama
proses rujukan berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai