Anda di halaman 1dari 4

1.

1 Kondisi Geologi Regional


Cekungan Ombilin merupakan cekungan Tersier yang berada pada zona pegunungan bukit barisan
atau disebut juga intramontane basin yang dibatasi oleh batuan Pra-Tersier pada bagian tepi
cekungan. Cekungan Ombilin terletak pada busur magmatik Pegunungan Barisan dan proses
terbentuknya sangat dipengaruhi oleh sesar mendatar sumatera yang dengan arah orientasi barat
laut-tenggara yang berasosiasi dengan pensesaran orde kedua baik sesar naik dan turun yang
membentuk pola struktur graben (Katili dan Hehuwat (1967), dalam Koesoemadinata dan Matasak,
1981).
Synrift
Periode pertama terjadi selama pra-Tersier dengan pembentukan cekungan sedimentasi sebagai
accomodation space dari produk sedimentasi yang berlanjut Eosen-Oligosen Awal.Periode ini
ditandai dengan proses awal dari rifting dari batuan dasar seperti batugamping kristalin berumur
Perm (Formasi Silungkang) di daerah Tanah Hitam, batuan metasedimen dari Formasi Kuantan di
daerah Kelok sembilan batas timurlaut dari cekungan Ombilin, granite intrusi di sekitar sungai Lasi,
granite di sekitar Talawi dan batugamping yang berasosiasi dengan rijang didaerah Indarung (PT.
Semen Padang).Mekanisme rifting ini membentuk suatu rangkaian block faulted berupa sesar
mendatar sebagai batas dari cekungan Ombilin yang diikuti dengan sesar synthetic berupa sesar
normal dengan trend barat-timur. Geometri cekungan yang terbentuk dipengaruhi oleh mekanisme
subsidance dan uplift (graben). Periode ini ditandai dengan pembukaan secara dominan dari
cekungan Ombilin sebagai akibat dari pergerakan Sistem Sesar Sumatera berarah Baratlaut –
Tenggara dan sesar normal berarah utara-selatan.Penurunan basement membentuk geometri
basement yang graben asimetri dengan mekanisme pull apart dimana sebagian besar penurunan
basement tersebut didaerah Sinamar. Pada kala Eosen sebagai awal pengisian dari cekungan ini
dimana block bagian yang terangkat mengalami erosi dan sedimennya terendapkan pada bagian
block yang mengalami penurunan. Tektonik ektensional pada fase synrift membentuk suatu
morfologi gawir sesar dari sesar normal pada setiap kedua tepi barat-timur dari cekungan tersebut.
Selanjutnya paleogeografi ini membentuk suatu geometri fan pada bagian tepi cekungan, alur-alur
sungai pada bagian daerah yang datar dan memungkin untuk pembentukan danau pada pertemuan
dua bagian block yang mengalami penurunan.Tipe tekstural dari sedimentasi yang dikontrol oleh
tektonisme pada cekungan Ombilin adalah model facies fluviatil mulai dari kipas alluvial, braided
system sampai meandering system. Karakter tersebut diwakili oleh Formasi Brani yang berpola
menjemari dengan facies lacustrain dari Formasi Sangkarewang sebagai basinal area dari cekungan
Ombilin. Fluviatil system masih berkembang setelah pembentukan Formasi Sawahlunto sebagai
fase akhir dari rifting berkembang alur-alur yang membentuk sudut tajam – high sinuosity – dari
meandering system membentuk amalgamated channel dan flood basin deposits sebagai tempat
terakumulasinya batubara. Berdasarkan data biomarker yang dikemukakan oleh Sutiana, dkk (1994)
menyebutkan bahwa dari beberapa contoh yang dilakukan analisis pada Formasi Sawahlunto
didominasi oleh senyawa pristana yang mencirikan asal bahan organik yang berasal dari organik
darat yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dengan kandungan oksigen yang tinggi. Trend
pembukaan dari cekungan Ombilin paralel dengan geometri dari cekungan tersebut dan semakin
membesar kearah selatan tenggara.
Postrift
Periode posrift terjadi pada Oligosen akhir- Miosen Awal cekungan Ombilin dengan terjadinya break-
up sebagai akibat dari pengaruh tektonik regional yang lebih dominan. Kinematika dari tektonik
tersebut dapat teramati dari pembentukan minor sesar mendatar dan sesar normal sepanjang arah
Baratlaut-Tenggara.Akibat lainnya adalah terjadi proses sedimentasi multi directional transport dari
syn-sedimentary fault dan terjadinya perlipatan kuat sekaligus mengalami pensesaran dari Formasi
Sangkarewang yang lebih plastis. Permulaan sedimentasi dari fase post-rift ini biasanya ditandai
dengan ero-sional unconformity oleh klastika facies fluviatil dengan menghasilkan endapan fraksi
kasar dari Formasi Sawahtambang. Pada endapan bagian atas dari Formasi Sawahtambang yaitu
Anggota Poro terlihat bahwa mulai terjadinya fase transgresi yang dicirikan dengan endapan
batubara yang diperkirakan diendapkan pada suatu zona nearshore marshes ataupun kemungkinan
tidal flat. Hal ini didasarkan pada karakter tektural yang ditemukan pada lokasi pengamatan
singkapan yang termasuk kedalam Anggota Poro.Fase transgresi dan regresi pada awal Neogen ini
berlanjut terus yang membentuk produk endapan sedimen yang dihasilkan memperlihatkan suatu
pola perulangan dalam suatu urutan unit batuan yang utuh ataupun telah mengalami erosional.
Proses Transgresi mengalami puncaknya pada post rift ini terjadi pada saat pengendapan Formasi
Ombilin dengan facies neritik. Pola transgresi ini terjadi secara regional yang dicirikan dengan
menyambungnya cekungan Ombilin dengan cekungan Sumatera Tengah dengan analognya karakter
tekstural Formasi Ombilin dengan Formasi Telisa. Selain terjadinya transgresi secara regional
pada kala Miosen Awal ini peristiwa lainnya yang terjadi adalah fase inversion hampir diseluruh
pulau Sumatera. Hal tersebut menyebabkan terjadinya uplifting, aktifitas volkanisme dan
pensesaran.Mekanisme uplifting ini di kontrol oleh reaktifitasi sesar-sesar yang telah ada
sebelumnya dan berperan pada pembentukan cekungan Neogen di cekungan Ombilin. Uplifting
terus berlanjut sampai Resen ini yang membentuk cekungan Ombilin menjadi daratan kembali
dengan disertai oleh aktifitas volkanisme pembentuk endapan Ranau dan hal ini berkaitan erat
dengan aktifnya Sistem Sesar Sumatera membentuk Ngarai Sianok dan danau Singkarak sebagai
pull-apart basin Resen. Kondisi geografi cekungan Ombilin termasuk kedalam merupakan zona
depresi yang dikelilingi oleh suatu rangkaian perbukitan pra-Tersier ataupun gunungapi yang masih
aktif.

1.1.2 Stratigrafi Geologi Regional

Batuan sedimen di Cekungan Ombilin berumur dari paleogen sampai Pliosen, terdiri atas PROCEEDING,
SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 508 endapan danau,
rawa maupun endapan fluviatil, serta endapan laut. Runtunan batuan sedimen tersebut dialasi oleh
batuan Pra-Tersier yang secara tak selaras ditutupi oleh sedimen Tersier mulai dari umur Paleogen
(Gambar 3).
1.Batuan Pra-Tersier

 Anggota Filit dan Serpih Formasi Kuantan Anggota pada formasi Kuantan ini terdiri dari litologi Serpih
dan Filit dengan sisipan Batusabak, Kuarsit, Batulanau, Rijang dan aliran lava. Umur formasi ini adalah
Karbon - Perm yang diendapkan pada lingkungan laut.
 Formasi Silungkang Terdiri dari litologi Andesit Hornblende, Andesit Augit, MetaAndesit dengan sisipan
Batupasir, Batugamping pasiran, Batupasir gampingan dan Serpih Lempung. Umur formasi ini adalah
Perm yang diendapkan pada lingkungan laut dengan aktivitas vulkanik.
2.Batuan Tersier
 Formasi Brani Formasi Brani merupakan batuan sedimen Tersier tertua di Cekungan Ombilin
(Silitonga dan Kastowo, 1973; Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985; Moss dan Howells,
1996). Formasi Brani mempunyai hubungan fasies menjemari terhadap Formasi Sangkarewang.
Formasi Brani berumur Eosen Akhir merupakan endapan tepian cekungan yang tersusun oleh
konglomerat, breksi dan batupasir. Menurut Silitonga dan Kastowo (1973), Formasi Brani memiliki
umur Paleosen Akhir, tetapi dari hasil analisa polen menunjukkan umur dari Formasi Brani yaitu Eosen
Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993). Pada bagian bawah Formasi Brani dan Sangkarewang tidak
selaras oleh batuan pra-Tersier yang merupakan basement dari Cekungan Ombilin.

 Formasi Sangkarewang Formasi Sangkarewang merupakan batuan sedimen Tersier tertua di Cekungan
Ombilin (Silitonga dan Kastowo, 1973; Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985; Moss dan
Howells, 1996). Formasi Sangkarewang mempunyai hubungan fasies menjemari terhadap Formasi Brani.
Formasi Sangkarewang berumur Eosen merupakan endapan danau yang terdiri atas batupasir dan
batulempung kelabu gelap. Berdasarkan hasil analisa polen di Formasi Sangkarewang diperkirakan
berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993) (Gambar 2.4).
 Formasi Sawahlunto Formasi Sawahlunto terdiri atas endapan sungai dan dataran banjir berwarna
merah, hijau dan ungu, yang terdiri atas batulanau dan serpih yang berasosiasi dengan batupasir
endapan alur, dan berselingan dengan lapisan-lapisan batubara yang terendapkan pada umur Eosen.
Lapisan-lapisan batubara tersebut tebalnya mencapai 15 meter dan bernilai ekonomi (Moss dan
Howells, 1996). Menurut Koning (1985), mengatakan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan tidak
selaras terhadap bagian atas dan bawah dari Formasi Sawahlunto. Lingkungan pengendapan formasi
tersebut ditafsirkan sebagai sistem sungai bermeander dengan sejumlah danau di sekitar alur sungai
(Koesomadinata dan Matasak, 1981). Proses hiatus ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan
sebagai bukti adanya ketidakselarasan pada beberapa penampang seismik pada pinggir cekungan.
Ketebalan dari Formasi Sawahlunto mencapai 274 meter (Kosoemadinata dan Matasak, 1981),
sedangkan menurut Koning (1985), berdasarkan sumur bor, formasi ini memiliki tebal mencapai
170meter.

 Formasi Sawahtambang Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), mejelaskan bahwa Formasi
Sawahtambang dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir yang berstruktur silang siur. Serpih
dan batulanau berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat,
berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran
kerikil, terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Pada bagian bawah formasi terdapat
sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan dan membentuk unit tersendiri yaitu Anggota
Rasau. Sedangkan, pada bagian atas formasi ini terdapat kandungan batubara yang terjadi secara
setempat dan membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro. Umur Formasi Sawahtambang yaitu
Oligosen (Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985; Yarmanto dan Fletcher, 1993; Moss dan
Howells, 1996). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang memiliki
ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukkan terjadinya penebalan dari utara ke
selatan cekungan.

 Formasi Ombilin Satuan yang lebih muda dan menumpang selaras di atas Anggota Bawah Formasi
Ombilin adalah Anggota Atas Formasi Ombilin (Silitonga dan Kastowo, 1973) yang disebut juga sebagai
Formasi Ombilin (Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985). Formasi Ombilin ini tebalnya
mencapai 1400 meter, terdiri atas endapan laut berupa napal kelabu, lempung dan setempat dijumpai
lapisan- lapisan betugamping bioklastik (Moss dan Howells, 1996). Formasi Ombilin memiliki umur
Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985; Yarmanto dan Fletcher, 1993; Moss dan
Howells, 1996). Lingkungan pengendapan dari Formasi Ombilin merupakan indikasi dari lingkungan
marine hal ini disebakan dominannya keterdapatan dari glauconite yang menyusunnya serta
keterdapatan fosil foraminifera (Koesomadinata dan Matasak, 1981). Formasi Ombilin memiliki
ketebalan mencapai 1442 m (Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan berdasarkan Koning
(1985), memiliki tebal mencapai 2740 meter hal ini didasarkan atas data seismik.

 Formasi Ranau Endapan Tersier termuda di Cekungan Ombilin yang menumpang tak selaras diatas
Formasi Ombilin adalah Formasi Ranau (Koesomadinata dan Matasak, 1981; Koning, 1985; Yarmanto
dan Fletcher, 1993; Moss dan Howells, 1996), yang berumur Pleistosen yang terdiri dari material tuff,
material tersebut berasal dari barisan yang mengisi pada cekungan. Selain itu, Formasi Ranau
terendapkan secara tidak selaras dengan formasi Ombilin dan membentuk angular unconformity.

Anda mungkin juga menyukai