Anda di halaman 1dari 12

POLICY PAPER

“KEBIJAKAN BANK INDONESIA MEMPERTAHANKAN


SUKU BUNGA MERESPONI PERANG DAGANG AS-CHINA”
PEREKONOMIAN INDONESIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : CHRISTINE NATASYA PANGGABEAN


NPM : 1706059220
NAMA DOSEN : T. M. ZAKHIR MACHMUD

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Statement of Authorship

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah
murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan
menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama : Christine Natasya Panggabean
NPM : 1706059220
Mata Ajaran : Perekonomian Indonesia
Judul Makalah/Tugas : Kebijakan Bank Indonesia Mempertahankan Suku Bunga Meresponi Perang
Dagang AS-China
Tanggal : 24 Mei 2019
Dosen : T.M. Zakir Machmud
Asisten : M. Fadhil Firjatullah
Tandatangan :
Latar Belakang

Saat ini, banyak negara-negara di dunia yang mengalami guncangan dalam bidang
perekonomian. Guncangan ekonomi ini sedikit banyak disebabkan oleh kebijakan ekonomi Amerika
yang begitu agresif di bawah pemerintahan Presiden Amerika, Donald Trump. Salah satu kebijakan
ekonomi Amerika adalah meningkatkan tarif impor dengan signifikan untuk mencegah defisit neraca
perdagangan Amerika. Donald Trump, mengambil langkah ini dengan anggapan adanya urgensi
ancaman merosotnya kinerja ekonomi perdagangan Amerika karena keberadaaan China.
China sendiri termasuk negara dengan kinerja industri manufaktur yang paling baik di dunia.
Gencarnya China dalam memproduksi barang dengan harga murah kemudian membuat masyarakat di
banyak negara tertarik untuk mengimpor barang-barang China. Dengan mengabaikan aspek kualitas,
barang dengan harga lebih murah tentunya lebih menggiurkan bagi konsumen. Apalagi, saat ini,
kebanyakan negara menganut konsep ekonomi terbuka. Awalnya, perjanjian antarnegara terkait
dengan perdagangan interenasional yang murah pastinya lebih didominasi oleh keinginan suatu
negara untuk mendorong produsen dalam negeri melakukan ekspor. Namun, fenomena yang terjadi
saat ini adalah; sebagian besar negara justru mengalami defisit neraca perdagangan. Hanya China dan
beberapa negara pengekspor lainnya yang mengalami surplus neraca perdagangan dengan meluasnya
konsep ekonomi terbuka. Fenomena ini jugalah yang dialami oleh negara Amerika hingga kebijakan
tersebut (ref: paragraf 1) diambil.
Langkah yang diambil Amerika ternyata juga menyulut China. China juga meningkatkan tarif
impor dan semakin agresif menanggapi kebijakan perdagangan Amerika. Dengan demikian, terjadilah
fenomena perang dagang antara Amerika dan China.
Kebijakan lain yang baru-baru ini dibuat oleh pihak yang berwenang di Amerika adalah
meningkatkan tingkat suku bunga (The Fed Rate). Dalam bulan Januari 2019, ketua The Fed, Jerome
Powell, memang mulai menurunkan tekanan terhadap kenaikan suku bunga yang agresif dengan
mengatakan “Patient” dan “Akan melihat data ekonomi yang berkembang” karena telah memprediksi
pelemahan data ekonomi Amerika karena adanya konflik dagang yang terjadi.
Di tengah-tengah kondisi ini, banyak negara yang terkena imbasnya, termasuk Indonesia.
Indonesia mengalami sedikit gejolak, misalnya nilai kurs Rupiah yang melemah. Dengan menyadari
hal ini, Indonesia tentu perlu mengambil langkah kebijakan ekonomi, baik kebijakan fiskal maupun
kebijakan moneter. Terkait dengan kebijakan moneter, saat ini Bank Indonesia diyakini akan
mempertahankan suku bunga di tengah eskalasi Perang Dagang AS-China. BI tahun lalu menaikkan
suku bunga enam kali lipat sebesar 175 basis poin untuk mempertahankan rupiah, menjadikannya
salah satu bank sentral paling agresif di Asia, di tengah tekanan dari kenaikan suku bunga AS dan
defisit transaksi berjalan Indonesia yang besar. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana Bank
Indonesia tidak menurunkan suku bunga hingga saat ini ketika perang dagang AS-China berlangsung
dan suku bunga Amerika diturunkan.
Kerangka Konseptual

Bank Indonesia bertujuan menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Bila dijabarkan,
Bank Indonesia bertanggungjawab atas inflasi dan nilai tukar Indonesia. Kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembangan laju inflasi. Sementara itu, kestabilan nilai
rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara
lain.
Inflasi dan perekonomian sangat saling berkaitan. Tingginya tingkat inflasi dapat menurunkan
daya beli masyarakat dan juga meningkatkan harga faktor produksi. Hal itu biasanya akan berdampak
pada anggapan pesimis mengenai prospek perusahaan yang menghasilkan barang atau jasa yang
terkena dampak inflasi sehingga dapat mempengaruhi permintaan akan saham perusahaan terkait dan
akhirnya akan mengakibatkan penurunan indeks harga saham di BEI.
Kurs atau nilai tukar merupakan harga saat penduduk antarnegara saling bertukar barang atau
jasa (melakukan perdagangan). Nilai tukar merupakan indikator penting yang akan berpengaruh pada
aktivitas di pasar saham maupun pasar uang. Jika nilai kurs turun, harga barang domestik akan relatif
lebih murah dibandingkan harga barang di luar negeri. Hal ini akan mengakibatkan penduduk
domestik akan membeli sedikit barang barang impor dan orang-orang asing akan membeli lebih
banyak produk domestik. Akibatnya, jumlah ekspor akan lebih tinggi daripada impor dan akan terjadi
surplus neraca perdagangan. Surplus neraca perdagangan akan menarik minat dan kepercayaan
investor terhadap perekonomian Indonesia. Dengan demikian, para investor akan tertarik untuk
berinvestasi di Indonesia dan perdagangan saham di pasar modal pun akan meningkat. Karena
permintaan semakin meningkat, harga saham Indonesia pun akan meningkat.
Tren fluktuasi suku bunga Bank Indonesia biasanya mengikuti tren suku bunga The Fed Rate.
Saat suku bunga Amerika naik, suku bunga Bank Indonesia juga naik. Sebaliknya, jika suku bunga
Amerika turun, suku bunga Bank Indonesia juga turun. Hanya dalam beberapa kesempatan tren ini
tidak selamanya diikuti karena satu dua hal terkait kondisi perekonomian Indonesia. Tren fluktuasi
suku bunga Bank Indonesia dan The Fed Rate dapat dilihat pada grafik 1.
Tren fluktuasi suku bunga Bank Indonesia memang sebaiknya mengikuti tren suku bunga
untuk menjaga agar investor tetap tertarik menabung di Indonesia; tidak menarik investasinya dan
menanamkannya di Amerika. Saat Fed Rate naik, maka bunga pinjaman maupun simpanan di bank
dan lembaga keuangan lainnya di Amerika dapat naik. Jika bunga simpanan di bank-bank di Amerika
naik, investor dari seluruh dunia akan lebih tertarik untuk menabung di Amerika dibandingkan dengan
negara-negara lain dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Tidak hanya bunga tabungan, ketika
Fed Rate naik, bunga obligasi yang diterbitkan perusahaan-perusahaan di Amerika juga biasanya akan
ikut naik. Jadi jika Fed Rate naik maka bisa dipastikan bahwa mereka akan menarik minimal sebagian
investasinya dari luar Amerika (dalam hal ini dari Indonesia) untuk menanamkan saham di Amerika.
Metode Analisis

Analisis yang dilakukan dalam tulisan ini dibuat dengan membandingkan data dan fakta yang
ada dengan kerangka konseptual yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Analisis juga dilakukan
berdasarkan hasil analisis kuantitatif mengenai pengaruh variabel suku bunga Bank Indonesia (BI
Rate), suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate), dan kurs rupiah terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan di BI. Analisis kuantitatif ini dibuat oleh Ria Wijayaningsih, Sri Mangesti Rahayu, dan
Muhammad Saifi dalam jurnal penelitian berjudul “Pengaruh BI Rate, FED Rate, dan Kurs Rupiah
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)” serta oleh Orientasi Peratun Manihuruk dan Ari
Darmawan dalam jurnal penelitian berjudul serupa.
Jenis penelitian yang digunakan dalam kedua jurnal di atas juga sama, yaitu jenis penelitian
eksplanatif (explanatory research) dengan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui pengaruh variabel
BI Rate, FED Rate, dan Kurs Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI. Teknik
pengumpulan data kedua jurnal juga serupa; teknik dokumentasi.
Yang membedakan kedua jurnal ini adalah sampel yang digunakan. Jurnal pertama
menggunakan data time series bulanan dengan jumlah sampel 96 dari bulan Januari 2008 hingga
Desember 2015 sebagai sampel. Sementara itu, jurnal kedua menggunakan dаtа IHSG, BI rаte, Fed
rаte, Indeks Dow Jones dаn Indeks Shаnghаi yаng dibаtаsi pаdа penutupаn tiаp аkhir-аkhir bulаn
selаmа periode Jаnuаri 2009-Desember 2016 sebagai sampel. Kedua jurnal memang sama-sama
dilaksanakan di website Bank Indonesia dan Federal Reserve, namun jurnal pertama juga dibuat
berdasarkan data historis Bursa Efek Indonesia sementara jurnal kedua juga memperhatikan data dari
website Yahoo Finance. Sementara itu, teknik analisis inferensial yang digunakan dalam jurnal
pertama adalah uji asumsi klasik, analisis regresi linier berganda, uji F, uji t, dan analisis koefisien
determinasi. Di lain sisi, jurnal kedua dibuat dengan teknik analisis inferensial berupa regresi linier
bergаndа dengаn memperhаtikаn аsumsi klаsik. Uji аsumsi klаsik terdiri dаri uji normаlitаs,
multikolineаritаs, аutokorelаsi, dаn heteroskedаstisitаs.
Hasil penelitian jurnal satu terlampir dalam tabel 1 dan tabel 2. Sementara itu, hasil penelitian
jurnal dua terlampir dalam tabel 3, 4, 5, 6, dan 7.
Analisis Hasil

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dalam kedua jurnal di atas, tingkat suku bunga Bank
Indonesia memiliki relasi yang positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Semakin tinggi
tingkat suku bunga Bank Indonesia, semakin rendah Indeks Harga Saham Gabungan. Hasil analisis ini
sesuai dengan teori klasik dalam Nopirin (2012:167) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
bunga, keinginan investor untuk menabung akan semakin tinggi. Akibatnya, keinginan masyarakat
untuk berinvestasi semakin rendah. Keinginan masyarakat untuk berinvestasi yang semakin rendah
akan mengakibatkan harga saham menurun secara umum (dapat dilihat pada data Indeks Harga
Saham Gabungan di BEI).
Untuk menanggapi kenaikan Fed Rate di masa lampau, Bank Indonesia memang sebaiknya
menaikkan tingkat suku bunga juga. Artinya, dari sisi ini, tindakan Bank Indonesia untuk menaikkan
tingkat suku bunga pada tahun-tahun sebelumnya saat perang dagang baru dimulai sudah dapat
dikatakan tepat. Sebaliknya, pada tahun ini, penurunan Fed Rate sebaiknya diikuti juga dengan
penurunan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia.
Selain dari sisi keselarasan tingkat suku Bank Indonesia dengan Fed Rate, ada beberapa hal
lain yang membuat Bank Indonesia sebaiknya mengambil langkah pelonggaran kebijakan moneter di
Indonesia. Pelonggaran kebijakan moneter adalah suatu tindakan menurunkan suku bunga acuan oleh
Bank Sentral yang berwenang di setiap negara. Adapun hal-hal lain yang dapat menjadi pertimbangan
positif langkah pelonggaran kebijakan moneter di Indonesia adalah:
1. Inflasi Indonesia yang relatif terkendali, bahkan lebih rendah dari yang diperkirakan BI
sebelumnya. Hingga Juli, Indeks Harga Konsumen secara tahunan berada di level
3,88% (year on year), atau jika dibandingkan dengan tahun lalu (year to date) berada di
kisaran 2,60%. Tahun depan, inflasi juga akan dijaga di level 3,5%. Penurunan inflasi
yang lebih rendah dibanding yang terdahulu, memberi ruang penurunan suku bunga BI.
2. Pelonggaran diharapkan bisa mendorong penyaluran kredit dan mendukung
pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
3. Melemahnya rupiah yang mungkin dapat meningkatkan nilai ekspor dan mengurangi
impor (memperkuat Neraca Perdagangan Indonesia) karena harga barang produksi
dalam negeri (Indonesia) menjadi relatif lebih murah dibandingkan barang produksi
luar negeri.
Namun, kenyataannya, Bank Indonesia lebih memilih mempertahankan tingkat suku bunga
yang cukup tinggi akibat adanya peningkatan di periode-periode sebelumnya, saat Fed Rate juga
berada pada angka yang cukup tinggi dan agresif. Ada beberapa hal yang mungkin menjadi
pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk tidak melakukan pelonggaran kebijakan moneter hingga
sekarang.
Salah satu alasan yang mungkin adalah defisit Neraca Perdagangan. Defisit Neraca
Perdagangan yang terjadi saat ini sedikit banyak diakibatkan oleh perang dagang AS-China.
Meskipun melemahnya rupiah berpotensi meningkatkan ekspor, Indonesia tidak dapat melakukannya
karena negara lain pun berada dalam kondisi yang sama di tengah-tengah perang dagang yang terjadi
saat ini. Semua negara memilih untuk mengonsumsi barang produksi dalam negeri masing-masing
dibandingkan dengan harus melakukan impor yang relatif lebih mahal. Di sisi lain, impor bagi negara
lain mungkin adalah ekspor bagi Indonesia. Pengecualian fenomena tersebut hanya terjadi pada kasus
produsen dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan. Hal inilah yang terjadi di Indonesia.
Keterbatasan sumber daya manusia mengakibatkan potensi kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi
lebih besar. Karena itu, impor tidak berkurang banyak sementara ekspor sulit dilakukan. Akibatnya,
defisit Neraca Perdagangan tetap sulit diatasi.
Terjadinya defisit Neraca Perdagangan akan berpotensi menyebabkan arus kas yang masuk ke
dalam negeri sangat sedikit bila dibandingkan dengan arus kas keluar. Hal ini tentunya bukanlah suatu
hal yang Indonesia inginkan. Untuk menutupi defisit neraca perdagangan, Indonesia perlu menarik
perhatian para investor agar mau menabung di negara ini. Tingginya tingkat tabungan warga negara
asing di Indonesia dapat meningkatkan pula investasi luar negeri di Indonesia. Dengan demikian, arus
kas yang masuk dapat menutupi arus kas yang keluar karena terjadinya defisit neraca perdagangan.
Pada laporan penyajian neraca pembayaran, meningkatknya tabungan warga asing di Indonesia akan
berpengaruh pada Neraca Finansial.
Untuk dapat menarik perhatian para investor, Bank Indonesia dapat menetapkan suku bunga
acuan yang tinggi. Inilah yang kemudian menjadi sisi positif Indonesia tidak menanggapi penurunan
suku bunga Amerika dengan ikut menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Kesimpulan

Langkah pengambilan kebijakan moneter Amerika Serikat baru-baru ini yang sangat agresif
berdampak pada perekonomian banyak negara di dunia. Salah satu negara yang juga terkena
imbasnya adalah Indonesia meskipun dampaknya mungkin tidak terlalu signifikan karena Indonesia
tidak terlalu bergantung pada sektor luar negeri dalam kegiatan jual beli barang dan jasa. Dampak
yang dirasakan oleh Indonesia yang terutama adalah depresiasi Rupiah yang cukup signifikan.
Walaupun depresiasi rupiah tidak semata-mata disebabkan hanya oleh fenomena perang dagang AS-
China, fenomena perang dagang AS-China setidaknya menjadi salah satu variabel yang dapat
mengakibatkan hal ini terjadi.
Dalam menghadapi fenomena ini, Bank Indonesia mengambil langkah meningkatkan suku
bunga Bank Indonesia saat Amerika mengalami kenaikan Fed Rate dan tetap mempertahankan tingkat
suku bunga yang tinggi saat The Fed telah melonggarkan kebijakan moneter Amerika dengan
menurunkan tingkat suku bunga.
Banyak pihak yang menyayangkan kebijakan moneter Bank Indonesia ini. Beberapa pihak
beranggapan bahwa penurunan Fed Rate harus diikuti pula dengan penurunan tingkat suku bunga
Bank Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa beberapa pihak beranggapan
bahwa Bank Indonesia sebaiknya menurunkan tingkat suku bunga. Salah satunya adalah melemahnya
rupiah mungkin dapat meningkatkan nilai ekspor dan mengurangi impor (memperkuat Neraca
Perdagangan Indonesia) karena harga barang produksi dalam negeri (Indonesia) menjadi relatif lebih
murah dibandingkan barang produksi luar negeri. Namun, alasan ini dapat dipatahkan dengan
argumen bahwa meskipun melemahnya rupiah berpotensi meningkatkan ekspor, Indonesia tidak dapat
melakukannya karena negara lain pun berada dalam kondisi yang sama di tengah-tengah perang
dagang yang terjadi saat ini.
Jadi, menurut saya, tindakan Bank Indonesia untuk tidak menurunkan tingkat suku bunga dan
mempertahankannya adalah langkah yang tepat untuk saat ini.
Lampiran

Grafik 1. BI Rate dan Fed Rate

Tabel 1. ANOVA Indeks Harga Saham Gabungan


Tabel 2. Koefisien Regresi Indeks Harga Saham

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas

Tabel 4. Hаsil Uji Multikolinieаritаs


Tabel 5. Hаsil Uji Аutokorelаsi dengаn uji DurbinWаtson

Tabel 6. Hаsil Uji Аutokorelаsi dengаn Uji CochrаneOrcutt

Tabel 7. Hаsil Uji Heterokedаstisitаs


Daftar Pustaka

Goeltom, M. (2007). Essay in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience.


Manihuruk, O. P., & Darmawan, A. (2017). Pengaruh BI Rate, Fed Rate, dan Kurs Rupiah terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Wijayaningsih, R., Rahayu, S. M., & Saifi, M. (2017). Pengaruh BI Rate, Fed Rate, dan Kurs
Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Hill, Hal. (2000). The Indonesian Economy, Second Edition, Cambridge University Press.
Langi, T. M., Masinambow, V., & Siwu, H,. (2014). Analisis Pengaruh Suku Bunga BI, Jumlah
Uang Beredar, dan Tingkat Kurs terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai