BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami liken planus
oral dan terapinya dengan krim pimekrolimus 1% serta untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Liken planus adalah inflamasi kronis mukokutaneus yang dimediasi oleh sel T. Penyakit
ini menyerang mukosa oral (oral lichen planus), genital, kulit, scalp, dan kuku.
Mukosa oral merupakan daerah yang paling sering terkena dan bisa menjadi satu-
satunya gejala pada kebanyakan kasus.1
2.2. Etiologi
Penyebab pasti OLP belum diketahui. Namun, ada beberapa keadaan yang
berkaitan dengan terjadinya OLP, yaitu :
1. Hepatitis C
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
hepatits C dengan OLP. Mekanisme pastinya bagaimana virus hepatitis C
menyebabkan OLP masih belum jelas. Selain itu, hubungan ini juga dipengaruhi oleh
faktor genetik, yaitu alel HLA-DR6. Keterkaitan antara hepatitis C dengan
OLP lebih sering ditemukan di daerah Mediterania dan Jepang, sedangkan
pada orang Inggris, Prancis, dan Amerika hubungan tersebut kurang berkaitan.1
2. Stres
Eksaserbasi OLP berkaitan dengan keadaan psikologis pasien yang dalam
keadaan stress dan cemas. Pada penelitian Ivanovski et al, keadaan stres
yang berkepanjangan pada penderita OLP
dapat mengakibatkan psikomatisasi yang bisa memicu dan menimbulkan
gejala pada OLP. Namun, penelitian tersebut tidak dapat
menentukan perubahan emosi yang terjadi mengakibatkan OLP atau merupakan akibat
dari OLP.1
3. Genetik
Faktor genetik berperan dalam proses terjadinya OLP, salah satu
contohnya pada penderita Hepatitis C yang telah dijelaskan sebelumnya.
4
Peningkatan beberapa alel, seperti HLA- B15, Bw57, B5, DR2, dan penurunan
alel HLA-DQ1, DR4, B18 dapa tmeningkatkan kejadian OLP.1
4. Oral lichenoid drug reaction bisa dipicu obat-obatan sistemik seperti
NSAIDs, beta-blockers, sulfonylureas, ACE-inhibitor dan beberapa
antimalaria.
5. Dapat disebabkan kontak dengan alergen termasuk dengan dental
amalgam, composite resin, pasta gigi,
6. Dapat disebabkan karena trauma mekanik (koebner phenomenon) akibat
deposit kalkulus, gigi yang tajam, permukaan yang kasar dari prostesis dan
proses operasi pada mulut.
7. Infeksi virus , seperti Human Papillomavirus (HPV-6,11,16, atau 18) dan
human herpesvirus. 1
2.3. Patogenesis
Oral Lichen Planus (OLP) terjadi akibat terjadinya inflamasi yang kronis yang dimediasi
oleh sel T (sel T CD8+) . Belum diketahui agen pasti penyebab terjadinya OLP,
tetapi beberapa beranggapan bahwa sel epitel yang rusak merupakan pemicu terjadinya OLP.
Sel mononuclear, seperti makrofag dan sel T akan menginfiltrasi hingga ke
lapisan propia bagian atas, berdekatan dengan membran basalis. Pada awalnya sel
T CD8+ akan mengenali keratinosit sebagai antigen dengan bantuan Major
Histoccompatibility Complex kelas I (MHCI). Setelah pengenalan dan aktivasi, sel T
CD8+ akan menginduksi apoptosis keratinosit dan memediasi datangnya
beberapa sitokin, seperti TNF yang akan menimbulkan inflamasi yang lebih lanjut.
Proses tersebut mengakibatkan terjadinya gambaran patologis khas pada OLP,
yaitu terjadi pendataran membran basalis, ditemukan intercellular spaces, dan
terpisahnya epitel dengan membran basalis yang dikenal dengan liquefaction
membran basalis. Biasa ditemukan juga colloid bodies (Civatte bodies)
yang disebabkan oleh keratinosit yang mengalami kematian - premature. OLP
mempunyai potensi untuk menjadi keganasan, yaitu Oral Squamous Cell
Carcinoma (OSCC) yang diakibatkan oleh aktivasi stroma yang luas dan persisten
5
yang dapat menjadi promotor untuk menjadi keganasan. Jenis OLP yang kemungkinan bisa
berkembang menjadi OSCC adalah atrofik, erosif, dan lesi plak. 1
Penyebab naiknya potensi keganasan pada OLP
tidak jelas. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh naiknya mutasi gen
cancer-forming dikarenakan oleh respon inflamasi kronis dan respons perbaikan
luka epitelial. Proses yang terjadi adalah macrofag migration inhibitory factor (MIF)
dilepaskan dari sel T dan makrofag menekan proses traskripsi yang terjadi pada p53.
Selain itu, faktor genetik juga berperan dalam proses menjadi keganasan tersebut
yang diperkirakan terjadi akibat mutasi pada gen yang mengatur apoptosis sel (mutasi
p53).1
Gambar 2.1. Papul pergelangan tangan pada liken planus (atas). Perubahan kuku pada liken planus (bawah).
Gambar 2.3. Liken planus tipe plak dengan area erosi pada dorsum lidah
2.5. Diagnosis
Pada anamnesa perlu diperhatikan faktor risiko dan keluhan yang dirasakan. OLP lebih
sering pada perempuan dengan usia > 40 tahun biasanya didapati komorbid dengan
penyakit hati, autoimun, hepatitis C, dan kolitis useratif. 5,6,7
Selain itu, pasien biasanya mengeluh bahwa mulutnya sensitif dengan
pasta gigi, asam, alkohol, makanan pedas, dan makanan asin. Rasa sakit, terasa
terbakar, kasar, dan lesi pada mulut juga merupakan keluhan yang bisa dirasakan
pasien.5,6,7
Pada pemeriksaan fisik oral, biasanya ditemukan tampakan jaring
berwarna putih bilateral dengan atau tanpa ulkus atau bula sesuai dengan tipenya.
Biasanya terdapat pada mukosa bukal, ventral, dan permukaan dorsal dari lidah
dan gingiva.5,6,7
10
Smear dan swab untuk mikologi bisa dilakukan pada kasus yang terdapat
pada superinfeksi kandidiasis, biasa terjadi pada penggunaan kortikosteroid topikal sebagai
terapi.5
Skin test terhadap alergi mercury amalgam juga dilakukan, bila dicurigai
bahwa terjadinya lichen planus merupakan sebab dari alergi terhadap materi yang digunakan
ketika melakukan perawatan gigi.5
Pada pemeriksaan serologi, tidak terdapat perubahan berarti pada penderita
OLP, tetapi padasebagian kasus, sering dijumpai peningkatan titer ANA.5
Terdapat kemungkinan bahwa lesi liken planus oral merupakan akibat dari
aktivasi oleh karena infeksi hepatitis C. Oleh karena itu, pemeriksaan dari
hepatitis C harus dilakukan dalam pemeriksaan penunjang dari liken planus oral.5
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Perawatan Medis (Non-Farmakologi)
Pengobatan OLP sangat penting untuk pengelolaan nyeri, eritema, erosi,
atau lesi bulosa. Tujuan utama dari terapi liken planus adalah resolusi gejala nyeri,
resolusi lesi mukosa mulut, pengurangan risiko kanker mulut, dan pemeliharaan
kebersihan mulut yang baik. Pada pasien dengan penyakit berulang, tujuan lain
adalah memperpanjang interval dari gejala-bebas.
Perhatian utama dengan terapi saat ini adalah efek samping lokal dan
sistemik dan kambuh setelah pengobatan lesi dihentikan. Tidak ada pengobatan
OLP yang kuratif.
Menghilangkan faktor eksaserbasi lokal. Perlakukan setiap gigi yang tajam
atau restorasi rusak atau prostesis yang mungkin menyebabkan trauma fisik ke
daerah-daerah eritema atau erosi dengan menggunakan cara konvensional gigi.
Skaling gigi untuk menghapus karang gigi dan mengurangi tepi yang tajam. Jika
pasien memiliki plak atau OELP pada mukosa bukal atau labial berdekatan
dengan restorasi gigi, dan jika alergi terdeteksi oleh alat tes patch kulit, lesi dapat
sembuh jika bahan dihilangkan atau diganti.
12
dengan OLP disarankan menjaga kebersihan mulut dengan tepat dan sering
kontrol ke dokter gigi.
Metode
Desain Penelitian
Empat belas pasien rawat jalan yang mencari pengobatan untuk OELP pada
Departemen Dermatologi, Rumah Sakit Universitas Nice, dinilai untuk kecocokan
dimasukkan dalam penelitian ini mulai dari 21 Desember 2005 hingga 19 April
2005. Dari 14 pasien, 2 tidak memenuhi kriteria inklusi dan 12 diikutkan dalam
uji acak terkontrol samar-ganda. Randomisasi dibuat dalam 2 kelompok dilakukan
dengan mencabut undian, dengan ekuilibrasi tiap 4 subjek. Penelitian ini disetujui
oleh komite etik Nice.
17
Pasien
Kriteria inklusi termasuk konfirmasi dari diagnosis OELP melalui pemeriksaan
histologis dengan spesimen biopsi oral dan skor klinis lebih dari 3. Riwayat klinis
dan pemeriksaan histologis yang teliti, termasuk tipe dan lokasi infiltrat inflamasi
dan adanya badan cytoid, dilakukan untuk membedakan OELP dari reaksi
likenoid. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan umur kurang dari 18 tahun,
pasien hamil atau menyusui, pasien dengan keganasan, infeksi berat atau rekuren,
penyakit kronik yang tidak terkontrol, kondisi imunosupresi kongenital atau
didapat, dan menjalani terapi yang meningkatkan potensi penyembuhan OELP
seperti agen antimalaria, retinoid oral, kortikosteroid, atau obat imunosupresif.
Intervensi
Intervensi dengan krim pimekrolimus 1% atau vehikulumnya, yang dioleskan
pada lesi ulseratif dua kali sehari selama 4 minggu. Krim pimekrolimus dan krim
plasebo disediakan oleh Novartis Pharma AG, Basel, Swiss. Krim plasebo
merupakan eksipien dari pimekrolimus. Studi farmakologis telah dilakukan oleh
Novartis Pharma AG (data tidak terpublikasi, 2004), dan telah menunjukkan tidak
ada toksisitas ketika krim ini digunakan pada mukosa. Tidak dibolehkan makan,
minum, atau mengunyah permen karet selama 30 menit setelah krim dioleskan.
Evaluasi
Evaluasi klinis dilakukan oleh seorang dokter. Efikasi pengobatan dikuantifikasi
menggunakan skor. Sistem skoring dijelaskan pada penelitian sebelumnya. Secara
singkat, nyeri spontan atau dicetuskan oleh makanan diberi skor 0-4 menggunakan
skala analog visual (visual analogue scale). Permukaan area erosi dievaluasi
dengan menggambar dimana area pada beberapa zona mulut diindikasi sebagai
persentasi dari seluruh permukaan area mukosa oral. Keterlibatan kurang dari 5%
diberi skor 1; 5-15% 2; 16-25% 3; dan lebih dari 25% 4. Total dari ketiga
penilaian tersebut memberikan nilai maksimal 12. Evaluasi klinis (termasuk
tekanan darah) dilakukan tiap minggu, dan foto diambil juga setiap minggu.
Semua efek samping dicatat. Hitung darah, panel metabolik lengkap (termasuk
18
hitung sel darah merah, sel darah putih, platelet, kadar hemoglobin, hipernatremia,
kalemia, hiperkloremia, dan kadar urea nitrogen serum, kreatinin, glukosa,
bilirubin total, kolesterol total, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, laktat
dehidrogenase, dan enzim pankreas), dan kadar pimekrolimus dalam darah
diperiksa pada hari 0 (H0), hari 14 (H14), dan hari 28 (H28). Pemeriksaan kadar
pimekrolimus dalam darah dilakukan oleh Novartis Pharma AG dengan high-
performance liquid chromatography-metode spektrometri massa menggunakan
250 µL darah (ambang kuantifikasi, 0.3 ng/mL). Penggunaan krim dievaluasi
dengan menimbang berat tube pada akhir studi. Pemeriksaan subjektif dari efikasi
pengobatan juga ditanyakan pada pasien pada akhir studi (skor: memburuk, tidak
ada efek, atau perbaikan ringan, sedang, atau jelas).
Analisis Statistik
Evolusi dari skor dalam setiap grup antara H0 dan H28 dianalisis dengan uji
Wilcoxon. Perbandingan kuantitas krim yang digunakan antara 2 kelompok
dianalisis dengan uji nonparametrik Mann-Whitney.
Hasil
Enam pasien menerima krim pimekrolimus, dan 6 lainnya menerima plasebo
(Tabel). Semua pasien pernah menerima setidaknya 1 pengobatan lain. Durasi
rerata dari OELP adalah 12 tahun (rentang, 2-58 tahun) (kelompok plasebo, 7
tahun; dan kelompok pimekrolimus, 16 tahun). Satu pasien (pasien 9 pada
kelompok plasebo) tidak melanjutkan penelitian pada H14 karena kondisinya
gagal membaik. Hasil dianalisis dengan populasi intent-to-treat. Tidak ada
perbedaan statistik yang signifikan pada skor antara 2 kelompok pada awal
penelitian (4.67 untuk kelompok plasebo dibandingkan 6.83 pada kelompok
pimekrolimus; P=.39). Pada kelompok plasebo, total skor membaik pada 3 pasien
(hanya 1 pasien dengan penurunan skor >3 poin). Skor rerata adalah 4.67 pada H0
dibanding 3.33 pada H28 (P=.22). Pada kelompok pimekrolimus, perbaikan skor
total terjadi pada 5 pasien (semua pasien mengalami penurunan skor >3 poin).
Skor rerata adalah 6.83 pada H0 dan 3.33 pada H28 (P=.04) (Gambar 1). Skor
19
rerata dari erosi 1.67 pada H0 dan 1.33 pada H28 di kelompok plasebo dan 2.17
pada H0 dan 0.83 pada H28 pada kelompok pimekrolimus (Gambar 2).
Mean value 2.32 ng/mL (extremes, 0-6.10 ng/mL) pada H14 dan 2.84 ng/ml
(extremes, 0-6.19 ng/mL) pada H28.
22
Komentar
Penurunan signifikan pada derajat keparahan pada kelompok pimekrolimus
menunjukkan efektivitas krim pimekrolimus 1% dalam mengobati OELP. Karena
hanya sedikit pasien dalam penelitian ini. Penilaian objektif didukung dengan
laporan subjektif mengenai perbaikan erosi dan nyeri saat makan, pada awal
pengobatan. Lebih penting, semua pasien dalam kelompok pimekrolimus kecuali
1 melaporkan perbaikan sedang hingga penting terhadap penyakitmua dan puas
dengan pengobatan. Namun, pengobatan tidak menghasilkan keuntungan jangka
panjang. Semua pasien dengan OELP yang kondisinya membaik selama
pengobatan mengalami relaps dalam 1 bulan setelah pengobatan dihentikan. Hasil
ini sesuai dengan observasi dan penelitian sebelumnya dengan pimekrolimus
topikal.
Krim pimekrolimus ditoleransi dengan baik, dengan sensasi terbakar
sementara dialami selama 2 minggu pertama pengobatan. Tidak ada pasien yang
menghentikan pengobatan karena alasan ini. Tekanan darah tetap stabil, dan
analisis laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan. Sepengetahuan kami, tidak
ada data toksisitas ditemukan pada manusia sebelum penelitian ini dilakukan.
Penelitian farmakologis yang dilakukan pada hewan hanya dilakukan oleh
Novartis Pharma AG (data tidak terpublikasi, 2004). Tidak ada efek toksik
ditemukan ketika krim ini dioleskan pada mukosa kelinci. Sepengetahuan kami,
penelitian kami merupakan yang pertama kali mengevaluasi pajanan sistemik
setelah pajanan mukosa terhadap krim pimekrolimus pada manusia. Konsentrasi
pimekrolimus dalam darah selalu di atas ambang deteksi dan lebih tinggi (sekitar
3 kali) daripada ketika dioleskan pada kulit. Hasil ini sudah terduga karena barrier
kulit lebih baik daripada barrier mukosa dank arena lesi yang diobati bersifat
23
erosif. Pada penelitian kami, kadar pimekrolimus dalam darah kelihatannya tidak
berkaitan dengan permukaan area lesi erosif atau kuantitas krim yang digunakan,
sehingga faktor individual lebih dicurigai. Lebih lanjut, kadar pimekrolimus
dalam darah tidak menurun dengan penyembuhan lesi. Bertolak-belakang, lebih
meningkat pada H28 dibanding H14. Peningkatan sedikit ini mungkin disebabkan
pajanan berulang dan/atau efek kumulatif. Kadar pimekrolimus dalam darah tetap
lebih rendah (sekitar 10 kali lebih rendah) dibandingkan dengan penggunaan
pimekrolimus oral pada pengobatan psoriasis (54.5 ng/mL). Namun, walaupun
kadar pimekrolimus melebihi 50 ng/mL, tidak terdapat efek samping secara klinis,
laboratories, fungsi ginjal, dan imunologis yang dilaporkan. Namun kadar
pimekrolimus dalam darah yang rendah lebih akan lebih aman, maka kontrol lebih
lanjut pada pasien dengan periode yang lebih lama harus dilakukan untuk
meyakinkan tidak ada efek kumulatif.
Sepengetahuan kami, pengobatan terbaik dari OELP adalah kortikosteroid
topikal dengan potensi tinggi. Remisi sempurna terjadi pada 56-75% pasien.
Namun, obat ini diketahui dapat menginduksi atrofi lokal, fragilitas, dan
teleangiektasi, dan memudahkan infeksi, termasuk kandidiasis akut. Obat ini juga
memiliki risiko secara teoris yaitu menurunkan imunitas lokal dan mempercepat
pertumbuhan keganasan. Hanya sedikit efek samping yang dilaporkan selama
penggunaan inhibitor kalsineurin untuk pengobatan OELP. Paling sering adalah
keluhan sensasi terbakar. Namun, perhatian lain ketika mengobati OELP dengan
obat imunosupresif adalah kemungkinan terjadinya neoplasia pada lesi OELP
kronis. Jadi, efek karsinogenik dari penggunaan jangka-panjang inhibitor
kalsineurin topikal pada OELP perlu dipertimbangkan. Kortikosteroid topikal
memberikan bukti yang banyak dan lebih murah dibandingkan inhibitor
kalsineurin topikal. Jadi, hingga uji acak komparatif dilakukan, inhibitor
kalsineurin topikal sebaiknya dijadikan sebagai terapi lini kedua.
Sesuai dengan data saat ini, krim pimekrolimus 1% kelihatannya efektif
dan ditoleransi dengan baik untuk OELP. Namun, pengobatan tersebut harus
digunakan jangka-panjang karena relaps terjadi saat pengobatan dihentikan.
Penelitian lebih lanjut pada populasi yang lebih besar dengan follow-up lebih lama
24
dan pemantauan kadar pimekrolimus dalam darah diperlukan untuk evaluasi lebih
baik mengenai kegunaan dan keamanannya dibandingkan pilihan terapi lainnya.
25
BAB 3
KESIMPULAN
Liken planus adalah inflamasi kronis mukokutaneus yang dimediasi oleh sel T. Penyakit
ini menyerang mukosa oral (oral lichen planus), genital, kulit, scalp, dan kuku.
Mukosa oral merupakan daerah yang paling sering terkena dan bisa menjadi satu-
satunya gejala pada kebanyakan kasus.
Krim pimekrolimus 1% kelihatannya merupakan pengobatan efektif dan
ditoleransi dengan baik untuk liken planus erosif oral. Namun, pengobatan
tersebut harus digunakan jangka-panjang karena relaps terjadi saat pengobatan
dihentikan.
Kortikosteroid topikal memberikan bukti yang banyak dan lebih murah
dibandingkan inhibitor kalsineurin topikal dalam mengobati OLP. Jadi inhibitor
kalsineurin topikal sebaiknya dijadikan sebagai terapi lini kedua dalam
pengobatan OLP.
26
DAFTAR PUSTAKA