Anda di halaman 1dari 12

PAPER EKONOMI SUMBER DAYA MANUSIA

KELAS C

Dibuat Oleh:

Kelompok 1

Desak Nyoman Utami 1506105053

Ni Komang Argia Gemah Utari P. 1506105086

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM REGULER

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Perencanaan tenaga kerja baik secara mikro maupun makro sangat penting
peranannya dalam peningkatan produktivitas/efisiensi di perusahaan secara mikro maupun
untuk suatu negara secara makro. Perencanaan tenaga kerja secara mikro secara umum
dilakukan dengan melihat perkiraan beban kerja di masa mendatang dan kemampuan masing-
masing tenaga kerja dalam menyelesaikan pekerjaan pada satu periode tertentu, sehingga
dengan membandingkan keduanya akan diperoleh perkiraan tenaga kerja di masa mendatang.
Perencanaan tenaga kerja secara makro pelaksanaannya jauh lebih kompleks dibandingkan
perencanaan tenaga kerja secara mikro, mengingat pada perencanaan tenaga kerja secara
makro wilayah prediksinya jauh lebih luas, sehingga tingkat ketepatannya cenderung lebih
rendah dari pada perencanaan tenaga kerja mikro.
Menurut Swasono & Sulistyaningsih (1987) perencanaan tenaga kerja secara nasional,
regional, atau tingkat perusahaan adalah suatu proses pengumpulan informasi secara reguler,
analisis situasi dan trend untuk masa kini dan masa depan dari permintaan dan penawaran
tenaga kerja, termasuk faktor-faktor yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan serta
penyajian pilihan pengambilan keputusan kebijaksanaan dan program aksi, sebagai bagian
dari proses perencanaan pembangunan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pada makalah kali ini, penulis akan membahas mengenai beberapa topik diantaranya
perbandingan kebutuhan dan penyedia tenaga kerja, perencanaan pendidikan dan latihan,
serta contoh analisis peningkatan kesempatan kerja di Indonesia.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis menemukan beberapa masalah yang akan dibahas
pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah perbandingan kebutuhan dan penyedia tenaga kerja?
2. Bagaimanakah cara peningkatan kesempatan kerja di Indonesia?
3. Bagaimanakah cara untuk dapat melakukan perencanaan pendidikan dan latihan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

Perbandingan Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga Kerja


Setelah perkiraan kebutuhan tenaga kerja selesai dilakukan demikian pula perkiraan
penyedia tenaga kerja, maka selanjutnya dilakukan adalah perbandingan antara kedua
perkiraan tersebut. Dalam melakukan perbandingan antara perkiraan tenaga kerja dengan
perkiraan kesempatan kerja pada umumnya dilakukan secara total. Hal ini disebabkan sangat
sukar untuk diperkirakan apakah seseorang yang masuk pasar kerja akan menawarkan tenaga
kerjanya di lapangan usaha mana, apalagi ditinjau dari jenis jabatannya. Yang mungkin untuk
dilakukan adalah melihat tingkat pengangguran menurut pendidikan yaitu dengan
membandingkan perkiraan persediaan tenaga kerja menurut pendidikan dengan perkiraan
kebutuhan tenaga kerja menurut pendidikan.
Dengan membandingkan kedua perkiraan tersebut akan dapat diketahui
ketidakseimbangannya. Pada umumnya akan didapat perhitungan penyediaan tenaga kerja
lebih banyak daripada perkiraan kebutuhan tenaga kerja. Dengan demikian
ketidakseimbangannya berupa pengangguran atau pencari kerja. Jumlah penganggur/pencari
kerja dapat dilihat/dihitung secara total ataupun diklasifikasikan menurut katagori tertentu.
1) Penganggur total
Adalah penganggur/pencari kerja dihitung dengan mengurangi jumlah
penyediaan tenaga kerja secara total dengan kebutuhan tenaga kerja juga secara
total. Demikian pula jika akan menghitung perkiraan penganggur total, maka
perkiraan penyedia tenaga kerja dikurangi dengan perkiraan kebutuhan tenaga
kerja. Apabila dilihat dari data statistik yang dikumpulkan oleh BPS, untuk
menghitung jumlah penganggur/pencari kerja adalah dengan mengurangi jumlah
angkatan kerja dengan kesempatan kerja.
2) Penganggur akibat krisis ekonomi
Penganggur jenis ini akan ada jika suatu negara mengalami krisis ekonomi yang
ditandai oleh pertumbuhan penduduk PDB atau PDRB yang negatif. Jika
PDB/PDRB negatif berarti pada tahun tersebut jumlah kesempatan kerja
berkurang/lebih sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pengurangan
kesempatan kerja inilah yang disebut sebagai penganggur akibat krisis ekonomi.
Jadi cara menghitung pengangguran seperti ini adalah dengan mengurangi jumlah

2
kesempatan kerja pada tahun sebelumnya dengan kesempatan kerja pada tahun
krisis tersebut terjadi.
3) Penganggur kronis
Penganggur kronis adalah penganggur yang berasal dari tahun sebelumnya.
Mereka dikatakan sebagai penganggur kronis karena dari tahun sebelumnya
mereka sudah berusaha mencari kerja tetapi sampai tahun berikutnya mereka juga
belum memperolehnya.
4) Penganggur karena kenaikan angkatan kerja baru
Jika angkatan kerja meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sedangkan pada tahun ini kesempatan kerja berkurang akibat krisis ekonomi,
maka jelas penganggur akan bertambah banyak. Penganggur yang bertambah ini
ada yang disebabkan oleh angkatan kerja yang mengalami kenaikan. Cara
menghitung jenis pengangguran ini adalah dengan mengurangi jumlah angkatan
kerja yang sekarang (pada saat krisis ekonomi terjadi) dengan angkatan kerja
pada tahun sebelumnya.

Analisis Peningkatan Kesempatan Kerja di Indonesia


Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan kompleks. Besar karena
menyangkut jutaan jiwa tenaga kerja. Kompleks karena masalah tenaga kerja mempengaruhi
sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak
selalu mudah untuk dirumuskan (Tobing, 2006). Faktor demografis mempengaruhi jumlah
dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup berhasil dalam menurunkan angka kelahiran
dan kematian secara berkesinambungan. Namun, hal ini justru berdampak pada pertumbuhan
penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk secara
keseluruhan (Ananta, 1990).
Secara teoretis, ada tiga cara untuk menciptakan peluang kerja dalam jangka panjang.
Pertama, memperlambat laju pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju
pertumbuhan sisi penawaran tenaga kerja. Akan tetapi, seperti dikemukakan di atas, cara ini
tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan
dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka pendek.
Kedua, meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of
output). Namun, dalam jangka panjang cara ini tidak selalu berhasil karena tidak senantiasa
kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Ketiga, melalui pertumbuhan
ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa pertumbuhan

3
ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis atau niscaya, tetapi justru
tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak otomatis itu, maka peranan
pemerintah menjadi strategis dan krusial untuk merancang strategi pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan ramah terhadap ketenagakerjaan (employment friendly growth) melalui dua
elemen strategi berikut:
a. Strategi dan kebijakan yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
memperhatikan aspek ketenagakerjaan.
b. Tindakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja tambahan melalui
program-program penciptaan lapangan kerja secara langsung.
Dari sekitar 148,7 juta jiwa penduduk usia kerja tahun 2002, terdapat 100,8 juta orang
atau 67,8% angkatan kerja, dimana dari angka ini jumlah angkatan kerja yang menganggung
atau tidak tertampung dalam pasar kerja mencapai 9,1 juta orang (9,1%). Di sisi lain, dari
sekitar 91,6 juta orang angkatan kerja yang bekerja, paling tidak 12,0 juta jiwa atau 13,1%
digolongkan setengah menganggur karena mereka bekerja di bawah waktu normal dan masih
mencari-cari kerja (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007).
Pekerja Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada profesi petani dan tenaga kerja
produksi. Sedangkan profesi-profesi lain yang memiliki produktivitas tinggi seperti
profesional/teknisi dan manajerial/administrasi masih sangat rendah proporsinya. Hal ini
berlaku bagi semua lapangan usaha, termasuk industri pengolahan. Lebih dari 90% pekerja di
industri pengolahan berprofesi sebagai tenaga kerja produksi. Selain itu, tingkat pendidikan
pekerja Indonesia relatif masih rendah, dimana proporsi pekerja yang berpendidikan SLTP
atau lebih rendah sekitar 70% (Supenti, 2004).
Hingga kini, sekitar dua per tiga pekerja bekerja atau berusaha di sektor informal,
suatu sektor yang bercirikan berskala serba kecil dilihat dari modal maupun tenaga kerja yang
seringkali masih memiliki hubungan keluarga, serta memiliki mobilitas yang tinggi dalam arti
mudah berubah bidang kegiatannya. Dengan ciri semacam itu, maka sektor informal sulit
diintervensi. Karena sifatnya yang mudah dimasuki, maka sektor informal menjadi semacam
"penyangga" yang strategis untuk menampung tenaga kerja "berlebih" yang tidak tertampung
di sektor formal (Supenti, 2004).
Kenyataan bahwa secara umum ada kenaikan pekerja di sektor formal, sama sekali
tidak mengurangi arti pentingnya sektor informal yang mendominasi pasar kerja Indonesia.
Kenyataan ini tidak dapat diabaikan dalam rancangan arus utama kebijakan makro dan
perencanaan tenaga kerja. Walaupun demikian, dalam praktiknya hal itu tidak mudah
diaplikasikan karena dua alasan sederhana. Pertama, karakteristik pekerja sektor informal

4
yang marginal sukar diintervensi secara langsung, Kedua, kebijakan yang memperhatikan
kepentingan pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal sekaligus masih sulit
dirumuskan.
Perubahan struktural juga terjadi dalam bidang ketenagakerjaan, sebagaimana terlihat
dari pertambahan absolut jumlah tenaga kerja di sektor nonpertanian. Selama kurun waktu
1990-1997, tenaga kerja sektor nonpertanian meningkat lebih dari 16,5 juta orang, sebaliknya
tenaga kerja di sektor pertanian, barangkali untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, turun
lebih dari 6,7 juta orang. Pertambahan tenaga kerja nonpertanian sebagian besar terjadi di
sektor perdagangan, jasa, industri, dan konstruksi. Selama periode tadi, tenaga kerja
nonpertanian secara keseluruhan tumbuh sekitar 6,0% per tahun.
Adapun sektor-sektor yang mempunyai kontribuasi di dalam penciptaan lapangan kerja dapat
di jelaskan sebagai berikut :
1. Lapangan usaha pertanian dalam kurun 2005-2009. Pertumbuhan nilai tambah
lapangan usaha ini rata-rata masih sekitar 2,7% per tahun, dengan penciptaan
tambahan kesempatan kerja sebanyak 1,4 juta orang, sehingga total penduduk yang
bekerja di lapangan usaha ini pada tahun 2009 akan berjumlah 42,4 juta orang.
Perkiraan kesempatan kerja ini tidak akan dapat direalisasikan apabila kebijakan,
strategi, dan program pengembangan lapangan usaha pertanian tidak berbasis
ketenagakerjaan.
2. Lapangan usaha pertambangan dan penggalian, yang mencakup pertambangan
migas, pertambangan nonmigas, dan penggalian. Dengan asumsi pertumbuhan nilai
tambah lapangan usaha ini selama periode 2005-2009 rata-rata 5,0% setahun, maka
daya serap tenaga kerja oleh sektor ini hanya 90.000 orang.
3. Dengan asumsi sektor industri pengolahan diprediksi tumbuh 6,2% per tahun
sepanjang periode 2005-2009, maka lapangan usaha ini diharapkan mampu
menyediakan 2,1 juta kesempatan kerja baru, sehingga pada tahun 2009 sekitar 15,0
juta orang bekerja di sektor ini. Untuk mewujudkan target ini, beberapa langkah
strategis yang perlu dilakukan antara lain (a) lebih mengintensifkan penyebaran
informasi di tingkat daerah, (b). Menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan dapat
bersaing di pasar kerja dengan memperhatikan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, (c) penyederhanaan birokrasi, prosedur perizinan, dan prosedur
eksporimpor, dan (d) upaya menstabilkan harga, nilai tukar rupiah dan pajak
(Primiana, 2004).

5
4. Peranan sektor listrik, gas, dan air bersih dalam penciptaan kesempatan kerja cukup
besar, yakni diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.000 orang,
dengan asumsi nilai tambah sektor ini tumbuh 6,4% per tahun.
5. Selama jangka waktu 2005-2009 nilai tambah lapangan usaha konstruksi
diperkirakan naik
sekitar 5,4% setahun, dan diharapkan dapat menciptakan sekitar 649.000 kesempatan
kerja baru, sehingga pada tahun 2009 di lapangan usaha ini akan berjumlah sekitar 5,2
juta orang.
6. Hingga tahun 2009, nilai tambah sektor perdagangan, hotel, dan restoran diprediksi
akan tumbuh sekitar 5,2% setiap tahun. Dengan angka sebesar ini, diperkirakan akan
terserap sekitar 3,5 juta tenaga kerja baru, suatu angka yang sangat besar bila
dibandingkan dengan daya serap lapangan usaha lainnya.
7. Dalam kurun 2005-2009 pertumbuhan nilai tambah lapangan usaha pengangkutan
dan komunikasi diperkirakan sebesar 6,2% per tahun dan diharapkan dapat
menciptakan kesempatan kerja sekitar 2,1 juta orang, sehingga pada tahun 2009
diperkirakan akan terdapat 7,5 juta tenaga kerja di sektor ini.
8. Kontribusi sektor keuangan dan perbankan terhadap pembentukan PDB maupun
penciptaan kesempatan kerja secara langsung masih relatif kecil. Namun demikian,
posisinya amat strategis bagi pengembangan lapangan usaha lain dalam sektor rill,
sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja.
9. Sumbangan lapangan usaha jasa-jasa dalam penciptaan kesempatan kerja relatif
besar. Dalam kurun waktu 2005-2009, peranan sektor ini dalam penciptaan
kesempatan kerja diperkirakan terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan nilai
tambahnya yang diperkirakan mencapai 9,4% per tahun. Pada tahun 2009,
diperkirakan akan terdapat sebanyak 13,8 juta orang yang bekerja pada lapangan
usaha ini.
Masalah ketenagakerjaan memang sangat luas dan kompleks. Masalah
ketenagakerjaan mengandung dimensi ekonomis, dimensi sosial kesejahteraan, dan dimensi
sosial politik. Dari segi dimensi ekonomis, pembangunan ketenagakerjaan mencakup
penyediaan tenaga-tenaga ahli dan terampil sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Untuk itu
harus dibangun sistem pelatihan kerja, sistem informasi pasar kerja, dan sistem antarkerja,
baik lokal, antardaerah, maupun ke luar negeri. Perluasan kesempatan kerja juga merupakan
dimensi ekonomis ketenagakerjaan, karena melalui kesempatan kerja pertumbuhan ekonomi
diciptakan sekaligus memberikan penghasilan dan meningkatkan daya beli masyarakat.

6
Penciptaan kesempatan kerja dilakukan dengan menumbuhkan dunia usaha melalui
berbagai kebijakan, antara lain di bidang produksi, moneter, fiskal, distribusi, harga dan upah,
ekspor- impor, serta bidang ketenagakerjaan itu sendiri. Dengan demikian, setiap
pengambilan kebijakan di bidang perluasan kesempatan kerja dan ketenagakerjaan pada
umumnya, selalu mempunyai dimensi ekonomis politis.

Perencanaan Pendidikan dan Latihan


Secara konseptual perencanaan pendidikan dan latihan sangat erat hubungannya
dengan perkiraan kebutuhan tenaga kerja menurut pendidikan. Perkiraan kebutuhan tenaga
kerja menurut pendidikan dan latihan tersebut dihubungkan dengan jumlah produksi/output
yang akan dihasilkan pada satu periode tertentu. Perencanaan pendidikan dan latihan akan
dapat dilakukan jika sudah diketahui perkiraan kebutuhan tenaga kerja menurut pendidikan
dan perkiraan persediaan tenaga kerja juga menurut pendidikan. Metode/cara yang dapat
digunakan untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja menurut pendidikan adalah sebagai
berikut:
1. Perkiraan kesempatan kerja menurut pendidikan seperti pendekatan MRP yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pada metode ini diasumsikan bahwa proporsi
kesempatan kerja menurut pendidikan relatif sama untuk beberapa periode waktu,
sehingga proporsi kesempatan kerja menurut pendidikan di masa yang lalu
digunakan untuk mendistribusikan kesempatan kerja yang diperoleh.
2. Perkiraan yang dilakukan dengan melihat rasio jumlah penduduk dengan tenaga-
tenaga tertentu yang dibutuhkan. Misalnya tenaga dokter, tenaga di bidang
kepolisian (Sudarwan Danim, 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa para
perencanaan berasumsi bahwa terdapat sedikit fleksibilitas dalam memperkirakan
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, misalnya jumlah insinyur dan ahli teknik,
tamatan universitas atau tamatan sekolah menengah harus dididik dan dihasilkan
untuk mencapai target produksi atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan fleksibilitas yang rendah maka diperkirakan harus dilakukan dengan
cermat.
Untuk memperkirakan jumlah perkiraan persediaan tenaga kerja menurut pendidikan
pada waktu tertentu harus diperhitungkan hal-hal berikut ini:
1. Jumlah persediaan tenaga kerja sebelumnya (sebelum waktu/periode proyeksi)
2. Perkiraan tambahan persediaan tenaga kerja keluaran pendidikan pada periode
waktu tertentu. Disini harus diperkirakan beberapa hal yaitu:

7
a. jumlah mereka yang dropout di tingkat SD
b. jumlah mereka yang tamat SD tetapi tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP
c. jumlah mereka yang dropout di tingkat SLTP
d. jumlah mereka yang tamat SLTP tetapi tidak melanjutkan sekolah ke tingkat
SLTA
e. jumlah mereka yang dropout di tingkat SLTA
f. jumlah mereka yang tamat SLTA tetapi tidak melanjutkan sekolah ke tingkat
perguruan tinggi (PT)
g. jumlah mereka yang dropout di tingkat Perguruan Tinggi (PT)
h. jumlah mereka yang tamat Perguruan Tinggi (PT)
Mereka yang dropout di tingkat SD, SLTP, SLTA, dan PT pasti akan masuk pasar
kerja, demikian juga mereka yang tamat SD, SLTP, SLTA, yang tidak melanjutkan
sekolahnya juga akan masuk pasar kerja. Demikian pula mereka yang sudah tamat di
perguruan tinggi pasti juga akan masuk pasar kerja. Mereka-mereka itu akan menambah
persediaan tenaga kerja yang sebelumnya ada. Dengan membandingkan perkiraan kebutuhan
tenaga kerja menurut pendidikan dan perkiraan persediaan tenaga kerja menurut pendidikan
maka akan dapat dirancang perencanaan pendidikan dan latihan di masa yang akan datang.
Para ahli menyadari bahwa menyusun perencanaan tenaga kerja memang tidak
mudah. Pada saat penduduk yang bersekolah/mengikuti pendidikan meningkat dengan cepat
di satu sisi, dan di sisi lain pertumbuhan ekonomi/pekerjaan tidak mengalami kenaikan maka
upaya untuk mengkaitkan antara kebutuhan dan penyedia tenaga kerja cenderung gagal
dipadukan (Sudarwan Dawin, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa hasil proyeksi para pakar
tentang kebutuhan tenaga kerja di masa yang akan datang memiliki potensi tidak selalu cocok
dengan kemampuan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada dalam usaha memenuhi
kebutuhan jumlah tenaga kerja yang telah diproyeksikan oleh para pakar tersebut. Ada
beberapa hal yang dikatakan sebagai penyebabnya yaitu:
1) Data dan informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja tidak mudah didapat dan
kalaupun didapat seringkali reabilitas dari data/informasi tersebut rendah.
2) Lembaga penyedia kecil kemungkinannya untuk taat dalam memenuhi pesanan
kecuali kalau diorganisasikan dalam format pendidikan kedinasan yang ketika
lulus langsung dipekerjakan/memasuki sektor produktif.
3) Asumsi-asumsi yang digunakan kecil kemungkinannya selalu cocok dengan
begitu banyaknya variabel yang berpengaruh pada proyeksi kebutuhan tenaga
kerja.

8
4) Ketika menjalani proses pendidikan dan latihan, ada kemungkinan mereka
berubah pikiran, sehingga pada saat telah selesai mengikuti pendidikan dan latihan
tersebut mereka mencari karir alternatif lain yang tidak sesuai dengan aspirasi
awal. Misalnya bermigrasi, berwirausaha, menjalankan usaha keluarga, dan
sebagainya.
Menurut Sudarwan Danim (2003), ada banyak hal yang dapat mempengaruhi
ketidakakuratan proyeksi/perkiraan kebutuhan dan perkiraan penyedia tenaga kerja. Jika
banyak variabel tidak dapat diperkirakan secara valid maka akan rendah maknanya
(manfaatnya rendah) menyusun perkiraan kebutuhan tenaga kerja dikaitkan dengan
pendidikan dan pelatihan yang akan direncanakan. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi
ketidakakuratan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Dinamika kependudukan
(2) Pemekaran wilayah
(3) Perubahan struktur pemerintahan
(4) Kestabilan politik
(5) Runtuhnya kekuasaan (rezim)
(6) Pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif
(7) Dinamika pasar global
(8) Pergeseran nilai-nilai masyarakat, termasuk perubahan persepsi masyarakat
terhadap pekerjaan
(9) Prioritas orientasi pembangunan oleh pemerintah
(10) Kemampuan keuangan negara
(11) Bencana alam atau krisis multidimensi
Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa perencanaan pendidikan/latihan yang dibuat tidak tepat dengan
kebutuhan tenaga kerjanya. Hal ini dikarenakan (1) meningkatnya output pendidikan dengan
cepat yang jauh melebihi daya serap pasar kerja; (2) munculnya pencari kerja dengan
kualifikasi pendidikan tertentu dengan rata-rata pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang ada sebelumnya yang dapat menimbulkan benturan-benturan psikologis dan
lahirnya pengangguran intelektual; (3) orang-orang yang telah lama bekerja memiliki
pengalaman yang panjang yang tidak dapat begitu saja diganti oleh mereka yang baru lulus.

9
BAB III
KESIMPULAN

Dalam melakukan perbandingan antara perkiraan tenaga kerja dengan perkiraan


kesempatan kerja pada umumnya dilakukan secara total. Hal ini disebabkan sangat sukar
untuk diperkirakan apakah seseorang yang masuk pasar kerja akan menawarkan tenaga
kerjanya di lapangan usaha mana, apalagi ditinjau dari jenis jabatannya.
Dari segi dimensi ekonomis, pembangunan ketenagakerjaan mencakup penyediaan
tenaga-tenaga ahli dan terampil sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Untuk itu harus
dibangun sistem pelatihan kerja, sistem informasi pasar kerja, dan sistem antarkerja, baik
lokal, antardaerah, maupun ke luar negeri. Perluasan kesempatan kerja juga merupakan
dimensi ekonomis ketenagakerjaan, karena melalui kesempatan kerja pertumbuhan ekonomi
diciptakan sekaligus memberikan penghasilan dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Dalam menyusun perencanaan tenaga kerja memang tidak mudah. Hal tersebut
dikarenakan adanya beberapa aspek salah satunya adalah output yang dihasilkan oleh
pendidikan meningkat dengan sangat cepat melebihi daya serap tenaga kerja.

10
DAFTAR RUJUKAN

Ananta, Aris.1990.Modal Manusia dalam Pembangunan Ekonomi.Jakarta: Lembaga


Demografi FEUI
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.200.Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-
2009.Jakarta.
Marhaeni, A.A.I.N dan I.G.A Manuati Dewi.2004.Ekonomi Sumber Daya Manusia.
Denpasar: Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Primiana, Ina.2004. Daya Saing : Isu Strategis Tahun 2004.Bandung: Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran.
Sudarwan Danim.2004.Ekonomi Sumber Daya Manusia.Bandung: CV Pustaka Setia.
Sunartono. 2008. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 10 No. 1 April 2008 Analisis
Peningkatan Kesempatan Kerja di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian
Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT.
Supenti, Titin.2004.Masalah Ketenagakerjaan Berdasarkan Konsep Penganggur dan
Setengah Penganggur.Jakarta: Warta Ketenagakerjaan, Edisi 9 dan 10.
Swasono Y, Endang Sulistyaningsih.1987.Metode Perencanaan Tenaga Kerja Tingkat
Nasional, Regional dan Perusahaan.Yogyakarta: BPFE.
Tobing, Elwin. 2006. Masalah Struktural Peningkatan Kesempatan Kerja, Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai