Anda di halaman 1dari 2

NAMA : SALMA APRILIANA

NIM : 21020116120014

CO – HOUSING

Cohousing jadi alternatif bagi mereka yang ingin memiliki rumah dengan harga miring dan bebas
berkreasi. Tanpa campur tangan pengembang untuk mendapatkan rumah, beberapa orang bisa
mewujudkan mimpinya demi urusan papan idaman.
Cohousing memang konsep relatif baru di Indonesia. Namun, konsep ini sudah marak di Eropa maupun
Amerika. Kemunculan cohousing di dunia berawal di Denmark pada era 1960-an, dan berkembang ke
berbagai negara. Di Indonesia sempat lahir komunitas cohousing antara lain Komunitas Rumah Bersama
pada 2009, dan DFhousing yang muncul 2014 lalu. Konsep ini muncul sebagai antitesis dari harga rumah
yang terus naik digoreng oleh pengembang.
Keuntungan

Konsep ini jadi sarana bagi orang-orang yang berminat terhadap sebuah lokasi yang sama, lalu
membangun hunian secara bersama-sama sesuai selera. Kegiatan perencanaan pembangunan hingga
pembiayaan, dan pembangunan fasum dan fasos dilakukan melalui proses musyawarah dengan para
calon penghuni.
Dengan konsep cohousing, seseorang sangat mungkin memperoleh harga rumah jauh dari harga pasar di
sekitarnya. Ini karena tak ada campur tangan pengembang.
Cohousing bisa memberikan penghematan harga bila dibandingkan membeli rumah dari pengembang
yang memperhitungkan margin, biaya promosi, biaya tetek bengek lainnya atau risiko yang dibebankan
ke konsumen yang membuat harga rumah bisa menggelembung.
Peserta cohousing bebas mendesain rumahnya tanpa menerima begitu saja desain standar bila membeli
rumah dari pengembang. Peserta bisa menentukan ukuran ruangan mana yang menjadi prioritas,
seorang yang gemar masak tentu akan mendesain dapurnya lebih luas, atau yang gemar mengoleksi
buku akan menyisakan perpustakaan dari rumah yang dibangunnya. Segala kelebihan ini tentunya
digapai tak mudah.
Tantangan

Konsep cohousing memang bisa memberikan kebebasan berkreasi bagi para calon penghuni rumah dan
sebuah hasil harga rumah yang lebih terjangkau dari pasaran. Namun cohousing bukan tanpa kendala,
selain tantangan untuk mengumpulkan orang-orang yang punya minat sama, konsep ini juga harus
membutuhkan uang muka sekitar 30 persen layaknya seseorang yang mengambil KPR dari pengembang
konvensional.
Menemukan orang-orang yang punya minat dan komitmen yang sama juga belum cukup. Dukungan
pembiayaan dari perbankan juga jadi tantangan. Perbankan di Indonesia belum familiar untuk
membiayai KPR dengan skema rumah yang dikembangkan dengan cara urunan atau crowdfunding ini.
Setelah uang bank cair, tantangan lebih besar siap menghadang. Pemilihan kontraktor bangunan, biaya
konstruksi, desain bangunan, fasilitas kluster, dan segala aspek teknis lainnya butuh dimusyawarahkan
bersama. Di sini lah, komitmen para calon penghuni diuji, termasuk dalam meredam risiko konflik atau
perbedaan pandangan sesama calon penghuni.
Cohousing yang dianggap memberikan harga rumah yang miring tak luput dari incaran para spekulan
properti atau investor properti. Namun, cohousing yang memang berakar dari semangat membangun
komunitas bersama, tentu akan sangat “mengganggu” bagi mereka yang membangun cohousing bukan
untuk ditempati langsung. Kesiapan mental untuk sering musyawarah dan sering berkumpul, hanya
untuk membahas satu demi satu persoalan dari yang kecil sampai yang besar bukan pekerjaan yang
ringan dan butuh kesabaran. Berdasarkan pengakuan Mande, tipe peminat cohousing yang motifnya
hanya untuk berspekulasi akan mundur secara teratur.
Cohousing masih mencari bentuk di Indonesia. Salah satu tantangan awal bagi mereka yang
mengembangkan cohousing adalah menanggalkan ego masing-masing untuk mengembangkan hunian
bersama. Persoalan lain, para pegiat cohousing juga harus berhadapan dengan mencari lahan yang tak
mudah dan murah apalagi di Jakarta atau sekitarnya yang tak terbebas dari spekulan tanah. Sehingga
konsep ini dianggap tak sepenuhnya menyelesaikan masalah soal perumahan.

Anda mungkin juga menyukai