Anda di halaman 1dari 41

FARMAKOLOGI VETERINER I

“ANTIBIOTIKA (OBAT YANG MENGHAMBAT SINTESA


ASAM NUKLEAT)”

Oleh :

Luh Gede Setyawati


NIM 1609511090
KELAS A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penyusunan paper ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Judul paper ini adalah “Antibiotika (Obat Yang Menghambat
Sintesa Asam Nukleat)”.
Paper ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Mata Kuliah “Farmakologi
Veteriner I”, dimana di dalamnya membahas tentang penggolongan antibiotik yang
menghambat sintesis asam nukleat dan efek samping obat di dalam tubuh. Terima
kasih penulis sampaikan kepada dosen matakuliah Farmakologi Veteriner I yang
telah membimbing dan memberikan kuliah demi kelancaran terselesaikannya tugas
paper ini.
Segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan
paper ini. Demikianlah tugas ini penulis susun. Penulis berharap semoga
bermanfaat, dan dapat memenuhi tugas matakuliah Farmakologi Veteriner I. Akhir
kata, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih.

Denpasar, 29 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
PRAKATA................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.....................................................................................................v
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Antibiotik.....................................................................................3
2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik.....................................................................3
2.3 Antibiotik Yang Menghambat Sintesis Asam Nukleat..............................4
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................15

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Stuktur kimia antibiotika sulfonamides dan asam para amino benzoat ...4
Gambar 2. Antibiotika Trimethoprim........................................................................8

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Waktu paruh oral absorbable 6

v
BAB I
PENDAHULUAN

l.l. Latar Belakang


Pada tahun 1877, Louis Pasteur menemukan bahwa bakteri antraks
yang menyebabkan penyakit antraks yang mengakibatkan kegagalan
pernapasan, dapat dikurangi patogenisitasnya pada hewan uji setelah
hewan uji tersebut diinjeksi dengan bakteri yang diisolasi dari tanah. Pada
tahun 1887, Rudolf Emmerich menunjukkan bahwa penyakit kolera yang
merupakan penyakit infeksi intestinal dapat dicegah pada hewan uji yang
sebelumnya diinfeksi dengan bakteri Streptococcus.
Pada tahun 1888, ilmuan jerman E. de Freudenreich mengisolasi
produk dari bakteri yang memiliki kemampuan antibiotik. Freudenreich
menemukan bahwa pigmen biru yang dikeluarkan kultur bakteri Bacillus
pyocyaneus dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain pada kultur sel.
Percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa pyocyanase, yang
merupakan produk yang diisolasi dari B. pyocyaneus, dapat membunuh
berbagai macam bakteri pathogen. Selanjutnya secara klinis pyocyanase
terbukti toksik dan tidak stabil sehingga antibiotik alami ini tidak dapat
dikembangkan sebagai obat yang efektif.
Pada awal tahun 1920, ilmuan inggris Alexander fleming
menemukan enzim lisozim pada air mata manusia. Enzim tersebut dapat
melisis sel bakteri. Enzim pada air mata manusia ini merupakan contoh
agen antimikroba yang pertama kali ditemukan pada manusia. Seperti
pyocyanase, lisozim juga terbukti dapat membunuh sel bakteri. Penemuan
fleming yang kedua terjadi secara tidak sengaja pada tahun 1928, saat ia
menemukan bahwa koloni Staphylococcus yang ia tumbuhkan dengan
metode streak (gores silang) pada mei agar dicawan petri mengalami lisis
di sekitar pertumbuhan koloni kapang kontaminan. Ia menemukan bahwa
koloni kapang tersebut merupakan Penicillum sp.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antibiotik?
2. Bagaimana mekanisme antibiotik?
3. Apa saja macam-macam obat antibiotik yang menghambat sintesis
asam nukleat?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan paper ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Farmakologi Veteriner I.
2. Untuk mengetahui macam-macam antibiotik yang menghambat sintesis
asam nukleat.
3. Untuk mengetahui efek-efek antibiotik.
4. Untuk mengetahui manfaat dan kerugian obat antibiotik.

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan paper ini adalah agar dapat terpenuhinya
tugas individu mata kuliah “Farmakologi Veteriner I“ dan bertambahnya
wawasan pembaca tentang antibiotik yang menghambat sintesis asam
nukleat.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Antibiotik


Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik,
yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di
dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.

2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik


Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spectrum atau
mekanisme aksi, cara biosintesis maupun berdasarkan struktur biokimianya.
Berdasarkan spektrum antibiotik dapat dibedakan menjadi antibiotik
berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik berspektrum luas ( broad
spectrum). Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu menghambat
segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau
membunuh bakteri gram negative saja atau gram positif saja. Sedangkan
antibiotik berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri dari
golongan gram positif maupun gram negatif. Berdasarkan mekanisme aksinya,
antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu antibiotik dengan mekanisme
penghambatan sintesis dinding sel, perusakan membran plasma,
penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat, dan
penghambatan sintesis metabolit esensial.
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat
kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar.
Secara profilaktis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung
buatan, juga sebelum cabut gigi. Diperkirakan bahwa antibiotik bekerja
setempat didalam usus dengan menstabilisir floranya hewan tersebut. Kuman-
kuman buruk yang merugikan dikurangi jumlah dan aktivitasnya, sehingga
zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik. Pertumbuhan dapat distimulasi
dengan rata-rata 10 %.
Penghambat pada sintesis asam nukleat berupa penghambat terhadap
transkripsi dan translasi mikroorganisme. Yang termasuk dalam penghambat

3
terhadap transkripsi mikroorganisme, diantaranya yaitu rifampin yang
merupakan turunan rifampisin. Antibiotik ini menghambat sintesis mRNA
dengan cara mengikat subunit m-RNA polimerase bakteri sehingga
menghambat transkripsi mRNA. Antibiotik ini digunakan untuk melawan
Mybacteria pada TBC dan lepra. Contoh lain adalah aktinomisin D. Dalam
kosentrasi yang tinggi, antibiotik ini menghambat proses replikasi DNA dan
transkripsi mRNA. Sedangkan sebagai penghambat translasi mRNA menjadi
protein, beberapa contoh antibiotik yang kita sudah kenal, yaitu neomisin,
gentamisin, streptomisin, tetrasiklin, kanamisin, eritromisin dan puromisin.

2.3 Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat


Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) :
I. Sulfonamides
Sulfonamides adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara
sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia.
Sulfonamida merupakan kelompok obat penting pada penanganan infeksi
saluran kemih (ISK). Sulfonamide berbentuk Kristal putih yang umumnya
sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya mudah larut, Sulfonamida
merupakan kelompok kemoterapi dengan rumus dasar :

Gambar 1. Struktur kimia antibiotika sulfonamides


dan asam para amino benzoat

Formula dasar sulfonamide mirip PABA. Berbagai variasi radikal R


pada gugus amida (-SO2-NH-R) atau substitusi gugus amino (-NH2) pada inti
sulfanilamide menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan daya antibakteri

4
sulfonamid. Sulfonamid mempunyai spectrum antibakteri yang luas, meskipun
kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik dan strain mikroba yang resisten.
Golongan obat ini umumnya hanya bersifat bakteriostatik, namun pada kadar
yang tinggi dalam urin, sulfonamide dapat bersifat bakterisid. Sulfonamides
cenderung lebih larut pada pH alkalin dari pada asam. Obat-obat ini memiliki
daya kerja bakteriostatik yang luas terhadap bakteri Gram positif dan Gram
negative tetapi Pseudomonas, Proteus, dan Streptococcus faecales tidak aktif.
a. Aktivitas Antimikroba
> Sensitif terhadap mikroba yang membutuhkan PABA untuk
sintesis asam dihidrofolat sebagai bahan sintesis purin & asam
nukleat.
> Bakteriostatik gram positif dan negatif, Nocardia, Chlamydia
trachomatis, beberapa protozoa.
> Enteric bacteria : E coli, Klebsiella, Salmonella, Shigella, dan
Enterobacter terinhibitor (kecuali Rickettsiae pertumbuhannya
tersetimulasi).
b. Resistensi
> Resistensi biasanya ireversibel tetapi tidak disertai resistensi silang
terhadap kemoterapeutik lain.
> Resistensi kemungkinan disebabkan karena meningkatkan
produksi PABA atau enzim yang memproduksi asam folat
afinitasnya rendah terhadap sulfonamides atau hilangnya
permeabelitas terhadap sulfonamides.
> Banyak galur gonococcus, stafilococcus, meningococcus,
pneumococcus, dan streptococcus yang sudah resisten.
c. Farmakokinetik
> Oral, absorbable :
1. Oral absorbable diabsorpsi mulai lambung, usus halus,
distribusi luas, CNS, placenta & fetus.
2. 10-99% terikat protein plasma .
3. Terdistribusi secara pasif (non-ionic difusion) jaringan.

5
4. With drawal time ■=>5-15 hari.
5. Sebagian obat terabsorbsi mengalami asetilasi atau
glukuronidasi di hepar.
6. Ekskresi via ginjal, empedu, tinja dan keringat.

Tabel 1. Waktu paruh oral absorbable


> Oral, non-aborbable
> Topical
d. Penggunaan Klinik
> Oral absorbable agent
1. Sulfisoxazole dan sulfamethoxazole ■=> urinary tract infection.
2. Di negara berkembang, sulfonamide, karena harganya murah
masih terus dipakai untuk terapi infeksi tract respirasi, sinusitis,
bronchitis, pneumonia, otitis media dan disentri.
3. Sulfadiazine + pyrimethamine ■=> merupakan terapi utama
untuk toxoplasmosis akut.
4. Sulfadiazine 200mg + trimethoprim 40 mg/ml ■=> “Colibact
Inject”. Kuda, sapi, babi, kucing 15 mg/kg/d. Anjing 15-20
mg/kg/d i.m/i.v.
5. Sulfadoxine (waktu paruh lama) + pyrimethamine ■=>
“Fansidar” ■=> second line ■=> malaria.

6
> Oral non-absorbable agents
1. Sulfasalazine ■=> ulcerative colitis, enteritis, dan radang
pencernaan lain. Lebih efektif daripada soluble sulfonamid.
2. Sulfasalazine oleh microflora usus diubah menjadi
sulfapyridine + 5-aminosalicylate acid (5-ASA).
3. 5-ASA bermanfaat sebagai anti-inflamasi.
4. Olsalazine, a dimmer 5-ASA + bakteri kolon ■=> efektif untuk
ulcerative colitis dan toleransi lebih baik daripada sulfasalazine.
> Topical agents
1. Sodium sulfacetamide ophthalmic solution atau ointment,
efectif untuk terapi bacteria conjunctivitis.
2. Mafenide acetate, efektif untuk infeksi luka bakar.
3. Silver sulfadiazine, kurang toxic daripada mafenide, efektif
untuk luka bakar.
4. Dosis sulfonamid saja untuk dunia veteriner 50-300 mg/kg.
e. Efek samping
> Semua sulfonamides dan derivatnya termasuk carbonic anhidrase
inhibitor, thiazide, furosemide, bumetanide, torsemide, diazoxide,
dan sulfonylurea adalah cross-allergenic.
> Umum : demam, gatal-gatal, dermatitis, fotosensitivitas, mual,
urticaria, muntah, diare.
> Gangguan tract urinary : crystalluria, hematuria bahkan obstruksi.
Tetapi jarang karena sebagian soluble sulfonamide (sulfisoxazole).
> Gangguan hematopoietic : hemolytic atau anemia aplastic,
granulocytopenia, thrombocytopenia, atau leukemoid reaction.
> Anemia hemolytic terutama pada pasien yang sel darah merahnya
kekurangan glucose-6-phosphate dehydrogenase.

II. Trimethoprim
Trimethoprim adalah obat antibiotik dengan fungsi untuk mengobati infeksi
bakteri. Ia bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri.

7
Sedangkan pyrimethamine menghambat aktivitas dihydrofolic acid reductase
protozoa lebih kuat daripada sel mamalia. Kombinasinya sering bactericidal,
daripada sulfonamides sendiri (bacteriostatic).

Gambar 2. Antibiotika Trimethoprim


a. Resistensi
> Menurunnya permeabilitas sel.
> Produksi berlebih dihydrofolat reductase.
> Mutasi dihydrofolat reduct menyebabkan menurunnya ikatan
dengan obat.
b. Farmakokinetik
> Orally, tunggal atau dengan sulfamethoxazole. Trimethoprim-
sulfamethoxazole dapat diberikan intravena.
> Absorbsi baik di lambung, distribusi luas dalam cairan tubuh dan
jaringan, termasuk cairan cerebrospinal.
> Trimethoprim lebih larut lemak daripada sulfamethoxazole, rasio
formulasinya 1:5, Cmax ratio 1:20 efek kombinasi optimal secara
invitro.
> Masing-masing 65-70% terikat protein plasma, 30-50%
sulfonamide dan 50-60% trimethoprim (atau metabolites)
diekskresi via urin dalam 24 jam.
> Trimethoprim (basa lemah pKa 7.2) terakumulasi dalam cairan
prostat dan vagina yang lebih asam daripada plasma.
c. Penggunaan klinik
> Oral trimethoprim
Infeksi tract urinary
akut.
8
> Oral trimethoprim-sulfamethoxazole
1. Efektif untuk terapi P carinii pneumonia, shigellosis, infeksi
salmonella sistemik (karena resisten ampicillin atau
chloramphenicol).
2. Infeksi komplikasi tract urinary, prostatitis, dll.
3. Aktif terhadap mikroba patogen saluran respirasi
> Intravenous trimethoprim-sulfamethoxazole
1. Sebagai obat pilihan untuk terapi pneumocystis pneumonia.
2. Gram-negative bacterial sepsis, termasuk beberapa campuran
obat resisten species seperti enterobacter dan serratia,
shigellosis.
3. Demam thypoid atau infeksi saluran urinasi ketika pasien tidak
dapat menerima obat via mulut.
> Oral Pyrimethamine with Sulfonamide
1. Pyrimethamine dan sulfadiazine untuk terapi leishmaniasis dan
toxoplasmosis.
2. Falciparum malariae, pyrimethamine dengan sulfadoxine
d. Efek samping
> Trimethoprim: megaloblatic anemia, leukopenia, dan
granulocytopenia. Hal ini dapat dicegah dengan folinic acid 6-8
mg/d.
> Mual, muntah, demam, vasculitis, kerusakan ginjal, dan kadang
gangguan CNS.

III. Fluoroquinolones
Fluorokuinolon merupakan salah satu antibakteri sintesik yang
digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri pada manusia dan
hewan. Antibakteri ini menghambat aktifitas DNA gyrase dengan
mengganggu proses atau reaksi pembentukan kembali DNA (DNA rejoining
reaction). Saat ini antibiotik fluorokuinolon beredar luas di seluruh dunia
termasuk di Indonesia dengan 50 nama generik yang berbeda untuk
penggunaan pada manusia dan hewan. Di Indonesia, enrofloksasin,

9
siprofloksasin dan norfloksasin merupakan fluorokuinolon obat hewan yang
memiliki jumlah merek dagang terbanyak. Secara umum, fluorokuinolon
sangat efektif terhadap bakteri Gram negatif dan efektif terhadap beberapa
bakteri Gram positif, termasuk Chlamydia, Mycobacteria, Mycoplasma, dan
Ureaplasma. Penggunaan klinik pada hewan ditujukan untuk mengobati
penyakit CDR complex, pneumonia, colibacillosis, snot/infectious coryza,
fowl cholera, salmonellosis, staphylococcis, streptococcis, fowl thypoid,
pullorum, Mycoplasmosis, infeksi kulit, jaringan lunak dan saluran kemih.
Pesatnya penggunaan fluorokuinolon tanpa pengawasan di perternakan
maupun perikanan menyebabkan timbulnya akumulasi residu di dalam
makanan asal hewan dan laut serta memicu terjadinya resistensi bakteri.
Masalah keamanan pangan dan resistensi bakteri yang terkait dengan
fluorokuinolon akan berdampak terhadap masalah kesehatan manusia (Zahid,
Isnindar. 2013).
a. Mekanisme kerja
> Aktif terhadap gram positif and negatif.
> Menghambat sintesis DNA bakteri via hambatan bacterial
topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV.
> Hambatan DNA gyrase mencegah relaksasi positively supercoiled
DNA yang diperlukan untuk transkripsi dan replikasi normal.
> Topoisomerase IV mempengaruhi pemisahan dari replikasi DNA.
b. Aktivitas antibakteri
> Semua fluorokuinolon bersifat bakterisidal. Aktivitas paling bagus
terhadap bakteri gram negatif aerobik, dan terbatas untuk gram
positif. Walaupun aktif tehadap beberapa organisme gram positif,
fluorokuinolon tidak boleh dipakai dalam pengobatan infeksi-
infeksi pneumokokus atau enterokokus. Fluorokuinolon
menurunkan insidens infeksi saluran kemih postoperatif.
> Golongan pertama : nalidixic acid, oxolinic acid, cinoxacin,
antibakterialnya sangat lemah, sudah ditinggalkan.

10
> Golongan kedua : ciprofloxacin, norfloxacin, enoxacin,
enrofloxacin, lomefloxacin, levofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin
bagus untuk gram negatif, dan terbatas untuk gram positif.
> Golongan ketiga : levofloxacin, clinafloxacin, gatifloxacin,
sparfloxacin, grepafloxacin aktivitasnya lebih baik (khususnya
terhadap S pneumonia).
> Golongan keempat : moxifloxacin dan travofloxacin, aktivitasnya
terhadap gram positif diperluas.
c. Resistensi
> Mutasi pada quinolone binding region dari enzim target.
> Perubahan pada permeabelitas membran sel.
> Target yang berubah : Modifikasi pada DNA-girase, khususnya
pada asam amino N-terminus subunit A, telah menyebabkan
penurunan afinitas terhadap fluorokuinolon. Subunit B girase
jarang mengalami mutasi.
> Akumulasi yang berkurang : konsentrasi obat yang berkurang
dalam sel bakteri berkaitan dengan dua mekanisme. Satu
melibatkan suatu pengurangan jumlah porin protein di membran
luar sel resisten, sehingga mengganggu masuknya obat ke dalam
girase intrasel. Mekanisme lainnya berhubungan dengan
mekanisme efluks di dalam membran sitoplasmik.
d. Farmakokinetik
> Oral ■=> bioavailability 80-95%, dengan waktu paruh 3-18 jam.
> Antacid, menurunkan absorbsi.
> Alatravofloxacin merupakan produk inaktif (parenteral) yang
berupa senyawa aktif.
> Sebagian besar fluoroquinolones dieliminasi via renal.
> Absorpsi : minum obat fluorokuinolon bersamaan dengan sukralfat,
antasid-antasid yang mengandung aluminium atau magnesium atau
makanan tambahan yang mengandung besi atau seng dapat
mengganggu absorpsi obat-obat anti bakteri.

11
> Distribusi : Semua fluorokuinolon berdistribusi baik ke dalam
semua cairan jaringan tubuh. Kadarnya tinggi dalam tulang, urine,
ginjal, dan jaringan prostat (tetapi tidak di cairan prostat).
Fluorokuinolon berakumulasi dalam makrofag dan leukosit
polimorfonuklear, sehingga efektif terhadap organisme intrasel.
> Metabolisme : obat-obat ini sebagian dimetabolisme menjadi
senyawa - senyawa yang kurang aktivitas antimikrobanya
> Ekskresi : obat asli dan metabolitnya diekskresikan ke dalam urine
dan terjadi konsentrasi tinggi di sini. Ini adalah jalan ekskresi
utama untuk ofloksasin. Gagal ginjal memperpanjang waktu paruh
dari masing-masing obat. Fluorokuinolon lainnya mengalami
bersihan di hepar dan ginjal. Waktu paruh fluorokuinolon berkisar
3-5 jam kecuali lomefloksasin yang mempunyai waktu paruh 8 jam.
e. Penggunaan klinik
> Efektif pada infeksi saluran urinasi, ketika multidrug-resistant
bakteri seperti pseudomonas.
> Efektif untuk bakteri diare seperti shigella, salmonella, toxigenic E
coli, atau campylobacter.
> Enrofloxacin : sapi, babi 2,5 mg/kg/d. Sedangkan anjing, kucing 5
mg/kg/d, kontra indikasi pada anjing kurang 12-18 bulan.
f. Efek samping
> Fluoroquinolones toleransinya bagus.
> Umumnya: mual, muntah, dan diarrhea. Kadang sakit kepala,
pusing, insomnia, gatal-gatal.
> Penggunaan bersama theophyllin akan meningkatkan kadar
theophyllin berakibat kejang.
> Fluoroquinolone dapat merusak kartilago dan menyebabkan
arthropathy, karenanya tidak dianjurkan untuk pasien dibawah 18
tahun.
> Ekskresi via susu juga tidak dianjurkan pada ibu menyusui.

12
> Hindari penggunaan pada wanita hamil karena tidak ada data yang
cukup.
> Fotosensitivitas ■=> lomefloxacin dan pefloxacin.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spectrum atau
mekanisme aksi, cara biosintesis maupun berdasarkan struktur
biokimianya. Berdasarkan spektrum antibiotik dapat dibedakan menjadi
antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik
berspektrum luas ( broad spectrum). Antibiotik berspektrum luas dapat
menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun
gram negatif. Salah satu mekanisme aksinya adalah penghambat sintesis
asam nukleat.
Penghambat pada sintesis asam nukleat berupa penghambat
terhadap transkripsi dan translasi mikroorganisme. Yang termasuk dalam
penghambat terhadap transkripsi mikroorganisme, diantaranya yaitu
kuinolon dan rifampin yang merupakan turunan rifampisin.
Peranan antibiotika golongan kuinolon menghambat kerja enzim
DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal, sehingga kuman mati.
Rifampisin bekerja dengan membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi.
Cara kerja obat ini yaitu dengan menonaktifkan enzim bakteri yang
disebut RNA polimerase. Bakteri menggunakan RNA polimerase untuk
membuat protein dan untuk menyalin informasi genetik (DNA) mereka
sendiri.

14
DAFTAR PUSTAKA

Serena, Agatha. 2013. Antibiotik yang menghambat asam nukleat.


http://agathaserena.blogspot.co.id/2013/06/antibiotik-
yang- menghambat-asam-nukleat.html. Diakses pada 29
Oktober 2017 pukul 06.26
Note, Pharma. 2017. Penjelasan Antibiotik Penghambat Sintesis Asam
Nukleat.
http://pharmanote.blogspot.co.id/2016/05/penielasan-
antibiotik- penghambat.html. Diakses pada 29 Oktober 2017
pukul 07.26

Pradita, Cynthiaanggi. 2015. Antibiotik penghambat sintesis asam nukleat.


https://www.slideshare.net/cynthiaanggipradita/tugas-
kelompok-4-a- farmakologi-2. Diakses pada 29 Oktober 2017
pukul 09.10

Afriani, Arum. 2017. Makalah Kimia Farmasi Sulfonamides.


http://afrianiarum.blogspot.co.id/2017/01/makalah-
biokimia.html. Diakses pada 12 Desember 2017 pukul 19.53

Lidya. 2012. Antibiotika dan Sulfanomida.


https://nofamaulana.wordpress.com/2012/12/24/antibiot
ika- sulfonamida/. Diakses pada 12 Desember 2017 pukul 20.57

Zahid Muhammad, Isnindar. 2013. Penggunaan Antibiotik

15
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK FLUOROKUINOLON SEBAGAI OBAT
HEWAN
(Ulasan Ilmiah/Review Article)

MUHAMMAD ZAHID1 DAN ISNINDAR2


1
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Gunungsindur, Bogor, Jawa Barat
2
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Tanjungpura,
Pontianak,
Kalimantan Barat

ABSTRAK
Fluorokuinolon merupakan salah satu antibakteri sintesik yang digunakan untuk mengobati
berbagai jenis infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Antibakteri ini menghambat aktifitas
DNA gyrase dengan mengganggu proses atau reaksi pembentukan kembali DNA (DNA-
rejoining reaction). Saat ini antibiotik fluorokuinolon beredar luas di seluruh dunia termasuk di
Indonesia dengan 50 nama generik yang berbeda untuk penggunaan pada manusia dan hewan. Di
Indonesia, enrofloksasin, siprofloksasin dan norfloksasin merupakan fluorokuinolon obat hewan
yang memiliki jumlah merek dagang terbanyak. Secara umum, fluorokuinolon sangat efektif
terhadap bakteri Gram negatif dan efektif terhadap beberapa bakteri Gram positif, termasuk
Chlamydia, Mycobacteria, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Penggunaan klinik pada hewan
ditujukan untuk mengobati penyakit CDR complex, pneumonia, colibacillosis, snot/infectious
coryza, fowl cholera, salmonellosis, staphylococcis, streptococcis, fowl thypoid, pullorum,
Mycoplasmosis, infeksi kulit, jaringan lunak dan saluran kemih. Pesatnya penggunaan
fluorokuinolon tanpa pengawasan di perternakan maupun perikanan menyebabkan timbulnya
akumulasi residu di dalam makanan asal hewan dan laut serta memicu terjadinya resistensi
bakteri. Masalah keamanan pangan dan resistensi bakteri yang terkait dengan fluorokuinolon akan
berdampak terhadap masalah kesehatan manusia.
Kata kunci: antibiotik fluorokuinolon, hewan, penggunaan klinik, keamanan pangan, kesehatan
manusia
ABSTRACT
The fluoroquinolones are a series of synthetic antibacterial agents that used in the treatment of a
variety of bacterial infections in both human and animals. These antibacterial agents inhibit the
DNA gyrase by interfering the DNA-rejoining reaction. Recently, fluoroquinolone antibiotics are
available worldwide and Indonesia with 50 different generic names for human and animal uses.
Enrofloxacin, ciprofloxacin and norfloxacin are fluoroquinolone antibiotics which have the
largest number of brand names available in Indonesia. Generally, fluoroquinolones are more
effective to Gram negative bacteria and effective for certain Gram positive bacteria, including
Chlamydia, Mycobacteria, Mycoplasma, and Ureaplasma. Fluoroquinolones are administered
clinically in animal treatment for CDR complex, pneumonia, colibacillosis, snot/infectious
coryza, fowl cholera, salmonellosis, staphylococcis, streptococcis, fowl thypoid, pullorum,
Mycoplasmosis, skin, soft tissues and urinary tract infections. Using fluoroquinolones intensively
uncontrolled in livestock and aquaculture practices lead to the accumulation of residues in
animal-derived products and seafoods and trigger the development of bacterial resistance. Food
safety and bacterial resistance associated with fluoroquinolones may affect of human health
problem.
Key words: fluoroquinolone antibiotics, animal, clinical use, food safety, human health

Daftar Isi:

1. Pendahuluan 9. Farmakokinetik

2. Tinjauan umum 10. Efek samping dan interaksi obat

3. Struktur kimia 11. Masalah kesehatan publik

4. Generasi kuinolon 12. Masalah keamanan pangan

5. Mekanisme kerja 13. Batas maksimum residu

6. Hubungan struktur-aktifitas 14. Masalah lingkungan

7. Penggunaan klinik dan terapi pada 15. Kesimpulan

hewan 16. Pustaka

8. Obat-obatan fluorokuinolon 1

1. Pendahuluan
Obat kuinolon tertua dari antimikroba sintetik yaitu asam nalidiksat sudah sejak lama
digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernapasan pada manusia. Efektifitas dan
khasiat obat ini relatif ringan karena keterbatasan efek terapetiknya dan resistensi yang cepat
berkembang (9). Selama 2 (dua) dekade terakhir ini, penelitian mengenai 4-kuinolon-3-
karboksilat telah membawa kepada penemuan 6-fluoro-7-piperazinil-4-kuinolon atau dikenal
dengan fluorokuinolon yang aktif terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif secara in
vitro (18), bakteri pathogen intraselular (13), mikroba yang resisten terhadap
trimetoprim/sulfonamide (34) maupun mycoplasma (7).
Meskipun telah banyak fluorokuinolon yang disintesis, hanya beberapa yang
dikembangkan dan digunakan dalam obat hewan termasuk diantaranya adalah amifloksasin,
benofloksasin, danofloksasin, difloksasin, enrofloksasin, marbofloksasin, norfloksasin,
ofloksasin, orbifloksasin, sarafloksasin dan siprofloksasin (36). Enrofloksasin merupakan
fluorokuinolon pertama yang diperkenalkan dan digunakan sebagai obat hewan dengan
metabolit utamanya yaitu siprofloksasin. Fluorokuinolon bersifat bakterisidal, dengan target
utamanya adalah DNA gyrase bakteri (tipe II topoisomerase).
Antimikroba ini tidak menimbulkan resistensi plasmidik (plasmidic resistance), akan
tetapi setelah percobaan secara in vitro (12) atau penggunaan secara klinik muncul mutasi
(resistant mutants) yang dapat diisolasi. Isolat mutan ini menunjukkan reaksi silang (cross
reactivity) terhadap kuinolon dan fluorokuinolon yang berbeda, namun tidak menyebabkan
reaksi silang terhadap antimikroba lainnya.
Dalam artikel atau ulasan ilmiah ini akan dibahas penggunaan fluorokuinolon sebagai
obat hewan meliputi tinjauan umum, generasi kuinolon yang diproduksi, mekanisme kerja,
penggunaan klinik dan indikasi, farmakokinetik, efek samping dan interaksi. Selain itu
dibahas juga mengenai hubungan fluorokuinolon dengan masalah lingkungan, keamanan
pangan dan kesehatan manusia.
2. Tinjauan umum
Asam nalidiksat pertama kali ditemukan oleh George Lesher dan rekannya pada
tahun 1962, dan sejak saat itu asam nalidiksat telah menjadi antimikroba penting untuk
pengobatan infeksi saluran kemih pada manusia. Saat ini asam nalidiksat banyak digunakan
sebagai prekursor untuk mensintesis derivat kuinolon lain yang lebih poten (41). Asam
nalidiksat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, berasal dari rekristalisasi 7-kloro-4-
quinoline yang diperoleh dari sintesis klorokuin yang digunakan untuk mengobati malaria
selama Perang Dunia II. Derivate kuionolon yang paling banyak digunakan secara klinis
adalah fluorokuinolon {fluoroquinolones, FQ), yang memiliki atom fluor pada sistem cincin
pusat, biasanya pada posisi C-6 atau C-7.

Gambar 1. Struktur 7-chloro-4-quinoline (asam nalidiksat)

Antibiotik kuinolon seperti: asam oksolinik, sinoksasin dan asam pipemidik


diperkenalkan untuk penggunaan klinik pertama kali pada tahun 1970. Antibiotik-antibiotik
ini memiliki spektrum aktivitas antibakteri yang sempit (narrow spectrum antibacterial),
sering menimbulkan efek samping, penetrasi ke jaringan, distribusi dan konsentrasi serum
yang tidak memadai, menyebabkan pengembangan sintesis derivat kuinolon yang lebih
ampuh dan dikenal sebagai FQ. Norfloksasin adalah FQ pertama kali disintesis yang
memiliki aktivitas spektrum antibakteri yang lebih baik dari antibiotik kuinolon sebelumnya
(41).
3. Struktur kimia
6-fluorokuinolon juga dikenal sebagai 4-kuinolon berasal dari asam nalidiksat dan
asam oksolinik. Beberapa substitusi dari struktur FQ seperti yang terlihat pada Gambar 2
adalah substitusi R1, biasanya gugus alkil (misalnya siklopropil, etil, fluoretil, metilamino),
kelompok fluorofenil, thiazine atau cincin oksazin. Substitusi R2 sering merupakan turunan
piperazin (piperazin-1-il, 4-metilpiperazinil-1, 3-metillpiperazinil-1) dan substitusi X baik
atom karbon ataupun nitrogen.

Gambar 2. Struktur kimia umum FQ


Struktur dasar FQ memiliki beberapa fitur sebagai berikut: sebuah atom nitrogen pada posisi
1 pada struktur cincin aromatik bisiklik, kelompok asam karboksilat pada posisi
Antibiotik FQ Status
Ciprofloxacin Tersedia

Danofloxacin Tersedia
Difloxacin Tersedia
Enrofloxacin Tersedia
Flumequine Tersedia
Ibafloxacin Tersedia
Marbofloxacin Tersedia

Orbifloxacin Tersedia
Sarafloxacin Tersedia
Antibiotik FQ
Jumlah merek
Status
dagang
Enrofloksasin 73 Tersedia
Flumekuin Tabel 3. Antibiotik FQ22 Tersedia
yang digunakan sebagai obat hewan yang beredar di Indonesia
Levofloksasin 2 Tersedia
Marbofloksasin 2 Tersedia
Norfloksasin 19 Tersedia
Asam Oksolinat 2 Tersedia
Siprofloksasin 20 Tersedia

4. Mekanisme kerja
Ada dua enzim yang memiliki peran penting dalam replikasi DNA dan proliferasi,
yaitu girase DNA dan topoisomerase IV (6). DNA girase adalah enzim penting yang
diperlukan untuk kehidupan bakteri. DNA bakteri umumnya dalam keseimbangan antara
untai konformasi DNA sirkular tertutup ganda (circular double DNA strand conformation)
dan struktur superkoil negatif (highly negatively supercoiled structure). Peran DNA girase
adalah untuk mengontrol topologi DNA bakteri dan fungsi kromosom dengan
mempertahankan supercoiling DNA negatif. Selain penting untuk replikasi DNA dan juga
bertanggung jawab untuk menghilangkan supercoiling negatif, DNA girase membantu
dalam membengkokan (bending) dan melipat (folding) DNA dan menghapus knot.
Topoisomerase IV di sisi lain, bertanggung jawab untuk memisahkan produk dari replikasi
DNA, yang merupakan bagian molekul DNA yang saling terkait (interlinked) (17). FQ
menghambat DNA gyrase dan enzim topoisomerase IV dengan mengikat kompleks enzim-
DNA dan mengakibatkan denaturasi enzim (19).
5. Hubungan struktur aktivitas (Structure Activity Relationships, SARs)
Tahun pertama
Nama Generik Nama Dagang Produsen
diperkenalkan
Norfloxacin Noroxin 1983 Kyorin/Merck
Pefloxacin Peflacine 1985 Roger Bellon
Ofloxacin Floxin 1985 Daiichi/Ortho

Ciprofloxacin Cipro 1986 Bayer


Enoxacin Penetrex 1986 Dainippon/RPR
Lomafloxacin Maxaquin 1989 Hokuriku/Unimed

Tosufloxacin Tosuxacin 1990 Abbott/Toyama


Temafloxacin* Omniflox
Fleroxacin Quinodic
Nadifloxacin Acutim
Abbott
Rufloxacin Qari
1992 Roche
Obat Dosis
1992 Otsuka
Enrofloksasin
- 5 mg/kg BB/hari, oral untuk kucing 1992 Mediolanum
- 5 - dari
*ditarik 20 mg/kg BB/hari, oral untuk anjing
pasaran
- 10 mg/kg BB/hari, oral untuk bebek
Pada umumnya FQ sangat efektif untuk mengobati CDR (chronic respiratory
- 7.5 - 10 mg/kg BB/hari, oral untuk kuda
disease) complex, Colibacillosis, Snot/infectious Coryza, Fowl Cholera, Salmonellosis,
- 5 mg/kg BB/hari, oral untuk kelinci
Staphylococcis, Streptococcis, Fowl thypoid, Pullorum, dan Mycoplasmosis pada unggas (3).
- 2,5 mg/kg BB/hari, injeksi intramuskular dan 5 - 20 mg/kg BB/hari,
Pada hewan kesayangan, seperi kucing dan anjing, FQ digunakan untuk mengobati infeksi
injeksi intravena, untuk anjing
kulit, jaringan lunak dan saluran kemih (4). Untuk hewan besar seperti sapi, FQ juga efektif
- 2,5 mg/kg BB/hari, injeksi intramuscular, untuk kucing
untuk mengobati infeksi saluran pernapasan (pneumonia) dan infeksi saluran pernafasan
- 7,5 - 12,5 mg/kg BB, dosis tunggal atau 2,5 - 5 mg/kg BB/hari diberikan
lainnya yang disebabkan oleh Histophilus somni (4). Tabel 5 menggambarkan dosis
selama 3 - 5 hari, injeksi subkutan untuk sapi. Waktu henti obat: 28 - 36
antibiotik FQ berbeda untuk obat hewan (4, 8)
hari.
Tabel 5 Dosis dari beberapa FQ yang digunakan dalam pengobatan hewan___________________
- 10 mg/kg BB/hari, penggunaan parenteral, untuk bebek
- 5 mg/kg BB/hari, injeksi intravena, untuk kuda
- 5 - 10 mg/kg BB setiap 24 jam, oral and injeksi subkutan untuk babi
- 1 mL/1-2 L air minum atau 10 mg/kg BB/hari diberikan selama 3-5 hari
berturut-turut, oral untuk unggas. Waktu henti obat: 12 hari
Norfloksasin
- 22 mg/kg BB setiap 12 jam, oral untuk anjing and kucing
- 1 mL/1-2 L air minum atau 10 mg/kg BB/hari diberikan selama 3-5
hari berturut-turut, oral untuk unggas. Waktu henti obat: 5 (lima)
Siprofloksasin
- 10 - 20 mg/kg BB setiap 24 jam, oral untuk anjing dan kucing
- 10 - 15 mg/kg BB setiap 24 jam, intravena untuk anjing
- 0,5 ml/L atau 1 g/2 L air minum, diberikan selama 3-5 hari berturut-
turut, untuk unggas. Waktu henti obat: 5 (lima) hari
Danofloksasin
- 6 mg/kg BB, 2 kali selama 48 jam, injeksi subkutan untuk sapi. Waktu
henti obat: 4 - 7 hari
Flumekuin - 8 mg/kg BB/hari, oral untuk sapi usia seminggu
- 15 mg/kg BB/hari, oral untuk sapi usia lebih dari 6 (enam) minggu
Sarafloxacin
- 20 - 40 pg/mL dalam air minum selama 5 (lima) berturut-turut, oral
untuk ayam
- 30 - 50 pg/mL dalam air minum selama 5 (lima) berturut-turut, oral
untuk kalkun

8. Obat-obat FQ Untuk Hewan


Berikut ini beberapa obat FQ yang banyak beredar di Indonesia berdasarkan jumlah merek
dagang yang tersedia.
a. Enrofloksasin
Enrofloksasin secara kimia dikenal sebagai 3-kuinolin asam karboksilat, 1-
siklopropil-7-(4-etil-1-piperazinil)-6-fluoro-1,4-dihidro-4-okso, dengan rumus empiris dari
C9H22FN3O3 dan berat molekul dari 359,4 g/mol, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Serbuk kristal berbentuk jarum berwarna putih atau agak kuning, tidak berbau dan berasa dan
tersedia dalam garam hidroklorida, laktat, dan sodium. Enrofloksasin sangat larut dalam asam
atau basa media, larut dalam dimetil formamida, sedikit larut dalam kloroform, metanol dan
tidak larut dalam air (4). Saat ini enrofloksasin yang telah terdaftar di Kementerian Pertanian
sebanyak 73 nama dagang (3). Enrofloksasin pertama kali dipasarkan di bawah nama dagang
Baytril oleh Bayer Corporation.
Gambar 4. Struktur kimia enrofloksasin
Enrofloksasin memiliki aktivitas antibakteri berspektrum luas terhadap bakteri Gram-
negatif dan Gram-positif dan aktif baik pada fase diam maupun pertumbuhan dari replikasi
bakteri. Aktivitas bakterisidal enrofloksasin terjadi dalam waktu 20-30 menit setelah
pemberian. Ketersediaan hayati (bioavailability) enrofloksasin sangat baik di dalam saluran
cerna mamalia dan pedet, dengan hingga 80% dosis yang diberikan diserap ke dalam
sirkulasi sistemik. Penyerapan secara oral berlangsung cepat dengan konsentrasi serum
puncak mencapai 1 - 2 jam setelah pemberian. Enrofloksasin tidak membentuk ikatan
komplek dengan protein plasma, sehingga memungkinkan metabolit secara bebas melewati
membran plasma (27). Metabolisme enrofloksasin bervariasi diantara spesies. Metabolit
utama enrofloksasin adalah siprofloksasin, dengan menghasilkan beberapa
biotransformasi/metabolit lainnya, seperti: N-dealkilasi, konjugasi glukoronid menjadi
nitrogen di posisi para pada cincin piperazinil, oksidasi di posisi orto menjadi substitusi
amin.
b. Norfloksasin
Norfloksasin dengan nama kimia 1-etil-6-fluoro-1 ,4-dihidro-4-okso-7-(1-
piperazinil)-3 kuinolin asam karboksilat, memiliki rumus empiris C 16H18FN3O3, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5, adalah bubuk putih atau kristal kuning pucat dengan berat
molekul 319,34 g/mol. Norfloksasin mudah larut dalam asam asetat glasial, dan sedikit larut
dalam etanol, metanol dan air (4). Norfloksasin adalah antibakteri kuinolon pertama dengan
subsitusi atom fluor yang pada posisi C-6 dan piperazine di posisi C-7. Substitusi ini berguna
untuk meningkatkan aktifitas antibakterinya dibandingkan dengan kuinolon sebelumnya
yaitu asam nalidiksat (11).
Gambar 5 Struktur kimia norfloksasin
Norfloksasin merupakan FQ generasi kedua yang dikembangkan oleh Kyorin
Seiyaku KK dari The Japanese Society of Chemotherapy dan dipatenkan pada tahun 1979.
Kyorin kemudian memberikan kepada Merck and Company, Inc, lisensi eksklusif di Jepang
pada tanggal 4 September 1980. Saat ini norfloksasin yang tersedia di pasaran Indonesia
sebanyak 19 merek dagang (3).
c. Siprofloksasin
Siprofloksasin, seperti yang terlihat pada gambar 3, dengan nama kimia 1-
siklopropil-6-fluoro-1,4-dihidro-4-okso-7-(1-piperazinyl)-3 kuinolin asam karboksilat,
memiliki rumus empiris C17H18FN3O3 dan berat molekul 331,4 g/mol, merupakan serbuk
kristal berwarna kekuningan dan larut dalam larutan asam dan basa (4).

Gambar 3. Struktur kimia siprofloksasin


Siprofloksasin adalah generasi kedua FQ yang paling ampuh melawan bakteri Gram-
positif, namun kurang aktif terhadap bakteri Gram-negatif. Siprofloksasin pertama kali
diperkenalkan dan dipatenkan oleh Bayer AG pada tahun 1983 dan disetujui penggunaannya
di Amerika Serikat oleh Food Drug Administration (FDA) pada tahun 1987. Di Indonesia,
siprofloksasin memiliki sekitar 20 nama merek dagang obat hewan yang beredar di pasaran
(3).
Siprofloksasin tersedia dalam bentuk oral maupun injeksi dan digunakan untuk
pengobatan berbagai jenis penyakit infeksi pada unggas, hewan kesayangan dan hewan
besar. Pada penggunaan oral untuk anjing, dosis siprofloksasin yang diberikan adalah 10-20
mg/kg BB/hari, sedangkan untuk parenteral adalah 10-15 mg/kg BB/hari (4). Penggunaan
siprofloksasin dengan obat lainnya, seperti amoksisilin, klindamisin, deksametason,
floksasilin dan heparin harus diperhatikan karena adanya interaksi obat. Jika siprofloksasin
akan diberikan secara bersamaan dengan obat-obatan tersebut, maka tiap obat tersebut harus
digunakan secara terpisah berdasarkan dosis yang dianjurkan serta rute pemberian tiap obat
(4).
17. Farmakokinetik
Pada umumnya FQ diserap melalui saluran pencernaan dengan tingkat penyerapan
yang berbeda, dari tingkat penyerapan rendah yaitu 55% untuk norfloksasin sampai 95%
untuk ofloksasin, lomefloxacin, temafloxacin, dan pefloxacin. Penyerapan FQ tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan (33). Pada kucing, anjing dan babi penyerapan bisa
mencapai 100%, akan tetapi pada ruminant umumnya lebih kecil, sekitar 10 - 50%
khususnya untuk enrofloksasin (39). Pemberian secara intravena tidak memberikan profil
farmakokinetik yang berbeda dengan oral, termasuk waktu paruh, volume distribusi,
eliminasi dan metabolisme (31).
FQs secara luas didistribusikan di dalam jaringan tubuh dan cairan dan mencapai
konsentrasi tinggi di banyak jaringan, seperti ginjal, hati, empedu, prostat, uterus and tuba
falopi, dan tulang, kecuali sistem syaraf pusat dan mata, pada hewan seperti kucing, sapi,
ayam, anjing, kuda, babi dan kelinci (24, 28, 29). Perbedaan volume distribusi diantara FQ
dipengaruhi oleh konsentrasi plasma maksimum. Obat dengan volume distribusi paling
rendah larut sedikit dalam cairan tubuh dan memproduksi konsentrasi plasma paling tinggi
dibandingkan obat dengan volume distribusi tinggi. Akibatnya, untuk mencapai konsentrasi
serum puncak, obat dengan volume distribusi tinggi memerlukan dosis yang lebih tinggi
(33).
Ikatan FQ-protein (FQ-protein binding) bervariasi tiap spesies dan tergantung dari
konsentrasi FQ yang diberikan. Misalnya, danofloksasin terikat protein hingga 50% jika
diberikan dengan konsentrasi 50 ng/mL pada sapi (14), ikatan siprofloksasin protein
mencapai hingga 19% jika 1 - 2 pg/mL diberikan pada anjing (40), dan protein mengikat
enrofloksasin hingga 24% jika diberikan kepada ayam dengan konsentrasi 1 - 2 pg/mL (31).
Enrofloksasin mengalami biotransformasi menjadi siprofloksasin melalui proses de-
etilasi dan dikenal juga sebagai salah satu metabolit enrofloksasin yang memiliki aktifitas
antibakteri yang hampir sama. Oleh karena itu, pengujian mikrobiologik dalam studi
farmakokinetik biasanya mengukur aktifitas kombinasi enrofloksasin dan siprofloksasin
(23). Setelah penggunaan oral pada kucing, waktu paruh untuk konversi enrofloksasin
menjadi siprofloksasin adalah 13 menit (35).
Jalur ekskresi FQ utama adalah ginjal dan hati merupakan jalur ekskresi kedua (29).
Misalnya 70 % dari dosis oral marbofloksasin pada kucing dikeluarkan melalui urin, dan
lebih dari 85 % dosis parenteral orbifloksasin diekskresikan melalui ginjal pada sapi, kucing,
anjing dan babi (25, 37). Selain itu, ekskresi melalui ginjal penting untuk pefloxacin dan
lomefloxacin, sedangkan, mekanisme hati adalah penting untuk pefloxacin. Kedua
mekanisme ginjal dan hati juga berlaku untuk FQ lain seperti norfloksasin, siprofloksasin,
enoxacin, tosufloxacin dan sparfloxacin (31).
10. Efek samping dan interaksi obat
Efek samping yang berhubungan dengan FQ pada umumnya adalah pertumbuhan
abnormal pada tulang rawan, saluran urin dan pencernaan, serta susunan syaraf pusat (4).
Efek samping lain yang juga dilaporkan diantaranya adalah gangguan retina termasuk
kebutaan akut dan mydriasis pada anjing yang diberikan dosis lebih dari 5 mg/kg/hari (1).
FQ dapat menyebabkan anoreksia, penurunan nafsu makan, diare dan muntah pada kucing
dan anjing dengan pemberian enrofloksasin pada 7 - 10 bulan kucing dengan dosis 5 - 15
mg/kg selama 30 hari (1). Reaksi hipersensitif seperti anafilaksis, reaksi anapilaktoid dan
udema wajah, juga terjadi dengan pemberian orbifloksasin pada kucing berumur 8 (delapan)
bulan dengan dosis 10 (sepuluh) kali lebih tinggi dari dosis yang dianjurkan selama 2 (dua)
minggu. Arthropathy juga biasanya terjadi pada hewan yang belum dewasa, seperti anak
kuda, anjing, tikus dan marmut (20).
FQ dapat mencapai konsentrasi tinggi di dalam urin, karena ginjal merupakan rute
utama ekskresi obat-obatan ini. FQ memiliki kelarutan yang rendah di dalam air, sehingga
mudah membentuk kristal di dalam urin dan menyebabkan urin bersifat asam (acidic urine)
(39). Kristaluria akan menjadi sebuah permasalahan bagi hewan karnivora yang
mengkonsumsi protein tinggi (high-protein diet).
Semua FQ berinteraksi dengan divalent, trivalent atau multivalent kation seperti
aluminium magnesium, kalsium, besi atau seng yang digunakan secara bersamaan dapat
mengurangi penyerapan FQ (6). Oleh karena itu interaksi FQ terkait dengan kation dapat
dihindari dengan pemberian produk yang mengandung kation setelah 2 sampai 4 jam
pemberian FQ. Interaksi lain dapat terjadi antara FQ dan NSAID (non steroid anti-
inflammatory drug), dimana enoksasin atau siprofloksasin dan fenbufen dapat
menyebabkan kejang-kejang. Interaksi ini terjadi karena NSAID berkompetisi dengan pen
FQ menghambat reseptor asam y-aminobutyric (19). FQ juga berinteraksi dengan teofilin
dan metil-xantin seperti kafein, dengan menghambat sistem enzim CYP-450 hepatik yang
secara signifikan mengurangi metabolisme xantin, sehingga meningkatkan eliminasi teofilin
dan kafein (6,8). Sebagai contoh, eliminasi teofilin berkurang 43% pada anjing apabila
digunakan secara bersamaan dengan enrofloksasin 5 mg/kg/BB selama 24 jam, dan
meningkatkan konsentrasi serum puncak secara nyata, sedangkan farmakokinetika
enrofloksasis tidak berubah (35).
11. Masalah kesehatan masyarakat
Banyak bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter, E. coli, Listeria dan
Yersinia yang dapat ditularkan melalui makanan ke manusia (38). FQ diberikan untuk
mengobati, mencegah, dan mengendalikan penyakit menular sehingga meningkatkan efisiensi
pakan dan produktifitas. Penggunaan antibiotik secara berlebihan, dosis yang tidak tepat,
penggunaan dalam waktu yang lama ataupun tidak mematuhi aturan waktu henti obat akan
dapat menyebabkan memacu terjadinya resistensi bakteri dan akumulasi residu FQ di dalam
makanan asal hewan. Akumulasi residu dan penyebaran resistensi bakteri pathogen dari
makanan ke manusia akan memiliki dampak yang serius terhadap kesehatan manusia,
khususnya pengobatan infeksi kuman terhadap manusia (10).
Banyak antimikroba termasuk FQ yang diberikan kepada hewan, baik identik atau
terkait dengan obat yang digunakan pada obat manusia seperti penisilin, tetrasiklin dan
sefalosporin. Setelah patogen resisten terjadi, gen akan menyandikan resistensi tidak hanya
terhadap antibiotik tertentu atau yang bersangkutan, tetapi terhadap seluruh kelas atau grup
antimikroba atau dapat menyebabkan resistensi silang dengan senyawa dengan struktur yang
sama. Masalah ini dapat menyebabkan keterbatasan dalam pilihan pengobatan dan
mengakibatkan komplikasi medis jangka panjang, biaya tinggi dan bahkan kegagalan
pengobatan (2).
12. Masalah keamanan pangan
Berkenaan dengan keamanan pada manusia, penggunaan FQ yang meningkat pada
hewan menyebabkan adanya residu FQ di dalam makanan asal hewan. melaporkan bahwa 10
mg norflokasasin/kg/BB yang diberikan kepada pedet secara intramuscular, ditemukan
residu norfloksasin pada hati dengan konsentrasi 50-100 pg/kg setelah pemberian 72 - 120
jam. Selain itu, enrofloksasin digunakan secara intramuskular dengan dosis 8 mg/kg sekali
sehari selama 4 hari, enrofloksasin dan oxometabolite masih bertahan di ginjal dan hati
selama 12 hari pada konsentrasi 0,015 pg/g (1).
13. Batas residu maksimum (BMR) atau Maximum residue limits (MRLs)
Untuk melindungi konsumen terhadap residu FQ dan menjamin keamanan bahan
kimia di dalam komoditas pangan, tingkat BMR/MRL harus ditetapkan oleh otoritas
pengawas di tingkat nasional dan internasional. Selama tiga dekade terakhir, join komite
FAO/WHO telah mengevaluasi banyak bahan kimia di dalam makanan, food additives,
kontaminan, residu obat hewan dan pestisida. Residu adalah jumlah obat dan / atau
metabolitnya yang masih ada di dalam jaringan yang dapat dimakan (edible tissue) dari
hewan yang diobati pada saat dipotong atau yang telah berbentuk produk lainnya seperti susu
dan telur (10).
BMR merupakan alat pengawas untuk menentukan jumlah maksimum residu dari
bahan aktif obat hewan tertentu yang dapat diterima dalam komoditas makanan tertentu (21).
Studi residu harus dilakukan untuk menentukan BMR. Studi residu memberikan informasi
tentang keberadaan residu obat hewan pada jaringan yang dapat dimakan dari spesies target
seperti jaringan otot, lemak, hati dan ginjal. Informasi penting lain yang dilaporkan dalam
studi ini adalah rute pemberian obat (dalam pakan atau air minum, per injeksi atau rute
lainnya) dan lama pemberian obat yang harus sesuai dengan rute pemberian yang
dimaksudkan dan jangka waktu pengobatan (20).
Berkenaan dengan residu antibiotik FQ di dalam makanan asal hewan yang dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat, beberapa badan pengawas telah menetapkan batas
residu maksimum. Batas maksimum residu untuk enrofloksasin di Uni Eropa (UE)/European
Union (EU) adalah 30 pg/kg dalam ginjal, hati dan otot pada babi, sapi dan unggas, yang
dihitung dengan menjumlahkan residu enrofloksasin dan metabolit aktif utamanya, yaitu
siprofloksasin (8). Di Indonesia, Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengacu pada panduan
dari The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) untuk menetapkan
residu FQ. Sebagai contoh, residu enrofloksasin, siprofloksasin beserta metabolitnya
ditentukan sebanyak 100 - 300 pg/kg di dalam, otot, jaringan dan susu. Pada tahun 1998,
Badan Eropa (European Agency) untuk evaluasi produk obat telah merekomendasikan BMR
untuk enrofloksasin adalah 200 pg/kg pada ginjal domba dan 100
MRLs
Residu BMR (EU)
Spesies Hewan Target Jaringan (JEFCA)
FQ/Kuinolon /k
(^g g) (
^g/kg)
Enrofloksasin Sapi, domba Otot, lemak, ginjal, hati 100 - 300 -
and
siprofloksasin Babi, unggas, Susu, otot, lemak, hati, 100 - 300 -
kelinci ginjal

Flumekuin Sapi, domba Otot 200 500


Babi Kulit, lemak, hati, ginjal, 50 - 1500 1000 - 3000
susu
Ayam, kalkun
Otot, kulit, lemak, hati,
ginjal 250 - 1000 500 - 3000
Salmonidae Otot, kulit 600 500
Marbofloksasin Sapi, babi Otot, hati, ginjal, lemak, 50 - 150 -

susu
Asam oksolinat Ayam, babi, Otot, lemak, kulit, hati, 50 - 150 -

sapi Bovine ginjal, telur


Ikan Otot, kulit 300 -
Danofloksasin Sapi, ayam Otot, lemak, hati, ginjal, 30 - 400 100 - 400
susu
Babi 50 - 200 50 - 200
Otot, kulit, lemak, hati,
ginjal
Sarafloksasin Ayam Otot, kulit, lemak 10 - 100 10 - 80
Kalkun Otot, lemak, hati, ginjal - 10 - 80
Salmonidae Otot, kulit 30 -

14. Masalah lingkungan


Masalah baru yang timbul akibat penggunaan fluorokuinolon dalam bidang peternakan
adalah kemungkinan rusaknya lingkungan yang disebabkan ikut terbuangannya
FQ selama pemberian obat dan dari pembuangan (excreta) hewan itu sendiri. FQ yang
terbuang selama pemberian obat biasanya akan terserap ke dalam tanah dan lebih lanjut lagi
FQ cepat sekali terurai oleh cahaya. Ini akan berpengaruh terhadap organisme-organisme
tanah seperti protozoa dan fungi atau pada serangga dan tumbuhan. Oleh karena itu
penggunaan FQ yang tidak terkendali akan menimbulkan efek yang buruk terhadap
lingkungan (35).
Ada beberapa cara untuk mengurangi dampak yang tidak baik terhadap lingkungan
akibat penggunaan FQ. Pertama, FQ hanya digunakan apabila obat-obat pilihan pertama
(first-choice drugs) tidak efektif. Kedua, FQ hanya dapat digunakan oleh atau dibawah
pengawasan dokter hewan. Selanjutnya, pendidikan masyarakat dan profesional harus
ditingkatkan dibidang penyakit infeksi dan antimikroba untuk mengurangi penggunaan obat-
obatan ini yang tidak sesuai. Lebih jauh lagi, kurikulum untuk pendidikan tenaga kesehatan
profesional (dokter, perawat) harus lebih terkini (up to date) pada bidang sterilisasi,
desinfeksi, resiko bahaya akibat penggunaan antimikroba yang tidak sesuai, diagnosa dan
pengobatan penyakit infeksi yang sesuai hingga resistensi mikroba. Usaha-usaha ini akan
mengurangi penyebaran agen infeksi dan meningkatkan penggunaan antimikroba yang tepat.
15. Kesimpulan
Diperkenalkannya antimikroba fluorokuinolon dalam penggunaan klinis merupakan
sebuah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi penting saat ini. Antibiotik FQ memiliki
aktifitas antibakteri luas yang tidak hanya digunakan untuk pengobatan terhadap manusia,
tetapi juga digunakan sebagai obat hewan. Saat ini antibiotik FQ beredar luas di seluruh
dunia termasuk di Indonesia, dengan 50 nama generik yang berbeda untuk penggunaan pada
manusia dan hewan. Di Indonesia, enrofloksasin, siprofloksasin dan norfloksasin merupakan
fluorokuinolon obat hewan yang memiliki jumlah merek dagang terbanyak. Penggunaan FQ
secara tepat dan terkendali dibawah pengawasan tenaga medis profesional, FQ akan
memberikan kontribusi yang sangat baik terhadap peningkatan produktifitas peternakan dan
kesehatan hewan yang membawa pada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lebih baik.
16. Pustaka
1. Anadon A, Martinez-Larranaga MR, Diaz MJ, Bringas P, Martinez MA, Fernandez-
Cruz, ML, Fernandez MC, & Fernandez R. 1995. Pharmacokinetics and Residues Of
Enrofloxacin In Chickens. American Journal of Veterinary Research, 56, 501-506.
2. Angulo FJ, Johnson KR, Tauxe RV, & Cohen ML. 2000. Origins and Consequences Of
Antimicrobial-Resistant Nontyphoidal Salmonella: Implications for the Use of
Fluoroquinolones in Food Animals. Microbial Drug Resistance, 6, 77-83.
3. Anonim. 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia, Edisi VII. Asosiasi Obat Hewan Indonesia.
Jakarta. Hal 56-58, 81-85, 89-90, 132-135.
4. Anonim. 2007. The United States of Pharmacopiea
5. Benes J. 2005. Review and Categorization Of Quinolone Antibiotics. Pfehled A Rozdeleni
Chinolonovych Antibiotik, 11, 4-14.
6. Bertino J. & Fish D. 2000. The Safety Profile of The Fluoroquinolones. Clinical
Therapeutics, 22, 798-817.
7. Blondeau JM. 2004. Fluoroquinolones: Mechanism of Action, Classification and The
Development of Resistance. Survey of Ophthalmology, 49, 73-78.
8. Braunius WW. 1987. Effect van Baytril (Bay Vp 2674), Tijdschr. Diergeneeskd, 112, 531-
533.
9. Brown SA. 1996. Fluoroquinolones in Animal Health. Journal of Veterinary
Pharmacological Therapy, 19.
10. Berg J. 1988. Clinical Indication for Enrofloxacin in Domestic Animals and Poultry, in
Quinolones: A Symposyum: A NewClass of Antimicrobial Agents for Use in Veterinary
Medicines. Shawnee, KS, Mobay Corporation, pp 25-34.
11. Bucknall S, Silverlight J, Coldham N, Thorne L. & Jackman R. 2003. Antibodies to the
Quinolones and Fluoroquinolones for the Development of Generic and Specific
Immunoassays for Detection of these Residues in Animal Products. J. of Food Addtv and
Contam 20: 221-228.
12. Carlucci G. 1998. Analysis of Fluoroquinolones in Biological Fluids by High Performance
Liquid Chromatography. J. of Chrom 812: 343-367.
13. Desgrandchamps D. 1989. Increasing Rates of in Vitro resistance to Ciprofloxacin and
Norfloxacin in Isolates from Urine Specimens. J. Antimicrob Agents Chemother 33: 595596.
14. Firzgeorge R, Featherstone A, & Baskerville A. 1988. The effect of Ofloxacin on the
Intracellular Growth of Legionella pneumophila in Guinea Pig Alveolar Phagocytes. J.
Antimicrob Agents Chemother 22(suppl.S): 53-57.
15. Giles CJ, Magonigle RA, & Grimshaw WT. Clinical pharmacokinetics of parenterally
administered danofloxacin in cattle. J Vet Pharmacol Ther 14:400-410.
16. Gyrd-Hansen N, & Nielsen P. 1994. The Influence of Feed on the Oral Bioavailability of
Enrofloxacin, Oxytetracycline, Penicillin V and Spiramycin in Pigs. In: Proceeding of
the Sixth Congress of the European Association for Veterinary Pharmacology and
Toxicology. Edinburgh, Scotland. 242-243.
17. Hernandez-Arteseros JA, Barbosa J, Compano R, & Prat MD. 2002. Analysis of
Quinolone Residues in Edible Animal Products, Journal Of Chromatography, 945, 1-24.
18. Higgins PG, Fluit AC, & Schmitz FJ. 2003. Fluoroquinolones: Structure And Target
Sites. Current Drug Targets, 4, 181-190.
19. Hooper DC. & Wolfson JS. 1985. The Fluoroquinolones: Structures, Mechanisms of
Action and Resistance and Spectra of Activity in Vitro. Antimicrob Agents Chemotherap
28: 581-586.
20. Hooper DC. & Wolfson JS. 1991. Fluoroquinolone Antimicrobial Agents, The New
England Journal of Medicine Editorial, 324, 384-394.
21. Kato M, Ihara Y, Kasai, D. & Kodaira, T. 2008. The Development of Release-
Competitive Assay To Detect Residual Quinolones in Contaminated Milk, Journal of
Food And Agricultural Immunology, 19, 241 -246.
22. Kato M, Ihara Y, Nakata E, Miyazawa M, Sasaki M, Tsukasa K, & Nakazawa H.
2007. Development of Enrofloxacin Elisa Using A Monoclonal Antibody Tolerating An
Organic Solvent with Broad Cross-Reactivity To Other Newquinolones. Journal of
Food And Agricultural Immunology, 18, 179-197.
23. Kaartinen L, Puorala S, & Moilanen M. 1997. Pharmacokinetics of enrofloxacin in
newborn and one-week-old calves. J Vet Pharmacol Ther 20:479-482.
24. Malbe M, Salonen M, & Fang W. 1998. Disposition of enrofloxacin (baytril) into the
udder after intravenous and intra-arterial injections into dairy cows. Zentralbl
Veterinarmed A 43(6): 377-386.
25. Matsumoto S, Nakai M, & Yoshida M. 1999. A study of metabolites isolated from urine
samples of pigs and calves administered orbifloxacin. J Vet Pharmacol Ther 22:286-
289.
26. Mella MS, Acuna LG, Munoz QM, Perez CC, Labarca LJ, Gonzalez RG, Bello TH,
Dominguez YM, & Zemelman ZR. 2000. Quinolones: General Characteristics of
and Classification. Quinolonas: Aspectos Generales Sobre Su Estructura Y Clasificacion,
17, 53-66.
27. Mitchell MA. 2006. Enrofloxacin. Journal of Exotic Pet Medicine, 15(1), 66-69.
28. Monlouis JD, De Jong A, & Limet A. 1997. Plasma pharmacokinetics and urine
concentrations of enrofloxacin after oral administration of enrofloxacin in dogs. J Vet
Pharmacol Ther 20: 61-63.
29. Montay G, Goueffon Y, & Roquet F. 1984. absorption, distribution, metabolic fate, and
elimination of pefloxacin mesylate in mice, rats, dogs, monkeys and humans. Antimicrob
Agents Chemother 25:463-472.
30. Neu HC. 1992. Quinolone Antimicrobial Agents, Annual Review Medicine, 43, 465-486.
31. Oliphant CM, & Green GM. 2002. Quinolones: A Comprehensive Review. American
Family Physician, 65, 455-464.
32. Papich MG, & Riviere JE. 2001. Fluoroquinolone antimicrobial drugs. In: Adams HR,
Editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, 8th ed. Ames: IOWA State University
Press. pp. 898-912.
33. Preheim L, Cuevas T, Roccaforte J, Mellencamp M, & Bittner M. 1987. Ora;
Ciprofloxacin in the Treatment of Elderly Patients with Complicated Urinary Tract
Infections due to Trimetoprime/Sulfamethoxazole Resistant Bacteria. Am. J. Med., 82
(Suppl. 4A): 295-297.
34. Richez P, Monlouis JD, & Dellac B. 1994. Validation of a therapeutic regimen for
enrofloxacin in cats on the basis of pharmacokinetic data. J Vet Pharmacol Ther 20:152153.
35. Sarkozy G. 2001. Quinolones: A Class of Antimicrobial Agents. Veterinarni Medicina, 46,
257-274.
36. Spreng M, Deleforge J, & Thomas V. 1995. Antibacterial Activity of Marbofloxacin. A
New fluoroquinolone for veterinary use against canine and feline isolates. J Vet Pharmacol
Ther 18:284-289.
37. Tollefson L. & Karp BE. 2004. Human Health Impact from Antimicrobial Use in Food
Animals. Medecine E T Maladies Infectieuses 34, 514-521.
38. Vancutsem PM, Babish JG, & Schwark WS. 1990. The Fluoroquinolone antimicrobials:
Structure, antimicrobial activity, pharmacokinetics, clinical use in domestic animals and
toxicity. Cornell Vet 80:173-186.
39. Villa R, Prandini E, & Caloni F. 1997. Serum protein binding of some sulfonamides,
quinolones and fluoroquinolones in farm and domestic animal. J Vet Pharmacol Ther 20:21-
86.
40. Wagman AS, & Wentland MPM. 2007. Quinolone Antibacterial Agents. Comprehensive
Medicinal Chemistry, 7, 567-596.

Anda mungkin juga menyukai