Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, pasar tenaga kerja yang muncul di suatu negara, memiliki banyak faktor
yang dapat mempengaruhinya. Salah satunya yakni dari tingkat pendidikan seseorang. Dan di
Negara Indonesia sektor tenaga kerja masih di dukung oleh sebagian besar pendidikan
menengah. Bahkan masih lebih besar berasal dari tingkat pendidikan sekolah dasar.
Pertanyaanya, apakah pekerja dari segi pendidikan kelas menengah dapat ditingkatkan? Dan
apa akan berpengaruh pada tingkat pengangguran dalam pasar tenaga kerja? Karena secara
substansi bahwa apabila terjadi tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat disebabkan dari
sektor pendidikan yang kurang.
Sumber data utama dari penelitian ini berasal dari analisis yang dilakukan oleh
SAKERNAS. Dimana memuat berbagai variable-variabel yang mempengaruhi tingkat
pengangguran di Indonesia, serta menyajikan data tentang tingkat pengangguran, karakteristik
pengangguran, sektor apa saja, dan lain sebagainya. Serta memuat tentang upah yang diberikan
kepada setiap jenjang atau struktur tenaga kerja yang ada di pasar. Berdasarkan kemampuan
dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar pekerja di Indonesia. Tak terkecuali
juga permasalah kenaikan upah yang selalu di tuntut untuk dilaksanakan oleh para pekerja.
Namun apakah hal tersebut mampu memberikan dampak yang baik bagi perekenomian secara
luas. Penyerapan tenaga kerja juga dibahas secara baik, yakni dengan memaksimalkan
pendidikan, maka akan berpengaruh pada jenis pekerjaan apa yang akan ditekuni. Secara
investasi pendidikan menengah atas pada masa ini seharusnya mampu menjawab tantangan
pasar tenaga kerja untuk kondisi pada saat ini, oleh karena dorongan untuk mengenyam
pendidikan sangatlah gencar dilakukan oleh pemerintahan yang berwenang. Pendidikan
(formal) merupakan cara tepat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Makin tinggi
pendidikan makin tinggi kualitas tenaga kerja. Apabila semua tenaga kerja berkualitas terlibat aktif
dalam perekonomian, akan meningkatkan output barang dan jasa, yang pada akhirnya mendorong
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, akan menciptakan investasi, membuka lapangan kerja,
menyerap tenaga kerja. Mutu modal manusia yang berkualitas tinggi dan menguasai teknilogi dapat
menghasilkan nilai tambah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, tenaga kerja perlu
adanya perbaikan terhadap kualitas yang mereka miliki agar dapat memasuki pasar tenaga
kerja yang baru. Pertama, menekankan kelincahan mental dan kesiapan untuk memperoleh
keterampilan baru yang dibutuhkan oleh lapangan kerja baru. Kedua, adalah diam pada
kesiapan mental; melainkan meletakkan stres pada akuisisi segera dan langsung
berketerampilan praktis. Selanjutnya, itu menentukan lokasi pelatihan, sebagai bagian dari
kurikulum formal di sekolah.
Pengangguran terbuka adalah orang yang tidak punya pekerjaan dan secara aktif
mencari pekerjaan di negara berkembang tidak harus berasal dari keluarga miskin karena
mereka mampu menunggu untuk pekerjaan yang memenuhi harapan mereka. Selain itu,
mereka juga mungkin relatif berpendidikan tinggi, sehingga memiliki reservasi upah tinggi
dan lebih memilih untuk menunggu yang tinggi membayar pekerjaan.Dalam upaya
mengurangi pengangguran, penting untuk memastikan bahwa jenis pekerjaan diciptakan
dalam perekonomian cocok dengan keterampilan dan harapan para penganggur.Di tingkat
makro, pertumbuhan ekonomi yang kuat dianggap sebagai cara terbaik untuk menciptakan
lapangan kerja peluang. Karena itu, penting untuk menilai elastisitas pertumbuhan lapangan
kerja, yang mana mengukur kemampuan setiap persen pertumbuhan ekonomi, untuk
meningkatkan lapangan kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengangguran
Definisi Pengangguran dalam arti luas adalah penduduk yang tidak berkerja tetapi sedang
mencari perkerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak
mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja tetapti mulai bekerja. Pengangguran adalah
masalah makroekonomi yang mempengaruhi manusia secara langsung dan merupakan yang
paling berat. Kebanyakan orang kehilangaan pekerjaan berarti penurunan standar kehidupan
dan rekanan psikologis. Jadi tidaklah mengejutkan jika pengangguran menjadi topik yang
sering dibicarakan dalam perdebatan politik dan para politis sering mengklaim bahwa
kebijakan yang mereka tawarkan akan membantu menciptakan lapangan kerja Pengangguran
(unemployment) merupakan kenyataan yang dihadapi tidak saja oleh negara-negara sedang
berkembang (developing countries), akan tetapi juga negara-negara yang sudah maju
(developed countries). Secara umum, pengangguran didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor force) tidak memiliki
pekerjaan 13 dan secara aktif sedang mencari pekerjaan . Seseorang yang tidak bekerja tetapi
secara aktif mencari pekerjaan tidak dapat digolongkan sebagai penganggur. Selain itu
pengangguran diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan belum dapat memperolehnya.
Untuk mengetahui besar kecilnya tingkat pengangguran dapat diamati melalui dua pendekatan
antara lain sebagai berikut :
1) Pendekatan Angkatan Kerja (Labor force apprpach) Besar kecilnya tingkat pengangguran
dihitung berdasarkan presentase dari perbandingan jumlah antara orang yang menganggur
dan jumlah angkatan kerja.
2) Pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (Labor utilization approach) Untuk menentukan
besar kecilnya tingkat pengangguran yang didasarkan pada pendekatan pemanfaatan
tenaga kerja antara lain:
a. Bekerja penuh (employed) yaitu orang-orang yang bekerja penuh atau jam
kerjanya mencapai 35 jam per minggu.
b. Setengah menganggur (underemployed) yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum
dimanfaatkan secara penuh, artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari
35 jam (Murni, 2006).
Pengangguran Friksional adalah bagian pengangguran yang disebabkan oleh kerja normalnya
pasar tenaga kerja. Istilah itu merujuk pada pencocokan pekerjaan atau keterampilan jangka
pendek. Selain itu pengangguran Friksional juga merupakan jenis pengangguran yang timbul
sebagai akibat dari adanya perubahan didalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring dengan
perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi. Jenis pengangguran ini dapat pula terjadi
karena berpindahnya orangorang dari satu daerah ke daerah lain, atau dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain, dan akibanya harus mempunyai tenggang waktu dan berstatus sebagai
penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang lain.
Pengangguran ini berkaitan erat dengan fluktuasi kegiatan ekonomi Jangka pendek, terutama
terjadi di sektor pertanian. Yang dimaksud dengan pengangguran musiman yaitu
pengangguran yang terjadi pada waktu-waktu tertentu didalam satu tahun. Biasanya
pengangguran seperti ini berlaku pada waktu dimana kegiatan bercocok tanam sedang
menurun kesibukannya. Dengan demikian, jenis pengangguran ini terjadi untuk sementara
waktu saja
Diartikan pengangguran stuktural karena sifatnya yang mendasar. Pencari kerja tidak mampu
memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan pekerjaan yang tersedia. Hal ini
terjadi dalam perekonomian yang berkembang pesat. Makin tinggi dan rumitnya proses
produksi atau teknologi produksi yang digunakan, menuntut persyaratan tenaga kerjayang juga
makin tinggi. Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih sulit diatasi dibanding
pengangguran friksional. Selain membutuhkan pendanaan yang besar, juga waktu yang lama.
Ada dua kemungkinan yang Menyebabkan pengangguran struktural yaitu sebagai akibat dari
kemerosotan permintaan atau sebagai akibat dari semakin canggihnya teknik memproduksi.
Faktor yang kedua memungkinkan suatu perusahaan menaikkan produksi dan pada waktu
yang sama mengurangi pekerja.
1) Pengangguran terbuka (open unemployment), adalah mereka yang mampu dan seringkali
sangat ingin bekerja tetapi tidak tersedia pekerjaan yang cocok untuk mereka.
2) Setengah pengangguran (under unemployment), adalah mereka yang secara nominal
bekerja penuh namun produktivitasnya rendah sehingga pengurangan dalam jam kerjanya
tidak mempunyai arti atas produksi secara keseluruhan.
3) Tenaga kerja yang lemah (impaired), adalah mereka yang mungkin bekerja penuh tetapi
intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
4) Tenaga kerja yang tidak produktif, adalah mereka yang bekerja secara produktif tetapi
tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik.
2.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Tidak semua ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat yang positif mengenai prospek jangka
panjang pertumbuhan ekonomi. Malthus dan Ricardo berpendapat bahwa proses pertumbuhan
ekonomi pada akhirnya akan kembali ke tingkat subsisten. Jumlah penduduk atau tenaga kerja
adalah berlebihan apabila dibandingkan dengan faktor produksi yang lain, pertambahan
penduduk akan menurunkan produksi per kapita dan taraf kemakmuran masyarakat. Maka,
pertambahan penduduk yang terus berlaku tanpa diikuti pertambahan sumber-sumber daya
yang lain akan menyebabkan kemakmuran masyarakat mundur kembali ke tingkat subsisten.
3) Teori Schumpeter
Pada permulaan abad ini berkembang pula suatu pemikiran baru mengenai sumber dari
pertumbuhan ekonomi dan sebabnya konjungtur berlaku. Schumpeter menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi secara terus menerus tetapi mengalami keadaan
dimana adakalanya berkembang dan pada lain mengalami kemunduran. Konjungtur tersebut
disebabkan oleh kegiatan para pengusaha (enterpreneur) melakukan inovasi atau pembaruan
dalam kegiatan mereka menghasilkan barang dan jasa. Untuk mewujudkan inovasi yang
seperti ini investasi akan dilakukan, dan pertambahan investasi ini akan meningkatkan
kegiatan ekonomi.
4) Teori Harrod-Domar
Teori ini pada dasarnya melengkapi analisis Keynes mengenai penentuan tingkat kegiatan
ekonomi. Untuk menunjukkan hubungan diantara analisis Keynes dengan teori Harrod-
Domar. Teori Keynes pada hakikatnya menerangkan bahwa perbelanjaan agregat akan
menentukan tingka kegiatan perekonomian. Analisis yang dikembangkan oleh Keynes
menunjukkan bagaimana konsumsi rumah tangga dan investasi perusahaan akan menentukan
tingkat pendapatan nasional. Analisis Harrod-Domar bahwa sebagai akibat investasi yang
dilakukan tersebut pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal dalam perekonomian
akan bertambah. Seterusnya teori Harrod-Domar dianalisis keadaanya perlu wujud agar pada
masa berikutnya barang-barang modal yang tersedia tersebut akan sepenuhnya digunakan.
Sebagai jawaban tersebut menurut Harrod-Domar agar seluruh barang modal yang tersedia
digunakan sepenuhnya, permintaan agregat haruslah bertambah sebanyak kenaikan kapasitas
barang-barang modal yang terwujud sebagai akibat dari investasi dimasa lalu.
Dalam analisis Neo Klasik, permintaan masyarakat tidak menentukan laju pertumbuhan.
Dengan demikian menurut teori Neo-Klasik, sampai dimana perekonmian akan berkembang,
tergantung kepada pertambahan faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi.(Ahli
ekonomi yang menjadi perintis mengembangan teori tersebut diantarnya :
1) Teori J.E.Meade Profesor J.E.Meade dari Universitas Cambridge membangun suatu model
pertumbuhan ekonomi neo-klasik yang dirancang untuk menjelaskan bagaimana bentuk paling
sederhana dari sistem ekonomi klasik akan berperilaku selama proses pertumbuhan
ekuilibrium.
Indonesia secara relatif memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam level pendidikan
sekolah menengah atas dibandingkan dengan negara-negara lain. Terutama dengan berbagai
negara yang secara karakteristik hampir sama dengan Indonesia atau termasuk dengan negara
berkembang. Sekolah menegah atas di Indonesia memiliki berbagai jenis, selain pendidikan
umum terdapat juga pendidikan tentang teknik, vokasi, kejuruan dan lain sebagainya. Lebih
jelasnya terdiri dari Sekolah Umum (SMA), Komersial (SMEA), Sekolah Teknik (STM),
Sekolah Ekonomi (SKKA), dan Sekolah Pelatihan Guru (SPG).
Pada dasarnya terdapat dua macam pengangguran terbuka, yaitu dengan standard internasional
(ukuran sempit) dan standar santai (ukuran luas). Perbedaan paling mencolok dari keduanya
adalah terdapat pekerja yang putus asa ke dalam angkatan kerja dalam standard santai. Pekerja
yang putus asa didefinisikan oleh International Labor Organization (ILO) dengan mereka yang
kehilangan pekerjaan tetapi tidak mencari pekerjaan karena merasa yakin bahwa tidak ada
yang tersedia untuk mereka. ILO mengaku bahwa meskipun yang putus asa dapat mewakili
sumber daya tenaga kerja yang tidak terpakai, menggambar perbedaan yang jelas antara alasan
pribadi dan pasar tenaga kerja terkait dengan keputusasaan seseorang adalah sulit. Khususnya
dalam kasus Indonesia, Ahmed dan Dhanani (1999) berpendapat bahwa memasukkan para
pekerja ini ke dalam angkatan kerja adalah penting karena mengesampingkan mereka akan
menyebabkan pengurangan jumlah tenaga kerja aktual dan besarnya pengangguran yang
sebenarnya. Mereka memperkirakan ada 10 juta pengangguran yang hilang dalam
perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Dalam studi mereka, mereka mendefinisikan
pekerja yang hilang sebagai mereka yang ingin bekerja tetapi tidak mencari pekerja, terlepas
dari alasan mengapa mereka tidak mencari pekerjaan untuk bekerja. Ini berbeda dengan
definisi standar ILO tentang pekerja yang putus asa.
Menurut Kingdon dan Knight (2006) menyatakan dua penjelasan dasar tentang mengapa
para pekerja berhenti mencari pekerjaan meskipun mereka menginginkan satu. Penjelasan
pertama disebut 'selera pengangguran'. Hal ini terjadi pada rumah tangga berpendapatan
tinggi, di mana anggota yang tidak bekerja menerima transfer intra rumah tangga yang tinggi
tanpa melakukan upaya apa pun, dengan cara ini anggota yang tidak bekerja dapat menikmati
aliran pendapatan tanpa melepaskan waktu luangnya. Penjelasan kedua adalah bias terhadap
orang miskin dalam mencari pekerjaan, seperti biaya tinggi untuk mencari pekerjaan dan
kondisi ekonomi yang buruk, yang menempatkan orang miskin dalam posisi yang tidak
diuntungkan. Pada tahun 2001, BPS mengubah definisi tentang pengangguran terbuka dari
sempit ke definisi luas dengan memasukkan semua pekerja yang putus asa ke dalam angkatan
kerja. BPS (2003) menyebutkan perubahan definisi, tetapi tidak menjelaskan alasan selain
untuk mengklaim bahwa itu sesuai dengan rekomendasi ILO3. Selain studi di atas, cukup sulit
untuk menemukan penilaian yang memastikan pengukuran mana yang cocok untuk negara
berkembang.
BPS mengubah definisi pengangguran terbuka dua kali hanya dalam 7 tahun, pertama pada
tahun 1994 dan kemudian pada tahun 2001. Keduanya menghasilkan lompatan signifikan
dalam tingkat pengangguran yang dilaporkan. Pada tahun 1994, BPS menghapus periode
waktu kualifikasi mencari pekerjaan secara aktif. Sebelum 1994, seseorang dianggap aktif
mencari pekerjaan, padahal dia benar-benar mencari pekerjaan selama seminggu sebelum
survei. Mulai tahun 1994, seseorang dianggap aktif mencari pekerjaan jika dia mencari kerja,
terlepas dari kapan terakhir kali dia benar-benar aktif mencari kerja, selama dia masih
menunggu hasilnya dari pencarian pekerjaan.
2.8 Pendidikan dan Pelatihan
1) Rendahnya tingkat upah yang berlaku. Tenaga kerja rela untuk tidak bekeerja karena
tingkat upah yang berlaku rendah, disebut pengangguran sukarela.
2) Ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja yang diminta dengan keterampilan
penawaran tenaga kerja yang tersedia
3) Faktor geografis, tenaga kerja yang timggal menetap di desa mempunyai akses yang
terbatas terhadap informasi dibanding dengan tenaga kerja yang di kota.
4) Kekurangnya permintaan efektif . Keadaan ini cenderung mengurangi keuntungan
perusahaan sehingga berpotensi menimbulkan pengangguran.
2.3 Studi Terdahulu
PEMBAHASAN
Kami menggunakan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Perburuhan
Nasional Survey Angkatan, dan satu modul Survei Penduduk Antarsensus (Supas),
AntarENSens Survei Penduduk. Keduanya diterbitkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik).
Sakernas adalah tahunan, representatif secara nasional, dan survei angkatan kerja lintas seksi
berulang yang mengumpulkan kegiatan data individu dalam rumah tangga sampel. Rata-rata,
setiap putaran Sakernas memiliki sekitar 200.000 pengamatan pada individu pada atau di atas
15 tahun, usia angkatan kerja ambang batas yang digunakan di Indonesia. Sementara itu, Supas
adalah survei yang dilakukan pada pertengahan periode antara dua populasi sensus. Karena ini
dimaksudkan sebagai pemeriksaan tengah-tengah data tren berdasarkan sensus, Supas
memiliki a sampel yang jauh lebih besar daripada Sakernas Pada 1995, ia memiliki lebih dari
600.000 pengamatan individu yang cocok untuk keperluan kita. Karena itu, berbeda karena
pengambilan sampel ini alam, tingkat pengangguran yang diperoleh dari Supas secara
signifikan lebih tinggi dari itu diperoleh dari Sakernas. Kami memperhitungkan perbedaan ini
dalam makalah ini. Dalam melihat angka pengangguran dan karakteristik pengangguran, kami
menggunakan Sakernas untuk setiap tahun antara 1994 dan 2004, kecuali untuk tahun 1995
ketika Sakernas berada tidak dilakukan. Kami menggunakan modul angkatan kerja Supas
sebagai pengganti. kami menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (RGDP) tingkat
provinsi yang diterbitkan oleh BPS. Sejalan dengan data Sakernas, data RGDP mencakup
periode dari 1987 hingga 2002, dengan nilai tetap pada nilai rupiah 1993. Karena kami hanya
menggunakan provinsi yang memiliki data untuk setiap tahun, pada dasarnya kami memiliki
dataset panel tingkat provinsi yang lengkap.
Seperti yang kita lihat dari 1994 hingga 1997, pengangguran perkotaan menunjukkan kondisi
yang umumnya stabil tetapi sedikittren menurun, sementara tingkat pengangguran pedesaan
meningkat antara 1994 dan 1996, dan menurun pada tahun 1997; tren keseluruhan yang relatif
stabil. Pengangguran, kemudian, melambung sebagai krisis melanda. Pada tahun 1998, tingkat
pengangguran terbuka perkotaan meningkat menjadi 9,3%, proporsional 15,6% meningkat
hanya dalam satu tahun, sementara tingkat pengangguran terbuka pedesaan meningkat
menjadi 3,3%, 16,6% peningkatan proporsional. Pada puncak krisis pada tahun 1999, tingkat
pengangguran terbuka di perkotaan daerah mencapai rekor 10,5%, sementara tingkat
pengangguran terbuka pedesaan meningkat menjadi 3,8%. Pada tahun 2000, pengangguran
terbuka telah membalikkan trennya di daerah perkotaan tetapi masih meningkat di tahun 2007
daerah pedesaan, menghasilkan penurunan tingkat pengangguran terbuka nasional. Antara
tahun 2000 dan 2004, tingkat pengangguran terbuka sedikit meningkat di kedua daerah. Di
daerah perkotaan, meskipun tren penurunan bertahan sampai tahun 2001, tingkat
pengangguran terbuka meningkat di tahun 2008 mengikuti tahun-tahun dan mencapai 9,5%
pada tahun 2004. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka pedesaan berada pada 4,4%
pada tahun 2004, rekor tertinggi dan masih tidak menunjukkan tanda-tanda leveling off.
Membuat perbandingan antara angka pengangguran selama dan setelah krisis, ada telah
menjadi perubahan tren antara kedua bidang. Daerah perkotaan mengalami hal serupa
besarnya menurun pada tahun 1999–2001 seiring peningkatan pada tahun 1997–1999, dan,
meskipun meningkat tren, angka tahun 2004 masih lebih rendah dari angka tahun 1999.
Sebaliknya, pengangguran angka di daerah pedesaan tidak pernah kembali ke tingkat sebelum
krisis dan tren peningkatan yang dimulai pada tahun 1998 masih berlangsung pada tahun 2004.
Pada bagian selanjutnya, kita melihat karakteristik dari penganggur.
Karakteristik kedua yang mereka lihat adalah pengalaman, ditunjukkan pada Tabel 3
berdasarkan proporsi dari mereka yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya di antara para
penganggur. Kami hanya memiliki data dari 1998 hingga 2004 karena masalah yang kami
temui dengan variabel ini di Sakernas sebelumnya tahun. Untuk menunjukkan konsistensi
proporsi, kami juga menyertakan bagian berpengalaman pekerja di antara para penganggur di
daerah perkotaan dan pedesaan pada Tabel 3. Pekerja berpengalaman adalah minoritas di
antara para penganggur di semua bidang. Membuat sebuah perbandingan antara daerah
perkotaan dan pedesaan, bagian yang berpengalaman di daerah perkotaan adalah selalu lebih
tinggi, rata-rata 37%, daripada di daerah pedesaan, yang rata-rata 29%. Ini masuk akal karena
pekerjaan di daerah pedesaan biasanya berkembang di sekitar jenis pekerjaan informal,
dimana pekerja berpengalaman dapat dengan mudah menemukan pekerjaan. Dalam hal tren,
di tingkat nasional, bagiannya tinggal di sekitar sepertiga, dengan empat hingga lima
persentase poin bertambah atau berkurang setiap tahun. Yang terendah adalah pada tahun
2000, di mana hanya 29% dari para penganggur memiliki pengalaman kerja sebelumnya.
Melihat daerah perkotaan dan pedesaan, sementara itu, bagian di daerah pedesaan agak lebih
mudah berubah daripada di daerah perkotaan. Perbandingan 1998 dengan 2004, secara
nasional ada penurunan lima poin persentase. Sementara itu, saham relative konstan di daerah
perkotaan tetapi telah berkurang sekitar sepuluh persen poin di daerah pedesaan.
3.3.3 Gender
Daerah perkotaan memiliki rasio yang lebih kecil daripada daerah pedesaan, yang mungkin
mengindikasikan tingkat kesulitan yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan bagi
perempuan di daerah pedesaan. Ini bisa terkait dengan fakta bahwa banyak jenis pekerjaan di
daerah pedesaan termasuk kerja fisik, dan laki-laki biasanya dianggap memiliki lebih banyak
stok daripada perempuan. Sementara itu, antara tahun 1994 dan 2004 rasio menunjukkan tren
menurun, yang mencapai titik terendah keluar selama puncak krisis pada tahun 1999, di mana
42% dari pengangguran adalah perempuan, sebelumnya meningkat lagi, mencapai 45% pada
tahun 2004. Trennya juga sama di perkotaan dan pedesaan area. Menimbang bahwa
perempuan hanya membentuk, rata-rata, 37% dari angkatan kerja, 45% bagian perempuan di
kalangan penganggur menunjukkan bahwa lebih sulit bagi perempuan pekerja untuk
mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan rekan prianya.
3.3.4 Umur
Karakteristik yang keempat yaitu umur pada trennya, tetap relatif konstan selama periode
tersebut. Untuk melihat apakah tingginya proporsi pekerja muda berbeda antara daerah
perkotaan dan pedesaan, Tabel 5 menunjukkan pangsa pekerja muda di dua area. Jelas bahwa
pekerja muda mendominasi pengangguran di kedua wilayah, berkisar antara 62% dan 68% di
daerah perkotaan dan antara 71% dan 79% di daerah pedesaan. Ini menunjukkan bahwa lebih
sulit bagi pendatang baru, yang umumnya berpendidikan lebih baik, untuk masuk ke pasar
tenaga kerja untuk mencari pekerjaan di daerah pedesaan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa banyak dari kaum muda dan kaum terdidik meninggalkan daerah
pedesaan dan berduyun-duyun ke daerah perkotaan. Dalam hal tren, antara tahun 1994 dan
1999, penurunan yang signifikan dalam pangsa di kedua wilayah tersebut pada tahun 1998.
Pada tahun 1999 bagian ini terus menurun meskipun sedikit di daerah perkotaan, sementara
itu sedikit meningkat di daerah pedesaan karena lebih banyak pekerja yang lebih tua menjadi
pengangguran karena krisis. Antara tahun 2000 dan 2004, bagian di daerah perkotaan
meningkat, sementara itu tetap konstan di daerah pedesaan. Karenanya, antara tahun 1994 dan
2004, ada empat poin persentasepenurunan pangsa di daerah perkotaan, meskipun pangsa pada
tahun 2004, ketika ekonomi kinerja telah pulih, lebih tinggi dari itu di era krisis. Di sisi lain,
di daerah pedesaan, bagian pada tahun 2004 mirip dengan pada tahun 1994 dan lebih tinggi
dari bagian tahun 1999.
3.4.5 Status dalam Rumah Tangga
Mereka juga melihat peningkatan pengangguran berdasarkan status keluarga dari 1995 hingga
2004. Mengingat sebagian besar penganggur masih muda, kami berharap menemukan anak-
anak untuk berbaikan sebagian besar penganggur. Tabel 6 memberikan bagian di Indonesia
untuk nasional, perkotaan, dan daerah pedesaan. Anak-anak membentuk sekitar 72% dari
pengangguran di daerah perkotaan dan 79% di daerah pedesaan, dan bagian tetap relatif
konstan selama periode tersebut. Kesimpulannya, hasil kami menunjukkan bahwa mayoritas
penganggur di Indonesia adalah individu muda yang tidak berpengalaman yang relatif
berpendidikan tinggi dan masih hidup Bersama mereka orangtua. Irawan, Ahmed, & Islam
(2000) menyatakan bahwa sebagian besar orang berpendidikan tinggi berasal rumah tangga
yang lebih kaya, karenanya mereka mampu tetap menganggur sambil mencari bayaran yang
lebih baik pekerjaan sektor modern. Terakhir, fenomena ini lebih terlihat di daerah pedesaan,
yang bisa mengindikasikan sistematik hambatan yang dihadapi oleh pekerja dengan
karakteristik ini di daerah pedesaan, yang kemungkinan menjelaskan tingkat urbanisasi yang
tinggi di Indonesia.Secara umum, Rao (1992) menyatakan tiga masalah penting dalam
pengangguran lulusan: a great mayoritas lulusan mencari pekerjaan dengan upah dan gaji,
bukan pekerjaan mandiri; sepertinya ada menjadi masalah kelebihan pasokan; dan sektor jasa
adalah yang paling erat terkait dengan penyerapan pekerja berpendidikan tinggi Pada bagian
selanjutnya, kami menyelidiki elastisitas pertumbuhan sektoral dari lapangan kerja. Itu
elastisitas akan menjadi panduan yang berguna bagi para pembuat kebijakan dalam memilih
sektor yang akan menjadi focus berusaha mengurangi pengangguran. Selanjutnya, kita bisa
mengetahui apakah sektor jasa memang memiliki elastisitas tertinggi dibandingkan dengan
sektor lainnya, seperti yang disarankan oleh Rao (1992).
Mereka melihat distribusi pekerjaan berdasarkan sektor dan lokasi untuk mengumpulkan awal
informasi tentang pasar tenaga kerja. Ini ditunjukkan pada Tabel 7. Sepanjang periode,
pedesaan pertanian adalah pemberi kerja terbesar, meskipun kontribusinya telah menurun
secara signifikan selama periode. Ini diikuti oleh layanan perkotaan dan layanan pedesaan
masing-masing, kecuali pada tahun 1987 ketika layanan pedesaan mempekerjakan lebih
banyak orang daripada layanan perkotaan. Di antara sektor-sektor lain, pertanian perkotaan
selalu merupakan perusahaan terkecil, sedangkan industri perkotaan telah mengambil alih
industri pedesaan sebagai perusahaan terbesar keempat pada tahun 2002. Melihat tren,
sementara itu, pertanian pedesaan telah mengalami kemunduran konstan, menurun dari
mempekerjakan 56% dari total pekerja pada tahun 1987 menjadi hanya 39% pada tahun 2002.
Dalam sebaliknya, layanan perkotaan mengalami peningkatan persentase poin tertinggi
selama periode, dari menyerap 16% dari total pekerja pada tahun 1987 menjadi sekitar 27%
pada tahun 2002. Dalam istilah ekspansi proporsional, bagaimanapun, industri perkotaan
adalah pemenang kedua, tumbuh dari 3% menjadi 8%, atau lebih dari 150% peningkatan
proporsional, sedikit di bawah ekspansi 157% dialami oleh pertanian perkotaan. Di antara
sektor pedesaan lainnya, sementara itu, pedesaan industri tetap relatif konstan, sementara
layanan pedesaan telah stabil hingga 1999 sebelumnya mengontrak pada tahun 2002.
Sementara memastikan pangsa pekerja di setiap sektor dan lokasi berguna, untuk tujuan kita
lebih penting untuk menilai distribusi sektoral dan lokasi pekerja berdasarkan tingkat
pendidikan. Dalam hal tren, sementara itu, tidak ada banyak perubahan di antara yang
berpendidikan paling rendah. Di rata-rata, 70% bekerja di pertanian, lebih lanjut 20% di bidang
jasa, sedangkan sisanya di industri.Demikian pula, perubahan agak diabaikan di antara
berpendidikan SMP. Di Sebaliknya, tampaknya ada pergeseran di antara mereka yang
memiliki pendidikan 12 tahun, dengan pangsa layanan menurun sepuluh poin persentase
antara tahun 1993 dan 2002, sementara pertanian dan industri meningkat masing-masing
delapan dan tiga poin persentase. Sementara itu di antara lulusan tingkat tersier, bagian
pertanian menukik dari 17% pada tahun 1993 menjadi 6% pada tahun 2002, diikuti oleh
industri, yang menurun tiga poin persentase atau 50% secara proporsional sementara layanan
meningkatkan dominasinya menjadi 91%. Di bagian selanjutnya, kami memperkenalkan
model yang kami gunakan untuk secara empiris menemukan jawaban tentang jalan terbaik
untuk mengurangi pengangguran di Indonesia.
How Secondary School Graduates Perform In the Labor Market A Study of Indonesia
Secara karakteristik, pengangguran di Indonesia pada saat itu memiliki ciri yakni :
- Angkatan Muda (terdiri dari pemuda dengan usia dibawah 25 tahun yang membentuk 28%
angkatan kerja, dan 73% nya merupakan pengangguran, dan 87% semua pengangguran
berusia di bawah 30 tahun)
- Tidak Pernah Bekerja (merupakan proporsi dimana orang yang belum mempunya
pengalaman kerja sama sekail, dimana untuk rentang usia 20-24 tahun hanya sekitar 32%
yang meiliki pengalaman kerja sebelumnya)
- Pengangguran Jangka Lama (terdiri dari orang yang secara individual telah mengalami
proses pengangguran lebih dari 8 bulan atau lebih, dimana memiliki proporsi sekitar 60%
dari semua pengangguran pada tahun 1978)
Berdasarkan data juga, kebanyakan angkatan muda pada angkatan kerja memiliki
tingkat paling tinggi pada sektor pendidikan menengah atas. Oleh karena itu perlu kebijakan
pada sektor pendidikan untuk memaksimalkan angkatan kerja lulusan tersebut untuk mampu
menembus pasar tenaga kerja. Berikut adalah prosentase jumlah partisipasi pendidikan pada
setiap jenis sekolah menengah di Indonesia.
Berdasarkan survei angkatan kerja nasionasl (SAKERNAS) pada tahun 1978, total
angkatan kerja urban di Indonesia berjumlah kurang lebih 8 juta orang dan terdiri juga sekitar
493 ribu termasuk pengangguran. Selanjutnya kan dijelaskan oleh tabel berikut :
Lalu data yang sudah dapat, diolah kembali dengan logit regression, untuk memilah
dan mencari faktor manakah yang berpengaruh secara signifikan bagaimana jenis sekolah atau
pendidikan pada setiap angkatan kerja mampu mempengaruhi tingkat pengangguran. Serta
juga bidang mana saja yang memiliki kemungkinan besar untuk peluang bekerja yang lebih
baik diantara variable-variabel yang telah disebutkan. Lebih jelasnya akan ditampilkan pada
tabel berikut ini.
Measuring Unemployment in Developing Countries : The Case of Indonesian.
Tabel 1 membandingkan karakteristik kedua kelompok dan menunjukkan bahwa jumlah total
pekerja yang putus asa cukup besar. Dalam hal jenis kelamin, perempuan merupakan
mayoritas pekerja yang putus asa, baik di antara mereka yang bersedia maupun di antara
mereka yang tidak mau bekerja. Namun, ada kecenderungan dominasi perempuan ini,
khususnya di antara mereka yang bersedia menerima pekerjaan, menurun seiring waktu.
Dalam hal lokasi, sebagian besar pekerja yang patah semangat ditemukan di daerah pedesaan,
khususnya di antara mereka yang bersedia menerima pekerjaan, di mana sekitar 60 persen dari
mereka adalah penduduk pedesaan. Dalam hal pengalaman kerja sebelumnya, sangat kontras
antara mereka yang mau dan tidak mau menerima pekerjaan. Di antara mereka yang bersedia
bekerja, sebagian besar adalah pekerja yang tidak berpengalaman. Di sisi lain, di antara
mereka yang tidak mau bekerja, sebagian besar adalah pekerja berpengalaman. Di antara
mereka yang bersedia menerima pekerjaan, fraksi terbesar adalah anak-anak. Sementara itu,
di antara mereka yang tidak mau bekerja, mereka lebih merata di antara kepala rumah tangga,
pasangan, dan anak-anak. Dalam hal tingkat pendidikan, mayoritas pekerja berkecil hati baik
mereka yang mau maupun yang tidak mau bekerja memiliki tingkat pendidikan yang rendah.6
Pada kedua kelompok, hanya sekitar 1 persen memiliki gelar sarjana dan kurang dari 20 persen
memiliki pendidikan menengah atas. Namun, membandingkan kedua kelompok pekerja yang
putus asa itu rata-rata mereka yang tidak mau bekerja memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah daripada mereka yang mau bekerja. Mayoritas dari mereka yang mau bekerja telah
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama, sedangkan mayoritas dari mereka
yang tidak mau bekerja terbatas pada dua kategori pendidikan terendah.
Di bagian ini, kami secara resmi memeriksa faktor-faktor yang menentukan apakah pekerja
yang berkecil hati mau menerima pekerjaan yang ditawarkan atau tidak. Untuk melakukan
ini, kami memperkirakan model probit dengan variabel dummy kesediaan untuk bekerja
sebagai variabel dependen dan berbagai variabel sosial-ekonomi dan tingkat masyarakat
sebagai variabel independen. Karena Sakernas tidak termasuk variabel sosial ekonomi yang
cukup, kami menggunakan Susenas 2002 sebagai sumber data untuk estimasi.
Semakin tua seorang pekerja yang putus asa, semakin besar kemungkinan dia tidak akan
menerima tawaran pekerjaan. Kecenderungan ini semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya usia pekerja, yang ditunjukkan oleh signifikansi variabel kuadrat. Efek gender
dan status dalam rumah tangga juga signifikan. Status perkawinan, bagaimanapun, tidak
memiliki efek signifikan pada kesediaan untuk bekerja. Pencapaian pendidikan merupakan
faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemauan untuk kerja. Semua koefisien
variabel tingkat pendidikan adalah positif dan, kecuali untuk pendidikan tersier, signifikan
secara statistik.
Menurut hasil estimasi, usia memiliki efek negatif dan peningkatan dalam mendorong
pekerja untuk mencari pekerjaan, seperti yang ditunjukkan oleh koefisien negatif dan
signifikan dari variabel kuadrat-usia. Variabel usia itu sendiri memiliki koefisien positif tetapi
secara statistik tidak signifikan. Dalam hal pencapaian pendidikan, setiap tingkat pendidikan
memiliki koefisien positif dan signifikan, yang semakin besar dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam
menentukan apakah seorang pekerja akan putus asa atau tidak.
3.9 Akankah pekerja yang putus asa dimasukkan dalam angkatan kerja?
Untuk menentukan apakah pantas atau tidak untuk memasukkan pekerja yang putus asa
dalam angkatan kerja memerlukan suatu ukuran kemampuan masing-masing kelompok
pekerja yang putus asa, tradisional yang keluar dari angkatan kerja (OLF), dan penganggur
untuk mencari pekerjaan. setelah periode pertumbuhan ekonomi. Jika probabilitas pekerja
yang kecewa untuk mendapatkan pekerjaan lebih dekat dengan pengangguran daripada OLF
tradisional, maka sudah sepantasnya untuk memasukkan mereka dalam perhitungan
pengangguran. Idealnya, ukuran probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan itu harus
didasarkan pada data panel yang melacak status pekerjaan individu dari waktu ke waktu. Kami
mendasarkan estimasi kami tentang probabilitas pada status pekerjaan di antara individu yang
menggunakan Susenas. Sebelum memperkirakan probabilitas, pertama-tama kami memeriksa
karakteristik mereka yang secara tradisional OLFseperti siswa, pensiunan, dan ibu rumah
tangga dan membandingkannya dengan para pekerja yang putus asa menggunakan Sakernas.
Karakterisasi umum yang disederhanakan dari OLF tradisional adalah bahwa mereka
kebanyakan adalah ibu rumah tangga dan anak-anak sekolah. Karakterisasi umum yang
disederhanakan yang serupa dari pekerja berkecil hati yang bersedia bekerja adalah bahwa
mereka kebanyakan adalah kaum muda, kebanyakan perempuan, yang telah meninggalkan
sekolah dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan bergantung pada orang tua mereka untuk
mencari nafkah. Sebaliknya, lebih sulit untuk membuat karakterisasi umum yang
disederhanakan dari pekerja berkecil hati yang tidak mau bekerja, tetapi mereka kebanyakan
adalah campuran dari orang-orang yang telah melewati usia pensiun dan kaum muda dari
rumah tangga yang relatif mampu yang telah meninggalkan sekolah dan mengandalkan
transfer intra rumah tangga untuk sumber daya. Oleh karena itu, dalam hal jenis kelamin dan
usia, OLF lebih mirip dengan pekerja berkecil hati yang bersedia bekerja. Untuk
memperkirakan dan membandingkan probabilitas masing-masing dari tiga pekerja berkecil-
kelompok yang bersedia bekerja, pekerja berkecil hati yang tidak mau bekerja, OLF
tradisional untuk memasuki angkatan kerja dibandingkan dengan yang sudah ada di angkatan
kerja yaitu yang menganggur dan yang sudah bekerja.
3.10 Overview
Seseorang dapat diklasifikasikan sebagai pengangguran jika mereka tidak memiliki pekerjaan,
telah secara aktif mencari pekerjaan di selama 4 minggu atau lebih, dan merupakan angkatan
kerja.
Ada beberapa dampak buruk yang disebabkan tingginya pengangguran, yaitu dampak
terhadap ekonomi dan dampak terhadap sosial. Berikut penjelasannya:
- Dampak Ekonomi
Ketika tingkat pengangguran naik, secara ekonomi dapat dikatakan bahwa hal tersebut
mengakibatkan kerugian yang disebabkan oleh sumber daya yang seharusnya bisa berguna,
justru tidak dapat teroptimalisasi.
- Dampak Sosial
Seseorang yang mengalami pengangguran maka kehidupan dan kestabilan sosial dalam
masyarakatnya dapat berubah karena pengangguran dpat menyebabkan kehilangan mata
penacaharian, pendapatan, ketrampilan.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
- Angkatan kerja yang memiliki jumlah banyak merupakan suatu potensi tersendiri bagi suatu
negara sebagai suatu sumber daya untuk melakukan proses pembangunan apabila dapat
dikelola dan dikembangkan dengan baik,
- Sektor pendidikan sangatlah penting untuk mendorong percepatan angkatan kerja untuk
memiliki pekerjaan, dengan begitu akan mampu mengurangi tingkat pengangguran. Dan juga
sangat berpengaruh pada kondisi pasar tenaga kerja.
- Sekolah menengah seharusnya dapat dimaksimalkan agar angkatan kerja pada usia produktif
dapat memiliki kemampuan sesuai dengan pekerjaan yang ada. Sehingga tidak semakin
menambah tingkat pengangguran. Dengan dibuatnya berbagai jenis sekolah menengah, maka
akan memberi banyak pilihan bagi angkatan kerja untuk menelusuri pekerjaan yang akan di
dapatkan.
Berikut ini adalah temuan khusus untuk Indonesia :Pertama, keputusan BPS untuk mengubah
definisi pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2001 menghasilkan tingkat
pengangguran terbuka yang secara artifisial tinggi dan menyamarkan penurunan aktual
pengangguran terbuka sebagaimana diukur secara tradisional. Ketika tingkat pengangguran
terbuka untuk tahun 2001 dan seterusnya dihitung ulang menggunakan definisi standar, ini
menunjukkan bahwa pengangguran pada tahun 2003 sebenarnya lebih rendah daripada puncak
selama krisis ekonomi pada tahun 1999. Kedua, analisis kami menunjukkan bahwa pekerja
yang putus asa di Indonesia sebenarnya tidak terbatas hanya orang miskin dan mereka yang
tidak memiliki akses ke pasar kerja yang layak. Sebaliknya, ketika kita melihat pekerja yang
putus asa dan mencoba untuk menentukan faktor mana yang membedakan antara mereka yang
mau dan tidak mau bekerja, kami menemukan bahwa mereka yang tidak mau bekerja sebagian
besar terbatas pada kelompok yang paling kaya. Ketiga, penelitian ini juga mengungkapkan
bahwa ada peningkatan pesat dalam jumlah pekerja yang putus asa setelah krisis ekonomi di
Indonesia . Ini mungkin mencerminkan perubahan mendasar yang terjadi di pasar tenaga
kerja Indonesia. Namun, mungkin juga bahwa ini hanya mencerminkan sifat bermasalah
dalam pengukuran pekerja yang disamarkan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan
fenomena ini untuk diselidiki secara serius dalam studi masa depan. Pendidikan, mempunyai
hubungan negatif, dan signifikan dan pengangguran. Pendidikan juga mempunyai hubungan
positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran berhubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, H. David.(1983). How Secondary Graduates Perform in The Labor Market. World Bank
Suryadarma, Daniel, Asep Suryahadi, and Sudarno Sumarto (2005) ‘The Measurements and
Trends of Unemployment in Indonesia: The Issue of Discouraged Workers.’
SMERU Working Paper. Jakarta: SMERU Research Institute
Rao, V.V. Bhanoji (1992) ‘Graduate Unemployment in Indonesia: Trends, Implications, and
Policy Direction.’ Washington DC: The Education and Employment Division,
Population and Human Resources Department, World Bank