Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ISU ADVOKASI

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Advokasi

Yang dibina oleh Bapak I Dewa Nyoman S, MPS

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Apriani Simbi H (P17111171004)


2. Jonathan Soegiono (P17111173030)
3. Firda Auliya’ Rosyida (P17111174063)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Isu Advokasi” ini dalam bentuk maupun isinya yang
mungkin sangat sederhana.

Pada kesempatan yang baik ini tidak lupa penulis mengucapkan


terimakasih kepada :
1. Kedua Orang Tua yang selalu mendukung
2. Bapak I Dewa Nyoman S, MPS
3. Kepada semua pihak yang telah membantu, baik dari segi materi
maupun pengetahuan

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Malang, Februari 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

Stunting

Negara Indonesia merupakan Negara ke 5 dengan jumlah balita tertinggi


mengalami stunting. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun
2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek
kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Sedangkan
berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah
29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun
prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Advokasi kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam


menangani stunting yaitu :

- Membangun koalisi stunting ditingkat kabupaten/kota, desa


- Penguatan ketrampilan komunikasi perubahan perilaku petugas
kesehatan, kader kesehatan, dan kader masyarakat
- Strategi komunikasi perubahan perilaku kabupaten termasuk
komunikasi antar personal. Pendekatan yang disesuaikan konteks
local yang digerakkan oleh masyarakat
- Kampanye menggunakan media massa/social media
- Pelibatan masyarakat untuk kampanye local
Pihak yang terlibat sebagai lingkungan pendukung untuk upaya percepatan
pencegahan stunting, diintervensi melalui advokasi dan informasi publik terdiri
dari:
1. Pengambil kebijakan/keputusan: nasional, provinsi, kabupaten, kota,
dan desa
2. Organisasi Perangkat Daerah
3. Swasta: dokter, bidan, dokter anak, dokter kandungan
4. Dunia usaha
5. Donor dan perwakilan media
6. Media massa
Stunting disebabkan oleh faktor Multidimensi sehingga penanganannya
perlu dilakukan oleh multisektor. Namun, dalam penanganan atau pencegahan
stunting ada kendala, sehingga menyebabkan penanganan stunting terhambat,
kendala tersebut diantaranya yaitu:

- Kader belum paham betul mengidentifikasi anak stunting


- Kurang maksimalnya informasi yang diberikan NAKES kepada sasaran
- Tidak berjalannya program penyuluhan kunjungan rumah karena
kurangnya NAKES
- Belum adanya kebijakan yang terintegrasi tentang stunting
- Pemerintah belum memprioritaskan penyediaan jamban sehat (septik
tank)
- Kurangnya ketersediaan pangan

HIV

HIV/AIDS merupakan masalah di Indonesia yang merupakan Negara


urutan ke-5 paling beresiko HIV/AIDS di Asia (Kemenkes, 2013). Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek
di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
menjadi 37,2%. Sedangkan berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita
pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun
2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi
29,6% pada tahun 2017.

Advokasi kebijakan pemerintah dalam program penanggulangan HIV/AIDS


diantaranya yaitu, Kebijakan HIV dan AIDS yang ada kebanyakan bersifat teknis
terkait pengobatan dan perawatan, misalnya melalui program antiretroviral
treatment (ART). Berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk memperkuat
kapasitas daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kota/kabupaten
agar terintegrasi dengan upaya pencegahan penyakit menular umumnya.
1. Memperkuat pemerintah daerah untuk melaksanakan progam pencegahan
HIV dan AIDS yang konsisten dengan prinsip desentraliasi.
Kewenangan pemda dalam penanggulangan HIV dan AIDS perlu
diikuti dengan implementasinya yang sejalan dengan prinsip
desentralisasi. Pemda memegang kendali otoritas dalam hal perencanaan,
penentuan prioritas program, target, dan pembiayaan penanggulangan
HIV dan AIDS di tingkat daerah. Tanggung jawab langsung upaya
pencegahan HIV dan AIDS ada di pemda dan pemerintah pusat
melaksanakan kewenangannya sebagai pengawas dan pembina.
2. Penguatan kemitraan lintas sector.
Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi kepentingan para
actor dalam program pencegahan HIV dan AIDS. Dalam SRAN 2014-2019
kemitraan lintas sektor menjadi tanggung jawab KPAD di tingkat provinsi
dan kabupaten/ kota dalam membangun kemitraan lintas semua sektor
pemerintahan yang berkaitan dengan HIV dan AIDS.
3. Penguatan kapasitas fiskal pemda untuk pencegahan HIV dan AIDS.
Penguatan kapasitas pemda dalam hal perencanaan dan
penganggaran dimaksudkan agar perannya bias lebih besar dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di masa depan. Selama ini perencanaan
dan penganggaran pencegahan, perawatan dan pengobatan masih
tersentralisasi. Kemampuan untuk itu menjadi dasar mengintegrasikan
penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam program-program kesehatan
di daerah masing-masing, sebagaimana diwujudkan dalam APBD.
4. Penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk meningkatkan partisipasi
publik dalam pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di
tingkat daerah.
5. Penguatan kapasitas KPAD dan dinas kesehatan untuk melakukan
advokasi kebijakan dan anggaran.

Beberapa kendala dalam penanggulangan HIV/AIDS ada beberapa bahwa


kebijakan dan program pencegahan HIV dan AIDS tidak terintegrasi ke dalam
sistem kesehatan nasional di tingkat kabupaten/kota. mengintegrasikan upaya
pencegahan HIV dan AIDS adalah tidak konsistennya pelaksanaan upaya ini
menurut undang-undang desentralisasi, lemahnya koordinasi program
pencegahan dalam melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan, tidak
berjalannya mekanisme partisipasi publik, terbatasnya fiskal daerah dan
kemampuan untuk mengadvokasi kebutuhan fiscal pencegahan HIV dan AIDS.
Kapasitas administrasi kepemimpinan dan tata kelola pencegahan HIV dan AIDS
di tingkat kabupaten/ kota di wilayah penelitian masih mengandalkan arahan dari
pusat. Pemda belum optimal memobilisasi lembagalembaga lokal untuk
mendukung program pencegahan HIV dan AIDS, kemitraan lintas sector hanya
terikat dalam bentuk keanggotaan lembaga di KPAD.
BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan, 2018. Infodatin Situasi HIV/AIDS dan Tes HIV. Pusat
Data dan Informasi Kesehatan RI: Jakarta

Tesimen, J., dkk. 2016. Prevalensi dan Faktor Prediktor Atopi pada Pasien
HIV/AIDS. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 2
Praptoraharjo, I. 2016. Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam Kesehatan di
Indonesia Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran
Kementerian Kesehatan, 2016. Infodatin Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI: Jakarta Selatan
Bappenas, 2018. Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting
Terintegrasi Di Kabupaten/Kota. Tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai