Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL DESAIN INOVATIF

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


RSUD DR KANUJOSO DJATIWOBOWO BALIKPAPAN
RUANG FLAMBOYAN E

INTERVENSI KOMBINASI RELAKSASI PROGRESIF DAN TERAPI MUSIK


KLASIK TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PASIEN POST OP
BPH

Oleh :
NANIK SETIYOWATI
(P07220419115)

PRODI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan suatu penyakit dimana terjadi
pembesaran dari kelenjar prostat akibat hiperplasia jinak dari sel-sel yang biasa terjadi
pada laki-laki berusia lanjut (Bufa, 2006 dalam Samidah & Romadhon, 2015). Kondisi
patologis ini paling sering terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling
sering ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun. (Wijaya &
Putra, 2013). Di dunia, hampir 30 juta pria menderita BPH pada usia 40 tahun sekitar
40%, usia 60-70 tahun meningkat menjadi 50% dan usia lebih dari 70 tahun mencapai
90%. Diperkirakan sebanyak 60% pria usia lebih dari 80 tahun memberikan gejala
Lower Urinary Tract sympstons (LUTS) (Sampekalo, Manoarfa, & Salem, 2015)..

Berdasarkan data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus


degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak
19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus. Yang ditemukan pada
pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap tahunnya.
Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah menempatkan BPH sebagai penyebab
angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah penyakit batu pada saluran kemih. Tahun
2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, diantaranya diderita pada pria berusia
di atas 60 tahun. (Riskesdas, 2013).

Data di USA menunjukkan bahwa lebih dari 90% kanker prostat ditemukan
pada stadium dini, sedangkan di Indonesia banyak ditemukan pada stadium lanjut
karena terjadi keterlambatan diagnosis. Gejala pada kanker prostat berupa keluhan
kemih atau retensi, sakit punggung dan hematuria, namun gejala tersebut juga terdapat
pada penyakit BPH (Benigna Prostate Hyperplasia) sehingga pemeriksaan fisik saja
tidak dapat diandalkan (Solang dkk, 2016).

Di Indonesia, berdasarkan data Globocan tahun 2012 menunjukan insidens


kanker prostat menempati urutan ke-3 kanker pada pria setelah kanker paru dan kanker
kolorektum, sedangkan angka kematian menempati urutan ke-4. Untuk kanker pada
kedua jenis kelamin, kanker prostat berada pada urutan ke-5, data menurut Globocan
tahun 2008 menunjukkan kanker prostat di Indonesia menempati urutan ke-5 (Solang
dkk, 2016).

Prevalensi kanker prostat di Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 0,2 % atau
diperkirakan sebanyak 25.012 penderita. Provinsi yang memiliki prevalensi kanker
prostat tertinggi adalah Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yaitu
sebesar 0,5%. Estimasi jumlah absolut penderita kanker prostat di Sulawesi Utara
adalah 601 penderita (Solang dkk, 2016).

Penatalaksanaan jangka panjang pada pasien dengan BPH adalah dengan


melakukan pembedahan. Salah satu tindakan yang paling banyak dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah tindakan pembedahan Transurethral Resection Of the
Prostate (TURP) yang prosedur pembedahan dengan memasukkan resektoskopi
melalui uretra untuk mengeksisi dan mengkauterisasi atau mereseksi kelenjar prostat
yang mengalami obstruksi. Prosedur tersebut menimbulkan luka bedah yang berakibat
menimbulkan nyeri pada luka post operasi. (Purnomo, 2011).

Nyeri merupakan salah satu keluhan tersering pada pasien setelah mengalami
suatu tindakan pembedahan. Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat
bifasik terhadap tubuh manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Lama
waktu pemulihan pasien post operasi normalnya terjadi hanya dalam satu sampai dua
jam (Potter & Perry, 2005). Pada pasca pembedahan (pasca operasi) pasien merasakan
nyeri hebat dan 75% penderita mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan
akibat pengelolaan nyeri yang tidak adekuat (Sutanto, 2004 dalam Pinandita dkk,
2012).

Nyeri menurut asosiasi internasional untuk penelitian nyeri (International


Association for The study of pain, IASP, 1979) mendefnisikan nyeri sebagai suatu
subjektif pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-
kejadian saat terjadi kerusakan (Sulistyo, 2013).

Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang


kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Manajemen nyeri yang
tepat haruslah mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada
pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh emosi dan tanggapan
individu terhadap dirinya. Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi
nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Teknik
farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri terutama
untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan
berhari-hari (Smeltzer and Bare, 2002). Pemberian analgesik dan pemberian narkotik
untuk menghilangkan nyeri tidak terlalu dianjurkan karena dapat mengaburkan
diagnosa (Sjamsuhidayat, 2002). Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya
mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan
pengganti untuk obat–obatan, tindakan tesebut mugkin diperlukan atau sesuai untuk
mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit
(Smeltzer and Bare, 2002).

Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non


farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri,disamping metode TENS
(Transcutaneons Electric Nerve Stimulation), biofeedack, plasebo dan distraksi.
Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal
yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan
tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif,
guided imagery, dan meditasi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi
nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Brunner & Suddart,
2001 dalam Pinandita dkk, 2012). Beberapa penelitian, telah menunjukkan bahwa
relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pascaoperasi. Ini mungkin karena relatif
kecilnya peran otot-otot skeletal dalam nyeri pasca-operatif atau kebutuhan pasien
untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Periode relaksasi yang teratur
dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan
nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri (Smeltzer and Bare, 2002).

Menurut (Potter & Perry, 2006) teknik relaksasi merupakan kebebasan mental
dan fisik dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol
diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada
nyeri.Teknik relaksasi dapat digunakan. saat individu dalam keadaan sehat atau sakit.
Teknik relaksasi dan imajinasi salah satu teknik yang digunakan dalam menurunkan
nyeri pada pasien, dalam penelitian ini khususnya pada pasien pasca bedah. Teknik
relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik imajinasi, dan latihan relaksasi progresif
(Potter & Perry, 2006).

Relaksasi progresif pada seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15 menit.


Klien memberi perhatian pada tubuh, memperlihatkan daerah ketegangan. Daerah
yang tegang digantikan dengan rasa hangat dan relaksasi. Latihan relaksasi progresif
meliputi kombinasi latihan pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta
relaksasi kelompok otot (Potter & Perry, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Rizka Himawan (2017) menunjukkan nilai
rata-rata intensitas nyeri sebelum diberikan relaksasi progresif adalah 5.20 dengan
standar deviasi 0.834 yang termasuk dalam katagori nyeri sedang, sedangkan setelah
diberikan relaksasi progresif adalah 3.60 dengan standar deviasi 0.681 yang termasuk
dalam katagori nyeri ringan. Selisih perbedaan mean antara skala intensitas nyeri
sebelum dan sesudah adalah 0.253 dari hasil uji statistik didapatkan nilai ρvalue 0.000
(ρvalue 0.000 < α 0.05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna
antara rata-rata skala intensitas nyeri pasca operasi BPH (Benigna Prostat Hyperlasia)
sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi progresif.

Di Ruang Flamboyan E Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanujoso


Djatiwibowo Balikpapan merupakan bangsal perawatan penyakit dalam, dan belum
dijadikan standar tetap intervensi relaksasi progresif dan terapi musik klasik yang
diberikan pada pasien post operasi BPH dalam memberikan asuhan keperawatan.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis tertarik untuk menerapkan kombinasi
relaksasi progresif dan terapi musik klasik untuk menurunkan Nyeri pada pasien Post
operasi BPH di Ruang Flamboyan E Rumah Sakit Umum Daerah dr. Kanudjoso
Djatiwibowo Balikpapan.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan kombinasi terapi relaksasi otot
progresif dan relaksasi nafas dalam untuk menurunkan kadar gula darah pada
pasien diabetes mellitus yang dirawat di ruang Flamboyan E Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.
2. Tujuan Khusus
- Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien post op BPH sebelum dilakukan terapi
relaksasi progresif dan terapi musik.
- Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien post op BPH sesudah dilakukan terapi
relaksasi progresif dan terapi musik.
- Menganalisis perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan terapi
relaksasi progresif dan terapi musik.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian

1. BPH

a. Definisi

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan suatu penyakit dimana


terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hiperplasia jinak dari sel-sel
yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut (Bufa, 2006 dalam Samidah &
Romadhon, 2015).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak


bervariasi  berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi
yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004).

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak


kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF
Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).

b. Penyebab Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum


diketahui. Namun yang  pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH   adalah proses
penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

1) Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel


dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi

2) Perubahan keseimbangan hormon estrogen -  testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen


dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3) Interaksi stroma  epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan


penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
4) Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma


dan epitel dari kelenjar prostat

5) Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

Gambar 1.1

c. Tanda dan gejala

1) Urine sulit keluar di awal buang air kecil.

2) Perlu mengejan saat buang air kecil.

3) Aliran urine lemah atau tersendat-sendat.

4) Urine menetes di akhir buang air kecil.

5) Buang air kecil terasa tidak tuntas.

6) Buang air kecil di malam hari menjadi lebih sering.

7) Beser atau inkontinensia urine.

8) Pada kasus tertentu menyebkan retensi urin

d. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-
40 tahun. Bila  perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologi anatomi yang ada  pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan  penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat. Teori-teori tentang
terjadinya BPH :
1) Teori Dehidrosteron (DHT) Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam sel  prostat menjadi
faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang menyebabkan
inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa
protein.
2) Teori hormon Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat
mengalami hiperplasia yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang
berkurang, estrogen bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen
berperan pada kemunculan dan perkembangan hiperplasi prostat.
3) Faktor interaksi stroma dan epitel Hal ini banyak dipengaruhi oleh
Growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada  pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses
reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat
dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.
4) Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan
membentuk jaringan prostat. Proses pembesaran prostat terjadi
secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran  prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun
patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi
uretra.
 Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak
dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi.
Terminal dribbling  (rasa belum puas sehabis miksi), terjadi karena
jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.  
Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar
miksi lebih pendek. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari
(nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus
sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter, Inkontinensia bukan gejala
yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar
sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh
pecahnya pembuluh darah submukosa pada  prostat yang membesar.
Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau
retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal. Infeksi saluran kemih
dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada dalam
saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus
mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia dan
hemoroid.
e. Pemeriksaan Diagnostic

1. USG prostat, untuk melihat ukuran prostat penderita.

2. Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain


yang memiliki gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak.

3. Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal.

4. Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan oleh
prostat dan kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat
membesar atau mengalami gangguan.

f. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin  beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati  prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan
gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan  penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluks menyebabkan  pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

g. Penatalaksanaan Medis
1) Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang


diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur
2) Obat-obatan
Bila pengobatan mandiri tidak bisa meredakan gejala, dokter
dapat meresepkan obat-obatan berikut:

 Penghambat alfa, seperti tamsulosin, untuk memudahkan buang


air kecil.

 Penghambat 5-alpha reductase, seperti finasteride atau


dutasteride, untuk menyusutkan ukuran prostat.

Penelitian menunjukkan bahwa obat untuk menangani disfungsi


ereksi, seperti tadalafil, juga bisa digunakan untuk mengatasi pembesaran
prostat jinak.
3) Operasi
Ada sejumlah metode operasi prostat yang bisa digunakan
dokter urologi untuk mengatasi pembesaran prostat jinak, di antaranya:

 Transurethral resection of the prostate (TURP)

TURP merupakan metode operasi yang paling sering


dilakukan untuk mengangkat kelebihan jaringan prostat. Dalam
prosedur ini, jaringan prostat yang menyumbat diangkat sedikit
demi sedikit, menggunakan alat khusus yang dimasukkan
melalui lubang kencing.

 Transurethral incision of the prostate (TUIP)

TUIP tidak mengangkat jaringan prostat, namun


membuat irisan kecil pada prostat agar aliran urine menjadi
lancar. Prosedur ini dilakukan pada pembesaran prostat yang
ukurannya kecil hingga sedang.

 Pengangkatan prostat melalui operasi terbuka (prostatektomi)


dilakukan apabila ukuran jaringan prostat sudah sangat besar
atau sudah terdapat kerusakan pada kandung kemih. Dalam
prosedur ini, prostat diangkat melalui sayatan yang dibuat di
perut.

2. Nyeri
a. Pengertian

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.
Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan
dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit
manapun (Smeltzer, 2001).

Nyeri merupakan salah satu keluhan tersering pada pasien setelah


mengalami suatu tindakan pembedahan. Pembedahan merupakan suatu
peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh manusia yang berimplikasi
pada pengelolaan nyeri. Lama waktu pemulihan pasien post operasi
normalnya terjadi hanya dalam satu sampai dua jam (Potter & Perry, 2005).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

faktor yang mempengaruhi nyeri (Robinson, 2008) antara lain adalah


usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas,
keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping dan dukungan keluarga
sosial. Selain itu juga dipengaruhi proses penerimaan suara pada setiap
individu.

c. Instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri

1) Visual Analog Scale / Skala Nyeri Visual


Visual Analog Scale ( disingkat VAS ) atau skala nyeri visual adalah alat
ukur untuk mengetahui derajat nyeri yang paling sederhana. Skala VAS
berupa garis  garis horizontal sepanjang 10 cm, di ujung kiri garis
ditandai dengan "tidak nyeri", sementara ujung kanan ditandai dengan
"nyeri terparah". Lalu pasien diminta untuk menandai pada garis tersebut
sesuai dengan tingkat keparahan nyeri yang dirasakan, kemudian
jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien
dan panjang garis tersebut itulah menunjukkan tingkat intensitas nyeri.

Gambar 2.1
2) Numerik Rating Scale / Skala Nyeri Numerik
Numerik Rating Scale ( disisngkat NRS ) adalah skala nyeri numerik,
dalam aplikasinya pasien diminta untuk menunjuk angka pada sebuah
garis horizontal dengan deretan angka 0 di ujung kiri , 1, 2,3 ... dan
seterusnya hingga angka 10 di ujung kanan. angka 0 menunjukkan
keadaan tidak nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri terparah.

Gambar 2.2

3) Verbal Rating Scale / Skala Nyeri Verbal


Verbal Rating Scale ( disingkat VRS ) merupakan skala nyeri yang
pengukurannya berdasarkan ungkapan verbal apa yang dikatakan oleh
pasien, seperti "tidak nyeri" , "nyeri ringan", nyeri sedang", atau "nyeri
berat"

Gambar 2.3

4) Wong-Baker Pain Rating Scale / Skala Nyeri Wong-Baker


Skala nyeri Wong Baker biasanya diterapkan pada anak-anak , skala
nyeri ini unik karena berupa deretan gambar ekspresi wajah. Pasien
diminta menunjuk gambar ekspresi wajah yang paling sesuai dengan
nyeri yang dirasakan.

Gambar 2.4

3. Konsep Dasar Terapi Relaksasi progresif


a. Pengertian

Relaksasi progresif adalah memusatkan suatu perhatian pada suatu


aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian
menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksai, untuk mendapat
perasaan relaksasi

(Townsend, 2010).

Relaksasi progresif merupakan kombinasi latihan pernafasan yang


terkontrol dengan rangkaian kontraksi serta relaksasi otot (P. A. Potter &
Perry, 2005). Relaksasi progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang
memerlukan imajinasi dan sugesti (Davis, 2008).

b. Manfaat Relaksasi Progresif

Menurut (Davis, 2008) relaksasi progresif memberikan hasil yang


memuaskan dalam program terapi terhadap ketegangan otot, menurunkan
ansietas, memfalisitasi tidur, depresi, mengurangi kelelahan, kram otot, nyeri
pada leher dan punggung, menurunkan tekanan darah tinggi, fobia ringan
serta meningkatkan konsentrasi. Target yang tepat dan jelas dalam
memberikan relaksasi progresif pada keaadaan yang memiliki respon
ketegangan otot yang cukup tinggi dan membuat tidak nyaman sehingga
dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.
c. Pengaruh Relaksasi progresif Terhadap Nyeri
Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non
farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri,disamping metode TENS
(Transcutaneons Electric Nerve Stimulation), biofeedack, plasebo dan
distraksi. Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan
tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap
nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan
pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif, guided imagery, dan
meditasi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam
sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Brunner & Suddart,
2001 dalam Pinandita dkk, 2012). Beberapa penelitian, telah menunjukkan
bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pascaoperasi. Ini mungkin
karena relatif kecilnya peran otot-otot skeletal dalam nyeri pasca-operatif atau
kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif.
Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan
ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan
nyeri (Smeltzer and Bare, 2002). Relaksasi merupakan kebebasan mental dan
fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan
motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol
diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada
nyeri (Potter & Perry, 2005).
Penurunan skala nyeri setelah dilakukan terapi relaksasi progresif
dikarenakan Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan
pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok
otot. Klien mulai latihan bernafas dengan perlahan dan menggunakan
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada
mengembang penuh. Saat klien melakukan pola pernapasan yang teratur,
perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami
ketegangan otot, berfikir bagaimana rasanya, menegangkan otot sepenuhnya,
dan kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan
sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stres (Potter & Perry, 2006).
Relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan pernafasan yang
terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Klien mulai
latihan bernafas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh.
Saat klien melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan
klien untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot,
berfikir bagaimana rasanya, menegangkan otot sepenuhnya, dan kemudian
merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan sensasi
melepaskan ketidaknyamanan dan stress. Secara bertahap, klien dapat
merelaksasikan otot-otot tersebut. Saat klien mencapai relaksasi penuh, maka
persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi
minimal (Potter & Perry, 2006).
Menurut McGuidan & Lehrer (2007), dalam melakukan relaksasi
progresif hal yang paling penting dikenali adalah ketegangan otot, ketika otot
berkontraksi (tegang) maka rangsangan akan disampaikan ke otak melalui
jalur saraf afferent. Tenson merupakan kontraksi dari serat otot rangka yang
menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi adalah pemanjangan dari serat otot
tersebut yang dapat menghilangkan sensasi ketegangan. Setelah memahami
dalam mengidentifikasi sensasi tegang, kemudian dilanjutkan dengan
merasakan relaks, ini merupakan sebuah prosedur umum untuk
mengidentifikasi lokalisasi, relaksasi dan merasakan perbedaan antara
keadaan tegang (tension) dan relaksasi yang akan diterapkan pada semua
kelompok otot utama.

d. Prosedur Relaksasi progresif


 PERSIAPAN
a. Klien
1. Jelaskan tujuan latihan dan tahapannya
2. Klien memungkinkan untuk dilakukan latih
3. Klien menggunakan pakaian yang nyaman
b. Lingkungan
1. Ruangan yang tenang dan nyaman
2. Kursi atau tempat tidur yang nyaman
 PELAKSANAAN
1. Instruksikan klien untuk duduk atau berbaring dengan nyaman
2. Instruksikan untuk memejamkan mata dengan perlahan, lanjutkan
dengan menarik nafas dalam, menghirup udara melalui hidung,
menghebuskan melalui mulut secara perlahan. Rasakan udara
memenuhi abdomen. Ketika menghembuskan nafas melalui mulut,
rasakan bahwa semua ketegangan otot-otot juga seperti dikeluarkan.
Ulangi gerakan 3 kali.
Gambar gerakan 2

3. Pusatkan pikiran pada kedua lengan dan tangan. Luruskan kedua lengan
dan jari-jari, kemudian tegangkan otot-otot lengan dan jari sambil
mengepalkan tangan dengan kuat selama beberapa detik, bersamaan
dengan menarik nafas dari hidung, kemudian kendurkan kembali sambil
menhembuskan nafas melalui mulut (katakan dalam hati rileks rileks).
Ulangi gerakan 3 kali dengan pola yang sama.

Gambar gerakan 3

4. Pusatkan pikiran pada kaki dan betis. Tarik jari-jari kaki keatas dan
tegangkan kaki dan betis selama beberapa detik, bersamaan dengan
menarik nafas melalui hidung, kemudian kendurkan kembali, sambil
menghembuskan nafas melalui mulut ( katakan rileks rileks). Ulangi
gerakan 3 kali dengan pola yang sama.

Gambar gerakan 4

5. Pusatkan pada wajah dan kepala. Kerutkan dahi, dan buka mata lebar-
lebar selama beberapa detik, lalu kendurkan. Kempiskan hidung semala
beberapa detik, lalu kendurkan kembali. Tarik mulut kebelakang dan
rapatkan gigi selama beberapa detik, kemudian kendurkan (katakan
rileks rileks ). Ulangi gerakan 3 kali dengan pola yang sama..
Gambar 5

6. Pusatkan pikiran pada perut dan dada. Tarik nafas dalam melalui
hidung, tahan beberapa saat, kemudian hembuskan melalui mulut
secara perlahan-lahan. Rasakan ketegangan keluar dari tubuh.
Gambar 6

7. Pusatkan pada bahu dan leher. Tegangkan leher dan kedua bahu
kebelakang selama beberapa detik, bersamaan dengan menarik nafas
dari hidung, kemudian kendurkan kembali sambil menghenbuskan
nafas melalui mulut (katakan rileks rileks). Rasakan semua ketegangan
dikeluarkan. Ulangi gerakan 3 kali dengan pola yang sama.
Gambar 7

8. Duduk kembali dengan tenang, dan rasakan semua ketegangan tubuh


sudah dikeluarkan. Tutup mata anda rasakan otot-otot lebih rileks.
Hitung sampai 3 dan rasakan secara bertahap tubuh anda terasa lebih
segar.

4. Konsep Dasar Terapi Musik


a. Definisi

Musik adalah suatu komponen yang dinamis yang dapat


mempengaruhi fisiologi bagi pendengarnya (Nilson, 2009).

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental


dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre,
bentuk dan gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga mencipta
musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.

b. Manfaat Terapi Musik dan Musik Klasik

New zealand society for music therapy (NZSMT) menyatakan bahwa


terapi musik terbukti efektivitasnya untuk implementasikan pada bidang
kesehatan, karena musik dapat menurunkan kecemasan, nyeri, strees, dan
menimbulkan mood yang positif (Economidou, 2012).

Terapi musik memberikan kesempatan bagi tubuh dan pikiran


untuk mengalami relaksasi yang sempurna. Kondisi relaksasi(istirahat)
yang sempurna itu seluruh sel dalam tubuh akan mengalamireproduksi,
penyembuhan alami akan berlangsung, produksi hormon tubuh di
seimbangkan dan pikiran mengalami penyegaran (Demir, 2011).

Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan


meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Musik diharapkan menjadi
sebuah terapi dan musik dapat meningkatkan, memulihkan, memelihara
kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Hal ini
disebabkan musik memiliki beberapa kelebihan, yaitu karena musik
bersifat nyaman, menenangkan, membuat rileks, berstruktur, dan universal.
Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa diterima oleh semua
orang karena kita tidak membutuhkan kerja otak yang berat untuk
menginterpretasi alunan musik. Terapi musik sangat mudah diterima organ
pendengaran kita dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan
kebagian otak yang memproses emosi (Nikandish, 2007).

Penelitian menunjukkan bahwa musik klasik bermanfaat untuk


membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan tingkat kecemasan pasien
pra operasi dan melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stress. Hal
tersebut terjadi karena adanya penurunan adrenal corticotropin hormon
(ACTH) yang merupakan hormon stress (Bernatzky et al, 2011)
c. Pengaruh Terapi Musik terhadap Nyeri

Musik yang hanya bersifat sedatif tidak hanya efek distraksi dalam
inhibisi persepsi nyeri. Musik dipercaya dapat meningkatkan pengeluaran
hormon endorfin. Endorfin merupakan ejektor dari rasa rileks dan
ketenangan yang timbul, midbrain mengeluarkan gama amino butyric acid
(GABA) yang berfungsi menghambat hantaran impuls lisrik dari satu
neuron ke neuron lainnya oleh neurontransmiter didalam sinaps. Midbrain
mengeluarkan enke palin dan beta endorfin dan zat tersebut dapat
menimbulkan efek analgesik yang akhirnya mengeliminasi nuerotransmiter
rasa nyeri pada pada pusat persepsi dan interprestasi sensorik somatik di
otak sehingga efek yang bisa muncul adalah nyeri berkurang (Guyton & Hall,
2008)
d. Teknik Terapi Musik
Tabel 4.1
Pre interaksi
1 Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien (jika ada)
2 Siapkan alat-alat
3 Identifikasi faktor atau kondisi yang dapat menyebabkan kontra indikasi
4 Cuci tangan
Tahap orientasi
5 Beri salam dan panggil klien dengan namanya
6 Jelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada klien/keluarga
Tahap kerja
7 Berikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan dilakukan
8 Menanyakan keluhan utama klien
9 Jaga privasi klien. Memulai kegiatan dengan cara yang baik
10 Menetapkan perubahan pada perilaku dan/atau fisiologi yang diinginkan seperti relaksasi,
stimulasi, konsentrasi, dan mengurangi rasa sakit.
11 Menetapkan ketertarikan klien terhadap musik.
12 Identifikasi pilihan musik klien.
13 Berdiskusi dengan klien dengan tujuan berbagi pengalaman dalam musik.
14 Pilih pilihan musik yang mewakili pilihan musik klien
15 Bantu klien untuk memilih posisi yang nyaman.
16 Batasi stimulasi eksternal seperti cahaya, suara, pengunjung, panggilan telepon selama
mendengarkan musik.
17 Dekatkan tape musik/CD dan perlengkapan dengan klien.
18 Pastikan tape musik/CD dan perlengkapan dalam kondisi baik.
19 Dukung dengan headphone jika diperlukan.
20 Nyalakan music dan lakukan terapi music.
21 Pastikan volume musik sesuai dan tidak terlalu keras.
22 Hindari menghidupkan musik dan meninggalkannya dalam waktu yang lama.
23 Fasilitasi jika klien ingin berpartisipasi aktif seperti memainkan alat musik atau bernyanyi
jikan diinginkan dan memungkinkan saat itu.
24 Hindari stimulasi musik setelah nyeri/luka kepala akut.
25 Menetapkan perubahan pada perilaku dan/atau fisiologi yang diinginkan seperti relaksasi,
stimulasi, konsentrasi, dan mengurangi rasa sakit.
26 Menetapkan ketertarikan klien terhadap musik.
27 Identifikasi pilihan musik klien.
Terminasi
28 Evaluasi hasil kegiatan (kenyamanan klien)
29 Simpulkan hasil kegiatan
30 Berikan umpan balik positif
31 Kontrak pertemuan selanjutnya
32 Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
33 Bereskan alat-alat
34 Cuci tangan

B. Mekanisme

1. Identifikasi Pertanyaan
a. Analisa PICOT
P ( Problem and Patient ) : Pasien ibu hamil dengan preeklamsi
I ( Intervention ) : Rendam kaki dengan air hangat dan serai
C ( Comparation ) : Tidak ada perbandingan
O (Outcame) : Menurunkan tekanan darah.
T ( Time ) : Dilakukan 1 x rendam kaki air hangat dan serai
(durasi15 - 20 menit)dalam sehari selama 3 hari
dari tanggal 31 s/d 02 Januari 2020
b. Pertanyaan Klinis
Apakah terapi rendam kaki dengan air hangat dan serai dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien preeklamsi ?
Ekstraksi Data dan Critical Appraisal

Penelitian Sampel
Hasil Level
No (peneliti & (karakteristik,ukuran, Desain/seleksi responden Intervensi Komentar reviewer
temuan/kesimpulan penelitian
waktu ) setting)
1. Liszayanti, Fety. Sampel penelitian ini Jenis penelitian ini adalah - Perkenalan diri kepada - Sebelum diberikan Quasy Keterbatasan :
Rejeki, Sri sebanyak 15 orang Quasy Eksperiment pasien dan keluarga terapi rendam kaki experiment - Tidak dicantumkan
(2019) yang diambil dengan dengan rancangan - Jelaskan tujuan dengan air hangat tanpa kriteria inklusi dan
teknik purposive penelitian yang digunakan - Wawancara tentang data dan serai tekanan randomisasi eksklusi
Pengaruh Terapi sampling. One Group Pretest and demografi (Level III)
darah responden
Rendam Kaki
Posttest Design Without - Mengukur tekanan darah yang berjumlah 15
Dengan Air pasien Kekuatan :
Hangat dan
Control. orang memiliki
- Pasien duduk santai dan - Termasuk salah satu
Serai Terhadap rata-rata tekanan terapi non
nyaman di tempat duduk darah responden
Tekanan Darah farmakologis untuk
Ibu Hamil
- Merendam kaki dengan yaitu sebesar
air hangat dan serai (15- menurunkan tekanan
Penderita Pre 142.57/90.12 darah.
20 menit)/hari selama 3
Eklamsi mmHg. Setelah - Terapi ini bisa
hari
- Keringkan denhgan
responden dilakukan kapan saja
Jurnal diberikan terapi dan dimana saja.
Kesehatan handuk dan kaki body
lotion agar kaki tidak rendam kaki - Tidak memerlukan
Volume 2 biaya yang besar.
kering. dengan air hangat
- Ukur kembali tekanan dan serai - Alat ukur yang
darah setelah 10 menit menunjukkan digunakan jelas yaitu
terapi rendam kaki. semua responden tensimeter.
- Catat hasil pengukuran 15 orang - Waktu penelitian 1
tekanan darah sebelum mengalami bulan.
dan sesudah terapi penurunan dengan - Hasil uji
rendam kaki. menggunakan
rata-rata tekanan
Wilcokson pada
darah responden sistolik deengan nilai
menjadi Z 3.408 p value 0,001
135.73/85.51 dan uji paired tes pada
mmHg.
- Terapi rendam diastolik dengan P
kaki dengan air value 0,00 sehingga
hangat dan serai disimpulkana da
efektif untuk pengaruh terapi
rendam kaki dengan
menurunkan
air hangat dan serai
tekanan darah terhadap tekanan
responden pada darah ibu hamil
sistolik p value penderita pre eklamsi
0.001 dan pada
diastolic p value
0.000
SARAN
Diharapkan ibu hamil
yang mengalami
preeklamsi mampu
menerapkan terapi
non
farmakologi secara
mandiri di rumah
dengan menggunakan
rendam kaki air
hangat dan
serai

2 M Siti, Saadah. Populasi penelitian Penelitian ini menggunakan - Peneliti memperkenalkan - Perubahan tekanan Quasy Kekuatan :
Rahim, Rika & adalah semua ibu desain penelitian pre- diri kepada pasien dan darah ibu hamil experiment - Instrumen yang
Rismawati, hamil dengan eksperimen dengan one keluarga trimester III yang tanpa digunakan selama
Sariestyai. hipertensi sebanyak 24 group pretest-posttest. - Jelaskan tujuan mengalami randomisasi penelitian adalah
( 2017) orang. Teknik - Wawancara tentang data hipertensi di (Level III). lembar observasi,
pengambilan sampel demografi dan riwayat Wilayah Kerja sphygmomanometer
Pengaruh menggunakan teknik penyakit hipertensi Puskesmas dan stetoskop.
Rendam Kaki accidental sampling - Mengukur tekanan darah Kahuripan yaitu - salah satu therapy
Air Hangat yaitu sebanyak 17 - Pasien duduk santai dan untuk sistolik yang mudah dan
Terhadap orang. nyaman di tempat duduk, mengalami sederhana dilakukan
Perubahan Variabel yang di teliti kemudian dilakukan penurunan sebesar bagi penderita untuk
Tekanan Darah ibu hamil trimester III terapi rendam kaki (100%), sedangkan menurunkan
Ibu Hamil yang mengalami dengan air hangat. diastolik mengalami Hipertensi.
Hipertensi. hipertensi. - Ukur kembali tekanan penurunan sebesar - Waktu penelitian 2
darah. (58,8%), dan bulan.
(41,2%) tetap. - Penelitian ini
- Ada pengaruh terapi menggunakan
rendam kaki air accidental sampling
hangat terhadap yang memberikan
perubahan tekanan kebebasan kepada
darah pada ibu hamil peneliti untuk
III yang mengalami menentukan sampel
hipertensi di yang dirasa paling
Wilayah Kerja memenuhi syarat.
Puskesmas Keterbatasan :
Kahuripan Kota - Tidak ada alur
Tasikmalaya. penelitian.
- Tidak terdapat
kelompok kontrol.
- Sebanyak 7 responden
tidak mengalami
perubahan tekanan
darah.
3. Christina, Febri Sampel penelitian ini Dalam penelitian ini - Perkenalan diri kepada - Hasil penelitian Quasy Kekuatan :
Sabattani , adalah 16 ibu hamil menggunakan rancangan one pasien dan keluarga didapatkan bahwa experiment - Kriteria
Machmudah, penderita preeklamsi group pretest and post test - Jelaskan tujuan tekanan darah tinggi dengan responden/sampel
Mamat, dengan menggunakan design. - Wawancara tentang akibat preeklamsi randomisasi nya jelas.
Supriyono teknik sampling yaitu - Kriteria Inklusi: Ibu identitas responden yang sebelum dilakukan (Level III) - Waktu penelitian 1
(2016) probability sampling hamil penderita terdiri atas tanggal rendam kaki dengan tahun
dengan metode preeklamsi dengan pengukuran, nomor air hangat yaitu - Skala/alat ukur yang
Efektivitas proportionate stratified tekanan darah ≥/=140/90 responden, alamat, umur, sebanyak 16 digunakan jelas :
Rendam Kaki random sampling. mmHg dan ibu hamil usia kandungan responden dan tensimeter digital
Dengan Air dengan usia kandungan - Mengukur tekanan darah sesudah dilakukan untuk mengukur
Hangat minimal 20 minggu pasien rendam kaki dengan tekanan darah, dan
Terhadap - kriteria eksklusi: ibu - Pasien duduk santai dan air hangat yaitu menggunakan alat
Penurunan hamil dengan infeksi nyaman di tempat duduk sebanyak 16 thermometer air raksa
Tekanan Darah kulit terbuka, ibu hamil - Merendam kaki dengan responden, kemudian untuk mengukur suhu
Pada Ibu Hamil dengan hidrofobia (takut air hangat 39°C selama hasil penelitian yang air hangat yang
Penderita air), ibu hamil dengan 15 menit telah di uji memiliki jangkauan
Preeklamsi Di diabetes militus, ibu - Bilas dengan air dingin menggunakan Mc suhu raksa sebesar 0
Puskesmas hamil dengan gangguan - Keringkan dengan Nemar yang telah °C-100 °C.
Ngaliyan kognitif dan perilaku, dan handuk dan beri kaki digunakan pada - Analisis data
Semarang. ibu hamil dengan body lotion agar kaki responden penelitian menggunakan uji
epilepsy tidak terkontrol. tidak kering. diperoleh hasil P value statistic Mc Nemar
- Ukur kembali tekanan 0,0001 (≤ 0,05) untuk mengetahui
darah setelah menit terapi artinya terdapat efektivitas variabel.
rendam kaki. perbedaan tekanan
- Catat hasil pengukuran darah pada ibu hamil Keterbatasan :
tekanan darah sebelum penderita preeklamsi Tidak ada kelompok
dan sesudah terapi sebelum dan sesudah kontrol
rendam kaki diberikan rendam kaki
dengan air hangat,
- terdapat efektivitas
rendam kaki dengan
air hangat terhadap
penurunan tekanan
darah pada ibu hamil
penderita preeklamsi
di Puskesmas
Ngaliyan Semarang.
C. MANAJEMEN
Penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang tujuan terapi teknik relaksasi
progresif dan terapi musik klasik. Selanjutnya menjelaskan tentang prosedur yang akan
dilakukan, tujuan dan manfaatnya sehingga klien dan keluarga bersedia untuk dilakukan
terapi teknik relaksasi progresif dan terapi musik. Pengumpulan data dilakukan selama
3 hari dengan melakukan kombinasi terapi teknik relaksasi progresif dan terapi musik.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar SOP terapi teknik relaksasi
progresif dan terapi musik. Terapi teknik relaksasi progresif dan terapi dilakukan selama
20 menit 1 kali sehari dalam waktu 3 hari. Setelah intervensi dilakukan selanjutnya
diperiksa kembali skala nyeri pada pasien.

D. TEKNIK /CARA

SOP Tindakan terlampir

1. Membuka kegiatan
2. Memperkenalkan diri perawat
3. Menjelaskan tujuan rendam kaki dengan air hangat dan serai
4. Mempersilahkan ibu hamil dengan pre eklamsi untuk memperkenalkan diri
5. Menentukan kontrak waktu
6. Memberikan contoh kegiatan/menjelaskan prosedur kegiatan
7. Mengukur tekanan darah ibu sebelum terapi
8. Melakukan terapi rendam kaki dengan air hangat dan serai
9. Memberikan kesempatan pada ibu untuk mengungkapkan perasaannya setelah
dilakukan terapi rendam kaki dengan air hangat dan serai
10. Mengukur tekanan darah ibu setelah terapi
11. Melakukan evaluasi
12. Memberikan reinforcement
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH

A. Jenis Intervensi

Jenis Intervensi berupa kombinasi terapi Relaksasi progresif dan terapi musik. Subyek
yaitu pasien post op BPH yang memenuhi kriteria inklusi:
- Pasien laki-laki
- Usia 40-60 tahun
- Pasien Post Opersi BPH
- Pasien tanpa masalah pernapasan dan muskuloskeletal;
- Pasien yang mampu membaca dan menulis;
- Pasien yang tidak memiliki gangguan pendengaran;
- Pasien bersedia mengikuti pelatihan atau latihan.
kriteria eklusi:
- Pasien mengalami penurunan kesadaran.

B. Tujuan :
Untuk membandingkan skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan kombinasi terapi
relaksasi progresif dan terapi musik setelah dilakukan intervensi pada orang yang sama.

C. Waktu (tanggal dan jam pelaksanaan)


Pelaksanaan dilakukan pada tanggal 16 – 18 Maret 2020 pada pukul 16.00 Wita..

D. Setting
Di Rumah Sakit Umum Dr. Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan di ruangan Flamboyan
.
E. Media / alat yang digunakan
1. Tempat Tidur\
2. Lingkungan yang tenang
3. Buku tulis dan pulpen

F. Prosedur operasional tindakan yang dilakukan


1. Relaksasi Progresif
a. Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan : kursi, bantal, serta lingkungan yang tenang dan
sunyi.
a) Pahami tujuan, manfaat, prosedur.
b) Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup
menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk di kursi dengan
kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
c) Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu.
d) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain sifatnya mengikat.

1.Fase Orientasi
a.Salam terapeutik
b.Perkenalan diri terapis dengan menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan.
2. Validasi
a.Tanya perasaan responden dan kesiapan responden dalam mengikuti terapi.
b.Tanyakan perasaan yang dirasakan oleh responden saat ini.

3.Kontrak
a. Jelaskan jumlah sesi pertemuan yang harus diikuti 1 kali perhari selama3 hari.
b. Waktu :15 - 30 menit
c. Tempat: Ruangan yang tenang
d. Tujuan pertemuan : Untuk menurunkan tekanan darah pada ibu dengan PEB
dengan cara merandam akkai denagan air hangat dan serai.

4.Fase Kerja
a. Mengukur tekanan darah ibu 10 menit sebelumdi lakukan rendam kaki dengan
air hangat dan serai.
b. Menyiapkan air hangat dan serai dalam baskom.
c. Menganjurkan ibu untuk duduk dengan nyaman di kursi yang telah disediakan.
d. Anjurkan ibu untuk merendam kakinya selama 15-20 menit.
e. Lalu keringkan kaki ibu dengan handuk.
f. Lalu oleskan body lotion.
g. Ukur kembali tekanan darah ibu 10 menit kemudian setelah dilakukan terapi
rendam kaki.
h. Menganjurkan melakukan kegiatan tersebut selama 3 hari kedepan.
5. Evaluasi
a. Menanyakan perasaan ibu setelah dilakukan terapi rendam kaki.
b. Memberikan reinforcement positif terhadap ibu.
c. Mengucapkan salam dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, D. (2015). Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target
MDGs2015.http://www.Kompas iana.com/ditaanugrah/angka-kematian-ibu-di-indonesia-
masih-jauh-dari-target-mdgs-

Christina, Febri Sabattani , Machmudah, Mamat, Supriyono. (2016). Efektivitas Rendam Kaki
Dengan Air Hangat Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Ibu Hamil Penderita
Preeklamsi Di Puskesmas Ngaliyan Semarang.

Liszayanti, Fety. Rejeki, Sri. (2019). Pengaruh Terapi Rendam Kaki Dengan Air Hangat dan Serai
Terhadap Tekanan Darah Ibu Hamil Penderita Pre Eklamsi. Jurnal Kesehatan Volume 2.

M Siti, Saadah. Rahim, Rika & Rismawati, Sariestyai, ( 2017). Pengaruh Rendam Kaki Air Hangat
Terhadap Perubahan Tekanan Darah Ibu Hamil Hipertensi

Putri, A. (2015). Efektivitas terapi rendam kaki menggunakan air hangat dan senam lansia terhadap
tekanan darah di Unit Rehabilitasi Sosial (URESOS) Pucang Gading Unit Semarang II.
http://stikesyahoedsmg.ac.id/jurna

Saifudin, & Wiknjosastro. (2010). Ilmu Kebidanan (1st ed.). Jakarta: Pt Bina Pustaka

Setyoadi, & Kushariyadi. (2011). Teapi Modalitas Keperawatan Pada Klien


Psikogeriatrik(1st ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Simkin, & Dkk. (2008). Panduan Lengkap Kehamilan (1st ed.). Jakarta: Terbitan Arcan.

Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu


(1sted.). Yogyakarta: Graha Ilmu.

World Health Organization (WHO). (2016). National, regional, and worldwide estimates
ofstillbirth rates in 2015, with trends from 2000: a systematic analysis. The Lancet
Global Health, 4(2), e98–e108. https://doi.org/10.1016/S2214-109X(15)00275-2

Anda mungkin juga menyukai