Anda di halaman 1dari 16

Hari, Tanggal Seminar : Senin, 30 Juli 2018

Ruang/Sesi/ Pukul Seminar : R. 267/ 1/ 08.00-09.00 WIB

Konvergensi Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia


Tahun 2010-2016 dengan Menggunakan
Analisis Regresi Spasial Data Panel Dinamis
Ahmad Fajar*1, Waris Marsisno2
1
IVSE3/14.7957

e-mail: *114.7957@stis.ac.id, 2waris@stis.ac.id

Abstrak
Permasalahan pada produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah terjadinya
ketimpangan baik secara regional maupun sektoral. Untuk mengetahui lamanya waktu untuk
menutup celah ketimpangan tersebut, maka penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat
konvergensi produktivitas tenaga kerja antar provinsi di Indonesia secara sektoral dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial. Metode analisis
yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia yang terdiri dari konvergensi
beta absolut dan kondisional menggunakan model regresi spasial data panel dinamis dengan
teknik estimasi Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB). Hasil analisis konvergensi sigma dan
beta absolut menunjukkan adanya kondisi konvergensi pada sektor primer, sedangkan pada
sektor sekunder dan tersier belum adanya cukup bukti terjadinya konvergensi. Akan tetapi,
analisis konvergensi kondisional menunjukkan bahwa terdapat bukti adanya konvergensi secara
spasial pada produktivitas tenaga kerja sektoral. Sektor primer membutuhkan waktu half-life
convergence paling lama yaitu 9-10 tahun, sedangkan sektor sekunder yaitu 1-2 tahun serta
sektor tersier yaitu 3-4 tahun. Selain itu, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Rata-rata
Lama Sekolah (RLS), dan upah riil sektoral berpengaruh signifikan positif terhadap produktivitas
tenaga kerja, sedangkan Angka Harapan Hidup (AHH) berpengaruh signifikan negatif terhadap
produktivitas tenaga kerja.
Kata kunci— konvergensi, analisis spasial, produktivitas tenaga kerja, SCBB

Abstract
The problem of labor productivity in Indonesia is a regional and sectoral inequality. To
know the time required to remove inequality, can be measured by the level of convergence of
labor productivity. The research would analyze the rate of sectoral labor productivity
convergence among provinces in Indonesia spatially and identify the determinant factors of labor
productivity. The analytical methods used is spatial dinamic panel data with Spatially Corrected
Blundell-Bond (SCBB) estimation method. The results show that there are spatially sectoral labor
productivity convergence. Primary sector takes the longest half-life convergence of 7-8 years,
while secondary takes 1-2 years and tertiary sector takes 3-4 years. Furthermore, the Gross
Capital Fixed Formation, Mean Years of Schooling, and real wage sectoral are significantly have
positive affect to the labor productivity while Life Expectancy is significantly have negative affect
to labor productivity.
Keywords— convergence, spatial analysis, labor productivity, SCBB

1. PENDAHULUAN

Pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran suatu negara sangat ditentukan oleh


keberhasilan pembangunan ekonomi. Idris (2016) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi
juga meliputi peningkatan kualitas masyarakat dari segi sosial-ekonomi. Oleh karena itu, dalam
upaya peningkatan kesejahteraan, selain menitikberatkan pada pertumbuhan pendapatan,
1
IJCCS ISSN: 1978-1520

pemerintah juga harus mempertimbangkan persoalan mengenai kemiskinan, ketidakmerataan,


pengangguran, dan aspek sosial-ekonomi lainnya. Kajian mengenai perekonomian suatu negara
tersebut juga dapat dilihat dari sudut pandang ketenagakerjaan. Menurut Bhinadi (2003), output
per tenaga kerja atau sering disebut produktivitas tenaga kerja merupakan indikator penting
kesejahteraan ekonomi yang dapat digunakan dalam mengkaji disparitas regional dan
pertumbuhan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai tingkat
produktivitas yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam waktu tertentu (Sukirno, 2006).
Produktivitas tenaga kerja di Indonesia memiliki pola yang selalu meningkat setiap tahun
seperti ditunjukkan Lampiran 1. Akan tetapi, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja tersebut
belum mampu secara stabil tumbuh sesuai target yang dicanangkan pemerintah. Ditjen
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penetapan Indikator Kinerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2014 – 2019 telah menetapkan target
persentase peningkatan produktivitas tenaga kerja per tahunnya. Dari target tersebut, keberhasilan
pencapaian target cukup rendah dilihat dari hanya beberapa tahun saja dimana nilai persentase
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dari 2012-2016 melebihi target yang ditetapkan yaitu
pada tahun 2013 dan 2014. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat masalah yang
ada pada kualitas tenaga kerja yang belum dicerminkan melalui konsistensi peningkatan
produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk terus
mampu menggenjot produktivitas tenaga kerja secara stabil agar mampu berdaya saing dan
menghasilkan output perekonomian yang optimal.
Pencapaian pembangunan yang baik dan peningkatan output perekonomian, seperti yang
ditunjukkan Gambar 2, seharusnya diikuti dengan aspek pemerataan yang baik pula. Secara
umum pada tahun 2010-2016, ditunjukkan pada Gambar 2, pencapaian hasil pembangunan
ekonomi di Indonesia masih perlu dibenahi, karena fakta menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
ketimpangan yang diukur dengan indeks Gini Indonesia berada pada angka 0,403. Berdasarkan
angka tersebut, dapat dikatakan tingkat ketimpangan di Indonesia berada pada tingkat
ketimpangan yang sedang. Walaupun demikian, ketimpangan antar provinsi di Indonesia mulai,
sejak 2011, mulai berangsur-angsur berkurang sampai pada 2016.
Selain ketimpangan yang terjadi secara regional, perbedaan juga terjadi lintas sektoral.
Sampai pada Agustus 2016, mayoritas penduduk Indonesia masih bekerja pada sektor Pertanian,
Kehutanan, Perburuan dan Perikanan dengan persentase sebesar 31,90%. Apabila ditinjau dari
nilai produktivitas tenaga kerja, sektor yang mendominasi adalah sektor Pertambangan dan
Penggalian dan sektor Keuangan, Asuransi, dan Usaha Persewaan Bangunan. Bahkan pada tahun
2015, produktivitas tenaga kerja sektor Pertambangan dan Penggalian mencapai angka tertinggi
dalam periode 2010-2016 dengan angka sebesar 196,425 juta rupiah, jauh di atas sektor-sektor
yang lain.
Di Indonesia, penelitian mengenai disparitas dan determinan produktivitas tenaga kerja
telah dilakukan oleh Yuniasih, dkk (2013) yang menggunakan analisis data panel dengan teknik
estimasi Sys-GMM. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa stok modal fisik, stok modal
manusia, total perdagangan, dan upah riil memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan tenaga
kerja. Konsep konvergensi produktivitas tenaga kerja diadopsi pada penelitian Susanti (2006).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja
sektoral antar provinsi di Indonesia. Di antara sembilan sektor yang ada, sektor pertanian memiliki
kecepatan konvergensi terendah, sedangkan sektor industri dan jasa mempunyai kecepatan
konvergensi tertinggi. Kekurangan dari penelitian tersebut adalah adanya korelasi antar residual
yang disebabkan oleh belum mempertimbangkan adanya komponen geografis. Gallo dan
Dall’erba (2007) mengaplikasikan konsep konvergensi produktivitas tenaga kerja antar negara-
negara di Eropa dengan pendekatan sektoral dan spasial. Penelitian ini menggunakan model
analisis regresi data panel spasial dimana spesifikasi model yang diadopsi yaitu Spasial Error
Model. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat konvergensi pada tingkat steady
state yang sama di tingkat agregat dan sektoral yaitu energi dan manufaktur. Penelitian tersebut
juga menunjukkan adanya autokorelasi spasial yang signifikan.
2
IJCCS ISSN: 1978-1520

Dari latar belakang permasalahan tersebut, tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah
sebagai berikut: (1) mengetahui gambaran umum produktivitas tenaga kerja di Indonesia secara
sektoral, (2) menganalisis tingkat konvergensi produktivitas tenaga kerja di Indonesia secara
sektoral, dan (3) menganalisis adanya keterkaitan spasial produktivitas sektoral tenaga kerja antar
provinsi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. METODOLOGI

2.1 Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data panel dari tahun 2010-2016 yang mencakup 33 provinsi
di Indonesia. Adapun fokus penelitian ini adalah mengukur produktivitas tenaga kerja secara
sektoral, yaitu sektor primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS). Berikut adalah rincian dari data yang
digunakan :
Notasi Deskripsi Definisi Operasional Satuan
PTK Produktivitas tenaga kerja PDRB ADHK dibagi dengan jumlah Miliar
penduduk berumur 15 tahun ke atas rupiah
yang bekerja selama seminggu yang lalu
PMTB Pembentukan Modal rasio PMTB terhadap total PDRB -
Tetap Bruto
AHH Angka Harapan Hidup - Tahun
RLS Rata-rata Lama Sekolah - Tahun
Upahriil Upah riil Upah/gaji/pendapatan bersih per bulan Rupiah
dibagi dengan indeks implisit
W Matriks penimbang Migrasi risen tenaga kerja berdasarkan -
spasial SUPAS 2015
2.2 Metode Analisis
Pada penelitian ini, analisis deskriptif menggunakan grafik digunakan untuk memberikan
gambaran kondisi produktivitas tenaga kerja secara umum di seluruh Indonesia. Dalam
menggambarkan kondisi umum produktivitas tenaga kerja juga digunakan penyajian peta tematik
menjadi empat kelompok, yaitu sangat tinggi, menengah-tinggi, menengah-rendah, dan sangat
rendah dengan kategorisasi menggunakan metode natural breaks.
Selain itu, analisis deskriptif lain yang digunakan adalah analisis konvergensi sigma
dengan menggunakan teknik analisis koefisien variasi. Ukuran konvergensi sigma yang
digunakan pada penelitian ini dinyatakan dalam rumus sebagai berikut.
√∑𝑛 2 𝐿𝑖
𝑖=1(𝑦𝑖 −𝑦¯) ( )
𝐿
𝐶𝑉 = 𝑦¯
(1)

dimana
yi : Produktivitas tenaga kerja provinsi ke-i
𝑦¯ : Rata-rata produktivitas tenaga kerja Indonesia
Li : Jumlah tenaga kerja provinsi ke-i
L : Jumlah tenaga kerja di Indonesia
Analisis inferensia yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis konvergensi beta.
Konvergensi beta sendiri terbagi menjadi dua, yaitu konvergensi beta absolut dan konvergensi
beta kondisional. Estimasi parameter pada persamaan konvergensi beta absolut tidak
mempertimbangkan efek spasial. Estimasi dilakukan pada variabel dependen oleh variabel lag
dependen itu sendiri. Sementara itu, estimasi parameter pada persamaan konvergensi beta
kondisional memasukkan variabel-variabel independen dan variabel kontrol yaitu efek spasial.

3
IJCCS ISSN: 1978-1520

Penggunaan variabel lag dependen ini berpotensi menyebabkan hasil yang tidak sesuai
(Millo dan Piras, 2012). Penggunaan estimasi OLS biasa pada persamaan panel dinamis akan bias
dan tidak konsisten (Baltagi, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model data panel
spasial dinamis yang mempertimbangkan keterkaitan spasial pada variabel dependen atau bentuk
error-nya. Analisis yang digunakan untuk mengestimasi parameter yaitu dengan metode spasial
panel dinamis Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) yang merupakan pengembangan dari
metode SYS-GMM dengan estimasi twostep noconstant.
Hasil estimasi pada persamaan konvergensi absolut dan kondisional akan diketahui
waktu terjadinya konvergensi. Konvergensi beta (baik absolut maupun kondisional) akan
menghasilkan dua indikator yaitu laju konvergensi dan nilai half-life. Laju konvergensi mengukur
tingkat kecepatan konvergensi produktivitas tenaga kerja menuju keadaan steady state (tingkat
keseimbangan dimana laju produktivitas tenaga kerja antar provinsi akan memiliki kemiripan satu
sama lainnya). Laju konvergensi produktivitas tenaga kerja dihitung berdasarkan formula
(Hasriati, 2016):
ln(𝛽)
𝜆= − ; 𝑇 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 (2)
𝑇
Penelitian ini menggunakan data tahunan, sehingga nilai T=1. Dengan demikian, nilai 𝜆
dapat dinyatakan dengan 𝜆 = −ln(𝛽). Adapun nilai half-life menunjukkan waktu yang
dibutuhkan untuk tercapainya setengah dari waktu konvergensi produktivitas tenaga kerja, yang
diformulasikan sebagai berikut:
− ln(0,5) ln 2
𝑡∗ = = (3)
ln(𝛽)/ 𝑇 𝜆
Dalam menganalisis menggunakan metode regresi data panel spasial dinamis, ada
beberapa tahapan analisis yang perlu dilakukan sebagai berikut.
1. Memilih matriks penimbang spasial yang mampu menjelaskan keterkaitan spasial
produktivitas tenaga kerja antar provinsi di Indonesia.
2. Mengidentifikasi awal adanya keterkaitan spasial melalui uji Moran’s I untuk melihat
korelasi spasial antara produktivitas tenaga kerja antar provinsi di Indonesia.
3. Melakukan pemodelan konvergensi beta kondisional dengan panel dinamis dengan efek
spasial. Hasil dari model ini akan menunjukkan variabel yang dapat membentuk konvergensi
produktivitas tenaga kerja per sektor.
4. Model akan diestimasi dengan metode Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) dengan
memasukkan variabel lag endogen sebagai variabel instrument.
5. Melakukan uji spesifikasi model dengan uji Arellano-Bond (AB test) dan uji Sargan untuk
mendapatkan model dengan estimator yang tidak bias, konsisten, dan instrumen yang valid.
Selain itu, juga melakukan uji Wald untuk mengetahui minimal salah satu dari variabel-
variabel berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja.
6. Menginterpretasi persamaan model terbaik.
Adapun penambahan efek spasial yang digunakan penelitian ini menggunakan model dari
penelitian Kukenova dan Monteiro (2009) dan Hasriati (2016) yang telah dimodifikasi dengan
memfokuskan hanya pada dependensi spasial dalam model spasial autoregresif (Spatial Lag
Model). Berdasarkan penelitian Agha dan Vedrine (2010), uji LM untuk mengetahui efek
keterkaitan spasial belum tersedia pengembangannya untuk model data panel dinamis, sehingga
pada penelitian ini, peneliti hanya berfokus dengan hanya menggunakan metode spatial lag.
Dengan demikian, spesifikasi model yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
ln(𝑃𝑇𝐾𝑖𝑡 )𝑘 = 𝛿𝑘 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )𝑘 + 𝜆𝑘 ∑𝑛𝑗=1 𝒘𝒊𝒋 ln(𝑃𝑇𝐾𝑗𝑡 )𝑘 + 𝛽1𝑘 ln(𝑃𝑀𝑇𝐵𝑖𝑡 )𝑘 + 𝛽2𝑘 ln(𝐴𝐻𝐻𝑖𝑡 ) +
𝛽3𝑘 ln(𝑅𝐿𝑆𝑖𝑡 ) + 𝛽4𝑘 ln(𝑈𝑝𝑎ℎ𝑟𝑖𝑖𝑙𝑖𝑡 )𝑘 + (𝜌𝑘 ∑𝑛𝑗=1 𝒘𝒊𝒋 𝜀𝑗𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 ) (4)
Keterangan:
𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 − 𝑘, k : sektor primer=1, sekunder=2, tersier=3
𝛼 : intercept
𝛿 : koefisien variabel lag produktivitas tenaga kerja
𝜆 : koefisien variabel efek keterkaitan spasial lag

4
IJCCS ISSN: 1978-1520

𝜌 : koefisien variabel efek keterkaitan spasial error


𝛽1 , 𝛽2 , 𝛽3 , 𝛽4 : koefisien regresi variabel independen
𝑤𝑖𝑗 : matriks penimbang spasial
𝑃𝑇𝐾𝑖𝑡 : produktivitas tenaga kerja untuk provinsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝑃𝑀𝑇𝐵𝑖𝑡 : Pembentukan Modal Tetap Bruto untuk provinsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝐴𝐻𝐻𝑖𝑡 : Angka Harapan Hidup untuk provinsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝑅𝐿𝑆𝑖𝑡 : Rata-Rata Lama Sekolah untuk provinsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝑈𝑝𝑎ℎ𝑟𝑖𝑖𝑙𝑖𝑡 : upah riil untuk provinsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝜀𝑗𝑡 : error spasial provnsi ke-i pada periode waktu ke-t
𝑣𝑖𝑡 : error spasial ke-i pada periode waktu ke-t
i : Aceh, ...., Papua
t : 2010, ..., 2016

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia


Secara agregat produktivitas tenaga kerja di Indonesia cenderung meningkat. Mulai dari
tahun 2010, rata-rata seorang tenaga kerja dapat menghasilkan output sebesar 69,11 juta rupiah
per tahun dan meningkat menjadi 85,36 juta rupiah per tahun pada tahun 2016 dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 4,15 % per tahun. Akan tetapi, Indonesia masih memiliki permasalahan
produktivitas tenaga kerja. Terlihat sangat sedikit sekali provinsi yang masuk dalam kategori
sangat tinggi dan menengah tinggi. Dari gambar di bawah terlihat bahwa secara umum
kesenjangan masih terjadi antar provinsi di Indonesia. Sebagian besar provinsi di Indonesia masih
berada pada kategori menengah ke bawah bahkan sangat rendah. Jika dibandingkan dengan
provinsi lain, provinsi-provinsi di Pulau Sumatera secara umum masuk pada kategori menengah
ke bawah. Provinsi Papua Barat dan Papua memiliki tingkat produktivitas yang menengah.
Adapun provinsi-provinsi di Jawa dan gugusan Nusa Tenggara serta Maluku perlu mendapatkan
perhatian khusus bagi pemerintah karena masih rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di
daerah tersebut.

Sangat rendah
Menengah-rendah
Menengah-tinggi
Sangat tinggi

Gambar 1. Peta Rata-Rata Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 2010-2016


Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah
dibandingkan dengan sektor lain. Rata-rata tiap tenaga kerja per tahunnya mampu menghasilkan
output sebesar 65,04 juta rupiah. Sedangkan di sektor sekunder dan tersier, tiap tenaga kerja per
tahunnya masing-masing mampu menghasilkan output sebesar 128,48 dan 65,77 juta rupiah.
Rendahnya tingkat produktivitas sektor primer dibandingkan sektor lain ini menjadi salah satu
indikasi perlu adanya pembenahan dalam transformasi ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan
banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang ada di sektor pertanian. Padahal di satu sisi, sektor
sekunder dan tersier memiliki permintaan output yang tinggi. Menurut Permata, dkk (2010) yang
juga sesuai teori pertumbuhan Lewis, menyatakan bahwa apabila terdapat perubahan permintaan
terhadap output pada suatu sektor akan menyebabkan perubahan terhadap kebutuhan tenaga kerja
5
IJCCS ISSN: 1978-1520

yang dapat memicu shifting ke sektor lain dan jika sebagian tenaga kerja tersebut di tarik dari
sektor pertanian maka sektor itu tidak akan kehilangan output-nya. Pada kenyataannya, masih
sulitnya tenaga kerja sektor pertanian untuk beralih dan berpindah ke sektor lain. Sektor sekunder
atau sektor industri membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas.
Pada periode 2010-2016, Provinsi Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan
produktivitas tenaga kerja sektor primer tertinggi dengan nilai rata-rata sebesar 446,60 juta rupiah
per tahun karena sektor pertanian dan pertambangan sangat mendominasi pada perekonomiannya.
Rata-rata besarnya kontribusi sektor primer terhadap total PDRB di Kalimantan Timur sebesar
57,15%. Potensi yang besar di komoditas batu bara menjadi kunci majunya perekonomian
Kalimantan Timur. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan
Timur, pada 2015 total produksi batubara di Kalimantan Timur mencapai 236,613 juta ton. Selain
itu, kelapa sawit juga mampu menopang perekonomian dengan Produksi kelapa sawit mencapai
9.628.072 ton dari luas tanaman 1.020.413 ha1. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur
menjadi provinsi dengan tingkat produktivitas sektor primer terendah dengan rata-rata per tahun
hanya mampu mencapai 11,92 juta per tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena sektor
pertambangan dan penggaliannya tak mampu berkontribusi banyak pada perekonomian yang
tidak mampu melebihi 2% dari total PDRB NTT. Sedangkan di sektor pertanian yang merupakan
kontributor PDRB terbesar masih terdapat masalah SDM. Pendidikan SDM di NTT sangat
rendah, terdapat 60,65% petani NTT yang hanya tamat SD (NTT dalam Angka 2016).
Selanjutnya pada sektor sekunder, Provinsi DKI Jakarta mampu menghasilkan rata-rata
produktivitas sebesar 470,97 juta rupiah per tenaga kerja per tahun pada periode 2010-2016.
Sektor industri manufaktur masih mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian DKI
Jakarta. Hal ini ditunjukkan dari kontribusi sektor industri manufaktur pada PDRB yaitu sebesar
13,84 persen pada tahun 2015, yang merupakan kontribusi terbesar kedua setelah sektor
Perdagangan Besar & Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Oleh karena itu, pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta masih akan dipengaruhi oleh perkembangan sektor
industri manufaktur. Adapun provinsi dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah yaitu
DI Yogyakarta. Rata-rata tenaga kerja di provinsi tersebut hanya mampu menghasilkan output
sebesar 34,06 juta rupiah per tahun pada periode 2010-2016. Meskipun Sektor Industri
Pengolahan merupakan kontributor terbesar PDRB yaitu sebesar 13,21%, akan tetapi
kenyataannya belum mampu mendorong angka produktivitas tenaga kerja sektor sekunder juga
ikut tinggi. Apabila dilihat lebih luas, perekonomian DI Yogyakarta bertopang pada sektor tersier
(66,27%).
Adapun pada sektor tersier, Provinsi DKI Jakarta pada periode 2010-2016 mampu
menghasilkan rata-rata produktivitas tenaga kerja sebesar 248,67 juta rupiah per tenaga kerja per
tahun. Sebagai motor perekonomian nasional, DKI Jakarta mampu meraup investasi yang besar
dari investor. Besarnya investasi pada sektor tersier menjadi alasan tingginya produktivitas tenaga
kerja sektor tersier, yaitu mencapai 188,0 triliun rupiah (data BKPM, 2017)2. Selain itu, strukur
perekonomian di DKI Jakarta sangat didominasi oleh kelompok sektor tersier (non-tradable).
Berdasarkan data BPS, sampai dengan semester pertama 2017, peranan sektor tersier mencapai
73,08 %, jauh menguasai sektor primer dan sekunder. Di sisi lain, pada periode 2010-2016, rata-
rata seorang pekerja di Provinsi Nusa Tenggara Barat hanya mampu menghasilkan output sebesar
37,56 juta rupiah per tahun. Angka ini cukup memiliki selisih yang besar dengan rata-rata nasional
yaitu 65,77 juta rupiah per tenaga kerja per tahun. Padahal sektor pariwisata merupakan sektor
yang diprioritaskan pada kegiatan perekonomian provinsi ini. Hal ini diduga karena masih
rendahnya SDM yang dapat ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia. Angka IPM provinsi

1
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, “Potensi Perkebunan, Pertanian, Dan Perternakan”,
(http://kaltimprov.go.id/halaman/potensi-perkebunan-pertanian-dan-perternakan, Diakses pada Juli 2018)
2
Badan Koordinasi Penanaman Modal, “Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA Triwulan IV dan
Januari – Desember Tahun 2017”
https://www2.bkpm.go.id/images/uploads/file_siaran_pers/Paparan_Indonesia_TW_IV_-
_2017_Kepala.pdf, Diakses pada Juli 2018
6
IJCCS ISSN: 1978-1520

NTB secara rata-rata hanya berada pada 63,62 masih lebih rendah dibandingkan provinsi yang
juga memprioritaskan sektor pariwisatanya seperti DI Yogyakarta dan Bali (angka IPM keduanya
di atas 70).
3.2 Konvergensi Sigma

Gambar 2 menunjukkan pola fluktuatif dari koefisien variasi produktivitas tenaga kerja
dari tiap sektor. Apabila ditinjau secara nasional, terlihat hanya produktivitas tenaga kerja di
Indonesia sektor primer yang menunjukkan kecenderungan adanya konvergensi. Terlihat bahwa
terjadi penurunan koefisien variasi pada periode 2010-2016. Pada tahun 2010, koefisien variasi
produktivitas tenaga kerja sektor primer bernilai 0,9674 dan terus menurun hingga pada 2016
nilainya mencapai 0,8827. Hal ini menunjukkan adanya penurunan dispersi produktivitas tenaga
kerja sektor primer atau dapat dikatakan terdapat indikasi konvergensi antar provinsi di Indonesia.
Pola yang berbeda ditunjukkan oleh grafik koefisien variasi produktivitas tenaga kerja sektor
sekunder dan tersier, dimana keduanya menunjukkan adanya kecenderungan divergensi.

a) b)

c) d)
Gambar 2. Koefisien Variasi Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia Tahun 2010-
2016. a) Produktivitas Menurut Sektor b) KBI dan KTI Sektor Primer, c) KBI dan KTI Sektor
Sekunder, dan d) KBI dan KTI Sektor Tersier
Apabila secara khusus ditinjau dari disparitas KBI dan KTI, provinsi-provinsi di
Indonesia sektor primer memperlihatkan adanya kondisi konvergensi. Indikasi tersebut
ditunjukkan dari penurunan dispersi koefisien variasi baik di KBI maupun KTI. Penurunan
dispersi dari koefisien variasi tersebut memperlihatkan konvergensi yang lemah. Tren ini
menunjukkan provinsi-provinsi di Indonesia menuju keseimbangan dan menunjukkan akan
kondisi semakin berkurangnya kesenjangan tingkat produktivitas tenaga kerja sektor primer di
Indonesia, baik provinsi-provinsi di KBI maupun KTI.
Sementara itu, produktivititas tenaga kerja provinsi-provinsi di KBI sektor sekunder
menunjukkan kecenderungan divergensi selama periode 2010-2016. Pola kondisi divergensi ini
sebenarnya sangat disebabkan kenaikan dispersi koefisien variasi produktivitas tenaga kerja
sektor sekunder yang cukup tinggi pada tahun 2016, dimana nilainya mencapai 0,8753. Meskipun
demikian, pola konvergensi ditunjukkan dari adanya penurunan dispersi koefisien variasi antar
provinsi di KTI. Hasil ini menunjukkan bahwa antar provinsi di KBI cenderung semakin mudah
mengalami ketimpangan produktivitas tenaga kerja, sedangkan antar provinsi di KTI akan
diprediksi cenderung mudah dalam menutup celah ketimpangan produktivitas tenaga kerja.

7
IJCCS ISSN: 1978-1520

Sektor tersier juga menunjukkan adanya sedikit pola divergensi produktivitas tenaga kerja
pada provinsi-provinsi di KBI. Selama periode 2010-2016, koefisien variasi dari produktivitas
tenaga kerja sektor tersier di KBI mengalami perubahan dari tahun 2010 sebesar 0,7843 menjadi
0,8587 pada tahun 2016, sedangkan di KTI menunjukkan adanya konvergensi meskipun terlihat
sangat lemah dan cenderung stagnan. Secara umum, hal ini menyiratkan perkembangan sektor
tersier antar provinsi di Indonesia tidak banyak berubah.
3.3 Konvergensi Beta Absolut
̂𝑖𝑡 )1 = 0,9892113 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )
ln(𝑃𝑇𝐾 (5)
1
̂𝑖𝑡 )2 = 1,004873 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )
ln(𝑃𝑇𝐾 (6)
2
̂𝑖𝑡 )3 = 1,000344 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )
ln(𝑃𝑇𝐾 (7)
3
Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan dari Lampiran 1, hasil uji AB dan Sargan
menunjukkan parameter telah konsisten dan valid pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji AB m1
menunjukkan hasil tolak hipotesis nol dan hasil uji AB m2 menunjukkan kesimpulan gagal tolak
hipotesis nol di setiap persamaan sektoral. Hal ini memberi kesimpulan bahwa tidak ada korelasi
antara error baik pada first order maupun second order. Selain itu, uji Wald juga menunjukkan
hasil tolak hipotesis nol yang berarti variabel lag produktivitas tenaga kerja di setiap sektor.
Artinya variabel independen berpengaruh pada produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya, untuk uji
Sargan menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada kedua persamaan sektoral: primer dan
sekunder, akan tetapi signifikan di persamaan tersier. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tidak
valid ketika dilakukan estimasi. Oleh karena itu, Caselli (1996) menyarankan perlu dilakukan
penambahan variabel instrument dengan membuat kombinasi pasangan dengan variabel
independen lainnya yang telah peneliti lakukan pada pembahasan selanjutnya yaitu analisis
konvergensi beta kondisional.
Adanya konvergensi beta absolut produktivitas tenaga kerja dapat dilihat dari koefisien
regresi persamaan produktivitas tenaga kerja tahun sebelumnya (variabel lag). Apabila nilai dari
koefisien dari lag produktivitas bernilai kurang dari satu, terdapat kondisi konvergensi. Hasil
estimasi menunjukkan koefisien dari lag produktivitas tenaga kerja kurang dari satu pada sektor
primer yang berarti terjadi konvergensi. Sedangkan di persamaan sektor sekunder dan tersier,
nilai koefisien lag produktivitas tenaga kerja bernilai lebih dari satu, yang artinya tidak terdapat
bukti adanya kondisi konvergensi.
Secara umum, kesimpulan ini mengarah pada indikasi provinsi-provinsi yang memiliki
produktivitas tenaga kerja sektor primer yang lebih rendah memiliki kecenderungan absolut untuk
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan provinsi dengan produktivitas tenaga kerja yang lebih
tinggi, sehingga ketimpangan antara kedua daerah tersebut akan semakin berkurang. Di sisi lain,
belum ada bukti kuat yang menunjukkan adanya kecenderungan provinsi-provinsi di Indonesia
untuk menutup celah ketimpangan khususnya sektor sekunder dan tersier. Hal ini sesuai dengan
apa yang ditunjukkan oleh hasil analisis konvergensi sigma.
Untuk mengetahui laju konvergensi yang terjadi pada konvergensi beta absolut
produktivitas tenaga kerja sektor primer dan waktu yang dibutuhkan agar tercapai kondisi half-
life convergence dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut:
Speed of convergence (𝜆) = − ln(0,9892113) = 0,01084732
Half life convergence (t* ) = 63,9003163
Produktivitas tenaga kerja sektor primer membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu
sekitar 63-64 tahun. Hal ini disebabkan sektor primer seperti pertanian dan pertambangan
merupakan sektor-sektor yang menyerap banyak sumber daya alam dan cenderung bersifat padat
modal. Padahal hanya sebagian kecil provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan SDA dan
potensi lahan pertambangan dan penggalian serta pertanian yang unggul. Bahkan secara agregat
nasional, menurut Mineral dalam Angka tahun 2011-2016 Dirjen ESDM, selama 2013-2016 rata-
rata pertumbuhan produksi batubara yaitu -1,2684% yang juga diikuti penurunan produksi
mineral lainnya seperti emas, perak, timah, dan nikel. Ditambah lagi, sektor ini merupakan sektor
penyerap tenaga kerja terbanyak. Berdasarkan Laporan Angkatan Kerja Agustus 2016, total
8
IJCCS ISSN: 1978-1520

angkatan kerja sektor primer mencapai 39,24 juta jiwa atau 34,2632% dari seluruh total angkatan
kerja. Demikian halnya penyebab kecepatan pertumbuhan menuju konvergensi akan menjadi
sangat lambat.
Terciptanya kondisi divergensi yang ditunjukkan dari estimasi pada persamaan
produktivitas tenaga kerja sektor sekunder dan tersier ini menjelaskan bahwa provinsi-provinsi di
Indonesia masih kesulitan untuk mencapai konvergensi produktivitas tenaga kerja. Sebenarnya
fenomena ini sejalan dengan analisis deskriptif yang telah dijelaskan sebelumnya dimana rata-
rata pertumbuhan provinsi dengan produktivitas tenaga kerja sektor sekunder 0,0936% per tahun
jauh di bawah rata-rata pertumbuhan dari provinsi dengan produktivitas tinggi yaitu 4,0656%.
Adapun rata-rata laju pertumbuhan sektor tersier provinsi-provinsi dengan produktivitas tenga
kerja yang rendah sebesar 4,0332% secara empiris belum mampu mengejar provinsi yang lain.
Fenomena divergensi dari kedua sektor ini juga sebenarnya telah disinyalir dari hasil yang
didapat pada analisis konvergensi sigma sebelumnya dimana adanya kecenderungan kenaikan
dispersi koefisien variasi produktivitas tenaga kerja dari sektor-sektor tersebut. Firdaus (2013)
menjelaskan bahwa perkembangan perekonomian Indonesia memasuki fase menuju titik
maksimum dari kurva U-Wiliamson, sehingga sedang pada masa-masa ketimpangan yang tinggi.
Selain itu, sektor sekunder dan tersier merupakan sektor yang sensitif dengan perkembangan
teknologi. Pengembangan industri pengolahan terutama industri yang terkait dengan teknologi
tinggi (high-tech industry) hanya difokuskan di Pulau Jawa sehingga menyebabkan perbedaan
tingkat pembangunan yang semakin melebar.
3.4 Konvergensi Beta Kondisional
33
̂𝑖𝑡 )1 = 0,9269 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) ) + 0,0186 ∑ (8)
ln(𝑃𝑇𝐾 𝑤𝑖𝑗 ln(𝑃𝑇𝐾𝑗𝑡 )1
1 𝑗=1
+ 0,1072 ln(𝑃𝑀𝑇𝐵𝑖𝑡 )1 − 0,4192 ln(𝐴𝐻𝐻𝑖𝑡 ) + 0,6448 ln(𝑅𝐿𝑆𝑖𝑡 )
+ 0,0292 ln(𝑈𝑝𝑎ℎ𝑟𝑖𝑖𝑙𝑖𝑡 )1
33
̂ (9)
ln(𝑃𝑇𝐾𝑖𝑡 )2 = 0,6998 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )2 + 0,0173 ∑ 𝑤𝑖𝑗 ln(𝑃𝑇𝐾𝑗𝑡 )2
𝑗=1
+ 0,4642 ln(𝑃𝑀𝑇𝐵𝑖𝑡 )2 − 0,7738 ln(𝐴𝐻𝐻𝑖𝑡 ) + 1,0164 ln(𝑅𝐿𝑆𝑖𝑡 )
+ 0,0791 ln(𝑈𝑝𝑎ℎ𝑟𝑖𝑖𝑙𝑖𝑡 )2
33
̂ (10)
ln(𝑃𝑇𝐾𝑖𝑡 )3 = 0,8178 ln(𝑃𝑇𝐾𝑖(𝑡−1) )3 − 0,0054 ∑ 𝑤𝑖𝑗 ln(𝑃𝑇𝐾𝑗𝑡 )3
𝑗=1
+ 0,1314 ln(𝑃𝑀𝑇𝐵𝑖𝑡 )3 − 0,4467 ln(𝐴𝐻𝐻𝑖𝑡 ) + 0,3409 ln(𝑅𝐿𝑆𝑖𝑡 )
+ 0,0498 ln(𝑈𝑝𝑎ℎ𝑟𝑖𝑖𝑙𝑖𝑡 )3
Tingkat Konvergensi Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia
Sejalan dengan hasil estimasi pada persamaan konvergensi beta absolut, sektor primer
membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai setengah konvergensi. Dengan tingkat
kecepatan konvergensi sebesar 7,59 persen, waktu yang dibutuhkan provinsi-provinsi di
Indonesia untuk mencapai setengah kondisi konvergensi yaitu 9-10 tahun. Kondisi ini disebabkan
secara rata-rata variabel independen yang diduga memengaruhi kecepatan konvergensi
produktivitas tenaga kerja sektor primer memiliki nilai terkecil daripada sektor lain seperti nilai
PMTB, RLS, dan upah riil. Hasil perhitungan tingkat konvergensi produktivitas tenaga kerja
sektor sekunder menunjukkan bahwa pada sektor sekunder, provinsi-provinsi di Indonesia untuk
mencapai waktu setengah konvergensi produktivitas tenaga kerja tercepat dibandingkan dengan
sektor primer dan tersier. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi half-life convergence
yaitu 1-2 tahun. Untuk mencapai kondisi half-life convergence tersebut dibutuhkan laju
konvergensi sebesar 35,70 persen. Selanjutnya, dari hasil estimasi persamaan produktivitas
tenaga kerja sektor tersier, produktivitas tenaga kerja sektor tersier antar provinsi di Indonesia
mengalami proses konvergensi sedikit lebih lambat dibandingkan sektor sekunder dengan tingkat
laju konvergensi sebesar 20,12 persen. Dengan laju sebesar itu, setengah waktu proses
konvergensi dapat tercapai dalam waktu 3-4 tahun.

9
IJCCS ISSN: 1978-1520

Tingginya laju konvergensi produktivitas tenaga kerja di sektor sekunder dibandingkan


dengan sektor lain ini disebabkan besarnya kontribusi variabel-variabel independen yang
mempercepat konvergensi. Berdasarkan persamaan (8), (9), dan (10) terlihat bahwa koefisien dari
masing-masing variabel independen pada persamaan sektor sekunder merupakan yang terbesar.
Hasil yang diperoleh dari laju konvergensi beta kondisional produktivitas tenaga ini
sejalan dengan penelitian Susanti (2006), dimana dengan laju konvergensi paling lama yaitu
Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian kemudian diikuti sektor-sektor jasa
tersier kemudian sektor sekunder seperti Sektor Industri Pengolahan dan Bangunan. Penelitian
lain seperti pada Yuniasih (2013) juga memiliki hasil yang serupa dimana konvergensi
produktivitas tenaga kerja memerlukan waktu untuk menutup setengah kesenjangan (half-life
convergence) sekitar 11 tahun, kemudian konvergensi produktivitas tenaga kerja sektor pertanian
di Indonesia juga sedikit lebih lambat (3 tahun) dibandingkan di sektor industri pengolahan (2
tahun).
Adanya pengaruh positif yang diberikan oleh efek spasial pada produktivitas tenaga kerja
sektor primer dan sekunder dan pengaruh negatif pada sektor tersier ini dapat dijelaskan melalui
beberapa hal. Pertama, banyaknya tenaga kerja di sektor primer dan sekunder. Berdasarkan
Laporan Angkatan Kerja Agustus 2016, total angkatan kerja sektor primer mencapai 39,24 juta
jiwa dan sektor sekunder mencapai 23,87 juta jiwa dari seluruh total angkatan kerja. Matriks
penimbang migrasi menjelaskan bahwa ketika migrasi terjadi, maka akan mengurangi pembilang
dari perhitungan output per tenaga kerja, yaitu jumlah tenaga kerja itu sendiri. Dengan demikian,
produktivitas tenaga kerja akan semakin meningkat. Kedua, tenaga kerja sektor primer dan
sekunder cenderung relatif lebih rendah kualitas pendidikannya di bandingkan sektor tersier.
Gambar 15 ternyata memperkuat pernyataan tersebut. Dapat dilihat bahwa sebagian besar
penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja sektor tersier memiliki tingkat lebih dari SMA.
Sektor tersier juga sensitif dengan perkembangan teknologi dan membutuhkan kualitas pekerja
yang lebih tinggi pada akhirnya yang menyebabkan produktivitasnya bisa sangat tinggi. Sehingga
apabila terjadi migrasi, produktivitas tenaga kerja suatu provinsi akan cenderung turun, dan
produktivitas tenaga kerja di provinsi sekitar justru naik akibat perpindahan tenaga kerja yang
berkualitas tersebut. Berbeda halnya pada sektor primer dan sekunder yang kualitas pekerjanya
relatif lebih rendah. Pekerja yang kualitas pendidikannya relatif rendah akan cenderung menjadi
beban dan menurunkan produktivitas, sehingga ketika migrasi terjadi justru akan meningkatkan
produktivitas.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

SD ke bawah SMP SMA Diploma dan Universitas


Gambar 3. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan dan kategori lapangan usaha ekonomi (9 sektor) tahun 2016

10
IJCCS ISSN: 1978-1520

Selain itu, alasan yang ketiga, adanya kemungkinan labor shifting ketika migrasi terjadi
(Permata, dkk 2010). Jadi, ketika terjadi perpindahan tenaga kerja, dimungkinkan juga terdapat
pergantian pekerjaan secara sektoral. Dengan demikian, arah dan pola hubungan antara migrasi
tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja menjadi sulit diprediksi sebagaimana yang terindikasi
dari arah positif pada sektor primer dan sekunder serta arah negatif pada sektor tersier.
Pengaruh Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap Produktivitas Tenaga Kerja
Sektoral di Indonesia
Variabel PMTB sektor primer signifikan berpengaruh positif terhadap produktivitas
tenaga kerja sektor primer. Peningkatan pertumbuhan PMTB sebesar 1 persen mampu secara
signifikan meningkatkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor primer sebesar 0,1072
persen dengan asumsi ceteris paribus. PMTB juga merupakan variabel yang signifikan
mempengaruhi produktivitas tenaga kerja khususnya sektor sekunder. Koefisien PMTB bernilai
0,4642 yang berarti ketika ceterus paribus, meningkatnya pertumbuhan PMTB sebesar 1 persen
akan meningkatkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor sekunder sebesar 0,4642
persen. Angka ini menunjukkan sektor sekunder memberikan kontribusi terhadap produktivitas
tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor primer. Produktivitas tenaga kerja
sektor tersier juga secara empiris dipengaruhi signifikan oeh PMTB sektor tersier. Nilai koefisien
PMTB adalah 0,1314. Artinya bahwa di bawah asumsi ceterus paribus, peningkatan 1 persen
pertumbuhan PMTB sektor tersier secara nyata mampu meningkatkan pertumbuhan produktivitas
sektor tersier sebesar 0,1314 persen. Angka ini juga sedikit lebih besar dibandingkan dengan
kontribusi PMTB pada produktivitas sektor primer, akan tetapi lebih kecil dari kontribusi pada
produktivitas sektor sekunder.
Restanto (2016) menambahkan bahwa secara umum PMTB memiliki pengaruh yang
positif terhadap produktivitas tenaga kerja. Adapun secara khusus, hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda dan sesuai dengan penelitian Apriyanto (2017) yang berfokus pada produktivitas tenaga
kerja sektor pertanian saja. Penelitian tersebut menyatakan bahwa investasi pada sektor pertanian
berpengaruh positif terhadap produktivitas tenaga kerja sektor pertanian. Selain itu, sesuai pula
dengan yang disebutkan Rahardja dan Winkler (2012) bahwa sektor sekunder merupakan sektor
yang cenderung membutuhkan akumulasi modal lebih banyak untuk aktivitas produksinya.
Peningkatan akumulasi modal PMTB ini akan ikut meningkatkan produktivitas dan membantu
dalam percepatan proses konvergensi.
Pengaruh Angka Harapan Hidup (AHH) terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral di
Indonesia
Variabel Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan proksi kesehatan tenaga kerja dimana
nilainya menjadi pendekatan gambaran kualitas modal manusia sebagai faktor produksi. Hasil
estimasi menunjukkan pengaruh negatif AHH yang signifikan terhadap produktivitas tenaga
kerja, dimana setiap peningkatan 1 persen AHH akan menurunkan produktivitas sektor primer
sebesar 0,4192 persen, sektor sekunder sebesar 0,7738 persen, dan sektor tersier sebesar 0,4467
persen. Hasil estimasi penelitian ini berbeda dengan yang dugaan peneliti dan penelitian Lestari
(2016) dan Marlita (2017) yang mengatakan bahwa AHH memiliki pengaruh positif terhadap
produktivitas tenaga kerja.
Fenomena ini dapat dijelaskan dimana AHH yang tinggi akan menambah jumlah
penduduk usia tua. Ketika jumlah penduduk usia tua tinggi maka akan meningkatkan rasio
ketergantungan. Semakin tinggi rasio ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban
yang harus ditanggung penduduk usia produktif. Hal ini diperkuat oleh data yang ditunjukkan
grafik berikut, dimana dari tahun 2010-2016 angka beban ketergantungan Indonesia usia tua yang
dihitung dari persentase penduduk usia 64 tahun ke atas terhadap total penduduk usia produktif
(15- 64 tahun).

11
IJCCS ISSN: 1978-1520

7.8
7.6
7.4
7.2
7
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sumber: World Development Index (WDI) World Bank
Gambar 4. Angka Beban Ketergantungan Usia Tua (64 tahun ke atas) Indonesia Tahun 2010-
2016
Selain itu ternyata masih banyak jumlah tenaga kerja yang berusia lanjut yang masih
bekerja, khususnya di sektor primer. Secara rata-rata, AHH di Indonesia yaitu 69 tahun padahal
menurut Laporan Angkatan Kerja Indonesia Agustus 2016, jumlah tenaga kerja yang berusia 60
tahun ke atas pada masing-masing sektor yaitu sektor primer mencapai 6.554.533 jiwa (16,70
persen), 1.146.579 jiwa (5,49 persen), dan sektor tersier 3.096.325 jiwa (5,60 persen). Di satu sisi,
penduduk usia lanjut memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah dari penduduk usia muda,
sehingga partipasi dalam kegiatan ekonomi juga rendah. Peningkatan AHH juga akan
meningkatkan jumlah penduduk. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Soekoer (2016)
dimana produktivitas dan proporsi pekerja yang berusia lanjut memiliki hubungan yang negatif.
Penelitian lain dari Acemoglu dan Johnson (2007) juga menunjukkan setiap peningkatan 1 persen
AHH akan meningkatkan 1,35 persen jumlah penduduk. Seiring dengan peningkatan tersebut
tentunya juga akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Meskipun demikian, menurut teori
diminishing product of labor, peningkatan angkatan kerja yang terus menerus justru menurunkan
produktivitas rata-rata.
Pengaruh Rata-Rata Lama Sekolah terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral di
Indonesia
Sementara itu, RLS terbukti signifikan berpengaruh positif terhadap produktivitas tenaga
kerja sektor primer pada tingkat signifikansi 5 persen. Dengan asumsi ceteris paribus,
peningkatan 1 persen pertumbuhan RLS akan mampu meningkatkan pertumbuhan produktivitas
tenaga kerja sektor sektor primer sebesar 0,6448 persen. Koefisien RLS menunjukkan arah
hubungan positif terhadap produktivitas tenaga kerja sektor sekunder. Koefisien RLS pada
persamaan sektor sekunder ini juga menegaskan bahwa kontribusi pendidikan sektor sekunder
terhadap produktivitas tenaga kerja adalah yang terbesar dibandingan sektor lain. Peningkatan
pertumbuhan 1 persen RLS akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 1,0164 persen.
Adapun di sektor tersier, 1 persen peningkatan RLS hanya mampu meningkatkan produktivitas
tenaga kerja sebesar 0,3409 persen dengan asumsi ceteris paribus.
Variabel RLS ternyata memiliki kontribusi terbesar terhadap produktivitas tenaga kerja
sektor sekunder. Hal ini cukup sejalan dengan penelitian Sulistyowati (2010), sektor industri
(sektor sekunder) membutuhkan tenaga kerja yang lebih terampil dibandingkan dengan sektor
pertanian. Adapun kontribusi RLS terhadap produktivitas tenaga kerja sektor tersier ternyata
secara empiris merupakan yang terkecil.
Pengaruh Upah Riil terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia
Selanjutnya, variabel upah riil sektor primer pada persamaan produktivitas tenaga kerja
sektor pertanian menunjukkan hubungan positif yang signifikan. Koefisien dari upah riil sektor
primer bernilai 0,0292. Ini berarti dengan asumsi ceterus paribus, tiap peningkatan upah riil
sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor primer sebesar 0,0292
persen. Sementara itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa variabel upah riil sektor
sekunder secara signifikan memiliki pengaruh positif terhadap produktivitas tenaga kerja sektor

12
IJCCS ISSN: 1978-1520

sekunder. Koefisien variabel upah riil adalah sebesar 0,0791. Artinya bahwa pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja sektor sekunder sebesar 0,0791 persen dapat diperoleh dengan cara
meningkatkan sebesar 1 persen dari upah riil sektor sekunder. Adapun variabel upah riil sektor
tersier menunjukkan hubungan positif yang signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja sektor
tersier dengan nilai koefisien dari upah riil sektor primer yaitu 0,0498. Nilai ini mengandung
interpretasi bahwa dengan asumsi ceterus paribus, tiap peningkatan upah riil sebesar 1 persen
akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor tersier sebesar 0,0498 persen.
Hasil ini sesuai dengan penemuan Sumarlin (2006) yang menyatakan bahwa terdapat
bukti adanya hubungan searah, yaitu upah tinggi mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di
Indonesia. Peningkatan insentif dan upah secara nyata dapat meningkatkan produktivitas tenaga
kerja. Upah yang tinggi dapat memberikan motivasi pada tenaga kerja untuk lebih giat bekerja
dan mencapai prestasi yang lebih tinggi (Rofiqoh, 1994; Adhadika dan Pujiyono, 2014). Dengan
demikian hasil ini telah sesuai dengan dugaan awal penelitian bahwa produktivitas tenaga kerja
akan meningkat seiring dengan peningkatan upah riil.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disumpulkan sebagai berikut.


1. Indonesia memiliki permasalahan ketimpangan produktivitas tenaga kerja baik secara agregat
maupun sektoral. Hampir di semua sektor, provinsi Kalimantan Timur dan DKI Jakarta selalu
menjadi provinsi dengan tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi. Adapun secara umum,
daerah yang masih memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja sektoral yang rendah yaitu D.I.
Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur serta Nusa Tenggara Barat.
2. Analisis konvergensi sigma dan beta menunjukkan adanya pola konvergensi pada ketiga
sektor. Hasil analisis konvergensi beta kondisional, sektor primer menjadi sektor dengan laju
konvergensi terlambat sehingga untuk mencapai kondisi half-life convergence dibutuhkan
waktu selama 9-10 tahun. Sementara itu, sektor sekunder membutuhkan waktu untuk
mencapai kondisi half-life convergence sekitar 1-2 tahun dan sektor tersier sekitar 3-4 tahun.
3. Efek spasial signifikan mempengaruhi pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di semua
sektor. Hasil estimasi model spasial dinamis konvergensi produktivitas tenaga kerja dengan
teknik Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) menunjukkan bahwa variabel-variabel
yang berpengaruh positif signifikan produktivitas tenaga kerja pada sektor primer yaitu
PMTB, RLS, dan upah riil, sedangkan variabel AHH berpengaruh negatif pada produktivitas
tenaga kerja.
Dari hasil dan kesimpulan penelitian tersebut, peneliti merumuskan beberapa saran yaitu:
1. Pemerintah daerah harus mengidentifikasi dan memilih sektor yang masih lemah khususnya
dalam produktivitas tenaga kerja agar menjadi fokus untuk dikembangkan. Hal ini dapat
dilakukan dengan penetapan standar kompetensi bagi tenaga kerja kemudian merelokasi
tenaga kerja tersebut ke sektor tertentu yang menjadi prioritas pembangunan.
2. Pembangunan sektor pertanian juga harus didorong oleh pembangunan infrastruktur melalui
investasi yang sehat dan strategi industrialisasi contohnya dengan strategi berbasis
Agricultural Development Led-Industrialization (ADLI). Dengan demikian, tidak hanya
sektor primer khususnya pertanian yang akan tumbuh melainkan sektor lain dengan
menciptakan pasar bagi barang industri maupun jasa lainnya.
3. Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan harus berorientasi kebutuhan pasar kerja
yang sesuai Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang terpantau dari
pelaksanaan evaluasi yang berkelanjutan. Standardisasi dapat dilakukan dengan percepatan
sertifikasi tenaga kerja. Hal tersebut diharapkan mampu meningkatan kualitas pendidikan dan
keterampilan dari tenaga kerja.
4. Untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan matriks penimbang spasial lain yang dapat
menangkap fenomena keterkaitan spasial antar provinsi di Indonesia dari sudut pandang lain
selain tenaga kerja. Selain itu, disarankan untuk menggunakan alternatif spesifikasi model lain

13
IJCCS ISSN: 1978-1520

seperti Spatial Error Model (SEM) untuk menjelaskan keterkaitan spasial pada terjadi pada
error.

DAFTAR PUSTAKA

Acemoglu, Daron dan Johnson, Simon. (2007). The Effect of Life Expectancy on Economic
Growth. Journal of Political Economy, Vol. 115, No. 6 December 2007), pp. 925-985
Adhadika, Teddy dan Pujiyono, Arif. (2014). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produktivitas Tenaga Kerja Industri Pengolahan di Kota Semarang (Studi Kecamatan
Tembalang dan Kecamatan Gunungpati). Diponegoro Journal of Economics Volume 3,
Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 1-13 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme ISSN
(Online): 2337-3814
Agha, Salima Bouayad & Védrine, Lionel. (2010). Estimation Strategies for a Spatial Dynamic
Panel Using GMM. A New Approach to the Convergence Issue of European Regions.
Spatial Economic Analysis. 5. 205-227. 10.1080/17421771003730711.
Apriyanto, Eko. (2017). Determinan Produktivitas Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun
2010-2015: Pendekatan Analisis Regresi Data Panel. [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik.
Baltagi, B. H. . (2005). Econometric Analysis of Panel Data (3rd ed). New York: John Wiley and
Sons.
Bhinadi, Ardito. (2003). Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa. Jurnal
Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 39 – 48.
Caselli, F., Esquivel, G., dan Lefort, F. (1996). Reopening the Convergence Debate: A New Look
at Cross-Country Growth Empirics. Journal of Economic Growth, 1996.
Firdaus, Muhammad. (2013). Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia: Fakta dan
Strategi Inisiatif. Orasi Ilmiah. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dalam rangka Dies
Natalis IPB ke-50.
Gallo, Julie Le dan Dall’erba, Sandy. (2007). Spatial and sectoral productivity convergence
between European regions, 1975–2000. Papers in Regional Science, Volume 87 Number
4 November 2008.
Hasriati, Afni. (2016). Pemodelan Konvergensi Inflasi Antar Wilayah di Indonesia dengan
Pendekatan Spasial Dinamis Data Panel AB-GMM dan SYS-GMM. [Tesis]. Surabaya:
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Idris, Aminuddin. (2016). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Deepublish.
Jacobs, Jan P.A.M, dkk. (2009). Dynamic Panel Data Models Featuring Endogenous Interaction
and Spatially Correlated Errors. International Studies Program Working Paper 09-15
October 2009.
Kukenova, Madina dan Monteiro, Jose-Antonio. (2008). Spatial Dynamic Panel Model and
System GMM: A Monte Carlo Investigation. MPRA Paper No. 11569.
Lestari, Kinanti Widiari. Pengaruh Modal Manusia terhadap Productivity di Indonesia. [Skripsi].
Semarang: Universitas Diponegoro.
Marlita, Elsi. (2017). Analisis Faktor yang Memengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja dan
Dampaknya terhadap Kemiskinan di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Millo, Giovanni dan Piras, Gianfranco. (2012). splm: Spatial Panel Data Models in R. Journal of
Statistical Software April 2012, Volume 47, Issue 1. http://www.jstatsoft.org/
Permata, Meily Ika. (2008). Labor Productivity Growth: Labor Shifting or Sectoral Productivity
Growth. Working Paper Bank Indonesia No.20 Desember 2008
Rahardja, Sjamsu dan Winkler, Deborah. (2012). Why the Manufacturing Sector Still Matters for
Growth and Development in Indonesia. Policy Note 1 the World Bank.
Restanto, Andi. (2016). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Pembentukan Modal Tetap
Bruto terhadap Produktivitas di Indonesia. [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Rofiqoh. (1994). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi dan Produktivitas Pekerja
di Kalimantan Timur. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
14
IJCCS ISSN: 1978-1520

Sukirno, Sadono. (2006). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan.
Jakarta: Kencana.
Sulistyowati, Niken. (2010). Dampak Investasi Pendidikan terhadap Perekonomian dan
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, Volume 6, Nomor 2, September 2010, 158-170
Sumarlin. (2006). Analisis Hubungan Tingkat Upah Tinggi terhadap Produktivitas di Indonesia.
[Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Susanti, Bety Hayat. (2005). Konvergensi Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral Antar Propinsi di
Indonesia (1987-2003). [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Yuniasih, Aisyah Fitri. (2013). Disparitas, Konvergensi, dan Determinan Produktivitas Tenaga
Kerja Regional di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Grafik Persentase Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2002-2016

Sumber : BPS (diolah)


Lampiran 2. Grafik Perbandingan Indeks Gini pada KBI dan KTI Tahun 2010-2016
0.42
0.41
0.4
0.39
0.38
0.37
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Indeks Gini Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Lampiran 3. Hasil estimasi regresi data panel dinamis untuk konvergensi beta absolut
menggunakan SYS-GMM
Variabel Independen Primer Sekunder Tersier
0.9892113 1.004873 1.000344
Log (Produktivitas tenaga kerja)
(0.000*) (0.000)* (0.000)*
2.46e+06 483215.30 2.91e+06
Uji Wald
(0.0000)* (0.0000)* (0.0000)*

15
IJCCS ISSN: 1978-1520

-3.3308 -2.6718 -2.3223


AB m1
(0.0009)* (0.0075)* (0.0202)*
-0.07121 1.7263 0.21851
AB m2
(0.9432) (0.0843) (0.8270)
28.52461 29.51086 31.69489
Sargan test
(0.0738) (0.0584) (0.0338)*

Lampiran 4. Hasil estimasi regresi data panel spasial dinamis untuk konvergensi beta
kondisional menggunakan SCBB
Standar
Sektor Variabel Independen Koefisien P-value
Error
(1) (2) (3) (4) (5)
Ln lag produktivitas 0.9268784 0.0253566 0.000*
efek spasial 0.0186226 0.0037972 0.000*
Ln PMTB sektor primer 0.107164 0.0267861 0.000*
Ln Angka Harapan Hidup -0.419197 0.0631721 0.000*
Ln Rata-rata Lama Sekolah 0.6447914 0.093256 0.000*
Primer
Ln Upah riil sektor primer 0.0291734 0.0089066 0.001*
Uji Wald 749649.08 (0.0000*)
Uji AB m1 -3.266 (0.0011*)
Uji AB m2 0.58822 (0.5564)
Uji Sargan 30.76704 (0.7914)
Ln lag produktivitas 0.6997743 0.0409613 0.000*
efek spasial 0.0173461 0.0058692 0.003*
Ln PMTB sektor sekunder 0.4642471 0.1524927 0.002*
Ln Angka Harapan Hidup -0.773751 0.1113757 0.000*
Ln Rata-rata Lama Sekolah 1.016387 0.1363132 0.000*
Sekunder
Ln Upah riil sektor sekunder 0.0791131 0.0277219 0.004*
Uji Wald 122780.04 (0.000*)
Uji AB m1 -2.5882(0.0096*)
Uji AB m2 1.7516 (0.0798)
Uji Sargan 24.07949 (0.9616)
Ln lag produktivitas 0.8177864 0.0204976 0.000*
efek spasial -0.005422 0.001613 0.001*
Ln PMTB sektor tersier 0.1314382 0.0278679 0.000*
Ln Angka Harapan Hidup -0.446709 0.0583015 0.000*
Ln Rasio Lama Sekolah 0.3408658 0.0620202 0.000*
Tersier
Ln Upah riil sektor tersier 0.0498391 0.0135655 0.000*
Uji Wald 2.12e+06 (0.000*)
Uji AB m1 -2.5862 (0.0097*)
Uji AB m2 0.4078 (0.6834)
Uji Sargan 28.56402 (0.8664)

16

Anda mungkin juga menyukai