Anda di halaman 1dari 13

SUBSTANSI ARTIKEL

STRUKTUR TENAGA KERJA EKONOMI SUMBER DAYA


MANUSIA DAN KETENAGAKERJAAN

Dosen Pengampu:
Charitin Devi, S.E., M.Sc

PENYUSUN:
NUR AZILAH
LOCAL:B-5
EKONOMI PEMBANGUNAN
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2022

Pendahuluan
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang
cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan
kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi
dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000
menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari
14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika
diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada
periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan
Bank Indonesia, berbagai tahun).Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai
perbaikan pada indikator makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang
menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan
meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000
tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan
9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak
4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta
pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).Pasar kerja di
Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang – bersifat
dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif
sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan
secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan
kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor
modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan
sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang
rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara
sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan.
Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor
tradisional.Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait
dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi
perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih
produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari
sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan
utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk
mencapai tujuantujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di
Indonesia, perlu dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja.Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia
dalam kaitannya dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali
dengan pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di
Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah
rekomendasi dalam penerapan kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada
keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal
tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah
minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah
minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).Jika diterapkan secara
proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja
marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah
minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia
belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat
karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat
berkurangnya aktivitas produksi.

ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang


terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda
perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah
tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya
peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan
yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun
2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan
dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika
diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada
periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan
Bank Indonesia, berbagai tahun).

Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator


makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap
penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka
pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran
terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun
2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada
tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik
Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).

Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang –


bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang
relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar,
berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih
tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja
sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap
pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang
rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara
sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan.
Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.

Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya
perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus
tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan
memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini
selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu
dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja.

Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan
perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan
mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU
No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan
kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja.

TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN


KESEMPATAN KERJA

Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap
pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko
tersebut berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa
risiko pasar kerja (labor market risks) yang utama adalah:

Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik
karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro.
Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya.

Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada


penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat
sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.

Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan
daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja dan
keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena
laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal.

Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah
menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai
akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti
bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan
pendapatan mereka.

Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja.
Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro
perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh
karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan
dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.

Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam


pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial
(social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya
mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja,
mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja
(PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua
(provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance),
kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk
pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-
lain.

Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi
pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau
sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja
penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).

Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka
dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja,
meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan
(disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan
pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi
perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar
kerja.

Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja
yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di
negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang
relatif tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di
Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada
pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini
terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks
komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan
anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor
ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi
rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan
negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan
kesempatan kerja dan kenaikan upah riil.

Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan
riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang
akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian
secara keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan
pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja
sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan
tersebut.

ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun


2003)

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat


kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon,
ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.

Upah Minimum

Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal
tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah
minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah
minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).

Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi
kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian,
kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di
Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-
industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja
akibat berkurangnya aktivitas produksi.

PHK dan Pembayaran Uang Pesangon

Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada
pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat
pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka
permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152).
Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan
alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.

Hubungan Kerja

Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu
tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau
yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d.
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Waktu Kerja

Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan
pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul
23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk
melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1
(satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.
REKOMENDASI

Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan
antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:

Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK, upah


minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan jaminan
keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia,
perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan
adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal
yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya
kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada
sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0
persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok
marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel
merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.

UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan
pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga kerja yang
lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku efektif
dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.

PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera diefektifkan
dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan-pelatihan
kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang
memiliki kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam
mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai Latihan Kerja
(BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini berada dalam
kondisi “mati suri”.

Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan


negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.

Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No. 15
Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut
belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas
pencari kerja.

Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses
pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas
sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya
praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi
lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial
dan dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun
pekerja.

Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal

Penulis

: Aris Ahmad Risadi

Tanggal

: 18/05/2013 0:59:11

Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Demikian pengertian Ketenagakerjaan dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Lantas hubungannya dengan Daerah Tertinggal apa?
Apa kepentingannya kedua isu ini dibicarakan dalam satu frame?

Kita mulai dari mana ya ? Baik kita jelaskan dulu pengertian Daerah Tertinggal dan segala
hal yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah tertinggal.

Secara resmi pengertian daerah tertinggal mucul di dokumen Strategi Nasional Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal (sesuai Permen PDT No. 07/PER/M-PDT/III/2007). Dalam
hal ini Daerah Tertinggal diartikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta
wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain di Indonesia. Daerah
tertinggal ditetapkan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian, sumberdaya
manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014) telah menetapkan "daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik" sebagai salah satu prioritas nasional pembangunan dari sebelas prioritas
nasionalyang ada, yaitu (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan;
(4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi
dan bisnis; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal,
terdepan, terluar, dan pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.

Dalam RPJMN disebutkan bahwa substansi inti program aksi untuk daerah tertinggal yaitu
adanya pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling lambat 2014. Untuk
mencapai hal tersebut sasaran-sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam 5 (lima)
tahun (2010-2014) adalah:

1. Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,6 persen


pada tahun 2010 menjadi 7,1 persen pada tahun 2014;

2. Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal pada tahun 2010


sebesar 18,8 persen menjadi 14,2 persen pada tahun 2014; dan

3. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang ditunjukkan


oleh peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2010 sebesar 67,7 menjadi
72,2 pada tahun 2014.

Berbagai upaya dari kementerian/lembaga (sektor) terkait tentunya telah dilakukan dibawah
koordinasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Dari upaya-upaya
tersebut tentu sudah ada keberhasilan yang dicapai, namun tentu tidak menutup kemungkinan
masih adanya target-target yang belum tercapai.

Salah satu yang belum banyak disentuh adalah persoalan ketenagakerjaan. Kalau kita mau
jujur, ketiga sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN sangatlah terkait
(digunakan kata terkait untuk menggantikan kata tergantung) kepada keberhasilan
penanganan ketenagakerjaan. Sehingga menjadi sangat wajar jika dalam sisa waktu Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) II tumbuh kesadaran untuk menjadikan Ketenagakerjaan sebagai
prioritas kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penjelasannya sederhana.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah (termasuk daerah tertinggal) diantaranya harus


diupayakan melalui perbaikan dalam aspek Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Peningkatan
Investasi, Inovasi Teknologi, Kewirausahaan, Manajemen, dan Tenaga Kerja. Dalam hal ini
Tenaga Kerja (Sumber Daya Manusia) menjadi subyek dan obyek pertumbuhan ekonomi.
Kalau merujuk kepada pengertian Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, maka pembenahan
ketenagakerjaan sebuah keniscayaan atau sebuah prasyarat untuk tercapainya pertumbuhan
ekonomi.

Merujuk pada kata sebelum masa kerja (misalnya), maka pemerintah (daerah) memiliki
kewajiban menangani kesiapan sumber daya manusia (SDM) atau angkatan kerja di daerah
untuk memasuki dunia kerja. Upaya-upaya peningkatan keterampilan para pencari kerja
melalui jalur formal atau non-formal agar siap bekerja di kegiatan investasi atau usaha
lainnya menjadi salah satu kegiatan yang dapat dipilih. Dengan adanya penyiapan SDM lokal
tersebut maka akan dapat dihindari kecemburuan masyarakat lokal terhadap para pendatang
yang dipandang lebih siap bekerja di sektor yang dikembangkan di daerah.

Adapun untuk selama masa kerja, perlu dibangun suasana harmonis. Diciptakan suasana
hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan tenaga kerja. Pengusaha dapat
untung dan karyawan sejahtera. Pemerintah (daerah) diharapkan dapat menangani secara adil
dan bijak terhadap konflik-konflik yang terjadi antara pengusaha dan tenaga kerja.

Pengurangan Persentase Penduduk Miskin

Untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan telah dikeluarkan Peraturan Presiden


Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010. Disadari bahwa kemiskinan merupakan
permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan
pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan
memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan inklusif,
berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat.

Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan : 1) mengurangi beban


pengeluaran masyarakat miskin; 2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat
miskin; 3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro dan Kecil; 4)
mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

Adapun program percepatan penanggulangan kemiskinan terdiri dari : 1) Kelompok program


bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar,
pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; 2) Kelompok
program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk
mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk
terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat;
3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi
mikro dan kecil, bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku
usaha berskala mikro dan kecil; 4) Program-program lainnya yang baik secara langsung
ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
miskin.

Isu ketenagakerjaan dalam konteks penanggulangan kemiskinan dapat muncul pada


kelompok program nomor 3 (tiga), yaitu kelompok program penanggulangan kemiskinan
berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. Kelompok Usaha Mikro dan Kecil
bersentuhan dengan isu ketenakerjaan.

Dalam RPJMN 2010-2014 disebutkan potensi UMKM sangat besar termasuk dalam hal
penyerapan tenaga kerja. Jumlah populasi UMKM pada tahun 2007 mencapai 49,8 juta unit
usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia serta jumlah tenaga kerjanya
mencapai 88,7 juta orang atau 96,9 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia, yang tersebar
di seluruh sektor perekonomian dan wilayah di Indonesia.

Upaya penanganan ketenagakerjaan pada program penanggulangan kemiskinan yang berbasis


pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil merupakan langkah strategis dalam
pengentasan daerah tertinggal.

Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

Indeks pembangunan manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis


sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat
menggambarkan empat komponen yaitu angka harapan hidup yang mewakili bidang
kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur capaian pembangunan di
bidang pendidikan, dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan
pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan
pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Isu ketenagakerjaan memiliki keterkaitan dengan pencapaian IPM pada komponen hidup
layak. Kesejahteran tenaga kerja adalah masalah hilir yang diantaranya mengakar pada
persoalan kondisi makro, entepreneurship, investasi, pemanfaataan sumber daya alam,
pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan.

Penjelasan hubungan isu ketenagakerjaan dalam mendukung pencapaiaan 3 (tiga) sasaran


pokok RPJMN (pertumbuhan ekonomi, pengurangan persentase penduduk miskin, dan IPM)
dapat mempertegas pentingnya penanganan ketenagakerjaan dalam pengentasan daerah
tertinggal.
Permasalah dan Potensi Ketenagakerjaan di Daerah Tertinggal

Secara umum masalah-masalah ketenagakerjaan di daerah tertinggal diantaranya yaitu:


sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM
tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang nyaris tidak ada.

Sulitnya lapangan kerja di daerah tertinggal telah mendorong para angkatan kerja pergi ke
luar negeri menjadi TKI. Berdasarkan data BNP2TKI terdapat 50 kabupate/kota yang
banyak mengirim TKI dimana 9 diantaranya merupakan daerah tertinggal. Dan dari yang 9
tersebut sebagian besar (atau 44,4%) berasal dari Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, diperkirakan remitansi Tenaga Kerja
Indonesia dari daerah itu sudah hampir mendekati angka Rp1 triliun selama periode Januari-
September 2012.

Dengan data tersebut tidak dapat dipungkiri betapa besarnya sumbangan TKI bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal. Dapat dipastikan, buruknya
penanganan TKI termasuk kebijakan moratorium TKI akan sangat mempengaruhi daerah
tertinggal.

Melalui berbagai penjelasan di atas maka sangatlah jelas hubungan antara Aspek
Ketenagakerjaan dengan Daerah Tertinggal. Bahkan upaya pembangunan daerah tertinggal
dengan penanganan ketenagakerjaan berada dalam satu tarikan nafas. Upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan persentase penduduk miskin, dan peningkatan IPM
untuk pengentasan daerah tertinggal didalamnya harus membicarakan masalah
ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai