Anda di halaman 1dari 81

Tao Te Ching Filsafat Taoisme - 1

“TAOISME”
Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang–Tzu,
Serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn ‘Arabi

Buku Kedua dari


SUFISME dan TAOISME
TOSHIHIKO IZUTSU

Diterjemahkan dari Sufism and Taoism; A Comparative Study of Key Philosophical Conseps (Parts 2 &
3) by Thoshihiki Izutsu
@ 1983, 1993, Toshihiko Izutsu

Penerjemah : Musa Kazhim & Arif Mulyadi


Penyunting : Hardiansyah Suteja
Perancang Isi : Dzul Yamin
ISBN : 978-979-433-914-5
Cetakan I, November 2015
Diterbitkan Oleh Penerbit Mizan (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI
Gedung Ratu Prabu I, Lt.6
Jl. TB Simatupang Kav 20 Jakarta 12430, Indonesia
Laman : http”//www.mizan.com
Surel : mizan,scholar@yahoo.com
Penyadur : Pujo Prayitno

ISI BUKU

Prakata
Pendahuluan
BAGIAN PERTAMA
1. Lao-Tzu dan Chuang-Tzu
2. Dari Mitopoiesis (Mythopoiesis) Menuju Metafisika
3. Mimpi dan Kenyataan
4. Melampaui Ini dan Itu
5. Kelahiran Ego Baru
6. Menentang Esensialisme
7. Jalan (Tao)
8. Jalan Keluar dari Selaksa Keajaiban
9. Determinisme dan Kebebasan
10. Pembalikan Mutlak terhadap Nilai-Nilai
11. Manusia Sempurna
12. Homo Politicus

BAGIAN KEDUA
Refleksi Komparatif
13. Sejumlah Pendahuluan Metodologis
14. Transformasi Batin Manusia
15. Struktur Realitas yang Berderajat
16. Esensi dan Eksistensi
17. Perkembangan Diri Eksistensi

PRAKATA

Buku iini aslinya telah saya tulis lebih dari lima tahun silam, semasa saya mengajar filsafat Islam di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Pada waktu itu, saya mulai sadar
bahwa perlahan-lahan saya memasuki fase baru kehidupan intelektual, meraba-raba jalan menuju tipe
baru filsafat oriental yang didasarkan pada serangkaian studi fitologis dan komparatif yang ketat
terhadap sejumlah istilah kunci dari beberapa tradisi kefilsafatan di timur Dekat, Timur Tengah, dan
Timur Jauh. Karya ini adalah produk pertama dalam upaya saya ke arah tersebut.
Buku ini selanjutnya diterbitkan di Jepang dalam dua jilid pada 1966-1967, dengan judul A Vomparative
Study of Key Philosophical Conceps ini Sufism and Taoism (diserta sub judul Ibn “Arabi and Lao-tzu –
Chuang tzu) sebagai publikasi The Institute of Cultural and Linguistic Studies, Keio University; Tokyo,
di bawah pengarahan mendiang Profesor Nobuhiru Matsumoto.
Tuntutan besar bagi sebuah edisi baru yang direvisi mendorong saya untuk menerbitkan ulang buku ini
sewaktu saya di Iran. Karena dicetak di Ingris dan dijadwalkan beredar di Teheran pada akhir 1978
menjelang pecahnya “revolusi” Khomeini, buku ini akhirnya tidak mungkin untuk diterbitkan. Syahdan,
akibat terjadinya takdir aneh, buku ini – dalam keadaan telah direvisi seutuhnya, meski masih dalam
bentuk lembarn-lembaran untuk diperiksa – sekali lagi kembali bersama pengarangnya ke Jepang
tempatnya pertama kali terlahir.
Saat merevisi keseluruhan buku ini, saya berupaya sebisa mungkin menghapus semua kekurangan
yang teramati pada waktu itu. Tetapi tentu saja, tetap ada batas-batas alamiah bagi upaya perbaikan
dan perubahan semacam itu.
Saya hanya berharap bahwa dalam bentuk barunya, walau pun pasti masih mengandung banyak
kekeliruan dan kekurangan, setidaknya buku ini bisa menjadi sumbangan bersahaja menuju
pengembangan “dialog-dialog metahistoris” antara berbagai tradisi filosofis di Timur dan Barat, dialog
filosofis khas yang kiranya saat ini dunia sedang sangat membutuhkannya.
Kewajiban menyenangkan buat saya untuk berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada The
Iwanami Shoten Publisher, yang telah mengambil tugas penerbitan karya ini. Terima kasih khusus buat
Mr. Atsushi Aiba (dari penerbit yang sama) yang bekerja maksimal demi terlaksananya proyek ini. Saya
juga ingin menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak berwenang di almamater saya. Keiro
University, yang sekarang saya ingat dari mereka saya mendapatkan banyaik dorongan saat saya
menulis karya ini dalam bentuk aslinya.

T. Izutsu
4 Oktober 1981
Kakamura Jepang

PENDAHULUAN

Sebagaimana tersirat pada judul dan sub-judul, tujuan utama keseluruhan karya ini adalah mencoba
melakukan perbandingan struktural antara pandangan dunia Sufisme yang diwakili Ibn “Arabi dan
pandangan dunia Taoisme yang diwakili Lao-tzu dan Chuang-tzu. Saya menyadari bahwa studi sejenis
ini memiliki sejumlah jebakan. Perbandingan yang dilakukan seara sederhana antara dua sistem
pemikiran yang tidak memiliki hubungan historis bisa menjadi pengamatan dangkal atas pelbagai
keserupaan yang kurang menunjukkan ketajaman ilmiah. Untuk menghindari kekeliruan ini, diperlukan
upaya pembeberan struktur fundamental tiap-tiap pandangan-dunia secara independen dan seketat
mungkin sebelum mengajukan pertimbangan komparatif apa pun.
Bertolak dari situ, Bagian Pertama akan dkhususkan bagi upaya mendudukan dan menganalisa
konsep-konsep ontologis utama yang melambari pandangan-dunia filosofis Ibn “Arabi, sementara pada
Bagian Kedua sebuah studi analitis yang sama persis sama akan dibuat seputar pandangan-dunia
Lao-tzu dan Chuang-tzu, sehingga kedua bagian itu akan menjadi dua studi yang berbeda sama sekali;
satu bagian mengenai Ibn ‘Arabi dan bagian kedua mengenai Taoisme kuno. Baru pada Bagian Ketiga
kita akan melakukan upaya perbandingan dan koordinasi pelbagai konsep-kunci kedua pandangan-
dunia yang sebelumnya telah dianalisis tanpa melihat keserupaan dan perbedaan keduanya.
Apapun hasilnya, motif utama yang mengaliri keseluruhan karya ini tidak lain adalah keinginan untuk
membuka jendela baru pada ranah filsafat dan mistisisme komparatif. Titik tolak yang baik bagi
komparasi semacam ini terletak pada fakta bahwa kedua pandangan-dunia ini sama-sama berlandas
pada dua poros utama. Sang Mutlak dan Manusia Sempurna. Sistem utuh dalam pemikiran ontologis
yang berkembang pada dua pandangan-dunia di atas bermuara pada dua kutub ini.
Harus dicatat sebagai suatu struktur ontologis, hal ini tidaklah asing dalam sufisme dan Taoisme.
Oposisi Sang Mutlak dan Manusia Sempurna sebagai dua poros pandangan dunia dalam berbagai
bentuk merupakan pola dasar yang lazim bagi banyak tipe mistisisme yang berkembang di dunia pada
tempat dan waktu yang berlainan. Sebuah pertimbangan komparatif atas sejumlah sistem serupa
dalam pola umum dan berbeda dalam hal-hal terperinci (semisal) asal-usul dan lingkungan historis
tampaknya akan bermanfaat untuk mempersiapkan landasan bagi apa yang secara tepat disebut
Profesor Henry Corbin sebagai un dialogue dans la metahistoire, yakni dialog metahistoris atau
transhistoris. Inilah sesuatu yang dibutuhkan secara sangat mendesak dalam situasi dunia sekarang.
Mengingat bahwa Ibn ‘Arabi menimbulkan banyak diskusi dan kontroversi yang tidak pernah terjadi
dalam sejarah pemikiran Islam sebelumnya, dan menisbahkan hal ini pada watak dasar Islam yang
mengkombinasikan dua Kebenaran : haqiqah (kebenaran berdasarkan inteleks) dan Syari’ah
(Kebenaran berdasarkan Pewahyuan), Dr. Osman Yahya mengajukan pertanyaan berikut ini :
“Ie cas d’Ibnu “Arabi ne se posarait pas ovec autant d’acuite dans une tradition de pure metaphysique
comme le tooism ou le vedanta ou Ia personalite du Moitre ... eut pu s’sepanouir librement ni non plus
dans une tradition de pure loi positive ou son cas n’eut meme pas pu etre pose pusiqu’il eut ete refuse
par la communaute tout entiere, irremediablement. Mais le destin a voulu placer Ibn ‘Arabi a la croisee
des chemins pour digager, en sa personne, la veritable vocation de l’Islam.”
Kasus Ibn ‘Arabi tidak mungkin mengemuka secara heboh dalam sebuah tradisi metafisika murni
sebagaimana halnya tooisme ataupun wedanta di mana kepribadian sang Guru .... telah bisa
berkembang dengan bebas; bukan pula dalam sebuah tradisi hukum poisitf murni di mana kata Ibn
“Arabi bahkan tidak bisa dikemukakan karena telah ditolak sepenuhnya oleh seluruh masyarakat.
Tetapi takdir ingin menempatkan Ibn “Arabi dalam persimpangan jalan guna mengumandangkan
seruan sejati Islam dengan sendirinya.
Tidak dapat disangkal bahwa metafisika Lao-tzu tentang Tao dalam kejelukan pemikirannya yang tidak
berujung menunjukkan sejumlah keserupaan menakjubkan dengan konsep Ibn “Arabi tentang wujud
(being). Lebih menariknya lagi, seperti yang akan saya singgung pada Bagian Kedua, Lao-tzu dan
Chuang-tzu merepresentasikan puncak tradisi spiritual yang secara historis berbeda dengan Sufisme.
Sebagaimana telah saya nyatakan di atas, kita mesti menjaga diri dari membuat perbandingan-
perbandingan yang terlalu gampang. Tetapi, kita juga harus mengakui bahwa studi komparatif sejenis
ini, bila dilakukan secara cermat, setidaknya akan memberikan landasan umum bagi terciptanya
sebuah dialog antar budaya yang berguna.
Sejalan dengan rencana besar itu, paro pertama buku ini akan berhubungan secara eksklusif dengan
studi analitis atas beberapa konsep kunci yang menjadi dasar-dasar ontologis pandangan-dunia Ibn
“Arabi. Seperti telah saya katakan, pandangan-dunia ini berkisar pada dua poros. Sang Mutlak dan
Manusia Sempurna, dalam bentuk Turun dan Naik ontologis (ontological Descent and Ascent). Dalam
mendedahkan proses kosmik ini, di setiap tahapannya, Ibn “Arabi telah mengembangkan pelbagai
konsep penting.Konsep-konsep itulah yang akan dianalisis dalam karya ini. Jadi, karya ini secara
metodis bertujuan menguraikan aspek ontologis filsafat mistis Ibn “Arabi sebagai sistem yang memiliki
sejumlah konsep kunci yang berhubungan dengan “maujud: (being) dan “Eksistensi”.
Kita harus akui bahwa ontologis hanya salah satu aspek dari pemikiran manusia luarbiasa ini. Ada
sejumlah aspek lain yang tidak kalah pentingnya semisal, psikologi, epistemologi, simbolisme, dan lain
sebagainya, yang secara keseluruhan membentuk sebuah pandangan-dunia yang orisinal dan
berbobot. Namun, konsep Maujud, seperti akan kita lihat, adalah dasar pemikiran filosofisnya. Dan,
teorinya tentang Maujud tak ayal lagi sangat orisinil dan secara historis berpengaruh luas sehingga
perlu diperlakukan secara terpisah.
Sejak sekarang, saya ingin menjelaskan bahwa karya ini bukanlah sebuah studi filologis yang
menyeluruh mengenai Ibn “Arabi. Sebaliknya, sejauh menyangkut Ibnu “Arabi, studi ini didasarkan
hampir secara khusus pada buku Fushush Al-Hikam. Pada intinya, karya ini berisi analisis terhadap
beberapa konsep ontologis utama yang dikembangkan Ibnu “Arabi dalam buku yang paling dipuja dan
sering digambarkan sebagai opus magnum-nya. buku ini telah dikaji dan dikomentari oleh sekian orang
sepanjang beberapa abad. Jadi, dari segi bahan, karya ini tidak berpretensi menyuguhkan hal baru.
Sejak semula, saya tidak berniat melakukan kerja besar-besaran. Saya lebih berniat menyelami
“napas-kehidupan”, semangat menyala dan sumber eksistensial kehendak berfilsafat yang terdapat
pada pemikir besar ini. Dari kedalaman itu, saya ingin menemukan susunan keseluruhan sistem
ontologisnya, langkah demi langkah, persis seperti dia sendiri mengembangkannya. Untuk memahami
pemikiran manusia semacam Ibnu “Arabi, seseorang harus menangkap ruh yang merasuki dan
menghidupkan keseluruhan struktur’ bila tidak, semuanya akan hilang. Semua pertimbangan dari luar,
pasti akan jauh panggang dari api. Bahkan, pada tataran intelektual dan filosofis, orang harus mencoba
memahami pemikirannya dari dalam dan merekontruksinya dalam dirinya sendiri melalui hal yang
dapat disebut sebagai empati eksistensial. Untuk tujuan itu, meskipun kerja besar-besaran tentu saja
menarik, hal itu bukanlah persyaratan utama.
Ibnu “Arabi bukan sekedar pemikir berbobot, dia juga seorang penulis prolifik luarbiasa. Kalangan ahli
sendiri berselisih perihal jumlah pasti dari karya-karyanya. Sebagai misal, Al-Sya’rani mencatat syaikh
ini telah menulis sekitar 400 karangan. Repetoar umum dalam karya bibliografis Dr. Osman Yahya
yang disebutkan di atas mendaftar sebanyak 856 karya, meskipun termasuk karya yang diragukan dan
jelas-jelas palsu.
Dalam situasi seperti ini, dan untuk tujuan kita, bukan saja tidak relevan, melainkan cukup berbahaya,
untuk mencoba mencatat semua yang dikatakan dan ditulis seorang pengarang mengenai semua
subyek selama beberapa tahun. Hal itu bisa dengan mudah menghanyutkan orang dalam samudra
konsep, citra, dan simbol yang tercecer secara acak sepanjuang ratusan karyanya, dan kehilangan
pandangan atas satu atau beberapa garis pemikiran dan ruh pemandu yang melambari keseluruhan
struktur yang ada. Demi menghindari tumpukan simbol dan mungkin lebih bermanfaat untuk
berkonsentrasi pada sebuah karya yang memaparkan berbagai pemikirannya dalam bentuk paling
matang.
Bagaimanapun, karya ini secara ekslusif berisi analisis ihwal Fushush Al-Hikam, kecuali di beberapa
tempat ketika saya mengacu pada karyanya yang lebih kecil untuk memperoleh penjelasan lebih jauh
mengenai sejumlah pokok masalah penting. Seperti yang saya nyatakan di atas, Fushush Al-Hikam
dikaji banyak orang dalam bentuk yang beragam. Betatapun, saya berharap bahwa analisis saya atas
buku yang sama akan menyumbangkan pemahaman lebih baik terhadap Syaikh Akbar yang telah
dianggap sebagai salah satu pemikir mendalam, tetapi pada saat yang sama, paling susah dipahami
yang pernah dilahirkan Islam.

BAGIAN PERTAMA

1. LAO-TZU dan CHUANG-TZU

Tao Te Ching, merupakan buku terkenal di dunia. ia merupakan buku paling banyak dibaca di Barat
dalam beragai terjemahan sebagai salah satu teks dasar paling penting dari Kebijaksanaan Timur.
Secara umum – atau lebih tepatnya secara populer – ia dipandang sebagai risalah filosofiko-mistis
yang ditulis pemikir Cina kuno bernama Lao-tzu, kawan senior dari Konfucius (Kong Hu-
Chu/Confucius). Dalam lingkaran lebih ilmiah, dewasa ini tak ada seorang pun yang mengambil
pandangan semacam itu.
Sebenarnya, sejak Dinasti Ch’ing, ketika pertama kali persoalan kepengarangan buku itu dimunculkan
di Cina, buku ini telah didiskusikan oleh banyak orang. Ia telah mendorong kontroversi yang demikian
hidup tidak hanya di Cina, melainkan juga di Jepang, bahkan di Barat. Hipotesis-hipotesis yang
diajukan begtu beragam, sehingga membuat kita gelap soal apakah Tao Te Ching merupakan karya
seorang pemikir individual, atau bahkan apakah lelaki bernama Lao-tzu itu benar-benar ada? Kita tidak
lagi berada dalam suatu posisi untuk membuat tempat kronologis layak seputar buku itu dengan
kepercayaan penuh.
Untuk tujuan khusus kita, masalah kepengarangan dan autentisitas karya itu hanya memiliki arti
sampingan. Entah pernah ada seorang tokoh historis bijak bernama Lao-tzu di negara Ch’u, yang
hidup lebih dari 160 tahun ataukah tidak, baik orang bijak ini benar-benar menulis Tao Te Ching atau
tidak, pertanyaan-pertanyaan ini dan sejenisnya, baik dijawab secara negatif ataupun afirmatif, tidak
berpengaruh sama sekali pada tujuan utama karya ini. Yang menjadi kepentingan mendasar ialah
bahwa pemikiran itu ada, dan ia mempunyai struktur dakhil yang sangat khas. Apabila dianalisis dan
dipahami dengan cara tepat, ia akan menjadi filsafat Cina tandingan yang sangat memikat bagi corak
filsafat “Kesatuan Eksistensi” (wahdat al-wujud) sebagaimana dipaparkan Ibn “Arabi dalam Islam.
Lao-tzu adalah tokoh legendaris, atau setidaknya, semi-legendaris, yang sungguh keterlaluan jika
mengatakan bahwa tidak ada hal pasti mengenainya yang kita ketahui. Karena, bahkan dengan asumsi
bahwa ada dasar historis pada biografinya, harus kita akui bahwa khayalan rakyat telah merajutnya
menjadi tapestri menawan yang terdiri dari pelbagai peristiwa luarbiasa dan kejadian menakjubkan
yang tak seorang pun bisa berharap untuk menguraikan jaring rumit legenda mitos, dan fakta di
dalamnya.
Bahkan, sejarawan Cina paling waras dan dapat diandalkan di masa kuno, dan yang paling awal
berusaha menggambarkan kehidupan serta sepak terjang Lao-tzu dalam karya Buku Sejarah, Ssu Ma
Ch’ien dari Dinasti Han (awal abad pertama sebelum Masehi), harus puas dengan memberikan narasi
amat tidak konsisten dan tidak sistimatis yang disusun dari sejumlah cerita yang berasal dari berbagai
sumber.
Menurut salah satu legenda tersebt, Lao-tzu merupakan penduduk negeri Ch’u. Dia masih menjabat
sebagai pegawai bendhahara Kerajaan Chou, ketika Konfucius datang mengunjunginya. Setelah
wawancara, Konfucius dikisahkan membuat pernyataan berikut pada murid-muridnya tentang Lao-tzu :
“Burung-burung terbang, ikan-ikan berenang, dan hewan-hewan berlarian – semua ini aku ketahui
dengan pasti. Lantas, yang lari bisa ditangkap, yang berenang bisa dikail, dan yang terbang bisa dibidik
dengan anak panah. Namun, apa yang bisa kita perbuat pada naga? Kita tidak bisa melihat bagaimana
ia menunggang angin dan awan serta menaiki langit. Begitulah Lao-tzu yang kutemui hari ini, hanya
bisa dibanding dengan seekor naga!”.
Kisah ini menjadikan Lao-tzu sebagai orang yang hidup sezaman dengan Konfucius (551-479 SM). Hal
ini tentu saja berarti Lao-tzu yang hidup di abad ke-6 SM, tidak mungiin menjadi suatu fakta historis.
Banyak argumen telah diajukan terhadap historisitas cerita yang baru saja kita kutip. Salah satunya
memiliki arti penting tertentu bagi kita; terkait dengan pengujian ini dan narasi serupa secara filologis
serta dalam kerangka perkembangan historis pemikiran filosofis di Cina kuno. Di sini saya akan
memberikan contoh tipikal dari argumen filologis semacam itu.
Sokichi Tsuda dalam karya kodangnya, The Thought of the Taoist School and its Development,
melakukan pengujian filologis cermat atas penggunaan tidak umum dari beberapa istilah tekenis kunci
dalam Tao Te Ching. Dia sampai pada kesimpulan bahwa buku itu pasti merupakan produk periode
setelah Mencius (372 – 289 SM). Implikasinya, Lao-tzu – dengan asumsi bahwa dia memang tokoh
historis – adalah seorang pemikir yang muncul setelah Mencius.
Tsuda memilih ungkapan jen-i yang dijumpai pada Bab XVIII Tao Te Ching sebagai patokan
penilaiannya. Kata Jen-i marupakan paduan dua kata, jen dan i. Dua kata ini, jen (perikemanusiaan
atau humanenes, dengan penekanan khusus apda belas kasih) dan i, (kesalehan), tidak termasuk
dalam kota kata Lao-tzu; keduanya adalah istilah-istilah kunci Konfusianisme. Saat memaparkan dua
kebajikan manusia paling mendasar, kedua istilah kunci itu berperan sangat penting dalam pemikiran
etis Konfusius sendiri. Namun, dalam lisan Konfusius, keduanya tetap merupakan dua kata mandiri;
keduanya tidak bergabung menjadi suatu unit semantik dalam bentuk jen-i yang hampir sejajar dengan
konsep kompleks tunggal. Fenomena terakhir ini baru teramati pada masa pasca Konfusius.
Tsuda menunjukkan bahwa pemikir yang pertama kali menekankan konsep jen-i adalah mencius, fakta
ini, bersama dengan fakta dalam pasase yang disebutkan di atas bahwa Lao-tzu menggunakan
istilah0istilah jen dan i dalam bentuk gabungan, akan memperlihatkan bahwa Tao Te Ching merupakan
produk dari suatu periode ketika istilah kunci Kunfusian jen-i telah terbangun dengan kukuh, karena
pasase tersebut secara jelas dimaksudkan sebagai kritik tajam atas etika Konfusian. Dengan kata lain,
Lao-tzu menggunakan ungkapan tersebut dengan maksud seperti itu lantaran dia telah melihat
Mencius dan teori etikanya.
Lebih dari itu, lanjut Tsuda, Mencius secara gigih menyerang dan mengutuk segala sesuatu yang tidak
selaras dengan Konfusianisme. Namun, tidak pernah sekalipun dia menunjukkan upaya sadar untuk
mengkritik Lao-tzu atau Tao Te Ching, sekalipun faktanya ajaran Lao-tzu ini secara diametris
berlawanan dengan doktrinnya. Bahkan, dia tidak pernah menyebut nama Lao-tzu. Inilah bukti tak
terbantahkan yang menguatkan tesis bahwa Tao Te Ching termasuk karya dari periode setelah
Mencius. Mengingat, dontrin-doktrin Tao Te Ching dikritik secara terang-terangan oleh Hsun-Tzu (wafat
kira-kira 315-236 SM), maka Lao-tzu tidak mungkin lahir setelah Hsun-Tzu. Dengan demikian, sebagai
kesimpulan, Tsuda menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode antara Mencius dan
Hsun-Tzu.
Meskipun terdapat sejumlah poin bermasalah pada argumen-argumen Tsuda, saya kira secara
keseluruhan dia benar adanya. Kenyataannya, ada sejumlah pasase dalam Tao Te Ching yang tidak
dapat dipahami sepenuhnya kecuali kita menempatkannya pada latar belakarng filsafat Konfusian yang
sudah berdiri sangat kuat. Sesungguhnya, hal ini merupakan inti seluruh masalah, setidaknya bagi
mereka yang menjadikan pemikiran Lao-tzu itu sendiri sebagai perhatian utama. Baris-baris pembuka
sangat terkenal dari Tao Te Ching, misalnya, yang di dalamnya Jalan sejati (the rela Way) dan Nama
sejati (the real Name) disebutkan dengan sangat kontras antara “jalan” biasa dan “nama” biasa, tidak
memiliki nama hakiki kecuali ketika kita menyadari bahwa apa yang dimaksudkan dengan “jalan” biasa
(the ordinary way) tidak lain adalah jalan hidup etis sebagaimana dipahami dan diajarkan oleh mazhab
Konfusius. Sementara itu apa yang disebut sebagai “nama-nama” biasa adalah “nama-nama”
Konfusian, akni kategori-kategori etis tertinggi yang dibakukan melalui “nama-nama” tertentu, aitu
sejumlah istilah kunci.
Lebih jauh, buku Tao Te Ching mengandung sejumlah kata dan frase yang secara sepintas berasal
dari aneka sumber lain, seperti Mo-tzu, Yang Chu, Shang Yang, dan bahkan Chuang-tzu, Shen Tao,d
an sebagainya. Ada sejumlah sarjana yang, dengan mendasarkan diri mereka pada obersevasi ini,
melangkah lebih jauh daripada Tsuda dan menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode
Chuang-tzu dan Shen Tao. Yang Jung Kuo, seorang sarjana kotemporer dari Peking, misalnya
membenarkan pendapat ini dalam bukunya, History of Thought in Ancient China.
Sebagian “referensi” milik para pemikir yang secara tradisional dipandang lahir setelah Lao-tzu yang
dipradugakan di sini boleh jadi sangat bisa dijelaskan karena pengaruh Tao Te Ching itu sendiri pada
mereka. Dalam menuliskan karya-karya mereka, para pemikir ini mungkin “meminjam” sejumlah
gagasan dan ungkapan dari buku Tao Te Ching. Selain itu, kita harus ingat bahwa teks buku ini, yang
kita miliki hari ini, secara jelas telah melewati proses penyuntingan, penyuntingan ulang, dan penataan
kembali yang berkali-kali pada Dinasti han. Banyak “referensi” yang mungkin bersifat tambahan dan
interpolasi yang diimbuhkan belakangan.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa Tao Te Ching merupakan suatu karya Kontroversial. Paling tidak
bisa dirumuskan pemikirannya telah mempradugakan keberadaan mazhab Konfusian.
Kembali pada aspek lain dari Lao-tzu yang lebih penting untuk tujuan buku ini ketimbang aspek
kronologisnya. Kita bisa mulai dengan memerhatikan Biografi Lao-tzu yang disodorkan Ssu Ma Ch’ien
dalam Biik of History. Pada buku itu dia menepatkan Lao-tzu sebagai orang Ch’u. Maka itu, dalam
suatu pasase, dia menulis “Lao-tzu” adalah warga asli desa Ch’u Jen, di Li Hsiang, Provinsi K’u,
negara Ch’u”. Dalam pasase lain, dia menyatakan bahwa menurut riwayat berbeda, ada seorang
bernama Lao Lai Tzu di masa Konfusius; bahwa dia adalah orang Ch’u, dan melahirkan lima belas
buku yang membicarakan ikhwal jalan. Ssu Ma Ch’ien menambahkan bahwa orang ini mungkin sama
dengan Lao-tzu.
Semua ini sangat mungkin legenda belaka. Bagaimanapun, menurutnya, hal yang sangat signifikan
ialah bahwa “legenda” itu menghubungkan penulis Tao Te Ching dengan negeri Ch’u. Hubungan Lao-
tzu dengan negara bagian selatan Ch’u ini tidak bisa dipandang semata-mata sebagai hubungan
kebetulan, karena ada semangat Ch’u yang mengalir di sepanjang buku tersebut. yang saya maksud
dengan “semangat Ch’u” adalah apa yang secara tepat bisa disebut sebagai kecenderungan pola-pikir
shamanic atau modus pemikiran shamanic. Ch’u adalah negara besar yang terletak di pinggiran bagian
selatan Kerajaan Tengah yang berperadaban, suatu negeri penuh sungai, hutan, dan pegunungan,
berlimpah dengan kekayaan alam namun miskin dalam aspek kebudayaan, dihuni banyak orang yang
berasal-usul non-Cina dengan adat-istiadat yang beragam dan aneh. Di sana terdapat berbagai jenis
kepercayaan takhayul pada wujud-wujud adikodrati dan ruh-ruh liar, sehingga prakteik-praktik
shamanic tumbuh mekar.
(Shaman, adalh dukun atau pendeta yang diyakini memiliki kesaktian untuk menembuhkan penyakit
atau mengusir ruh jahat).
Tetapi, tampaknya atmosfer primitif dan “tak beradab” ini bisa menjadi lahan subur pertumbuhan suatu
kekuatan visioner luarbiasa dari imajinasi puitis sebagaimana diperlihatkan elegi-elegi yang ditulis
penyair shaman terbesar yang pernah dihasilkan negara Ch’u. Ch;u Yyuan. Atmosfer yang sama bisa
juga menghasilkan corak pemikiran metafisis yang khas. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
pengalaman shamanic terhadap realitas bersifat sedemikian rupa sehingga ia bisa disuling dan
dielaborasi menjadi suatu pengalaman metafisis tingkat tinggi. Lagi pula, kedalaman metafisika
pemikiran Lao-tzu, saya percaya, bisa dipaparkan sampai kadar yang jauh dengan mengaitkan pada
metalitas shamanic bangsa Cina kuno yang ada sejak masa sejarah paling tua bahkan sebelum itu,d
an yang telah tumbuh subur terutama di bagian selatan Cina dalam sejarah panjang kebudayaan Cina.
Sehubungan dengan ini, saya kira Henri Maspero pada dasarnya benar ketika dia berkeberatan
dengan pandangan tradisional bahwa Taoisme mendadak mulai pada awal abad ke-4 SM sebagai
suatu metafisika mistis oleh Lao-tzu. Taoisme banyak dikembangkan secara filosofis oleh Chuang-tzu
menjelang akhir abad tersebut dan divulgarkan secara besar-besaran oleh Lieh-tzu, setelah itu,
Taoisme mengalami penyimpangan dan degenari sampai Dinasri Han Terakhir yang beralih bentuk
menjadi suatu campuran dari takhayul, animisme, guna-guna, dan sihir. Terhadap pandangan ini,
Maspero megnambil sikap bahwa Taoisme adalah agama “personal” --- sebagai lawan tipe agama
negara agrikultural komunal yang tidak berhubungan dengan penyelamatan personal – yang ada sejak
zaman dahulu kala. Dia percaya bahwa mazhab Lao-tzu dan Chuang-tzu merupakan cabang khusus
atau bagiant ertentu dalam gerakan keagamaan yang luas ini, suatu cabang khas yang dicirikan
dengan kecenderungan filosofis-mistis yang nyata.
Obeservasi-observasi ini tampaknya mengarahkan kita kembali sekali lagi pada problem
kepengarangan Tao Te Ching dan historisitas Lao-tzu. Apakah dapat dibayangkan bahwa penyulingan
metafisika dari mistisme mentah itu bisa dicapai sebagai hasil dari proses perkembangan ilmiah, tanpa
partisipasi aktif seorang pemikir tertentu yang dianugerahi kejeniusan filosofis? Saa kira tidak demikian.
Shamanisme primitif di masa Cina kuno niscaya akan tetap menyisakan kementahan aslinya sebagai
fenomena agama populer yang dicirikan dengan kegilaan ekstatis dan kerasukan yang “heboh”, jika
bukan karena dalam perjalanan sejarahnyya terdapat penjabaran hebat oleh beberapa orang yang
memiliki kecerdasan luarbiasa. Jadi, untuk menghasilkan Elegies of Cg’u, visi shamanik atas alam
harus melalui benak seorang Ch’u Yuan. Demikian pula, visi dunia shamanik yang sama hanya dapat
ditingkatkan menjadi metafisika mendalam tentang Jalan oleh seorang jenius filosofis tertentu.
Ketika membaca Tao Te Ching – dengan mengingat pada pengamatan di atas – kita tidak bisa lain
kecuali merasakan, istilahnya, napas orang hebat yang menyebar pada keseluruhan volume, ruh
seorang filosof kawakan yang berdetak di sepanjang buku tersebut. dengan semua tambahan pada
interpolasi yang mungkin diimbuhkan belakangan, yang dengan mudah sayya akui, saya tidak bisa
menyetujui pandangan yang menyatakan bahwa Tao Te Ching merupakan karya kompilasi yang terdiri
atas fragmen-fragmen pemikiran ang dinukil dari aneka ragam sumber heterogen. Karena, terdapat
kesatuan fundamental tertentu yang mencolok kita di mana-mana dalam buku itu.d an kesatuan itu
bersifat personal. Faktanya, Tao Te Ching secara keseluruhan adalah karya unik yang diwarnai secara
jelas oleh kepribadian seorang manusia luarbiasa, seorang filosof-shaman. Bukankah dia memberikan
semacam potret diri kepada kita di bagian XX buku tersebut.
Kebanyakan orang bahagia dan ceria seolah-olah mereka diundang pada perjamuan mewah, atau
seolah-olah mereka menaiki menara tinggi untuk menikmati pemandangan musim semi.
Aku sendiri terus diam dan sunyi, tidak menunjukkan aktivitas. Aku laksana bayi yang baru dilahirkan,
belum belajar untuk tersenyum. Aku terlihat sedih dan tanpa tujuan, seakan-akan aku tak punya tempat
kembali.
Semua orang mempunyai lebih dari cukup, aku sendiri tampak hampa dan kosong.
Sebenarnya yang kumiliki adalah pikiran seorang pendiri! Betapa bodoh dan bingung! Orang-orang
kasar semuanya pintar dan cerdas, sementara aku sendiri gelap dan bodoh. Semua orang kasar gesit
dan waspada, sementara aku lamban dan ceroboh.
Aku laksana samudra jeluk yang terus-menerus berombak, laksana angin yang tak pernah berhenti
berhembus.
Yang lainnya memiliki pekerjaan untuk dilakukan, sedangkan aku sendiri masih tidak berguna dan
rendahan. Hanya aku yang berbeda dari semua yang lain, karena aku mengharagai suapan makan
Sang Ibu.
Demikian pula halnya di pasase lain (LXVII), dia berkata tentang dirinya.
Setiap orang di kolong langit berkata bahwa aku besar, tetapi tampak bodoh. Memang, aku tampak
bodoh karena besar. Sekiranya aku cerdas niscaya telah raib sejak dulu.
Dan kembali di LXX, kita membaca :
Ujaran-ujaranku sangat mudah dipahamidan sangat mudah untuk dilakukan. Namun, tak seorang pun
di kolong langit memahaminya; tak seorang pun mempraktikkannya.
Ujaran-ujaranku keluar dari sumber jernih, dan tindakan-tindakanku lahir dari prinsip tinggi. Namun,
orang-orang tidak memahaminya. Karena itu mereka tidak memahamiku.
Mereka yang memahamiku amatlah jarang. Hal itu merupakan bukti bahwa aku sangat berharga.
Sungguh, orang bijak bestari mengenakan busana pakaian kasar, tetapi di dalamnya terdapat mutiara.
Pasase yang baru saja dikutip memberikan gambaran ihwal pikiran yang orisinil, citra seorang manusia
yang tampak murung, bodoh, dan tidak berdaya, berdiri jauh dari orang-orang “cerdas” yang
menghabiskan waktu mereka dalam kesenangan hidup remeh-remeh. Dia mengambil sikap tersebut
karena dia menyadari dirinya sendiri berbeda total dariapda orang-orang biasa. Pertanyaan penting
yang harus kita ajukan adalah ini : kapan perbedaan ini muncul? Tao Te Ching itu sendiri dan juga
Chuang-tzu agaknya memberikan jawaban tegas atas persoalan ini. Manusia merasa dirinya berbeda
dibanding dengan yang lain karena hanya dia yang mengetahui makna hakiki eksistensi. Hal ini dia
ketahui karena pandangan metafisikanya yang didasarkan pada hal yang disebut Chuang-tzu sebagai
tso wang “duduk dalam perikelupaan” (sitting in oblivion), yakni pengalaman ekstatis menyatu dengan
Sang Mutlak. Jalan, manusia pemilik ujaran-ujaran yang telah kita kutip di atas adalah seorang filosof-
mistis, atau seorang shaman visioner yang berubah menjadi filosof.
Kiranya sangat signifikan bagi tujuan spesifik kita untuk mencatat bahwa spirit shamnisme yang
dikembangkan secara filosofis telah menyelubungi keseluruhan Tao Te Ching. Istilahnya, ia merupakan
“pusat” personal yang sekiranya keseluruhan gagasan pokok buku itu terkoordinasi, baik itu pemikiran
menyangkut struktur metafisi alam semesta, hakikat manusia, seni mengatur orang, maupun panduan
praktis kehidupan. Kesatuan organis semacam itu tidak dapat dijabarkan kecuali berdasarkan asumsi
bahwa buku tersebut – jauh dari kemungkinan sebagai rangkaian potongan pemikiran yang secara
acak dipungut dari sana-sini --- pada intinya adalah karya seorang pengarang.
Dalam menelaah buku seperti Tao Te Ching, yang paling penting adalah memahami kesatuan personal
yang mendasarinya sebagai keseluruhan, dan menunjukkannya sebagai pusat koordinasi semua
gagasan pokonya. Karena, jika tidak demikian, kita tidak akan berada pada posisi untuk menembus
struktur subtil dari simbolisme Tao Te Ching dan menguraikannya dengan tepat mengenai gagasan-
gagasan pokok metafisiknya.
Berpindah dari Lao-tzu ke Chuang-tzu, kita merasa diri kita sendiri berdiri di atas landasan yang jauh
lebih padat. Karena, kendatipun kita tidak tahu secara lebih baik ihwal kehidupan dan identitasnya yang
sejati, paling tidak kita paham bahwa kita sedang berurusan dengan tokoh sejarah, yang benar-benar
ada di sekitar pertengahan abad keempat SM. Dia hidup semasa dengan Mencius, penyair-shaman
agung Ch’u Yuan dan Ch’u, dan ahli dialektika yang berbakat Hui Shih atau Hui-tzu yang bersamanya
dia sendiri adalah pasangan tepat dalam menguasai seni memanipulasi konsep-konsep logis.
Menurut laporan yang diberikan Ssu Ma Ch’ien dalam Book of History yang disebutkan di atas,
Chuang-tzu atau Chuang Chou adalah warga Meng. Dia pernah menduduki jabatan di Ch’i-Yuan.
Meng; mempunyai pendidikan luarbiasa, namun doktrinnya pada dasarnya berpijak pada ajaran-ajaran
Lao-tzu; dan tulisannya, yang terhitung lebih dari 100.000 kata, sebagian besar bersifat simbolis atau
alegoris.
Adalah pentin bahwa Meng, ang disebutkan oleh Ssu Ma Ch’ien sebagai tempat lahir Chuang-tzu,
sekarang ini berada di kawasan Ho Nan dan merupakan tempat di negeri kuno Sung. Saya
menganggap hal ini penting lantaran Sung adalah negeri tempat para keturunan bangsa in kuno
dibolehkan untuk tinggal setelah ditaklukkan oleh bangsa Chou. Di sana, keturunan bangsa yang
pernah terkenal ini -- dicemooh oleh para penakluk sebagai “bangsa yang ditaklukkan” dan senantiasa
diancam dan diserang tetangga-tetagga mereka – berhasil memelihara dan menjaga pelbagai
keyakinan agama dan legenda ihwal leluhur bangsa mereka. Arti penting fakta ini sehubungan dengan
tesis kajian sekarang akan segera di sadari apabila orang mengingat ruh animistik-shamanik
kebudayaan Yin sebagaimana tercermin dalam upacara-upacara kurban dan ritus-ritus peramalan
(divination) serta mitos-mitos yang terkait dengan dinasti ini. Secara tradisional bangsa Yin adalah
bangsa yang terkenal karena pemujaan mereka pada arwah dan penyembahan pada “Tuhan-di atas”.
Sejak dahulu perbedaan antara Yin dan Chou dikenal dengan diktum semacam ini : “Yin memuja
arwah, sementar Chou memberikan nilai tertinggi pada budaya manusia.”
Terlepas dari observasi hubungan historis antara Dianasti Yin dan bangsa Sung ini, dalam History of
Chinese Philosophy, Fung Yu Lang menunjukkan – menurut saya cukup tepat – bahwa bentuk
pemikiran Chuang-tzu dekat dengan pola pemikiran bangsa Ch’u, “Kita harus ingat”, tulisannya, “Fakta
bahwa negara Sung berbatasan dengan Ch’u membuatnya sangat mungkin bahwa Chuang-tzu di satu
sisi dipengaruhi Ch’u, dan saat sama dipengaruhi gagasan-gagasan para dialektikawan. (Patut diingat,
Hui Shih adalah warga Sung). Jadi, dengan menggunakan dialektika yang belakangan, Chuang-tzu
mampu menata pikiran-pikirannya yang melejit, dan merumuskan sistem filsafat yang terpadu.”
Di antara “ruh Ch’u”, kita telah membincangkannya pada bagian sebelumnya menyangkut struktur
dasar pemikiran Lao-tzu. Fung Yu Lang membanding the Elegies of Ch’u (Ch’u Tzu) dengan Chuang-
tzu dan melihat ada kemiripan yang menakjubkan antara keduanya dalam penyajian “kekayaan
imajinasi dan kebebasan ruh”. Tetapi, dia alpa untuk melacak kemiripan ini hingga ke sumber
shamaniknya, sehingga “Kekayaan imajinasi dan kebebsan ruh” tetap tak terjelaskan. Bagaimanapun
kenyaaannya, kita akan menghindar lebih jauh soal rincian-riuncian masalah-masalah ini sampai di
sini, mengingat banyak hal lain yang akan disampaikan dalam bab berikutnya.
Problem hubungan antara Lao-tzu dan Chuang-tzu telah dikuaps secara luas oleh pafa filolog.
Sebagaimana yang telah kita amati, doktrin utama Chuang-tzu secara tradisional dipandang sebagai
doktrin yang didasarkan pada ajaran-ajaran Lao-tzu. Tentang pandangan ini, sudah abrng tentu Lao-
tzu adalah leluhur Chuang-tzu dalam filsafat Taois; baris-baris utama pemikiran telah diletakkan oleh
yang pertama,d an yag belakangan tinggal mengambil pikiran-pikiran tersebut dan
mengembangkannya dengan caranya sendiri ke dalam sistem alegoris berskala besar mengikuti
kemampuan filosofis dan kesustraannya. Pandangan ini tampaknya merupakan kesimpulan lumrah
yang ditarik dari pengamatan atas dua fakta berikut : (1) eksistensi hubungan batin yang tak
terbantahkan antara keduanya dalam struktur pandangan-dunia dan cara berpikir mistis mereka; (2)
Chuang-tzu sendiri acap menyebut Lao-tzu sebagai salah satu pemikir Taois terdahulu. Dan ungkapan-
ungkapan yang mereka gunakan di beberapa tempat hampir bernada sama .
Meski demikian masalahnya tidak sesederhana seperti yang terlihat begitu saja. dalam kenyataannya,
sejumlah pertanyaan serius telah muncul di zaman modern tentang masalah ini. Sebagai titik awal, Tao
Te Ching sendiri tidak pernah dirujuk dalam Chuang Tzu, kendati Lao-tzu, sebagai tokoh legendaris
muncul di beberapa halamannya,d an gagasan-gagasannya disebutkan. Namun, fakta terakhir ini tidak
membuktikan apa-apa secara konklusif. Karena, kita mengetahui bahwa banyak tokoh yang diciptakan
untuk memainkan peran-peran penting dalam Chuang-tzu adalah fiktif. Kesamaan bahasa secara
mudah mungkin dijelaskan sebagai hasil dari interpolasi yang timbul belakangan dalam Tao Te Ching
itu sendiri ataupun hasil dari keberadaan sumber-sumber serupa.
Yang Jung Kuno, yang telah kita rujuk di atas, bisa disebut sebagai repretasi sarjana modern yang
tidak hanya meragukan kedudukan Lao-tzu sebagai pendahulu Chuang-Tzu, namun melangkah lebih
jauh dan secara utuh membalikann urutan kronologis tersebut. dalams ebuah bab menarik apda
bukunya yang disebutkan di atas, History of Thought ini Ancient China, secara tegas dia berpandangan
bahwa Chuang-tzu bukanlah murid Lao-tzu; sebaliknya, yang terakhir (Lao-tzu) – atau lebih tepatnya,
Tao Te Ching – tiada lain daripada kelanjutan dan pengembangan lebih jauh dari Chuang-tzu.d an cara
dia mempertahankan pandangannya adalah murni filologis; dia mencoba membuktikan pandanganna
melalui pengujian sejumlah konsep kunci umum dalam Lao-tzu dan Chuang-tzu. Dia menyimpulkan
bahwa Tao Te Ching mempradugakan keberadaan Chuang-tzu lebih awal. Umpamanya, konsep kunci
Taoisme terpenting, Tao (Ayun/Wag) sebagai prinsip kosmis perkembangan alamiah, atau Alam,
dalam Chuang-tzu struktur dakhilnya belum sepenuhnya dikembangkan. Konsep itu telah ada, katanya,
namun masih merupakan benih belaka. Tao Te Ching mengambil alih konsep ini pada poin jitu ini dan
menjabarkannya dalam suatu prinsip mutlak. Sumber yang tak dapat diketahui secara mutlak, yang
bersifat azali (pre-eternal) dan yang darinya segala sesuatu beremanasi. Yang Jung Kuo mengira
bahwa kaitan historis antara keduanya ini – Chuang-tzu sebagai titik pangkal dan Lao-tzu sebagai
puncaknya – dapat diamati sepanjang keseluruhan struktur filsafat Taois.
Argumen ini, betapapun sangat menariknya, tidaklah konklusif. Karena, konsep-konsep kunci yang
dibahas memungkinkan munculnya penjelasan yang sama-sama bsia dijustifikasi dalam kerangka
perkembangan yang mengalir dari Lao-tzu ke Chuang-tzu. Menyangkut metafisika Tao, misalnya, kita
harus ingat bahwa Lao-tzu hanya memberikan hasil sustu sistem monistik mapan atas pencitraan
arketipal yang pusatnya terdiri dari Sang Mutlak yang mutlak, tao, yang berkembang tahap demi tahap
dengan aktivitas kreatif “alamiah”-nya sendiri sampai ke alam kemajemukan. Ontologi ini,s ebagaimana
yang telah saya tunjukkan sebelumnya, hanya dapat dimengerti berdasarkan asumsi yang berpijak di
atas landasan-landasan pengalaman ekstatik atau mistik ihwal Eksistensi. Lao-tzu bagaimana pun
tidak, tidak mengungkapkan aspek eksperiensial dari pandangan-dunianya ini kecuali melalui beberapa
isyarat dan sugesti simbolis serta samar. Inilah alasan mengapa Tao Te Ching cenderung memberi
kesan sebagai elaborasi filosofis dari sesuatu yang mendahuluinya. Bahwa “sesuatu yang
mendahuluinya”, bagaimanapun, tentu saja bisa bukan sesuatu yang diambil dari yang lain.
Dari sisi lain, Chuang-tzu benar-benar tertarik pada aspek ekspirensial mistisme Taois yang tidak
tersentuh oleh Lou-tzu. Dia terutama tidak berurusan dengan upaya membangun metafisika beskala
kosmis yang merentang dari Yang Tak Dapat Diketahui secara mutlak sampai ke alam konkret yang
sarat warna dan bentuk. Perhatian utamanya tertuju pada jenis “pengalaman” yang tidak biasa itu
sendiri, “pengalaman” yang dengannya seseorang menembus misteri Eksistensi. Dia berusaha
melukiskannya secara rinci, kadang-kadang secara alegoris, kadang-kadang secara teoritis, proses
psikologi atau spiritual yang melaluinya siapa pun bisa semakin “tercerahkan” dan terus menghampiri
struktur sejati realitas yang tersembunyi di balik tirai pengalaman indrawi (sensible experience).
Dibandingkan dengan Lou-tzu, sikapnya ini lebih bermuatan epistemologis ketimbang metafisik.
Perbedaan ini memisahkan dua pemikir itu secara sangat mendasar, kendati pun mereka memiliki
perhatian sama pada pengaruh-pengaruh praktis dari pengalaman supaindrawi terhadap Jalan.
Perbedaan yang sama mungkin juga dapat diformulasikan dalam konteks gerakan ke atas dan gerakan
ke bawah. Lou-tzu mencoba memaparkan secara metafisik bagaimana Sang Mutlak yang mutlak
berkembang secara alami menjadi Yang Tunggal, dan bagimana Yang Tunggal berkembang menjadi
Dua, dan Dua menjadi Tiga, dan Tiga menjadi “sepuluh ribu benda”. Sejatinya, hal ini merupakan
paparan tentang gerakan menurun ontologis – atau emnasional – kendatipun dia menitikberatkan juga
pada arti penting konsep Kembali, yaitu proses kembalinya segala sesuatu ke asa-muasal mereka.
Chuang-tzu tertarik untuk mendedahkan secara epistemologis gerakan pikiran manusia menaik dari
alam kemajemukan dan keragaman menuju medan ontologis tempat segala perbedaan membaur ke
dalam Yang Tunggal.
Berkat penekanan tertentu pada aspek epistemologis pengalaman tao ini, Chuang-tzu terkena
kesulitan mengembangkan konsep tao itu sendiri sebagai suatu sistem filosofis. Inilah mengapa
metafisikanya tentang tao tampil tidak sempurna atau berkembang secara tidak sempurna. Meski
demikian, ini tidak serta merta berarti bahwa dia menggambarkan tahapan kronologis lebih awal
ketimbang Lou-tzu. Karena, sebagaimana yang telah kita lihat, perbedaan bisa jadi semata-mata
perbedaan titik tekan.
Kini saya akan menutu bab ini dengan memberikan uraian ringkas ihwal buku yang dikenal dengan
nama Chuang-tzu itu sendiri.
Bibliografi penting yang terkandung dalam the chronicel of the Han Dynasty menyatakan bahwa
Chuang-tzu terdiri atas 52 bab. Namun, teks dasar buku yang ada di tangan kita hanya berjumlah 33
bab. Ini akibat dari kerja penyuntingan yang dilakukan oleh Kuo Hsiang. Faktanya semua suntingan
belakangan atas buku Chuang-tzu pada akhirnya kembali ke resensi Kuo Hsiang ini. Pemikir
terkemuka aliran Taois ini secara kritis memeriska teks tradisional tersebut, menyisakan sejumlah
pasase atau bagian yang dian anggap palsu dan tidak bermanfaat,d an membagi yang tersisa setelah
pengujian ini menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama disebut Interior Chapters (nei p’ien)
yang terdiri atas tujuh bab. Kelompok kedua disebut Exterior Chapters (wai p’ien) dan terdiri atas lima
belas bab. Dan terakhir disebut Miscellaneous Chapters (tza p’ien) yang memuat sebelas bab.
Dengan mengesampingkan masalah kemungkinan penambahan interpolasi, kita bisa katakan secara
umum bahwa Interior Chapters menggambarkan pemikiran dan gagasan Chuang-tzu dan sepertinya
berasa dari penanya sendiri. Adapun dua kelompok lainnya, sekarang para sarjana sepakat bahwa
semuanya itu adalah pengembangan,interpretasi dan penjabaran paling akhir yang dilampirkan ke teks
utama oleh para pengikut Chuang-tzu. Entah Interior Chapters itu berasal dari pena Chuang-tzu sendiri
ataukah tdiak, jelaslah bahwa mereka menggambarkan lapisan paling tua dari buku itu. Secara filosofis
dan litetrer ia juga merupakan bagian paling esensial. Sementara Exterior dan Miscellaneous Chapters
hanya menunjukkan arti penting sekunder.
Dalam kajian sekarang, saya secara khusus berpegang pada Interior Chapters. Hal ini akan saya
lakukan karena alasan yang barusan disebutkan dan juga karena keinginan untuk memberikan
konsistensi pada deskripsi analitis saya terhadap pemikiran Chuang-tzu.

2. DARI MITOPOIESIS (MYTHOPOIESIS) MENUJU METAFISIKA

Pada bab sebelumnya saya telah mengindikasikan tentang kemungkinan adanya hubungan yang
sangat kukuh antara filsafat Taois dan Shamanisme. Saya mengemukakan bahwa pemikiran atau
pandanga-dunia Lou-tzu dan Cuang-tzu mungkin sangat tepat dikaji terkait dengan latarbelakang
tradisi semangat shamanisme pada era Cina kuno. Bab ini akan diarahkan untuk lembih membahas
secara rinci tentang persoalan ini, maksudnya latarbelakang shamanisme berkaitan dengan filsafat
Taois sebagaimana dilukiskan melalui Tao Te Ching dan Chuang-tzu.
Faktanya, sepanjang sejarah pemikiran Cina telah berlangsung apa yang mungkin layak dinamakan
“modus pemikiran shamanik”. Kami melihat bahwa modus pemikiran spesifik ini memanisfestasikan diri
dalam berbagai bentuk dan pada ragam tingkatan sesuai dengan kondisi waktu dan tempat khususnya,
kadang-kadang dalam bentuk populer dan fantastis, sering nyaris menyentuh batas takhayul dan cabul,
namun kadang-kadang dalam bentuk tertata secara intelektual dan terelaborasi secara logis. Kami juga
mengamati bahwa modus pemikiran ini sangat berbeda denga modus pemikiran realistis dan
rasionalistis sebagaimana terlukiskan melalui pandangan-dunia Konfusius dan para pengikutnya yang
sangat berpegang pada etika.
Singkat kata, saya menganggap pandangan dunia Taois Lou-tzu dan Chuang-tzu sebagai elaborasi
atau kulminasi filosofis dari modus pemikiran shamanik ini; dengan kata lain, sebagai bentuk khusus
filsafat yang timbul dari pengalaman eksistensial personal yang khas pada orang-orang yang
dianugerahi kemampuan melihat hal-hal yang berbeda pada medan kesadaran supraindrawi melalui
perjumpaan ekstatis dengan Sang Mutlak dan melalui citra-citra paling mendasar (erchetypal image)
yang timbul darinya.
Para filosof Taois yang menghasilkan karya-karya seperti Tao Te Ching dan Chuang-tzu di satu sisi
adalah “kalangan saman”, sejauh berkenaan dengan landasan eksperiensial pandangan-dunia mereka.
Namun, di sisi lain, mereka adalah pemikir-pemikir intelektual yang, tidak puas untuk tetap berada pada
tingkatan primitif shamanisme populer, menggunakan intelek mereka untuk meningkatkan dan
mengeelaborasi visi awal mereka ke dalam sebuah sistem konsep-konsep metafisisk yang dirancang
untuk menjelaskan struktur wujud.
Lou-tzu berbicara tentang sheng-jen atau “manusia sci”. Ia merupakan salahs atu konsep utama
pandangan-dunia filosfisnya, dan dengan demikian memainkan peran sangat penting dalam
pemikirannya. “Manusia suci” adalah seorang manusia yang telah mencapai posisi tertinggi dari intuisi
Jalan, hingga dia benarbenar menyatu dengannya, dan tentu saja berperilaku di dunia ini dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk Jalan yang dia rasakan berlaku di dalam dirinya. Singkat kata dia
merupakan perwujudan manusiawi dari Jalan itu. Dalam pemaknaan yang persis sama, Chuang-tzu
berbicara tentang Chen-jen atau “manusia sejati” chih-jen atau “manusia puncak” shen-jen atau
“manusia Ilahi” (atau super manusia). Manusia yang diacu dengan berbagai kata ini dalam realitasnya
tiada lain dariapda shaman filosofis, atau shaman yang intuisi visionernya tentang dunia telah
diperhalus dan dijabarkan ke dalam visi filosofis tentang wujud.
Bahwa konsep dasar itu secara historis memiliki hubungan sangat dekat dengan shamanisme
ditunjukkan melalui makna etimologis kata sheng di sini diterjemahkan dengan “suci”. Shuo Wen Chieh
Tzu, sebuah kamus etimologi tertua (dikompilasi pada 100 Masehi), dalam penjelasannya tentang
struktur etimologis kata ini menyatakan : “Sheng menunjukkan manusia yang daun teliganya memiliki
daya tangkap luar biasa”. Dengan kata lain, istilah itu menunjukkan manusia yang dianugerahi
pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara makhluk adialami, dewa atau ruh ,dan
langsung memahami kemauan atau maksud makhluk tersebut. dalam peristiwa sejarah yang
berlangsung pada Dinasti Yin, makhluk seperti itu ialah pendeta yang secara teguh menekuni
peramalan.
Sehubungan dengan ini, menarik untuk menyebutkan bahwa dalam Tao Te Ching, “manusia suci”
(Wali) dikategorikan sebagai penguasa tertinggi sebuah pemerintahan atau “raja”. Dan bahwa
persamaan (Wali = Raja), ini dipahami sebagai persoalan yang dapat diterima pemahaman umum,
sesuatu yang dianggap pasti kebenarannya. Kita perlu sekali mencamkan bahwa pada masa Dinasti
Yin, shamanisme berhubungan erat dengan politik. Pada dinasti itu, para pejabat tinggi pemerintahan
yang menggenggam dan menggunakan kekuasaan mereka yang besar dalam mengelola
pemerintahan pada mulanya adalah shaman. Sedangkan pada periode-periode awal dinasti itu,
Shaman Agung adalah pendeta-pejabat tinggi (the high priest-vizier), atau bahkan raja itu sendiri.
Hal ini tampaknya mengindikasikan bahwa di balik “manusia suci” (wali) sebagai cita-cita Taois
tentang Manusia Sempurna tersembunyi gambaran seorang shaman. Dan di bawah permukaan
pandangan-dunia metafisik Taoisme terlihat dengan jelas kosmologis shamanik yang kembali ke era
paling kuno dalam sejarah Cina.
Untuk tujuan-tujuan langsung kajian ini, kita tidak harus memasuki pembahasan teoritis secara rinci
tentang gagasan shamanisme. Cukup kiranya untuk sementara ini kita mendefinisikannya dengan
menyatakan bahwa ia merupakan fenomena ketika seorang peramal yang terilhami berada dalam
keadaan ekstase bersua dengan maujud-maujud supranatural, baik berbentuk dewa ataupun ruh.
Seseorang yang berkemampuan alami sejenis ini dalam sebuah masyarakat primitif cenderung
bertugas sebagai penengah antara anggota-anggota suku dan alam gaib.
Sebagai salah satu ciri paling menonjol mentalitas shamanik, pertama-tama kita akan menilik
fenomena pembentukan mitos (mythophoiesis) di dalamnya. Secara definisi, shaman adalah orang
yang dalam visinya paling mendasar danekstatis memersepsi perbagai hal yang benar-benar berbeda
dengan apa yang dilihat oleh manusia normal pada umumnya melalui pengalaman-pengalaman
indrawi. Ciri pengalaman shaman tentang realitas yang paling menakjubkan adalah munculnya segala
sesuatu dalam kesadaran “imajinal”-nya dalam bentuk-bentuk simbolik dan sarat mitos (mythical). Alam
yang dilihat oleh shamandalam kondisi trans (trance) adalah alam “imajinasi kreatif”, sebagaimana
Henry Corbin secara tepat menamakannya, terlepas kasarnya penamaan itu. Pada tingkat kesadaran
ini, segala sesuatu yang kita persepsi di sekeliling kita melepaskan modus eksistensi alamiah dan
wajarnya serta beralih benuk menjadi citra (image) dan simbol. Segenap citra itu, ketika
disistematisasikan dan disusun sesuai dengan pola-pola perkembangan yang inheren di dalamnya,
cenderung untuk menghasilkan sebuah kosmologi sarat mitos.
Tradisi shamanik pada masa Cina Kuno telah menghasilkan kosmologi seperti itu. Dalam Elegies of
Ch’u yang disinggung pada bab sebelumnya, kita dapat menelusuri selangkah demi selangkah dan
dalam bentuk paling konkret tentang proses aktual yang melaluinya pengalaman shamanik tentang
realitas menghasilkan kosmologi yang aneh dan “imajinal”. Dalam komparasi lebih jauh Elegies of Ch’u
dengan buku seperti Huai Nan Tzu, kita dapat melihat hubungan sangat dekat antara kosmologi
shamanik dengan metafisika Taois. Di sana orang melihat betapa pandangan-dunia penuh mitos yang
dihadirkan kosmologi shamanik berkembang dan beralih bentuk menjadi ontologi Jalan.
Fakta lain yang tampaknya menegaskan adanya hubungan sangat dekat, secara esensial dan historis,
antara metafisika Taois dan visi shamanik tentang dunia ditemukan dalam sejarah Taoisme setelah
periode Negeri-Negeri yang Berperang. Faktanyya, perkembangan Toisme, setelah berhasil emncapai
puncak filosfisnya di tangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, terus menunjukkan kurva “degenerasi” –
sebagaimana lazimnya disebut – bahkan di bawah pengaruh kuat Tao Te Ching dan Chuang-tzu dan
kembali ke bentuk metipoiesisnya semula, dengan demikian menampakkan landasan shamaniknya,
hingga pada masa Dinasti Han Akhir mencapai tahap manakala Taoisme hampir-hampir sinonim
dengan takhayul, sihir, dan teluh. Struktur lahiriah metafisika Taois itu sendiri hampir tidak
menampakkan jejak yang jelas dalam hal latar belakang shamaniknya. Namun, deskripsi filosofis Lou-
tzu tentang tao, msialnya, terdapat sesuatu yang benar-benar tidak terbantahkan yang
mengindikasikan hubungan asal-usulnya dengan shamanisme.
Lou-tzu melukiskan sebagaimana akan kita lihat secara rinci pada bagian selanjutnya. Jalan (tao)
sebagai Sesuatu yang suram dan kelam, sebelum adanya Langit dan Bumi, tidak dapat dikenali dan
diketahui, tidak dapat dipahami dan abstrak sampai pada tingkatan hanya cocok diperikan sebagai
Non-Wujud, tetapi penuh dengan pelbagai bentuk, citra dan sesuatu, yang tersembunyi di tengah
ketidak-jelasan primordialnya. Dengan demikian, Jalan metafisik memiliki bandingan yang menarik
dalam imajinasi mitos populer yang dipresentasikan oleh Shan Hai Ching, yang menampakkan bentuk
fantastis.
Tiga rastus lima puluh mil ke sebelah Barat terdapat sebuah gunung yang dinamakan dengan Gunung
Langit. Gunung ini menghasilkan banyak emas dan permata, juga sulfur biru. Sedangkan sungai ying
bermuara di sana, dan mengalir ke arah barat daya hingga mengaliri Lembah Air Mendidih. Di gunung
ini hidup Burung Ilahi yang tubuhnya seperti sebuah kantong kuning, merah seperti api yang membara,
memiliki enam kaki dan empat sayap. Burung ini anehnya tidak berbentuk, tidak berwajah, tidak
memiliki mata, namun sangat pandai bernyanyi dan menari. Pada hakikatnya, Burung ini tidak lain
kecuali Dewa Chiang.
Pada pasase yang dikutip di sini, ada dua hal yang menarik perhatian. Salah satunya adalah fakta
bahwa burung monster itu dilukiskan sebagai burung yang pandai bernyanyi dan menari. Hubungan
poin ini dengan masalah khusus yang sedang kita bahas akan segera dapat dipahami jika orang
mengingat bahwa “bernyanyi dan menari”, yaitu tarian ritual, selalu menyertai fenomena shamanisme.
Menari pada masa Cina kuno merupakan sarana yang kuat untuk mencari kehendak ilahi,
menimbulkan kondisi kebahagiaan luar biasa terhadap manusia,d an “memanggil” ruh-ruh alam gaib.
Kamus yang telah disebutkan di atas, Shuo Wen, mendefinisikan kata wu (shaman) sebagai “seorang
perempuan yang secara alamiah cocok untuk melayani makhluk-makhluk tanpa bentuk (maksudnya,
maujud-maujud gaib) dan yang, dengan menggunakan tarian, mampu memanggil ruh”. Menariknya,
kamus yang sama menjelaskan ciri serupa dalam melukiskan kata wu dengan menyatakan bahwa kata
itu menggambarkan seroang perempuan yang menari dengan mengenakan dua lengan baju panjang
menggantung di kanan dan kiri. Pada tahap perkembangannya lebih awal, ia menggambarkan figus
shaman yang sedang memegang batu giok dengan kedua tangannya di hadapan ruh atau dewa.
Adalah juga signifikan bahwa monster itu konon merupakan seekor burung, yang sangat mungkin
merupakan sebuah indikasi bahwa tarian shaman yang dibicarakan di sini merupakan sejenis tarian
bulu pada saat seorang shaman secara ritual dihiasi pakaian berbulu.
Hal kedua yang perlu diperhatikan pasa pasase Shan Hai Ching di atas – dan hal ini memiliki relevansi
jauh lebih besar dengan kajian kita dibanding dengan yang pertama – adalah ungkapan khusus yang
digunakan dalam diskripsi tentang roman wajah monster, hun tun, yang untuk sementara telah saya
terjemahkan sebaga “secara aneh tidak berbentuk”. Ia bermakna keadaan kacaunya, segala sesuatu,
keadaan tidak berbentuk ketika tiada yang bisa terlukiskan dengan jelas, tiada yang bisa dibedakan
dengan jelas, namun jauh dari semata-mata nonwujud; sebaliknya, ia merupakan “kehadiran” yang
sangat buram di mana eksistensi sesuatu – atau beberapa hal, tetap tidak terbedakan – secara samar
dan kabur bisa terindrakan.
Hubungan antara kata itu sebagaimana digunakan pada pasase ini dengan kiasan Chuang-tzu tentang
Kaisar Ilahi Hun Tun telah lama menjadi perhatian para filologd ari Dninasti Ch’ing. Pengulas karya
Shan Hai Ching, Pi Yuan, umpamanya, secara eksplisit menghubungkan deskripsi monster ini dengan
wajah yang tidak berciri milik Kaisar Hun Tun.
Kiasan yang diberikan Chuang-tzu berbunyi sebagai berikut :
Kaisar Laut Selatan disebut sebagai Shu, Kaisar Laut Utara disebut sebagai Hu, sedangkan Kaisar
yang menguasai wilayah pusat disebut sebagai Hun Tun. Sekali waktu, Shu dan Hu bertemu di wilayah
Hun Tun, yang memperlakukan mereka berdua dengan sangat baik, oleh karena itu, Shu dan Hu
melakukan perundingan bersama tentang bagaimana cara keduanya dapat membalas kebaikan Hun
Tun.
Mereka berkata, “Semua manusia memiliki tujuh lubang untuk melihat, mendengar, makan, dan
bernapas. Tetapi yang satu ini (yaitu Hun Tun) sendiri tidak memiliki satu pun lubang. Marilah kita
sedikit melubanginya.”
Mereka melubanginya dengan satu lubang setiap hari, hingga pada hari ketujuh Hun Tun mati.
Ksiah ini melukiskan secara simbolik tentang dampak destruktif jenis filsafat esensialis pada Realitas.
Hal ini merupakan cemooh tanpa belas kasihan terhadap jenis filsafat itu atas nama bentuk khas
filsafat eksistensialis yang sebagaimana nanti kita akan pahami, ingin sekali ditegakkan oleh Chuang-
tzu. Shu dan Hu, yang melambangkan kesementaraan eksistensi manusia, bertemu di wilayah pusat
kekuasan Hun Tun; mereka diperlakukan dengan sangat baik dan dalam waktu singkat mereka merasa
bahagia – sebagaimana nama-nama mereka sendiri mengindikasikan tentang hal itu8. Peristiwa ini
tampak melamabangkan intelektualitas manusia memasuki wilayah dunia supraindrawi “ketiadaan
perbedaan”, Yang Absolut, dan menemukan did alamnya kebahagiaan luar biasa yang singkat –
kebahagiaan luarbiasa berupa intuisi mistik tentang Wujud, yang dengan sangat disayangkan,
berlangsung dalam tempo singkat. Terpicu oleh pengalaman ini, intelektualitas manusia, atau Nalar,
berusaha untuk menggerek sejumlah lubang dalam Sang Mutlak. Jelasnya, ia berusaha untuk memberi
perbedaan dan mengaktualisasikan seluruh bentuk yang masih tersembunyi pada ketiadaan
perbedaan asalnya. Hasil “penggerekan” ini tidak lain dariapda filsafat Nama-nama (ming)
sebagaimana direpresentasikan Konfusius dan mazhabnya, sebuah filsafat esensialis, tempat segala
hal ditandai dengan jelas, dilukiskan, dan benar-benar dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan
tingkatan ontologis segenap esensi. Namun demikian,begitu lubang-lubang telah digerek pada wajah
Hun Tun, dia mati. Hal ini bermakna bahwa Sang Mutlak bisa dicerap Nalar melalui pembedaan-
pembedaan “esensial, yang dibuat pada realitas San Mutlak, dan dengan demikian menjadi sesuatu
yang dapat dipahami, tetapi begitu Dia dapat dipahami oleh Nalar, Sang Mutlak pun mati.
Belum waktunya kita mempelajari secara rinci pandangan eksistensialis Chuang-tzu. Saya sekedar
ingin menunjukkan melalui contoh ini betapa erat imajinasi mitopoiesis shamanik sesungguhnya
berhubungan dengan kelahiran filsafat Taois. Dan sebaliknya, pada waktu yang sama, filsafat Taois
dalam kandungan filosofisnya jauh terpisah dengan shamanisme.
Jrak antara shamanisme dan filsafat ini mungkin dapat didekatkan secukupnya jika kita menempatkan
di antara kedua kerangka hubungan tersebut suatu kisah asal-usul alam semesta (cosmogonical story)
– sebuah produk mentalitas mitopoiesis serupa – yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Langit
dan Bumi menjelma. Hal ini bukan benar-benar “kisah”; melainkan “teori” yang memiliki satu tujuan. Ia
merupakan hasil upaya serius untuk melukiskan dan menjelaskan secara teoritis asal-usul alam Wujud
dan proses segala sesuatu di alam memperoleh bentuk-bentuknya yang kita kenal sekarang. Dalam
pengerian ini, kosmogi merupakan kerangka-tengah (middle term) – yang secara struktural, jika bukan
secara historis – menjebatani antara mitos shamanisme yang sederhana dan metafisika Jalan (tao)
yang sangat berkembang.
Di sini kami mengutip terjemahan kosmogoni sebagaimana yang tertuang dalam Huai nan Tzu di atas.
Langit dan Bumi belum memiliki bentuk. Keduanya masih berupa cairan tidak berbentuk; tiada yang
stabil, tiada yang tentu. Keadaan ini dinamakan Permulaan Agung. Permulaan Agung melahirkan
kehampaan yang bersih jernih. Kehampaan yang bersih jernih itu melahirkan kosmos. Kosmos
melahirkan energi vital (yang meliputi segalanya). Energi vital itu memiliki keistimewaan-keitimewaan
dalam dirinya. Apa yang jernih dan ringan melayang-layang pada lapisan-lapisan tipis membentuk
langit, sedangkan apa yang berat dan keruh membeku dan menjadi bumi. Penyatuan unsur-unsur yang
jernih dan baik tentu saja mudah, sedangkan pembekuan unsur-unsur berat dan keruh adalah sulit.
Karena itu, langit lebih awal terbentuk, kemudian Bumi berwujud.
Langit dan Bumi bersama-sama menghimpun unsur-unsur halus dari energi vitalnya untuk membentuk
prinsip Negatif (Yin) dan Positif (yang), sedangkan Negatif dan Positif bersama-sama menghimpun
unsur-unsur lebih halus dari energi vitalnya guna membentuk empat musim. Empat musim
mencecerkan energi vitalnya untuk menghasilkan sepuluh ribu benda. Energi panas prinsip Positif yang
telah terakumulasi melahirkan api, dan esensi energi api menjadi matahari. Energi dingin khas prinsip
Negatif yang telah terakumulasi akan menjadi air, sedangkan esensi energi air menjadi bulan.
Limpahan matahari dan bulan, yang telah mengalami proses penjernihan, berubah menjadi bintang-
bintang dan planet-planet. Langit menerima matahari, bulan, pelbagai bintang, dan planet. Bumi
menerima air, kubangan, debu dan tanah.
Pada pasase yang dikutip ini kita temukan lagi bahwa Sesuatu yang tidak terbedakan, tidak memiliki
ciri khusus, dan Ketidakteraturan primordial (peimordial Chaos), kali ini sebagai sebuah prinsip
kosmogonik atau Permulaan Agung, melukiskan keadaan segala sesuatu sebelum penciptaan alam
raya. Permulaan Agung tentu saja berbeda dengan monster mitik dari Shan hai Ching dan prinsip
metafisik dari Tao Te Ching. Namun, pada waktu sama, ternyata ketiga prinsip ini merupakan
“fenomena” (penampakan) berbeda dari sesuatu yang sama.
Demikian pula pada pasase berbeda dalam buku yang sama, kita menemukan :
Pada dahulu kala, ketika Langit dan Bumi masih noneksistensi, belum ada sosok-sosok dan bentuk-
bentuk tertentu. Dahsyat, buram, dan kelam secara misterius; tidak ada yang dapat dibedakan, tidak
ada yang dapat diukur; jauh tidak terkira, sanagat luas dan hampa; tidak ada orang yang sanggup
melihat gerbangnya.
Kemudian lahir secara bersamaan dua dewa, dan mereka mulai menguasai Langit dan memerintah
Bumi. (Langit) sedemikian dalam, dan tidak seorang pun tahu di mana batasnya. (Bumi) sedemikian
luas, dan tidak ada orang yang tahu di mana ujungnya.
Setelah itu (Wujud) membagi dirinya sendiri menjadi Negatif dan Positif, yang selanjutnya terpisah
menjadi delapan arah utama.
Yang keras dan yang lembut saling melengkapi satu sama lain, dan sebagai akibatnya sepuluh ribu
benda memperoleh bentuk pasti. Unsur-unsur kotor dan rambang dari energi vital menghasilkan
hewan-hewan (termasuk berbagai binatang buas, burung, reptil dan ikan). Energi vital yang lebih halus
menghasilkan manusia. Inilah alasan mengapa (aspek) ruhani selayaknya milik Langit, sedangkan
jasmaniah milik Bumi.
Secara historis, teori kosmogoni ini dan yang serupa dengannya tampak sangat dipengaruhi Taoisme
dan metafisikanya. Namun, secara struktural, teori-teori itu menjalin garis penghubung antara mitos
dan filsafat, yang memang berkenaan dengan keduanya, sekalipun berbeda dalam semangat dan
strukturnya. Kosmogoni dalam pengertian ini membuka mata kita akan latarbelakang metopoeik
(mythopoeic) dari metafisika Jalan sebagaimana dirumuskan Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Dalam gaya sama, kita dapat menjelaskan aspek subyektif – maksudnya, epistemologis – hubungan
antara shamanisme dan filsafat Taois dengan cara membanding artikel Elegies of Cg’u yang
disebutkan di atas dengan buku-buku karya Lou-tzu dan Chuang-tzu. Kemudian memperoleh hasil
menarik dari studi banding antara Ch’u Yuan, sang penyair shaman yang agung pada pemerintahan
Ch’u, dengan para filosof Taoisme telah lama dicatat oleh Henry Maspero, walau pun kematian telah
mencegahnya untuk sepenuhna mengembangkan gagasan itu.
Dalam Li Sao dan Yuan Yu, penyair shaman tersebut memerikan secara rinci proses keadaan visioner
yang melaluinya jiwa yang berada dalam kondisiekstatis, dibantu dan ditolong beragai dewa dan ruh,
naik menuju kota surgawi tempat “maujud-maujud abadi” hidup. Hal ini sesungguhnya tiada lain
merupakan deskripsi tentang unio mystica shamanis. Dan kenaikan shamanis itu sejajar dengan
kenaikan visioner dari struktur yang sama dalam Chuang-tzu. Satu-satunya perbedaan mendasar
antara keduanya ialah bahwa pada khasus terakhir pengalaman perjalanan spiritual itu telah disuling
dan dielaborasi ke dalam bentuk kontemplasi metafisik. Persis sebagaimana sang penyair-shaman
dalam kebingungan ekstansinya akan egonya mengalami sejenis keabadian dan kekekalan demikian
pula filosof Taois mengalami keabadian dan “kehidupan panjang” di tengah Jalan abadi, melalui
penyatuan dengannya. Adalah menarik untuk diperhatikan dalam kaitan ini bahwa sang penyair
mengatakan pada tahap akhir npengalaman spiritualnya bahwa dian “melampaui Non-Tindakan (Wu
Wei, Non Doing), mencapai Kemurnian primordial dan berdampingan dengan Permulaan Agung.
Dalam terminologi Taois, kita akan mengatakan bahwa sang penyair itu, pada tahap ini, telah
"berdampingan dengan Jalan”, yakni “benar-benar menyatu dengan Jalan.”
Dalam Li Sao, sang penyair tidak naik menuju ketinggian seperti itu. Berdasarkan asumsi bahwa Li Sao
dan Yuan Yu sama-sama merupakan karya autentik Ch’u Yuan. Maspero menyatakan bahwa Li Sao
melukiskan tahapan yang lebih dini dalam perkembangan spiritual sang penyair, karena sebagai
shaman dia belum mencapai tahap akhir,s edangkan Yuan Yu melukiskan tahapan selanjutnya pada
saat sang penyair telh mencapai ujung mistisisme.
Tentu saja interpretasi itu tidak dapat dipertahankan jika kita mengetahui dengan pasti bahwa Yuan Yu
merupakan karya yang disusun penyair mutakhir dan secara rahasia diatributkan kepada Ch’u Yuan.
Bagaimana pun juga, syair itu sendiri dalam bentuk aktualnya jelas-jelas bersifat Taois, dan sebagian
gagasannya tidak dapat disangkal diambil dari Lou-tzu dan Chuang-tzu. Namun demikian, sekali lagi,
persoalan autentitas sama sekali bukan persoalan sangat penting bagi kita. Karena, meskipun kita
mengakui bahwa seluru syair itu – atau sebagiannya – merupakan pemalsuan yang dilakukan Dinasti
Han, namun fakta bahwa metafisika taois dapat sebegitu alamiah ditransformasikan – atau
dikembalikan – ke dalam visi-dunia shamanis itu sendiri merupakan bukti tentang kecocokan yang ada
antara shamanisme dengan Taoisme.
Sebuah perbandingan analitis yang rinci antara artikel Elegies of Ch’u dan karya-karya Lou-tzu dan
Chuang-tzu niscaya melahirkan karya yang sangat bermanfaat dan menguntungkan. Namun, untuk itu,
kita akan jauh menyimpang dari topik utama kajian ini. Di samping itu, kita akan segera menguraikan
secara rinci pada bab-bab pertama buku ini tentang versi filosofis dalam hal perjalanan spiritual yang
baru saja disinggung. Dan ini harus cukup untuk tujuan-tujuan kita sekarang ini.
Kini, marilah kita meninggalkan persoalan asal-usul shamanis dalam Taoisme, dan beralih ke aspek-
aspek yang murni berkenaan dengan filsafat Taoisme. Perhatian utama kita selanjutnya akan secara
khusus ditujukan pada struktur aktual metafisika Taois dan konsep-konsep utamanya.

3. MIMPI DAN KENYATAAN

Pada bab sebelumnya kita berbicara tentang mitos Kekacauan (Chaos_, ketiadaan perbedaan
primordial yang mendahului permulaan kosmos. Dalam bentuk shamanis aslinya, sosok kekacauan
sebagai monster tidak berbentuk terlihat ganjil, primitif, dan aneh sekali. Namun, secara simbolik, ia
sangat penting, karena gagasan filosofis yang disimbolkannya langsung menyentuh inti realitas Wujud
(Being).
Dalam pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, realitas Wujud adalah Kekacauan. Di sanalah tergeletak
intisari ontologi mereka. Namun, proposisi ini tidak bermakna bahwa kekacauan dan ketidakteraturan
dunia yang kita tempati merupakan sebuah fakta empiris. Karena, dunia empiris, sebagaimana setiap
hari kita amati, adalah jauh dari keadaan tidak berciri dan “tidak berbentuk” sebagaimana wajah
monster-burung Shan Hai Ching.s ebaliknya, ia merupakan dunia tempat kita melihat banyak benda
yang benar-benar dapat dibedakan satu dengan lainnya, masing-masing memiliki “nama” khas, dan
masing-masing pasti dapat digambarkan dan ditentukan. Segala benda yang berada di dalamnya
memiliki tempat sendiri; segalanya secara rapi tersusun dalam hirarki. Kita hidup dalam dunia seperti
itu, dan kita benar-benar merasakan dunian kita seperti itu. Menurut apra filosof Taois, hal itu justru
merupakan penyakit dari Nalar kita. Dan sulit bagi benak awam untuk tidak melihat pembedaan-
pembedaan di dunia tersebut. singkat kata, dunia tersebut tidaklah kacau.
Akan menjadi tugas pertama Chuang-tzu untuk memecahkan ruang-ruang Wujud yang tampaknya
kedap-air ini, agar kita bisa melihat sekilas pada kedalaman tak terukur dari Kekacauan (Chaos)
sediakala itu. Bagaimanapun juga, tugas ini sama sekali tidaklah mudah. Chuang-tzu sesungguhnya
mencoba melakukan berbagai pendekatan. Mungkin yang paling mudah dari semuanyya untuk kita
pahami adalah ypayanya berkenaan dengan “pengacauan” (chaotification) – jika kita boleh
menciptakan kata itu – “mimpi” dan “realitas”. Melalui bahasa deskriptif dan naratif yang kelihatannya
sangat mudah, dia berusaha untuk segera menarik kita menuju tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan
“realitas” tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya, berpadu dalam sesuatu yang “tak berbentuk”.
Berikut adalah bagian sangat terkenal dalam Chaung-tzu, ketika sang bijak berusaha menyajikan
sebagai sebuah pandangan seklias tentang “pengacauan” berbagai hal :
Suatu ketika, aku, Chuang=tzu, bermimpi bahwa kau menjadi seekor kupu-kupu. Terbang ke mana-
mana dan semau hati, maka aku sesungguhnya seekor kupu-kupu. Bahagia dan senang, aku tidak
sadar bahwa aku adalah Chou.
Namun, tiba-tiba aku terbangun,d an ternyata, aku adalah Chou.
Apakah Chou bermimpi bahwa dia adalah seekor kupu-kupu? Ataukah kupu-kupu bermimpi menjadi
Chou? Bagaimana aku mengetahuinya? Bagaimanapun, tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan
antara Chou dan seekor kupu-kupu. Situasi ini adalah apa yang aku namakan “Transmutasi dari
berbagai hal”.
Perdua terakhir kutipan ini menyinggung tema utama Chuang-tzu. Pada jenis situasi yang dilukiskan di
sini, dirinya dan kupu-kupu tidakd apat lagi dibedakan, lantaran masing-masing telah kehilangan
identitas esensial dirinya. Meskipun begitu, dia berkata, “tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan
antara Chou dan seekor kupu-kupu”. Pernyataan terakhir ini menunjukkan situasi tentang berbagai hal
dalam dunia fenomenal yang lazim manusia sebut sebagai “realitas”. Pada tingkatan eksistensi ini,
“manusia” tidak dapat menjadi “kupu-kupu”, dan “kupu-kupu” tidak dapat menjadi “manusia”. Dengan
demikian, dua hal yang tentu saja berbeda dan dapat dibedakan satu dengan lainnya ini telah
kehilangan ciri khasnya pada tingkatan tertentu dari kesadaran manusia, dan menuju keadaan tidak
terbedakan (undifferentiation) – Kekacauan.
Situasi ontologis ini oleh Chuang-tzu disebut sebagai Transmutasi berbagai hal, wu hua. Wu hua
merupakan salah satu istilah pokok yang sangat penting dalam filsafat Chuang-tzu. Istilah itu akan
dibahas secara rinci. Berikut ini saya akan menerjemahkan pasase lain yang menjelaskan konsep
serupa melalui citra-citra yang mirip.
Seseorang meminum anggur dalam mimpinya, dan dia menangis dan meratap pada pagi harinya
(ketika dia terbangun). Seseorang menangis dalam mimpi (sedihnya), tetapi pada pagi harinya dia
dengan gembira pergi berburu. Ketika dia sedang bermimpi dia tidak sadar bahwa dia sedang
bermimpi; dia bahkan berusaha (dalam mimpinya) untuk menafsirkan mimpinya. Hanya setelah terjaga
dari tidur, dia menyadari bahwa itu sekedar mimpi. Demikian juga, halnya ketika seseorang mengalami
Keterjagaan Agung dia menyadari bahwa semua ini tidak lebih daripada sebuah Mimpi Besar. Namun,
manusia bodoh membayangkan bahwa semua itu sesungguhnya bukanlah mimpi. Tertipu oleh
kecerdasan mereka yang picik, mereka menganggap diri mereka cukup cerdas untuk membedakan
antara apa yang mulia dan apa yang hina. Betapa berurat berakar dan sulit diperbaiki kebodohan
mereka!
Realitas, aku dan engkau adalah sebuah mimpi. Bukan hanya itu, justru fakta bahwa aku
mengemukakan padamu bahwa engkau sedang bermimpi itu sendiri merupakan sebuah mimpi!
Jenis pernyataan ini besar kemungkinan bakal digolongkan sebagai sesat pikrian yang ganjil. (Namun,
dia tampak sangat tepat sebab ia mengungkapkan Kebenaran),d an seorang arif besar yang mampu
menembus rahasia itu sulit daharapkan muncul di dunia dalam sepuluh rivu tahun.
Gagasan yang sama berulang apda pasase berikut :
Anggaplah engkau bermimpi bahwa engkau adalah burung. (dalam kondisi itu) engkau terbang tinggi
menuju langit. Anggaplah engkau bermimpi bahwa engkau adalah seekor ikan. Engkau menceburkan
diri dalam kolam. (Sewaktu engkau sedang mengalami semua ini dalam mimpi, apa yang engkau alami
adalah “realitasmu”) Dilihat dari sisi ini, tidak ada orang yang dapat yakin apakah kita – engkau dan
aku, yang sesungguhnya terlibat dalam percakapan melalui cara ini – sedang terjaga ataukah sekadar
bermimpi!.
Pandangan demikian mereduksi perbedaan antara Aku dan engkau menjadi sekedar sebuah
penampakan atau penampilan, atau paling tidak menjadikan perbedaan iotu sangat meragukan dan
tidak berdasar.
Masing-masing dari kita yakin bahwa “ini” adalah Aku (dan konsekuensinya “selain ini” adalah Engkau
atau Dia). Namun demikian, saat direfleksikan, bagaimana aku dapat meyakini bahwa “Aku” ini yang
aku anggap sebagai “Aku” benar-benar kepunyaan “Aku”?
Maka itu, sekalipun “diri” saya sendiri yang saya anggap sebagai inti eksistensi yang paling kukuh dan
dapat diandalkan – dan entitas satu-satunya yang sangat pasti ketika saya meragukan eksistensi
segala sesuatu lainnya, dalam pemahaman filsafat Cartesian – tiba-tiba saja mengalami transformasi
menjadi sesuatu yang mirip mimpi dan tak nyata.
Dengan begitu, melalui “sesat pikir ganjil” tampaknya Chuang-tzu mereduksi segala sesuatu menjadi
sebuah Mimpi Besar. Negasi kasar atas “realitas” ini tidak lebih daripada langkah awal menuju
filsafatnya, karena filsafatnya memiliki sisi positif. Namun, sebelum menyingkapkan sisi positifnya –
yang “kecerdasan picik” kita tidak pernah dapat berharap memahaminya – dia memberikan pukulan
telak pada “kecerdasan” dan Nalar ini dengan mendepaknya dari landasan pijakannya.
Dunia adalah sebuah mimpi; apa yang biasanya kita anggap sebagai “realitas” yang kukuh, adalah
sebuah mimpi. Lebih dari itu, manusia yang memberitahukan orang-orang lain bahwa segala sesuatu
adalah mimpi dan orang-orang yang menyimak ajarannya, semuanya adalah bagian dari sebuah
mimpi.
Apa yang Chuang-tzu ingin kemukakan dengan semua ini? Dia ingin mengemukakan bahwa Realitas
dalam pengertian sesungguhnya dari kata itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dari apa yang
Nalar anggap sebagai “realitas”. Untuk memahami makna sejatinya, kesadaran normal yang kita miliki
pertama-tama harus kehilangan identitas dirinya. Bersama-sama dengan “ego”, segala objek persepsi
dan pemikirannya juga harus kehilangan semua identitas-dirinya dan bergerak menuju suatu
kebingungan yang kita namakan di atas dengan “Kekacauan primordial” (primordial Chaos). Hal yang
disebutkan terakhir ibi adalah tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan “realitas” kehilangan perbedaan
esensial di antara keduanya, sehingga signifikansi dari pelbagai perbedaan itu sendiri telah hilang.
Pada sisi subyektifnya, ia merupakan tingkat kesadaran yang di dalamnyan tidak ada lagi “diri sendiri”,
dan suatu benda dapat menjadi benda lain. Ia merupakan sebuah tatanan Wujud yang sama sekali
baru, tempat seluruh maujud terbebaskan dari belenggu determinasi semantiknya yang secara bebas
saling bertransformasi satu dengan lainnya. Inilah apa yang Chuang-tzu namakan sebagai Transmutasi
segala sesuatu.
Transmutasi segala sesuatu, sebagaimana dalam konsepsi Chuang-tzu, harus dipahami berkenaan
dengan dua dasar acuan. Pada satu sisi, ia menunjukkan situasi metafisik manakala segala sesuatu
ditemukan “bisa ditransformasikan” satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga pada puncaknya
semua menyatu bersama-sama menjadi Kesatuan mutlak. Dalam pemaknaan ini, ia melampaui
“waktu”; ia merupakan tatanan berbagai hal yang supratemporal. Dalam pandangan orang yang telah
mengalami Keterjagaan Agung, segala sesuatu adalah Sat; segala sesuatu adalah realitas itu sendiri.
Namun, pada waktu sama, Realitas unik ini memperlihatkan padanya pandangan kaledoskopik (yang
terus menerus berubah dengan cepat) beragam dan berbagai hal yang “secara esensial” berbeda satu
dengan lainnya. Dan pada aspek ini, alam Wujud memiliki beraneka ragam dan berjumlah banyak. Dua
aspek itu harus didamaikan satu dengan lainnya dengan menganggap “hal-hal” ini sebagai selaksa
bentuk fenomenal dari Satu yang mutlak. “Kesatuan eksistensi”, dipahami dengan cara ini, merupakan
intik filsafat Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Di sisi lain, transmutasi yang sama dapat dipahami sebagai sebuah proses temporal. Dan ini
sesungguhnya juga dilakukan oleh Chuang-tzu. Suatu benda, a, terus bersembada sebagai a untuk
beberapa waktu; kemudian, setelah batas yang sesungguhnya telah ditetapkan untuknya tiba, maka ia
berhenti menjadi a dan mengalami transmutasi atau transformasi menjadi benda lain. B, Dari sudut
pandang supratemporalitas, a dan b secara metafisik adalah satu dan benda yang sama, perbedaan
antara keduanya hanyalah merupakan perosalan yang bersifat fenomenal (penampakan). Dalam
pemaknaan ini, bahkan sebelum a berhenti menjadi a – maksudnya,d ari permulaan --- a adalah b, dan
b adalah a. Karenanya, tidak ada persoalan a “menjadi” b, sebab a, justru dalam fakta, ia adalah a,
telah menjadi b.
Dari sudut pandang kedua, bagaimanapun, a adalah a dan bukan sesuatu yang lain. Dan, dalam
proses temporal, a ini “menjadi” sesuatu yang lain. B yang pertama “berubah” menjadi yang kedua.
Namun, di sini pula kita mencapai Kesatuan metafisik yang sama, yang istilahnya, secara berputar.
Mengingat a, dengan “menjadi” dan “berubah” sebagai b, mengembalikan dirinya kepada asal usul dan
sumbernya sendiri. Keseluruhan proses ini merupakan lingkaran ontologis, sebab, melalui proses yang
sama menjadi b, maka a semata-mata “menjadi” dirinya sendiri – sekalipun dalam bentuk yang
berbeda.
Saat diterapkan pada konsep “hidup” dan “mati”, gagasan seperti itu, tentu saja melahirkan Filsafat
Kehidupan khas, yang pada dasarnya merupakan pandangan optimistik tentang eksistensi manusia.
Disebut “optimistik” lantaran ia benar-benar meniadakan perbedaan antara Kehidupan dan Kematian.d
ari sudut pandang ini, apa yang dinamakan masalah Kematian berubah menjadi lebih daripada sebuah
masalah semu.
Walaupun ia menjadi sebuah masalah semu dalam sudut pandang roang-orang yang telah melihat
Kebenaran, tetapi Chuang-Chu sering mengangkat tema ini dan mengembangkan pemikiran di
sekitarnya. Sesungguhnya, tema ini merupakan salah satu topik yang sangat disenangi. Karena
sesungguhnya hal ini adalah sebuah masalah, atau pokok masalah. Kematian, khususnya, kebetulan
merupakan masalah yang sangat menggelisahkan pikiran awan. Seseorang yang telah berhasil
mengatasi angoise(kegelisahan dan kekhawatiran) eksistensial dalam berhadapan terus-menerus dan
setiap saat dengan kengerian kemusnahan dirinya sendiri merupakan tanda bahwa dia berada pada
tahap “manusia sejati” Selain itu, karena hal itu kebetulan merupakan sebuah masalah yang demikian
vital, maka solusinya adalah mengingatkan arti penting konsep Transmutasi. Jika tidak, segala sesuatu
yang lain persisinya berada dalam situasi ontologis antara Hidup dan Mati.
Kini kita kembali ke maslah reduksi Chuang-tzu terhadap segala sesuatu menjadi modus eksistensi
mirip mimpi. Tidak ada di alam Wujud yang dapat benar-benar menopang kehidupannya sendiri. Dalam
terminologi skolastik kita mungkin melukiskan situasi ini dengan mengatakan bahwa tidak ada yang
memiliki – kecuali dalam penampakan dan penampilan – “kuiditas” atau “esensi” yang tidak berubah.
Dan dalam kondisi segala sesuatu yang berubah-ubah ini, kita tidak lagi yakin akan identitas-diri apa
pun juga. Kita tidak pernah mengetahui apakah a sesungguhnya adalah a itu sendiri.
Ketidak-pastian mirip mimpi yang esensial ihwal ketiadaan determinasi ini sesungguhnya mengandung
kebenaran tentang Hidup dan Mati. Struktur konseptual pernyataan ini akan mudah terlihat jika
seseorang menggantikan istilah-istilah Hidup dan Mati dengan a dan b, dan berusaha untuk
melukiskan ulang seluruh situasi menyangkut pola a-b yang telah disinggung di atas.
Berbicara tentang “manusia sejati” dari negeri Lu, Chuang-tzu berkata :
Dia tidak mau tahu mengapa dia hidup. Dia juga tidak mau tahu mengapa dia mati. Dia bahkan tidak
tahu yang mana datang eprtama kali dan yang mana datang belakangan. (Maksudnya, Kehidupan dan
Kematian yang ada dalam benaknya tidaklah dibedakan satu dengan lainnya, sebab perbedaan antara
keduanya adalah tidak signifikan) Dengan mengikuti rangkaian alamiah Transmutasi dia telah menjadi
sesuatu yang pasi; kini dia benar-benar menunggu Transmutasi selanjutnya.
Di samping itu, ketika seseorang mengalami Transmutasi, bagaimana dia dapat yakin bahwa dia
(sesungguhnya) sedang tidak bertransmutasi? Dan ketika dia tidak mengalami Transmutasi,
bagaimana dia dapat yakin bahwa dia (sesungguhnya) sudah tidak bertranspmutasi?
Dalam pasase yang sama berkenaan dengan masalah Kematian dan sikap yang pantas dari “manusia
sejati” terhadapnya, Chuang-tzu membiarkan Konfusius membuat pernyataan berikut. Sudah barang
tentu, Konfusius di sini adalah seorang tokoh rekaan yang tidak harus menyangkut tokoh sejarah
tertentu, tetapi pasti ada seikit sentuhan ironi pada fakta Konfusius terpaksa membuat pernyataan
demikian.
Mereka (Maksudnya, “manusia sejati”) adalah orang-orang yang dengan bebas berkelana di luar batas-
batas (maksudnya, norma-norma umum dari perilaku yang layak), sedangkan orang-orang seperti
diriku adalah orang-orang yang berkelana dengan bebas hanya dalam batas-batas. “Di luar batas-
batas” dan “dalam batas-batas” merupakan kutub-kutub yang terpisah satu dengan lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang, dalam keadaan benar-benar menyatu dengan Maha Pencipta Itu
Sendiri, merasa bahagia berada dalam ranah Kesatuan asli dari energi bital sebelum terbagi menjadi
Langit dan Bumi.
Dalam benak mereka, Kehidupan (atau Kelahiran) hanyalah pertumbuhan yang tidak normal, sebuah
kutil, sedangkan Kematian ibarat pecahnya sebuah bisaul, pecahnya sebuah tumor. Jika demikian
halna, bagaimana kita mengharapkan mereka untuk memerhatikan persoalan tentang mana yang lebih
baik dan lebih buruk – Kehidupan atau Kematian? Mereka sekedar meminjam unsur-unsur yang
berbeda,d an memasangnya dalam bentuk biasa dari suatu tubuh. Karenanya mereka sadar tidak
memiliki liver dan tidak memiliki empedu, dan mereka mengesampingkan telinga dan mata mereka.
Dengan memasrahkan diri mereka kepada gelombang-gelombang dahsyat yang senantiasa berulang.
Akhir dan Awalnya, mereka terus berputar dalam sebuah putaran, namun mereka tidak mengetahui
manakah titik awal dan titik akhir.
Bagi Chuang-tzu, Kematian bukanlah apa-apa selain merupakan salah satu dari beragam bentuk
fenomena tiada akhir dalam hubungan dengan sebuah Realitas yang abadi. Bagi pandagan kita,
Realitas metafisik ini mengaktualisasikan dirinya danmengembangkan dirina dalam proses yang
mengikuti waktu. Namun, bahkan ketika dikonsepsikan dalam bentuk temporal seperti itu, proses
tersebut hanya melukiskan sebuah lingkaran berputar tiada henti, karena tidak ada orang yang
mengetahui tentang awal dan akhir yang sesungguhnya. Kematian tidak lain merupakan sebuah
tahapan dalam lingkaran ini. Ketika itu terjadi, satu bentuk fenomena khusus terhapus dari lingkaran
tersebut dan lenyap hanya untuk muncul kembali sebagai suatu bentuk fenomena yang benar-benar
berbeda. Alam senantiasan membuat dan mengubah buatan. Tetapi, lingkaran itu sendiri, maksudnya
Realitas itu sendiri, senantiasa tidak berubah dan tidak goyah. Menyatu dengan Realitas, benak
“manusia sejati” tidak pernah menjadi goyah.
Sorang “manusia sejati” lanjut Cuang-tzu, melihat tubuhnya sendiri secara mengerikan mengalami
deformasi pada hari-hari terakhir kehidupannya. Dia berjalan pincang menuju sebuah sumur,
memandang dirinya yang terpantul di dalam air dan berkata, “Aduh! Maha Pencipta telah menjadikan
aku sebagai jelek cacat!” Setelah itu, temannya bertanya kepadanya, “Apakah engkau membenci
kondisimu?” Berikut adalah jawaban “manusia sejati” terhadap pertanyaan ini :
Tidak! Mengapa aku harus membencinya? Mungkin saja proses Transmutasi akan mengubah tangan
kiriku menjadi seekor ayam jago. Maka, aku hanya akan menggunakannya untuk berkokok
memberitahukan datangnya pagi. Mungkin saja proses itu berlanjut dan dapat mengubah tangan
kananku menjadi busur panah. Maka aku hanya akan menggunakannya guna menembak burung untuk
dipanggang. Mungkin saja proses tersebut akan mengubah bokongku menjadi roda dan mengubah
ruhku menjadi seekor kuda. Maka aku hanya cukup menempel pada dokar. Aku bahkan tidak perlu
kuda lain untuk dokar itu.
Apapun yang kita peroleh (maksudnya, dilahirkan kedunia ini dalam suatu bentuk khusus) adalah
berhubungan dengan datangnya waktu. Apapun kehilangan kita (maksudnya, kematian) adalah juga
berhubungan dengan tibanya giliran. Kita harus merasa puas dengan “waktu” dan menerima “giliran”.
Maka kesedihan dan kebahagiaan tidak akan pernah mengenyangi. Sikap demikiian biasanya
dinamakan para leluhur sebagai “mengendurkan ikatan”. Jika manusia tidak dapat mengendurkan
dirinya dari suatu ikatan, berarti itu karena “banyak hal” telah mengikatnya dengan ketat.
Manusia sejati lainnya pada saat-saat akhir kehidupan menerima kunjungan seorang sahabtnya yang
juga merupakan “manusia sejati”. Percakapan antar mereka sebagaimana dikisahkan oleh Cuang-tzu
adalah menarik. Pengunjung itu melihat ratap tangis istri dan anak-anak yang mengelilingi sahabtnya
menjelang akhir kehidupannya, maka dia berkata kepada mereka, “Hus! MEnjauhlah! Jangan kalian
mengganggunya, karena dia sedang melewati proses Transmutasi!”
Kemudian dia berpaling kepada sahabatnya yang sedang sekarat sambal berkata :
Betapa agung Maha Pencipta! Apa ayang akan dia lakukan terhadapmu kini? Kemana dia akan
membawamu? Apakah dia akan menjadikanmu sebagai liver seekor tikus? Ataukah dia akan
menjadikanmu lengan dari seekor serangga?
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, sahabatnya yang sedang sekarat menjawab :
(tidak masalah bagaimanapun Maha Pencipta menjadikanku, aku menerima kondisi dan mengikuti
perintahnya) Tidakkah engkau mengerti? Dalam hubungan di antara seorang anak dan orangtuanya, si
anak akan pergi ke mana pun mereka menyuruhnya untuk pergi, timur, barat, selatan, utara. Namun,
hubungan antara Yin-Yang (maksudnya, Hukum yang mengatur proses kosmik menjadi) dan manusia
jauh lebih erat daripada hubungan antara anak dan orangtuanya. Kini mereka (Yin dan Yang) telah
membawaku menuju ambang kematian. Seandainya aku menolak untuk tunduk kepada mereka, maka
sungguh itu merupakan suatu perbuatan pembangkangan.
Bayangkan ada seorang pandai besi yang hebat, sedang membuat logam. Seandainya logam itu harus
bangkis melompat dan mulai berteriak, “Aku harus dibuat menjadi sebuah pedang seperti Mo Yeh,
tidak boleh lainnya!” Si pandai besi tentu saja akan menganggap logam itu sebgai sesuatu yang sangat
jahat. (Hal yang sama mungkin benar tentang) seorang manusia yang dengan alas an bahwa dia
kebetulan telah mengambil bentuk manusia, seandainya bersikukuh dengan mengatakan “Aku ingin
menjadi seorang manusia, hanya manusia! Tidak boleh lainnya!” Maha Pencipta tentu saja akan
menganggapnya sebagai makhluk yang sangat jahat.
Bayangkan dunia itu sebagai sebuah tungku perapian yang besar, dan Maha Pencipta sebagai pandai
besi luar biasa. Ke mana pun kita mungkin pergi, segala sesuatu akan menjadi baik. Dengan tenang
kita akan pergi tidur (maksudnya, mati), dan tiba-tiba kita akan mendapatkan diri kita terbangun (dalam
suatu bentuk eksistensi baru).
Konsep tentang Transmutasi segala sesuatu sebagaimana disusun oleh Chuang-tzu mungkin tampak
mirip denga doktrin tentang “transmigrasi”. Namun, kemiripan itu hanya bersifat lahiriah. Chuang-tzu
tidak mengatakan bahwa jiwa senantiasa melakukan transmigrasi dari satu tubuh ke tubuh lainnya.
Pokok pemikirannya tentang masalah ini adalah bahwa segala sesuatu merupakan sebentuk fenomena
dari Realitas tunggal yang unik yang senantiasa secara berturut-turut mengambil berbagai bentuk
manifestasi diir. Di samping itu, sebagaimana kita telah pahamisebelumnya, proses temporal ini sendiri
hanyalah sebuah fenomena. Tepatnya semua ini merupakan suatu yang secara abadi berlangsung
pada tingkatan temporal dari Wujud. Segala sesuatu adalah satu dalam keabadiannya, di lura Waktu
dan Ruang.

4. MELAMPAUI INI DAN ITU

Dari halaman-halaman terakhir bab sebelumnya kita telah memahami bagaimana Chuang-tzu
menghilangkan perbedaan atau pertentangan antara Kehidupan dan Kematian serta
mengembalikannya pada kondisi asli “ketiadaan perbedaannya”. Kita telah membahas cukup luas
persoalan itu sebab ia merupakan salah satu topik kesukaan Chuang-tzu, selain juga karena ia
membukakan mata kita tentang aspek penting dari filsafatnya.
Tepatnya, bagaimanapun, dan dari sudut pandang ontologis, Kehidupan dan Kematian seharusnya
tidak menempati tempat yang demikian istimewa. Karena semua yang dinamakan “lawan-lawan” dalam
filsafat Chuang-tzu, tidak sungguh-sungguh berlawanan satu dengan lainnya. Sesungguhnya, dalam
pandangannya, tidak ada sesuatu yang belawanan dengan sesuatu lainnya, karena tidak ada sesuatu
yang memiliki “esensi” yang benar-benar kukuh dalam pusat ontologisnya. Dalam pandangan seorang
manusia yang telah mengalami “pengacauan” (Chaotification) berbagai hal, segala sesuatu kehilangan
garis batasnya yang kukuh, tercabut dari landasan “esensial”-nya. Seluruh perbedaan ontologis antara
berbagai hal menjadi suram, kabur, dan akcau, jika bukan hancur sama sekali. Perbedaan-perbedaan
tersebut tentus aja masih ada, namun tidak lagi signifikan dan “esensial”. Dan “lawan-lawan” tidak lagi
menjadi “lawan-lawan” kecuali secara konseptual. “Cantik” dan “jelek”, “baik” dan “buruk”, “benar” dan
“salah” serta “saleh” dan “tidak saleh” – semua ini dan pasangan-pasangan konseptual lainnya yang
sangat berbeda, pada tingkatan Nalar, dan yang sesungguhnya memainkan peranan utama dalam
kehidupan manusia, ditemukan berada jauh dari kemutlakan.
Sikap Chuang-tzu terhadap “lawan-lawan” dan “perbedaan-perbedaan” yang umumnya diterima
sebagai “nilai-nilai” kultural, estetika, atau etika ini akan tampak tidak lebih dan tidak kurang dariapda
apa yang disebut dengan relativisme. Hal yang sama sebenarnya merupakan sikap Lou-tzu.
Sesungguhnya halm itu ialah pandangan tentang nilai-nilai yang relativis. Namun, sangat penting untuk
dicermati bahwa ia bukanlah sejenis relativisme biasa sebagaimana dipahami tentang tingkat
kehidupan social yang bersifat emnpiris ataun pragmatis. Ia adalah sejenis relativisme khas yang
didasarkan pada jenis intuisi mistik yang khas; intuisi mistik tentang Kesatuan dan Keragaman
eksistensi. Ia adalah filsafat tentang “ketiadaan perbedaan” yang merupakan produk alamiah dari
pengalaman metafisik tentang Realitas, suatu pengalaman ketika Realitas yang langsung disaksikan
saat ia mendedah dan mendiversifikasikan dirinya menjadi beribu-ribu hal dan kemudian kembali lagi
kepada Kesatuan aslinya.
Dasar metafisika relativisme Taois ini akan dibahas secara rinci pada bab berikutnya. Di sini kita akan
membatasi diri pada sisi “relativitas” filsafat ini, dan berusaha untuk mengejar Chuang-tzu dan Lou-tzu
sedekat mungkin sebagaimana mereka terus mengembangkan gagasan-gagasannya tentang aspek
khusus persoalan ini.
Sebagaimana baru saja saya jelaskan, sikap Chuang-tzu dan Lou-tzu terhadap apa yang dinamakan
nilai-nilai kultural secara lahiriah tidak akan tampak apa-apa selain daripada “relativisme” dalam istilah
yang lazimnya dipahami. Pertama-tama marilah kita menguji masalah ini dengan mengutip
beberapampasase yang cocok dari dua buku tersebut. Bahkan, dalma tahapan analisis pendahuluan
ini, kita dengan jelas akan melihat bahwa relativisme ini ditujukan untuk melawan pandangan
“esensialis” dari ajaran Konfusius. Pada kalimat terakhir pasase berikutn ini terdapat petunjuk eksplisit
menyangkut sudut pandang Konfusius.
Jika seorang manusia tidur di sebuah tempat lembab, maka dia akan menderita sakit punggung,d an
pada kahirnya dia akan mengalami separo kelumpuhan. Namun, apakah ini berlaku terhadap seekor
ikan yang hidup di dalam air? Jika (seorang manusia) hidup pada sebatang pohon, maka dia pasti akan
terus menggigil ketakutan. Namun, apakah ini berlaku untuk seekor monyet? Nah, yang mana dari
ketiga makhluk ini (maksudnya, manusia, ikan, dan monyet) yang menegtahui tempat (mutlak) tepat
untuk hidup?
Manusia makan daging sapi dan babi; kijang makan rumput, kelabang menganggap ular itu enak;
burung rajawali dan burung gagak menyukai tikus. Dari keempat makhluk ini manakah yang
mengetahui rasa (mutlak) enak?
Seekor monyet menemukan pasangannya pada monyet; seekor kijang berpasangan dengan seekor
kijang. Dan ikan-ikan air tawar hidup dengan ikan-ikan lainnya. Maka Ch’iang dan Li Chi dianggap
sebagai perempuan-perempuan cantic ideal oleh semua lelaki. Namun sebaliknya, jika ikan kebetulan
melihat kecantikan seperti mereka, maka mereka akan menyelam di kedalaman air; burung-burung
dapat terbang tinggi; dan kijang dapat berlarian ke semua arah. Dari keempat makhluk ini, manakah
yang mengetahui kecantikan (mutlak) ideal?
Pertimbangan-pertimbangan ini menuntunku untuk menyimpulkan bahwa batas-batas antara
“kebaikan” (jen) dan “kesalehan” (i), serta batas-batas antara “benar” dan “salah” juga sangat tidak
pasti dan kabur. Begitu luar-biasa kaburnya sehingga kita tidak pernah dapat mengetahui bagaimana
cara membedakannya (antara apa yang sangat benar dan apa yang sangat salah, dan sebagainya).
Jenis relativisme ini juga ditemukan dalam buku Lou-tzu. Konsep mendasar itu persis sama seperti
dalam buku Chuang-tzu; demikian pula alas an dia menjunjung tinggi pandangan seperti itu.
Sebagaimana akan kita pahami kelak, Lou-tzu juga memandang perbedaan-perbedaan, pertentangan-
pertentangan,d an kontradiksi-kontradiksi yang nyata tersebut dari sudut pandang Satu metafisik ketika
segala sesuatu kehilangan sisi-sisi pembedaan konseptualnya yang tajam serta menjadi padu dan
serasi.
Satu-satunya perbedaan antara Chuang-tzu dan Lou-tzu dalam hal ini adalah bahwa Lou-tzu
mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang sangat lugas, tepat, dan tegas. Sedangkan Chuang-tzu
senang mengembangkan pemikirannya dalam bentuk perumpamaan yang sangat banyak. Selain itu,
gagasan itu sendiri adalah sama bagi mereka berdua. Pada kutipan-kutipan pertamaberikut ini dari Tao
Te Ching, sebagai contoh, Lou-tzu secara implisit menolak esensialisme kultural dalam mazhab
Konfusius.
Buanglah pembelajaran, dan tidak aka ada lagi kecemasan-kecemasan. Berapa banyak sesungguhnya
perbedaan yang ada di antara “ya tuan” dan “hem”!? Adakah pula perbedaan antara “baik” dan
“buruk”? “Apappun yang orang-orang lain hormati, juga harus aku hormati”, (kata mereka).
Oh, betapa jauh aku dari orang-orang awam (yang menganut gagasan demikian). Karena (di atas
prinsip demikian) tidak akan ada batas bagi lusnya (perbedaan-perbedaan sepele).
Manusia cenderung membayangkan, kata Lou-tzu, bahwa segala sesuatu pada dasarnya dapat
dibedakan dengan lainnya, dan para pengikut Konfusius telah membangun sistem terperinci tentang
nilai-nilai moral yang tepatnya berupa gagasan bahwa segala sesuatu ditandai (dapat dibedakan)
dengan yang lain melalui “esensinya” sendiri. Mereka tampaknya yakin bahwa “perbedaan-perbedaan”
ini semuanya bersifat permanen dan tidak dapat diubah. Namun, dalam kenyatannya. Mereka
sungguh-sungguh tertipu oleh aspek-aspek eksternal dan fenomenal Wujud. Seorang manusia yang
pandangannya tidak terselubung oleh jenis tipuan ini melihat dunia Wujud sebagai ruang yang sangat
luas dan tak terbatas karena berbagai hal saling bergabung satu dengan lainnya. Kondisi ontologis
segala sesuatu ini tidaklah ada selain daripada apa yang Chuang-tzu namakan dengan Chaos. Pada
tingkatan kultural, pandangan demikian tentu saja mengarah kepada relativisme. Lou-tzu melukiskan
relativisme melalui cara berikut :
Mengingat, faktanya semua orang di dunia mengenal “cantik” sebagai “cantik”, maka gagasan tentang
“jelek” pun muncul. Mengingat bahwa semua orang mengenal “baik” sebagai “baik”, maka gagasan
tentang “buruk” pun muncul. Begitulah persisnya “eksistensi” dan “noneksistensi” saling melahirkan
satu dan lainnya; “sulit” dan “mudah” saling melengkapi satu dan lainnya. “panjang” dan “pendek”
tampak saling bertentangan satu dengan lainnya; “tinggi” dan “rendah” saling condong satu dengan
lainnya; “nada” dan “suara” tetap selaras satu dengan lainnya; “sebelum” dan “setelah” saling mengikuti
satu dengan lainnya.
Singkatnya, segala sesuatu adalah relatif; tidak ada sesuatu yang mutlak. Kita hidup dalam suatu dunia
yang memiliki perbedaan-perbedaan relatif dan antitesis-antitesis relatif. Namun, maoritas manusia
tidak menyadari bahwa semua ini adalah relatif. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa sesuatu
yang mereka – atau kesepakatan sosial – anggap sebagai “cantik” adalah pada esensinya “cantik”
dengan demikian mereka menganggap semua hal yang tidak sesuai dengan norma tertentu sebagai
“jelek” pada esensinya. Dengan mengambil sikap seperti itu mereka sungguh-sungguh mengabaikan
fakta bahwa perbedaan antara kedua sifat itu semata-mata persoalan sudut pandang.
Sebagaimana saya nyatakan sebelum ini, pernyataan pelbagai lawan yang demikian itu tentu saja
merupakan “relativisme”, tetapi ia merupakan relativisme yang didasarkan pada, atau berasal dari,
intuisi sangat luarbiasa ihwal struktur ontologis alam. Intuisi sedianya adalah hal yang lazim bagi Lou-
tzu dan Cuang-tzu. Namun, di tangan Chuang-tzu intuisi itu mengarah pada pandangan “kacau balau”
akan berbagai hal, “ketiadaan perbedaan” esensial dari berbagai hal, yang dalam aspek dinamisnya
dipahami sebagai Transmutasi berbagai hal. Dalam kasus Lou-tzu, intuisi yang sama, pada aspek
dinamisnya, mengarah pada ontologi pengembangan dan pelibatan, yang aspek statisnya adalah
relativisme yang baru saja kita bahas.
Mengingat Transmutasi (hua) adalah kata kunci filosofis Chuang-tzu pada bagian ini, maka Kembali
(Return) (fan atau fu) merupakan kata kunci yang dipilih Lou-tzu sebagai ekspresi yang tepat untuk
gagasannya.
Ihwal makna kosmik dari Kembali sebagai dipahami oleh Lou-tzu, kita akan berkesempatan untuk
membicarakannya pada konteksselanjutnya. Di sini kita akan membatasi diri untuk menimbang konsep
ini sepanjang ia memiliki relevansi langsung dengan masalah relativisme.
Kembali (return) merupakan konsep dinamis. Dengna kata lain, Kembali mengacu kepada aspek
dinamis relativisme Lou-tzu di atas, atau dasar ontologis dinamis yang di atasnya relativisme bertumpu.
Dia menjelaskan konsep ini dalam bentuk singkat dan tepat pada pasase berikut, yang sebenarnya
bisa dianggap sebagai ringkasan seluruh ontologiny
Kembali adalah bagaimana Jalan bergerak,d an menjadi lemah adalah bagaimana Jalan bekerja.
Sepuluh ribu hal di bawah langit lahir dari wujud, dan Wujud lahir dari Non-Wujud.
Harus dinyatakan bahwa dalam pasase ini terdapat dua rujukan tersembunyi menyangkut dua makna
atau aspek dari “kembali” yang tampaknya diakui oleh Lou-tzu terdapat struktur ontologis segala
sesuatu. Makna (atau aspek) pertama dia kemukakan melalui kalimat pertama dan makna kedua
melalui kalimat kedua. Kalimat pertama bermakna bahwa segala sesuatu (a) yang ada mengandung
dalam dirinya sebuah kemungkinan atau kecenderungan alamiah untuk “kembali” (return). Maksudnya,
ia (a) ditransformasikan menjadi lawannya (b), yang tentu saja, mengandung kemungkinan “kembali”
yang sama kepada lawannya, yaitu kondisi semula yang datang darinya (a). Dengan demikian, segla
sesuatu tetap berada dalam proses gerakan berputar, dari a ke b, dan selanjutnya dari b ke a. Lou-tzu
mengatakan bahwa inilah hukum “gerakan” ontologis (tung), atau aspek dinamis dari Realitas. Dia
menambahkan bahwa “kelemahan” merupakan cara bergerak ini dibuat oleh Realitas.
Kalimat berikut menganggap struktur dinamis Realitas sebagai gerakan vertikal dan metafisik dari
Banyak fenomenal menjadi Tunggal prafenomenal. Dimulai dari keanekaragaman ketika segala
sesuatu mengalami aktualisasi dan realisasi, ia menarik segala sesuatu itu kembali ke keadaannya
sediakala. “Sepuluh ribu hal di bawah langit”, maksudnya segala sesuatu di alam, menjadi maujud
aktual dari Jalan (tao) pada tahap “eksistensinya”. Namun tahap “eksistensi” tersebut, yang tidak ada
selain dari pada tahapan dalam proses manifestasi dari Jalan (tao), terjadi dari tahapan
“noneksistensi”, yang merupakan kedalaman luarbiasa dari Jalan (tao) itu sendiri yang sama sekali
tidak diketahui-tidak dapat diketahui. Harus diperhatikan bahwa “penyatuan kembali” beribu-ribu hal
inbi menuju “eksistensi” dan selanjutnya menunu “noneksistensi” bukan hanya merupakan sebuah
proses konseptual; menurut Lou-tzu hal itu terutama merupakan sebuah proses kosmis. Segala
sesuatu secara ontologis “kembali” ke sumber asalnya, bejalan di atas jalan transformasi-transformasi
“sirkuler” di antara mereka sendiri sebagaimana telah dikemukakan melalui kalimat pertama. Segala
sesuatu yang bersifat kosmik yang kembali (return) ke keadannya semula akan menjadi ubjek
pembahasan pada bab berikutnya. Di sini kami menyinggung tentang Kembali “horizontal” segala
sesuatu sebagaimana ditunjukkan pada kalimat pertama, maksudnya, proses “pengembalian”
(returning) timbal balik di antara a dan b. Lou-tzu memiliki cara khas dalam mengekspresikan
gagasannya sebagaimana ditunjukkan melalui dia pasase berikut ini :
Kemalangan adalah pijakan nasib baik dan nasib baik adalah tempat sembunyi kemalangan.
(Keduanya dengan demikian secara tidak terbatas saling berpindah menjadi satu dengan lainnya
sehingga) tidak ada orang yang mengetahui titik tempat proses tersebut berakhir. Tampaknya tidak ada
norma yang mutlak. Karena apa yang (dianggap) adil “berbalik” menjadi tidak adil, dan apa yang
(dianggap) baik “berbalik” menjadi jahat. Sesungguhnya manusia telah lama sekali berada dalam
kebingungan seputar ini.
Sifat segala sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga orang yang pergi terlebih dahulu berakhir
dengan ketinggalan, dan yang mengikuti dari belakang pada akhirnya menemukan dirinya berada di
depan orang-orang lain. Orang yang meniup sesuatu untuk membuatnya panas berakhir dengan
membuatnya dingin, dan orang yang meniup sesuatu untuk membuatnya dingin, pada akhirnya
membuatnya panas. Orang yang berusaha menjadi kuat akan menjadi lemah,d an orang yang ingin
tetap lemah akan berubah menjadi kuat. Orang yang aman akan jatuh ke dalam bahaya, sedangkan
orang yang berada dalam bahaya akan berakhir aman.
Dengan demikian, dalam pandangan Chuang-tzu dan Lou-tzu, segala sesuatu di alam adalah relative;
tidak ada yang secara mutlak dapat dipercaya atau stabil dalam pemaknaan ini. Sebagaimana saya
indikasikan sebelumnya, “relativisme” ini, dalam kasus Lou-tzu dan Chuang-tzu, harus dipahami dalam
pengertian khusus, yaitu, dalam pengertian bahwa tidak ada yang memiliki “esensi atau kuiditas”.
Segala sesuatu, pada tingkatan Realitas yang lebih dalam, adalah “tidak memiliki esensi”. Dunia itu
sendiri adalah “kacau-balau” (chaoutic). Ini sebenarnya tidak hanya merupakan alam eksternal tempat
kita eksis, tetapi sebenarnya sama dengan dunia di dalam kita, alam internal berupa rangkaian konsep
dan penilaian. Hal ini tidaklah sulit untuk dipahami, karena apa pun penilaian yang mungkin kita buat
tentang apa saja yang kita pilih untuk dibicarakan dalam dunia yang “kacau” ini, pendapat kita itu pasti
bersifat relative, berat sebelah, bermakna ganda, dan tidak dapat dipercaya, lantaran objek penilaian
itu sendiri secara ontologis adalah relatif.
Argument Chuang-tzu berkenaan dengan masalah ini secara logika sangat menarik dan penting.
Periode Negara-negara yang Berperang menyaksikan perkembangan hebat dalam teori-teori logika-
semantik di CIna. Pada masa Chuang-tzu Konfusius, dan Mohists benar-benar bangkit untuk saling
menetang satu sama lain,d an dua aliran ini Bersama-sama menentang “para pakar dialektik” (atau
“Sofis (mereka yang pandai memutarbalikan sesuatu) yang juga dikenal sebagai aliran Nama-nama.
Beragam perdebatan panas berlangsung di antara mereka tentang dasar kultur manusia, berbagi
fenomenanya, landasan etika, struktur logis suatu pemikiran, dan sebagai-nya. Hal itu merupakan cara
untuk mengadakan serangkaian diskusi jenis ini dalam bentuk dialektis. “Ini benar” – “ini salah” atau “ini
baik” – “ini buruk”, merupakan rumusan umum yang melaluinya orang-orang ini membahas persoalan
mereka.
Ssituasi demikian sungguh menggelikan dan semua pembahasan ini adalah sia-sia dari sudut pandang
Chuang-tzu yang menurutnya Realitas itu sendiri adalah “kacau”, objek-objek yang diungkapkan
dengan kata-kata hangat oleh orang-orang ini pada esensinya tidak tetap dan bermakna ganda. Para
pakar dialektika dimaksud “berbicara tentang perbedaan antara ‘keras’ dan ‘putih’ umpamanya, seolah
kata-kata ini digantungkan pada beragai aspek.”
Tidak hanya itu. Orang-orang yang suka membahas melalui cara ini biasanya melakukan kesalahan
fatal dengan kesalahan tafsir antara “memiliki argument terbaik” dan “secara objektif salah”. Namun,
sebetulnya, kemenangan dan kekalahan dalam perdebatan logika, sama sekali tidaklah menentukan
“benar” dan “salah” suatu fakta objektif.
Sebagai missal, kau dan aku terlibat dalam sebuah diskusi. Dan bayangkan bila kau bisa
mengalahkanku, tetapi aku tidak dapat mengalahkanmu. Apakah ini berarti bahwa kau “benar” dan
“aku salah”?
Bayangkan bila, sebagai gantinya, aku mengalahkanmu dan kau tidak mampu mengalahkanku.
Apakah ini berarti bahwa aku “benar” dan kau “salah”? Apakah memang jika aku “benar” maka kau
“salah”, dan jika kau “benar”, maka aku salah”? Ataukah kita berdua bisa sama-sama “benar” atau
sama-sama “salah”? Bukankah aku dan kau yang layak memutusakannya? (Bagaimana jika meminta
beberapa orang lain untuk memutuskan?) Tetapi, nyatanya orang-orang lain pun berada dalam
kegelapan yang sama. Lantas siapakah yang bisa kita minta untuk memberikan penilaian adil?
Bayangkan bila kita membiarkan seseorang yang setuju denganmu memberikan penilaian. Mungkinkah
orang itu bisa memberikan penilaian adil, mengingat sejak semula dia sependapat denganmu?
Bayangkan bila kita membiarkan seseorang yang sependapat denganku untuk memberikan penilaian.
Mungkinkah ia dapat memberikan penilaian adil, mengingat sejak semula dia sependapaku?
Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang berbeda pandangan (tidak sependapat)
denganku ataupun denganmu untuk memberikan penilaian? Bukankah sejak awal dia telah berbeda
(pendapat) dengan kita berdua? Bagaimana mungkin orang itu dapat memberikan penilaian adil? (Dia
hanya akan memberikan pendapat ketiga) Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang
sependapat dengan kita berdua untuk memberikan penilaian? Namun, sejak awal dia telah memiliki
pendapat yang sama dengan kita berdua. Bagaimana mungkin orang itu dapat memberikan penilaian
adil? (Dia hanya akan mengatakan bahwa Aku “benar”, namun kau juga “benar”).
Dari segenap pertimbangan ini, kita harus menyimpulkan bahwa kau dan aku bukanlah orang ketiga
yang bisa mengetahui (di mana kebenaran itu berada). Lantas apakah kita perlu berharap munculnya
orang keempat?”
Bagaimana situasi ini dapat dijelaskan secara memuaskan? Chuang-tzu menjawab bahwa semua
kebingungan ini bermula pada kecenderungan alamiah Nalar yang menganggap segala sesuatu dalam
kerangka pertentangan “benar” dan “salah”. Kecenderungan alamiah Nalar kita ini berdasar pada, atau
merupakan hasil dari, pandangan esensial tentang Wujud. Nalar alamiah kemungkinan besar
menganggap bahwa sesuatu yang secara konvensional atau secara subjektif itu “benar” maka secara
esensial juga “benar”, sebaliknya, sesuatu yang secara konvensional atau secara subjektif itu “salah”
maka secara esensial juga “salah”. Namun, sebenarnya, tidak ada yang secara esensial “benar” atau
“salah”. Sesuatu yang disebut “benar” dan “salah” itu, tak lain daripada hal-hal yang bersifat relatif.
Sesuai dengan pendapat nonesensialis ini, Chuang-tzu menegaskan bahwa sikap satu-satunya yang
dapat dibenarkan untuk kita ambil adalah, pertama-tama, mengetahui relativitas “benar” dan “salah”,
dan selanjutnya mentransendensikan relativisme ini sendiri ke tingkatan “penyetaraan” segala sesuatu,
suatu tingkatan ketika segala sesuatu secara esensial tidak dibeda-bedakan dengan lainnya, walaupun
hal-hal itu, pada tingkatan realitas yang lebih rendah, secara negative berbeda dan berlainan satu
dengan lainnya. Sifat ini khas milik “manusia sejati” yang oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “tien ni”
(Penyamarataan Ilahi), tien Chun (Penyetaraan Ilahi), atau man yen (Tanpa batas).
“Benar” bukanlah “benar”, dan “demikian” bukanlah “demikian”. Seandainya (apa yang orang anggap)
“benar” itu (secara mutlak) adalah “benar”, maka (secara mutlak) berbeda dengan apa yang “tidak
benar” dan tentu saja tidak ada ruang untuk membahasnya. Dan seandainya “demikian” (secara
mutlak) adalah “demikian”, maka (secara mutlak) akan berbeda dengan “tidak demikian” dan tentu saja
tidak ada ruang untuk membahasnya.
Maka itu, (mata rantai “tesis yang berpindah-pindah” tidak henti ini [maksudnya, “benar” => “tidak
benar” =>. “benar” => “tidak benar” ... atau tesis dan antitesis] saling bergantung satu dengan lainnya.
Dan (lantaran kesalingbergantungan ini membuat seluruh mata rantai tesis dan antitesis yag saling
bertentangan menjadi relatif), kita mungkin juga menganggapnya sebagai hal tidak saling bertentangan
satu dengan lainnya. (dengan adanya situasi demikian, sikap satu-satunya yang layak kita ambil)
adalah menyelaraskan semua ini (tesis dan antitesis) dalam Penyamarataan Ilahi, dan membawa
(segenap pertentangan tiada henti antara maujud-maujud itu) kembali pada keadaan Tanpa Batas.
Ungkapan “membawa semua pertentangan segala sesuatu itu kembali pada keadaan Tanpa Batas”
berarti mereduksi segala sesuatu yang “secara esensial” dapat dibedakan menjadi keadaan aslinya
dalam kesatuan “yang kacau” (Chaotic) ketika tiada “batas-batas” atau sempadan-sempadan tertentu
antara berbagai hal tersebut. pada sisi subjektifnya, ia merupakan sikap mengabaikan seluruh
penilaian diskriminatif yang dapat dibuat seseorang pada tingkatan Nalar sehari-hari. Dengan
mengabaikan penilaian, implisit ataukah eksplisit, tentang apa pun, Chuang-tzu menekankan, berarti
seseorang seharusnya menempatkan dirinya sendiri dalam kondisi mental sebelum semua penilaian,
mendahului seluruh aktivitas Nalar, ketika dia akan melihat berbagai hal dalam keadaan orisinal – atau
“Ilahi” menurut isitilahnya – yang “tanpa esensi” (esence-less).
Namun, untuk mencapai tingkat ini sama sekali bukanlah tugas mudah. Ia menuntut penggunaan aktif
sejenis intuisi metafisik tertentu, yang oleh Chuang-tzu disebut ming, “pencerahan” (illumination). Jenis
intuisi iluminatif ini tidak dimiliki oleh semua orang. Karena, sebagaimana terdapat orang-orang yang
secara fisik buta dan tuli. Namun, sayangnya, di dunia spiritual jumlah mereka yang buta dan tuli jauh
lebih banyak dibanding dengan jumlah orang-orang yang mampu melihat dan mendengar.
Orang buta tidak dapat menikmati penglihatan tentang warna-warni dan pola-pola indah. Orang tuli
tidak dapat menikmati bunyi lonceng dan genderang. Namun, apakah Anda berpendapat bahwa
kebutaan dan ketulian terbatas pada organ-organ jasmani? Tidak, kebutaan dan ketulian juga
ditemukan pada ranah pengetahuan.
Struktur ming, “intuisi”, akan dikaji secara lebih mendalam pada waktunya. Sebelum kisah beralih ke
persoalan ini, kita akan mengutip satu pasase lagi dari Chuang-tzu yang mengembangkan gagasannya
mengenai sifat relatif dan konvensional pada “perbedaan-perbedaan” ontologis. Pasase itu akan
membantu menyiapkan jalan bagi pembahasan kita ihwal pandangan eksistensialis” Chuang-tzu
melawan pandangan “esensialis” tentang Wujud.
Sifat dasar segala sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga tiada yang tidak bisa menjadi “itu” (yakni,
segala sesuatu dapat menjadi “itu”) dan tiada yang tidak bisa menjadi “ini” (yakni, segala sesuatu dapat
menjadi “ini”).
Pada \umumnya kita membedakan antara “ini” dan “itu” serta berpikir dan berbicara tentang berbagai
hal di sekitar kita dalam konsteks pertentangan mendasar tersebut. apa yang “ini” bukanlah “itu”, dan
apa yang “itu” bukanlah “ini”. Hubungan itu pada dasarnya berkaitan dengan “Aku” dan “yang lain”,
karena istilah “ini” mengacu pada “Aku” sedangkan istilah “itu” berkenaan dengan “yang lain”.
Dari sudut pandang “Aku”, “aku” adalah “ini”, dan segala yang lain dariku adalah “itu”. Namun, dari
sudut pandang “yang lain”, “yang lain” adalah “ini”, dan saya adalah “itu”. Dalam pengertian ini, segala
sesuatu dapat dikatakan menjadi sama-sama “ini” dan “itu”. Dengan ungkapan lain, perbedaan antara
“ini” dan “itu:” adalah relatif belaka.
Dari sudut pandang “itu” (sendiri), “itu” tidak dapat tampak (sebagai “itu”). Hanya apabila aku
(maksudnya, “ini”) mengenal diriku (sebagai “ini”) sehingga ia (maksudnya “itu”) menjadi dikenal
(sebagai “itu”).
“Itu” membangun dirinya sendiri sebagai “itu” hanya apabila “ini” membangun dirinya dan memandang
“itu” sebagai objeknya, atau sebagai sesuatu yang lain daripada “ini”. Hanya apabila kita menyadari
relativitas mendasar “ini” dan “itu”, barulah kita dapat berharap untuk memiliki pemahaman yang
sesungguhnya tentang struktur segala sesuatu.
Tentu saja, masalah yang sangat penting adalah bahwa relativitas ini harus dipahami melalui
“pencerahan”. Pemahaman relativitas ontologis ini melalui Nalar – yang sama sekali bukan hal sulit
untuk dicapai – adalah sia-sia, kecuali sebagai tahap persiapan untuk penyerapan “iluminatif” terhadap
persoalan tersebut. akan diperjelas pada bab berikutnya bahwa “relativitas” tidak melemahkan seluruh
struktur ontologis segala sesuatu. “Relativitas” hanyalah satu aspek darinya. Karena, dalam pandangan
Chuang-tzu, struktur ontologis segala sesuatu hakikatnya adalah “ketiadaan perbedaan chaotic
sebagaimana yang telah sering disebutkan. “Ketiadaan perbedaan chaotic” merupakan sesuatu yang
berada jauh di luar jngkauan Nalar. Terlepas dari itu, sekiranya Nalar tetap berusaha untuk
memahaminya menurut caranya sendiri, “ketiadaan perbedaan” menjadi dapt dipahami hanya dalam
bentuk “relativitas”. Dengan kata lain, “relativitas” berbagai hal merepresentasikan “ketiadaan
perbedaan” ontologis awal yang kemudian diturunkan ke tingkat pemikiran logis. Pada bab ini kita
masih berada pada tingkatan itu.
Karenanya, telah ditetapkan : “itu” lahir dari “ini” dan “ini” bergantung kepada “itu”. Doktrin ini
dinamakan dengan teori fang seng, aitu teori tentang “ke-salingbergantungan”.
Namun, (hubungan timbal balik antara “ini” dan “itu”) mesti dipahami sebagai prinsip dasar yang
berlaku untuk segala sesuatu. Dengan demikian, karena ada “kelahiran” maka ada “kematian”, dan
karena ada “kematian” maka ada “kelahiran”. Demikian pula, kara ada “baik” maka ada “tidak baik”,
dan karena ada “tidak baik” maka ada”baik”.
Chuang-tzu bermaksud untuk mengatakan bahwa Realitas nhakiki adalah Realitas yang mencerap
segala sesuatu yang berlawanan; bahwa pembagian realitas asli ini menjadi “kehidupan” dan
“kematian”, “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”,d an sebagainya, didasarkan pada berbagai
sudut pandang yang diambil oleh berbagai orang. Sebenarnya, segala sesuatu di dunia adalah “baik”
dari sudut pandang orang yang mengambil pendapat ini. Dan tidak ada yang tidak dapat dianggap
sebagai “tidak baik” dari sudut pandang orangn yang memilih mengambil pendapat ini. Realitas hakiki
adalah sesuatu yang mendahului hal ini dan semua pembagian serupa. Ia adalah sesuatu yang “baik”
dan “tidak baik”, serta yang sekaligus bukan “tidak baik” dan bukan “baik”.
Demikianlah, manusia suci” tidak mendasarkan dirinya (pada salah satu dari pertentangan-
pertentangan), namun mencerahkan (segala sesuatu) dengan cahaya Surga.
Tentu saja, (sikap “orang suci”) ini juga merupakan sikap seorang manusia yang mendasarkan dirinya
pada (apa yang dia anggap) “benar”, namun, (karena ia bukan merupakan jenis “benar” yang
bertentangan dengan “salah”, tetapi merupakan “benar” mutlak dan transcendental yang mencakup
dalam dirinya seluruh pertentangan dan kondtradiksi yang ada), “ini” di sini adalah sama seperti “itu”,
dan “itu” adalah sama seperti “ini”. (Ia merupakan suatu posisi yang meilputi dan melebihi “benar” dan
“salah”, sehingga di sini) “itu” menyatukan “benar” dan “salah”, namun “ini” juga menyatukan “benar”
dan “salah”.
(Dilihat dari sudut pandangan demikian) masih adakah perbedaan antara “itu” dan “ini”? Atau tiada lagi
“itu” dan “ini”? Pada tingkatan ketika masing-masing “itu” dan “ini” telah kehilangan pasangannya untuk
berhadap-hadapan – itulah tingkatan yang harus dianggap sebagai Engsel dari Jalan itu.
Engsel sebuah pintu dapat mulai berfungsi secara tak terhingga hanya apabila pas dengan titik tengah
lekukannya. (Dengan cara yang sama, Engsel dari Jalan itu dapat merespon secara tak terhingga dan
bebas untuk situasi-situasi dunia fenomenal yang terus menerus berubah hanya apabila ditempatkan
secara tepat di titik tengah Realitas mutlak yang melampaui seluruh pertentangan fenomenal) (Dalam
keadaan seperti itu) “benar” adlah satu ketiadaan akhir yang seragam; “salah” juga adalah ketiadaan
akhir yang seragam.
Itulah sebabnya saya menitikberatkan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada “pencerahan”.
Satu yang mutlak tentu saja merupakan Jalan yang meliputi keseluruhan alam Wujud; lebih tepatnya ia
adalah keseluruhan alam Wujud. Dengan begitu, ia melampaui segala perbedaan dan pertentangan.
Maka, dari sudut pandang Jalan itu, tiada perbedaan antara “benar” dan “salah”. Naun, dapatkah
Bahasa manusia secara tepat mewadahi keadaan yang demikian? Tidak, setidaknya selama Bahasa
itu digunakan dengan cara yang ada. “Bahasa”, kan Chuang-tzu, “berbeda dengan hembusan angina,
lantaran orang yang bericara dianggap pasti memiliki maksud untuk disampaikan. Namun, Bahasa
sebagaimana yang digunakan sekarang tidak tampak memnyampaikan makna sesungguhnya, karena
orang-orang itu, khususnya para dialektika, yang sibuk membahas “inbi” adalah benar dan “itu” adalah
salah, atau “ini” adalah baik dan “itu” adalah buruk, dan sebagainya, hanyalah berbicara tentang objek-
objek yang tidak memiliki kandungan pasti.”
Apakah mereka benar-benar mengatakan sesuatu (yang bermakna)? Ataukah agaknya mereka tidak
mengatakan apa-apa? Mereka mengira bahwa ucapan mereka itu berbeda dengan kicauan burung.
Namun, apa bedanya? Ataukah tidak ada perbedaan sama sekali?
Di manakah, sesungguhnya, Jalan itu tersembunyi (bagi orang-orang) yang mengharuskan ada “benar”
dan “salah”? Di manakah Bahasa (dalam pengertian sejatinya) tersembunyi sehingga harus ada
“benar” dan “salah”? ….(faktanya adalah bahwa) Jalan tersebut tersembunyi akibat kebajikan-
kebajikan remeh, sedangkan Bahasa tersembunyi akibat pelbagai keangkuhan. Itulah sebabnya kita
mengadakan diskusi-diskusi “benar” dan “salah” para pengikut Konfusius dan Mohits, satu pihak
menganggap “benar” apa yang oleh pihak lain dianggap “salah”, dan (sebaliknya) satu pihak
menganggap “salah” apa yang oleh pihak lain dianggap “benar”.
Jika kita ingin menegaskan (pada tingkat lebih tinggi) apa yang oleh kedua belah pihakanggap sebagai
“salah”, dan menolak apa yang mereka anggap sebagai “benar”, maka tidak ad acara yang lebih baik
daripada “pencerahan”.
Dengan demikian, kita melihat diri kita kembali lagi pada persoalan “pencerahan”. Bagian-bagian yang
dikutip di sini telah memperjelas bahwa “pencerahan” melukiskan sudut pandang “mutlak” yang
melampaui seluruh sudut pandang “relative”. Ia merupakan kondisi pikiran yang berada di atas dan di
luar perbedaan-perbedaan antara “ini” dan “itu”, “Aku” dan “kau”. Namun, bagaimana seseorang dapat
mencapai ketinggian spiritual seperti itu, dengan dugaan bahwa tingkat itu benar-benar ada? Apa
kandungan dan struktur pengalman ini? Semua ini merupakan persoalan utama yang akan
menyibukkan kita pada dua bab berikutnya.

5. KELAHIRAN EGO BARU

Kita telah melihat betapa sia-sia tidak masuk akal, dalam pandangan Chuang-tzu, pola berpikir umum
yang dicirikan dengan pembahasan seputar “ini” adalah ‘benar” dan “itu” adalah “salah”. Apa sumber
semua verbalilasi sia-sia ini? Chuang-tzu menduga bahwa itu pasti ditemukan dalam keyakinan
manusia tentang dirinya yang salah, yakni bahwa dirinya memiliki (atau adalah) sebuah “ego”, suatu
entitas swapada yang dianugerahi kemandirian ontologis mutlak. Manusia cenderung lupa bahwa “ego”
yang dia percaya begitu mandiri dan mutlak itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang secara
esensial relatif dan bergantung. Relatif terhadap apa? Relatif terhadap “kau” dan “mereka” serta segala
lain yang ada di sekitar dirinya. Bergantung pada apa? Bergantung pada Sesuatu yang secara mutlak
di atasnya, Sesuatu yang oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai Maha Pencipta, atau secara harfiah,
Pembaut segala sesuatu. Chuang-tzu melukiskan situasi ini melalui cerita perumpamaan “Bayangan
dan Penumbra” (Shadow and Penumbra).
Penumbra pernah berkata kepada Bayangan : “Aku perhatikan kau kadang-kadang berjalan, lalu
beberapa saat kemudian kau terdiam di tempat. Kadang-kadang saya perhatikan kau duduk, lalu
beberapa saat kemudian kau berdiri. Mengapa kau berubah-ubah dan tidak tetap?”
Bayangan menjawab : “Tampaknya (saat bertindak seperti itu) saya sepenuhnya bergantung pada
sesuatu (yaitu, tubuh). Namun, apa yang saya gantungi tampaknya bertindak bergantung kepada
sesuatu yang lain (yaitu, Maha Pencipta). Karenanya, seluruh aktivitasku yang bergantung kepada
mereka tampak seperti gerakan sisik-sisik ular atau sayap-sayap seekor jangkrik.
Lantas, bagaimana saya harus tahu mengapa saya berbuat seperti ini, dan mengapa saya tidak
berbuat seperti itu?
Chuang-tzu menghilangkan “ego” dengan sekali sebat dari apa yang tampak sebagai kemandirian dan
kewaspadaannya. Namun, pandangan itu tentu saja berlawanan dengan kepercayaan dan keyakinan
manusia sehari-hari tentang dirinya. Menurut pandangan sehari-hari tentang berbagai hal, “Ego” justru
merupakan dasar dan inti eksistensi manusia, latanran tanpa “ego” manusia akan kehilangan
kepribadiannya, kesatuan dirinya, dan tidak ada apa-apanya. “Ego” merupakan titik koordinasi, titik
sintesis, tempat semua unsur berlainan dari kepribadiannya, entah fisik atau mental, menjadi
tersatukan. “Ego” yang dimaksud itu oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “benak” (mind).
Saya kira tepat pada kesempatan ini mengenalkan sepasang istilah utama yang tampak telah berperan
menentukan pembentukan garis-garis besar pemikiran Chuang-tzu ihwal sifat dasar benak : tso chih
yang secara harfiah bermakna “duduk bergerak-gerak” dan tso wang yang secara harfiah bermakna
“duduk tenang”.
Yang pertama dari istilah tersebut di atas, tso chih, merujuk pada situasi ketika benak seorang awam
menemukan dirinya, dalam gerakan konstan, berpikir ke arah ini pada saat ini dan berpikir ke arah itu
pada saat berikutnya, sebagai respons terhadap sedemikian banyak kesan dari luar yang menarik
perhatiannya dan membangkitkan keingintahuannya, tidak pernah berhenti dan beristirahat walaupun
sebentar, bahkan saat tubuhnya sudah terduduk tenang. Tubuh itu boleh jadi sudah terduduk tenang,
tetapi benaknya terus menerawang. Itulah benak manusia dalam keadaan yang ditunjukkan oleh kata
hsin (Benak/Mind) pada konteks ini. Ia merupakan lawan yang tepat dari benak dalam keadaan
konsentrasi yang tenang dan damai.
Mudah dipahami secara konseptual mengenai pertentangan antara kedua kondisi benak ini, yang satu
“bergerak-gerak” dan yang lainnya “duduk tenang dan hampa”. Namun, sangat sulit tentunya bagi
orang-orang awam untuk membebaskan diri dari dominasi “benak yang tenang”. Sebenarnya, demikian
Chuang-tzu mengajarkan, manusia itu sendiri yang bertanggungjawab membiarkan Benak berlaku
sewenang-wenang terhadapnya, karena tirani Benak berasal dari tirani “ego” – “Ego” palsu yang,
sebagaimana kita lihat di atas, menjadikan dirinya sebagai pusat ontologis kepribadiannya. Chuang-tzu
menggunakan ungkapan khas untuk situasi dasar manusia ini : shin-shin atau “menjadikan benak
sebagai guru manusia itu sendiri.”
“Ego” yang dipahami seperti itu merupakan ciptaan manusia belaka. Namun, manusia berpegang
padanya, seolah-olah “ego” itu adalah sesuatu yang objektif, bahkan mutlak. Dia tidak pernah dapat
membayangkan dirinya eksis tanpanya, maka dia pun tidak pernah dapat membayangkan dirinya eksis
tanpanya, mak dia pun tidak dapat meninggalkannya walau sesaat; karenanya dia menjadikan
Benaknya sebagai “guru yang mulia”.
Benak ini, pada tingkatan intelektual yang lebih tinggi, muncul sebagai Nalar, (yang merupakan)
fakultas berpikir dan nalar diskurisf. Kadang-kadang Chuan-tzu menamakannya dengan ch’eng hsin
atau “benak lengkap”. “Benak lengkap” bermakna benak yang telah memiliki bentuk tertentu, benak
dalam keadaan mengenal. Ia merupakan Nalar yang melalui petunjuknya – di sini kita menemukan lagi
ungkapan : “menjadikan benak sebagai guru” – manusia membedakan antara berbagai hal dan
memberikan penilaian tentangnya, dengan mengatakan “ini benar” dan “itu salah”, dan sebagainya,
dan terus terperosok lebih jauh dalam kubangan kesia-siaan tanpa batas.
Setiap orang mengikuti “benak lengkapnya” sendiri dan menghormatinya sebagai gurunya. Dalam hal
ini, kita mungkin mengatakan bahwa tidak ada orang yang tidak memiliki guru. Orang-orang yang
mengenal realitas dari fenomena perubahan tiada henti dan menerima (hukum kosmis tentang
Transmutasi ini) sebagai pijakan (keputusan) mereka bukanlah kelompok manusia satu-satunya yang
memiliki guru. (Dalam pengertian tersebut) bahkan seorang idiot memiliki gurunya sendiri. Mustahil
seseorang untuk bersikeras terntang perbedaan antara “benar” dan “salah” tanpa memiliki “benak
lengkap”. Hal ini sama mustahlilnya dengan orang yang berangkat (dari sebuah negeri di utara) hari ini
dan tiba di negeri Yueh (di perbatasasan Cina bagian selatan) kemarin!”
Maka itu, kita melihat bahwa seluruh persoalan yang samar mengenai “benar” dan “salah” atau “baik”
dan “buruk”, yang sifat hakikinya diungkapkan pada bab sebelumnya, berasal dari manusia yang
menggunakan “benak lengkapnya” sendiri. Benak, menurut Chuang-tzu, merupakan sumber dan asal
muasal semua kebodohan manusia.
Gagasan tentang Benak ini juga dimiliki oleh Lou-tzu, walaupun pendekatannya sedikit berbeda
dengan Chuang-tzu. Bahwa gagasan itu sendiri pada dasarnya sama akan segera bisa dipahami jika
kita membaca secara seksama, sebagai contoh, Bab XLIX dari Tao Te Ching. Cukup menarik bahwa
Lou-tzu pada bagian ini menggunakan istilah ch’ang hsin, yaitu “benak konstan atau tidk berubah”.
Isitilah itu mengingatkan kita tentang ch’eng hsin (benak lengkap) yang dipakai oleh Chuang-tzu.
Melalui ch’ang hsin, Lou-tzu menunjukkan keadaan benak yang sangat kaku yang tidak lagi
mempunyai segenap fleksibilitas alamiah, atau sebagaimana dia suka katakan, keadaan benak yang
telah kehilangan “kelembutan” alamiah seorang bayi. Sebagaimana ditunjukkan oleh pasase tersebut,
kekakuan benak yang tidak wajar ini secara khusus termanifestasikan dalam aktivitas benak yang
bersifat memilahd an membeda-bedakan apa yang dipersepsinya di mana-mana sebagi “baik” dan
“buruk”, “benar” dan “salah”, serta menganggap kategori-kategori ini sebagai sesuatu yang obyektif dan
mutlak.
Menurut Lou-tzu, ia bukan hanya persoalan tentang seseorang yang menjadi persial, berprasangka,
dan keras pendirian. Dalam pandangannya, penggunaan fungsi benak ini memengaruhi inti eksistensi
manusia itu sendiri. Ia merupakan masalah krisis eksistensial manusia. Manusia berada dalam nestapa
yang menyedihkan, sebab manusia – hampir scara alamiah, orang bisa mengatakan – dikodratkan
demikian sehingga manusia mengarahkan aktivitas benaknya untuk membedakan dan memilah satu
dengan lain hal.
“Seorang manusia suci” tidak dengan sendirinya memiliki benak yang secara kaku telah ditetapkan. Dia
menjadikan benak semua orang sebagai benaknya. (Prinsipnya terwakili dalam diktum) : “Orang-orang
baik akan aku perlakukan sebagai orang baik. Namun, orang-orang yang tidak baik pun juga akan
kuperlakukan sebagai orang baik. )Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah asli manusia adalah
kebaikan. Orang-orang yang setia akan kuperlakukan sebagai orang setia. Namun, orang-orang yang
tidak setia akan kuperlakukan sebagai orang setia. (Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah asli
manusia adalah kesetiaan”
Dengan demikian, seorang manusia suci, walaupun dia hidup di dunia ini, tetapi dia senantiasa
membuka lebar-lebar benaknya dan men-chaotifikasi benaknya sendiri terhadap semua hal.
Orang-orang awam memaksakan penglihatan dan pendengaran mereka (dalam rangka membeda-
bedakan berbagai hal). Sebaliknya, seorang manusia suci membiarkan penglihatan dan
pendengarannya (bebas) seperti bayi.
Lou-tzu kadang-kadang menggunakan kata chih, tidak mengetahui, untuk menunjukkan aktivitas benak
yang membedakan-bedakan yang sedang kita perbincangkan ini. Namun, diperlukan kecermatan
dalam memahami kata ini, sebab menurut Lou-tzu, “tidak mengetahui” itu sendiri tidaklah tercela;
ketercelaannya berasal dari cara tertentu “tidak mengetahui” itu sendiri berlangsung dan objek-objek
tertentu yang disasarnya.
Jenis “tidak mengetahui” yang salah dalam pandangan Lou-tzu adalah aktivitas intelegensi yang
diskriminatif dan membeda-bedakan sebagaimana yang telah kita lihat juga begitu keras dicela oleh
Chuang-tzu. Namun, tidak seperti Chuang-tzu yang membangun gagasan ini pada tingkatan logis
sebagai masalah dialektika, dengan membuat contoh-contoh dari diskusi tentang “benar” dan “salah”
yang terjadi di kalangan pakar Dialektika pada masanya. Lou-tzu cenderung menilai efek-efek merusak
dari jeni “tidak mengetahui” ini pada tingkatan yang lebih praktis. Dia memusatkan perhatian pada
sikap evaluasional yang merupakan hasil paling langsung dari aktivitas benak yyang “membeda-
bedakan” tersebut. di sini persoalan “ini adalah benar” dan “itu adalah salah”, bukanlah persoalan
logika. Dia lebih merupakan persoalan evaluasi praktis. Dan dengan demikian, ia berhubungan
langsung dengan fakta-fakta kehidupan nyata. “Tidak mengetahui” yang dipahami dalam pengertian ini,
dicela lantaran ia mengganggu benak manusia dalam cara yang tidak perlu dan salah. Dan gangguan
benak oleh persepsi nilainilai, positif dan negatif, dianggap oleh Lou-tzu sebagai salah dan mengusik
eksistensi manusia, sebab ia menjauhkannya dari fitrah hakikinya, dan pada puncaknya
menjauhkannya dari Jalan itu sendiri. Pada pasase berikut, kata chih “tidak mengetahui”, secara nyata
digunakan dalam pemaknaan ini.
Jika (penguasa) tidak benar-benar menghormati ( apa yang disebut sebagai) orang-orang bijak, maka
rakyyat (tentu saja) akan terjauhkan dari peneladanan yang sia-sia. Jika (penguasa) tidak menghargai
harta benda yang sulit diperoleh, maka rakyat terjauhkan dari melakukan pencurian. Jika (penguasa)
tidak mempertontonkan hal-hal yang mudah merangsang hasrat, maka benak rakyat tidak akan
terganggu.
Oleh karena itu, “manusia suci” yang memerintah rakyat mengosongkan benak mereka, pada saat
mengenyangkan perut mereka; memperlemah ambisi-ambisi mereka, pada saat menguatkan tulang-
tulang mereka.
Dalam cara ini, dia menjadikan rakyatnya selalu dalam keadaan tidak berpengetahuan dan
berkeinginan, sehingga golongan yang disebut sebagai “orang-orang yang berpengatahuan” tidak
berkesempatan untuk ikut campur.
PENGARUH BURUK ATIVITAS Benak yang suka membeda-bedakan itu begitu kuat sehingga sedikit
saja ia ada, sudah cukup untuk menjadikan manusia setiap saat dapat menyimpang dari jalan
Jika aku kebetulan memiliki sedikit saja “tidak mengetahui”, maka saya akan berada dalam bahaya
besar untuk tersesat meskipun saya sesungguhnya sedang berjalan di tengah jalan utama
(maksudnya, jalan). Jalan utama itu lurus dan ama, tetapi banyak orang cenderung untuk memilih
jalan-jalan pinggiran yang sempit.
Bagaimanapun, bukan “tidak mengetahui” itu sendiri yang sangat buruk; kualitas “tidak mengetahui”
bergantung pada objek-objeknya. Bila kecenderungan umumnya untuk mengarah ke sisi luar dan
mengamati objek-objek eksternal telah tertanggulangi dan dikembalikan ke sisi batin, maka “tidak
mengetahui” itu akan mentransformasikan dirinya dalam intuisi, “Pencerahan”.
Orang yang mengetahui YANG lain-lain (maksudnya objek-objek eksternal di luar dirinya) adalah
orang-orang yang pandai, tetapi orang yang MENGENAL dirinya adalah orang yang cerdas dan
“tercerahkan”.
Penting untuk dicatat bahwa di sini kita menemukan kata yang persis sama, yaitu ming, “pencerahan”,
sebagaimana kita temukan pada Chuang-tzu. Adalah juga sangat penting untuk dicamkan bahwa kata
“pencerahan” yang baru saja dikutip dalam pasase di atas berhubungan langsung dengan
pengetahuan manusia tentang dirinya. Karena itu terbukti menunjukkan pengetahuan langsung dan
intuitif tentang Jalan. Ia dilukiskan sebagai “pengenalan diri” atau “pengetahuan diri” manusia, lantaran
pencerapan langsung yang intuitif akan Jalan hanya dapat diperoleh manusia dengan “beralih ke
dalam dirinya sendiri.”
Tentu saja, menurutn pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, Jalan itu serba meliputi. Ia ada di mana-
mana di alam; alam itu sendiri merupakan manifestasi-diri Jalan (tao). Dalam pengertian ini, hal-hal
eksternal pun sesungguhnya memanifestasikan Jalan itu, masing-masing dengan cara dan bentuknya
sendiri-sendiri. Namun, hanya manusia di semesta Wujud (Being) ini yang menyadari dirinya.
Maksudnya, hanya manusia yang bisa memahami Jalan itu dari dalam. Manusia mampu menyadari
dirinya sebagai manifestasi Jalan tersebut. manusia mampu merasakan dan menyentuh dalam dirinya
getaran kehidupan Sang Mutlak ketika aktif bekerja di dalam dirinya. Manusia mampu mengintuisi (in-
tuit) Jalan itu dari dalam. Namun, manusia tidak mampu mengintuisinya dari objek-objek eksternal,
sebab manusia tidak mampu memasuki “ke dalam” berbagai hal dan merasakan manifestasi Jalan itu
sebagai keadaan subjektifnya sendiri. Paling tidak, perjumpaan subjektif pribadi yang pertama kali
dengan Jalan itu harus dicapai dalam dirinya sendiri.
Untuk tujuan ini, kecenderungan benak yang menjauhi pusat (centrifugal) harus dihentikan dan
dialihkan ke arah yang berlawanan; kecenderungan benak harus dibuat mendekati pusat (centripetal).
Pengalihan arah yang drastis ini dilukiskan oleh Lou-tzu sebagai ‘menutup” seluruh lubang dan pintu
tubuh. Dengan menyumbat semua saluran keluar dari aktivitas benak yang sentrivugal, manusia akan
menelisik jauh ke dalam benaknya sendiri hingga dia mencapai inti eksistensial dirinya.
Inti eksistensial dirinya ini yang dia temukan di kedalaman benaknya boleh jadi bukan Jalan per se,
lantaran bagaimanapun juga ia merupakan bentuk Jalan (tao) yang telah terindividualisasi. Namun, di
sisi lain, tidak ada perbedaan atau ketidaksesuaian hakiki di antara keduanya. Lou-tzu mengungkapkan
keadaan ini secara simbolis dengan menamakan Jalan per se sebagai Ibu, sedangkan Jalan dalam
bentuk yang telah terindividualisasi sebagai Anak. Orang yang mengenal Anak dengan sendirinya
mengenal Ibunya.
Pada pasase yang akan segera saya kutip, arti penting “menurutp seluruh lubang dan pintu”
ditekankan sebagai cara tunggal manusia untuk dapat mengenal Anak, dan melalui Anaklah manusia
mengenal Ibu. Dengan demikian, keadaan puncak yang tercapai dari situ diistilahkandengan
“pencerahan” (illumination). Perlu dijelaskan bahwa Anak (tzu) yang dalam pemahaman ini
merepresentasikan duplikat yang terindividualisasikan dari sang Ibu (mu), bukanlah suatu selain dari
apa yang dinamakan oleh Lou-tzu di tempat lain sebagai Kebajikan (te) – atau barangkali secara lebih
ketatnya, perwujudan individual Jalan dengan inti eksistensial berupa daya kreatif dan vital, yang tak
lain adalah Jalan yang telah tersebar di antara “sepuluh ribu hal”. Sebagaimana kita akan kaji nanti,
daya kreatif dan daya viral masing-masing individu yang mewujud sebagai determinasi individual Jalan
ini dinamakan oleh Lou-tzu dengan “Kebajian”.
Segala hal yang berada di bawah langit memiliki Permulaan yang harus dianggap sebagai Ibu dari
segala sesuatu.
Bila kau mengenali “ibu”, tentu saja kau akan mengenali “anaknya”. Dan bila setelah mengenali “anak”
itu kau kembali kepada Ibu dan berpegang padanya, maka kau tidak akan pernah melakukan
kesalahan hingga akhir hidupmu.
Sumbatlah segala lubang dan tutuplah segenap pintu (yakni, hentikanlah fungsi normal organ-organ
indra dan aktivitas sentrivugal pada benak), dan sepanjang hidupmu kau (yakin, energi spiritual) tidak
akan habis.
Sebaliknya, jika kau membiarkan lubang-lubangmu terbuka lebar, dan terus menambah pelbagai
aktivitasnya hingga akhri hidupmu, maka kau tidak akan selamat.
Kemampuan merasakan hal terkecil (maksudnya, sesuatu yan nonindrawi sebagai Anak dari Jalan
(tao) dalam dirimu) secara tepat bisa dinamakan sebagai “Pencerahan”. Berpegang pada apa yang
lembut dan lentur, (maksudnya, meninggalkan kekakuan Benak yang diperbukan oleh perbedaan-
perbedaan”esensia;” antara berbagai hal dan menerima “secara lembut” segala hal dalam keadaan
hakikinya berupa transformasi timbal balik) secara tepat bisa dinamakan sebagai kekuatan.
Jika dengan menggunakan cahaya eksternalmu kau kembali kepada Pencerahan internalmu, maka
kau tidak akan pernah mendatangkan malapetaka pada dirimu. Keadaan (puncak) itu adalah apa yang
dinamakan dengan “melangkah menuju sesuatu yang hakiki secara kekal.”
“Menutup seluruh lubang dan pintu” bermakna, sebagaimana telah saya indikasikan, pertama-tama
menghentikan fungsi semua organ penginderaan, dan selanjutnya menyucikan Benak dari Hasrat-
hasrta fisik dan material. Hal ini diperjelas dengan membandingkan pasase yang baru saja saya kutip
dengan pasase XII berikut :
Lima warna (maksudnya, warna-warna primer : putih, hitam, biru, merah, dan kuning) membuat mata
manusia menjadi buta. Lima not music membuat telingan manusia menjadi tuli. Lima rasa (maksudnya,
manis, asin, asam, pedas, pahit) membuat selera manusia menjadi tumpul. (Permainan-permainan
seperti) berlomba dan berburu membuat benak manusia menjadi gila. Harta yang sulit diperoleh
menghalangi perilaku baik manusia.
Oleh karena itu, “manusia suci” memuasatkan perhatian pada rongga perut (maksudnya, berupaya
keras untuk membangun inti terdalam eksistensinya) dan tidak memedulikan mata (maksudnya, tidak
mengikuti kemauan-kemauan pancaindera). Dengan bersungguh-sungguh dia meninggalkan yang
terakhir (mengikuti kemauan-kemauan pancaindra) dan memilih yang pertama (membangun inti
terdalam eksistensinya).
“Manusia suci” memerhatikan rongga perut dan tidak mengacuhkan mata, lantaran dia sadar bahwa
aktivitas sentrifugal Benak hanya akan menjauhkannya dari Jalan. Jalan itu berada di “sisi dalam”
dirinya sendiri dalam bentuk yang palinbg konkrit dan gambling. Semakin jauh seseorang menuju ke
“bagian luar” semakin sedikit dia berhubungan dengan Sang Mutlak. Apa yang seharusnya diperbuat
adalah “tinggal di rumah” dan tidak pergi ke luar rumah.
Tanpa pergi ke luar rumah, seseorang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di bawah Langit
(maksudnya, realitas segala hal), bahkan, tanpa mengintip dari jendela, seseorang dapat melihat
bekerjanya Langit. Semakin jauh seseorang keluar, semakin sedikit yang dia ketahui,
Oleh sebab itu, “manusia suci” mengetahui tanpa pergi ke luar. Dia memiliki pandangan yang jelas
tentang segala sesuatu tanpa melihatnya. Dia mencapai segala sesuatu tanpa melakukan apa-apa.
Pasase-pasase yang telah dikutip dari Tao Te Ching berbicara tentang aspek epistemologis Jalan
(tao); persoalan bagaimana dan dengan cara apa manusia dapat “mengintuisi” (intuit) Sang Mutlak.
Lou-tzu menjawab, bahwa satu-satunya cara yang mungkin ditempuh manusia demi mencapai tujuan
ini adalah dengan secara total menghalangi kecenderungan sentrifugal benaknya sendiri dan
menggantikannya dengan aktivitas sentripetal yang apda puncaknya akan membawanya pada
“pencerahan”.
Bagaimanapun, Lou-tzu tidak terlalu peduli dengan proses epistemologis itu sendiri yang melaluinya
manusia memupuk “mata batin” disbanding dengan hasil dari efek jenis intuisi ini. Memang, dia
biasanya memulai argument persis dari titik di mana proses itu mencapai tahap akhir. Ada dua hal
yang menjadi perhatian utamanya. Yang pertama adalah efek praktis dan dapat dilihat yang dihasilkan
intuisi pencerahan pada sikap dan perilaku dasar manusia. Bagaimana “manusia suci” itu ebrtindak
dalam situasi-situasi lazim kehidupan manusia? Itulah salah satu persoalan utamanya. Persoalan ini
akan dibicarakan pada bab berikut dalam pembahasan tentang konsep Manusia Sempurna.
Persoalan utama kedua Lou-tzu adalah struktur metafisik alam Wujud, dengan Jalan sebagai sumber
dan dasar segala sesuatu. Di sini pula aspek epistemologis persoalan itu entah benar-benar hamper
dibuang ataukah sekedar diisyaratkan secara sangat samar. Lou-tzu lebih tertarik untuk melukiskan
proses ontologis yang melaluinya Jalan (tao) sebagai Sang Mutlak yang benar-benar tidak dikenal dan
tidak diketahui terus menjadikan dirinya secara bertahap dapat terlihat dan terdeterminasi hingga pada
akhirnya mencapai tahap Keragaman tak terbatas alam fenomenal. Dia juga menunjukkan Gerakan
mundur segala sesuatu, yang melaluinya segala sesuatu itu kembali ke keadaan asli Kesatuanmutlak.
Hal yang mengagumkan adalah bahwa semua papran mengenai proses ontologis ini dibuat dari sudut
pandang seorang manusia yang telah mengalami “pencerahan”, dengan mata manusia yang benar-
benar mengetahui rahasia Wujud. Dalam kata lain, Chuang-tzu berbeda dengan Lou-tzu. Dia sungguh-
sungguh tertarik dengan proses yang mendahului tahap akhir “pencerahan” dan yang melaluinya
pencerahan itu tercapai. Chuang-tzu bahkan mencoba untuk menjelaskan, kandungan eksperiensial
“pencerahan” yang dia ketahui sebagai sesuatu yang pada dasarnya tak terkatakan. Sisa bab ini dan
bab berikutnya secara spesifik akan menyinggung persoalan itu, yang mungkin kita namakan sisi
epistemologis atau sisi subjektif pengalaman Jalan.
Pada permulaan bab ini, saya memusatkan perhatian pada dua konsep utama yang berakitan dengan
sisi ubjektif pengalaman-Jalan, yang saling bertentangan satu dengan lainnya secara diametric ; tso
ch’ih “keadaan duduk bergerak-gerak” dan tso wang “duduk tenang”. Pada halaman-halaman
sebelumnya terutama kita telah menguji struktur konsep pertama. Kini tiba waktunya kita beralih
kepada konsep kedua.
Seorang manusia yang berada dalam “kondisi duduk tenang” tampak begitu aneh dan berbeda dengan
manusia pada umumnya, sehingga dia dengan mudah dapat dikenali oleh orang luar yang
mengamatinya. Pada buku II dari karyanya, Chuang-tzu memberikan penjelasan khusus tentang
manusia seperti itu. Manusia itu di sini dilukiskan seperti Nan Kuo Tzu Ch’i, atau Tzu Ch’i dari Wilayah
Selatan. Konon dia adalah seorang guru besar Ch’u, yang hidup dalam pertapaan di “wilayah selatan”.
Bagi Chuang-tzu, dia tentunya adalah personifikasi dari konsep Manusia Sempurna.
Pada suatu waktu Tzu Ch’i dari Wilaah Selatan duduk bersandar pada bangku kecil. Sambil
memandang ke langit, dia menarik napas dalam-dalam dan lembut. Dalam keadaan benar-benar lupa
akan eksistensi jasmaniahnya, dia tampak telah kehilangan seluruh kesadaran tentang “pasangan-
pasangan” (yakni, pertentangan antara “aku” dan “berbagai hal”, atau antara “ego” dan “yang lain”).
Yen Ch’eng Tzu Yu (salah seorang muridnya) yang hadir di hadapannya, bertanya kepadanya, “Apa
yang terjadi padamu, wahai guru? Mungkinkah tubuh seharusnya dijadikan seperti pohon yang layu
dan benak dijadikan seperti debu-debu yang tak bernyawa? Guru yang kini sedang bersandar pada
bangku ini bukanlah guru yang pernah saya lihat bersandar di masa lampau!” Tzu Ch’i menjawab,
“Bagus sekali kau mengajukan pertanyaan itu, wahai Yen! (Aku tampak berbeda dari sebelumnya)
sebab saya kini telah kehilangan diriku. Tetapi, apakah kau sanggup memahami (makna
sesungguhnya dari hal) ini?”
Setelah pernyataan pemuka ini, guru besar itu selanjutnya melukiskan kepada sang murid yang
kebingungan itu tentang kondisi “kehilangan ego”, dengan menuturkan padanya apa yang sebenarnya
dia alami dalam kondisi itu. Akibatnya, kita memiliki visi yang terkenal tentang Angin Kosmis, salah satu
pasase paling indah dan berbobot dalam keseluruhan buku Chuang-tzu. Pasase tersebut akan
diterjemahkan pada bab berikutnya. Di sini kita hanya perlu mencatat bahwa kata-kata sang guru :
“Aku kini telah kehilangan diriku”, menunjukkan pada keadaan “duduk tenang” atau “duduk
perikelupaan” sebagai alwan dari “duduk bergerak-gerak”.
Namun, apa tepatnya “duduk perikelupaan” itu? Bagaimana seseorang bisa benar-benar
mengalaminya? Hal ini merupakan sesuatu yang benar-benar sulit – atau lebih tepatnya, hampir benar-
benar mustahil – untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Meskipun demikian, Chuang-tzu mencoba
untuk menjelaskannya.
Dalam buku VI dia memberikan definisinya sendiri tentang “duduk perikelupaan” itu. Pasase itu
berbunyi sebagai berikut :
Apa makna dari “perikelupaan” itu?
Ia bermakna bahwa seluruh anggota tubuh menjadi terlarutkan, sedangkan aktivitas-aktivitas telinga
dan mata (maksudnya, kativitas-aktivitas Pancaindra) menjadi sirna, sehingga seorang bisa
membebaskan dirinya dari bentuk dan benak (maksudnya, “identitas diri” jasmani dan rohani) dan
menyatu dengan yang Maha Meliputi (maksudnya, Jalan yang “meliputi” segalanya). Inilah apa yang
saya namakan dengan “duduk perikelupaan”).
Secara eksternal, atau secara fisik, seluruh bagian tubuh menjadi “larut” dan terlupakan. Maksudna,
kesadaran akan “ego” jasmaniah dihilangkan. Secara internal, seluruh aktivitas mental “digugurkan”.
Yakni, tidak ada lagi kesadaran yang tertinggal dari “ego” terdalam yang menjadi pusat dan dasar yang
menyatukan aktivitas mental manusia. Akibat “pelupaan” total akan “aku” luar dan dalam ini disebut
oleh Chuang-tzu sebagai hsu. Kehampaan, atau perimetafisik-spiritual manakala tidak ada apa pun
yang menghalangi aktivitas yang serba-meliputi dari jalan.
Kata “Hampa” dalam konteks ini tidak harus dipahami secara negatif belaka. Kata itu memiliki makna
positif. Dan dalam aspek positifnya, Kehampaan harus dikaitkan dengan konsep tentang Maha Meliputi
yang tampak apda pasase yang baru saja dikutip.
Saya telah menerjemahkan ungkapan Cina ta t’ung, yang secara harfiah bermakna “menyebar”,
sebagai Maha Meliputi mengikuti interpretasi yang diberikan oleh Ch’eng Hsuan Ying, yang
mengidentikan ta t’ung dengan ta tao, “Jalan Agung”. Lalu dia ebrkata : “Ta t’ung sama dengan ta tao,
mengingat Jalan meliputi segala sesuatudan memerintahkannya, maka dalam pemaknaan ini Ia pantas
disebut sebagai Maha Meliputi. Interpretasi ini tampaknya benar, tetapi harus dilengkapi dengan
pemahaman tentang aspek lain dari duduk perkara ini. Yakni, bahwa saat mengalami keadaan
spiritual yang sedang diperbincangkan di sini, segala hal dalam keragaman tak-terhingga saling
merembesi satu sama lain secara bebas, tanpa hambatan apa pun. Dalam pengalaman ini, manusia
yang telah kehilangan “egonya” akan menemukan kembali “egonya” dalam bentuk yang benar-benar
berbeda, terlahir kembali sebagai apa yang bsia kita sebut Ego Universal, Kosmis, atau Transendental
yang mentransformasikan dirinya secara bebas ke dalam segala hal yang selalu saling bertransformasi
satu sama lain.
Hal itu mestilah merupakan implikasi sejati dari ungkapan khusus ta t’ung sebagai ganti kata yang lebih
umu tao, Jalan. Masalah ini telah diterangkan dengan sangat jelas oleh Kuo Hsiang yang menjabarkan
pasase ini dengan mengatakan : “ Di dalam ‘sisi batin’ manusia itu tidak ada kesadaran tentang
eksistensi jasmaniahnya sendiri; pada ‘sisi lahiriah’ manusia itu tidak ada kesadaran tentang eksistensi
Langit dan Bumi. Hana dalam kondisi seperti itulah manusia menjadi benar-benar
terindentikkandengan proses (kosmik) Perubahan (yakni, “beragam transformasi”) itu sendiri tanpa
mengalami hambatan apa pun sama sekali. Karena, dalam kondisi demikian, tidak ada yang tidak
dapat dia liputi dengan bebas.
Chuang-tzu sendiri mengungkapkan gagasan yang sama secara jauh lebih singkat :
Dengan menyatu, kau tidak memiliki kesukaan. Dengan mengalami transmutasi, kau tidak memiliki
keterikatan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan sebelumnya, makna dari ungkapan singkat ini dengan
mudah dapat dijabarkan sebagai berikut. Setelah benar-benar menatu dan menerupai Jalan itu sendiri,
maka manusia tidka lagi mempunyai suka dan tidak suka. Dalam kondisi spiritual seperti itu, manusia
melampaui perbedaan-perbedaan umum antara “benar” dan “salah”, “baik” dan “buruk”. Dan karena
manusia kini identik dengan Jalan (tao), serta Jalan itu secara konstan memanifestasikan dirinya dalam
banyak bentuk Wujud, maka manusia itu sendiri “ditransmutasikan” dari satu hal ke hal lainnya, tanpa
ada hambatan apap pun, seolah-olah dia berputar mengelilingi Kehampaan agung. Manusia
sesungguhnya tidak berada dalam “kehampaan”, sebab ada banyak hal yang berdenyyut bersama
Kehidupan yang serba meliputi, muncul dan menghilang dalam beragam bentuk tak terhingga. Namun
demikian, pokonya dalam Kehampaan metafisik ini tiada hal yang menghalangi kebebasan mutlak
manusia tersebut. karena manusia itu sendiri, dalam kondisi ini, benar-benar identik dengan setiap hal
itu, ikut serta dalam pasang-surut kosmik Transmutasi yang berlangsung terus-menerus; atau bahkan
manusia itu merupakan Transmutasi kosmik itu sendiri. Inilah apa yang dimaksudkan dengan
ungkapan : “Kau tidak memiliki fiksitas”. “Tidak memiliki fiksitas” bermakna fleksibilitas tanpa batas dan
kebebasan mutlak.
Tampaknya jelas dari apa yang telah dikemukakan bahwa hsu adalah Kehampaan metafisik dan
spiritual. Pada hakikatnya, perbedaan antara “metafisik” dan “spiritual” dalam konteks ini sepertinya
agak mengada-ada, sebab keadaan yang sedang dibicarakan ini merujuk pada keidentikan total dan
utuh manusia dengan Zat yang Maha Meliputi. Namun, secara teoritis, ada maksud di balik pembedaan
seperti itu. Karena, ketika persoalan itu diungkap pada tingaktan yang lebih praktis ihwal apa yang
secara konkret harus dilakukan untuk menjadi teridentikan secara utuh dengan Jalan (tao), maka kita
harus kembali lagi ke gagasan membuat benak menjadi “hampa”. Hanya setelah orang sukses dalam
membuat benaknya menjadi benar-benar “hampa”, dia dapat menemukan dirinya di tengah-tengah
Kehampaan metafisik. Bagian dari ajaran Chuang-tzu ini merupakan ajran praktis mengenai metode
tepat yang melaluinya manusia dapat berharap mencapai keadaan seperti itu. Metode ini dia sebut
dengan “berpuasa” atau penyucian Benak.
Penyucian Benak merupakan titik sangat penting dalam pengembangan manusia dari perimanusia
“biasa” menuju “Manusia Sempurna. Seorang manusia “biasa” tidak pernah dapat menjadi Manusia
Sempurna kecuali bila dia melewati titik yang menentukan ini. Pentingnya pengalaman ini akan menjadi
jelas jika seseorang mengingat apa yang telah kita lihat dari ungkapan khas Chuang-tzu : “menjadikan
Benak sebagai gurunya sendiri”. Manusia tentu saja cenderung berpegang pada Benaknya – dan Nalar
– serta berpikir dan berbuat sesuai dengan petunjuknya. Apa pun yang Benak katakan untuk
dipercayai adalah mutlak benar, dan apa pun yang Benak perintahkan untuk dilakukan adalah mutlak
baik. Dengan kata lain, manusia memuliakan “egonya” sendiri sebagai “gurunya”.
Dari amatan ini, “penyucian Benak” secara tepat bermakna bahwa manusia harus menghilangkan
kebiasaan “memuliakan” Benak ini, bahwa manusia harus membuang jauh-jauh “egonya” sendiri. Dan
itu adalah langkah pertama transformasi menjadi Manusia Sempurna.
Dalam suatu percakapan imajiner yang dibuat Chuang-tzu dengan maksud untuk menyokong tesisnya,
Konfusius – yang di sini secara ironis dijadikan ahli hikmah pengikut Tao – mengajarkan muridnya, Yen
Hui, tentang bagaimana melaju agar sukses dalam penyyucian Benak.
Dalam dialo g ini, Yen Hui dilukiskan sebagai murid yang berapi-api dan telah mati-matian berjuang
untuk mengetahui cara yang tepat menjadi Manusia Sempurna, namun semuanya sia-sai. Sebagai
upaya terakhir, dia beralih kepada Konfusius dan dengan rendah hati memohon arahannya. Berikut ini
adalah bagian dari dialog dimaksud :
Yen Hui : Aku tidak dapat melanjutkan lebih jauh. Bolehkah aku memohon kepadamu agar kau
memberikan cara yang tepat?
Konfusius : Pertama, berpuasalah. Barulah kemudian aku akan mengajarimu. Apakah kau-anggap
mudah (melihat kebenaran) sementara kau mempertahankan Benakmu? Jika siapa pun mengira itu
mudah, maka Langit yang luas dan cerah tidak akan merestuinya.
Kata yang diterjemahkan dengan berpuasa\, chai, bermakna amelakukan “puasa” pada upacara
pengurbanan untuk menempatkan diri dalam kondisi “kesucian” religius. Dalam konteks ini, Konfusius
menggunakan kata itu tidak dalam pengertian murni religius ini, tetapi sebagai kiasan yang berarti
“puasa Benak”, maksudnya, “penyucian Benak”. Bagaimanapun, Yen Hui tidak memahami hal ini, dan
menggunakan kata itu dalam pengertian umumnya. Dia membayangkan bahwa yang dimaksud
Konfusius dengan kata itu adalah melaksanakan puasa ritual yang berkenaan dengan makan dan
minum. Oleh sebab itu, jawaban menggelikan berikut ini dia berikan kepada Gurunya.
Yen Hui : Keluargaku miskin, sedemikian rupa sehingga aku tidak pernah meminum
miras,s erta tidak memakan bawang putih dan bawang merah selama beberapa bulan. Tidak bisakah
itu dianggap berpuasa?
Konfusius : Apa yang engkau katakan adalah puasa sebagai tuntunan ritual. Itu bukanlah puasa
Benak.
Yen Hu : Bolehkah aku bertanya apa yang kau maksud dengan puasa Benak?
Konfusius : Bawalau seluruh aktivitas Benak menuju titik penyatuan. Janganlah mendengar dengan
telingamu, tetapi dengarlah dengan Benak (yang sudah terkonsentrasi). (Lantas melangkahlah lebih
jauh dan) berhentilah mendengar dengan Benak; dengarlah dengan Ruh (ch’i). Telinga (atau secara
lebih umum, pengindraan) terbatas pada mendengar (yakni tiap indra hanya memahami objek yang
sesuai dengannya secara fisik). Benak terbatas pada (membentuk konsep) yang sesuai dengan objek-
objek eksternalna. Namun, Jiwa itu sendiri adalah “hampa” (tidak memiliki objek-objek tetap yang
sesuai dengan dirinya), dan terus mengalami transformasi tanpa batas sesuai dengan (Transmutasi
dari) berbagai hal (yang terus datang dan pergi). Jalan (tao) secara keseluruhan hanya mewarisi
“kehampaan” (maksudnya, Benak “tanpa ego”). Menjadikan Benak “hampa” (dengan cara ini) adalah
apa yang aku maksud dengan “Puasa Benak”.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, hsu, “hampa”\, merupakan istilah utama dalam filsaafat
Chuang-tzu. Dalam konteks ini, kata itu melukiskan sikap subjektif manusia yang sesuai dengan
struktur Jalan (tao) yang merupakan Kehampaan itu sendiri. Masalah ini sangat ditekankan oleh Lou-
tzu, sebagaimana kita akan lihat secara rinci pada bab berikutnya yang membahas tentang metafisika
Jalan (tao). Di sini kita terutama masih menyinggung tentang segi subjektif dari persoalan tersebut.
gagasan utamanya adalah bahwa jika seseorang “duduk dalam perikelupaan” dengan benak yang
benar-benar “hampa”, maka segala hal datang tepat sebagaimana adanya ke dalam “kehampaan”
tanpa ego ini, sebagaimana segala hal itu datang dan pergi dalam proses Transmutasi kosmik. Dalam
kondisi ini, benaknya dapat dibandingkan dengan sebuah cermin bening yang merefleksikan segala
sesuatu tanpa mengalami distorsi atau kerusakan sedikit pun.
Semua ini tentu saja merupakan persoalan yang mesti dialami secara langsung; pemahaman
konseptual murni hanya bisa sedikit memahami. Yen Hui yang benaknya telah sepenuhnya matang
untuk transformasi persoalan jenis ini – dalam anekdot ini – tiba-tiba menjadi “tercerahkan” melalui
pengajaran gurunya,d an membuat amatan berikut tentang dirinya :
Yen Hu : Sebelum Hui (maksudnya, aku) menerima pelajaran ini, Hui benar-benar bukanlah apa-
apa selain Hui (maksudnya, “aku” merupakan “ego” kecilku, tidak ada lainnya). Namun karena
sekarang saya telah menerima pelajaran ini, saya menyadari bahwa sejak semula tidak pernah ada
(“ego” yang dinamakan dengan) Hui. Apakah kondisi ini layak untuk dianggap “kehampaan” (yang baru
saja engkau bicarakan)?
Konfusius : Sungguh, begitulah adanya!
Kemudian Konfusius mengontraskan keadaan ini dengan “duduk bergerak-gerak”. Lantas dia
memerikan yang pertama dengan membandingkannya pada ruang kosong yang tertutup rapat yang
secara misterius dan tenang menyinari dirinya dengan cahaya putihnya sendiri.
Pandanglah ke dalam ruangan tertutup itu dan lihatlah bagaimana “interiornya” yang kosong
menghasilkan (warna) putih cerah. Seluruh berkah alam masuk untuk menetap dalam keheningan itu.
Sebaliknya, jika (Benakmu) tidak tenang, maka kau berada dalam kondisi apa yang saya namakan
“duduk bergerak-gerak”.
Namun, jika seseorang mengarahkan telinga dan matanya menuju “interior”, serta menempatkan
Benak dan Nalarnya pada “Eksteior” (yakni, meniadakan fungsi normal Benak dan Nalar), maka para
dewa dan ruh pun berdatangan untuk menetap secara bebas ( dalam “interiornya” yang tidak berego
itu), apalagi manusia. Inilah Transmutasi sepuluh ribu hal.
Kalimat terakhir melukiskan salah satu masalah utama metafisika Chuang-tzu. Makana khusus istilah
utama hua telah dijelaskan di atas. Apa yang penting diperhatikan di sini adalah bahwa pada pasase
yang baru saja dikutip, hua, Transmutasi, ternyata dilukiskan sebagai kondisi subjektif manusia,
sebagai sesuatu yang terjadi did alam “interiornya”. Bahkan, “interior” manusia adalah Transmutasi
sepuluh ribu hal, yaitu, tentang semua benda dan peristiwa fenomenal dunia. manusia dalam kondisi
“duduk dalam perikelupaan” yang sempurna mengalami secara subjektif, sebagai pengalaman
rpibadinya, Transmutasi dari segala sesuatu.
Seluruh persoalan itu dapat dirumuskan ulang secara lebih teoritis dalam kerangka proses
perkembangan spiritual manusia menuju pencerahan.
Pada pengalaman manusia biasa, arus konstan dari fenomenal yang berubah-ubah secara tak
terhingga itu ada dalam kuasa Tuhan. Semua itu secara positif menimpa, memengaruhi, mengusik,
melanda dan mengikat manusia. Dalam situasi demikian, manusia adalah hamba atau budak. Benak
manusia menjadi tercabik-cabik dan bercabang ke semua arah untuk mencari bentuk-bentuk
chameleonic (yang berubah-ubah warna) dalam berbagai hal dan peristiwa.
Segera setelah manusia membebaskan dirinya dari perbudakan ini dan melampaui pola pengalaman
umum, maka pemandangan di depan matanya menyajikan penampilan yang benar-benar berbeda.
Pandangan kaleidoskopik masih tetap ada. Berbagai hal dan peristiwa tetap melanjutkan perubahan
dan transformasi sebagaimana sebelumnya. Satu-satunya perbedaan esensial antara kedua tingkatan
itu adalah bahwa pada yang kedua segala sesuatu dan peristiwa yang terus timbul dan tenggelam ini
terpantulkan dengan tenang dalam cermin “batin” manusia yang telah terpoles . manusia itu sendiri
tidak lagi dipusingkan oleh genomena yang berubah tiada henti.
Manusia pada tingkatan ini mengamati berbagai hal dengan tenang, dan benaknya ibarat cermin yang
terpoles. Dia menerima segala sesuatu yang memasuki “batinnya”, dan membiarkannya, tanpa gelisah,
lenap dari pandangannyya. Baginya tidak ada yang harus ditolak, namun tidak ada pula yang harus
dikejar dengan sengaja. Singkatnya, dia berada di luar “baik: dan “buruk”, “benar” dan “salah”.
Selangkah lebih jauh, dia sampai pada tingkat “ketiadaan perbedaan”, ketika segala hal menjadi
“terkacaukan” (chaotified(. Pada tingkatan ini, masih ada banyak hal. Namun, hal-hal ini tidak lagi
memperlihatkan batasan dan sempadan yang “secara esensial” memisahkan satu dengan lainnya.
Inilah tingkatan Transmutasi kosmik. Sudah berang tentu bahwa pada aspek subjektifnya, Transmutasi
melukiskan tingkatan spiritual manusia itu sendiri.
Akibat “puasa Benak” tersebut, manusia itu kini benar-benar “tanpa ego”. Dan karena manusia telah
menjadi “tanpa ego”, maka dia menjadi satu dengan “sepuluh ribu hal”. Dia terus mengalami
perubahan bersama berubahan segala hal yang tak terhingga. Dia tidk lagi menjadi “pengamat” yang
tenang terhadap hal-hal yang berubah. Dia adal subjek dari Transmutasi. Keselarasan yang sempurna
telah sepenuhnya tercapai antara “interior” dan “eksteior”; tidak ada perbedaan lagi antara keduanya.
Meminjam terminologi Ibn ‘Arabi dapat kita katakan bahwa manusia pada tingkatan perkembangan
spiritual setinggi ini secara subjektif bertempat di tingkat Kesatuan Eksistensi (wahdat al wujud), dans
ecara personal mengalami seluruh alam Wujud dalam tingkat itu. Situasi ini dilukiskan oleh Chuang-tzu
dengan cara berikut :
Mati dan hidup, bahagia dan sengsara, berada dalam kesulitan dan dalam kelapangan, miskin dan
kaya, cerdas dan tidak becus, dihina dan dimuliakan, lapar dan haus, menderita kedinginan dan
kepanasan – semua ini hanyalah perubahan-perubahan tanpa henti dari berbagai hal (fenomenal), dan
merupakan akibat dari jalannya Nasib yang senantiasa berlangsung.
Segala hal ini silih berganti antara satu dengan lainnya di depan mata kita sendiri, namun tidak ada
orang yang dengan akalnya mampu melacak sumber awal dari semua hal tersebut.
Walaupun begitu, perubahan-perubahan ini tidak cukup kuat untuk mengganggu (manusia yang “duduk
dalam perikelupaan, lantaran dia benar-benar menyatu dengan Transmutasi itu sendiri), juga tidak
mampu mengusik “khazanah terdalam” (manusia semacam itu.
Sebaliknya, dia memelihara (‘Khazanah terdalam” miliknya) dalam keselarasan yang damai dengan
(segala perubahan) sehingga dia menjadi satu dengan semuanya itu tanpa mengalami hambatan, dan
tidak pernah kehilangan keceriaan spiritual.
Siang dan malam, tanpa henti, dia senang berasa dalam gelombang pasang bersama segala sesuatu.
Saat berbaur dengan 9berbagai hal yang berubah terus menerus tanpa tingkatan eksistensi yang
nonindriawi) dia terus menciptakan “waktu” (dunia) dalam “interiornya”.
Keadaan demikian itu saya sebut sebagai kesempurnaan (yakni, aktualisasi yang sempurna) dari
potensialitas manusia.
Manakala manusia menggapai perkembangan spiritual setinggi ini, dia sepenuhnya pantas mendapat
gelar Manusia Sempurna. Namun, hal ini bukan merupakan derajat terakhir dan puncak dari “duduk
dalam perikelupaan”. Masih ada lagi tingkatan yang lebih tinggi. Aitu, tingkatan “tidak lagi Mati, tidak
lagi Hidup.” Chuang-tzu terkadang menamakannya dengan “titik ekstrem” (chih) dari pengetahuan
(chih). Pada tingkatan terakhir ini, manusia bukan hanya seutuhnya menyatu dengan perubahan
dawam “sepuluh ribu hal” – sebagaimana halnya ketika dia berada pada tingkatan sebelumna – tetapi
menyatu padu dengan “Misteri dari segala Misteri”, tingkat metafisik puncak dari Sang Mutlak, sebelum
Dia turun memasuki ranah Transmutasi universal. Saking menyatunya dengan Jalan, manusia ini
bahkan sampai tidak sadar bahwa dia menyatu dengan Jalan tersebut. jalan (tao) pada tingkatan ini
tidak hadir seperti Jalan (tao) dalam kesadaran manusia. Begitulah adanya lantaran memang tidak ada
“kesadaran” di manapun, sekalipun hanya sekilas. “Perikelupaan” yang berlangsung sudah sempurna.
Dan aktualisasi “perikelupaan” yang demikian sempurna itu bisa dijelaskan sekedar sebagai acuan
terhadap fakta metafisik bahwa Sang Mutlak, Jalan (tao), dalam kemutlakannyya yang sempurna
merupan Sesuatu yang tidak seorang pun bisa menyebutnya sebagai “sesuatu”. Karenanya, kebiasaan
umum dalam filsafat-filsafat dunia Timur memberikan acuan pada Sang Mutlak itu sebagai Bukan
Sesuatu (Nothing).
Tingkatan-tingkatan perkembangan spiritual yang dilukiskan di atas tentang “perikelupaan” telah
dibahas secara beragam oleh Chuang-tzu pada beberapa tempat dalam bukunya. Kadang-kadang dia
menempuh jalan menaik, dan kadang-kadang jalan menurun. Jalan naik sesuai dengan proses
sebenarnya yang melaluinya benak seorang manusia setahap demi setahap melaju menuju
kesempuaan spiritual. Contoh khas tentang jenis deskripsi ini ditemukan pada pasase yang diakui
sebagai reproduksi percakapan antara seseorang bernama Nan Po Tzu K’uei dan seorang Lelaki (atau
Perempuan?) Sempurna bernama Nu Yu. Pada pasase ini, Chuang-tzu memberikan gambaran tentang
tingkatan-tingkatan yang dilalui oleh seorang manusia yang lahir dengan potensi khusus untuk menjadi
seorang Manusia Sempurna hingga dia benar-benar mencapai tingkatan terakhir. Deskripsi itu sangat
menarik apabila dianggap sebagai sutu bandingan Taois atas kefanaan atau peniadaan-diri dalam
Islam.
Percakapan bermula dari keheranan Nan Po Tzu K’uei pada air muka si tua Nu Yu, yang,
sebagaimana dia amati, laksana air muka seorang bocah.
Nan Po Tzu : Engkau adalah orang yang sudah tua, wahai guru, namun air mukamu seperti seorang
bocah. Mengapa?
Nu Yu : (Ini karena) saya telah mengenal Jalan (tao).
Nan Po Tzu : Mungkinkah saya mempelajari Jalan tersebut?
Nu Yu : Tidak. Bagaimana mungkin? Engkau bukanlah jenis orang yang tepat untuk
mempelajarinya. Engkau kenal Pu Liang I. (Sejak semula) dia emmiliki potensi alamiah untuk menjadi
seorang “manusia suci”, namun dia belum mendapatkan Jalan (tao), sedangkan saya memiliki Jalan
itu, namun tidak memiliki “potensi”. Saya ingin memberinya petunjuk untuk melihat apakah, barangkali,
dia dapat menjadi “manusia suci”. Meskipun saya harus gagal mencapai tujuanku, namun (aku kira),
mudah bagi manusia yang memiliki Jalan untuk menyampaikannya kepada orang yang memiliki
potensi untuk menjadi seorang “manusia suci”. Maka itu, saya selalu mengajarnya. Setelah tiga hari,
dia telah belajar menempatkan dunia di luar Benaknya.
Tindakan “menempatkan dunia di luar Benak”, yyaitu melupakan eksistensi dunia, menandai
dicapainya tingkatan pertama. Sebagai sesuatu yang objektif – dan karenanya secara relatif jauh dari
Benak – “dunia” merupakan hal yang paling mudah untuk dihilangkan dari kesadaran manusia.
Setelah dia menempatkan dunia di luar dirinya, saya terus mengajarinya. Dan dalam tujuh hari, dia
telah belajar sebagaimana menempatkan segala sesuatu di luar Benaknya.
Tindakan “menempatkan segala sesuatu di luar Benak” melukiskan tingkatan kedua. Melupakan
adanya dunia tidaklah terlalu sulit, namun “segala sesuatu” yang sangat terkait erat dengan manusia
tidak mudah terhapus dari kesadaran. Sebagaimana Kuo Hsang katakan “ “Berbagai hal dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, hal-hal itu sangat erat dengan ego. Inilah mengapa hal-hal
dimaksud begitu sulit untuk ditempatkan di luar Benak. Sedangkan Ch’eng Hsuan Ying menuturkan :
“Keadaan seluruh dunia bersifat asing dan jauh tersingkir dari kita; jadi mudah untuk melupakannya.
Berbagai hal dan alat yang membantu kehidupan sehari-hari kita adalah akrab bagi kita; jadi sulit untuk
melupakannya”. Dengan melupakan hal-hal yang sudah akrab di sekliling ktia dan terkait melalui
berbagai cara dengan kehidupan sehari-hari kita, maka dunia eksternal akan seutuhnya hilang dari
kesadaran kita.
Setelah dia menempatkan berbagai hal di luar Benaknya, saya terus mengajarnya. Dan dalam
Sembilan hari, dia telah belajar bagaimana menempatkan Kehidupan di luar Benak.
Inilah tingakatan ketiga. Ia terdiri dari tindakan manusia melupakan Kehidupan, yaitu, menghapuskan
fakta tentang kehidupannya sendiri dari kesadarannya, dari eksistensi pribadinya sendiri. Inilah
tingkatan melepaskan “ego”. Akibatnya, dunia, dalam aspek-aspek eksternal dan internalnya,
menghilang dari kesadaran. Tingkatan ini segera diikuti oleh tingkatan berikutnya yang merupakan
kedatangan fajar “pencerahan” yang tak terduga.
Setelah dia menempatkan Kehidupan di luar Benaknya, (mata batinnya terbuka sebagaimana) cahaya
pertama fajar menyeruak (di kegelapan malam).
Begitu “pencerahan” ini diraih, tidak ada lagi tingkatan-tingkatan sesudahnya. Atau boleh dibilang, ada
tingkatan-tingkatan, tetapi tidak muncul secara berturut-turut; semua tingkatan itu menjadi teraktualisasi
secara serentak. Jika itu dianggap merupakan “tingkatan-tingkatan”, maka tingkatan-tingaktan itu harus
dilukiskan sebagai tingkatan-tingkatan horizontal yang terjadi seketika dan Bersama itu mata batin
terbuka melalui sinar fajar spiritual yang menembus. Yang pertama dari tingkatan-tingkatan itu adalah
“memersepsi Keesaan Mutlak”.
Saat fajar menyingsing, dia melihat Keesaan.
Inilah momenketika segala hal dan “aku” menyatu tunggal secara mutlak. Tidak ada lagi pertentangan
subjek dan objek- - subjek yang “melihat” dan objek yang “dilihat” benar-benar menyatu – tidak ada lagi
perbedaan antara “ini” dan “itu”, “eksistensi” dan “non eksistensi”. “Aku” dan dunia dikembalikan
kepada kesatuan orisinalnya yang mutlak.
Dan setelah melihat Keesaan, tidak ada lagi (dalam eksdarfannya) masa lalu dan masa sekarang.
Peda tingkatan Keesaan mutalk, tidak ada lagi kesadaran tentang perbedaan antara “masa lalu” dan
“masa sekarang”. Tidak ada lagi kesadaran tentang “waktu”. Kita dapat melukiskan situasi ini secara
berbeda dengan mengatakan bahwa manusia sekarang berada dalam Sekarang yang abadi. Dan
karena tidak ada lagi kesadaran tentang “waktu” yang terus berputar, maka manusia berada dalam
kondisi “tidak Mati dan Tidak Hidup”.
Setlah meniadakan masa lalu dan sekarang, dia mampu memasuki kondisi “tdaik Mati dan tidak
Hidup”.
Kondisi “tidak Mati dan tidak Hidup” bukanlah sesuatu selain daripada kondisi Sang Mutlak itu sendiri.
Manusia pada tingkatan ini beradsa tepat di tengah-tengah Jalan, terhubungkan dan menyatu
dengannya. Dia berada di luar Kehidupan dan Kematian, sebab Jalan yang telah menyatu dengannya
berada di luar Kehidupan dan Kematina.
Keadaan Jalan atau Sang Mutlak, bagaimanapun, tidaklah sekadar berada di lura Kehidupan dan
Kematian. Sebagaimana tampak jelas melalui proses epistemologis yang melaluinya manusia pada
akhirnya mencapainya, kondisi ini bukanlah “kenihilan” dalam pemaknaan yang semata-mata negative.
Agaknya kondisi ini lebih merupakan puncak metafisika. Kesatuan mutlak, yang kepadanya disperse
Keragaman ontologis dikembalikan. Ia merupakan Kesatuan yang terbentuk melalui penyatuan
“sepuluh ribu hal”, suatu Kesatuan di mana segala yang ada direduksi menjadi Ketiadaan.
Tiada “Kematian dan Kehidupan” di sini. Jelasnya, inilah peri-Ketenteraman dan Keheningan yang
utuh. Tidak ada lagi sedikit pun kegaduhan dan kehebohan alam esksitensi indriawi. Namun begitu,
peri-Keheningan ini bukanlah keheningan Kematian. Tidak ada lagi Gerakan yang dapat teramati.
Tetapi, ia bukanlah keadaan tanpa gerak dalam pengertian yang benar-benar negative. Ia lebih
merupakan keadaan tanpa gerak yang bersifat dinamis, penuh dengan tegangan-tegangan ontologis
internal, dan di dalam dirinya tersimpan kemungkinan-kemungkinan Gerakan dan aksi yang tak
terhingga.
Dengan demikian, dalam kedua aspek yang baru saja disebutkan, itulah coincidentia oppositorum.
Dalam pandagan ini, Sang Mutlak merupakan Sesuatu yang terus merealisasikan dan
mengaktualisasikan “sepuluh ribu hal” dalam banyak bentuknya dan mentransformasikannya dalam
proses Transmutasi tanpa batas, dan bahkan pada waktu yang bersamaan mempertahankan segala
hal ini dalam Kesatuannya yang supratemporal dan supraspasial. Inilah Kesatuan yang merupakan
Keragaman itu sendiri. Inilah Keheningan yang merupakan Gelegar itu sendiri.
Pada akhir pasase itu Chuang-tzu menjelaskan aspek Jalan (tao) ini melalui katga-kata berikut :
Yang membunuh Kehidupan tidak akan mati. Yang menghidupkan segala yang hidup tidaklah hidup.
Dengan sifat itu ia melepas segala sesuatu, dan menyambut segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang
tidak ia binasakan. Tidak ada sesuatu yang tidak ia sempurnakan. Dalam aspek ini, ia dinamakan
Kegaduhan-Ketenteraman”. Nama Kegaduhan-ketenteraman menunjukkan fakta bahwa ia
(maksudnya, Jalan tersebut) mengatur (segala hal) kegaduhan dan agitasi dan selanjutnya menuntun
segalanya itu menuju Ketenteraman.
Kita harus mencamkan bahwa pada tingkatan tertinggi spiritualitas ini, manusia benar-benar menyatu
dan terhubungkan dengan Jalan tersebut. Mengingat, bagaimanapun, Jalan itu tidak lain dari
Ketenteraman-Kegaduhan, maka manusia yang menyatu dengan Jalan itu bergerak melalui proses
kosmik dari Kesatuan mutlak yang berdiversifikasi dalam kegaduhan dan agitasi menjadi “sepuluh ribu
hal” ini, dan “sepuluh ribu hal” itu kembali lagi menuju peri_Ketenteraman semula. Ontology Taoisme
merupakan ontology yang didasarkan pada pengalaman semacam itu. Mungkin wajar bagi kita untuk
membayangkan bahwa pandangan Wujud dalam mata spiritual orang bijak penganut Tao akan
merupakan sifat dan struktur yang sangat berbeda dengan sifat dan struktur pengikut Aristoteles,
msialnya, yang mendasarkan bangunan filsafatnya di atas pengalaman ontologis biasa dari seorang
manusia biasa yang memandang dunia di sekitarnya pada tingkatan akal sehat yang kuat dan kukuh.
Sudut pandang yang sangat alamiah dari para filosof pengikut Aristoteles adalah esensialisme. Pada
zaman Cina Kuno, sudut pandang esensialis diwakili oleh Konfusius dan alirannya. Lou-tzu dan
Chuang-tzu mengambil sikap keras terhadapnya. Bab berikutnya akan dicurahkan untuk menjelaskan
pokok masalah ternteu ini. {}{}{}

6. MENENTANG ESENSIALISME

Menjelang akhir bab sebelumnya saya telah tunjukkan fakta bahwa menurut Chuang-tzu, tingkatan-
tingkatan “duduk dalam perikelupaan” ditemukan dalam dua arah yang berlawanan : naik dan turun.
Yang pertama sesungguhnya berawal dari tingkatan terendah dan menaik setahap demi setahap
menuju tingkatan puncak dan tertinggi. Contoh tipikal jenis deskripsi ini sudah saya kemukakan.
Yang kedua, alur turun, merupakan kebalikan dari yang pertama. Ia berawal dari tingkatan tertinggi dan
bergerak menuju tingkatan terendah. Sebagai pendahuluan yang cocok untuk topik utama bab ini, kita
akan memulai dengan menerjemahkan satu pasase dari Chuang-tzu pada saat tingkatan-tingkatan itu
dilukiskan dengan cara tersebut. Pada pasase ini, Chuang-tzu, alih-alih membicarakan “duduk dalam
perikelupaan”, membagi pengetahuan manusia tentang REalitas menjadi empat kelompok yang
membentuk sederetan tingkatan yang berurutan. Tingkatan-tingkatan ini merupakan tahapan-tahapan
epistemologis yang bersesuaian dengan tahapan-tahapan ontologis yang oleh Lou-tzu dalam Tao Te
Ching dibedakan dalam proses segala sesuatu di alam Wujud yang muncul secara berkesinambungan
dari Kesatuan mutlak Jalan (tao).
Apakah batas puncak pengetahuan? Ia merupakan tingkatan yang tergambarkan melalui anggapan
bahwa tidak ada yang benar-benar eksis dari awal. Inilah batas terjauh (Pengetahuan), yang untuknya
tidak ada lagi yang dapat ditambahkan,
Sebagaimana kita lihat pada bab sebelumnya, inilah tingkatan puncak yang untuknya manusia
mencapai akhir “duduk dalam perikelupaan”. Di sini, manusia benar-benar menyatu dengan Jalan itu
dan berhubungan dengan Realitas mutlak, sehingga Jalan (tao) atau Realitas pun tidak lagi disadari.
Inilah tingkatan Kehampaan dan Ketiadaan dalam pemaknaan yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya.
Ihwal tingkatan ini, Kuo Hsiang mengatakan : “Manusia pada tingkatan ini telah sepenuhnya
melupakan Langit dan Bumi, menempatkan segala sesuatu yang ada di luar benaknya. Di sisi luar, dia
tidak memersepsi eksistensi alam semesta; di sisi dalam, dia telah kehilangan seluruh kesadaran
tentang eksistensinya sendiri. Karena ‘hampa’ secara tidak terbatas, dia sama sekali tidak mengalami
hambatan. Dia terus mengalami perubahan sebagaimana berbagai hal itu sendiri mengalami
perubahan, dan tidak ada sesuatu yang tidak sesuai untuknya”.
Berikutnya adalah tingkatan ketika terdapat kesadaran tentang “berbagai hal” yang mewujud. Namun,
(dalam kesadaran ini) “batas-batas” di antaranya tidak pernah ada seperti sediakala.
Pada tingkatan kedua ini, manusia menjadi sadar akan Jalan yang mengandung segala sesuatu dalam
potensialitas murni. Jalan itu akan mendiversifikasikan dirinya sendiri pada tahapan berikutnya menjadi
“sepuluh ribu hal”. Namun, di sini belum ada ‘batas-batas’ di antara berbagai hal itu. “Berbagai hal” itu
masih merupakan Keseluruhan tidak-terbagi yang terdiri atas banyak unsur heterogen yang secara
potensial tidak terbilang. Semua itu masih dalam medan yang rata, Kekacauan, di mana berbagai hal
itu belum memiliki perbedaan-perbedaan “esensial”.
Berikutnya (maksudnya, tingkatan ketiga) merupakan tingkatan di mana “batas-batas” mulai dikenali (di
antara berbagai hal itu). Namun, hingga kini benar-benar tidak ada perbedaan yang dibuat antara
“benar” dan “salah”.
Di sini Kekacauan (chaos) mulai menyingkapkan bentuk-bentuk tertentu dari beragai hal yang ada
dalam dirinya.s egala hal menunjukkan garis-garis batasnya sendiri,d an setiap hal denga jelas
menandai “batasnya” sendiri yang dengannya ia membedakan dirinya dari hal-hal lain. Inilah tingkatan
“esensi-esensi” murni. Kesatuan awal itu mulai emmbagi dirinya, dan terdiversifikasi menjadi
Keragaman, sedangkan Sang Mutlak memanifestasikan diri-Nya sebagai maujud-maujud “relatif” tak
terbilang. Akibatnya, Realitas yang sebelumnya berada di luar jangkauan pengetahuan manusia untuk
pertama kalinya masuk dalam tangkapannya.
Namun, pada tingkatan ini sekalipun, perbedaan antara “benar” dan “salah” belum dibuat. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada tingkatan ketiga ini kita masih berhubungan erat dengan Jalan dalam
integritas awalnya, walau pun, tentu saja, kontak dengan Jalan itu sudah tidak lagi secara langsung,
sebab kontak itu dibuat melalui tabir “esensi-esensi”. Kita mungkin ingat mitos tentang Kaisar
Kekacauan (Hun Tun), yang kita baca pada bab 2, yang tewa segera setelah sahabat-sahabatnya
membuat lubang-lubang pada wajahnya yang “tak berbentuk”. Terkait dengan pasase ini, dalam mitos
itu terdapat penyederhanaan yang berlebihan. Karena Kekacauan tidak akan “mati” semata-mata
dengan “lubag-lubang” (maksudnya, perbedaan-perbedaan “esensia;”) yang dibuat padanya. Kematian
Kekacauan yang sebenarnya terjadi pada tahap berikutnya.
Tetapi, begitu “benar” dan “salah” benar-benar mengemuka, maka Jalan menjadi rusak. Dan begitu
Jalan itu rusak, lahirlah Cinta.
Dengan munculya “benar” da “salah”, Kekacaua kehilangan vitalitas alamiahnya dan terfosilkan
sebagai “bentuk-bentuk esensial” yang kaku dan tidak lentur laksana bangkai. Sebagaimana Wang
Hsien Ch’ien tuturkan : “Ketika “benar” dan “salah” dikenali, maka integritas Chaotic Jalan segera
tergerus”.
Dan hal ini terjadi seiring dengan lahirnya Cinta. Kelahiran Cinta melambangkan aktivitas emosi
manusia seperti cinta dan benci, suka dan tidak suka. Inilah tingkatan terakhir dan terendah dari
Pengetahuan.
Tentu saja ada aspek lain ihwal masalah tersebut. jalan ini konon mati bersamaan dengan munculnya
emosi-emosi manusia seperti cinta dan benci. Namun, hal itu hanya apabila orang melihatnya terkait
dengan integritas Chaostic semula, yakni “ketiadaan pembedaan” orisinal Sang Mutlak. Bila tidak
dilihat dalam kaitan itu, segala sesuatu sebetulnya merupakan manifestasi tertentud ari Jalan itu
sendiri. Dan begitu pula “esensi” yang terfosilkan pun bukanlah sesuatu selain dari “Determinasi-diri”
Sang Mutlak. Namun, aspek persoalan ini tidaklah relevan dengan topik pembahasan kita sekarang.
Sebagaimana telah beberapa kali saya nyatakan – dan penting untuk mengingatnya sekali lagi dalam
rangka memahami dengan benar pandangan filosofis Chuang-tzu ihwal “esensialisme” – penjabaran
yang baru saja diberikan tentang empat tingkatan itu bukanlah suatu teori abstrak; ia merupakan
penjelasan tentang fakta yang berdasarkan pengalaman. Ia merupakan pemerian fenomenologis iheal
pengalaman ekstasis (kebahagiaan luar biasa). Pada bagian yang baru saja dikutip, proses ekstasis
dijelaskan dalam urutan menurun. Maksudnya, Chuang-tzu melukiskan :kembalinya” kesadaran. Dia
memulai dari tahap kotemplasi tertinggi ketika “peripelupaan” telah menyempurna, dan menurun
selangkah-demi selangkah hingga mencapai tingkatan kesadaran normal.
Apa yang harus diperhatikan betul sehubungan dengan persoalan ini, entah ditinjau dalam urutan
menurun ataupun menaik, proses ekstasi terdiri dari dua aspek yang benar-benar saling bersesuaian.
Satunya adalah aspek subjektif, yang dapat kita namakan “aspek epistemologis”, dan yang lainnya
adalah aspek objektif, atau aspek “metafisik”.
Ambillah,s ebagai contoh, tahap tertinggi. Pada sisi subjektifnya, sebagaimana baru saja saya
sebutkan, ia merupakan tahapan di mana pelaku kontemplasi telah meraih ekstasis. Dia kini berada
dalam “perikelupaan” utuh tentang segala sesuatu, termasuk dunia dan dirinya. Hal ini tentu saja
bermakna bahwa dia beradsa dalam peri-Ketiadaan (Nothing-ness), lantaran dia tidak sadar akan apa
pun dan (memang) tidak ada “kesadaran”. Ketiadaan subjektif ini selaras dengan Ketiadaan objektif
tentang Jalan. Karena Jalan (tao) juga ebrada dalam Ketiadaan murninya yang mutlak, suatu keadaan
“di mana tidak ada yang benar-benar mewujud sejak awal”, yakni, sesuatu keadaan metafisik di mana
tidak ada apa pun yang dapat dibedakan sebagai maujud.
Dari peri-Kehampaan sempurna itu, subjektif dan objektif, pelaku kontemplasi mulai kembali menuju
keadaa pikrian sehari-hari. Awalnya dia mengaduk-aduk sesuatu di dalam dirinya. Kesadaran terjaga di
dalam dirinya untuk menemukan “pelbagai hal” yang mewujud. Namun, kesadaran apda tingkatan ini
pun merupakan cahaya suram dan redup. Ia belum menjadi kecermelangan siang hari yang
menyilaukan mata. Ia masih berupa senja kesadaran, suatu sore di saat segala hal hanya dapat dilihat
secara tidak tegas dan membingungkan.
Penjelasan situasi seperti itu mungkin mengesankan sebagai evaluasi yang negatif. Kondisi kesadaran
pada tingkatan ini dilukiskan sebagai cahaya temaram semata-mata karena penjelasan itu dibuat
melalui sudut pandang kesadaran normal dari suatu benak biasa. Bagi kesadaran normal, cahaya
kesadaran ekstatis tampak temaram dan tidak tegas sebab ia tidak (mampu) membedakan dan
memilah antara satu dengan lainnya. Namun, pada hakikatnya, ketidakjelasan itu, menurut Chuang-
tzu, adalah Realitas sebagaimana adanya.
Mengingat keadaan Realitas sesungguhnya adalah bersifat “suram” dan “tidak tegas”, maka kesadaran
pasti juga “suram” dan “tidak tegas”. Hanya dengan cahaya suram itulah Realitas dalam integritasnya
dapat mencerahkan. Cahaya kesadaran normal yang berkilauan dan menyilaukan dapat memberikan
kesadaran yang kuta tentang objek partikular ini atau objek partikular itu. Namun, dengan memusatkan
cahaya pada objek partikular tersebut, cahaya itu menjadikan seluruh alam tenggelam ke dalam
kegelapan. Berkenaan dengan masalah ini, Chuang-tzu menyatakan :
Oleh karena itu, Cahaya yang memancar dan temaram itulah yang dituju oleh “manusia suci”.
Bagaimanapun, dia tidak menggunakan Cahaya ini (untuk mencerahkan benda-benda partikuler),
namun meminjakannya untuk segala hal secara universal. Inilah yang dinamakan dengan
“pencerahan”.
Frase yang di sini diterjemahkan sebagai “Cahaya yang memancar dan temaram” itu bermakna sejenis
cahaya yang darinya seseorang tidak dapat meyakini apakah ia ada ataukah tidak; seberkas cahaya
yang tidak terpusatkan pada objek partikulae ini atau objek particular itu yang “memancar” dan
menyebar luas ke semua arah. Ia bukanlah cahaya redup dan temaram, bukan cahaya terang ataupun
gelap. Namun, pada kenyataannya, ia adalah Cahaya Universal yang mencerahi segala sesuatu
seperti apa adanya.
Chuang-tzu menamakan jenis Cahaya spiritual ini juga sebagai “Cahaya yang terhalangai”.
Sebagaimana Ch’eng Hsuan Ying paparkan : “(Benak manusia suci”) lupa (untuk membedakan
berbagai hal) namun mencerahi semuanya. Dan senyampang dia mencerahi semua, dia pun
melupakan semua. Itulah mengapa dia memburamkan dan menghalangi cahanya, kendatipun justru
dia menjadi semakin berkilau”.
Sisi “objektif” yang selaras dengan tahap ini secara ontologis merupakan tahap paling penting menurut
Chuang-tzu. Dalam Cahaya yang redup dan memancar dari kesadaran pelaku kontemplasi, “sepuluh
ribu hal” tampak menyheruak seolah-olah melalui kabut. Mereka tampak suram dan tidak tegas sebab
tidak ada “sempadan-sempadan”, yakni “esensi-esensi” atau “kuiditas-kuiditas” tertentu, untuk
membeda-bedakan satu dengan lainnya.
Saya katakana bahwa hal ini secara ontologis merupakan tahapan yang paling penting bagi Chuang-
tzu, lantaran tahapan yang lebih tinggi, tingkatan Sang Mutlak dalam kemutlakannya, tentunya berada
di luar seluruh pemikiran dan penalaran. Sedangkan tingkatan yang lebih rendah adalah tingkatan
berbagai “esensi” atau “kuiditas”, ketika segala hal tampak menuju kesadaran yang secara jelas saling
terpisahkan satu dengan lainnya melalui “Batasan-batasannya”. Chuang-tzu memerangi pandangan
bahwa tingkatan ini merepresentasikan Realitas seperti apa adanya.
Dengan demikian, kita melihat bahwa tingkatan “choitifikasi”, pada saat segala hal dilihat dalam
“ketiadaan perbedaannya” yang asli, yaitu, di luar dan terpisah dari “esensi-esensi”, merupakan
masalah sangat penting dalam metafisika Chuang-tzu. Kita dapat menamakan metafisika ini sebagai
“eksistensialisme”, dengan memaknai kata “eksistensi” (existential) dalam pengetian yang sama
dengan wujud dalam system metafisika Ibn ‘Arabi.
Sejak awal saya telah menekankansecara implisit dan eksplisit akan sikap “eksistensialis” Chuang-tzu.
Saya kira kini saya telah menjadikannya cukup jelas bahwa makna sesungguhnya mejnjadi dapat
dipahami hanya apabila kita mengaitkannya dengan tingkatan kedua (dari atas) “duduk dalam
perikelupaan”. Ia merupakan suatu pandangan filosofis yang didasarkan pada visi tentang Chaos.
Dalam hal ini. Ia ebrtentangan dengan pendapat yang diambil “esensialisme” yang didasarkan pada
visi tentang Realitas yang terbatas pada, dan tipikal, tahap epistemologis-ontologis penampakan “
sepuluh ribu hal”, masing-masing dengan “Batasan-batasannya” yang sangat jelas. Berkenaan dengan
proses “duduk dalam perikelupaan” – proses pengembalian ekstasis sempurna menuju alam akal sehat
yang “normal” – pandangan “esensialis” itu masuk dalam tingkatan ketiga yang dijelaskan di atas.
Dengan begitu, dalam kerangka pengalaman tersebut, “eksistensialisme” menggambarkan sebuah visi
tentang Realitas yang merupakan tingkatan lebih tinggi disbanding dengan “esensialisme”. Adalah
penting untuk diperhatikan bahwa esensialisme dianggap sebagai tingkatan ketiga dalam proses
Kembali dari kontemplasi ekstatis sepanjang ia berada dalam kerangka khusus ini. Bagaimanapun,
pada hakikatnya, pelaku kontemplasi itu, saat dia turun menuju tingkatan ini dan menyadari berbagai
hal beserta “Batasan-batasan” tergasnya, maka sesungguhnya dia telah setaraf dengan manusia biasa
yang tidak mengetahui apa-apa tentang pengalaman akstetis. Padangannya tentang Wujud pada
tingkatan khusus ini bukanlah sesuatu yang tidak wajar dari sudut pandang akal sehat. Sebaliknya,
pandangan itu merupakan pandangan tentangn Wujud yang umum untuk,dan dimiliki oleh, semua
manusia yang sepenuhnya berpikiran “logis” dan “normal”. Dengan kata lain, “esensialisme”
merupakan ontology tipikal
Betapapun, pernyataan ini tidak harus dipahami dengan implikasi bahwa, bagi Chuang-tzu atau Lou-
tzu, “esensialisme” merupakan pandangan yang salah dan keliru tentang Wujud, dan bahwa ia
menidtorsi dan merusak struktur sejati berbagai hal. Karena “esensialisme” tidak mewakili dan sesuai
dengan tingkatan tertentu dalam proses penyebaran. Sang Mutlak itu sendiri. Di samping itu,pada sisi
subjektifny, sebagaimana telah ktia lihat, “esensialisme” merupakan tingkatan ketiga dari “duduk dalam
perikelupaan” pada proses kembali dari kontemplasi. Jadi, tidak ada yang salah dengan esensialisme.
Persoalan serius muncul hanya apabila akal sehat menolak untuk melihat perbedaan apa pun dalam
kerangka “tingkatan-tingkatan” ontologis antara “eksistensialisme” dan “esensialisme” serta mulai
menegaskan bahwa esensialisme merupakan satu-satunya pandangan yang benar terhadap Wujud.
Bila sudah begitu, barulah seorang Chuang-tzu tampil dalam pemberontakan terbuka atas
“esensialisme”. Namun, mengingat esenisalisme merupakan fitrah akal sehat untuk memandang
berbagai hal secara “esensialis”, maka Chuang-tzu dalm Lou-tzu senantiasa merasa diri mereka
terpaksa memanifestasikan sikap pemberontakan menentang padangan yang demikiian. Filsafat
mereka, dalam kaitan ini, mungkin layak disebut sebagai pemberontakan menentang “tirani” Nalar.
Chuang-tzu melihat contoh khas pandangan “esensial” dalam filsafat moral Konfusius. Filsafat
Konfusius,d alam pandagan Chuang-tzu, tidak lebih daripada elaborasi etika “esensialisme” ontologis.
Keutamaan-keutamaan yang disebutkan Konfusius, seperti “kemanusiaan”, “keadilan”,d an
sebagainya, tidak lain merupakan beberapa produk aktivitas Benak normal yang tentu saja cenderung
melihat berbagai hal secara kasar ditentukan “esensi-esensin-nya” sendiri. Realitas dalam kemutlakan
tidak memiliki “Batasan-batasan” seperti itu. Namun, seorang Konfusius membuat perbedaan-
perbedaan yang tidak ada, dan merekayasa darinya serangkaian kategori etika ketat dan kaku demi
mengatur perilaku manusia.
Berhenti! Berhenti mendekati manusia dengan (ajaranmu tentang) kebajikan-kebajikan! Sungguh
berbahaya, berbahaya sekali (apa yang kau lakukan itu) untuk menggaris-garis landasan dan melintasi
Batasan-batasan.”
“Esensialisme” ontologis dianggap berbahaya sebab segera setelah kita mengambil sikap itu, kita pasti
akan kehilangan kelenturan alamiah benak kita dan akibatnya kehilangan pandangan tentang
“ketiadaan perbedaan” mutlak yang merupakan sumber dan dasar hakiki segala sesuatu yang ada.
“Esensialisme” tidak akan terus berada dalam lingkup ontology; tentu saja ia akan tumbuh menjadi
kategorisasi sederetan nilai yang begitu telah termapankan, akan mulai mendominasi seluruh system
perilaku kita.
Pada pasase berikut, Chuang-tzu melayangkan gambaran simbolis melalui sindiran tajam menyangkut
sejumlah orang yang sia-sia terlibat dalam diskusi-diskusi hangat seputar “nilai-nilai” ebrbagai hal,
sambal menganggapnya sebagai sesuatu yang mutlak, sesuatu yang pasti tak dapat diganggu-gugat :
Mata air telah mengering, dan semua ikan bergeletakan di atas tanah. (Di saat-saat menjelang mati)
mereka saling menghembuskan napas lembab dan berusaha untuk saling membasahi dengan buih
dan busa. Akan jauh lebih baik bagi mereka jika mereka dapat saling melupakan di dalam sungai atau
laut lepas. Demikian pula, banyak orang memuji “manusia agung” dan mencela “manusia buruk”.
Namun, akan jauh lebih baik jika merka melupakan keduanya (“baik” dan “buruk”) dan bebas
“bertransmutasi” dengan Jalan itu sendiri.
“Esensialisme” rupa-rupanya adalah pandangan filosof yang sangat cocok bagi benak manusia.
Apapun, Nalar dan akal sehat yang selain merupakan bentuk kasar dari Nalar, tentu saja cenderung
mengambil posisi “esensialis”. Itulah tumpuan pemikiran kita yang biasa.
Intisari pandangan “esensialis” dapat disajikan secara tepat sebagai sebuah tesis bahwa segala
sesuatu memiliki “esensi” atau “kuiditas”, yang masing-masingnya diberi garis tegas melalui
“esensinya” dari selainnya. Sebuah meja adalah meja, sebagai contoh, dan tidak pernah dapat menjadi
kursi. Buku yang berada di atas meja itu, “secara esensial” adalah buku, dan “secara esensial” berbeda
dengan, atau lain dari meja itu. Ada “sepuluh ribu”, maksudnya, tidak terbilang, berada di dunia.
Namun, tidak ada kebingungan di antara mereka, karena mereka terpisahkan satu sama lain melalui
garis-garis dimarkasi yang tegas atau “Batasan-batasan” yang dipasok oleh “esensi-esensi” mereka.
Sebagaimana telah saya ungkapkan, ontology “esensialis” ini sendiri bukanlah sesuatu yang harus
ditolak. Ia memberikan gambaran yang benar tentang berbagai hal, jika diletakkan di tempat yang
tepat, yaitu selama seseorang memahaminya sebagai gambaran berbagai hal pada tingkatan ontologis
tertentu. Chuang-tzu tidak berkeberatan dengan hal ini. Masalah yang ingin dia sampaikan adalah agar
“esensialisme” tidak dianggap sebagai satu-satunya pandangan final tentang berbagai hal. Dan dia
bangkit melakukan pemberontakan terhadapnya pada saat orang mulai membuat pernyataan seperti
itu. Karena, dia yakin bahwa esensialisme bukanlah pandangan akhir tentang berbagai hal.
Dari sudut pandang seseorang yang telah melihat berbagai hal secara berbeda dalam visi ekstatisnya,
secara ontologis terdapat tingkatan di mana “esensi-esensi” itu meniada. Hal ini bagi seorang Chuang-
tzu berarti bahwa “sejak semula” – seperti yang dia katakana – hal-hal itu bukanlah “esensi-esensi”
dalam pengertian pusat ontologis segala sesuatu yang keras dan kukuh. Bagaimanapun juga, dalam
pandangan ini, apa yang dinamakan “esensi-esensi” itu telah kehilangan kekukuhannya dan menjadi
tercairkan. “Mimpi” dan “realitas” menjadi tidak jelas di alam “ketiadaan perbedaan” yang luas dan
tanpa batas. Di sini tidak ada lagi ,perbedaan yang jelas antara meja dan kursi, antara meja dan buku.
Setiap sesuatu adalah dirinya sendiri, dan bahkan, pada waktu bersamaan, adalah segala lainnya.
Tidak ada “esensi-esensi”, yang ada ialah segala hal saling melintasi dan mentransformasikan diri
mereka menjadi satu sama lain tanpa henti. Segala sesuatu adalah “satu” – secara dinamis. Kita
mungkin pantas membandingkan pandangan ini dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan
Eksistensi, wahdatul al-wujud. Dan kita sudah mengetahui bahwa inilah yang dinamakan Chuang-tzu
sebagai chaos.
Ibn ‘Arabi dapat berbicara tentang Kesatuan Eksistensi sebab dia memandang alam Keragaman,
maujud-maujud yang tidak dapat dibatasi, sebagai selaksa determinasi-diri atau manifestasi-diri Sang
Mutlak yang Ia sendiri merupakan Kesatuan Mutlak. Dengan cara serupa, Chuang-tzu sampai apda
gagasan tentang “Chaotifikasi” berbagai hal, sebab dia memandangnya dari sudut pandang Jalan,
yang juga merupakan Kesatuan metafisik mutlak.
Dalam filsafat Barat kontemporer, tekanan khusus sering diberikan terhadap kekuasaan “tiranik”
Bahasa, pengaruh formatif besar pola-pola kebahasan pada pembentukan pemikiran kita. Pengaruh
Bahasa terutama tampak dalam formasi pandangan “esensialis” tentang berbagai hal.
Dari sudut pandang “eksistensialisme” mutlak, tidak ada sekat-sekat yang begitu rapat di alam Wujud.
Namun, manusia “mengartikulasikan”, yakni, memenggal-menggal – pada galibnya secara sewenang-
wenang – keseluruhan yang semula tidak terbagi ini menjadi sejumlah segmen. Lantas manusia
memberikan nama khusus untuk masing-masing segmen ini. Segmen Realitas, dengan demikian
diberikan sebuah nama, terkristalisasi menjadi “esuatu”. Nama itu memberinya kestabilan “esensial”,
dan dengan demikian menjaminnya dari disintegrasi. Baik-buruknya, begitulah faktanya kekuasaan
bahasa. Dengan kata lain, bahasa secara positif mendukung “esensialisme”.
Begitu suatu “benda” menjadi mantap dengan satu nama tertentu, maka manusia mudah dituntun
menuju pemikiran bahwa benda itu secara esensial adalah itu dan bukan lainnya. Jika satu benda
dinamakan A, maka ia mendapatkan ke-A-annya, yaitu “esensi” menjadi A. Dan karena ia adalah A
“secara esensial”, maka ia tidak pernah dapat menjadi selain dari A. Seseorang hampir tidak dapat
membayangkan di bawah kondisi-kondisi tersebut, benda itu menjadi B, C, atau D. Benda itu dengan
demikian menjadi sesuatu yang tertentu dan tidak dapat berubah.
Hubungan mendasar antara “esensialisme” dan bahasa inni mendapat perhatian Chuang-tzu. Dia
memerhatikannya sebab dia memandang persoalan ini dari sudut pandang Jalan mutlak karena,
sebagaimana telah berung kali kami tunjukkan, tidak ada sedikit pun determinasi-determinasi
“esensial;”.
Jalan sama sekali tidak memiliki “batasan-batasan”. Begitu juga bahasa (yang memproduksi dan
mengekspresikan “batasan-batasan” itu) memiliki kepermsnrnsan.
Nasmun (manakala kesesuaian terbangun antara keduanya) maka muncul “batasan-batasan”
(esensial) yang sejati.
Berkenaan dengan logika solfistikm (argumen yang menyesatkan) dari aliran Kung Sun Lung, Chuang-
tzu menjelaskan bahwa jenis logika inik merupakan produk “esensialisme” kebebasan.
Ketimbang berusaha membuktikan dengan sarana “jari” bahwa “jari” bukanlah “jari”, mengapa kita tidak
membuktikan dengan menggunakan “bukan jari” bahwa “jari” bukanlah sebuah “jari”?
Makna pasase ini akan menjadi jelas hanya apabila kita memahaminya dengan latarbelakang logikja
sofistik yang mengemuka pada masa Chuang-tzu. Argumen yang dikemukakan kaum Sofis aliran Kung
Sun Lung dapat diringkauys sebagai berikut. Konsep jari iktu sendiri mencakup konsep-konsep tentang
Ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, jari manis,d an jari kelingking. Sebetulnya tidak ada “jari” selain
daripada kelima jari ini. Namun, jika kita mengambil salah satu darinya, misalnya jari telunjuk, maka kita
akan menemukannya menegasikan dan mengeksklusikan semua sisanya, sebab “jari telunjuk”
bukanlah salah satu dari keempat jari lainnya. Jadi, “Jari telunjuk” yang sebetulnya adalah sebuah
“jari”, bukanlah sebuah “jari”, sebab konsepnya berlaku secara ekslusif untuk dirinya sendiri,bukan
untuk selainnya.
Terhadap pembuktian ini, Chuang-tzu menyatakan bahwa argumen itu semata-mata merupakan
bagian sofisri (argumen menyesatkan) yang dangkal dan tidak bermakna. Kita tidak memperoleh apa
pun meskipun kita membuktikan melalui cara ini bahwa sesbuah “jari” tepat untuk dianggap sebagai
“bukan jari”. Dan pandagan terakhir ini – walau pun secara dangkal memberikan kesimpulan serupa;
yaitu bahwa sebuah “jari” bukanlah sebuah “jari” – tidak merupakan bagian dari sofistri. Ia merupakan
pandangan yang bertumpu pada “Chaotifikasi” berbagai hal, dan justru berada pada jantung struktur
Realitas.
Istilah “bukan jari” yang tampak apda paro kedua pernyataan yang dikutip di atas tidak ditujukan
sebagai kontradiksi logis dari “jari”. Ia bermakna sesuatu seperti “jari super”, atau keadaan ontologis di
mana “jari” tidak lagi merupakan sebuah “jari”. “Mengapa tidak membuktikan dengan menggunakan
“bukan jari”? tanya Chuang-tzu. Maksud dia, daripada buang-buang waktu berusaha membuktikan
dengan menggunakan tipuan-tipuan logika – sebagaimana yang dilakukan oleh Kung Sun Lung dan
para pengikutnya – bahwa “sebuah jari bukanlah sebuah jari” justru pada tataran “sebuah jari adalah
sebuah jari”, lebih baik kita segera melampaui tingkatan ontologis perbedaan-perbedaan “esensial” dan
melihat realitas situasi itu dengan mata “pencerahan”. Mengingat, faktanya, pada tingkatan
“Chaotifikasi”, sebuah “jari” secara niscaya bukan lagi sebuah “jari”, tidak lagi begiktu pasti bahwa
sebuah jari tidak dapat menjadi sesuatu selain daripada dirinya sendiri. Segala hal (benda) adalah
satu, dan kita tidak memiliki alasan untuk terus berpegang pada gagasan bahwa karena A adalah A,
maka A tidak dapat menjadi sesuatu selain daripada A. Jadi, pernyataan sebuah “jari” bukanlah sebuah
“jari” terbukti benar; namun, kini, pada tataran yang lebih tinggi daripada tataran di mana para
penganut sofistri berusaha keras untuk meneguhkan pernyataan serupa.
Chuang-tzu memberikan satu contoh lagi, bahwa seekor “kuda” bukan seekor “kuda”, yang juga
merupakan top[ik terkenal dari kaun sofis pada zamannya.
Daripada berusaha untuk membuktikan dengan menggunakan seekor “kuda” bahwa seekor “kuda”
bukanlah seekor “kuda”, mengapa kita tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan kuda” bahwa
seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda”
Struktur argumen itu persis sama dengan struktur sebelumnya. Kaum Sofis menyatakan bahwa seekor
“kuda” bukanlah seekor “kuda” berdasar pengamatan berikut. Menurut mereka, konsep “kuda” harus
dapat sandang pada kuda-kuda dari berbagai warna, seperti “kuda putih”, “kuda kuning”, “kuda hitam”,
dan sebagainya, dan tidak ada “kuda” yang mewujud secara aktual yang tidak berwana. Setiap kuda
yang mewujud secara aktual pasti berwarna, entah berwarna putih, hitam, atau kuning, dan
sebagainya. Hal itu tidak ada pengecualian. Marilah kita ambil seekot “kuda putih” sebagai contoh.
“Kuda putih”, karena berwana putih, tentu saja mengeksklusifkan seluruh kuda dari warna-warna
lainnya. Konsep itu tidak dapat berlaku untuk “kuda hitam”, sebagai contoh, atau “kuda kuning”. Dan
hal yang sama berlaku bagi kuda apapun dari warna apapun. Namun, karena kondsep tentang “kuda”
harus demikian sehingga berlaku bagi seluruh kuda dari segala warna, maka kita harus menyimpulkan
bahwa tidak ada kuda yang mewujud secara aktual yang benar-benar merupakan seekor “kuda”.
Dengan cara ini, Kaum Sofis membuktikan, atau mengaku membuktikan, bahwa “kuda” bukanlah
“kuda”. Terhadap hal ini, Chuang-tzu berpendapat bahwa, sekalipun mengakui kebenaran argumen ini,
konklusi yang mereka ambil dengan cara ini sama sekali tidak mempunyai signifikansi. Sebagaimana
dalam argumen sebelumnya tentang “jari”, Chuang-tzu menunjukkan bahwa ada tinjauan di mana
konklusi yang sama tetap bisa dipertahankan, tetapi dengan makna yang sama sekali baru. Di sini pula
istilah “bukan kuda” menunjukkan tingkatan metafisik di mana segala perbedaan “esensial” terkikis
melalui “Chaotifikasi”.
Begitu kita menempatkan diri kita pada tataran itu, kita memerepsi bahwa “jariu” adalah “jari” dan
sekaligus, pada waktu yang sama, bukan “jari”, bahwa “kuda” adalah seekor “:kuda” dan bukan seekor
“kuda”. Begiktu pula halnya bagi semua hal lainnya. Kita bahkanbisa ke titik ekstrem dengan
menegaskan bahwa sluruh alam adalah “:jari”, dan seluruh alam adalah :kuda”.
Langit dan bumi (yuaitu, seluruh alam) adalah sebuah “jari”. Segala sesuatu adalah seekor “kuda”.
Langit dan bumi beserta “sepuluh ribu hal (BENDA)” yang mewujud di dalamnya tidak lain merupakan
keseluruhan yang “tidak berbeda-beda”, karena segala hal (Ibenda) secara ontologis saling
merembesi. Dalam keadaan demikian, seekor :kuda” bukanlah seekor :kuda” yang tidak dapat
berubah; ia dapat menjadi sesuatu yang lain. Dengan memandang situasi khusus ini dari sisi
sebaliknya, maka dapat kita katakan bahwa segala hal berhak untuk dianggap sebagai seekor “kuda”
atau sebuah “jari”, atau tentu saja, sesuatu yang lain.
Dari sudut pandang semcam ini, Chuang-tzu terus melancarkan kritik atas pendapat “esensialis”
dengan cara berikut :
(Alih-alih memandang persoalan ini dari sudut pandang “bukan jari” dan “bukan kuda”, manusia malah
membagi-bagi keseluruhan Wujud yang semula tidak terbeda-bedakan menjadi berbagai kategori
yang, lagi-lagi, mereka klasifikasikan menjadi “benar” dan “tidak benar”) dan bersikukuh bahwa “benar”
adalah “benar” serta tidak dapat berubah dan “tidak benar” ada;lah “tidak benar” serta tidak dapat
berubah. (Padahal, perbedaan antara “benar” dan “tidak benar”, jauh dari sesuatu yang “esensial”,
yakni, sesuatu yang didasarkan pada sifat sejati Wujud, lebih merupakan masalah adat dan kebiasaan,
persis seperti) jalan dibangun (di tempat yang sebelumnya tidak ada) oleh orang-orang yang rutin
berjalan di atasnya. Demikian juga, “berbagai benda” dibentuk melalui kenyataan bahwa ia ditunjuk
dengan nama partikular ini atau nama partikular itu (semata-mata berdasarkan adat atau kebiasaan
masyarakat).
(Dan segera setelah “berbagai hal (benda)” terkristalisasi, maka mereka ditimbang sebagai “benar” dan
“tidak benar”, “begitu” ataukah “bukan begitu”). Atas dasar apakah seorang manusia menilai sesuatu itu
seperti “begitu”? Dia menilai “begitu” terhadap apa pun (yang orang atau masyarakat” berkebiasaan)
menilai “begitu”? Atas dasar apakah seorang manusia menilai sesuatu “tida begitu”? Dia semata-pmata
menilainya sebagai “tidak begitu” sebab (orang-orang lain) menilainya (melalui kebiasaan) “tidak
begitu”
(Bagaimanapun, dari sudut pandang “pencerahan”, realitas berbagai hal hanya dapat dipahami apabila
seseorang menempatkan dirinya pada tingkatan yang lebih tinggi berupa penerimaan nondiskriminatif
yang melampaui segala perbedaan yang demikian relatif ini. Dipandang dari tingkat itu), ada hal
tertentu di mana segala sesuatu tanpa kecuali harus dianggap sebagai “begitu” (yaitu, dapat
ditegaskan dan dapat diterima), dan segala sesuatu tanpa kecuali harus dianggap sebagai “benar”.
Tidak ada sesuatu yang tidak “begitu”. Tidak ada sesuatu yang tidak “benar”. Apakah sebutir padi
ataukah tiang besar, apakah seorang penderita kusta ataukah seorang Hsi Shih (perempuan terhormat
dan cantik), betapapun mungkin hal-hal itu aneh, ganjil, jelek, dan fantastis, namun Jalan menjadikan
semuanya itu satu.
Realitas yang dicerap pada tingkatan itu disebut oleh Chuang-tzu sebagai (Penyetaraan Ilahi)
{Heavenly Equalizatrion}, atau Berjalan di Dua Arah (pada waktu yang bersamaan). Istilah pertama
(Penyetaraan) bermakna keadaan metafisik “alamiah” di mana segala hal, tanpa terusik oleh
perbedaan-perbedaan antara “baik” dan “buruk” dan “benar” dan “salah”, dan sebagainya, berada
dalam keselarasan atau kesetaraan aslinya. Dan lantaran, sebagaimana Ch’eng Hsuan Ying amati,
seorang “manusia suci” selalu melihat berbagai hal dalam keadaan keselarasan seperti itu, maka
benaknya juga berada dalam kedamaian abadi, tidak pernah terusik oleh perbedaan-perbedaan antara
berbagai hal. Istilah kedua, yang secara harfiah bermakna “pergi ke dua arah”, menunjukkan keadaan
metafisik serupa manakala “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”, sama-sama dapat diterima;
dengan kata lain, suatu keadaa tatkala segala sesuatu yang berlawanan dan bertentangan itu menjadi
dapat diterima dalam Kesatuan punck coincidentia oppositorium.
Adalah sangat signifikan bahwa bab kedua Chuang-tzu diberi judul Ch’i Wu Lun, yakni, “Wacana untuk
Menyetarakan (Segala) Sesuatu. Bab ini diberi judul demikian karena ia terutama membahas
pandangan yang melihat segala sesuatu sebagai “setara”, yakni, pada puncaknya Satu. Menurut
pandangan ini, karena “penyetaraan” berbagai hal itu dapat dibenarkan hanya pada tingkatan
“eksistensi”, bukan pada tingkatan “Esensi-esensi”, maka saya menganggap teori ini sudah
sepantasnya dibanding dengan Kesatuan Eksistensi (wahdat alwujud) Ibn ‘Arabi.
“Esensialisme”, bila memang merupakan pandangan filosofi tentang eksistensi, mesti mampu
menjelaskan keseluruhan alam Wujud. Ia memang bertujuan – dan mengklaim, setidaknya secara
implisit – menjadi cukup komprehensif untuk meliputi segala sesuatu. Namun, dalam fakta aktualnya,
bagaimana ia bisa seperti itu apabila sifat dasarnya mengisolasi setiap satuan ontologis, menjadikan
mereka “secara esensial” mandiri satu dengan lainnya? Jika seseorang melakukan pendekatan ini
terhadap berbagai hal, namun ingin memahami semuanya, maka dia terpaksa memilih jalan lain
berupa metode penjumlahan dan penambahan. Tetapi, betapapun jauh seseorang menempuh arah ini,
dia tidak akan pernah mencapaik puncaknya. Karena tidak masalah berapa banyak unit independen
yang dapat dia tumpuk-tumpuk, tapi dia akan tertinggal dengan sejumlah hal tak terbatas yang masih
tidak tersentuh dan tidak terpahami.
Dengan demikian, “Esensialisme” melalui sifat dasarnya itu tidak mampu memahami realitas dunia
Wujud dalam kerumitannya yang tak terbatas serta dalam perkembangan dan transformasinya yang
nirwatas (limitless). Untuk memahami secara konprehensif bagaimana sesungguhnya Dun ia Wujud itu
dan bagaimana sesungguhnya ia bekerja, Chuang-tzu berpendapat, kita harus meninggalkan tingkatan
perbedaan-perbedaan “esensial”, dan, melalui penyatuan diri kita dengan “eksistensi” itu sendiri yang
meliputi segala hal, pandanglah segala hal alam kondisi orisinalnya berupa “chaotifikasi” dan
“ketiadaan pembedaan”. Alih-alih merumuskan tesis ini dalam bentuk teoritis seperti itu, Chuang-tzu
menjelaskan pendapatnya melalui contoh konkret tengan Chao Wen, seorang pemain kecapi terkenal.
Bahwa sesuatu dapat menjadi “sempurna” dan “tidak sempurna” (pada waktu yang sama) mungkin
secara tepat dicontohkan melalui apa yang terjadi ketika Chao Wen memetik kecapi. Bahwa sesuatu
dapat tetap “tidak sempurna” dan “tidak cacat” mungkin secara tepat dicontohkan dengan apa yang
terjadi ketika Chao Wen tidak memetik kecapi.
Makna pasase di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Chao Wen adalah seorang musisi jenius.
Ketika dia memetik kecapi, komposisi musik yang dia mainkan itu teraktualisasi dalam bentuk
sempurna. Inilah apa yang dijelaskan melalui untkapan : “bahwa sesuatu dapat menjadi sempurna”.
Namun melalui fakta bahwa Chao Wen memainkan bagian musik tertentu dan mengaktualisasikannya
dalam bentuk sempuirna, berbagai bagian tak terbatas lain nyang tertinggal menjadi gelap dan lenyap.
Inilah yang dimaksud dengan sesuatu yang menjadi “cacat” pada waktu yang sama. Jadi, aktualisasi
sempurna dari satu bagian musik tertentu pada waktu yang sama merupakan penafian dan peniadaan
semua kemungkinan lainnya. Hanya ketika Chao Wen tidak sedang bermain, kita berada dalam
keadaan menikmati semua bagian musik yang mampu dia aktualisasikan. Dan hanya dalam bentuk
demikian musiknya “sempurna” dan pengertianyang mutlak, yakni, dalam pengertian musiknya
mengatasi perbedaan antara “kesempurnaan” dan “ketidaksempurnaan” (atau “kekacauan”).
Dengan demikian, “penyetaraan” segala sesuatu mambawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun,
jika seseorang berpegang pada gagasan ini dan benar-pbenar mengabaikan aspek fenomenal
berbagai hal, maka dia jatuh pada kesalahan yang sama-sama tidak dapat dimaafkan. Karena,
bagaimana pun juga, berbagai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realitas. Tentu saja
musaik Chao Wen adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tia memetik kecapinya.
Namun, benar pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi dalam kemampuannya itu
ditakdirkan “menyempurna” dalam pengertian Relatif. Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari
jalan keluar dari kemungkinan menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu
dengan laionnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang fundamental dan
yang fenomenal, adalah esensial bagi realitas musik.
Demikian juga, “penyetaraan” sega;la sesuatu membawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun, jika
seseorang berpegang pada gagasan ini dan benar-benar mengabaikan aspek fenomenal berbagai hal,
maka dia jatuh pada kesalahan yang sama-sama tidak dapat dimaafkan. Karena, bagaimanapun juga,
beragai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realiotas. Tentu saja, musik Chao Wen
adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tidak memerik kecapinya. Namun, benar
pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi dalam kemampuannya itu ditakdirkan
“menyempurna” dalam pengertian relatif. Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari jalan keluar
dari kemungkinan menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu dengan
lainnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang fundamental dan yang
fenomenal, adalah esensial bagi realitas muskinya.
Demikian juga, dalam struktur ontologis segala sesuatu, “ketiadaan perbedaan” orisinal dan
“perbedaan fenomenal, atau Kesatuan dan Keragaman, adalah sama-sama hakiki. Jika Chuang-tzu
begitu banyak menekankan aspek awal (“ketiadaan perbedaan”/Kesatuan), itu terutama karena pada
tingkatan akal sehat pengalaman manusia aspek fenomenal terlampau menonjol dan dominan,
sehingga pada umumnya dianggap sebagai satu-satunya realitas.
Akar Wujud secara mutlak adalah satu. Tetapi, ia tidak selamanya berada dalam Kesatuan Orisinalnya.
Sebaliknya, termasuk dalam sifat dasar Wujud tidak pernah berhenti memanifestasikan diri dalam
bentuk-bentuk yang tak terbatas. Ia terus mentransformasikan diri mereka menjadi satu sama lain.
Inilah aspek fenomenal Wujud. Namun, melalui proses “diversifikasi” dan “diverensiasi” ontologis ini
segala hal kembali pada ujung sumber metafisiknya. Proses “turun” dan “naik” secara paradoksal
adalah satu dan sama. Hubungan antara Kesatuan dan Keragaman harus dipahami dengan cara ini.
Sebagaimana Kesatuan bukan merupakan “kesatuan” statis berupa kematian dan kekakuan,
melainkan merupakan proses dinamis tiada henti dari coincidentia oppositorium, demikian pula
Keragaman bukanlah “pembedaan” statis berbagai hal yang secara kasar bersifat pasti, melainkan
merupakan proses kehidupan konstan yang di dalam dirinya terkandung tegangan ontologis Kesatuan
dalam Keragaman.
Jika dilihat dari sudut pandang “perbedaan”, (tidak ada sesuatu yang sama seperti sesuatu lainnya),
bahkan liver dan empedu (contoh tipical dua hal yang sangat bermiripan), adalah berbeda dan jauh
terpisah sebagaimana negeri Ch’u dan negeri Yueh).
Namun, dilihat dari sudut pandang “kesamaan”, segala hal itu satu dan sama.
Sayangnya, mata manusia biasa terpikit pada gebyar fenomenal Keragaman dan tak bisa mencerap
Kesatuan dhasyat yang melambari keseluruhan itu. Mereka tidak dapat, sebagaimana Chuang-tzu
katakan, “menyatukan objek-objek pengetahuan mereka.”
Satu-satunya sikap tepat yang bisa kita ambil dalam situasi ini adalah “membiarkan benak kita
beristirahat dalam harmoni kesempurnaan spiritual. Kata “harmoni” (ho) di sini, sebagaimana
dinyatakan oleh Ch’eng Hsuan Ying, menunjukkan fakta bahwa ketika kita “menyatukan objek-objek
pengetahuan kita” dan men-“chaotifikasi” segala sesuatu, maka benak kita akan merasanakan
kedamaian yang sempurna, tidak lagi terusik oleh “apa yang telinga dan mata kita senangi”; ia juga
menunjukkan fakta bahwa segala hal pada tingkatan ini sama-sama damai, tidak ada pertentangan-
pertentangan “esensial” dan antara mereka. Kita tetap harus tidak buta terhadap aspek fenomenal
Wujud. Chuang-tzu mengatakan; tetapi kita salah kalau masih terkungkung di alam fenomenal yang
sama dan melihat Keragaman berbagai hal terlepas dari sudut pandang fenomenal. Kita harus
melampaui tingkatan ini, naik menuju tingkatan lebih tinggi,d an dengan memandang ke bawah dari
ketinggian itu perhatikanlah kaleidoskop Keragaman berbagai hal yang senantiasa berubah itu. Hanya
setelah melakukan ini, kita berada dalam posisi untuk mengetahui realitas Wujud.
Hubungan dinamis antara Kesatuan mutlak orisinal dan Keragaman fenomenal, yaitu proses yang
melaluinya Sang Mutlak, yang meninggalkan kegelapan metafisiknya, membuat keragaman dirinya ke
dalam banyak hal dari alam fenomenal merupakan sesuatu yang,s ebagaimana telah saya tunjukkan
berkali-kali, menyingkapkan realitasnya hanya kepada benak yang dalam kondisi ekstasis, atau
sebagaimana Chuang-tzu sebut, “keadaan duduk dalam perikelupaan”. Hal yang paling sulit dipahami
oleh benak nonekstasis dalam status ontologis segenap “esensi”.
Saat Sang Mutlak membagi dirinya melalui proses perkembangan ontologis menjadi “sepuluh ribnu
hal”, masing-masing dirinya tampak memperoleh “esensi” tertentu. Karena, bagaimanapun juga, apa
makna berbicara tentang “sepuluh ribu hal”, jika mereka tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya?
Bagaimana mereka dapat dibedakan satu dengan lainnya jika mereka tidak memiliki “esensi”?
Ketika kita mengakui A sebagai berbeda dan dapat dibedakan dari B, apakah pada waktu yangs ama
kita tidak mengakui A sebagai memiliki “esensi” yang berbeda dengan esensi B?
Bagaimanapun, mengikuti sudut pandang Chuang-tzu, beberapa hal yang diberi “esensi” dan “secara
esensial” dapat dibedakan satu dengan lainnya semata-mata merupakan persoalan penampakan.
Masing-masing dari “sepuluh ribu hal” itu tampak memiliki “esesinya” sendiri yang secara pasti tidak
dapat diubah. Padahal, masing-masing hal itu semata-mata tampak atau kelihatan memiliki “esensi”
semacam itu.
Namun, gambaran kita secara tak terelakkan diperumit fakta bahwa “esensi’esensi” yang tampak itu
pun juga murni tidak ada. Mereka bukan sekadar hasil-hasil halusinasi. Mereka memiliki status
ontologis yang khas bagi mereka. Secara ontologis, mereka bukanlah isapan jempol. “Eksistensi” yang
mutlak meliputi segala sesuatu bisa mengenakan bentuk-bentuk tak terbatas lantarana da sejenis
landasan ontologis bagi mereka. Tentu saja kita tak dapat mengatakan bahwa “esensi-esensi” itu
mewujud dalam pengertian lazim dari kata itu. Namun, kita pun tidak dapat mengatakan bahwa mereka
secara mutlak tidak mewujud.
Pada titik ini, sebagaimana kita ingat, Ibn ‘Arabi memperkenalkan konsep “arketip-arketip permanen”
(a’yan tsabitah) dalam sistem metafisikanya. Dan konsep ini bekerja dengan sangat mengagumkan.
Karena, dengan cara begitu Ibn ‘Arabi secara filosofis berhasil menyelesaikan kesulitan yang
ditimbulkan situasi paradoksial ini. “Arketip-arketip permanen” adalah prinsip-prinsip metafisik yang
bisa “dibilang tidak mewujud dan tidak juga tidak mewujud”, dan yang melaluinya Eksistensi Ilahi yang
meliputi segala sesuatu berubah ke dalam sekian banyak hal. Hanya saja, bagi Ibn ‘Arabi, pada
dasarnya itu juga bukan merupakan persoalanfilosofis; melainkan merupakan visi ekstatis.
Chuang-tzu tidak memiliki perangkat filosofis seperti itu. Dia langsung memilih pemaparan simbolis dari
kandungan visi metafisiknya. Hasilnya, kini kita memiliki apa yangs ecara bulat diakui sebagai salah
satu paparan paling mengagumkan tentang Angin dalam literatur Cina. Tentu saja, itu bukan sekedar
karya kesusastraan. Itu merupakan simbol filosofis yang Chuang-tzu gunakan untuk tujuan
mengekspresikan secara verbal apa yang secara verbal tidak dapat diekspresikan. Lagi pula, seluruh
pasase itu sangat penting secara filosofis, lantaran, seperti akan kita lihat, ia merupakan apa yang
mungkin kita sebut sebagai “dalil Taois akan esksitensi Tuhan”.
Bagian awal pasase tersebut murni bersifat simbolis. Makna filosofis sejatinya paling baik dipahami,
saat membacanya, jika orang mencamkan bahwa Angin Kosmis melambangkan “eksistensi”, atau
Sang Mutlak dalam actus-nya yang serba meliputi, dan bahwa “pori-pori” pohon yang berlubang
melambangkan “esensi-esensi”.
Bumi yang agung bersendawa, dan sendawa itu disebut dengan angin. Sepanjang sendawa tersebut
tidak benar-benar terjadi, tidak ada yang dapat teramati. Namun, begitu ia terjadi, seluruh lubang
pohon menimbulkan bunyi-bunyi yang keras.
Dengarkanlah! Tidakkah kau mendengar bunyi angin mendesir saat berhembus dari jauh? Pepohonan
di hutan berbukit mulai bergerisik, bergoyang, dan berayun-ayun, selanjutnya lubang-lubang serta
celah-celah pepohonnan besar yang berukuran kira-kira 100 lengan mulai memunculkan berbagai
bunyi.
Ada celah seperti hidung, mulut, telinga; sebagian (luasnya) seperti potongan-potongan tiang; sebagian
(bulat) laksana mangkuk; sebagian lain laksana lumpang. Sebagian laksana empang yang dalam;s
ebagian lain laksana kubangan yang dangkal. (Bunyi-bunyi yang mereka timbulkan pun jadi beragam) :
sebagian menderu-deru laksana arus deras yang menghancurkan karang; sebagian berdesis laksana
anak-anak panah yang melayang; sebagian menggeram, sebagian lain seperti terengah-engah,
sebagian bersorak, sebagian mengerang. Sebagian bunyi bersifat dalam dan tersembunyi, sebagian
bunyi bersifat sedih dan berkabung.
Senyampang angin pertama bertiup dengan bunyi dengan desir yang sangat gaduh. Angin yang sepoi-
poi disambut celah-celah dengan bunyi-bunyi lembut. Angin badai disambut denganbunyi-bunyi
kencang.
Bagaimanapun, begitu angin ribut itu telah berlalu, seluruh celah dan lubang itu pun menjadi kosong
dan tidak ebrbunyi. Kau hanya akan melihat dahan-dahan pohon bergoyang dengan perlahan, dan
ranting-ranting lunak bergerak dengan lembut.
Sebagaimana saya katakan sebelumnya, semua ini tidak dimaksudkans ebagai sekedar deskripsi
kesusastraaan tentang angin. Tujuan Chuang-tzu yangs esungguhnya terungkap melalui pasase
berikut ini. Tujuan filosofis Chuang-tzu dapat dirumuskan melalui cara berikut. “Celah-celah” dan
“lubang-lubang” pohon menghayalkan bahwa mereka itu mewujud secara mandiri, bahwa mereka
memunculkan semua bebunyian itu. Mereka gagal memperhatikan bahwa mereka memunculkan
semua bebunyian itu semata-mata akibat dari kerja aktif Angin pada mereka. Pada hakikatnya, Angin
itulah yang menjadikan “celah-celah” itu bergema.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa “celah-celah” itu sama sekali tidak maujud. Tentu saja celah-celah itu
ada, tetapi aktualisasi mereka hanya melalui aktivitas positif Angin. Sebagaimana terbukti, ini
merupakan paparan yang sangat cerdas tentang status ontologis pelbagai “esensi”, yang telah
disebutkan terlebih dahulu.
Jelas terbukti bahwa Angi di sini bukanlah angi fisik biasa. Ia adalah Angin Kosmik yang sangat sesuai
dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang sarayan al wujud,s ecara harfiah bermakna “penyebaran Eksistensi”.
Menarik dan sungguh sangat signifikan bahwa Ibn ‘Arabi dan Chuang-tzu memahami “eksistensi”
sebagai sesuatu yang bergerak – “berembus”, “mengalir”, atau “menyebar”. Menurut mereka berdua,
“eksistensi” adalah actus.
(Angin tunggal yang sama) berembus pada sepuluh ribu hal (benda) melalui beragai cara, dan
menjadikan masing-masing celah menghasilkan bunyian sendiri yang khas, sehingga masing-masing
menghayalkan bahwa dirinya sendirilah yang menghasilkan bunyi khas itu. Padahal, kenyataannya,
siapakah yang menjadikan (celah-celah itu) menghasilkan berbagai bunyi?
Siapakah itu? Untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan genting ini, pertama-tama
kita harus menyatakan bahwa Angin Kosmik tidak memiliki bunyinya sendiri. “Bunyi Langit” (t’ien lai) itu
tanpa bunyi. Apa yang dapat terdengar pada telingan fisik kita hanyalah sepuluh ribu bunyi yang
dihasilkan oleh celah-celah pepohonan. Itu bukanlah bunyi Langit; melainkan adalah “Bunyi Bumi” (ti
lai). Namun, Chuang-tzu bersikukuh, kita harus mendengar bunyi Langit yang tanpa bunyi di balik
masing-masing sepuluh ribu bunyi Bumi. Bahkan, kita harus menyadari bahwa dalam mendengar bunyi
Bumi kita sebenarnya tidak lain daripada mendengar bunyi Langit. Berbagai bunyi tak terhingga yang
dikeluarkan celah-celah itu tidaklah lebih daripada satu bunyi, yaitu bunyi Langit yang mutlak.
Harus dicatat bahwa pertanyaan yang sama persis : “Siapakah itu?” bisa dan mesti ditanyakan dari apa
yang bisa diamati dalam wilayah “interior” diri kita sendiri. Persis sebagaimana celah pepohonan
memunculkan beragam bunyi karena Angin yang berhembus pada mereka, wilayah “interior” manusia
berada dalam guncangan konstan. Siapa ayang menyebabkan segala guncangan ini? Itulah
pertanyaan utama. Apakah benak manusia itu sendiri yang bertanggung jawab membuatnya? Ataukah
rangsangan-rangsangan eksternal yang menjadi penyebabnya? Chuang-tzu menjawab, tidak. Tetapi,
marilah pertama-tama kita melihat bagaimana dia melukiskan “celah” inti yang tiada henti
menghasilkan pelbagai kebisingan dan bunyi.
Bahkan, sewaktut tertidur, jiwa manusia (tersiksa) karena berhubungan dengan berbagai hal (dalam
mimpi). Ketika terjaga, fungsi-fungsi jasmani mulai kembali aktif; mereka bergelut dengan hal-hal
eksternal, serta segala jenis pikiran dan emosi muncul di dalamnya. Ini semua mendorong mereka
setiap hari untuk menggunakan benak dalam berselisih denga pihak lain. Sebagian benak nganggur
dan hampa. Sebagian benak ganjil. Sebagian benak cermat. Orang yang memiliki ketakutan-ketakutan
remeh itu menjadi gugup; orang yang terserang oleh ketakutan-ketakutan besar itu menjadi tolol.
Cara mereka berargumen tentang kebenaran dan kesalahan pelbagai perkara mengingatkan kita akan
orang-orang yang menembakkan anak-anak panah dan peluru (yakni, mereka sangat cepat dan gesit).
Mereka berusaha keras meraih kemenangan (dalam perdebatan) seolah-olah merek telah bersumpah
di hadapan para Dewa. Cara mereka terus menggunakan (energi mental mereka) dari hari ke hari
mengingatkan kita akan (daun-daun pepohonan) yang layu di musim gugur dan musim dingin.
Mereka telah melangkah begitu jauh ke dalam angan-angan dan khayalan sehingga tidak mungkin lagi
bagi mereka untuk kembali. Cara mereka jatuh semakin jauh ke dalam kegilaan seiring pertambahan
usia mengingatkan kita akan benak yang benar-benar terpasung dengan jeratan-jeratan (syahwat).
Maka, manakala benak mereka mendekati kematian, tak ada jalan untuk mengembalikan mereka pada
kecerahan masa muda.
Sesungguhnya (lintasan-lintasan benak manusia sangatlah beragam, seperti bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh celah-celah pepohonan) : kegembiraan, kemarahan, kesedihan, dan kebahagiaan!
Kadang-kadang mereka cemas akan masa mendatang; kadang-kadang mereka dengan sia-sia
meratapi masa lalu yang tak dapat diraih kembali. Kadang-kadang mereka plin-plan, kadang-kadang
mereka tegar. Kadang-kadang mereka merayu, kadang-kadang mereka angkuh. Kadang-kadang
mereka tulus, kadang-kadang mereka berpura-pura.
Mereka mengingatkan kita akan segala jenis bunyi yang berasal dari lubang-lubang kosong (dari
seruling), atau cendawan-cenawan yang muncul dari kelembaban. Siang dan malam, perubhan-
perubahan ini tidak pernah berhenti untuk saling menggantikan di depan mata kita.
Dari mana (perubahan-perubahan tiada henti) ini berasal? Tidak ada yang tahu asal-usul semua
perubahan ini. Adalah mustahil untuk mengetahui, sangat mustahil! Namun, itu semua merupakan
fakta yang tak dapat diingkari, bahwa pagi dan sore hal-hal ini benar-benar terjadi (pada diri kita). Ya,
fakta bahwa mereka terjadi (pada diri kita) sebenarnya bermakna bahwa kita sedang hidup.
Setelah melukiskan melalui cara ini serangkaian peristiwa psikologis tiada akhir yang secara aktual
berlangsung dalam benak kita siang dan malam itu, Chuang-tzu selanjutnya menafsrkan fenomena
yang membingungkan ini. Apa yang menjadi penyebab sejati dan utama dari semua ini? Dia bertanya
kepada dirinya sendiri apakah penyebab utama semua hiruk pikuk psikologis ini adalah “ego” kita.
Dengan megnatakan bahwa “ego” merupakan penyebab semua ini tidak lain kecuali berarti mengakui –
secara tidak langsung – bahwa segenap rangsangan eksternal merupakan penyebab pergerakan
psikologis kita. Dia melukiskan hubungan antara rangsangan-rangsangan eksternal dan keadaan-
keadaan benak kita yang berubah-ubah ini dalam kerangka hubungan antara “itu” (yakni, objek-objek)
dan “ego”.
Tanpa “itu”, maka tidak akan ada “ego”. Tanpa “ego”, maka “itu” tidak akan bertahan kuat. (Jadi, “ego”
kita, yakni, keseluruhan fenomena psikologis kita, tampaknya berhutang eksistensi pada rangsangan-
rangsangan eksternal tersebut). pandangan ini rupanya mendekati kebenaran. Hanya saja, pertanyaan
tentang apa yangs esungguhnya menjadikan (benak kita) bergerak seperti itu tetap tak terjawab.
Chuang-tzu mengakui bahwa rangsangan-rangsangan eksternal memang menimbulkan kekisruhan
dalam benak kita. Bagaimanapun, pandangan semacam itu tidaklah menukik pada pokok persoalabn.
Orang-orang yang membayangkan bahwa pandangan ini benar-benar mampu menjelaskan
perubahan-perubahan psikologis yang berlangsung pada diri kita dapt dibanding dengan “lubag-
lubang” dan “celah-celah” pepohonan yang secara naif membayangkan bahwa merekalah yang
menghasilkan bunyi-bunyi yang mereka keluarkan, tanpa memerhatikan aktivitas Angin.
Di luar rangsangan-rangsangan yang ebrasal dari objek-objek eksternal tersebut, ada Sesuatu yang
menjadi penyebab utama. Sesuatu yang menyebabkan objek-objek eksternal memengaruhi benak kita
dan dengan demikian menyebabkan benak kita tersulut. Di luar dan di balik seluruh fenomena ini
agaknya ada Pelaku sejati yang menggerakkan dan mengendalikan seluruh gerakan dan peristiwa
dalam benak kita, sebagaimana Angin berada di balik segala bunyi yang dihasilkan lewat “celah-celah”
pepohonan tersebut.
Tetapi, sebagaimana Angin itu tidak dapat dilihat dan tidak dapat di rasakan, demikian pula Pelaku ini
tidak dapat diketahui dan tidak terlihat. Sebagaimana kita dapat merasakan adanya Angin – walaupun
tidak dapat dilihat – melalui aktivitasnya, maka kita pun dapat merasakan adanya Agen tersebut
melalui actus-Nya.
Rupa-rupanya memang ada Penguasa yang sesungguhnya. Mustahil bagi kita untuk melihat-Nya
dalam bentuk konkret. Dia beraksi – tidak ada keraguan mengenainya; namun kita tidak dapat melihat
bentuk-Nya. dia menunjukkan aktivitas-Nya, namun Dia tidak memiliki bentuk yang bisa diindra.
Adalah sangat penting secara filosofis bagi Chuang-tzu untuk menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam
aspek pribadinya, yakni, sebagai Pelaku mutlak, hanya bisa kita jangkau sebagai actus. Sang Mutlak
dalam hal ini adalah actus; bukan “sesuatu (benda)”. Tanpa memiliki bentuk yang indrawi, maksudnya,
tanpa menjadi “sesuatu” ia tidak pernah berhenti memanifestasikan aktivitasnya. Kita hanya dapat
menelusuri jejaknya, di mana-mana, dalam segala sesuatu. Namun, kita tidak pernah dapat melihat
bentuknya karena ia tidak memiliki bentuk dan karena ia bukan “sesuatu (benda)”. Namun, benak
manusia secara fitri adalah “esensialis”. Benak manusia menganggapnya sangat sulit, untuk tidak
menyebut sama sekali mustahil, untuk menjabarkan apa pun kecuali dalam bentuk “sesuatu (benda)”.
Benak manusia tidak mampu, kecuali dalam kasus-kasus yangs angat jarang, mengonsepsi sesuatu
sebagai Bukan Sesuatu. Konsepsi Sang Mutlak sebagai Sesuatu yang Bukan sesuatu bagi benak
awam secara sederhana adalah paradoks yang tidak dapat di toleransi, jika bukan merupakan isapan
jempol belaka.
Untuk menjadikan paradoks metafisik ini sedikit lebih dapat diterima Chuang-tzu membanding situasi
ini dengan fungsi anggota dan organ tubuh yang rumit, seluruh mekanismenya diatur dan dikendalikan
“sesuatu” yang tidak dapat dilihat jiwa.
Seratus tulang sendir, sembilan lubang, enam jeroan – semua itu membentuk tubuh manusia. Nah, dari
semua ini, bagian mana yang harus paling kita hormati (masudnya, bagian mana yang harus kita
anggap sebagai Penguasa tubuh)? Apakah kau menghormati (sebagai Penguasa) semua itu secara
setara? (Tidak, itu mustahil). Lantas, apakah kau lebih menyukai salah satu darinya sebagai milikmu
secara khusus? (Tidak, itu juga mustahil). Namun, jika tidak (maksudnya, jika bukan semua itu dan
bukan salah satunya secara khusus menempati posisi sebagai penguasa tubuh), apakah persoalannya
bahwa semua itu sekadar pelayan dan pembantu? (Jika mereka semua merupakan pelayan dan
pembantu), bagaimana negeri (maksudnya, tubuh) dapat berada dalam keteraturan? Araukah apa
persoalannya bahwa mereka berkuasa dan dikuasai, menempati posisi Penguasa dan bawahan secara
bergilir?
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka semua). Entah manusia
mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini, realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh
(pengetahuan) tersebut; tidak bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka semua). Entah manusia
mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini, realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh
(pengetahuan) tersebut; tidak bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Penguasa sejati dalam hal ini adalah jiwa yang bentuk konkretnya tidak diketahui siapa pun. Tetapi,
tentu saja, ia dikemukakan di sini sebagai suatu citraan yang dapat menjelaskan hubungan antara
Sang Mutlak dan segala peristiwa serta fenomena alam Wujud. Sebagimana organ-organ dan anggota-
anggota tubuh di bawah dominasi jiwa yang tak dapat dilihat itu, demikian pula semua yang mewujud
dan berlangsung di alam berada dalam dominasi Penguasa yang tidak dikenal dan tidak dapat
diketahui.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, sangat signifikan bahwa Chuang-tzu di sini memperkenalkan
“Penguasa hakiki” alam sebagai actus. Tidak ada orang yang dapat melihat Sang Mutlak itu sendiri
sebagai “sesuatu” yang mewujud, namun tidak seorang pun yang dapat mengingkari kehadiran actus-
nya. dan bahwa actus itu secara filosofis tidak lain tidak bukan adalah Eksistensi.
Kita juga harus memerhatikan bahwa actus Sang Mutlak yang , pada pasase sebelumnya, diperikan
sebagai Angin Kosmik, yaitu kekuatan kosmik, di sini diperkenalkan sebagai sesuatu yang personal –
Tuhan. Dalam pandangan dunia Chuang-tzu, Sang Mutlak atau Jalan memiliki dua aspek berbeda,
yaitu kosmik dan personal. Dalam aspek kosmiknya, Sang Mutlak adalah Alam, suatu energi vital
Wujud yang meliputi segala sesuatu dan menjadikan segala sesuatu itu mewujud, tumbuh, membusuk,
dan pada akhirnya mengembalikan mereka menuju sumber semula, sedangkan pada aspek
personalnya Ia adalah Tuhan, Pencipta Langit dan Bumi, Tuhan segala sesuatu dan segala peristiwa.
Sebagai serangkaian konsepsi dan reprentasi, keduanya benar-benar berbeda satu dengan lainnya,
tapi dalam kenyataannya keduanya sama-sama secara tepat menunjuk pada sesuatu yang tunggal
dan sama. Perbedaan antara Alam dan Tuhan hanyalah sudut pandang, atau cara benak manusia
mengonsepsi Sang Mutlak yang pada dirinya sendiri adalah benar-benar tidak bisa dikenal dan
diketahui. Ihwal misteri metafisik utama ini kita akan berusaha untuk membahasnya lebih rinci pada
bab berikut.

7. J A L A N (TAO)

Sampai di sini kita telah menapak tilas Chuang-tzu yang berusaha menganalisis proses penyingkapan
visi tentang Sang Mutlak kepada Manusia Sempurna Taois, yang membuka jendela baru ihwal
keseluruhan alam Wujud dalam benaknya yang benar-benar berbeda dari, dan sangat bertentangan
dengan, apa yang dipahami oleh akal sehat khalayak awam. Berkenaan hal itu, kita telah mengabaikan
Lou-tzu kecuali pada beberapa tempat. Kita juga tidak menganalisis secara sistimatis pemikiran filosof
yang terungkap dalam Tao Te Ching. Kita telah mengambil jalan ini karena beberapa alasan. Yang
terpenting bahwa Chuang-tzu, sebagaimana telah saya katakan berkali-kali, sangat tertarik
menjabarkan segi epistemologis masalah Tao, sedangkan Lou-tzu hanya tertarik mendedahkan hasil
pengalaman tentang Sang Mutlak, yaitu apa yang mengiringi dan diakibatkan oleh pengalaman itu.
Kitatelah menyimak pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu menyodorkan analisis teoritis yang
rinci ihwal proses perkembangan bertahap benak manusia menyongsong kesempurnaan taois. Dia
berusaha memberikan paparan akurat tentang ragam pengalaman metafisik dan spirutual Taois yang
melaluinya manusia “naik” menuju Sang Mutlak hingga dia menjadi benar-benar menyatu dengan-Nya.
tentunya, Chuang-tzu juga tertarik pada gerakan “menurun” benak, dari tingkat ekstatis kembali ke
tingkat kesadaran sehari-hari, yakni, dari tingkatan Kesatuan mutlak kembali ke keragaman “esensial”.
Kendatipun begitu, uraiannya tentang proses Turun itu bersifat epistemologis sekaligus ontologis.
Maksudnya, penjelasannya dibuat sedemikian rupa sehingga untuk setiap tingkatan obejktif Wujud
terdapat padanannya dalam tingkatan subjektif pengalaman spiritual, sampai-sampai sistem ontologis,
dalam kasus Chuang-tzu, pada saat yang bersamaan merupakan sistem epistemologis yang
sempurna, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, ciri khas Chuang-tzu yang meleburkan kedua aspek
bersama-sama sehinga kadang-kadang sulit bagi kita untuk menentukan apakah pasase tertentu itu
diajukan sebagai pemerian sisi subjektif ataukah sisi objektif struktur ontologis segala sesuatu. “Duduk
dalam perikelupaan” merupakan contoh dari apa yang dimaksud.
Sebaliknya, Lou-tzu agaknya tidak terlalu tertarik dengan tahap-tahap bersifat pengalaman
(experiantial) yang mendahului visi puncak tentang Sang Mutlak. Dia tidak mau susah-susah
menjelaskan bagaimana dan melalui proses apa kita dapat memperoleh visi tentang Sang Mutlak. Dia
tampaknya lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan seputar : (1) Apa itu Sang Mutlak, yaknim
Jalan?; dan (2) Bagaimana seorang “manusia suci” diharapkan berperilaku dalam situasi dan kondisi
umum kehidupan sosial berdasarkan visinya tentang Jalan?
Sejak awal dia mengungkapkan kata-katanya atas nama Sang Mutlak,s ebagai wakil orang-orang yang
telah mencapai tingkatan tertinggi dalam hal kesempurnaan Taois. Di balik halaman-halaman Tao Te
Ching, kita merasakan kehadiran seorang manusia yang telah mengalami penyatuan sempurna
dengan Sang Mutlak, yang , karenanya mengetahui apa itu Sang Mutlak.
Sekonyong-konyong Lou-tzu langsung berbicara tentang Jalan. Dia mencoba menyampaikan kepada
kita pengetahuan personalnya ihwal Sang Mutlak, dan – begitulah yang tertangkap oleh pemahaman
akal sehat – pandangannya yang aneh tentang alam semesta. Seandainya bukan karena Chuang-tzu,
kita hampir tidak mampu mengetahui secara pasti latabelakang eksperiensial seperti apakah yang
dimiliki pandangan luarbiasa tentang dunia ini sebagai “prasejarah” yang tidak terucapkan. Itulah
sebabnya kita hingga kini secara sadar telah menahan diri untuk tidak beralih menganalisa pemikiran
Lou-tzu secara sistimatis, dan membatasi diri pada tuga mengklarifikasi “prasejarah” ini dalam sorotan
perkataan Chuang-tzu mengenainya.
Namun demikian, situasi khas yang baru saja kita sebutkan menyangkut sikap dasar Lou-tzu rupa-
rupanya menunjukkan bahwa Tao Te Ching adalah pilihan terbaik untuk kita jadikan sandaran, bila kita
memang ingin memperoleh pemahaman jernih ihwal konsepsi Taois mengenai Sang Mutlak, realitas
dan perbuatan-Nya. seperti yang akan segera kita ketahui, Sang Mutlak yang dikonsepsi oleh Lou-tzu
dan Chuang-tzu pastinya, berada di luar segala pemerian verbal. Meski begitu, Lou-tzu telah berjuang
untuk memerikan, paling tidak secara simbolis, Sesuatu yang tak terkatakan ini. Dan dia berhasil
dengan mengagumkan. Faktanya, Tao Te Ching adalah karya yang luar biasa dalam upayanya
mengjangkau sebisa mungkin Sang Mutlak yang pada dasarnya tidak dapat dijabarkan itu. Itulah
mengapa kita akan sangat membutuhkan bahasan bab ini untuk memperjelas struktur metafisik Sang
Mutlak.
Namun demikian, kitta harus menyatakan, bahwa lagi-lagi di sini Lou-tzu tidak menerangkan
bagaimana dan mengapa Sang Mutlak itu tidak dapat dijabarkan dan diperikan. Dia hanya menyatakan
bahwa Jalan itu “tidak memiliki nama”, “tidak berbentuk”, tidak tercitrakan”, “tidak terlihat”, “tidak
terdengar”, dan sebagainya. Alhasil, Jalan itu “tiada” (wu wu) atau Tiada (wu). Berkenaan dengan
proses psikologis atau logis yang dengannya seseorang mencapai kesimpulan ini, dia tidak
mengatakan sesuatu yang positif. Proses ini diperjelas secara menarik oleh Chuang-tzu dalam pasase
yang memberikan kesaksian ampuh sebagai seorang pakar dialektika ulung. Marilah kita mulai dengan
membaca pasase yang dimaksud sebagai suatu pengantar teoritis yang mencerahkan kepada
konsepsi Lou-tzu tentang Sang Mutlak.
Chuang-tzu sangat menyadari fakta abahwa Jalan, atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya, menolak
segala verbalisasi dan penalaran; yaitu, jika diposisikan pada tataran bahasa, maka Jalan akan serta
merta dan suka tidak suka berubah menjadi sebuah konsep. Sebagai sebuah konsep, tentu saja Sang
Mutlak berada dalam tingkatan yang sama dengan konsep lainnya. Dia melakukan amatan ini sebagai
titik awal argumentasinya. Dia mengatakan bahwa manusia membuat perbedaan antara “benar” dan
“salah” dalam segala hal dan kemudian menganggap adanya perbedaan fundamental antara “benar”
dan “salah. Sebaliknya, Chuang-tzu mengemukakan tesis bahwa tidak ada perbedaan antara “benar”
dan “salah”. Dalam hal ini, khalayak awam dan Chuang-tzu bertentangan satu sama lain secara
diametris. Namun, Chuang-tzu menimpali, sebagai sebuah proposisi logika, “tidak ada perbedaan
antara benar dan salah” tidaklah kurang nalar (logos), daripada proposisi sebaliknya : “ada perbedaan
antara benar dan salah. Dalam hal ini, keduanya merupakan satu kategori yang sama.
Dalam kenyataannya, dua proposisi itu menunjukkan pada dua tataran wacana (level discourse) yang
sepenuhnya berbeda. Perbedaan itu, sebagaimana telah kita ketahui, hanya muncul ketika seseorang
menyadari bahwa pernyataan positif merupakan pernyataan yang khas pada tataran wacana empiris,
sedangkan pernyataan negatif sejak awal ditujukan untuk mewakili “pengacauan” (chaotification)
ontologis yang dialami oleh Manusia Sempurna pada saat-saat penyatuan ekstatiknya dengan Sang
Mutlak. Sebagai sebuah ungkapan pengalaman yang orisinal, pernyataan itu bukanlah merupakan
proposisi logika kecuali pada bentuk luarnya saja. tetapi, selama pernyataan itu memiliki bentuk logika
(logica form), maka ia merupakan proposisi logika (logical proppsition); dan dengan sendirinya, ia tidak
tepat mewakili pengalaman unik tentang “pengacauan” , karena ia adalah kontradiksi proposisi : “ada
perbedaan antara benar dan salah”. Jika demikian, adalah sikap lain yang dapat kita ambil ketimbang
sekadar mempertahankan sikap diam seribu bahasa? Menurutnya, “Terlepas dari itu, saya tetap berani
membahas persoalan itu (pada tataran logika atau konseptual)”. Dengan pernyataan-pernyataan
pendahuluan ini, dia telah mulai mengembangkan sebuah argumen yang sangat menarik dengan cara
berikut. Singkatnya, argumen itu menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam kemutlakan aslinya secara
konseptual merupakan negasi-terhadap-negasi-suatu-negasi )negation of-negation-of-negation), yakni,
negasi Sang Mutlak sebagai Tiada yang, lagi-lagi, merupakan negasi Ada (the negation of the
absolutes being Nothing wich, again, is the negation of Being). Dan itulah batas terjauh yang dapat
dijangkau pemikiran logis kita dalam upaya pamungkas memahami Sang Mutlak pada tataran konsep-
konsep.
Kita telah melihat bahwa pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu, dalam menjabarkan tahap-
tahap perkembangan spiritual “duduk dalam perikelupaan”, menyebutkan pandangan bahwa “tiada
yang mewujud sejak semula” sebagai batas terakhir kognisi ekstatis.
Apa batas terakhir Pengetahuan? Ia adalah tahapan yang direpresentasikan oleh pandangan bahwa
tiada yang mewujud sejak semula. Inilah batas terakhir (Pengetahuan), dan tak ada lagi yang dapat
ditambahkan.
“Tiada yang mewujud sejak semula”, yang tercantum dalam kutipan ini merupakan kalimat-kunci untuk
memahami dengan benar pasase yang akan segera kita baca. Penting untuk dicamkan bahwa dalam
pasase yang akan segera kita cermati ini kita tidak lagi berhubungan dengan permasalahan
epistemologis menyangkut batas akhir kognisi manusia. Persoalan kita di sini murni merupakan
persoalan metafisik. Karena itu berkaitan dengan asal mula Wujud, atau tentang Alam Semesta. “Asal
mula” yang sedang kita perbincangkan di sini bermakna titik permulaan alam Wujud. Setiap kali kita
berpikir secara logis ihwal pembentukan alam Wujud, kita mesti mempradugakan sebuah “permulaan”.
Nalar kita tidak dapat memahami alam Wujud tanpa membayangkan titik di mana alam itu “mulai”
mewujud.
Karena itu, kita mempradugakan “Permulaan”. (Namun, saat kita mempradugakan “Permulaan”, Nalar
kita mau tidak mau melangkah jauh kembali dan ) mengakui gagasan bahwa tidak pernah ada
Permulaan. (Maka, konsep tidak pernah ada Permulaan niscaya terkukuhkan. Namun, saat kita
mempradugakan tidak pernah ada permulaan, pemikiran logis kita melangkah jauh kembali dengan
mengingkari gagasan yang baru saja terkukuhkan, dan ) mengakui gagasan tidak pernah ada “tidak
pernah ada Permulaan”. (Maka, konsep “tidak ada-tidak pernah ada-Permulaan” terkukuhkan).
Konsep tentang Permulaan, yaitu, titik awal keseluruhan alam Wujud, hanyalah sebuah konsep yang
relatif.s ecara konseptual ia bisa lebih jauh didorong kembali dan kembali lagi. Hanya saja, tak peduli
seberapa jauh ktia dapat mendorongnya ke belakang, proses konseptual ini tidak mencapai titik akhir.
Untuk benar-benar mengakhiri proses ini kita harus memukulnya telak dengan jalan mengingkari
Permulaan itu sendiri. Hasilnya, konsep tentang tidak-pernah-ada-Permulaan diperoleh.
Namun, konsep tentang Tiada-Permulaan, lagi-lagi, adalah konsep yang bersifat relatif, karena ia
merupakan konsep yang hanya bertahan dengan jalan dipertentangkan dengan konsep terntang
Permulaan. Untuk menghilangkan relativitas ini dan mencapai Tiada-Permulaan yang mutlak, kita
harus melampaui (konsep) Tiada-Permulaan itu sendiri dengan jalan menegasikannya dan
menegaskan (konsep) Tidak ada Tiada-Permulaan. Namun, tidak ada Tiada-Permulaan – yang mesti
diartikulasikan sebagai Tidak ada-(Tiada-Permulaan) – adalah konsep yang signifikansi sejatinya
tersingkapkan hanya bagi orang-orang yang mampu memahaminya sebagai penanda hal-ihwal
metafisik yang mesti dicerap oleh sejenis intuisi metafisik. Hal ini tampaknya mengisyaratkan bahwa
Tidak ada Tiada-Permulaan, walaupun merupakan sesuatu yang telah dipradugakan oleh Nalar,
berada di luar tangkapan seluruh penalaran logis.
Dengan cara yang sama, (kita mulai dengan memerhatikan fakta bahwa) Wujud itu ada. (Tetapi, saat
kita mengakui Wujud, Nalar kita kembali jauh ke belakang dan mengakui bahwa) ada Non-Wujud (atau
Tiada). (Begitu kita mempradugakan Non-Wujud, maka mau tidak mau kita kembali jauh ke balang dan
mengakui bahwa (tidak ada Non-Wujud itu sejak awal. (Ketika konsep Tidak ada (Non-Wujud)
dikukuhkan dengan cara ini, Nalar melangkah lebih jauh dan belakang dan mengakui bahwa) tidak ada
yang dinamakan “tidak ada-Non-Wujud” (yakni, penafian atas penafian terhadap Non-Wujud, atau
Tidak ada-(Tidak ada-Non-Wujud).
Konsep Tidak ada [Tidak ada-Non-Wujud) atau Tidak ada-Tidak ada-Tiada ini mewakili tahap logika
paling ujung yang dicapai dengan menafikan – yaitu, melampaui – penafian pertentangan Wujud dan
Non-Wujud. Inilah imbangan logis dan konseptual dari Jalan atau Tiada menafikan yang bukan sekedar
“tiada”, melainkan Tiada transenden yang terdapat di balik “wujud” dan “non-wujud” sebagaimana yang
bisa dipahami.
Jadi, tampaknya kita telah berhasil mengkonseptualisasikan Jalan sebagai Tiada yang transenden
secara mutlak. Namun, apakah Sang Mutlak yang terkonseptualisasikan itu secara cermat
mencerminkan hakikat Sang Mutlak? Sekaitan dengan pertanyaan itu, kita tidak dapat mengatakan Ya
maupun Tidak. Sebagaimana halnya dengan konsep Tidak ada-Tiada-Permulaan, kita harus
menyatakan bahwa konsep Tidak ada-Tidak ada-Tiada sejalan de-ngan realitas tentang Sang Mutlak
hanya apabila kita, dalam memahaminya, melampaui ranah pemikiran logis itu sendiri menuju konsep
tentang intuisi ekstatis atau mistis. Namun, apabila kita melakukan hal itu, konsep tentang Tidak ada-
Tidak ada-Tiada akan segera berhenti sebagai konsep. Dan kita akan berakhir dengan menyadari
bahwa seluruh penalaran logis yang ada pada kenyatannya muspra dan sia-sia. Sebaiknya, jika kita
menolak melampaui tingkat penalaran maka konsep Tidak-ada – Tidak-ada-tiada akan selamanya
menjadi konsep kosong yang tidak memiliki seluruh makna positif dan, karenanya, tidak berada tepat
menjelaskan hakikat Sang Mutlak. Maka itu, bagaimanapun, tindakan konseptualisasi benak terbukti
gagal memahami Sang Mutlak sebagaimana adanya.
(Apabila Nalar mulai aktif), secara tak terduga kita akan menemukan diri kita berhadapan dengan
“wujud” dan “nonwujud”. (Namun, karena semua ini merupakan konsep-konsep relatif dalam pengertian
bahwa “wujud” pada tahap ini berubah menjadi “nonwujud” pada tahap berikutnya, dan begitulah
seterusnya), kita tidak pernah dapt mengetahui secara pasti mana yang benar-benar “wujud” dan
mana yang benar-benar “nonwujud”. Kini saya baru saja menetapkan sesuatu (yang tampaknya)
memiliki makna, (yakni, saya telah menetapkan Sang Mutlak sebagai Tidak ada-tidak-ada tiada).
Namun, saya tidak tahu apakah saya sesungguhnya telah menetapkan sesuatu yang memiliki makna
ataukah apa yang telah saya tetapkan itu, ujung-ujungnya, tidak memilki makna apa pun.
Pada titik ini, Chuang-tzu tiba-tiba mengubah arah pemikirannya dan mencoba pendekatan lain. Kali ini
dia beralih kepada aspek Kesatuan yang, sebagaimana kita telah lihat sebelumnya, merupakan salah
satu ciri Sang Mutlak yang sangat menonjol. Namun, sebelum membahas persoalan itu berdasar
penalaran logis, dia mengingatkan kita secara hati-hati tentang apa yang dipahami melalui pernyataan
bahwa Sang Mutlak itu “satu”. Dia mengatakan bahwa Sang Mutlak itu “satu” sebagai sebuah
Coincidentia oppositorium. Kita telah menguji pada Bab 4 pendapat Chuang-tzu mengenai persoalan
ini. Istilah utamanya adalah “penyetaraan” segala sesuatu dalam Sang Mutlak.
Jalan atau Sang Mutlak, menurut Chuang-tzu, merupakan keadaan metafisik Penyetaraan
Langit/Surgawi (Heavenly Equalization), maksudnya, Sang Mutlak “setara” dengan segala
pertentangan dan kontradiksi. Pada tahap ini, sesuatu yang terkecil pada waktu yang sama adalah
yang terbesar, dan satu momen adalah keabadian.
(Keadaan Penyetaraan Surgawi menolak akal sehat dan nalar, lantaran kita mengakui pada tahap ini
bahwa) tidak ada alam yang lebih besar daripada ujung rambut seekor hewan di musim gugur,
sementara Gunung T’ai (yang biasanya disebutkan sebagai perumpamaan sesuatu yang sangat besar)
dianggap sangat kecil. Tidak ada orang yang hidup lebih lama daripada bayi yang belum berumur,
sementara P’eng Tsi (yang konon hidup 800 tahun) dianggap telah mati muda. Langit dan Bumi
berlangsung dalam waktu yang sama seperti saya (yakni, kelangsungan abadi Langit dan Bumi sama
saja dengan kelangsungan sesaat dari eksistensiku di dunia ini). Dan sepuluh ribu hal sama persis
dengan diriku sendiri.
Dengan demikian, dari sisi Penyetaraan Surgawi, segala sesuatu menjadi tereduksi dalam kesatuan
tunggal dalam kerangka ruang dan waktu. Bagaimana penalaran logis memahami Kesatuan mutlak
seperti itu? Itulah pertanyaan yang sedang kita hadapi sekarang.
Segala sesuatu (pada tahap ini) secara mutlak adalah “Satu”. Namun, jika begitu, bagaimana mungkin
kita mengatakan sesuatu? (Yakni, karena segala sesuatu secara mutlak adalah “satu”, maka tidak ada
lagi suatu apa pun yang berbeda dengan sesuatu lain. Dan karena tidak ada lagi perbedaan, maka
tidak ada artinya bahkan untuk mengatakan : “satu”).
(Hanya saja, dalam rangka bernalar, saya harus mempradugakan sesuatu). Maka itu, saya katakan :
“Satu”. Namun, bagaimana saya dapat menilai bahwa (ia tunggal) atau mereka (jamak) adalah “satu”
tanpa secara eksplisit mempradugakan istilah (yakni, kata-kata atau konsep : “satu”? Bagaimanapun,
(saat saya mempradugakan istilah “satu”), “Satu” yang asli (yakni Satu mutlak yang merupakan suatu
coincidentia oppositorium) dan istilah (atau konsep tentang) “satu” niscaya menjadi “dua”. (Hal ini
mungkin bermakana bahwa penalaran paling sedikir saja sudah menjadikan Satu asli itu membelah
dirinya sendiri menjadi Dua dan dengan demikian memunculkan dualisme.).
Selanjutnya “dua” ini (yakni, penilaian tentang istilah dua : “Jalan itu Satu”) beserta “satu” (maksudnya,
Satu mutlak yang mendahului semua penilaian) menjadi “tiga”.
Dari titik ini proses itu akan berlangsung tanpa ujung, sedemikian sehingga pakar matematika yang
berbakat pun tidak akan mampu menghapus angka, apalagi orang biasa.
Dengan cara ini, jika perpindahan dari Non-Wujud ke Wujud secara tak terelakan membawa kita
(paling sedikit) pada “tiga”, maka di manakah kita akan berakhir jika berpindah dari Wujud ke Wujud
(yakni, jika, alih-alih memulai dari Satu yang mutlak, kita mengambil sudut pandang relativis yang
mengejar berbagai hal individual yang terus mengalami keragaman tiada henti? Lebih baik kita tidak
melakukan perpindahanapa pun (yakni, lebih baik tidak menggunakan penalaran mengenai Sang
Mutlak dan berbagai hal). Biarlah kita memuaskan diri kita dengan mengiyakan saja (yang melampaui
segala pertentangan dan kontradiksi, serta membiarkan segala sesuatu sebagaimana adanya)!
Karena itu, setelah mengembangkan penalaran panjang-lebar tentang sifat Sang Mutlak, Chuang-tzu,
secara cukup ironis, berakhir dengan menegaskan bahwa penalaran itu sia-sia. Dia menghimbau kita
untuk meninggalkan segala pemikiran logis tentang Sang Mutlak dan tetap menyelamis ecara ekstatis
Pengetahuan intuitif mutlak. Karena, hanya dengan menjalankan hal itu kita dapat berharap untuk tetap
berada dalam hubungan langsung dengan Sang Mutlak.
Dengan demikian, tahap tertinggi Pengetahuan adalah tetap tak bergeming terhadap apa yang pasti
tidak dapat diketahui (oleh penalaran). Adakah orang yang mengetahui Kata yang bukan lagi sebuah
“kata”? Adakah roang yang mengetahui Jalan itu yang bahkan bukan sebuah “Jalan”? Jika ada orang
yang mengetahui hal demikian, maka dia pantas dinamakan “Bendaharawan Surga” (Yakni, orang
yang memiliki kunci gudang perbendaharaan tak terbatas tentang Wujud. Tidak hanya itu, dia sama
seperti “perbendaharaan” itu sendiri). (Perbendaharaan Surga yang dengannya orang ini telah serupa
dan menyatu ibarat samudra tak bertepi); tidak jadi masalah seberapa banyak kau menuangkan air ke
dalamnya, samudra itu tidak akan pernah menjadi penuh; dan tidak jadi masalah seberapa banyak kau
mengambil air darinya, samudra itu tidak akan pernah kering. Tidak ada orang yang tahu bagaimana
dan darimana segala sesuatu (tak terbatas) ini mewujud.
Itulah Pengetahuan yang dimiliki orang seperti itu yang secara tepat bisa disebut “Cahaya yang
terhalang”.
Jadi, dengan mengikuti argumen Chuang-tzu selangkah demi selangkah kita telah diarahkan menuju
konklusi bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam realitas puncaknya melampaui seluruh penalaran dan
konseptualisasi. Konklusi ini membentuk titik awal pemikiran metafisik Lou-tzu. Sebagaimana telah
nyatakan pada permulaan bab ini, Lou-tzu enggan bersusah-susah menjelaskan proses logika atau
proses epistemologis yang mendasari sistem metafisikanya. Namun, kita kini berada dalam posisi
untuk memahami latarbelakang metafisika ini.
Sudah sewajarnya, metafisika Lou-tzu berawal dengan menyebutkan beberapa sifat negatif dari Jalan,
pada mulanya, “tanpa nama”.
Jalan dalam realitas mutlaknya (ch’ang) tidak memiliki nama.
Terpilin panjang seperti benang, tidak ada nama yang dapat diberikan untuknya.
Jalan itu tersembunyi dan tanpa nama.
Jalan yang “tanpa nama” itu bermakna bahwa sebutan “Jalan” tidak lain daripada pengganti
sementara. Lou-tzu secara kasar menyebutnya “Jalan” lantaran tanpa memberinya suatu nama dia pun
tidak dapat merujuk padanya. Fakta ini benar-benar terindikasidari kalimat pembuka yang sangat
populer dalam Tao Te Ching.
“Jalan” yang dapat ditandai dengan kata “Jalan” bukanlah jalan sesungguhnya.
“Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah Nama sesungguhnya.
Adalah menarik dan penting untuk dinyatakan bahwa pasase ini, di samping merupakan pertanyaan
tegas yang kurang lebih bermakna bahwa Sang Mutlak itu “tanpa nama”, dirancang menjadi semacam
kritik implisit terahdap realisme Konfusius. “Jalan” yang di sini disebut sebagai bukan “Jalan
sesungguhnya” adalah “jalan” kemanusiaan (atau etis) sebagaimana dihayati aliran Konfusius.
sedangkan “nama” yang dikatakan bukan “Nama sesungguhnya” merujuk pada apa yang disebnut
“kebajikan”, kesalehan”, dan sebagainya, dan mereka anggap sebagai keluhuran-keluhuran utama.
Mengani kata “jalan” (tao)) sebagaimana pertama kali digunakan Konfusius sendiri dan lingkaran
terdekatnya, informasi autentik mengenainya diberikan dala Lun Yu (“Bunga Rampai”). Membahas
rincian rumit persoalan itu akan membawa kita terlalu jauh dari lingkup kajian sekarang. Di sini saya
akan membatasi diri untuk memberikan beberapa contoh seperlunya guna memperjelas ciri-ciri khas
yang sangat esensial dari konsep Konfusius tentang Tao.
Guru Yu (salam seorang murid Konfusius) pernah menyatakan : Orang-orang yang berwatak
menghormati orang tua dan saudara (maksudnya, orang-orang yang berperilaku sangat baik sejak lahir
terhadap orangtua dan kakak-kakak mereka) di rumah, jarang sekali (dalam kehidupan khalayak)
bersikap menetang keinginan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka. Dan (orang-orang yang tidak
bersikap menetang keinginan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka) sungguh tidak pernah
berkeinginan melakukan keresahan (dalam masyarakat).
(Pengamatan atas fakta ini menyadarkan kita bahwa ) “manusia bangsawan” seharusnya berjuang
(untuk mengukuhkan) akar, karena ketika akar terkukuhkan, maka “jalan” (tao) secara alami akan
tumbuh. Sikap yang tepat terhadap orangtua dan kakak, dalam hal ini, dapat dianggap merupakan akar
dari “keluhuran” (atau “cinta yang manusiawi”).
Secara kontekstual jelas bahwa “jalan” pada pasase ini bermakna sikap etis yang pantas dari
seseorang terhadap saudara-saudaranya dalam masyarakat, argument ini khas para penganut
Konfusius. Argument itu mengakui bahwa perbuatan baik bawaan sejak lahir manusia terhadap mereka
yang sangat dekat pertalian darahnya sebagai “akar” atau “asal-mula” akhlak manusia. Perbuatan baik
bawaan sejak lahir ini apabila dikembangkan menjadi perbuatan baik yang bersifat universal terhadap
seluruh anggota masyarakat, makai a akan berubah menjadi prinsip tertinggi akhlak mulia, “Jalan”,
sebagaimana ditunjukkan melalui “kebajikan dan kemurahan hati”.
Jelaslah, struktur konseptual argument tersebut didasarkan pada istilah-istilah “kepatuhan anak”,
penghormatan pada orang tua”, dan “perbuatan luhur”. Kata “jalan” hamper-hampir disebutkan secara
sepintas. Ia bahkan bukan merupakan istilah-kunci dalam pengertian sejati kata tersebut.
Sang Guru (konfusius) barkata, “O Shen, ‘jalanku’ adalah suatu kesatuan yang melintasi (segala
bentuk perilaku)”. Guru Tseng dengan penuh hormat menjawab, “ya!”
Manakala guru meninggalkan tempat itu, murid-murid lainnya bertanya (kepada Guru Tseng), “Apa
yang dia maksud?”
Guru Tseng berkata, “Jalan” yang dimiliki guru kita meliputi “kesetiaan” (maksudnya, setia atau
mempercayai hati Nurani sendiri) dan “baik hati” (yakni, memikirkan orang-orang lain, seolah-oleh
persoalan mereka merupakan persoalannya sendiri).
Pada pasase ini, “jalan” juga bisa bermakna prinsip utama akhlak mulia. Melalui pernyataan : “Jlanaku
merupakan kesatuan yang melintasi”. Konfusius bermaksud mengatakan bahwa walaupun perilakunya
tampak secara nyata dalam berbagai bentuk, namun yang mendasarinya adalah keseluruhan prinsip
etika yang unik. Dengan kata lain, “jalan” di sini bermakna prinsip pemersatu seluruh bentuk akhlak.
Sang Guru berkata, “Jika ‘jalan’ telah menguasai sebuah negeri, kau boleh berani berbicara dan
berbuat. Namun, jika ‘jalan’ tidak merata, kau boleh berani berbuat, tetapi kau seharusnya sedikit
berbicara.”
Konfusius sering berbicara tentang “jalan” yang menguasai sebuah negeri – atau secara lebih harfiah
“negeri yang memiliki jalan”. Apa yang dimaksud dengan suatu kata dalam konteks-konteks demikian
terlalu jelas untuk diberi penjabaran.
Sang Guru berkata, “Jalan” “manusia bangsawan” (termanifestasikan) dalam tiga (bentuk). Namun,
saya sendiri tidak setara dengan bentuk-bentuk itu. Orang yang benar-benar bebudi luhur tidak pernah
cemas. Orang yang benar-benar bijak tidak pernah bingung. Orang yang benar-benar berani, tidak
pernah takut.
Penafsiran kata tao kurang-lebih beragam sesuai dengan konteksnya, tetapi makna utamanya tampak
pada seluruh penggunaan kata tersebut sebagai “jalan” yang cocok atau yang tepat bagi perilaku
dalam kehidupan sosial. “Jalan” ini semata-mata terbatas pada manusia. Pasalnya, walaupun pada
dasarnya bersifat kemanusiaan dan etis dalam manifestasi konkretnya, dalam kesadaran moral
Konfusius konsep itu tupanya memiliki sesuatu yang bersifat kosmik sebagai landasan metafisiknya.
“Jalan” dalam bentuk metafisik yang sesungguhnya merupakan hukum tertinggi yang meliputi Wujud.
Hukum tertinggi yang mengatur kerja alam semesta pada umumnya, dan mengatur manusia sebagai
bagian dari keseluruhan alam semesta pada khususnya, dinamakan “jalan” apabila dipahami melalui,
atau direfleksikan dalam, kesadaran manusia.
Prinsip tertinggi akhlak mulia, dalam pemaknaan ini, tiada lain adalah manifestasi partikular dan hukum
universal Wujud dalam bentuk hukum tertinggi yang mengatur kehidupan manusia yang benar.
Menurut Konfusius, prinsip akhlak mulia sama sekali bukan merupakan undang-undang buatan
manusia, atau seperangkat aturan yang mengatur perilaku manusia dari luar dirinya. Prinsip itu
merupakan refleksi dalam kesadaran manusia akan hukum tertinggi alam semesata. Dan, dengan
demikian, ia merupakan hukum alam “yang diinternalisasikan” untuk mengatur perilaku manusia dari
alam.
Karena itu, untuk mengenal “jalan” (tao) tidak cukup dengan hanya mempelajari aturan-aturan formal
akhlak mulia dan perilaku beanr. Ia juga meliputi hubungan manusia dengan hokum metafisik yang
meliputi Kosmos melalui cara menghayatinya. Pernyataan yang sangat kukuh dan bergairah berikut ini
mungkin kedengaran janggal atau bahkan menggelikan jika “jalan” Konfusius itu semata-mata
merupakan persoalan tatakrama dan perilaku benar.
Sang Guru berkata, “Kika seorang manusia mendengar (yakni, memahami makna terdalam dari) “jalan”
pada pagi hari, maka dia mungkin akan mati Bahagia pada sore hari.”
Pada aspek “kosmisk” ini, konsepsi Konfusius ihwal “jalan” dapat dikatakan memiliki keserupaan
dengan imbangan Taoisnya. Namun, perbedaan antara kedua konsep itu jauh lebih mencolok dan
menukik ketimbang keserupaan itu, sebagaimana akan segera kita lihat. Bagaimana pun juga, ada
sikap kesadaran yang nyata di pihak Lou-tzu dan Cuang-tzu untuk menolak “jalan” (tao) sebagaimana
dipahami Konfusius dan para pengikutnya. Lou-tzu mengatakan bahwa “jalan” (tao) yang dapat dikenali
sebagai “jalan” oleh orang-orang awam – Konfusius dan para pengikutnya mewakili mereka – bukanlah
Jalan sejati. Jalan sejati, atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya, bukanlah suatu yang dapat dipahami
benak awam. Bagaimana seseorang dapat “mengetahuinya”? Bagaimana seseorang dapat
“mendengar”? Pada dasarnya ia adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak dapat dikenali, dan tidak
dapat didengar.
Karena pada dasarnya tidak diketahui dan tidak dapat dikenal, maka Jalan (tao) adalah “tanpa
nama”. Di sini pula kita menemukan Lou-tzu secara sadar mengambil posisi menentang sikap
Konfusius menyangkut “nama-nama”. Tentu saja, Lou-tzu juga berbicara tentang “nama-nama”. Dia
mengatakan bahwa jalan “tanpa nama” terus menggunakan berbagai nama dalam proses penentuan
jati-dirinya.
Jalan (tao) dalam realitas mutlaknya tidak memiliki “nama”. Ia (dapat dibandingkan dengan) kayu
gelondongan …. Hanya ketika kayu itu dipotong-potong muncullah “nama-nama”.
Tetapi, ada perbedaan mendasar antara Lou-tzu dan Konfusius mengenai “nama-nama” ini, mengingat
Lou-tzu tidak menganggap “nama-nama” tersebut sebagai sesuatu yang sepenuhnya terkukuhkan.s
ebagaimana telah kita pelajari dari penjelasan Chuang-tzu tentang “chaotifikasi” dan tesis Lou-tzu
bahwa segala sesuatu di ala mini bersifat “relative”, segala “nama” – dan pada akhirnya “segala
sesuatu” yang ditentukan oleh “nama-nama” itu – hanya bersifat relative. Sebaliknya, “realisme”
Konfusius mengambil sikap bahwa di balik setiap “nama” terdapat realitas objektif dan permanen yang
sesuai dengannya. Nama-nama tertinggi sesuai dengan realitas-realitas tertinggi. Nama-nama ini
melukiskan sifat-sifat utama : “kebaikan”, “kesalahan”, “kesantunan”, “kebajikan”, “kejujuran”. Terhadap
hal ini, Lou-tzu mengemukakan pandangan bahwa “nama-nama” ini, yang boleh jadi disebut sebagai
“nama-nama”, bukanlah “nama-nama” hakiki. Menurut hematnya, Nama-nama, atau sifat-sfat utama itu
yang dihargai begitu tinggi oleh para pengikut Konfusius tidak lain hanyalah beberapa gejala
kemusnahan dan kerusakan, yaitu, gejala-gejala sekelompok manusia yang mengalienasikan diri
mereka dari Sang Mutlak.
Hanya ketika Jalan Agung itu mundur, “kebaikan” dan “keluhuran” maju. Hanya ketika kecerdasan dan
kebijaksanaan tampil, tipu muslihat dan makar muncul. Hanya ketika enam hubungan dasar
kekeluargaan (maksudnya, hubungan-hubungan antara ayah dan anak, kakak dan adik, suami dan
istri) jauh dari harmoni, maka anak-anak yang patuh tampak. Hanya ketika negara jatuh ke dalam
keresahan dan kerusuhan, para warga negara yang setia menampilkan diri mereka.
Hanya setelah Kebajikan hilang, “Budi pekerti” menonjol. Hanya setelah “budi pekerti” hilang,
“keluhuran menonjol”. Dan hanya setelah “keluhuran” hilang, “kesantunan” menonjol.
Sungguh, “kesantunan” muncul pada suatu ketika “kesetiaan” dan “kejujuran” telah menjadi langka. Ia
menandai awal kerusuhan (dalam masyarakat).
Jauh dari nilai-nilai hakiki sebagaimana yang ditegaskan para pengikut Konfusius, semua Nama-nama
ini tidak lain hanyalah tanda-tanda alienasi diri manusia dari Realitas. Justru dengan meneguhkan
Nama-nama ini sebagai nilai-nilai mutlak dan permanen terdapat isyarat yang tegas bahwa Sang
Mutlak telah terabaikan. Berbicara secara lebih umum, tidak ada “nama” yang bersifat mutlak. Karena,
sebagaimana Lou-tzu katakana, suatau “nama” yang dapa ditandai melalui kata “nama” bukanlah
Nama sejati. Satu-satunya “Nama sejati” (ch’ang ming) yang bersifat mutlak adalah Nama yang
disandang Sang Mutlak. Namun, Nama mutlak itu,s ecara paradoksal, adalah “Tanpa Nama”, atau
sebagaimana kita akan segera lihat, merupakan “Misteri dari segala Misteri”, Gerbagn segala
Keajaiban”.
Saya beru saja menggunakan ungkapan : “Nama yang disandang Sang Mutlak”. Sesungguhnya,s
ebagaimana Lou-tzu sendiri secara eksplisit mengakui, Jalan “tanpa nama” juga menggunakan “nama”
yang lebih positif pada tahap awal manifestasi-diri atau determinasi-diri. Bahwa “nama” awal yang
disandang oleh Sang Mutlak dalam aktivitas kreatif-Nya merupakan Eksistensi (yu). Lou-tzu, demi
membuat konsesi bagi gaya Bahasa popular, kadang-kadang menamakan Eksistensi sebagai Langit
dan Bumi (t’ien ti). Tegasnya, Jalan apda tahap ini sesungguhnya belum secara actual menjadi Langit
dan Bumi. Ia hanyalah Langit dan Bumi in potential. Itulah wajah Sang Mutlak yang dengannya Dia,
istilahnya, berpaling kea lam Wujud yang tentu saja berasal dari-Nya. Ini mengacu kepada Sang Mutlak
sebagai prinsip kreativitas yang abadi dan lestari.
Tanpa Nama merupakan awal Langit dan Bumi. Yang Dinamai (the Nomed) merupakan Ibu (Induk)
sepuluh ribu hal (ciptaan).
Namun, sebelum kita membahas rincian persoalan tentang Yang Dinamai, kita harus membahas lebih
lanjut sisi “tanpa nama” dari Jalan.
Untuk memulai babak baru dalam meninjau aspek ini dari Jalan (tao) tersebut, dengan nyaman kita
dapat mengingat kembali kata-kata pembuka dalam Tao Te Ching, yang telah dikuti[ di atas dan yang
telah membawa kita pada semacam penyimpangan Panjang seputar perbedaan fundamental antara
ajaran Konfusius dan Taoisme seputar pemahaman “jalan” (tao) dan “nama” bukan Jalan
sesungguhnya. “Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah Nama sesungguhnya.
Konsepsi yang sama tentang Jalan diungkapkan Chuang-tzu secara agak berbeda sebagai berikut :
Jika jalan diperjelas, maka ia bukan lagi jalan”.
Maksdunya,s esuatu yang dapat ditunjuk sebagai Jalan bukanlah Jalan yang hakiki. Dan juga :
Adakah orang yang bisa mengenal Jalan yang bukan merupakan sebuah “jalan”?
Tentu saja, ini bermakna bahwa Jalan hakiki tidak memiliki bentuk kasat-mata yang dengannya
seseorang dapat menunjukkan dengan kata “jalan”.
Untuk mengatakan bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya adalah “tanpa nama”,
sehingga menolak untuk ditandai dengan “nama” apa pun juga, harus diujarkan bahwa hal itu
melampaui seluruh pemahaman linguistik. Dan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa Jalan
berada di luar jangkauan pemikiran dan persepsi indrawi. Dengan demikian, Jalan merupakan sifat
yang Nalar tidak mampu memahaminya dan pancaindra tidak mampu mencandranya. Dengan kata
lain, Jalan merupakan sesuatu Transenden mutlak.
Meskipun kita berusaha melihatnya, ia tidak dapat di lihat. Dalam kaitan ini ia dinamakan “tanpa
sosok”.
Meskipun kita berusaha mendengarnya, ia tidak dapat didengar. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangat
tidak terdengar”.
Meskipun kita berusaha menjamahnya, ia tidak dapat disentuh. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangar
suci”.
Pada ketiga aspek ini, ia sama sekali tidak dapat terukur. Semuanya melebur menjadi Satu.
(Lazimnya, bagian atas sesuatu tampak jelas,s edangkan bagian bawahnya gelap dan kelam. Tetapi
tidak begitu halnya dengan Jalan itu.)
Bagian atasnya, tidaklah cerah,. Bagian bawahnya, tidaklah gelap.
Ia terpilin tanpa jarak seperti benang, tetapi tidak ada nama yang dapat diberikan kepadanya. Dan
(aktivitas kreatif yang terpilin ini) pada puncaknya kembali ke kekosongan semula.
Akankah ktia memerikannya sebagai Bentuk yang tak berbentuk, atau Sosok yang tak bersosok?
Akankah kita memerikannya sebagai sesuatu yang samar-samar dan tidak dapat ditentukan? Berdiri di
hadapannya, kita tidak melihat bagian depannya. Membuntutinya, kita tidak melihat bagian
belakangnya.
Dengan demikian, Jalan “tanpa nama” adalah sama seperti Non Wujud. Karena apa pun yang
sepenuhnya tidak dapat diperesepsi dan dipahami, apa pun yang tidak memiliki “citra”, bagi manusia,
sama seperti “tidak mewujud”. Ia adalah “Tiada” (wu).
Penting untuk diperhatikan bahwa Jalan tampak seperti “Tiada” hanya apabila dilihat dari sudut
pandang kita. Ia Tiada bagi kita sebab ia melampaui pemahaman manusia. Ia, sebagaimana para
filosof Islam katakan, adalah masalah i’tibar atau “sudut tinjauan” (manusia). Sebaliknya, Jalan itu
sendiri – jauh dari “tiada” – adalah Eksistensi dalam pengertian paling sempurna dari istilah tersebut.
karena itu ia merupakan puncak asal dan sumber seluruh Wujud.
Bagi pemahaman manusia biasa, Jalan itu adalah Tiada. Namun, ia bukan “tiada” dalam pengertian
negatif belaka. Ia bukan “tiada” yang bersifat pasif. Ia adalah Tiada yang bersifat positif dalam
pengertian bahwa Ia adalah Non-Wujud yang sarat Eksistensi.
Sudah tentu, aspek positif Jalan ini jauh lebih sulit diterangkan ketimbang aspek negatifnya. Memang ia
tidak mungkin dijelaskan secara verbal. Seperti telah kita pahami, realitas Jalan tidak dapat dijabarkan
dan diutarakan. Tetapi, Lou-tzu berusaha menjabarkannya, atau minimal memebrikan beberapa
petunjuk bagaimana kita seharusnya “merasakan” kehadirannya di tengah-tengah alam Wujud. Tentu
saja,petunjuk-petunjuk tersebut sangat kabur dan tidak tegas. Petunjuk-petunjuk itu niscaya berciri
simbolik.
Jalan dalam realitasnya sama sekali samar, sama sekali saru.
Sama sekali saru, sama sekali samar, namun di dalamnya ada suatu Cintra.
Sama sekali samar, sama sekali saru, namun di dalamnya ada Sesuatu.
Sama sekali misterius, sama sekali gelap, namun di dalamnya ada Esensi tersuci.
Esensi tersuci itu sangat nyata adanya.
(Kreativitasnya secara abadi dan langgeng terus bekerja, sehingga) dari awal zaman hingga kini
Namanya tidak pernah meninggalkannya. Melalui Nama ini Ia mengatur dasar-dasar sesuatu.
Bagaimana kita mengetahui bahwa demikianlah Ia dengan dasar-dasar segala sesuatu? Dari apa yang
baru saja saya katakan.
Jalan, Jalan dalam aspek murni negatifnya yang berada di luar pemahaman manusia adalah Tiada dan
Non-Wujud. Pada aspek ini Jalan tidak memiliki “nama” apa pun. Bahkan, kata “jalan” semestinya tidak
berlaku untuknya. Jalan adalah “tanpa nama”.
Misteri yang sepenuhnya tidak dapat disentuh dan tidak dapat ditembus menghilangkan kegelapannya
sendiri dan melangkah lebih maju untuk memiliki sebuah “nama”. Pada tahap penentuan diri ini, ia
merupakan sebuah “Citra” yang redupd an suram. Pada Citra tersebut kita secara samar merasakan
kehadiran Sesuatu yang luarbiasa dan misterius. Namun kita belum mengetahui apa itu. Ia terasa
sebagai Sesuatu namun ia masih belim memiliki “nama”.
Pada bagian pertama kajian ini, kita melihat bagaimana, dalam sistem metafisika Ibn ‘Arabi, Sang
Mutlak dalam kemutlakannya adalah “tanpa nama”. Kita melihat bagaimana Sang Mutlak dalam
keadaan demikian bahkan berada di luar tahapan yang semestinya harus ditandai dengan nama Allah.
Demikian juga menurut Lou-tzu, Sesuatu ini bahkan telaha da jauh sebelum Tuhan (secara harfiah :
Penguasa langit).
Dalam tak terselami Dia, laksana pendahulu sepuluh ribu hal ....
Laksana massa air yang dalam (dan tidak tampak di atas permukaan), namun
Sesuatu tampaknya ada di sana.
Aku tidak tahu anak siapakah itu
Tampaknya ia telaha da jauh sebelumnya yang serta dengan Penguasa (maksudnya, Tuhan).
Sesuatu yang “tanpa nama” ini, dalam aspek positifnya, yakni, dalam kreativitasnya yang abadi dan
terus berlangsung, untuk sementara waktu dapat disebut “jalan”. Lou-tzu sendiri mengakui bahwa itu
merupakan “nama” yang bersifat sementara. Namun dari seluruh “nama” yang mungkin bersifat
sementara, “jalan” merupakan nama yang representatif. Sebenarnya, Lou-tzu mengusulkan beberapa
“nama” lain lagi bagi Jalan, dan menunjukkan beberapa “atribut” khas, yang masing-masingnya
menjukkan aspek tertentu dari Jalan.
Ada Sesuatu, tanpa bentuk namun sempurna, lahir sebelum Langit dan Bumi.
Diam dan hampa, berdiri sendiri, tidak pernah berubah. Ia berkeliling di mana-mana, tidak pernah
berhenti. Ia dapat dianggap sebagai Ibu keseluruhan alam raya.
Saya tidak mengetahui “namanya”. Untuk membuat nama samaran, saya menyebutnya “Jalan”.
Terpaksa memberinya nama (lebih lanjut), saya menyebutnya “Agung”.
“Agung” mengandung makna “Bergerak Maju”. “Bergerak Maju” mengandung makna “Melangkah
Jauh”. Dan “Melangkah Jauh” mengandung makna “Mampu Berbalik Arah”.
Pada pasase yang baru saja dikutip Lou-tzu mengemukakan kemungkinan Sang Mutlak diberi berbagai
nama. Namun, pada waktu yang sama, dia memperjelasnya bahwa semua “Nama: atau “atribut” ini
adalah bersifat sementara, relatif, dan parsial. Sebagai contoh, dia mengusulkan untuk menamakan
Sang Mutlak dengan nama “Agung”. Dia dibenarkan melakukan hal demikian karena Sang Mutlak atau
Jalan adalah “agung”. Namun, kita harus ingat, ia “agung” hanya dalam pengertian tertentu, dari sudut
pandang khusus. Menganggap Jalan sebagai “agung” hanya mewakili satu sudut pandang khas yang
kita (manusia) gunakan menyangkut Sang Mutlak. Hal ini tentu saja mengandung makna bahwa
terdapat juga hal tertentu di mana Jalan seharusnya dinamakan “kecil”. Ia dapat dianggap “agung”; ia
pun dapat dianggap “kecil”. Kedua “nama” itu adalah tepat, namuntidak ada dari keduanya yang benar-
benar selaras dengan realitasnya.
Dalam hal ini, Jalan dapat dibandingkan dengan tumbuhan air yang terapung-apung menyusuri jalan ini
atau jalan itu. Ia tidak memiliki kestabilan. Karena tidak memiliki kestabilan, ia menerima “nama” apa
pun, namun tidak ada “nama” yang dapat melukiskannya secara sempurna.
Jalan agung adalah seperti sesuatu yang hanyut di atas air. Ia bergerak ke mana-mana, kiri dan kanan.
Sepuluh ribu hal berutang eksistensi mereka padanya. Tetapi, ia tidak bersikap angkuh (dengan
aktivitas kreatifnya sendiri). Ia merampungkan pekerjaannya, namun ia tidak membuat klaim. Ia
memberi pakaian dan makanan kepada sepuluh ribu hal, namun ia tidak pernah menguasai mereka
secara keras. Karena ia sepenuhnya bebas dari keinginan, maka ia mungkin dinamakan “kecil”.
Sepuluh ribu hal kembali kepadanya, namun ia tidak membuat klaim bahwa ia adalah Majikan mereka.
Dalam hal ini, ia dapat juga dinamakan “Agung”.
Kesulitan yang kita temukan secara tak terelakkan dalam upaya memberikan sebuah “nama” yang
pantas untuk Sang Mutlak semestinya tidak hanya menyangkut fakta bahwa ia pada dasarnya “tanpa
nama”, tetapi juga menyangkut fakta bahwa Sang Mutlak bukanlah “sesuatu” dalam arti yang pada
galibnya kita pahami dari istilah “sesuatu”. Kekuatan deskriptif yang dimiliki oleh bahasa manusia,
tragisnya, amat terbatas. Saat kita secara linguistik menunjuk suatu hal, entah metafisik ataukah
empiris, melalui kata benda, ia menjadi “terkonkretkan/terbendakan”, yakni, ia berubah menjadi
“substansi” dalam gambaran kita. Sebelumnya kita telah menyebut Sang Mutlak sebagai Sesuatu;
tetapi “Sesuatu” dalam imajinasi kita adalah sejumlah substansi, kendatipun mungkin misterius.
Begitulah adanya untuk “nama-nama” seperti “Induk”, “Jalan”, dan sebagainya, atau bahkan “Tiada”.
Tetapi, Sang Mutlak yang kita tunjuk melalui “nama-nama” ini bukanlah suatu “substansi”, dan ia
seharusnya tidak dipahami sebagai suatu “substansi”. Inilah alasan – atau minimal salah satu alasan
utama – mengapa Lou-tzu banyak menekankan bahwa seluruh “nama” yang dia usulkan tidak lain dari
pengganti sementara. “Nama” apa pun yang mungkin dia gunakan dalam memaknai Sang Mutlak, tidak
seharusnya kita coba “konkretkan” dalam pengertian yang dia katakan dari nama itu. Karena sebagai
“sesuatu” dalam pengertian “substansi”, Sang Mutlak itu “tidak ada”. Bagaimana sesuatu dapat
merupakan “substansi” apabila ia sepenuhnya “tanpa sosok”, “tidak dapat dilihat”, “tidak dapat
didengar”, “tidak dapat disentuh”, dan “tidak dapat dirasa”? Sang Mutlak merupakan “Sesuatu” hanya
dalam pengertian Tindakan, atau tindakan Eksistensi itu sendiri. Secara ilmiah, kita dapat ungkapkan
konsepsi tersebut dengan mengatakan bahwa Sang Mutlak adalah Actus Purus (Tindakan Murni). Ia
merupakan Actus Purus dalam pengertian bahwa ia sangat “aktual”, juga dalam pengertian bahwa ia
mewujud justru sebagai tindak mewujudkan dan menjadikan “segala sesuatu” maujud. Kata-kata
berikut dari Lou-tzu dan Chuang-tzu memperjelas masalah ini
LOU-TZU MENGATAKAN :
Dia ayang melintasi alam, menggenggam Citra Agung, ke mana pun Dia pergi tidak akan menemui
kesulitan. Dia akan selalu selamat, tenteram, dan, tenang.
Musik nan merdu dan makanan nan lezat akan membuat para penempuh jalan berhenti. Sebaliknya,
Jalan yang terucap dalam kata-kata bersifat hambar dan tanpa rasa.
Orang memandangnya, dan menemukannya tidak layak untuk dilihat.
Orang mendengarnya, dan menemukannya tidak layak untuk didengar.
Namun, bila seseorang menggunakannya, dia akan menemukannya tidak pernah habis.
Bunyi yang paling keras tidak dapat terdengar.
Citra teragung tidak memiliki bentuk.
Jalan bersifat tersembunyi dan tidak bernama. Namun, Jalan sendirilah yang benar-benar paling
unggul dalam memberikan bantuan dan menyempurnakan berbagai hal.
SEDANGKAN CHUANG-TZU MENGATAKAN :
Jalan memiliki realitas dan buktinya. Namun, (ini tidak berarti bahwa ia) melakukan sesuatu dengan
niatan. Ia juga tidak memiliki bentuk (yang ragawi). Jadi ia dapat dipindahkan (dari hati ke hati “orang-
orang yang benar”), tetapi tidak dapat diterima (sebagaimana sesuatu yang memiliki bentuk eksternal).
Ia dapat diintuisi, namun tidak dapat dilihat. Ia mampu berdiri sendiri tanpa bantuan. Ia memiliki akar
sendiri dalam dirinya.
Ia maujud bahkan sebelum Langit dan Bumi itu mewujud. Ia benar-benar telah maujud dari dahulu
kala.
Ia merupakan sesuatu yang menganugerahkan spiritualitas kepada segenap ruh. Dan ia adalah
sesuatu yang membuat Penguasa Langit (maksudnya, Tuhan) menjadi tuhan.
Ia yang menciptakan Langit. Ia yang menciptakan Bumi.
Ia mewujud bahkan di atas titik tertinggi langit. Meskipun, ia tidak tinggi.
Ia mewujud bahkan di bawah enam arah. Meskipun, ia tidak “dalam”.
Ia lahir sebelum Langit dan Bumi. Meskipun, ia bukan “leluhur”.
Ia lebih tua dari zaman (kesejarahan) paling kuno. Meskipu, ia tidak “tua”.
Dengan demikian, Lou-tzu dan Chuang-tzu sama-sama sepakat menegaskan bahwa Jalan (tao)
adalah actus. Tak diragukan lagi bahwa actus itu maujud. Namun, ia tidak maujud sebagai “substansi”.
Ia tidak bisa “dikonkretkan/direifikasi”. Untuk tidak mereifikasinya, kita harus merasakannya. Karena,
kita mustahil dapat membayangkan, memerikan atau memahami Sang Mutlak tanpa mengubahnya
menjadi semacam “substansi”. Intuisi metafisik atau ekstatis boleh jadi merupakan satu-satunya cara
untuk kita dapat mendekatinya tanpa menimpakan pencemaran serius terhadap citranya. Tetapi, intuisi
jenis ini terbuka hanya bagi orang-orang yang telah mengalami hingga batas sejauh apa yang Chuang-
tzu sebut sebagai “duduk dalam perikelupaan”.
Bagaimanapun, penjelasan sebelumnya paling tidak telah memperjelas bahwa Jalan (tao) memiliki dua
aspek yang bertentangan, positif dan negatif. Sisi negatif dapat dibanding dengan Kegelapan metafisik
dari Ibn ‘Arabi. Dalam pandangan dunia Ibn ‘Arabi pun, Sang Mutlak (haqq) dalam dirinya sendiri, yaitu
dalam kemutlakan-Nya, sama sekali tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar dan tidak dapat dijamah
sebagai “bentuk” apa pun. Ia merupakan Transenden mutlak, dan karenanya ia adalah “Tiada” dalam
pemahaman manusia. Hanya saja, sebagaimana kita ingat, Sang Mutlak dalam intuisi metafisik arif
Arab itu “Tiada” bukan karena ia “tiada” dalam pengertian yang benar-benar negatif, melainkan lebih
tepatnya karena ia terlalu sepenuhnya maujud – lebih tepatnya, ia adalah Eksistensi itu sendiri.
Demikian juga, ia merupakan Kegelapan bukan lantaran ia tidak memiliki cahaya, tetapi lebih tepatnya
karena ia terlalu penuh dengan cahaya, sangat bercahaya – lebih tepatnya, ia adalah Cahaya itu
sendiri.
Begitulah tepatnya Jalan sebagaimana yang Lou-tzu intuisikan. Jalan tidaklah gelap, namun ia tampak
gelap karena ia terlalu bercahaya dan terang. Dia berkata :
Satu “jalan” yang (terlalu) terang tampak gelap.
Jalan itu dalam dirinya sendiri, yakni, dari sudut pandang Jalan itu sendiri, adalah terang. Tetapi,
karena ia terlalu mendalam untuk dikenali manusia, dari sudut pandang manusia, ia adalah gelap. Jaln
itu “Tiada” dalam pengertian ini.
Bagaimanapun juga, aspek negatif ini tidak menyusutkan kehakikian Sang Mutlak. Jika aspek itu
menyusutkan, maka tidak akan ada alam, tidak ada makhluk. Dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, Sang Mutlak
melalui Kehendak-Nya sendiri yang tak terukur turun dari tahap Kegelapan luar biasa atau “ketiadaan”
menuju tahap manifestasi diri. Kendatipun dalam dirinya adalah misteri yang tidak terkait dengan apa
pun selain dirinya, dan adalah Realitas yang sepenuhnya mandiri, Sang Mutlak memiliki aspek positif
yang berpaling pada alam. Dan pada aspek positif ini, Sang Mutlak mengandung segala hal dalam
bentuk Nama dan Sifat. Dalam cara yang sama, kendati dalam dirinya ia adalah Sesuatu yang “tanpa
nama”, Kegelapan yang melampaui segala hl, Jalan Lou-tzu juga “Sesuatu yang bernama” dan
merupakan “Ibu dari sepuluh ribu ciptaan”. Jauh dari menjadi Non-Wujud, dalam hal ini ia adalah
Wujud dalam pemaknaan paling sempurna.
Tanpa Nama merupakan permulaan Langit dan Bumi. Yang Dinamai merupakan Ibu dari sepuluh ribu
hal (ciptaan),
Pasase ini dapat juga diterjemahkan sebagai berikut :
Istilah “Non-Wujud” dapat diterapkan bagi permulaan Langit dan Bumi. Istilah “Wujud” dapat diterapkan
bagi Induk dari sepuluh ribu hal.
Terjemahan mana pun yang mungkin ktia pilih, hasilnya menjadi sesuatu yang persis sama. Karena,
dalam system metafisika Lou-tzu, sebagaimana telah kita pahami, “Tanpa Nama” itu sama dengan
“Non-Wujud”, sedangkan “Yang Dinamai” itu sama dengan Wujud”.
Apa yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa secara metafisik Tanpa Nama atau Non-
Wujud melukiskan tahap yang lebih tinggi – atau lebih fundamental – disbanding dengan Yang Dinamai
atau Wujud dalam struktur Sang Mutlak itu sendiri. Seperti halnya bagi Ibn ‘Arabi “manifestasi diri”
(tajali) tertinggi sekalipun merupakan tahap lebih rendah disbanding dengan Esensi (dzat) mutlak
Sang Mutlak itu sendiri, demikian pula bagi Lou-tzu Wujud menyantirkan tahap metafisik sekunder
dalam kemutlakan Sang Mutlak.
Sepuluh ribu ciptaan yang berada di bawah Langit Lahir karena Wujud (yu), sedangkan Wujud lahir
karena Non-Wujud (wu).
Jika kita meletakkan dua pasase ini berdampingan satu sama lain, kita memahami bahwa menurut
konsepsi Lou-tzu, Sang Mutlak pada tahap puncak metafisiknya adalah Tanpa Nama dan Non-Wujud,
sedangkan pada tahap awal kemunculan alam ia menjadi Yang Dinamai dan Wujud Ungkapan.
Ungkapan : “Permulaan Langit dan Bumi”, yang Lou-tzu gunakan berkenaan dengan Tanpa Nama,
tampak menandakan bahwa di sini ia menganggap Sang Mutlak sekaitan dengan tatanan temporal.
Harus kita akui bahwa hanya dari sudut pandang demikian kita dapat secara tepat berbicara tentang
“alam ciptaan” (creation) atau “pemunculan” alam. Tetapi, ungkapan temporal tidak terlalu tepat untuk
kenyataan masalah ini. Karena, sebagaimana dalam hal tahap-tahap yang berurutan dari manifestasi-
diri Tuhan menurut metafisika Ibn ‘Arabi, “permulaan” yang sedang diperbinbcangkan di sini secara
tepat bukanlah merupakan sebuah konsep temporal. Ia semata-mata mengacu pada aspek Sang
Mutlak saat ia mengandung dalam dirinya “ribuan ciptaan di bawah Langit” dalam keadaan potential.
Dengan ungkapan lain, Sang Mutlak sebagai ribuan ciptaan dalam persembunyian metafisiknya adalah
Asal-mula. Asal-mula dalam pengertian ini sama dengan Non-Wujud. Kita dapat membuat makna kata
“Asal-mula” lebih bisa dipahami jika kita menerjemahkannya sebagai “prinsip pertama” atau Urgrund
Wujud.
Konsep tentang “pemunculan” atau “perwujudan” segala yang maujud, juga bersifat nontemporal.
Dalam santiran temporal kita, “perwujudan” adalah sebuah proses, tahap awalnya adalah Nom-Wujud
dan tahap akhirnya adalah Wujud. Namun, secara metafisik, mustahil terjadi penahapan temporal pada
Sang Mutlak. Menurut Lou-tzu, Sang Mutlak adalah Non-Wujud sekaligus Wujud, Tanpa Nama
sekaligus Yang Dinamai pada waktu yang sama.
Lou-tzu menjabarkan hubungan antara Non-Wujud dan Wujud dengan cara berikut ini.
Dalam keadaan No-Wujudnya yang abadi (atau mutlak) seseorang akan melihat realitas yang misterius
dari Jalan. Dalam keadaan Wujudnya yang abadi seseorang dapat melihat determinasi-determinasi
Jalan.
Keduanya ini akhirnya menjadi satu dan sama. Namun, begitu tereksternalisasikan (externalized),
keduanya menyandang nama yang berbeda (yaitu, “Non-Wujud” dan “Wujud”). Dalam (keadaan asli)
“kesamaan”, (Jalan itu) disebut dengan misteri. Benar-benar misteri dari segala Misteri. Dan ia
merupakan Gerbang dari ribuan Keajaiban.
Non-Wujud (atau Tanpa Nama) dimana Realitas misterius (miao) yang teramati bisa sesuai dengan
keadaan Sang Mutlak (haqq), dalam konsepsi Ibn ‘Arabi, sebelum Ia secara actual mulai bekerja
secara kreatif. Sedangkan Wujud (atau Yang Dinamai) dimana Jalan (tao) memanifestasikan dirinya
dalam “determinasi-determinasi” (chiao) tak berhingga dapat menemukan santirannya dalam pemikiran
Ibn ‘Arabi denga keadaan Sang Mutlak ketika aktivitas kreatifnya menyebar, sebagai Nafas Sang Maha
Pengasih, “diterminasikan” dalam hal-hal (ciptaan) yang tak berhingga.
Sungguh mengagumkan bahwa dalam pasase ini Lou-tzu bahkan melampaui perbedaan antara Wujud
dan Non-Wujud. Non-Wujud tentu saja merupakan prinsip puncak metafisik, sumber paling
fundamental dari Wujud. Ia adalah Jalan, sebagaimana Wujud juga adalah Jalan. Tetapi, karena Non-
Wujud di sini secara konseptual bertentangan dengan “Wujud”, makai a tidak mungkin menjadi Wujud.
Pertentangan mendasar itu sendiri harus dilampaui/ditransendensikan. Lou-tzu melihat di balik
pertengan Wujud dan Non-Wujud terdapat Sesuatu yang mutlak tidak terkatakan yang secara simbolik
dia namakan denga hsuan. Kata itu pada mulanya bermakna “hitam” dengan campuran kemerahan,
sebuah istilah yang sangat cocok untuk sesuatu yang sepenuhnya “tidak dapat dilihat”, Misteri yang
tidak terukur (‘hitam”), tetapi pada tahap tertentu menampakkan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang
mengandung sepuluh ribu hal (“merah”) dalam keadaan potensialitas mereka. Pada Misteri segala
Misteri ini Lou-tzu melihat Sang Mutlak dalam keadaan bahkan ketika Wujud dan Non-Wujud belum
dapat dibedakan antara satu sama lain, suatu keadaan puncak metafisik “keduanya adalah satu dan
merupakan sesuatu yang sama”.
Sang Mutlak atau Jalan, sejauh sebagai Misteri dari segala Mistewri, akan tampak tidak berkaitan
dengan alam fenomenal. Namun, sebagaimana kita telah lihat, dalam kegelapan mutlak Misteri besar
ini (“hitam”), telah tampak sayup-sayup suram (“merah”) kemunculan hal-hal yang bersifat fenomenal.
Dan Misteri segala Misteri pada waktu yang sama dikatakan merupakan “Gerbang Ribuan Keajaiban”.
Pada bab berikut ini kita akan membahas proses sepuluh ribu hal (ciptaan) mengalir deras keluar dari
Gerbang ini. [][][][][][][]

Anda mungkin juga menyukai