Anda di halaman 1dari 87

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

S DENGAN MASALAH UTAMA


GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN
DI PANTI GRAMESIA
KAB. CIREBON

Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas stase Keperawatan Jiwa


Dosen Pengampu : Arif Munandar, M.Kep., Ners

Disusun Oleh :
Amrina Rosyada
Husnul Khotimah
Rahayu
Reinaldy Qadarsyah
Tantri Dwi Lestari
Tika Kartika

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

HALUSINASI

2.1 Pengertian

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu
(Prabowo, 2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2012).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalamai perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan
stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
2.2 Penyebab

a. Faktor Predisposisi

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan


kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan


merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress


yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
4) Faktor Psikologi

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus


pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyataa menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini (Prabowo, 2014).
b. Faktor Presipitasi

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur


proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
2) Stress Lingkungan

Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor


lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi


stress
4) Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,


perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan nyata dan tidak (Prabowo, 2014).
2.3 Jenis-Jenis Halusinasi
Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu, diantaranya:
1. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama
suara-suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
2. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,
gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan
komplesk. Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau
busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses.
Kadang-kadang terhidu bau harum. Biasnya berhubungan dengan stroke,
tumor, kejang dan demensia.
4. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak
enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang
dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,
amis, dan menjijikkan (Yosep Iyus, 2007).
2.4 Rentang Respon
Adaptif                                                                                  Maladaptif
           Pikiran logis                     Distorsi pikiran                    Gangguanpikir/delusi
           Persepsi kuat                    Ilusi                                       Halusinasi
           Emosi konsistendengan   Reaksi emosi berlebihan       Sulit berespon
           Pengalaman                      atau kurang                         Perilaku disorganisasi
           Perilaku sesuai                 Perilaku aneh/tidak biasa        Isolasi sosial
           Berhubungan sosial          Menarik diri
1. Rentang Respon

a. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social


budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal
jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari


pengalaman ahli

4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran

5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan

b. Respon psikosossial

Meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan

2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang


penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indra

3) Emosi berlebih atau berkurang

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang


lain.
c. Respon maladapttif

Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah


yang menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun
respon maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social.

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal


yang tidak realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.

4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur

5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negative mengancam (Damaiyanti,2012: 54)

2.5 Proses Terjadinya Masalah

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki
karakteristik yang berdeda yaitu:

1) Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan
asyik sendiri.
2) Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas
kendali dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumberdipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda- tanda sistem saraf
otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital ( denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengna pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.

3) Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan
orang ain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain
dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutamajika akan
berhubungan dengan orang lain.
4) Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari 1
orang. Kondisi pasien sangan membahayakan ( Prabowo, 2014).
2.6 Tanda dan Gejala
Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
1) Bicara, senyum, dan ketawa sendiri

2) Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba
lambat
3) Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang ain
4) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
5) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
6) Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
7) Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya)
dan takut
8) Sulit berhubungan dengan orang lain

9) Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah

10) Tidak mampu mengikuti perintah

11) Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi (Prabowo, 2014).
2.7 Akibat

Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
ingkungan. Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya ( Prabowo,
2014).
2.8 Mekanisme Koping
1) Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
3) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
(Prabowo, 2014).
2.9 Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, lingkungan

Halusinasi

Kerusakan
Komunikasi
Verbal
Intoleransi Aktivitas Menarik Diri (Isos) Defisit Perawatan
Diri

Perilaku Mencari Bantuan


Kesehatan Harga Diri Rendah Perubahan Proses Pikir :waham

Distres Spiritual Mekanisme Koping In Efektif


Distres Masa Lalu

2.10 Penatalaksanaan Medis


Menurut Kelliat (2011) tindakan keperawatan untuk membantu klien
mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya
dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk
merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi
tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara
konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat
kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul
untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau
menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar
tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah
klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang
harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha
yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu
dengan cara-cara baru.
Menurut Kelliat (2011) ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada
klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1) Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien
harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga.
Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini
dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu
pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan
pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik
halusinasi.
2) Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu,
klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi,
serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan
tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi
yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan
pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan
klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini
penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana
klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa
klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak
didukung secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa
kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa
berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih
mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan
halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke
rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara
perlahan – lahan sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.

Efek samping:

Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,


mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk
penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama
EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.

b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar


Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette
pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak – anak.

Cara pemberian:

Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg


untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg intramuskuler
setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.

Kontra indikasi:

Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,


hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:

Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik.
Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.
Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis
terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,
sedasi, koma, depresi pernapasan.

c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil


Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg )
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg
dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan, tergantung
dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya
peningkatan perlahan – lahan.

Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan suportif,
atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan ephineprine.
3.Berinteraksi dengan orang lain
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.
Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan
stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan
mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi
sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua
yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.

Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak


dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan
halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari
pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang
bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut
sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk melamun tak terarah.
Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat, yaitu melaksanakan
aktivitas terjadwal.

2.11 Data Fokus Pengkajian


1) Gangguan Presepsi Sensori : Halusinasi
- Data Subjektif
 Klien mengatakan mendengar bunyi- bunyi yang tidak
berhubungan dengan kenyataan
 Klien mengatakan melihat gambar tanpa adanya stimulus yang
nyata
 Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
 Klien mengatakan merasa makan sesuatu
 Klien merasakan adanya sesuatu dikulitnya
 Klien ingin memukul atau melempar barang-barang
- Data Objektif
 Klien berbicara dan tertawa sendiri
 Klien bersikap seperti mendengar dan melihat sesuatu
 Klien berhenti berbicara ditengah untuk mendengarkan sesuatu
2.12 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Gangguan presepsi sensori : Halusinasi
2. Isolasi Sosial : Menarik Diri
3. Resiko Prilaku Kekerasan
2.13 Rencana Asuhan Keperawatan
No. DX Kep Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Gangguan presepsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan psikoterapeutik klien
sensori : Halusinasi dalam 3x24 jam diharapkan klien mampu 1) Membina hubungan saling percaya
mengontrol halusinasi dengan kriteria hasil 2) Adakan kontak sering dan singkat
: secara bertahap
 Klien dapat membina hubungan saling 3) Observasi tingkah laku klien
percaya terkait halusinasinya
 Klien dapat mengenal halusinasi, jenis, 4) Tanyakan keluhan yang dirasakan
isi, waktu, frekuensi, respon terhadap klien
halusinasi dan tindakan yang sudah SP I
dilakukan  Identifikasi jenis halusinasi klien
 Klien dapat menyebutkan dan  Identifikasi jenis isi halusinasi
mempraktikan cara mengontrol klien
halusinasi yaitu dengan menghardik,  Identifikasi waktu halusinasi klien
bercakap-cakap dengan orang lain,  Identifikasi frekuensi halusinasi
terlibat atau melakukan kegiatan dan klien
meminum obat.  Identifikasi respon klien terhadap
halusinasi
 Ajarkan klien menghardik
halusinasi
SP II
 Evaluasi jadwal harian klien
 Latih klien mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengan orang lain
 Anjurkan klien memasukan pada
jadwal kegiatan harian
SP III
 Evaluasi jadwal kegiatan harian
klien
 Latih klien mengendalikan
halusinasi dengan melakukan
kegiatan
 Anjurkan klien untuk memasukan
jadwal harian
SP IV
 Evaluasi jadwal kegiatan harian
 Berikan penkes tentang cara
penggunaan obat secara teratur
 Ajarkan klien memasukan jadwal
kegiatan harian
 Beri pujian jika klien
menggunakan obat dengan benar
 Mengajurkan klien
mendemostrasikan cara control
yang sudah diajarkan
 Mengajurkan klien untuk memilih
salah satu control halusinasi.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

3.1 Pengertian

Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak
sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh
orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
(Prabowo, 2014).
Waham curiga adalah Keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang mau
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapai tidak sesuai
dengan kenyataan. (Kelliat, 2011).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus
internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu
keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas.
Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan
tersebut diucapkan berulang kali (Yusuf, 2015).
Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan menilai dan berespon pada
realita. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan sehingga muncul
perilaku yang sukar untuk dimengerti dan menakutkan. Gangguan ini biasanya
ditemukan pada pasien skizofrenia dan psikotik lain. Waham merupakan bagian dari
gangguan orientasi realita pada isi pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham
untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam
hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan perasaan
bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan alasan atau logika
(Yusuf,2015)
3.2 Penyebab
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan
konsep diri : harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang
pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri,
hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya waham adalah  :

1. Gagal melalui tahapan perkembangan dengan sehat

2. Disingkirkan oleh orang lain dan merasa kesepian

3. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain

4. Perpisahan dengan orang yang dicintainya

5. Kegagalan yang sering dialami

6. Keturunan, paling sering pada kembar satu telur

7. Sering menggunakan penyelesaian masalah yang tidak sehat,


misalnya    menyalahkan orang lain.

Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego
spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham menggunakan
mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi,
digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan
cinta. Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan mejadi kemandirian yang
kokoh.Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan  yang
menyakitkan.  Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang
tidak dapat di terima dari dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas
telah dihipotesiskan telah menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi waham dan
suporioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang
menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka
(Stuart, 2016).
3.3 Klasifikasi Waham

Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Kelliat (2011) yaitu :
Jenis Waham Pengertian Perilaku klien

Waham kebesaran Keyakinan secara “Saya ini pejabat di


berlebihan bahwa dirinya kementrian semarang!” “Saya
memiliki kekuatan khusus atau punya perusahaan paling
kelebihan yang berbeda dengan besar lho “.
orang lain, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan
Kenyataan
Waham agama Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah tuhan yang bisa
secara berlebihan, diucapkan menguasai dan mengendalikan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai semua
dengan makhluk”.
kenyataan.
Waham curiga Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka mau
sekelompok orang yang mau menghancurkan saya,
merugikan atau mencederai karena iri dengan
dirinya, kesuksesan saya”.
diucapkan berulang-ulang tetapai
tidak sesuai dengan
kenyataan.
Waham somatic Keyakinan seseorang bahwa tubuh “ Saya menderita kanker”.
atau sebagian tubuhnya terserang Padahal hasil pemeriksaan lab
penyakit, diucapkan tidak ada sel kanker pada
berulang-ulang tetapi tidak tubuhnya.
sesuai dengan kenyataan.
Waham nihlistik Keyakinan seseorang bahwa “ ini saya berada di alam kubur
dirinya sudah meninggal dunia, ya, semua yang ada disini
diucapkan berulang- ulang tetapi adalah roh-roh nya”
tidak sesuai
dengan kenyataan.

3.4 Rentang Respon


Rentang respon gangguan adaptif dan maladaptif dapat dijelaskan sebagai berikut :

Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran Logis Distorsi Pikiran Gangguan Isi Pikir Waham


 Persepsi akurat.  Kadang-kadang isi pikir  Ketidakmampuan untuk
terganggu ilusi. mengalami emosi.
 Emosi konsisten dengan
pengalaman.  Reaksi emosional  Ketidakmampuan isolasi
berlebihan atau kurang. social.
 Prilaku sesuai dengan
hubungan social.  Perilaku ganjil atau tidak
lazim.

Sumber: Kelliat (2011)

3.5 Proses terjadinya masalah

1. Faktor Predisposisi

a) Faktor Perkembangan

Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal


ini dapat meningkatkan sters dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi,
klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif
b) Faktor Sosial Budaya

Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya


waham
c) Faktor Psikologis

Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/ bertentangan dapat menimbulkan


ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d) Faktor Biologis

Waham diyakini terjadi karena adanya atropi otak pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbik
e) Faktor Genetik
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok
b. Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprine, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang
c. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.

3.6 Tanda dan Gejala

Data Subyektif Data Obyektif


- Klien mengatakan sebagai orang - Marah-marah tanpa sebab
hebat. - Banyak kata (logorrhoe)
- Klien mengatakan memiliki - Menyendiri
kekuatan luar biasa - Sirkumtasial
- Klien merasa sudah mati - Menyendiri
- Klien merasa sakit/rusak organ - Mudah tersinggung
tubuh - Sangat waspada
- Klien merasa diancam/diguna-guna - Tidak tepat menilai
- Klien merasa curiga lingkungan/realitas
- Klien merasa orang lain menjauh - Merusak
- Klien merasa tidak ada yang mau
mengerti
3.7 Akibat

Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal yang ditandai
dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata
yang didengar dan kontak mata yang kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya
adalah beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
3.8 Mekanisme Koping
Menurut Kelliat (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk
aktivitas hidup sehari-hari

2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.

3. Menarik diri

3.9 Pohon Masalah

Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Gangguan Proses Fikir: Waham

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Harga Diri Rendah


Kronis

3.10 Diagnosa Keperawatan

1) Perilaku kekerasan

2) Waham

3) Menarik Diri

4) Harga Diri Rendah.


No Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 Gangguan proses fikir: TUM: Klien dapat mengontrol Setelah …x interaksi klien 1. Bina hubungan saling percaya
waham curiga wahamnya. dapat membina hubungan dengan klien :
TUK: saling percaya dengan
 Beri salam.
1. Klien dapat membina kriteria:
hubungan saling percaya  Mau menerima  Perkenalkan diri, tanyakan nama
dengan perawat. kehadiran perawat di serta nama panggilan yang

sampingnya. disukai.

 Mengatakan mau  Jelaskan tujuan interaksi.

menerima bantuan  Ciptakan lingkungan yang


perawat. tenang.
 Tidak menunjukkan  Buat kontrak yang jelas (topik,
tanda-tanda curiga. waktu, tempat).
 Mengijinkan duduk  Yakinkan klien berada dalam
disamping. lingkungan yang aman dan
 Klien dapat terlindungi.
mengungkapkan  Tunjukkan sikap terbuka dan
perasaan tentang jujur.
waham.
 Observasi apakah waham klien
mengganggu aktifitas sehari-hari
dan perawatan diri.
2. Klien dapat Setelah ...x interaksi klien 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
mengidentifikasi dapat mengindetifikasi kemampuan yang dimiliki.
kemampuan yang kemampuan yang dimiliki
 Beri pujian pada penampilan dan
dimiliki dengan kriteria:
kemampuan klien yang realistis
 Mampu menyebutkan
 Diskusikan bersama klien
serta memilih
kemampuan yang dimiliki pada
kemampuan yang
waktu lalu dan saat ini yang
dimiliki
realistis
 Tanyakan apa yang biasa
dilakukan kemudian anjurkan
untuk melakukannya saat ini
(kaitkan dengan aktivitas sehari-
hari dan perawatan diri)
 Jika klien selalu bicara tentang
wahamnya, dengarkan sampai
kebutuhan waham tidak ada.
3. klien dapat Setelah ...x interaksi klien 3. Bantu klien untuk mengidentifikasi
mengidentifikasi stessor/ dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi serta
pencetus wahamnya. stressor/pencetus wahamnya kejadian yang menjadi faktor
(Triggers Factor) dengan kriteria: pencetus wahamnya.
 Dapat menyebutkan  Bantu klien mengidentifikasi
kejadian-kejadian sesuai kebutuhan yang tidak terpenuhi
dengan urutan waktu serta kejadian yang menjadi
serta harapan/kebutuhan faktor pencetus wahamnya.
dasar yang tidak
 Diskusikan kebutuhan/harapan
terpenuhi seperti: harga
yang belum dapat dipenuhi serta
diri, rasa aman, dsb.
kejadian-kejadian traumatik
 Dapat menyebutkan
 Diskusikan dengan klien antara
hubungan antara
keinginan yang klien ingin capai
kejadian traumatis/
saat ini
kebutuhan tidak
terpenuhi dengan
wahamnya.
4. klien dapat Setelah...x interaksi klien 4. Bantu klien mengidentifikasi
mengidentifikasi dapat mengidentifikasi keyakinannya yang salah tentang
wahamnya. wahamnya dengan kriteria: situasi yang nyata (bila klien sudah
 Menyebutkan siap)
perbedaan
 Diskusikan dengan klien
pengalaman nyata
pengalaman wahamnya tanpa
dengan pengalaman
berargumentasi.
wahamnya.
 Katakan kepada klien akan
keraguan parawat terhadap
pernyataan klien.

 Diskusikan dengan klien respon


perasaan terhadap wahamnya.

 Bantu klien membedakan situasi


nyata dengan situasi yang
dipersepsikan salah oleh klien.
5. Klien dapat Setelah ....x interaksi klien 5. Bantu klien dapat menggunakan obat
menggunakan obat dapat menggunakan obat dengan benar
dengan benar dengan benardengan  Diskusikan dengan klien dan
kriteria: keluarga tentang program
 Klien meminum pengobatan klien (nama obat,
obat sesuai dengan dosis, frekuensi, efek bila obat
aturan dihentikan).

 Diskusikan perasaan klien


setelah minum obat.

 Berikan obat dengan prinsip 5


benar
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

4.1 Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain (Yosep, 2007).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun
orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi,
2011).

4.2 Penyebab
1. Faktor Predisposisi

Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan


adalah:
a. Teori Biologis

1) Neurologic Faktor

Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,


dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif (Mukripah, 2012).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara
perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang
merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional dan
emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan tindakan agresif
yang berlebihan (Nuraenah, 2012).
2) Genetic Faktor

Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe
karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak
kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif
(Mukripah, 2012).
3) Cycardian Rhytm

Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada


jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya
kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih
mudah bersikap agresif (Mukripah, 2012).
4) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin,
norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus
dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan
dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya
melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin
serta penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada
cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku
agresif ( Mukripah, 2012).
5) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor
otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012).
b. Teori Psikogis

1) Teori Psikoanalisa

Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh


kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang
dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang yang rendah.
Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku
tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012).
2) Imitation, modelling and information processing theory Menurut teori ini
perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media
atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk
menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif
( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan
tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka
tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah
anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dilihatnya (Mukripah,
2012).
3) Learning Theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan


terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah
( Mukripah, 2012).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
1) Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa
terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lingkungan.
3) Lingkungan
Panas, padat, dan bising.
4.3 Rentang respon

Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK


Klien mampu Klien gagal Klien Klien Perasaan
mengungkapkan menapai merasa tidak mengeks- marah dan
rasa marah tujuan dapat presikan secara bermusuha
tanpa kepuasan saat mengungkap fisik, tapi n yang kuat
menyalahkan marah dan kan masih dan hilang
orang lain dan tidak dapat perasaannya, terkontrol, kontrol
memberikan menemukan tidak mendorong disertai
kelegaan. alternatifnya. berdaya dn orang lain amuk,
menyerah. dengan merusak
ancaman lingkungan
Gambar Rentang Respon Marah

a. Respon Adaptif

Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial


budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif (Mukripah, 2012):
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul


dari pengalaman

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
2. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari
hati
4. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah, 2012).

4.4 Tanda dan Gejala

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari:

1) Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2) Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
3) Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
5) Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8) Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
4.5 Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan (Kartika, 2015).

4.6 Mekanisme Koping

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk


melindungi diri antara lain:
a) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah, 2012).
b) Proyeksi

Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak


baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya (Mukhripah,
2012).
c) Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam


sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk
oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakanya (Mukhripah, 2012).
d) Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih


lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah, 2012).

e) Deplacement

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek


yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar
didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temannya
(Mukhripah, 2012).
4.7 Penatalaksanaan
a) Farmakoter
api

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan


mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Prabowo, 2014).

b) Terapi okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog
atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya.
Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan
program kegiatannya (Prabowo, 2014).
c) Peran serta keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan


perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier)
sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal (Prabowo, 2014).
d) Terapi somatik

Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi


somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku
adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
pasien,terapi adalah perilaku pasien (Prabowo, 2014).
e) Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah


bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Prabowo, 2014).

4.8 Pohon Masalah

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan

Perilaku Kekerasan PPS : Halusinasi

Regimen Terapeutik
Inefektif
Harga Diri Rendah Isolasi Sosial :
Kronis Menarik Diri

Koping Keluarga Berduka Disfungsional


Tidak Efektif

Gambar 2.2 Pohon Masalah Perilaku Kekerasan


Sumber : (Fitria, 2010)

4.9 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan dari pohn masalah pada gambar adalah sebagai berikut
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 106).
1. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
2. Harga diri rendah kronik

4.10 Rencana Asuhan Keperawatan


NO Diagnosa Tujuan Dan Intervensi
. Keperawatan Kriteria Hasil
1. Resiko Perilaku Setelah dilakukan tindakan - Bina hubungan saling
Kekerasan dalam 3x24 jam, Resiko percaya
Prilaku Kekerasan teratasi
- Klien dapat
dengan Kriteria Hasil :
mengidentifikasi
 Klien dapat membina penyebab perilaku
hubungan saling kekerasan
percaya
- Kien dapat
 Klien mau membalas mengidentifikasi
salam tanda-tanda
 Kien mau berjabat perilaku kekerasan
tangan - Klien dapat
 Klien mau mengidentifikasi
menyebutkan nama perilakuk
kekerasan yang
 Klien mau kontak mata
biasa dilakukan
 Klien mau mengetahui - Klien dapat
nama perawat mengidentifikasi

 Klien mau akibat perilaku

menyediakan waktu kekerasan

untuk kontak - Klien dapat


mengidentifikasi cara
konstruktif dalam
berespon terhadap
kemarahan secara
konstruktif
- Klien dapat
mengontrol perilaku
kekerasan
- Klien mendapat
dukungan keluarga
dalam mengontrol
perilaku kekerasan
- Klien dapat
menggunakan obat
dengan benar (sesuai
program pengobatan)
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

5.1 Definisi
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya . Klien dinyatakan
terganggu perawatan dirinya ika tidak dapat melakukan perawatan dirinya
(Mukhripah & Iskandar, 2012).
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari – hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan
tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan dir, makan,
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri
(toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015).
5.2 Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), Penyebab kurang perawatan diri
adalah :
a. kelelahan fisik dan,
b. penurunan kesadaran.

Sedangkan Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :


a. Faktor presdiposisi

1) Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga


perkembangan inisiatif terganggu.

2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiw dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri. (Mukhripah & Iskandar, 2012).
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri (Mukhripah & Iskandar, 2012).
Menurut Depkes (2000) didalam buku (Mukhripah & Iskandar, 2012)
faktor – faktor yang mempengaruhi personl higiene adalah
1) Body image : gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial : pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi peruabahan personal hygiene.

3) Status sosial ekonomi : personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.

4) Pengetahuan : pengetahuan personal hygiene sangat penting akrena


pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misanya, pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.

5) Budaya : disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh


dimandikan.

6) Kebiasaan orang : ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu


dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain – lain.

7) Kondisi fisik atau psikis : pada keadaan tertentu/ sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
5.3 Jenis
Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri: Mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri: Berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri: Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sendiri.
d. Defisit perawatan diri: Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri (Nurjannah, 2004).
5.4 Proses terjadinya masalah
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri, makan secara mandiri,berhias diri secara mandiri, dan
toileting ( buang air besar [BAB]atau buang air kecil [BAK])secara mandiri
(Yusuf, Rizky & Hanik,2015).
Sedangkan Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), Penyebab kurang
perawatan diri adalah :
a. kelelahan fisik dan,
b. penurunan kesadaran
Sedangkan Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor presdiposisi

1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiw dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
(Mukhripah & Iskandar, 2012).

5.5 Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut:
1. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk
dan keluar kamar mandi.
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar
pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian, meggunakan alat tambahan, emngguakan kancig
tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan
penampilan pada tingkat yang memuaskkan, mengambil pakaian dan
mengenakan sepatu.
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
meggunakan alat tambahan, mendapat makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut
cara diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna
cukup makanan dengan aman.
4. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK
dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil (Mukhripah & Iskandar,
2012).
Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah :
a) Fisik

 Badan bau, pakaian kotor

 Rambut dan kulit kotor

 Kuku panjang dan kotor

 Gigi kotor disertai mulut bau

 Penampilan tidak rapi

b) Psikologis

 Malas, tidak ada inisiatif

 Manarik diri, isolasi diri

 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina

c) Sosial
 Interaksi kurang

 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma

 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB disembarangan tempat, gosok gigi
dan mandi tidak mampu mandiri (Mukhripah & Iskandar, 2012).

5.6 Akibat
Akibat dari defisit perawatan diri adalah gangguan pemeliharaan kesehatan.
Gangguan pemeliharaan kesehatan ini bentuknya bisa bermacam – macam.
Akibat dari defisit perawat diri adalah sebagai berikut :
a. Kulit yang kurang bersih merupakan penyebab berbagai gangguan macam
penyakit kulit (kadas, kurap, kudis, panu, bisul, kusta, patek atau frambosa,
dan borok).
b. Kuku yang kurang terawat dan kotor sebagai tempat bibit penyakit yang
masuk ke dalam tubuh. Terutama penyakit alat – alat pernapasan. Disamping
itu kuku yang kotor sebagai tempat bertelur cacing, dan sebagai penyakit
cacing pita, cacing tambang, dan penyakit perut.

c. Gigi dan mulut yang kurang terawat akan berakibat pada gigi berlubang, bau
mulut, dan penyakit gusi

d. Gangguan lain yang mungkin muncul seperti gastritis kronis (karenan


kegagalan dalam makan), penyebaran penyakit dari orofecal (karena hygiene
BAB/BAK sembarangan) (Wahit Iqbal, dkk.,2015).

Sedangkan menurut (tarwoto dan wartonah, 2010) akibatnya adalah :

a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah : gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga, gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi social
5.7 Mekanisme koping
a. Regresi
b. Penyangkalan
c. Isolasi sosial, menarik diri
d. Intelektualisasi (Mukhripah & Iskandar, 2012).

Sedangkan menurut (Stuart & Sundeen, 2000) didalam didalam (Herdman Ade,
2011) mekanisme koping menurut penggolongannya dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Mekanisme koping adaptif


Mekanisme koping yang mendukund fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar
mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatn diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah tidak mau merawat diri
5.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dengan defisit perawatan diri menurut (Herdman Ade, 2011)
adalah sebagai berikut :
a. Meningkatan kesadaran dan kepercayaan diri

b. Membimbing dan menolong klien perawatan diri

c. Ciptakan lingkungan yang mendukung

d. BHSP (bina hubungan saling percaya)


5.9 Pohon Masalah

Gangguan pemeliharaan
kesehatan (BAB, BAK, Mandi,
Minum)

Effect

Defisit Perawatan Diri


Core Problem

Causa Penurunan Motivasi dalam


perawatan diri

Isolasi social : Menarik diri


5.10 Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri : Kebersihan diri (Mandi), dandan, makan, BAB/BAK
(Yusuf, Rizky & Hanik, 2015)
5.11 Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Perencanaan Intervensi
Tujuan Kriteria Evaluasi
Keperawatan
Defisit perawatan diri TUM: Ekspresi wajah bersahabat, 1) Bina hubungan saling
Pasien dapat memelihara menunjukkan rasa senang, klien percaya dengan prinsip
kesehatan diri secara mandiri bersedia berjabat tangan, klien komunikasi terapeutik
bersedia menyebutkan nama, 2) Sapa klien dengan ramah
TUK: ada kontak mata, klien bersedia baik verbal maupun
1) Klien dapat membina duduk berdampingan dengan nonverbal
hubungan saling perawat, klien bersedia 3) Perkenalkan diri dengan
percaya mengutarakan masalah yang sopan
dihadapinya 4) Tanyakan nama lengkap
klien dan nama panggilan
5) Jelaskan tujuan pertemuan
6) Jujur dan menepati janji
7) Tunjukan sikap empati dan
menerima klien apa adanya
8) Beri perhatian pada
pemenuhan kebutuhan dasar
klien
2) Mengidentifikasi Klien dapat menyebutkan 1) Kaji pengetahuan klien
kebersihan diri klien dirinya tentang kebersihan diri dan
tandanya
2) Beri kesempatan klien untuk
menjawab pertanyan
3) Berikan pujian terhadap
kemampuan klien menawab
pertanyaan.
3) Menjelaskan pentingnya Klien dapat memahami pentinya 1) Menjelaskan pentingnya
kebersihan kebersihan diri kebersihan diri
2) Meminta klien menjelaskan
kembali pentingnya
kebersihan diri
3) Diskusikan dengan klien
tentang tentang kebersihan
diri
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

6.1 Definisi
Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Prabowo, 2014).
Harga diri rendah kronis adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
(Iskandar,2014 ). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
mencapai keinginan (Keliat, 2011). Harga diri rendah kronis menurut Nanda
(2015) adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama.
6.2 Penyebab
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri sesorang.
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah
adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal
sering gagal disekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat
lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya
(Iskandar,2014).
Menurut stuart (2016), faktor-faktor yang mengakibatkan harga driri rendah
kronik meliputi faktor predisposisi dan factor presipitasi sebagai berikut :
a. Faktor predisposisi

1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,


harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tangguang jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis.

2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotype peran


gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur social
(Iskandar,2014).
b. Factor presipitasi
Menurut yosep (2012), factor presipitasi terjadinya harga diri rendah
biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menuurun. Secara umum, gangguan
konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik.
Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakan, perkosaan atau dipenjara, termasuk dirumah sakit bisa
menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasanagan alat bantu yang mebuat yang mebuat klien tidak nyaman. Harga
diri rendah kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat klien sudah memiliki pikiran negative dan meningkt saat dirawat
(Iskandar, 2014) .
c. Perilaku
Pengumpulan data yang dilakukan oleh perawat meliputi perilaku
yang objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan dunia dalam diri
klien sendiri. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah salah
satunya mengkritik diri sendiri, sedangkan keracunan identitas seperti sifat
kepribadian yang bertentangan serta depersonalisasi (Iskandar, 2014).
6.4 Jenis- Jenis Harga Diri Rendah

a. Situational
Terjadinya terutama yang tiba-tiba, misalnya harus di operasi,
kecelakaan, dicerai sumai atau istri, putus sekolah, putus hubungan kerja,
perasaan malu karena sesuatu korban pemerkosaan, di tuduh Korupsi, Kolusi,
Nepotisme di penjara tiba-tiba (Iskandar, 2014).
b. Kronik
Perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/di rawat. Klien ini mempunyai cara berfikir negatif. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respon mal yang adaktif. Kondisi ini dapat ditemukan pada
klien gangguan fisik yang kronik atau klien pada gangguan jiwa (Iskandar,
2014).
6.5 Rentang respon
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.

2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang


positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya (Prabowo, 2014).
b. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu krtika dia


tidakmampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.

1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya
yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.

2) Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga
tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.

3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu


mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan
dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak
dapat membina hubungan baik dengan orang lain (Prabowo, 2014).
6.6 Proses terjadinya masalah
a. Faktor predisposisi
Di kutip dari Eko Prabowo (2014) faktor predisposisi terjadinya harga diri
rendah kronis menurut herman (2011), adalah penolakan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis. Faktor
predisposisi citra tubuh adalah:
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh

2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit

3) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh

4) Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi. Faktor predisposisi


harga diri rendah adalah:
(a) Penolakan
(b) Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif,otoriter, tidak
konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut

(c) Persaingan antar saudara

(d) Kesalahan dan kegagalan berulang (Eko Prabowo 2014).

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunya produktivitas. Harga diri kronis ini dapat terjadi
secara situasional maupun kronik.
1) Trauma : Masalah spesifik dengan konsep diri adalah situasi yang mebuat
individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti
penganiayan seksual dan phisikologis pada masa anak-anak atau merasa
terancam atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.

2) Ketengangan peran : rasa frustasi saat indivisu merasa tidak mampu


melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa
sesuai dengan melakukan perannya. Ketengangan peran ini sering dijumpai
saat terjadi konflik peran terjadi saat indivisu menghadapi dua harapan
yang bertentangan dan tidak dapat dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila
indivisu tidak mengetahui harapan peran yang spesifik atau bngung tentang
peran sesuai.

(a) Trauma peran perkembangan

(b) Perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan

(c) Transisi peran situasi

(d) Perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah atau berkurang

(e) Transisi sehat sakit


(f) Pergeseran kondisi pasien yang menyebabkan kehilangan bagian
tubuh.

3) Perilaku

(a) Citra tubuh yaitu : menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh
tertentu, menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau
cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi, usaha pengobatan mandiri yang
tidak tepat, dan menyangkal cacat tubuh.

(b) Harga diri rendah di antaranya : mengkritik diri atau orang lain,
produktivitas menurun, gangguan berhubungan, keteganggan peran,
pesimis menghadapi hidup, keluhan fisik, penolakan kemampuan diri,
pandangan hidup bertentangan, destruktif kepada diri, menarik diri secara
sosial, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas, khawatir, merasa
diri paling penting, distruktif pada orang lain, merasa tidak mampu,
merasa bersalah, mudah tersinggung/marah, perasaan negatif terhadap
tubuh.

(c) Keracunan identitas diantaranya : tidak ada kode moral, kepribadian yang
bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaa hampa,
perasaan mengembang tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas
tinggi, tidak mampu empati pada orang lain, masalah estemasi.

(d) Depersonalisasi meliputi efektif : kehidupan identitas, perasaan terpisah


dari diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa
berkesinambungan, tidak mampu mencari kesenangan, perseptual :
halusinasi dengar dan lihat, bingung tentang seksualitas diri, sulit
membedakan diri dari orang lain, gangguan citra tubuh, dunia seperti
mimpi. Kognitif, gangguan daya ingat, gangguan penilaian, kepribadian
ganda (Eko, 2014).
6.7 Tanda dan gejala
Menurut Carpenito dalam keliat (2011), perilaku yang berhubungan dengan
harga diri rendah antara lain :
a. Data Subjectif : mengkritik diri sendiri atau orang lain perasaan tidak mampu,
pandangan hidup yang pesimis, perasaan lemah dan takut, penolakan terhadap
kemampuan diri sendiri, pengurangan diri/ mengejek diri sendiri, hidup yang
berpolarisasi, ketidak mapuan menentukan tujuan mengungkapkan kegagalan
pribadi, merasionalkan penolakan.
b. Data Objektif, produktivitas menurun, perilaku destruktiv pada diri sendiri
dan orang lain penyalahgunaan zat, menarik diri dari hubungan sosial,
ekspresi wajah malu dan rasa bermasalah, menunjukkan tanda depresi (sukarr
tidur sukar makan), tampak mudah tersinggung/mudah marah (Prabowo,
2014).
Ciri khas dari harga diri rendah menurut Damainyanti (2008), tanda geja dan
gejala harga diri rendah kronik adalah sebagai berikut :
1) Mengkritiik diri sendiri

2) Persaan tidak mampu

3) Pandangan hidup yang peseimis

4) Penurunan produktivitas

5) Penolakan terhadap kemampuan diri.

6) Selaian data diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan


harga diri rendah, terlihat darikurang memperhatikan perawatan diri,
berpakaian tidak rapi, selera makan kurang, tidak berani menatap lawan
bicara, lebbih banyak menunduk, bicara lambat dengan suara nada lemah
(Iskandar, 2014).
6.8 Akibat
Harga diri rendah dapat diakibat oleh rendahnya cita-cita seseorang Hal ini
mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangaan
yang rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya hal ini menyebutkan
penampilan seseorang yang tidak optimal harga diri rendah muncul saat
lingkungan cenderung menguculkan dan menuntut lebih dari kemampuannya.
6.9 Mekanisme koping
Mekanisme koping jangka pendek yang bisa dilakukan pasien harga diri
rendah adalah kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis, misalnya
pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton tv terus menerus. Kegiatan
mengganti identitas sementara, misalnya ikut kelompok social, keagamaan dan
politik. Kegiatan yang memberi dukungan sementara, seperti menikuti suatu
kompetisi atau kontes popularitas, kegiatan mencoba menghilangkan anti
identitas sementara, seperti penyaahgunaan obat-obatan. Jika mekanisme koping
jangka pendek tidak memberi hasil yang diharapkan individu akan
mengembangkan mekanisme koping jangka panjang (Prabowo, 2014).
6.10 Penatalaksanaan
Terapi pada ganguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan
sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya
diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan generasi
pertama (typical) dan generasi kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan
generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL Adalah
obat penennang untuk klien dengan gangguan Jiwa, dan Haloperidol obat
untuk mengatasi berbagai masalah kejiwaan, seperti meredakan gejala
skizofrenia, sindrom Tourette, Obat yang termasuk generasi kedua misalnya:
Risperidone obat yang digunakan untuk menangani skizofrenia dan gangguan
psikosis lain,serta perilaku agresif dan disruptif yang membahayakan pasien
maupun orang lain. Antipsikotik ini bekerja dengan menstabilkan senyawa
alami otak yang mengendalikan pola pikir, perasaan dan perilaku (Prabowo,
2014).

b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama (Prabowo, 2014).
c. Terapi kejang listrik ( Electro Convulsive Therapy )
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang satu atau
dua temples. Therapy kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang
listrik 4-5 joule/detik. Tujuan ECT adalah untuk menginduksi suatu kejang
kronik yang dapat memberi efek terapi (therapeutik clonic seizure) setidaknya
selama 15 - 10 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana
seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan (Prabowo, 2014).
d. Terapi modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik
menggunakan latihan keterampilan social untuk meningkatkan kemampuan
social. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang
nyata (Prabowo, 2014).
Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, therapy aktivitas kelompok simulasi,
terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivittas kelompok
sosialisasi ( keliat dan Akemat, 2005 ). Dari empat jenis terapi aktivitas
kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan ganguan
konsep diri harga diri rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi. Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi
yang menggunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman
atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah
(Prabowo, 2014).
6.11 Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan

Effect Gangguan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi social

Core problem harga diri rendah kronis

Causal koping individu tidak efektif


6.12 Diagnosa Keperawatan
Masalah konsep dir nerkaitan dengan perasaan ansietas, bermusuhan dan rasa bersalah. Masalah ini sering
menimbulkan proses penyebaran diri dan sirkular bagi individu yang dapat menyebabkan respon koping maladaptive.
Respon ini dapat terlihat pada berbagai macam individu yang mengalami ancaman integritas fisik atau sistem diri.
1) Harga diri rendah kronik

2) Koping individu tidak efektif

3) Isolasi social. (Iskandar, 2014:45).


6.13 Rencana Asuhan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Perencanaan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Harga diri rendah kronik Setelah dilakukan tindakan dalam  Bina hubungan saling percaya dengan
3x24 jam, Harga Diri Rendah mengungkapkan prinsip komunikasi
teratasi dengan Kriteria Hasil : terapeutik
 Klien dapat berhubungan dengan  Klien dapat mengidentifikasi
orang lain secara optimal kemampuan dan aspek positif yang
 Klien dapat membina hubungan dimiliki
saling percaya  Klien dapat menilai kemampuan yang
 Ekspresi wajah klien bersahabat dimiliki
 Menunjukan rasa tenang dan ada  Pasien dapat merencanakan kegiatan
kontak mata sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki
 Mau berjabat tangan dan mau
 Pasien dapat melakukan kegiatan
menyebutkan nama
sesuai rencana
 Mau menjawab salam dan mau  Usahakan memberikan pujian yang
duduk berdampingan dengan realistic
perawat

 Mau mengutamakan masalah


yang dihadapi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN GANGGUAN PERSEPSI
HALUSINASI: HALUSINASI

Ruang Rawat : Panti Rehabilitasi Mental Gramesia


Tanggal Dirawat : 28 Juni 2019 pukul 13.15 WIB
I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Ny.S (P)
Tanggal Pengkajian : 18 Februari 2020 pukul 09.15 WIB
Umur : 53 Tahun
No RM : 163
Alamat : Kedawung/ Cirebon
II. ALASAN MASUK
Ny. S datang ke Panti Gramesia diantar oleh keluarganya dengan keluhan
mengamuk, marah-marah, memukul orang tua dan saudaranya, berbicara sendiri,
saat pertama masuk panti klien dengan keadaan diikat, pandangan tajam, nada
bicara tinggi.
III. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ?
√ Ya Tidak
Penjelasan : Klien sering keluar masuk panti jiwa
2. Pengobatan sebelumnya
Berhasil √ Kurang berhasil Tidak berhasil

3. Trauma Pelaku/Usia Korban Saksi


Aniaya Fisik √

Aniaya Seksual

Penolakan
Kekerasan dalam keluarga
Tindakan Kriminal
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Keluarga tidak ada yang mengalami gangguan jiwa
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Klien mengatakan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan adalah
ditinggal nikah sama pacarnya
Masalah Keperawatan : Berduka

IV. FISIK
1. Tanda Vital : TD : 100/70 mmHg N : 85x/m S :36,5˚C P : 20 x/m
2. Ukur : TB : 162 cm BB : 48 kg.
3. Keluhan Fisik : Ya √ Tidak
Jelaskan : Klien mengatakan tidak ada keluhan fisik
PSIKOSOSIAL
1. Genogram

Keterangan :
: Perempuan : Klien
: laki-laki : Tinggal serumah
: Meninggal dunia : Garis pernikahan

Jelaskan : Klien anak ke 3 dari 3 bersaudara


2. Konsep Diri
a. Citra tubuh : Klien mengatakan semua bagian tubuh disukai tapi
yang paling disukai adalah tangan kanan karena bisa
digunakan untuk makan dan lebih dominan untuk
beraktifitas.
b. Identitas :Klien mengatakan anak ke 3 dari 3 saudara, Klien
belum menikah, tinggal serumah dengan ibunya.
c. Peran : Sebelum sakit klien mengatakan bahwa dirinya
kuliah dan seorang adik yang ditinggal oleh dua
orang kakaknya.
d. Ideal Diri : Klien mengatakan ingin pulang ke rumah dan ingin
berkumpul dengan keluarga.
e. Harga diri :Klien mengatakan sudah lama tidak di besuk oleh Ibu
dan keluarganya serta klien merasa bahwa dirinya
merasa gagal dan tidak berguna untuk keluarga dan
orang lain.
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah.
3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti : ibunya.
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : Klien mengatakan
tidak pernah mengikuti kegiatan kelompok di masyarakat.
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :
Klien merasa tidak percaya diri karena merasa selalu gagal dan tidak
berguna dalam melakukan suatu hal apapun seperti mengerjakan pekerjaan
rumah.
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah.
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : Klien mengatakan beragama islam
b. Kegiatan Ibadah : Saat di rumah klien jarang untuk beribadah namun
saat dipanti klien mau berusaha untuk melakukan
ibadah.
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah
VI. STATUS MENTAL
1. Penampilan

√ Tidak rapih √ Penggunaan pakaian Cara berpakaian


tidak sesuai seperti biasanya
Jelaskan :
Klien berpakaian tidak rapi dan badan agak bau. Klien mengatakan mandi,
namun saat dikaji dalam waktu 3x14 jam klien ternyata tidak mandi,
berpakaian dan berhias. Serta klien tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri
yang ada dipanti.
Masalah Keperawatan : Defisit Perawatan Diri.
2. Pembicaraan

√ Cepat √ Keras Gagap Inkoheren

√ Apatis √ Lambat Membisu Tidak mampu


Memulai pembicaraan
Jelaskan :
Klien berbicara kadang cepat kadang lambat dengan nada suara tinggi dan
keras, bicara hanya ketika ditanya dengan jawaban singkat dan ketus.
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
3. Aktifitas Motorik
√ Lesu Tegang Gelisah Agitasi
Tik Grimasen Tremor Kompulsif
Jelaskan :
Klien lesu, malas beraktivitas, klien berdiam diri dan menghabiskan
waktunya ditempat tidur.
Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri
4. Alam Perasaan
√ Sedih ketakutan Putus Asa
√ Khawatir √ Gembira berlebihan
Jelaskan :
Klien tampak sedih dan khawatir jika dirinya didekati dengan orang lain.
Sewaktu-waktu klien juga tampak gembira berlebihan.
Masalah Keperawatan : curiga berlebih
5. Afek
Datar Tumpul √ Labil √ Tidak sesuai Sesuai
Jelaskan :
Klien cepat marah dan emosi mudah berubah-ubah serta mudah tersinggung
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
6. Interaksi selama wawancara
√ Bermusuhan Tidak kooperatif √ Mudah tersinggung
√ Kontak mata (-) Defensif √ Curiga
Jelaskan :
Klien lebih sering menundukkan kepala dan merasa curiga terhadap orang
lain jika mendekati dirinya
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah dan waham curiga
6. Persepsi
Halusinasi
√ Pendengaran Penglihatan Perabaan
Pengecapan penghidupan
Jelaskan :
Isi halusinasi : Klien mengatakan mendengar suara-suara yang memaki
dirinya.
Masalah Keperawatan : gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran.
8. Proses Pikir
Sirkumtansial Tangensial Kehilangan asosiasi
Fight of idea Blocking √ Pengulangan
Pembicaraan/persevarasi
Jelaskan : Selama pengkajian klien sering mengulang kata-katanya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah.
9. Isi Pikir
√ Obsesi Fobia Hipokondria
Depersonalisasi Ide yang terkait Pikiran magis
Waham
Agama Somatik Kebesaran
√ Curiga Nihilistic Ide yang terkait
Sisip Pikiran Siar Pikir Kontrol pikir
Jelaskan :
Klien merasa curiga jika dirinya di dekati oleh orang lain.
Masalah Keperawatan : Waham curiga
10. Tingkat Kesadaran
Bingung Sedasi √ Stupor
Disorientasi
Waktu Tempat Orang
Jelaskan :
Tingkat kesadaran klien stupor, klien juga sadar dan mengetahui sedang
berada di panti, klien juga tidak disorientasi waktu, tempat dan orang.
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
11. Memori
Gangguan daya ingat Gangguan daya ingat
jangka panjang jangka pendek
Gangguan daya ingat saat ini Konfabulasi
Jelaskan : Klien dapat mengingat kejadian-kejadian masa lalunya .
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
12. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Mudah beralih Tidak mampu konsentrasi Tidak mampu
berhitung sederhana
Jelaskan : Klien fokus ketika diajak berinteraksi dan klien dapat berhitung
dengan benar
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah
13. Kemampuan Penilaian
Gangguan ringan Gangguan bermakna
Jelaskan : Klien mampu mengambil keputusan sendiri meskipun perlu waktu
jedah untuk berpikir.
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
14. Daya tilik diri
Mengingkari penyakit yang diderita
Menyalahkan hal-hal diluar dirinya
Jelaskan : Klien mengerti kenapa dirinya dibawa ke Panti dan dibawa oleh
kakaknya.
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
VII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG
1. Makan
√ Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : Saat makan Klien mengambil makan sendiri, klien makan dimeja
makan , saat makan nasi tidak berantakan ke baju atau ketinggalan di daerah
sekitar mulut luar.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
2. BAB / BAK
√ Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : Klien BAB 1x sehari, BAK ± 6x sehari mampu melakukan
eliminasi dengan baik, klien terkadang tidak cebok setelah BAK
Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri
3. Mandi
√ Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : Klien mengatakan mandi 2x sehari pagi dan sore tanpa sabun dan
shampo, tidak menyikat gigi, habis mandi klien tidak pakai handuk langsung
pakai baju
Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri
4. Berpakaian / berhias
√ Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : Klien mengatakan mengganti pakaian 2 hari sekali, baju tercium
bau tidak sedap dan tampak kotor.
Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri
5. Istirahat dan tidur
 Tidur siang lama : tidak pernah tidur siang
 Tidur malam lama : 19.00 s/d 04.00
 Tidur kegiatan sebelum / sesudah tidur : Klien mengatakan hanya
berdiam diri saja ditempat tidur dan tidak melakukan kegiatan apa-apa.
Jelaskan : Klien mengatakan tidak mengalami gangguan tidur
Masalah keperawatan : Tidak ada masalah
6. Penggunaan obat
√ Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : Klien mengatakan obat di bagi oleh petugas dan selalu di minum
Masalah Keperawatan : Tidak ada
7. Pemeliharaan kesehatan
Ya Tidak
Perawatan lanjutan √
Sistem pendukung √
8. Aktifitas di dalam rumah
Ya Tidak
Mempersiapkan makanan √
Menjaga kerapian rumah √
Mencuci pakaian √
Pengaturan keuangan √
Jelaskan : Klien mengatakan makanan dan pakaian sudah disiapkan petugas
Masalah Keperawatan : Tidak ada
9. Aktifitas di luar rumah
Ya Tidak
Belanja √
Transportasi √
Lain-lain √
Jelaskan : Klien mengatakan belanja dan lain-lain dilakukan oleh kakak klien
dengan naik kendaraan sendiri
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
VIII. MEKANISME KOPING
Adaptif Maladaptif
√ Berbicara dengan orang lain Minum alkohol
√ Mampu menyelesaikan masalah Reaksi lambat / berlebih
Teknik relaksasi Bekerja berlebihan
Aktifitas konstruktif Menghindar
Olahraga Mencederai diri
Lainnya Lainnya : Menyendiri/melamun
Jelaskan : Klien mampu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
IX. ASPEK MEDIK
Diagnosa Medik :

Terapi Medik :
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Stelosin 5mg 1-0-1 tablet Pagi - sore
2 Hexymer 2mg 1-0-1 tablet Pagi - sore
3 Lodomer 2mg 1-0-1 tablet Pagi - sore
4 CPZ 100mg 0-0-1 tablet Sore
X. ANALISA DATA
DATA MASALAH
Subjektif : klien mendengar suara-suara yang Resiko gangguan persepsi sensori :
memaki dirinya Halusinasi pendengaran
Objektif : Klien bicara sendiri

Subjektif : Klien merasa curiga jika dirinya didekati Waham Curiga


oleh orang lain.
Objektif : Klien tarlihat khawatir jika didekati oleh
orang lain

Subjektif : Goblok, bajingan, bangsat,…..! Resiko perilaku kekerasan


Objektif : nada bicara tinggi, marah-marah,
emosimudah berubah-ubah, mudah
tersinggung dan tatapan mata tajam

Subjektif : Defisit Perawatan Diri


Klien mengatakan mengganti pakaian 2 hari
sekali, mandi 2x sehari tanpa sabun, shampo
dan tidak menyikat gigi
Objektif :
Klien tampak tidak rapi dalam memakai
baju, habis mandi klien tidak pakai handuk
langsung pakai baju, baju tercium bau tidak
sedap dan tampak kotor.

Subjektif : Harga diri rendah


Klien mengatakan bahwa dirinya selalu
salah dimata orang lain.
Objektif :
Klien terkadang menundukkan kepala saat
berinteraksi, kontak mata kurang
XI. Daftar Masalah Keperawatan
1. Halusinasi
2. Waham Curiga
3. Resiko Perilaku Kekerasan
4. Defisit Perawatan Diri
5. Harga Diri Rendah
XII. Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, lingkungan

Halusinasi

Intoleransi Aktivitas Menarik Diri (Isos) Defisit Perawatan Diri

Kerusakan
Komunikasi Verbal

Perilaku Mencari Bantuan Harga Diri Rendah


Kesehatan Perubahan Proses Pikir :
Waham

Distres Spiritual Mekanisme Koping


Inefektif

Distres Masa Lalu


XII. DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Halusinasi
2. Waham Curiga
3. Resiko Perilaku Kekerasan
4. Defisit Perawatan Diri
5. Harga Diri Rendah
XIII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No. DX Kep Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan psikoterapeutik klien
presepsi sensori : dalam 3x24 jam diharapkan klien mampu 5) Membina hubungan saling percaya
Halusinasi mengontrol halusinasi dengan kriteria hasil : 6) Adakan kontak sering dan singkat secara
1. Klien dapat membina hubungan saling bertahap
percaya 7) Observasi tingkah laku klien terkait halusinasinya
2. Klien dapat mengenal halusinasi, jenis, isi, 8) Tanyakan keluhan yang dirasakan klien
waktu, frekuensi, respon terhadap SP I
halusinasi dan tindakan yang sudah 1. Identifikasi jenis halusinasi klien
dilakukan 2. Identifikasi jenis isi halusinasi klien
3. Klien dapat menyebutkan dan 3. Identifikasi waktu halusinasi klien
mempraktikan cara mengontrol halusinasi 4. Identifikasi frekuensi halusinasi klien
yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap 5. Identifikasi respon klien terhadap halusinasi
dengan orang lain, terlibat atau melakukan 6. Ajarkan klien menghardik halusinasi
kegiatan dan meminum obat. SP II
 Evaluasi jadwal harian klien
 Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
cara bercakap-cakap dengan orang lain
(Berdasarkan jurnal penelitian Fresa, dkk. 2015
dengan judul “Efektifitas terapi individu
bercakap-cakap dalam meningkatkan
kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien
halusinasi pendengaran di RSJ Dr. Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah)
 Anjurkan klien memasukan pada jadwal kegiatan
harian
SP III
Evaluasi jadwal kegiatan harian klien
1. Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
melakukan kegiatan
2. Anjurkan klien untuk memasukan jadwal harian
SP IV
 Evaluasi jadwal kegiatan harian
 Berikan penkes tentang cara penggunaan obat
secara teratur
 Ajarkan klien memasukan jadwal kegiatan harian
 Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan
benar
 Mengajurkan klien mendemostrasikan cara
kontrol yang sudah diajarkan
 Mengajurkan klien untuk memilih salah satu
kontrol halusinasi.
XIV. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI TINDAKAN KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA
Nama: Ny. S Ruangan : Panti Gramesia
No. RM : 163
Hari/Tanggal/Jam : Selasa, 18 Februari 2020
IMPLEMENTASI TINDAKAN EVALUASI
KEPERAWATAN
Data Kondisi Klien : S:
DS : O:
- Klien mengatakan mendengar A :
suara-suara yang memaki dirinya P:
DO :
- Klien tampak berbicara sendiri
Diagnosa Keperawatan :
Gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran
Tujuan :
Tindakan Keperawatan :
Rencana Tindak Lanjut (RTL) :

Nama: Ny. S Ruangan : Panti Gramesia


No. RM : 163
Hari/Tanggal/Jam : Rabu, 19 Februari 2020
IMPLEMENTASI TINDAKAN EVALUASI
KEPERAWATAN
Data Kondisi Klien : S:
DS : O:
DO : A:
Diagnosa Keperawatan : P:
Tujuan :
Tindakan Keperawatan :
Rencana Tindak Lanjut (RTL) :

Nama: Ny. S Ruangan : Panti Gramesia


No. RM : 163
Hari/Tanggal/Jam : Kamis, 20 Februari 2020
IMPLEMENTASI TINDAKAN EVALUASI
KEPERAWATAN
Data Kondisi Klien : S:
DS : O:
DO : A:
Diagnosa Keperawatan : P:
Tujuan :
Tindakan Keperawatan :
Rencana Tindak Lanjut (RTL) :
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA HALU

1. Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan


Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
2. Iyus, Y. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT refika Aditama.

3. Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). Asuhan Keperawatan


Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

4. Wijayaningsih, K. s. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik


Keperawatan Jiwa. Jakarta Timur: TI

DAFTAR PUSTAKA WAHAM

Kelliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic
Course). Jakarta: EGC
Prabowo, E. (2014). Konsep &Aplikasi ASUHAN Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Struat, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier
Yusuf, Ah, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
DAFTAR PUSTAKA RPK

1. Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.


Yogyakarta: Nuha Medika.
2. Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
3. Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
4. Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda:
Refka Aditama.

5. Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam


Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur, 29-37.

6. Sari Kartika. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa.


Jakarta: Trans Info Media.

DAFTAR PUSTAKA DPD

1. Herdman Ade. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.


2. Iqbal Wahit, dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika.
3. Keliat, B. A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN
(Basic Course). Yogyakarta: EGC.
4. Kelliat, B., A, dkk. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : Edisi 2. Jakarta:
EGC.
5. Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
DAFTAR PUSTAKA HDR
1. Iskandar, ,. d. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.
2. Kartika Sari Wijayaningsih, S. N. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik
Keperawatan Jiwa. Jakarta: CV.Trans Info Media.
3. Prabowo, E. (2014). Konsep &Aplikasi ASUHAN Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai