MAKALAH
PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA KASUS
PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER DAN RUJUKANNYA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Asuhan Kebidanan V yang berjudul Makalah Penanganan Kegawatdaruratan Pada
Kasus Perdarahan Post Partum Primer Dan Rujukannya.
Selama proses penyusunan makalah ini, tidak lepas dari peran dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan makalah
ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis, teman – teman yang telah membantu dan memberi dukungan terhadap
penulis sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan
keterbatasan, oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca maupun dosen pembimbing
sangat di harapkan demi perbaikan untuk masa-masa yang akan datang.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah
konsekuensi. Perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus
genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering
pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke
rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya
mortalitas tinggi.3 Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum.
HPP adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta,
robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab
kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik atau abortus. HPP bila tidak
mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
serta proses penyembuhan kembali.
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang
spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya), sisa
plasenta, dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post
partum. Dalam 20 tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan dilakukan tindakan
histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi sebagai penyebab perdarahan post
partum antara lain laserasi perineum, laserasi vagina, cedera levator ani dan cedera pada
serviks uteri.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan dari temuan kami di klinik diperoleh kasus
retensio plasenta sebagai salah satu penyebab kasus HPP, maka dari itu kami akan berupaya
untuk mengkaji kasus tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Perdarahan postpartum adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah persalinan
pervaginam atau 1000 ml setelah persalinan melalui sesar.
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah konsekuensi
perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan
struktur sekitarnya, atau keduanya. Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah
pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum
yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal
sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak.
Perdarahan post parum adalah perdarahan pervaginam > dari 500 ml, yang dapat terjadi
dalam 24 jam pertama setelah melahirkan yang disebut sebagai perdarahan postpartum
primer atau pada masa nifas setelah 24 jam yang disebut perdarahan postpartum sekunder.
2. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari perdarahan post partum primer diantaranya :
a. Atonia uteri
Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak
mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan
baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal,
Depkes Jakarta ; 2002)
Faktor predisposisi:
• Regangan rahim yang berlebihan karena gemeli, polihidroamnion, atau anak terlalu besar
• Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan lama atau persalinan kasep.
• Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
• Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
• Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
• Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
• Umur yang terlalu muda / tua
• Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara
• Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi
Pada atonia uteri uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik sehingga dapat
menimbulkan perdarahan penanganan pada atonia uteri (Sarwono, 2007 : 191)
a. Pertama-tama dapat diberikan obat-obatan yang dapat menimbulkan kontraksi uterus
seperti oksitosin atau pemberian obat-obatan golongan metergin secara intravena atau
intramuskuler disamping pemberian obat ini dapat dilakukan masase uterus melalui dinding
abdomen.
b. Bila perdarahan masih tetap berlangsung dapat dilakukan kompresi bimanual uterus
dengan cara tangan yang satu dimasukkan dalam vagina dan digenggamkan, uterus ditekan
antara tangan yang berada di vagina dan tangan yang luar.
Manajemen Atonia Uteri
2. Uterotonika
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu
nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin
F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap
15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti:
nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme. Kadang menyebabkan
muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, yang menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal,
dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar
dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan
penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan yang masih terjadi.
b. Retensio plasenta
Plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar
dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Teknik pelepasan plasenta secara manual :
1. Vulva dibersihkan begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong.
2. Setelah tangan memakai sarung tangan. Labia di buka dan tangan kanan masuk secara
obstetrik ke dalam vagina.
3. Tangan di luar menahan fundus uteri dan tangan dalam menyusuri tali pusat, yang sedapat-
dapatnya diregangkan oleh asisten.
4. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta tangan mencari pinggir plasenta dan sedapat-
dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas.
5. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan antara bagian plasenta
yang sudah terlepas dari dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dinding rahim.
6. Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik
keluar
Penanganan Retensio Plasenta
a. Tentukan jenis Retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil .
b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan bila ekpulsi plasenta tidak terjadi,
cobakan traksi terkontrol tali pusat .
c. Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 50 cc Ns/RL dengan 40 tetesan/menit. Bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal . Bila troksi terkontrol gagal, lahirkan
plasenta secara hati-hati dan halus.
d. Lakukan tranfusi darah bila diperlukan
e. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 29 Iv/oral + metronida 20 l g supositorial/oral )
f. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.
c. Robekan jalan lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim
baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Gejala klinik:
• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
• Uterus kontraksi dan keras
• Plasenta lengkap
• Pucat dan Lemah
Penanganan
a. Lakukan inspeksi yang di teliti dibawah sinar yang terang untuk melihat laserasi jalan lahir.
b. Bila ditemukan adanya laserasi jalan lahir segera dilakukan penjahitan.
Apabila tindakan yang dilakukan pada kasus perdarahan postpartum tidak berhasil untuk menimbulkan
kontraksi uterus yang adekuat sehingga menghentikan perdarahan yang terjadi, maka rujukan akan menjadi
alternatif terakhir.
Dalam melakukan rujukan perlu dipertimbangkan beberapa prinsip rujukan kegawatdaruratan obstetrik dan
neonatal:
a. Komunikasi awal harus sudah dilakukan sebelum dan selama proses rujukan dilaksanakan.
b. Rujukan harus dilakukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas dan kemampuan untuk
melakukan tindakan yang lebih baik bagi kondisi pasien.
c. Rujukan hanya dilakukan setelah upaya stabilisasi pasien sesuai dengan prosedur baku nasional (Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal) dan upaya stabilisasi ini harus tetap dilakukan selama
proses rujukan berlangsung.