Anda di halaman 1dari 108

FAK

N IS

EKONOMI &
TAS
BIS
L
U

EKO PUSAT RISET N


A
NOM I
& PEMBANGUN

Jurnal Ekonomi & Bisnis I Jilid 2 I No.10 I Hal. 1-139 I Desember 2015

ISSN: 2089-1210
Jilid 1 Nomor 11, April 2016

JURNAL
EKONOMI & BISNIS

PUSAT RISET EKONOMI & PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS SAMAWA
2016

JURNAL EKONOMI & BISNIS

Jilid 1 Nomor 11, April 2016

ISSN: 2089-1210

JURNAL EKONOMI & BISNIS


Jilid 1 Nomor 11, April 2016
ISSN: 2089-1210
Redaksi menerima artikel dalam bidang Ilmu Ekonomi dan Bisnis pada
topik Kemasayarakatan, Sektor Swasta, Sektor Publik dan Studi Empiris Praktek Ekonomi

Diterbitkan oleh:
Pusat Riset Ekonomi dan Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Samawa
PELINDUNG & PENASEHAT
Prof. Dr. Syaifuddin Iskandar, M.Pd
PENGARAH
Syafruddin
PEMIMPIN REDAKSI
Rudi Masniadi
REDAKTUR PELAKSANA
Ika Fitriyani
Rosidah Rahman
Edwin Sandra Juputra
Ilham Fathullah
REDAKTUR AHLI
I Nyoman Sutama
Elly Karmeli
Suprianto
Nining Sudiarti

ALAMAT REDAKSI
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS SAMAWA
JLN. BY-PASS SERING, UNTER IWES, SUMBAWA BESAR, NTB
TELP/FAKS: (0371) 625848 HP: 087865184995

JURNAL EKONOMI & BISNIS

Contents
Judul
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi Di
Indonesia
Analisis Return dan Risk Piutang Pada Koperasi KPN
Korpri Lape Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
Menuju Kampus Berbasis Enterpreneur Suatu
Pendekatan Pemberdayaan
Analisis Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Di
Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa
Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap
Banyaknya Anak Terlantar Di Kabupaten Sumbawa
Efektivitas Pengambilan Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan serta Kontribusinya Terhadap Pajak Daerah Di
Kabupaten Sumbawa
Analisis Suku Bunga Terhadap Volume Kredit Pada
Produk Sistem Usaha Tani (Suta) Bumdes LKM Berare
Kecamatan Moyo Hilir

Halaman Penulis

1
22
38

Wahyu Haryadi

Ika Fitriyani
Kamaruddin
Asmini

48

Puput Ayu Septianita


Syafruddin
Subhan Purwadinata

63

Winda Ayu Halidasiyah


I Nyoman Sutama
Suprianto

77

Yayu Rohayu
Ishak Rahman
Suprianto

91

Yogi Adminto
I Nyoman Sutama
Elly Karmeli

PUSAT RISET EKONOMI & PEMBANGUNAN

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi


Di Indonesia
Oleh :
Wahyu Haryadi

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah ada
pengaruh faktor jumlah uang beredar dan Nilai Tukar Rupiah (kurs)
terhadap tingkat inflasi di Indonesia tahun 2000-2014. Jenis data dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif dan sumber data adalah data
sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
metode dokumentasi. Variabel yang digunakan yakni variabel bebas jumlah
uang beredar (X1) dan nilai tukar rupiah (X2). Sedangkan variabel terikat
adalah inflasi (Y). Sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dalam
penelitian ini maka dilakukan analisis asosiatif dan uji t dependent sample.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel jumlah
uang beredar (X1) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
inflasi. Variabel nilai tukar rupiah (X2) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat inflasi. Secara simultan (bersama-sama) variabel jumlah
uang beredar dan nilai tukar rupiah (kurs) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat inflasi. Variabel nilai tukar rupiah (X2)
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat inflasi di
Indonesia tahun 2000-2014
Kata Kunci : Jumlah Uang Beredar, Nilai Tukar Rupiah dan Iinflas.
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kegiatan perekonomian suatu negara tidak pernah terlepas dari
kegiatan pembayaran uang. Lalu lintas pembayaran uang berarti
menyangkut jumlah uang beredar. Perubahan dalam jumlah uang beredar
akan berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian di berbagai sektor.
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong
peningkatan harga (inflasi tinggi) melebihi tingkat yang diharapkan
sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah uang beredar sangat rendah maka
kelesuan ekonomi akan terjadi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus,
kemakmuran masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan
mengalami penurunan. Dengan demikian pengelolaan jumlah uang beredar
harus selalu dilakukan dengan hati-hati dengan mempertimbangkan

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

pengaruh yang akan terjadi (Angraini 2012:1 dalam Theodores m, dkk,


2014).
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah membuat
perekonomian Indonesia menjadi tidak stabil dikarenakan adanya kenaikan
inflasi. Kenaikan inflasi telah meningkat hingga mencapai 77.63% pada saat
itu. Menurut Atmadja (1999:63 dalam Theodores m, dkk, 2014), inflasi di
Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation)
dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya.
Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu
harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika.
Serangkaian kebijakan dapat dilakukan oleh pemerintah dalam usaha
stabilisasi. Misalnya kebijakan moneter, kebijakan fiskal, yang bertujuan
untuk mencapai kestabilan tingkat harga atau laju inflasi. Untuk
mengantisipasi semakin tingginya perubahan inflasi, mendorong otoritas
moneter membuat kerangka kerja kebijakan moneter atau dengan kata lain
inflation targetting framework (ITF)
dengan bertujuan untuk menjaga dan mencapai perubahan inflasi yang
rendah dan stabil. Menurut Arimurti dan Trisnanto (2011:6 dalam
Theodores m, dkk, 2014) implementasi ITF pada tahun 2005 menjadi
tonggak sejarah perubahan kerangka kebijakan moneter yang dilakukan
pasca krisis ekonomi di Indonesia. Pada prinsipnya kerangka kebijakan
moneter tersebut adalah dalam rangka mengadopsi
kerangka kebijakan yang lebih kredibel, yang mengacu pada penggunaan
suku bunga sebagai operational target dan kebijakan yang bersifat
antisipatif. ITF diharapkan dapat mengubah backward looking expectation,
yang menjadi sumber masih tingginya inflasi, menjadi forward looking
expectation. Dengan demikian, diharapkan ITF dapat mendorong penurunan
persistensi inflasi.
Laju pertumbuhan uang beredar yang tinggi secara berkelanjutan
akan menghasilkan laju inflasi yang tinggi dan laju pertumbuhan uang
beredar yang rendah pada gilirannya akan mengakibatkan laju inflasi
rendah. Selanjutnya pernyataan bahwa inflasi merupakan fenomena moneter
mengandung arti bahwa laju inflasi yang tinggi tidak akan berlangsung terus
apabila tidak disertai dengan laju pertumbuhan uang beredar yang tinggi
(Dornbusch dan Fischer, 1997:589). Ini dapat di simpulkan bahwa
hubungan jumlah uang beredar dengan inflasi memiliki sifat korelasi positif
dimana jika ada peningkatan dalam jumlah uang beredar maka akan
meningkatkan tingkat inflasi sebaliknya jika ada penurunan dalam jumlah
uang beredar maka akan menurunkan tingkat inflasi.
Timbulnya inflasi dari sisi permintaan hanya bisa terjadi jika ada
penambahan volume uang beredar yang dilakukan oleh bank sentral dengan
tujuan menambah kegitan perekonomian untuk mengejar pertumbuhan

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

ekonomi melalui penentuan suku bunga Bank Indonesia yang rendah, selain
itu juga bahwa laju inflasi ditentukan oleh laju pertumbuhan jumlah uang
yang beredar oleh psikologi masyarakat tentang kenaikan harga-harga di
masa yang akan datang sehingga menyebakan masyarakat ingin
mendapatkan barang maupun jasa yang mereka inginkan melebihi output
produksi yang tersedia maka terjadilah yang disebut excess demand. Dari
sisi penawaran inflasi timbul karena adanya desakan biaya produksi akibat
dari naiknya harga-harga barang dan jasa maupun faktor - faktor produksi di
luar negeri yang di impor.
Kestabilan harga dalam suatu perekonomian sangat dipengaruhi oleh
variabel-variabel makro dalam perekonomian tersebut. Oleh karena itu,
biasanya laju inflasi ini sering digunakan sebagai indikator kestabilan
ekonomi. Meskipun demikian, laju inflasi bukan harus ditekan serendah
mungkin. Karena, dalam mekanisme ekonomi di masyarakat diperlukan
kenaikan harga-harga yang diproduksi oleh masyarakat. Dengan adanya
kenaikan harga-harga barang dan jasa akan mendorong masyarakat untuk
melakukan kegiatan produksi. Sehingga dengan cara ini perekonomian
dapat dipacu untuk meningkatkan aktifitas produksi nasional. Laju inflasi
yang terlalu tinggi dapat mengganggu usaha pemerintah meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Demikian juga jika laju inflasi terlalu rendah, karena
sektor produksi tidak memiliki dorongan untuk memacu produksinya.
Kenyataan ini mendorong pemerintah untuk memperhatikan laju inflasi ini
dalam usaha membangun perekonomiannya.
Peningkatan inflasi juga tidak luput dari besar kecilnya uang beredar
di Indonesia, perkembangan jumlah uang beredar seiring dengan
perkembangan ekonomi. Bila perekonomian bertumbuh dan berkembang
jumlah uang beredar juga bertambah (Boediono, 1998:5). Bila
perekonomian makin maju porsi penggunaan uang kartal (kertas dan logam)
makin sedikit dan digantikan uang giral. Dalam perekonomian Indonesia,
permasalahan jumlah uang beredar merupakan indikator ekonomi makro
yang sangat penting. Indikator ini mempunyai faktor-faktor penyebab dan
mempunyai dampak negative yang parah terhadap perekonomian bila tidak
segera diatasi. Variable jumlah uang beredar ataupun penawaran uang tidak
saja sebagai variabel ekonomi pada umumnya, tetapi juga berperan menjadi
variabel kontrol atau variabel kebijakan ataupun variabel yang ditargetkan
guna mencapai tujuan tertentu dari kebijakan pemerintah. Hal ini karena
uang beredar sering sekali dikaitkan dengan masalah perubahan harga
ataupun laju inflasi.
Seiring dengan semakin terbukanya perekonomian dunia yang
ditandai dengan era globalisasi perdagangan, maka sangat dimungkinkan
faktor luar negeri (eksternal) berpotensi menaikkan inflasi. Contoh adanya
apresiasi atau depresiasi nilai tukar mata uang kuat dunia. Kekuatan
eksternal tersebut biasanya diluar kendali masing-masing Negara
(Hasanah,2004). Jadi seperti di Indonesia yang menganut perekonomian

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

terbuka, pergerakan dalam nilai tukar dapat mempengaruhi pergerakan


inflasi. Stabilitas sekonomi sebenarnya bisa diukur dari kestabilan mata
uang dalam perekonomian tersebut. Kestabilan mata uang bisa dilihat dari
kestabilan nilai mata uang tersebut terhadap harga barang dan jasa (dilihat
dari laju inflasi) serta kestabilan nilai mata uang tersebut terhadap mata
uang Negara lain (dilihat dari nilai tukar atau kurs). Kestabilan nilai rupiah
tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Nilai uang yang
stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan swasta dalam
merencanakan kegiatan ekonominya, seperti konsumsi, investas, penentuan
harga barang yang diproduksi, dan sebagainya. Suatu perekonomian bisa
dikatakan stabil mata uangnya jika kurs mata uangnya berada dalam tingkat
yang wajar. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan system keuangan.
Tabel 1.1
Perkembangan Jumlah uang beredar, Nilai Tukar Rupiah, dan Inflasi
Di Indonesia Tahun 2000-2014
Nilai
Akhir
Jumlah uang
Tukar
Inflasi
No. periode
beredar M2
Rupiah
(%)
(Milyar)
(Rp/USD)
1.
2000
747.028
8.396
9,35
2.
2001
844.053
10.265
12,33
3.
2002
883.908
9.260
10,03
4.
2003
944.366
8.570
5,06
5.
2004
1.033.877
8.985
6,40
6.
2005
1.202.762
9.879
17,11
7.
2006
1.382.493
9.065
6,60
8.
2007
1.649.662
9.446
6,59
9.
2008
1.895.839
11.005
11,06
10.
2009
2.141.384
9.447
2,78
11.
2010
2.471.206
9.093
6,96
12.
2011
2.887.220
9.113
3,79
13.
2012
3.304.645
9.178
4,30
14.
2013
3.727.887
12.250
8,38
15.
2014
4.170.731
12.502
8,36
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 1.1 di atas memperlihatkan kecenderungan inflasi yang
fluktuatif. Tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia pada periode pasca Orde
Baru yang paling tinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 17,11 persen
kemudian disusul tahun 2008 sebesar 11,06 persen. Sementara jumlah uang

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

beredar setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan dan jumlah uang


beredar yang tertinggi terdapat pada tahun 2014.
Perekonomian Indonesia tahun 2008 mengalami perlambatan
pertumbuhan di tengah krisis keuangan global yang melanda. Di tahun
tersebut, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen. Hal ini turun dari tahun
sebelumnya yang mencapai 6,3 persen. Dampak negatif yang dialami
Indonesia selama terjadi krisis global tersebut adalah laju inflasi yang makin
cepat, nilai tukar rupiah yang semakin tertekan, dan turunnya kinerja neraca
pembayaran. Tingginya inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh
kenaikan jumlah uang beredar, tetapi juga oleh nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS.
Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di
Indonesia mempunyai tugas yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas
ekonomi. Suatu perekonomian dapat dikatakan stabil salah satunya
indikatornya adalah apabila inflasi ini dapat dikendalikan. Dan bila hal itu
tercapai maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga pemegang
otoritas moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi
pembangunan ekonomi di indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh
dan mencapai kemapanan apabila kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita
memang tidak bisa melimpahkan semua masalah stabilisasi ekonomi ini
kepada bank sentral, namun setidaknya dengan berbagai power dan
kewenangan yang dimilikinya, Bank Indonesia setidaknya mampu berbuat
banyak untuk menjalankan fungsi stabilisasi yang amat krusial bagi
pembangunan ini.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah uang beredar dan nilai tukar
rupiah (kurs) terhadap tingkat inflasi di Indonesia tahun 2000-2014
baik secara sendiri-sendiri maupun secara simultan.
2. Untuk mengetahui variabel manakah dari jumlah uang beredar dan
nilai tukar rupiah (kurs) yang paling berpengaruh terhadap tingkat
inflasi di Indonesia tahun 2000-2014
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
1. Rahmat, Angga (2008) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang
Mempemgaruhi Inflasi Di Indonesia Tahun 1990.1-2005.4.
2. Sri Arini Agustin, (1998) dengan judul Analisis Pengaruh
Beberapa Variabel Makro (Jumlah Uang Beredar, Nilai Ekspor,
Nilai Impor, dan Pendapatan Nasional Riil) Terhadap Laju Inflasi
(Kasus Di Indonesia Tahun 1960-1994).

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016


3. Theodores M.L, dkk (2014) Analisis Pengaruh Suku Bunga BI,
Jumlah Uang Beredar dan Tingkat Kurs Terhadap Tingkat Inflasi Di
Indonesia Periode 2005-3 2013.3.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Definisi Jumlah Uang Beredar
Perekonomian membahas mengenai uang, dimana uang akan
dibedakan antara mata uang dalam peredaran dan uang beredar (Sukirno,
1994:281). Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah uang yang
telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut
terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian
mata uang dalam peredaran sama dengan uang kartal. Uang beredar adalah
semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu jumlah dari
mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank
umum. Pengertian uang beredar atau money supply dibedakan menjadi tiga
pengertian, yaitu dalam arti sempit, dalam arti luas dan dalam arti lebih luas.
1. Uang beredar Dalam Arti Sempit (M1): Pengertian M1 bahwa uang
beredar adalah daya beli yang langsung bisa digunakan untuk
pembayaran bisa diperluas dan mencakup alat-alat pembayaran
yang mendekati uang, misalnya deposito berjangka dan simpanan
tabungan pada bank-bank atau dapat diartikan pula sebagai uang
kartal ditambah dengan uang giral (Boediono, 1998:3-4). M1 = C +
DD dimana: M1 : Jumlah uang beredar C: Currency (uang kartal)
DD: Demand Deposits (Uang Giral). Seperti halnya dengan definisi
uang beredar dalam arti paling sempit yaitu uang kartal, maka uang
giral disini hanya mencakup saldo rekening Koran/giro milik
masyarakat umum yang disimpan di bank, sedangkan saldo
rekening Koran milik pemerintah pada bank atau bank sentral tidak
dimasukkan dalam definisi uang giral. Satu hal lagi yang penting
untuk dicatat mengenai uang giral ini adalah bahwa yang dimaksud
disini adalah saldo atau uang milik masyarakat yang masih ada di
bank dan belum digunakan pemiliknya untuk membayar atau
berbelanja.
2. Uang beredar Dalam Arti Luas (M2): Pengertian M2 disebut juga
likuiditas moneter. M2 diartikan sebagai M1 ditambah dengan
deposito berjangka dan saldo tabungan milik masyarakat pada bankbank, karena perkembangan M2 ini juga mempengaruhi
perkembangan harga, produksi dan keadaan ekonomi pada
umumnya (Boediono, 1998:5-6). M2 = M1+TD + SD dimana: TD:
Time deposits (Deposito Berjangka) SD: Saving Deposits (Saldo
Tabungan). Definisi M2 yang berlaku umum untuk semua Negara
tidak ada, karena hal-hal khas masing-masing Negara perlu
dipertimbangkan. Di Indonesia, M2 biasanya mencakup semua
deposito berjangka dan saldo tabungan dalam rupiah pada bank-

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

bank dengan tidak tergantung besar kecilnya simpanan tetapi tidak


mencakup deposito berjangka dan saldo tabungan dalam mata uang
asing.
3. Uang beredar Dalam Arti Lebih Luas (M3): M3 mencakup semua
deposito berjangka dan saldo tabungan, besar kecil, rupiah atau
mata uang asing milik penduduk pada bank atau lembaga keuangan
non bank. Seluruh deposito berjangka dan saldo tabungan ini
disebut uang kuasi atau quasi money (Boediono, 1998:6). M3 = M2
+ QM dimana QM: Quasy Money. Di Negara yang menganut
system devisa bebas (artinya setiap orang boleh memiliki dan
memperjual belikan devisa secara bebas) , seperti Indonesia,
memang sedikit sekali perbedaan antara deposito berjangka dan
saldo tabungan dalam rupiah dan deposito berjangka dan saldo
tabungan dalam dollar. Setiap kali membutuhkan rupiah dolar bisa
langsung menjualnya ke bank, atau sebaliknya. Dalam hal ini
perbedaan antara M2 dan M3 menjadi tidak jelas. Deposito
berjangka dan saldo tabungan dolar milik bukan penduduk tidak
termasuk dalam defenisi uang kuasi.
2.2.2. Teori Uang Beredar
Teori Kuantitas Uang (Teori Uang Klasik)
Tiang utama (Pelopor) dari teori moneter klasik adalah : J.B. Say,
Irving Fisher dan a.Marshall. Menurut teori kuantitas uang Irving Fisher
apabila jumlah uang beredar (M) ditambah maka harga barang (P) juga akan
naik yang akan memicu inflasi, dan sebaliknya. Secara sederhana Irving
Fisher merumuskan teorinya MV = PT dimana M = money, yaitu jumlah
uang dalam peredaran, V = velocity of circulation, yaitu kecepatan
peredaran (tingkat perputaran uang), P = rrice, harga rata-rata dari barang, T
= trade, yaitu jumlah barang dan jasa yg diperdagangkan (volume barang
yang menjadi obyek transaksi). Dengan kata lain, total pengeluaran (MV)
sama dengan nilai barang yang dibeli (PT).
Teori kuantitas uang sebenarnya adalah teori mengenai permintaan
dan sekaligus penawaran akan uang, beserta interaksi antara keduanya
(Boediono, 1998:17). Fokus dari teori ini adalah hubungan antara
penawaran uang (jumlah uang beredar) dengan nilai uang (tingkat harga).
Hubungan antara kedua variable tersebut dijabarkan melalui konsepsi (teori)
mengenai permintaan akan uang. Perubahan jumlah uang beredar atau
penawaran uang berinteraksi dengan permintaan akan uang dan selanjutnya
menentukan nilai uang. Pada asasnya teori kuantitas uang merupakan suatu
hipotesa mengenai penyebab utama nilai uang atau tingkat harga. Teori ini
menghasilkan kesimpulan bahwa perubahan nilai uang atau tingkat harga
merupakan akibat utama adanya perubahan jumlah uang beredar (Mankiw,
2006:114). Tidak berbeda dengan benda benda ekonomi lainnya,
bertambahnya jumlah uang yang beredar dalam masyarakat akan

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

mengakibatkan nilai mata uang itu sedikit menurun. Oleh karena


menurunnya nilai uang mempunyai makna yang sama dengan naiknya
tingkat harga.
Menurut Marshall (Teori Cambridge/ Marshall Equation) bahwa
perubahan jumlah uang yang beredar akan mengakibatkan perubahan harga.
Artinya jika uang beredar ditambah dua kali maka harga akan meningkat
dua kali lipat. Teori Cambridge, seperti halnya dengan teori fisher (kuantitas
uang) dan teori-teori klasik lainnya yang berpokok pangkal pada fungsi
uang sebagai alat tukar umum (means of exchange) (Boediono, 1998:23-24).
Karena itu, teori-teori klasik termasuk teori Cambridge dan teori fisher
melihat kebutuhan uang atau permintaan akan alat likuid untuk tujuan
transaksi. Perbedaan utama antara teori Cambridge dan teori Fisher, terletak
pada tekanan dalam teori permintaan uang Cambridge pada perilaku
individu dalam mengalokasikan kekayaannya antara berbagai kemungkinan
bentuk kekayaan, yang salah satunya bisa berbentuk uang. Perilaku ini
dipengaruhi oleh pertimbangan untung rugi dari pemegangan kekayaan
dalam bentuk uang adalah karena uang mempunyai sifat likuid sehingga
dengan mudah bisa ditukarkan dengan barang lain. Uang dipegang atau
diminta oleh seseorang karena sangat mempermudah transaksi atau
kegiatan-kegiatan ekonomi lain dari orang tersebut. Jadi berbeda dengan
teori Fisher yang menekankan bahwa permintaan akan uang semata-mata
merupakan proporsi konstan dalam volume transaksi yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung rugi) yang menghubungkan
antara permintaan akan uang seseorang dengan transaksi yang direncanakan.
Teori Permintaan Uang Keynes
Teori permintaan akan uang Keynes adalah teori yang bersumber
pada teori Camridge, tetapi Keynes memang mengemukakan sesuatu yang
betul-betul berbeda dengan teori moneter tradisi klasik. Pada hakekatnya
perbedaan ini terletak pada penekanan Keynes pada fungsi uang yang lain,
yaitu sebagai Store of value dan bukan pada means of exchange. Teori ini
kemudian dikenal
dengan nama teori
Liquidity preference
(Boediono.1998:27). Didalam analisis Keynes masyarakat meminta
(memegang) uang untuk tiga tujuan antara lain:
a. Permintaan Uang untuk Transaksi
Keynes tetap menerima pendapat golongan Cambridge, bahwa orang
memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksitransaksi yang dilakukan, dan permintaan akan uang dari masyarakat
untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan
tingkat bunga.
b. Permintaan Uang untuk Berjaga-jaga
Keynes juga membedakan permintaan akan uang untuk tujuan
melakukan pembayaran-pembayaran yang tidak regular atau yang di

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

luar rencana transaksi normal, karena sifat uang yang likuid, yaitu
mudah untuk ditukarkan dengan barang-barang lain.
c. Permintaan Uang untuk Spekulasi
Motif memegang uang untuk tujuan spekulasi terutama bertujuan
untuk memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh seandainya si
pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan
betul. Uang tunai dianggap tidak mempunyai penghasilan,
sedangkan obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa
sejumlah uang tertentu setiap periode selama waktu yang tak
terbatas.
2.2.3. Sistem Nilai Tukar (Kurs)
Sejalan dengan tujuan kebijakan nilai tukar (kurs), maka dikenal
berbagai jenis sistem nilai tukar yang digunakan oleh sutau Negara (Nellis,
2000:217).
1. Sistem Kurs Mengambang (Floating Exchange Rate system)
Dalam system nilai tukar mengambang, nilai tukar mata uang suatu
Negara semata-mata ditentukan dari adanya permintaan dan
penawaran mata uangnya dalam bursa pertukaran mata uang
internasional. System kurs mengambang didefinisikan sebagai hasil
keseimbangan yang terus menerus berubah sesuai dengan
berubahnya permintaan dan penawaran di pasar valuta asing.
2. Sistem Kurs Tetap (Fixed exchange Rate System)
Kurs ini dijaga pada kurs yang tetap, atau hanya berfluktuasi dalam
batas-batas yang sempit. Pemerintah dapat mempertahankan suatu
kebijakan yang menjaga agar nilai mata uangnya tetap pada tingkat
yang stabil dengan mengintervensi di pasar devisa. Pada sistem ini
mata uang suatu Negara ditetapkan secara tetap dengan mata uang
asing tertentu.
3. Sistem Kurs Terkendali (Managed Floating Exchange Rate system)
Kurs dibiarkan bebas sesuai kekuatan pasar dan suatu saat
pemerintah melakukan intervensi untk menjaga agar kurs tetap
sesuai dengan yang diinginkan. Sistem ini berlaku pada situasi
dimana nilai tukar ditentukan berdasarkan permintaan dan
penawaran, tetapi Bank Sentral dari waktu ke waktu ikut campur
tangan guna menstabilkan nilainya.
2.2.4. Teori Inflasi
Definisi mengenai inflasi sejak awal 1970-an para ahli ekonomi
mengartikannya sebagai naiknya tingkat harga umum secara terus menerus.
Menurut Samuelson (1995:307 dalam Theodores ML dkk, 2014)
memberikan definisi bahwa inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tingkat harga umum. Dari definisi tersebut mengindikasikan
keadaan melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya

10

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Sedangkan menurut Nopirin
(2009) inflasi adalah proses kenaikkan harga-harga umum barang secara
terus-menerus. Sehingga menurut Gunawan dalam Ikasari (2005:10) di
dalam definisi inflasi tersebut tercakup tiga aspek, yaitu: 1) Adanya
kecenderungan (tendency) harga-harga untuk meningkat, yang berarti
mungkin saja tingkat harga yang terjadi aktual pada waktu tertentu turun
atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. 2) Peningkatan harga tersebut berlangsung
terus menerus (sustained) yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu
saja, yakni akibat adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal
tahun saja misalnya.3) Mencakup pengertian tingkat harga umum
(general level of prices), yang berarti tingkat harga yang meningkat bukan
hanya pada satu atau beberapa komoditi saja.
III. KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka konseptual penelitian yang menggambarkan pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen yaitu mengenai pengaruh
tingkat jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah, terhadap inflasi adalah
sebagai berikut :
Gambar 3.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Jumlah Uang Beredar (X1)
Inflasi (Y)
Nilai Tukar Rupiah (X2)
Sumber : Dikembangkan dalam penelitian ini, 2014
IV.METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif. Sugiyono (1999:11)
mengemukakan penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam
penelitian ini, penulis mengkaji pengaruh jumlah uang beredar dan nilai
tukar rupiah (kurs) terhadap tingkat inflasi di Indonesia tahun 2000 2014.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini dibatasi dengan menganalisis data sekunder kuantitatif
pada rentang waktu antara tahun 2000 2014 dengan pertimbangan
ketersediaan data. Data merupakan segala keterangan atau informasi

11

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.Penelitian ini


secara keseluruhan menggunakan data sekunder seri waktu (time series).
Data sekunder digunakan karena penelitian yang dilakukan meliputi objek
yang bersifat makro dan mudah didapat. Data tersebut diolah kembali sesuai
dengan kebutuhan model yang digunakan. Sumber data berasal dari
berbagai sumber, antara lain Statistik Indonesia terbitan Badan Pusat
Statistik (BPS), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Laporan
Kebijakan Moneter terbitan Bank Indonesia, dan jurnal-jurnal ilmiah serta
literatur-literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
.
4.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah teknik pencatatan dokumen yaitu mendapatkan teori-teori atau
informasi yang relevan dengan penelitian yang bersumber dari dokumen,
publikasi resmi dan literatur lain seperti Statistik Indonesia terbitan Badan
Pusat Statistik, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Laporan
Kebijakan Moneter terbitan Bank Indonesia, dan jurnal-jurnal ilmiah serta
literatur-literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
4.4 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel, agar lebih jelas
diuraikan operasional variabel penelitian sebagai berikut :
1. Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang
mempengaruhi variabel yang lainnya. Dalam hal ini adalah jumlah
uang beredar dan nilai tukar rupiah (kurs)
a.Jumlah uang Beredar (X1) adalah uang yang tersedia dalam
perekonomian. Dalam hal ini, yang digunakan adalah uang beredar
dalam arti luas (M2) yang mencakup uang kartal, uang giral,
ditambah dengan simpanan. Dihitung dalam rupiah.
b.Nilai Tukar rupiah di Indonesia (X2) adalah perbandingan nilai
atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain
2. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel yang lainnya. Dalam penelitian ini adalah
Inflasi. Inflasi (Y) adalah suatu kenaikan harga yang terus menerus
dari barang-barang dan jasa-jasa secara umum dalam suatu periode
biasanya (bukan satu macam barang dan sesaat). Perhitungan laju
inflasi disini menggunakan konsep inflasi IHK (Indeks Harga
Konsumen) yang dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik)
dan Laporan Kebijakan Moneter terbitan Bank Indonesia. Data yang
digunakan adalah data tahunan dalam persen selama periode
penelitian yaitu tahun 2000 - 2014.

12

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

4.5 Teknik Analisis Data


Untuk mengetahui pengaruh jumlah uang beredar dan nilai tukar
rupiah terhadap laju inflasi periode tahun 2000 2014 maka akan dianalisis
dengan menggunakan analisis regresi linier berganda (Multiple regressions).
Persamaan regresi linier berganda menurut Gujarati (1999; 24) sbb:
Y = b0 + b1X1 + b2X2 + e
Dimana :
Y
=
Inflasi (persen)
X1
=
Jumlah uang beredar (Rp)
X2
=
Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD)
b1b2 =
koefisien regresi
e
=
standar eror
a. Koefisien Determinasi (R2)
2
Koefisien determinasi (R ) pada intinya mengukur seberapa jauh
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
2
determinasi ganda adalah diantara nol dan satu. Nilai R yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen sangat kecil, dan nilai koefisien determinasi ganda yang
mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen. Kelemahan mendasar penggunaan koefisien
.
b. Uji F
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen yang dimasukkan dalam model, secara bersama-sama
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis
kerja didefinisikan sebagai berikut :
o Ho : b1 = b2 = b3 = 0
Semua variabel independen secara simultan bukan
merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen.
o H1 : Ho tidak benar.
Semua variabel independen secara simultan merupakan
penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
Kriteria keputusannya :
Tolak Ho (ada pengaruh yang signifikan) jika harga taraf
signifikansi hail pengujian kurang dari 0,05
c.

Uji t
Uji ini digunakan untuk menguji apakah secara parsial setiap
variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Hipotesis kerja didefinisikan sebagai berikut :

13

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

o Ho : bi = 0
Suatu variabel independen bukan merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel dependen.
o Ho : bi 0
Suatu variabel independen merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel dependen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Uji Asumsi Klasik
Hasil dari analisis regresi akan tidak bias apabila telah dipenuhi
asumsi asumsi klasik, yakni : data hasil penelitian berdistribusi normal,
tidak ada gejala multikolinear dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Masingmasing pengujian untuk setiap asumsi tersebut adalah :
a. Uji Normalitas
Hipotesis nihil (Ho) dari pengujian ini adalah bahwa data
berdistribusi normal (sesuai dengan distribusi teoritis). Pengujian dilakukan
dengan uji Z Kolmogorov Smirnov. Dari pengujian ini diharapkan dapat
diperoleh taraf signifikansi > 0,05, agar Ho dapat diterima. Hasil pengujian
untuk semua variable dapat diikuti pada table berikut ini :
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardiz
ed Residual
15
.0000000
2.48167550

Mean
Std.
Deviation
Absolute
Most Extreme
Positive
Differences
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Normal Parametersa,b

.187
.187
-.086
.723
.672

Berdasarkan output diatas, diketahui bahwa besarnya nilai Z


kolmogorov-Smirnov adalah 0,723 dan signifikan 0,672 lebih besar dari
0,05 maka Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa yang residual
berdistribusi normal

14

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

b. Uji Multikolinearitas
Ada tidaknya gejala multikolinearitas dapat diketahui dari harga
Variance Infation Factor (VIF). Apabila suatu variable mempunyai VIF <
10, maka variable tersebut terbebas dari gejala multikolinearitas. Hasil
perhitungan VIF untuk seluruh variable bebas dapat diikuti pada table
berikut ini :
Tabel 5.2
Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel
VIF
Keterangan
X1
1.704
Bebas multikol.
X2
1.704
Bebas multikol.
Sumber : Data primer diolah
Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa semua variable bebas terbebas
dari gejala multikolinearitas, karena semua mempunyai harga VIF < 10.
c.

Uji Heteroskedastisitas
Gambar 5.1
Uji Heterokedastisitas

Sumber: lampiran 2, diolah


Hasil pengujian Heterokedastisitas menunjukkan tidak terdapat pola
yang jelas dari titik-titik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi
tidak memiliki gejala adanya Heterokedastisitas.

15

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

d. Uji Autokorelasi
Tabel 5.3
Uji Autokorelasi
b

Model Summary
Model

R Square

.743a

Adjusted R

Std. Error of the

Square

Estimate

.551

.477

Durbin-Watson

2.68052

2.518

a. Predictors: (Constant), kurs, jub


b. Dependent Variable: inflasi

Sumbe r : Data diolah, lampiran 4


Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan nilai Durbin-Watson
sebesar 2,518 dan nilai ini akan dibandingkan dengan nilai Durbin-Watson
tabel signifikansi 5%, jumlah sampel (N=15) dan jumlah variabel
independen 2 dan diperoleh nilai du 1,543. Nilai DW 2,518 lebih besar dari
batas atas (du) yakni 1,543 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat
autokorelasi.
5.2 Uji Hipotesis untuk Regresi
Sesuai dengan kerangka pikir dan hipotesis penelitian ini, maka
digunakan model regresi linier ganda. Hasil perhitungan, baik untuk
koefisien determinasi dan pengujiannya serta koefisien regresi parsial
beserta pengujiannya secara keseluruhan disajikan dalam table yang berikut
ini :
Tabel 5.4 Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Coefficients
Model

Unstandardized Coefficients
B
-11.801

Std. Error
6.476

Jub
-2.911E-006
Kurs
.003
a. Dependent Variable: inflasi

.000
.001

(Constant)
1

Sumber : Data diolah, lampiran 5

Standardized
Coefficients
Beta
-.885
.872

Sig.

-1.822

.093

-3.505
3.455

.004
.005

16

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Dari tabel 5.4 di atas dapat dijelaskan bahwa :


Y = 11.801 2.911 JUB + 0.003 Nilai Tukar Rupiah (Kurs) + ei
Maka dari hasil perhitungan yang disajikan pada tabel diatas dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Nilai konstanta -11.801 memberikan arti bahwa jika jumlah uang
beredar dan nilai tukar rupiah tetap maka tingkat inflasi mengalami
perubahan yang negatif sebesar -11.801 persen. Nilai konstanta yang
negatif mengindikasikan bahwa kontribusi jumlah uang beredar dan
nilai tukar rupiah terhadap inflasi cukup besar sehingga dapat
mendorong inflasi. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat jumlah uang
beredar di masyarakat dan perubahan nilai tukar rupiah akan
mendorong inflasi.
2. Koefisien variabel jumlah uang beredar (X1) sebesar 2.911. Hasil ini
menunjukkan bahwa variabel jumlah uang beredar berpengaruh
secara negatif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia pada tahun
penelitian. Ini berarti bahwa jika perubahan Jumlah uang beredar naik
sebesar 1 persen, maka perubahan persentase tingkat inflasi akan
turun sebesar -2.911 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori, bahwa
semakin banyak jumlah uang beredar maka akan menaikan
persentase tingkat inflasi.
3. Koefisien variabel nilai tukar rupiah (X2) sebesar 0.003 memberikan
arti bahwa bertambahnya (naiknya) nilai tukar rupiah sebesar Rp
1/USD akan mendorong meningkatnya inflasi sebesar 0,003 persen
dan sebaliknya dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini
membuktikan bahwa nilai tukar rupiah (kurs) mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi.
5.3 Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 5.5
Koefisien Determinasi (R2)
b

Model Summary
Model

R Square

.743a

.551

a. Predictors: (Constant), kurs, jub


b. Dependent Variable: inflasi

Adjusted R
Square
.477

Std. Error of the


Estimate
2.68052

Durbin-Watson

2.518

17

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016


Dari hasil regresi diketahui bahwa nilai Koefisien Determinasi (R2)
adalah 0.551, yang berarti variasi dari perubahan persentase jumlah uang
beredar dan nilai tukar rupiah mempengaruhi perubahan persentase inflasi
sebesar 55.1%, sedangkan sisanya 44.9% dijelaskan oleh variabel-variabel
lain yang tidak dimasukkan dalam model.
5.4 Hasil Uji F
Tabel 5.6
Hasil Uji F
a

ANOVA
Model
Regression
1

Residual

Sum of Squares
105.942
86.222
192.164

Total

Df
2
12

Mean Square
52.971
7.185

F
7.372

Sig.
.008b

14

a. Dependent Variable: inflasi


b. Predictors: (Constant), kurs, Jub

Dari tabel 5 diatas, dapat diketahui bahwa nilai Fhitung sebesar 7,372
dengan nilai signifikansi 0,008. Sedangkan nilai Ftabel ditentukan
berdasarkan tabel dengan tingkat signifikansi 5% dan df1= (k-1 ) = 2 serta
df2 = (n-k) =(15-3)=12. Sehingga diperoleh nilai Ftabel sebesar 3,885.
Karena nilai Fhitung > Ftabel (7,372 > 3,885) maka Ho ditolak dan Ha
diterima. Artinya variabel yang terdiri dari jumlah uang beredar dan nilai
tukar rupiah (kurs) secara simultan (bersama-sama) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat inflasi.
5.5 Hasil Uji t
Uji t-statistik dilakukan dengan cara membandingkan nilai t-statistik
dengan nilai t-tabel pada derajat kepercayaan tertentu misalnya 5%. Jika
thitung lebih besar (>) dari nilai ttabel maka variabel bebas secara individu
signifikan terhadap variabel terikat, dan sebaliknya.

Variabel

thitung

Tabel 5.7
Ringkasan Hasil Uji t-Statistik
ttabel n-k (0,05)
Signifikansi
Uji Satu Sisi

Jumlah uang
-3,505
beredar (X1)
Nilai tukar rupiah
3,455
(X2)
Sumber : tabel 5, diolah

Keterangan

1.782

0,004

Signifikan

1.782

0,005

Signifikan

18

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Pada Tabel 5.7 diatas, dapat diketahui bahwa nilai thitung variabel
bebas jumlah uang beredar (X1) sebesar 3,505 dengan nilai signifikansi
0,004. Sedangkan nilai ttabel pada tingkat derajat kebebasan df= 15-3 = 12
pada 5% adalah 1,782. Apabila nilai thitung sebesar 3,505 dibandingkan
dengan nilai ttabel sebesar 1,782, maka nilai thitung < dari ttabel (3,505 <
1,782) yang berarti Ha ditolak dan Ho diterima. Artinya variabel jumlah
uang beredar tidak mempunyai pengaruh terhadap inflasi. Jika dilihat nilai
perbandingan antara nilai signifikan yang dicapai sebesar 0,004 yang berarti
tingkat kesalahan lebih kecil dari 10%. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara parsial variabel jumlah uang beredar mempunyai
pengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi.

Daerah
Penerimaan
Ho

Daerah
Penerimaan
Ha

1,78
2
Gambar 5.2 Pengujian Terhadap Koefisien Regresi
Variabel Jumlah uang beredar (X1)
-3,505

a. Tingkat signifikansi pengaruh variabel nilai tukar rupiah (X2)


terhadap inflasi (Y)
Pada Tabel 5.7 diatas, dapat diketahui bahwa nilai thitung variabel
bebas nilai tukar rupiah (X2) sebesar 3,455 dengan nilai signifikansi
0,005. Sedangkan nilai ttabel pada tingkat derajat kebebasan df= 15-3 = 12
pada 5% adalah 1,782. Apabila nilai thitung sebesar 3,455 dibandingkan
dengan nilai ttabel sebesar 1,782, maka nilai thitung > dari ttabel (3,455 >
1,782) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya nilai tukar rupiah
berpengaruh terhadap inflasi. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai
perbandingan antara nilai signifikan yang dicapai sebesar 0,005 yang
berarti tingkat kesalahan lebih kecil dari 10%. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa secara parsial variabel nilai tukar rupiah (X2)
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi (Y).

19

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Daerah
Penerimaan
Ho

Daerah
Penerimaan
Ha

1,78 3,45
5
7
Gambar 5.3 Pengujian Terhadap Koefisien Regresi
Variabel Nilai tukar rupiah (X2)
-3,455

5.6 Pembahasan
a. Anlisis dan Implikasi Pengaruh Perubahan Jumlah Uang Beredar
(JUB) terhadap Perubahan Tingkat Inflasi Di Indonesia
Variabel Jumlah uang beredar merupakan salah satu variabel
independen yang mempengaruhi variabel dependen, yaitu tingkat inflasi di
Indonesia. Jumlah uang beredar adalah merupakan likuiditas perekonomian
yang mempengaruhi aktivitas-aktivitas perekonomian. Hasil temuan
menunjukkan bahwa jumlah uang beredar mempunyai pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Hasil ini tidak sesuai dengan Teori Kuantitas Uang (teori tertua
tentang inflasi). Inti dari teori ini adalah: Pertama, inflasi hanya bisa terjadi
jika terdapat penambahan volume uang yang beredar, tanpa ada kenaikan
jumlah uang beredar hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara
waktu saja. Bila jumlah uang tidak bertambah, inflasi akan berhenti dengan
sendirinya, apapun sebab musababnya dari awal kenaikan harga tersebut.
Kedua, laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar
dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di
masa depan (Boediono, 1985).
Meski demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Wisda (2012), yang melakukan penelitian dengan judul
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia Periode 20002011. Variabel yang digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB),
Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2), Suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dan Kurs Rupiah terhadap dollar Amerika. Dimana
variabel jumlah uang beredar (M2) berpengaruh secara negatif dan
signifikan terhadap inflasi pada kuartal tahun penelitian
b. Analisis dan Implikasi Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Rupiah
(Kurs) terhadap Perubahan Tingkat Inflasi Di Indonesia
Koefisien variabel nilai tukar rupiah (X2) sebesar 0.003. Ini berarti
bahwa jika nilai tukar rupiah (kurs) naik sebesar 1 Rupiah/USD, maka
tingkat inflasi di Indonesia akan naik sebesar 0.003 persen. Hasil ini
menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar rupiah mempunyai hubungan

20

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

yang positif dan signifikan terhadap perubahan persentase tingkat inflasi


pada saat variabel lain tidak mengalami perubahan. Nilai tukar rupiah (kurs)
memiliki pengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Hubungan antara kurs
dengan inflasi dapat dimisalkan apabila Indonesia mengalami inflasi lebih
tinggi dari Amerika, maka akan menyebabkan harga ekspor barang dan jasa
menjadi relatif lebih mahal dan tidak mampu berkompetisi dengan barang
dan jasa dari luar negeri. Ekspor Indonesia akan cenderung menurun
sedangkan impor dari Negara lain cenderung meningkat. Oleh karena itu
dalam rangka mengurangi tekanan inflasi tersebut, Pemerintah dan Bank
Indonesia senantiasa meningkatkan koordinasi dalam melakukan
pemantauan dan pengendalian inflasi, yang antara lain ditempuh melalui
kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, menjaga kecukupan
pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok, menurunkan
ekspektasi inflasi yang masih berada pada level yang tinggi, dan lainnya
(Sorowako, 2010).
VI.KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara parsial variabel jumlah uang beredar (X1) mempunyai
pengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Variabel nilai tukar
rupiah (X2) berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat
inflasi.
2. Secara simultan (bersama-sama) variabel jumlah uang beredar dan
nilai tukar rupiah (kurs) mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat inflasi
3. Variabel nilai tukar rupiah (X2) merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia tahun 2000-2014.
6.2.Saran
Kepada pemerintah dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter di
Indonesia agar lebih diperhatikan kembali penyebab naik turunnya inflasi,
tidak hanya berlandaskan pada teori saja tetapi harus dibuktikan melalui
penelitian-penelitian mendalam dan berkesinambungan sehingga bisa
diketahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat
inflasi di Indonesia. Dengan demikian dapat diminimalisir penyebab
terjadinya tingkat inflasi di tiap periodenya.

21

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

DAFTAR PUSTAKA
Algifari (2000), Analisis Regresi. Teori, Kasus, dan Solusi, Edisi 2, BPFE,
Yogyakarta
Budiono, Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis, Pengantar ilmu ekonomi No.5
Yogyakarta BPFE
Farchan (1992), Analisis hubungan jumlah uang beredar dan tingkat harga
di Indonesia, Jurnal Universitas kristen Petra Vol 2, No 12
Gujarati DN, (1999), Basic Econometrics, Second edition, McGraw-Hill
Book company, New York
Mankiw,N.G.,Roemer, dan Weil (2007), Teori makroekonomi. Terjemahan,
Jakarta, Erlangga
Rahmawati., (2011). Jurnal aplikasi manajemen Volume 9, nomor 1,
januari 2011 Pengaruh Jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, dan Suku bunga terhadap tingkat inflasi di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Sukirno, Sadono., (2003). Makroekonomi teori Pengantar. Edisi ketiga.
Rajawali Pers.Jakarta
Theodores M.L, dkk (2014) Jurnal Berkala Ilmiah efisiensi, Vol.14 No.2,
Mei 2014. Analisis pengaruh suku bunga BI, Jumlah uang beredar
dan Tingkat kurs terhadap tingkat inflasi di Indonesia Periode
2005-3 2013.3.
Triyono (2008) Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika.
Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 9 No.2, Desember 2008: 156167. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Yunus, Yuliarni (2013) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di
Indonesia Tahun 1998-2012. Skripsi dipublikasikan, Makasar:
UNHAS

22

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Analisis Return dan Risk Piutang Pada Koperasi KPN Korpri Lape
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
Oleh :
Ika Fitriyani
Kamaruddin
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
return dan risk piutang yang dihadapi oleh koperasi KPN KORPRI
LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbaw. Adapun jenis penelitian yng
digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif dengan Jenis data yang
digunakan adalah data kuantitatif yang berupa data asset, data piutang dan
data sisa hasil usaha sedangkan data kualitatif berupa profil/gambaran
umum koperasi KPN KORPRI LAPE. Adapun sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder sedangkan analisis
data yang digunakan yaitu return realisasi dan return ekspektasi dan risiko
dengan menggunakan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa rata-rata pertumbuhan piutang dan SHU koperasi berjumlah
sebesar 80%, rasio piutang terhadap total aset sebesar 80%, rasio piutang
terhadap SHU sebesar 7%, sedangkan return koperasi berjumlah sebesar
40,16% dengan kriteria tergolong baik sedangkan risk atau risiko piutang
yang dihadapi koperasi yaitu sebesar 75,65% dengan kriteria tergolong
tidak baik. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penurunan yang
drastis terhadap modal yang dimiliki koperasi, besarnya piutang tidak
terbayar, adanya kredit macet. Oleh karena itu, direkomendasikan pihak
koperasi harus tetap mempertahankan dan terus berupaya untuk
meningkatkan tingkat pengembalian hasil (return) yang dihasilkan dengan
tetap memperhatikan prinsif kehati-hatian guna menghindari resiko tidak
terbayarnya piutang atau kredit macet. Koperasi serba usaha harus
rasional dalam menentukan kebijakan investasinya dan mengevaluasi
investasi piutang yang berisiko menciptakan return yang tinggi dan risk
risiko piutang yang ditimbulkannya lebih rendah dengan tujuan
mempertahankan kelangsungan operasional koperasi dan meningkatkan
kesejahteraan anggotanya.
Kata Kunci : Tingkat Pengembalian Hasil (Return), Resiko(Risk) Piutang
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang- Undang Koperasi Tahun 1967 No. 12 tentang
Pokok Perkoperasian menyatakan sebagai berikut, Koperasi Indonesia
adalah organisasi ekonomi rakyat yang berasaskan gotong royong,

23

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

berangotakan orang- orang badan hukum koprasi yang merupakan tata


susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Untuk melaksanakan tujuan koperasi maka manejemen
koperasi yang efektif dan efisien yang sangat penting dibutuhkan dalam
mengerakan organisasi. Manajemen yang efektif dan efisien dapat
membantu tercapainya tujuan organisasi baik tujuan ekonomis dan tujuan
social atau politik sehinggga tujuan- tujuan tersebut dapat dicapai dan para
manajer dapat mengerakan organisasi secara efektif. Salah satu koperasi
yang berkembang saat ini adalah Koperasi Pegawai Negeri (KPN). Jenis
koperasi ini dapat mengerakan modal para anggota secara teratur dan terus
menerus digunakan sebagai modal koperasi yang bergerak pada usaha
dagang dan simpan pinjam. Koperasi Pegawai Negeri (KPN) sanagat
penting bagi pihak-pihak anggota (khususnya PNS) yang ingin mendapatkan
modal dalam rangka pengembangan usaha mereka sehinggga diharapkan
dapat meningkatkan pendapatan bagi anggota..
KPN maupun badan usaha lainya, memiliki prospek yang dapat
menciptakan tingkat pengembalian hasil (return) yaitu laba, berpotensi
menghadapi resiko usaha yang tinggi. Kedua hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap kelancaran usaha koperasi,return dan resiko tersebut
merupakan masalah yang sering dihadapi oleh koperasi dan badan usaha
lainya. Koperasi KPN KORPRI LAPE , merupakan salah satu koperasi
yang usaha pokoknya adalah simpan pinjam, beralamat di Kecamatan Lape
Kabupaten Sumbawa dengan Badan Hukum Nomor : 367/BH/XXII,
Tanggal 21 Mei Tahun 1974. Karena koperasi ini dapat diterima baik oleh
masyarakat dan para anggotanya menyebabkan koperasi ini selalu
berkembang setiap tahun dan selalu mengalami peningkatan baik dalam
bidang keuangan, permodalan, keanggotaan, kepengurusan dan pengawasan
manajemen yang sangat baik.
Karena kebutuhan yang sangat kompleks dan adanya tuntutan dari
pihak anggota dan masyarakat supaya koperasi KPN KORPRI LAPE
dapat memberikan pelayana dalam bidang permodalan, maka tahun 1996
mengalami perubahan yang di sahkan oleh Menteri Koperasi dan
Pembinaan Usaha Kecil dengan Surat Keputusan
Nomor
:08/BH/PAD/KWK.23/11/1996 tanggal 12 februari 1996. Adapun wilayah
perluasannya yaitu diseluruh wilayah Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
dan berkantor dilape.begitu pula dengan jumlah keanggotaan koperasi yang
selalu mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Koperasi KPN KORPRI
LAPE mempunyai aktivitas yang bergerak dalam usaha simpan pinjam,
usaha barang, usaha waserda dan fotocopi/laminating/reseograf dan usaha
lainnya.
Hal-hal yang menyebabkan berfluktuasinya jumlah anggota koperasi
disebabkan antara lain: anggota mutasi jabatan, anggota pensiun, anggota
meninggal dunia, dan anggota yang tidak memenuhi kewajiban terhadap
koperasi. Hal ini terbukti dari jumlah anggota yang selalu bertambah setiap

24

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

tahunnya, tercatat adanya tambahan anggota baru yang masuk setiap tahun
menandakan bahwa koperasi ini semakin baik dari segi jumlah anggota.
Adapun yang melatar belakangi penulis mengambil judul penelitian ini
antara lain perkembangan Sisa Hasil Usaha (SHU) dan piutang koperasi
sering terjadi atau mengalami fluktuasi, serta seiring dengan perkembangan
tersebut maka seiring pula dengan jumlah anggota koperasi yang bertambah
setiap tahunnya.
1.2 Tujuan Penelitian
Menurut Soerjano Soekanto (2001 : 22) Penelitian adalah kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara
metodelogis, sistematis dan konsisten. Sedangkan menurut Emzir (2007:3),
Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan
masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. Adapun
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengembalian hasil
(return) dan resiko (risk) Piutang Pada Koperasi KPN Korpri Lape
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
1. Penelitian yang dilakukanoleh Muhammad Lukman Khakim (2004)
tentang judul Analisis Resiko dan dan Pengembalian Hasil Saham
Peruashaan Industri Semen yang terdaftar di BEJ.
2. Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Novi Suryaningrum
(2007) dengan judul Pengaruh modal terhadap Sisa Hasil Usaha
(SHU) pada KPRI di Kota Semarang.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Tinjauan Umum Perkoperasian
Menurut Hadi (2005), koperasi adalah suatu perkumpulan atau
organisasi ekonomi yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan,
yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota menurut
peraturan yang ada, dengan bekerjasama secara kekeluargaan menjalankan
suatu usaha, dengan tujuan mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para
anggotanya. Tujuan koperasi adalah menanamkan dan mendidik kesadaran
hidup bergotong-royong dan setia kawan di antara para anggota, Pada
dasarnya koperasi dikelolah dengan tujuan menyejahterakan anggotanya dan
masyarakat pada umumnya, bukan mengejar keuntungan semata. Sekalipun
koperasi tidak mengutamakan keuntungan, akan tetapi usaha-usaha yang
dikelola oleh koperasi harus tetap memperoleh penghasilan yang layak demi
menjaga kelangsungan hidup dan meningkatkan kemampuan usaha, bukan
untuk memupuk kekayaan. Sehingga pada akhir periode usahanya
diharapkan dan ditargetkan menghasilkan Sisa Hasil Usaha. Keuntungan
didalam koperasi biasa disebut dengan istilah Sisa Hasil Usaha.

25

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Melalui SHU, Koperasi dapat memupuk modal sendiri yaitu dengan


dana cadangan yang disisihkan setiap akhir periode tutup buku, sehingga
akan memperkuat struktur modalnya. Selain itu dana-dana yang disisihkan
dari SHU, apabila belum dicairkan atau digunakan maka akan diperlakukan
sebagai tambahan modal yaitu sebagai modal pinjaman tanpa dikenakan
biaya modal. Oleh sebab itu apabila koperasi dapat meningkatkan perolehan
SHU dalam setiap tahunnya dengan sendirinya akan memperkuat struktur
finansialnya. Besarnya SHU yang diperoleh koperasi disetiap tahunnya juga
sebagai pertanda bahwa koperasi telah dikelola secara profesional.
Pengelolaan yang profesional memerlukan sistem pertanggung jawaban
yang baik serta informasi yang relevan dan dapat diandalkan. Hal itu dapat
dicapai apabila koperasi sebagai badan usaha yang bergerak di bidang
ekonomi melaksanakan akuntansidalam kegiatan usahanya seperti badan
usaha lainnya. Semakin besar Sisa Hasil Usaha yang diperoleh Koperasi
akan meningkatkankesejahteraan para anggotanya dan masyarakat pada
umumya. Dan untukmeningkatkan perolehan SHU sangat tergantung dari
besarnya modal yangberhasil dihimpun oleh koperasi untuk menjalankan
usahanya. Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
2.2.2 Konsep tentang Piutang
Menurut Prastowo dan Julianty (2002 147) menunjukkan bahwa
Piutang berisikan pemberian kredit yang diberikan perusahaan kepada
konsumennya ketika menjual barangnya. Mereka mengambil setiap bentuk
penjualan kredit dimana perusahaan meneruskannya kembali kepada
perusahaan lain. Piutang terjadi karena penjualan barang dan jasa tersebut
dilakukan secara kredit yang umumnya dilakukan untuk memperbesar
penjualan. Adapun Resiko kerugian piutang terdiri dari beberapa macam
yaitu: Resiko tidak dibayarnya seluruh tagihan atau piutang, resiko tidak
dibayarnya sebagian piutang, Resiko keterlambatan pelunasan piutang dan
Resiko tidak tertanamnya modal dalam piutang. Menurut Drs. Munawir
(2004:75) mengatakan bahwa: Posisi piutang dan taksiran waktu
pengumpulannya dapat dinilai dengan menghitung tingkat perputaran
piutang turn over receivable yaitu, dengan membagi total penjualan kredit
neto dengan piutang rata-rata.
Sedangkan Menurut Warren Reeve (2005:407) perputaran piutang
adalah Usaha (account receivable turn over) untuk mengukur seberapa
sering piutang usaha berubah menjadi kas dalam setahun. Dari dua
pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa perputaran piutang itu
ditentukan dua faktor utama, yaitu penjualan kredit dan rata-rata piutang.
Rata-rata piutang dapat diperoleh dengan cara menjumlahkan piutang awal
periode dengan piutang akhir periode dibagi dua. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa perputaran piutang terdiri dari dua variabel yaitu
total penjualan kredit dan rata-rata piutang Adapun faktor- faktor yang
mempengaruhi besar- kecilnya piutang adalah:penjualan kredit, kebijakan

26

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

kredit, standar kredit (investasi dalam piutang, kerugian piutang dan volume
penjualan).
Munawir (2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebabnya
adalah sebagai berikut : 1) turunnya penjualan dan naiknya piutang; 2)
turunnya piutang dan diikuti turunnya penjualan dalam jumlah yang lebih
besar; 3) naiknya penjualan diikuti naiknya piutang dalam jumlah yang lebih
besar, 4) turunnya penjualan dengan piutang yang tetap, dan 5) naiknya
piutang sedangkan penjualan tidak berubah. Selain itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya anggaran piutang adalah : anggaran
penjualan, rencana tentang jenis dan jumlah barang yang keadaan
persaingan pasar, persaingan pasar memaksa perusahaan melakukan
transaksi penjualan secara kredit. Posisi perusahaan dalam persaingan,
posisi perusahaan yang cukup kuat sehingga memperkecil penjualan secara
kredit. syarat pembayaran yang ditawarkan, jika potongan penjualan cukup
menarik maka akan mendorong pembeli untuk melakukan pembelian secara
tunai. Kebijakan Perusahaan dalam penagihan piutang yang lebih aktif akan
mempercepat pemasukan piutang.
2.2.3 Konsep Tentang Return (Tingkat Pengembalian Hasil)
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return
menurut (Jogiyanto, 2010; 205) dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : (1)
Return Realisasi (realized return)merupakan return yang telah terjadi.
Return dihitung berdasarkan data histories, return realisasi penting karena
digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja dari perusahaan. Return
historis ini juga berguna sebagai dasar penentuan return ekspektasi
(ekspekted return) dan risiko dimasa mendatang. Dalam dunia keuangan
Rate Of Return (ROR) atau Return On Investment (ROI) atau terkadang
disebut dengan return adalah suatu rasio peroleh atau kehilangan uang dari
sebuah investasi berhubungan dengan jumlah uang yang diinvestasikan.
ROI juga dikenal dengan tingkat laba atau hasil di suatu investasi saat ini
atau masa lampau atau hasil yang diperkirakan di suatu investasi di masa
depan. Menurut Abdullah (2002:50) Adapun manfaat Return (Tingkat
Pengembalian Hasil) adalah : untuk membandingkan laba atas
investasiantara investasi-investasi yang sulit dibandingkan dengan
menggunakan nilai moneter, return berguna sebagai alat kontrol atau untuk
keperluan perencanaan, return sebagai alat untuk mengukur profitabilitas
dari masing-masing produk yang dihasilkan perusahaan, selain itu manfaat
return adalah berkaitan dengan efisiensi penggunaan modal, efisiensi produk
dan penjualan dalam rangka memenuhi sistem dan prinsip-prnsip akuntansi
yang ada, selain itu juga untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
mengahsilkan keuntungan dengan menggunakan keseluruhan aktiva yang
dimilikinya.
Perhitungan return realisasi disini menggunakan return total. Return
total merupakan keseluruhan dari suatu investasi dalam suatu periode
tertentu. Sedangkan (2) Return Ekspektasi (Expected Return)merupakan

27

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

return yang digunakan untuk pengambilan keputusan investasi. Return ini


penting dibandingkan dengan return historis karena return ekspektasian
merupakan return yang diharapkan dari investasi yang dilakukan.
Perhitungan return ekspektasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Return ekspektasi dapat dihitung dengan metode nilai ekspektasi yaitu
mengalikan masing-masing hasil masa depan dengan probabilitas
kejadiannya dan menjumlah semua produk perkalian tersebut.Return
merupakan tingkat pengembalian hasil
investasi dinyatakan dengan
persentase, terdiri dari return realisasi dan expected return. Return realisasi
merupakan tingkat return yang diproleh pada masa lalu yang dinotasikan
dengan Ri. Return Realisasi dapat dihitung dengan menggunakan formula
Return On Investment atau biasa disebut ROI, lebih dikenal dengan laba
atas investasi. ROI dalam analisa keuangan menunjukkan bahwa semakin
naik tingkat return maka semakin baik perusahaan tersebut. ROI merupakan
ukuran atau indeks yang menunjukkan sebarapa besar laba atau keuntungan
yang di dapat atas investasi yang telah ditanam pada perusahaan. Dengan
kata lain seberapa besar investasi yang telah ditanam dapat dikembalikan
menjadi keuntungan atau laba.dengan rumus (Sartono, 1990) :

Return On Investment=

Laba Bersih setelah pajak


Jumlah Investasi

100%

Expected return dapat dihitung dengan rumus (Tandelilin, 2001) :


E(Ri)=

Keterangan:
E[Ri] =Expected return
Ri
=Jumlah realisasi pada periode N
n
=Jumlah observasi
N
=Periode investasi

2.2.4

Konsep Tentang Resiko(Risk)


Resiko menurut (Tandelilin, 2001) adalah penyimpangan terhadap
hasil yang diharapkan dimasa yang akan datang. Semakin besar
penyimpangan yang mungkin terjadi, maka akan semakin besar resiko yang
akan diukur dengan standar deviasi yang dilambangkan dengan [] . Standar
deviasi adalah akar dari rata- rata penyimpangan pangkat dua dari setiap
kemungkinan pengembalian terhadap pengembalian yang diharapkan.
Resiko adalah kemungkinan terjadinya penyimpangna dari rata-rata dari
tingkat pengembalian yang diharapkan yang dapat diukur dari standar

28

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

deviasi dengan menggunakan statistika. Suatu keputusan keuangan yang


lebih beresiko tentu diharapkan memberikan imbalan yang lebih besar, yang
dalam keuangan di kenal dengan istilah High Risk High return. Ada
beberapa karakteristik investor menghadapi resiko antara lain : Risk averter
adalah sikap investor yang cenderung memilih resiko yang kecil pada
tingkat return yang sama. Risk seeker adalah sikap investor yang cenderung
memilih resiko yang sedikit lebih besar dengan harapan mendapatkan
sedikit tambahan nilai return dari investasi. Risk indifferent adalah sikap
investor yang tak acuh terhadap resiko yang dihadapi dalam investasi.
Return dan Risk mempunyai hibungan yang positif yaitu semakin besar
resiko yang harus ditanggung semakain besar pula return yang harus
dikompensasikan.
Karakteristik risiko merupakan ketidakpastian atas terjadinya suatu
peristiwa merupakan ketidakpastian yang bila terjadi akan menimbulkan
kerugian. Sedangkan wujud dari risiko berupa kerugian atas harta/kekayaan
atau penghasilan berupa penderitaan seseorang berupa tanggung jawab
hokum berupa kerugian karena perubahan. Pengukuran resiko menurut
Wenston dan Brigham (1998) yaitu dalam pengukuran sebuah resiko harus
didapat nilai yang pasti (definitive). Hal ini bertujuan memudahkan
pengertian untuk mendukung hal tersebut maka diperlukan kadar kerapatan
(highness) distribusi probabilitas. Salah satu ukuran seperti itu di sebut
deviasi standar yang di lambangkan dengan (). Makin kecil deviasi standar
makin rapat distribusi probabilitas, sehingga semakin kecil resikonya.
Deviasi standar menggambarkan sebesar nilai sebenarnya akan berada
dibawah atau di atas nilai yang di harapkan.
2.2.5

Konsep Tentang Kredit


Kredit menurut Sutrisno (2003: 57) berasal dari bahasa yunani
credere yang berarti kepercayaan atau Dalam bahasa latin creeitum
yang berarti kepercayaan atau kebenaran. Dengan demikian dasar dari
kredit itu adalah kepercayaan. Seseorang yang mendapat kredit berarti dia
mendapat kepercayaan. Adapun tujuan kredit mencakup scope yang sangat
luas. Dua fungsi pokok yang saling berkaitan dari kredit adalah :
Profitabilitas, safety. Syarat pembayaran penjualan kredit dapat bersifat
ketat atau lunak. Apabila perusahaan menetapkan syarat pembayaran yang
ketat berarti bahwa perusahaan lebih mengutamakan keselamatan kredit dari
pada pertimbangan profitabilitas. Adapun Unsur-Unsur Kredit terdiri dari
Kepercayaan, Waktu Degree of risk dan Prestasi. Menurut kasmir
(2006:105) pemberian suatu kredit memiliki tujuan tertentu, pemberian
kredit tidak terlepas dari misi suatu instansi sebuah lembaga. Adapun tujuan
pemberian kredit yang utama adalah sebagai berikut : Mencari keuntungan,
yaitu untuk mencari keuntungan dari pemberian kredit tersebut. Hal tersebut
dalam bentuk bunga yang di terima bank sebagai balas jasa dari biaya
admistrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan itu penting

29

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

untuk kelangsungan hidub bank.


Membantu usaha nasabah, yaitu
membantu nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun
dana modal kerja.
Dengan dana tersebut maka para debitur dapat mengembangkan dan
memperluas usahanya. Membantu Pemerintah, dimana bagi pemerintah
semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak Bank atau non Bank
maka semakin baik. Dengan demikian semakin banyak kredit adanya
peningkatan pembangunan diberbagai sektor. Keuntungan pemerintah
dengan pemberian kredit adalah : Penerimaan pajak yang dibebankan pada
nasabah, pihak bank atau non bank. Membuka kesempatan kerja. Dalam hal
ini kredit dapat digunakan untuk membuka usaha baru atau memperluas
usaha yang telah ada sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang masih
menganggur. Meningkatkan jumlah barang dan jasa. Dengan adanya
penyaluran kredit diharapkan dapat meningkatkan kapasitas usahanya.
Menghemat devisa Negara terutama untuk produk-produk yang sebelumnya
di impor. Dengan adanya pemberian modal kerja diharapkan akan mampu
memproduksi sendiri sehingga tidak harus mengimpor dari Negara lain.
Secara umum jenis- jenis kredit atau pinjaman yang ditawarkan bank
dewasa ini menurut Kasmir, (2006:115) adalah: Kredit investasi Kredit
investasi merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang
melakukan investasi atau penanaman modal. Biasanya kredit jenis ini
memiliki jangka waktu yang relative panjang, yaitu di atas satu tahun.
Contoh jenis kredit ini adalah kredit untuk membeli tanah, membangun
pabrik, atau membeli peralatan pabrik seperti mesin- mesin. Kredit modal
kerja merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha. Biasanya
kredit jenis ini memiliki jangka waktu yang relative pendek, yaitu tidak
lebih dari satu tahun. Contoh kredit ini adalah untuk membeli bahan baku,
membayar gaji karyawan, dan modal kerja lainnya. Kredit perdagangan
merupakan kredit yang di berikan kepada para pedagang dalam rangka
memperlancar, memperluas, atau memperbesar kegiatan perdagangannya.
Contoh kredit jenis ini adalah kredit untuk membeli barang dagangan yang
di berikan kepada supplier. Kredit produktif merupakan kredit yang berupa
investasi, modal kerja, atau perdagangan. Kredit ini di berikan untuk
diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan berasal dari
usaha yang di biayai.Kredit konsumtif merupakan kredit yagn digunakan
untuk keperluan pribadi, misalnya keperluan konsumsi, baik pangan,
sandang, maupun papan. Contoh kredit jenis ini adalah kredit perumahan,
kredit kendaraan bermotor yang semuanya untuk di pakai sendiri. Kredit
profesi merupakan kredit yang diberikan kepada kalangan profesional,
seperti dosen, dokter, atau pengacara.

30

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian
Penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematis
dalam waktu yang lama dengan menggunakan metode yang ilmiah serta
aturan-aturan yang berlaku (Nazir, 2003), jenis penelitian pada penelitian ini
adalah jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan
penelitian diskriptif.
3.2 Jenis Data dan Sumber data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitativ berupa data
SHU, data Aset serta data piutang KPN Korpri Lape Kecamatan Lape
Kabupaten Sumbawa Tahun 2010-2014. Kemudian data yang digunakan
dalam penelitian ini adala data sekunder primer dan sekunder yang
dikumpulkan dari objek penelitian dalam hal ini Koperasi KPN Korpri Lape
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam hal ini peneliti melakukan
observasi di KPN Korpri Lape Kecamatan lape Kabupaten Sumbawa. Selain
itu juga menggunakan wawancara dan pencatatan dokumen, Wawancara
pada penelitian ini yaitu wawancara tidak terstruktur, hanya saja ingin
mengetahui kelengkapan data koperasi dan perkembangan koperasi KPN
Korpri Lape setiap tahunnya. Dalam hal ini peneliti melakukan pencatatan
dokumen di KPN Korpri Lape Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa.
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah subjek penelitian atau apa yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini dapat diidentifikasi variabel
yang digunakan adalah Tingkat Pengembalian Hasil (Return), Resiko
(Risk), Laba Bersih Setelah Pajak, dan Jumlah Piutang
3.5 Definisi Variabel Penelitian
Adapun defenisi operasinal variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Tngkat Pengembalian Hasil (Return) adalah tingkat pengembalian
investasi dengan cara perbandingan antara Sisa Hasil Usaha dengan
besarnya piutang yang dinyatakan dengan persentase.
2. Resiko (Risk) adalah besarnya resiko investasi piutang dengan
menggunakan standar deviasi .
3. Laba Bersih Setelah Pajak adalah perbandingan antara jumlah
investasi dengan Laba bersih setelah pajak yang diukur dalam
persentase.
4. Jumlah Piutang adalah besarnya jumlah piutang koperasi yang terdiri
dari piutang usaha, piutang simpan pinjam dan piutang tak terangsur
selama 5 tahun yang diukur dalam satuan rupiah

31

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

3.6 Metode Analisis Data


Return realisasi merupakan tingkat return yang di peroleh pada masa
lalu yng di notasikan dengan Ri. Di hitung dengan rumus return on
investment/ROI =Ri (Sartono, 1990:91)
Ri=

Laba Bersih setelah pajak


Jumlah Investasi

100%

Keterangan: Ri = return realisasi


Expected return merupakan return yang diharapkan pada investasi
yang dilakukan.Return ekspektasi dapat dihitung dengan metode nilai
ekspektasi yaitu mengalikan masing-masing hasil masa depan dengan
probabilitas kejadiannya dan menjumlah semua produk perkalian tersebut
dapat dihitung dengan rumus :
E(Ri)=

Keterangan:
E[Ri]
= Expected return
Ri
= Jumlah realisasi pada periode N
n
= Jumlah observasi
N
= Periode investasi
Menghitung Risk (Resiko investasi) :
Menurut (Tandelilin, 2001:199) resiko investasi adalah
penyimpangan terhadap hasil yang diharapkan dimasa yang akan datang.
Semakin besar penyimpangan yang mungkin terjadi, maka akan semakin
besar resiko yang akan diukur dengan standar deviasi yang dilambangkan
dengan [] .untuk menghitung resiko investasi piutang, maka dapat
menggunakan standar deviasi yaitu dengan rumus (jogiyanto, 2003 :131) :

( ()
=1

Di mana:

= viasi standar
E(Ri) = return yang diharapkan
Ri
= return yang diperoleh
n
= jumlah observasi
N
= periode piutang

32

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Tabel 4.1
Pertumbuhan Piutang Koperasi KPN KORPRI LAPE
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Tahun 2010-2014
TAHUN
PIUTANG
PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN
(Rp)
(Rp)
(%)
2010
785.080.808
2011
862.610.214
77.529.406
10%
2012
667.850.569
(194.759.645)
(23%)
2013
763.344.412
95.493.843
14%
2014
921.738.988
158.394.576
21%
JUMLAH
4.000.624.991
3.078.886.003
334%
RATA800.124.998
(3.200.499.993)
(80%)
RATA
Sumber : Hasil survey Lapangan
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan
piutang selama tahun 2010-2014 mengalami fluktuasi. Adapun Jumlah
piutang selama 5 (lima) tahun tersebut adalah sebesar Rp. 4.000.624.991,atau jumlah rata-rata piutang sebesar Rp.800.124.998,-. Hal ini disebabakan
oleh adanya peningkatan dan penurunan setiap tahunnya piutang yang
terdiri dari piutang simpan pinjam, piutang barang dan piutang tak
terangsur. Berfluktuasinya jumlah piutang tersebut sangat didominasi oleh
piutang simpan pinjam anggota koperasi KPN KORPRI LAPE Kecamatan
Lape Kabupaten Sumbawa yang semakin bertambah setiap tahunnya. Bila
dilihat dari segi pertumbuhan piutang mengindikasikan bahwa piutang
koperasi ini berjumlah Rp.3.078.886.003 atau sebesar 334%. Artinyadari
sisi jumlah secara keseluruhan selama 5 (lima) tahun pertumbuhan piutang
masih di bawah rata-rata yaitu sebesar 80% atau di bawah 100%.
Tabel 4.2
Pertumbuhan Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi KPN Korpri Lape
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Tahun 2010-2014
TAHUN
SISA HASIL PERTUMBUHA
PERTUMBUHA
USAHA (Rp)
N (Rp)
N (%)
2010
40.528.334
2011
41.331.998
803.664
2%
2012
45.851.160
4.519.162
11%
2013
17.180.250
(41.335.832)
(71%)
2014
31.039.054
13.858.804
81%
JUMLAH
188.595.718
157.556.664
508%

33

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

RATA37.719.144
(150. 876.574)
(80%)
RATA
Sumber : Hasil Survey Lapangan
Berdasarkan Tabel di atas menunjukkan bahwa selama 5 (lima)
tahun dari 2010-2014 pertumbuhan SHU Koperasi KPN KORPRI LAPE
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa mengalami fluktuasi sama halnya
dengan berfluktuasinya pertumbuhan piutang. Berfluktuasinya pertumbuhan
SHU ini disebabkan jumlah pendapatan dan pengeluaran yang cenderung
mengalami peningkatan dan penurunan setiap tahunnya. SHU Koperasi ini
berasal dari jumlah keuntungan yang diperoleh setelah pajak. Secara
keseluruhan jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi ini yaitu sebesar
Rp.188.595.718. Rata-rata pertumbuhan SHU nya sama dengan rata-rata
pertumbuhan piutang yaitu sebesar 80% atau dibawah 100%.
Tabel 4.3
Rasio Piutang Terhadap Total Aset
Koperasi KPN KORPRI LAPE Kecamatan Lape Kabupaten
Sumbawa Tahun 2010-2014
Tahun
Total Aset
Jumlah Piutang Rasio Piutang Pertumbuhan
Rasio Piutang
(Rp)
(Rp)
Terhadap
Terhadap
Total Aset
Total Aset (%)
(%)
2010
1.309.591.867
785.080.808
60%
2011
1.476.687.580
862.610.214
58%
3%
2012
1.381.479.941
667.850.569
48%
17%
2013
1.350.474.334
763.344.412
57%
(17%)
2014
1.482.622.802
921.738.988
62%
(10%)
JUMLAH
7.000.856.524
4.000.624.991
285%
(359%)
RATA1.400.171.305
800.124.998
57%
80%
RATA
Sumber : Data sekunder, diolah
Penjelasan Tabel di atas artinya bahwa selain terjadinya fluktuasi
pada pertumbuahn piutang dan pertumbuhan Sisa HasilUsaha (SHU) hal
yang sama juga terjadi pada total asset Koperasi KPN KORPRI LAPE
Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Selama Tahun 2010-2014. Tahun
2010 sebesar Rp.1.309.591.867,- dengan jumlah piutang sebesar
Rp.785.080.808,-. Adapun rasio piutang terhadap total asset koperasi ini
yaitu sebesar 60%. Sedangkan Tahun 2011 rasio piutang terhadap total total
asset berada 58%. Hal ini dikarenakan oleh total asset dan jumlah piutang
pada tahun tersebut mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 1.476.687.580
dan piutang Rp.862.610.214,-. Artinya meskipun pada tahun tersebut
rasionya menurun tetapi berada di atas rata-rata total asset dan jumlah

34

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

piutang yaitu dengan rata-rata asset sebesar Rp.1.400.171.305 dan rata-rata


piutang sebesar Rp.800.124.998,. Sebaliknya bila ditinjau dari tahun 2012
dan Tahun 2013 mengalami penurunan yaitu total asset dan jumlah piutang
kedua tahun tersebut berada di bawah total asset dan piutang tahu 2011.
Dibandingkan dengan Tahun 2014 peningkatan terjadi pada total asset dan
jumlah piutang yaitu sebesar Rp.1.482.622.802 dan sebesar Rp.921.738.988
atau rasionya sebesar 62%. Bila dilihat dari keseluruhan jumlah total asset
dan piutang yaitu sebesar Rp.7.000.856.524 dan sebesar Rp.4.000.624.991
atau sebesar 285% atau rata-rata sebesar 57%. Adapun pertumbuhan rasio
piutang terhadap total asset selama tahun 2010-2014 yaitu terjadi fluktuasi.
Sedangkan ditinjau dari segi rata-rata pertumbuhan rasio ini yaitu sebesar
80%.
Tabel 4.4
Rasio Piutang Terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi KPN
KORPRI LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Tahun 20102014
TAHUN
Sisa Hasil
Rasio Piutang
SHU
Pertumbuhan
Usaha (SHU)
(%)
Terhadap
SHU
(Rp)
Rasio
Terhadap
Piutang(Rp)
Rasio Piutang
(%)
2010
40.528.334
60%
24.296.132
2011
41.331.998
58%
24.144.175
-1%
2012
45.851.160
48%
22.165.883
8%
2013
17.180.250
57%
9.710.994
-66%
2014
31.039.054
62%
19.296.821
99%
Jumlah
188,595,718
285%
105.736.624
34%
Rata37,719,144
57%
21.147.325
7%
rata
Sumber : Data Sekunder diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah SHU Koperasi KPN
KORPRI LAPE Kecamatan Lape slama 5 (lima) tahun yakni 2010-2014
yaitu sebesar Rp.188.595.718 hal ini dapat dilihat dari berfluktuasinya
jumlah SHU setiap tahun yaitu Tahun 2010 sebesar Rp.40.528.334,-. Tahun
2011 dan tahun 2012 terjadi peningkatan sebesar Rp. 41.331.998, atau
sebesar dan sebesar Rp. 45.851.162 sedangkan tahun 2013 dan tahun 2014
jumlah SHU Koperasi tersebut berada di bawah rata-rata yaitu sebesar tahun
2013 sebesar Rp.17.180.850, dan Tahun 2014 sebesar Rp.31.039.054
sedangkan rata-ratanya sebesar Rp.37.719.144,- atau bila dilihat dari rasio
piutang terhadap SHU sebesar Rp.21.147.325,. atau pertumbuhan sebesar
10%. Adapun alasan terjadi fluktuasi pada tabel di atas disebabkan karena

35

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

sering terjadi pengurangan ataupun modal dari bank kesejahteraan ekonomi


yang diperoleh Koperasi KPN KORPRI LAPE Kecamatan Lape Kabupaten
Sumbawa Selama Tahun 2010-2014.
Tabel 4.5
Perhitungan Return Investasi Piutang Koperasi KPN KORPRI
LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Tahun 2010-2014
SHU Terhadap
Jumlah
Return
Pertumbuhan
TAHUN
Rasio Piutang
Piutang
Piutang
Return
(Rp)
(Rp)
(%)
Piutang (%)
2010
24.296.132
785.080.808
32,31
2011
24.144.175
862.610.214
35,73
11%
2012
22.165.885
667.850.569
30,13
-16%
2013
9.710.994
763.344.412
78,61
233%
2014
19.296.821
921.738.988
47,77
39%
JUMLAH
105.736.624
4.000.624.991
37,84
-16%
RATA21.147.325
800.124.998
37,84
(0%)
RATA
Sumber : Data sekunder diolah
Tabel tersebut menunjukkan bahwa Return investasi piutang
koperasi KPN KORPRI LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
Tahun 2010-2014 mengalami fluktuasi. Tahun 2010 dan Tahun 2011 terjadi
kenaikan return piutang yaitu dari 32,31% naik menjadi 35,73% atau
pertumbuhan return piutang sebesar 11%. Hal ini disebakan karena
dominasi kanaikan jumlah piutang simpan pinjam pada tahun 2011.
Sedangkan tahun 2012 return piutang menurun sebesar 23,61% atau
pertumbuhan negative sebesar 34%. Hal ini selain penyebabnya pada
penurunan jumlah piutang namun kenaikan terjadi pada tingkat SHU
terhadap piutang yaitu sebesar Rp. 28.288.502,-. Sebaliknya bila dilihat dari
Tahun 2013 dan Tahun 2014 terjadi peningkatan return piutang atau dengan
kata lain return piutang kedua tahun tersebut berada di atas rata-rata yaitu
sebesar 78,61% dan 47,77%. adapun rata-rata return piutang sebesar
37,84%. Artinya bila dikaitkan dengan teori sartono (1990:62) yang
menggambarkan bahwa prosentase di atas 25% katagori return investasi
piutang tergolong baik artinya Semakin tinggi tingkat pengembalian hasil
atau return maka semakin tinggi pula risiko serta Semakin besar asset yang
kita tempatkan dalam keputusan investasi maka semakin besar pula risiko
yang timbul dari investasi koperasi tersebut.

36

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Tabel 4.6
Perhitungan Risk Investasi Piutang Koperasi KPN KORPRI
LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Tahun 2010-2014
Tahun
Return{R}
EXPECTED
{R-E (R)}
{R-E
Piutang (%)
RETURN {E
(%)
(R)}2
(R)}(%)
2010
32,31
40,16
(7,85)
61,60
2011
35,73
40,16
(4,43)
19,66
2012
30,13
40,16
(10,03)
100,63
2013
78,61
40,16
38,4
1,478,01
2014
47,77
40,16
7,61
57,89
40,16
200,81
(160,65)
25,806
JUMLAH
40,16
40,16
75,67
RATARATA
Sumber : Data sekunder diolah
Berdasarkan Tabel di atas tentang Risk investasi piutang Koperasi
KPN KORPRI LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa Selama Tahun
2010-2014 cenderung mengalami penurunan atau bernilai negative
dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2014 terjadi kenaikan posititif yaitu
sebesar 38,4% dan 7,16%. Bila dilihat dari rata-rata resiko investasi piutang
sebesar 5,161 % maka artinya berada di bawah rata-rata tingkat
return/tingkat pengemablian hasil investasi piutang koperasi. Artinya tingkat
resiko investasi piutang koperasi tersebut tergolong baik yaitu investasi
piutang dengan resiko rendah. Sehingga dari perhitungan return dan risk
investasi piutang koperasi tersebut tergolong kurang baik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengembalian
hasil (return) dan risiko piutang pada koperasi KPN KORPRI LAPE di
Lape Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa tergolong baik jika di tinjau
dari perhitungan return dan risk piuang dimana rata-rata return yang
dihasilkan sebesar 40,16% dan tingkat risikonya 75,65%.
5.2
Saran
Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak koperasi KPN KORPRI
LAPE Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa dan pihak investor , dalam
hal return yang diperoleh dan risiko yang dihadapi, penulis memberikan
saran- saran yaitu: pihak koperasi harus memperhatikan prinsip kehatihatian dalam pemberian kredit kepada nasabah, guna menghindari resiko
tidak terbayarnya piutang atau kredit macet. Bagi pihak investor dalam hal
ini koperasi simpan pinjam harus rasional dalam menentukan kebijakan
investasinya sehingga disatu sisi dapat menciptakan return yang tinggi dan
risiko piutang yang ditimbulkannya lebih rendah.

37

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

DAFTAR PUSTAKA
Kasmir, 2006. Analisis Laporan keuangan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Nasir. Moh, 1999, Metode Penelitian, Edisi 1, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Riyanto,

Bambang, 1999. Manajemen Keuangan (Dasar- Dasar


Pembelanjaan Perusahaan), Edisi Ke 4 Penerbit BPFE,
Yogyakarta.

Riyanto, B., 1992, Dasar- Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Yayasan Badan


Penerbit Gadjah Mada.
Ridwan sundjaja, (2007). Manejemen keuangan dua edisi Indonesia
Sutrisno, 2003. Manajemen Keuangan (Teori Konsep dan Aplikasi).
Ekonomi. Yogyakarta.
Suharsimi, Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian. Cetakan Bandung
keduabelas.PTRineka Cipta: Jakarta
Tandelilin, 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Penerbit
BPFE, Yogyakarta.
Winarno Soerahman, 1998. Metode PenelitianUntuk Sripsi Erlangga,
Jakarta

38

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Menuju Kampus Berbasis Enterpreneur


Suatu Pendekatan Pemberdayaan
Oleh :
Asmini
ABSTRAK
Penerapan kurikulum perguruan tinggi yang berorientasi pada
pencapaian Indeks Prestasi Akademik (IPK) dan penyelesaian masa studi
untuk mendapat gelar, sedangkan kompetensi lain misalnya bidang
keterampilan (life skills), softskill dan kewirausahaan belum banyak
dikembangkan. Pembinaan potensi mahasiswa selama di kampus lebih
dominan mengembangkan aspek kognitif, bakat dan minat dengan tujuan
sebatas untuk kepentingan mengisi waktu luang. Ada kecenderungan
mahasiswa dalam kegiatan ekstra kampusnya lebih terfokus kepada hal-hal
bidang politik ketimbang hal-hal bidang ekonomi atau kewirausahaan,
padahal perguruan tinggi merupakan salah satu pilar dalam
pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas yang memiliki
kemampuam yang tidak hanya memiliki kognitif dan afektif tetapi ada
kemampuan psikomotorik yang diharapkan mampu diterapkan secara
mandiri. Tingginya angka pengangguran dan sangat terbatasnya lapangan
kerja yang ada, nampaknya belum mampu menyadarkan dan menggugah
(belum mendapat perhatian serius, sering dilupakan, dan harus mendapat
perhatian) kita semua (mahasiswa, dosen dan segenap pimpinan perguruan
tinggi) untuk merubah orientasinya. Hasil analisis data yang dipublis
Dirjen Dikti Depdiknas RI pada banyak kesempatan menunjukkan, bahwa
semakin tingginya tingkat pendidikan di Indonesia ternyata tidak secara
linier berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan dan ekonomi. Lebih
jauh dari itu, ternyata semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang di
Indonesia,
semakin
rendah
tingkat
kemandirian
dan
jiwa
kewirausahaannya. Tulisan ini ingin menginspirasi kita semua utamanya
para civitas akademika perguruan tinggi untuk berani mengubah haluan
dan orientasi penyelenggaraan kegiatan kampus dengan berbasis
entrepreneur yang selama ini cenderung orientasi proces ketimbang
orientasi goal (hasil dan skill). Sehingga menjadi kampus yang berdaya
guna dan berdaya saing baik untuk kampus, mahasiswa, alumni maupun
stakeholder lainnya.
Kata Kunci : Kampus, entrepreneur
PENDAHULUAN
Hasil analisis data yang dipublis Dirjen Dikti Depdiknas RI pada
banyak kesempatan menunjukkan, bahwa semakin tingginya tingkat
I.

39

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

pendidikan di Indonesia ternyata tidak secara linier berdampak terhadap


peningkatan kesejahteraan dan ekonomi. Lebih jauh dari itu, ternyata
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang di Indonesia, semakin rendah
tingkat kemandirian dan jiwa kewirausahaannya. Hal tersebut tidak bisa
dipungkiri, karena sebagian besar lulusan perguruan tinggimasih
berorientasi sebagai pencari kerja (job seeker) daripada sebagai
penciptakerja (job creator). Hal ini terjadi karena sistem pembelajaran di
berbagai perguruantinggi masih terfokus pada bagaimana menyiapkan para
mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan
yang siap menciptakan pekerjaan. Dirjen Dikti Depdiknas menyatakan,
bahwa proses pendidikan di perguruan tinggi kurang menyentuh persoalanpersoalan nyata di dalam masyakarat. Perguruan tinggi belum bisa
menghasilkan lulusan yang mampu berkreasi di dalam keterbatasan dan
berdaya juang di dalam tekanan (kompas.com, 14 September 2009).
Indikasinya dari realitas tersebut adalah banyak lulusan yang
walaupun berpengetahuan tinggi tetapi kurang mampu mensejahterakan diri
dan lingkungannya. Oleh karenanya pendidikan tinggi di Indonesia perlu
lebih menyiapkan lulusannya menjadi sarjana yang mampu hidup mandiri,
berkreasi, memanfaatkan sains dan teknologi serta seni yang telah
dipelajarinya. Demikian halnya di LPTK, mental dan orientasi karir hampir
seluruh mahasiswa dan lulusannya bercita-cita terbatas menjadi guru PNS
saja. Padahal jumlah lulusannya semakin banyak, sedangkan formasi yang
tersedia untuk itu, semakin lama semakin sempit.
Berdasarkan permasalahan diatas, perguruan tinggi diharapkan
memiliki perhatian serius terhadap mahasiswa dan lulusannya. Dalam
pengembangan kewirausahaan di kampus, juga dimaksudkan sebagai
jawaban atas kelangsungan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) 2009
dan 2010 yang dibiayai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas
yang mensyaratkan bahwa kelangsungan PMW sangat tergantung kepada
respon perguruan tinggi masing-masing dalam mengembangan
kewirausahaan mahasiswa, terutama keseriusan dalam pendirian lembaga
atau unit khusus yang secara khusus menangani pengembangan
kewirausahaan mahasiswa.
Sehingga Permasalahan pengangguran dari lulusan perguruan tinggi
yang pada tahun 2010 berjumlah 13,35% dari 8,2 juta lulusan diploma dan
sarjana di Indonesia.dapat di kurangi. Banyaknya jumlah perguruan tinggi
dikarenakan berbagai faktor, diantaranya :
1. Sistem pembelajaran yang diterapkan di perguruan tinggi saat ini
lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang
lebih cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan
yang siap menciptakan pekerjaan. Sehingga lulusannya lebih
bertindak sebagai pencari kerja (job seekers) ketimbang membuka
lapangan (job creators) pekerjaan bagi orang lain;

40

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

2. Masalah link and match antara lulusan perguruan tinggi dengan


dunia kerja sampai sekarang ini belum terselesaikan dengan baik.
Artinya lulusan perguruan tinggi masih dianggap kurang sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja, terutama oleh kalangan Dunia Usaha
dan Dunia Industri (DUDI). Menurut pandangan DUDI lulusan
perguruan tinggi (terutama S1) kurang siap pakai, cukup lama
menyesuaikan dengan lingkungan kerjanya (apabila sudah diterima
sebagai pegawai);
3. Kondisi seperti tersebut di atas, sebenarnya sebagai akibat dari
orientasi kurikulum perguruan tinggi yang dominan pada
pencapaian indeks prestasi akademik (IPK) dan penyelesaian masa
studi, sedangkan kompetensi lain misalnya bidang keterampilan
(life skills), softskill dan kewirausahaan belum banyak
dikembangkan. Pembinaan potensi mahasiswa selama di kampus
lebih dominan mengembangkan aspek kognitif, bakat dan minat
dengan tujuan sebatas untuk kepentingan mengisi waktu luang. Ada
kecenderungan mahasiswa dalam kegiatan ekstra kampusnya lebih
terfokus kepada hal-hal bidang politik ketimbang hal-hal bidang
ekonomi atau kewirausahaan;
4. Dari sisi demand tenaga kerja, yaitu dunia usaha dan indusktri
sebagai end user, daya serapnya hanya mencapai 10% sampai 15%,
sehingga setiap tahun terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja
yang tidak terserap. Akibatnya jumlah pengangguran, terutama dari
kalangan intelektual terus mengalami peningkatan.
II. KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan tentang Perguruan Tinggi Di Indonesia


Di Indonesia, perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, institut,
politeknik, sekolah tinggi, dan universitas. Perguruan tinggi dapat
menyelenggarakan pendidikan akademik, profesi, dan vokasi dengan
program pendidikan diploma (D1, D2, D3, D4), sarjana (S1), magister (S2),
doktor (S3), dan spesialis. Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang
memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan
(doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau
seni. Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang
bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pengelolaan dan regulasi perguruan tinggi di Indonesia dilakukan
oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Rektor
Perguruan Tinggi Negeri merupakan pejabat eselon di bawah Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Selain itu juga terdapat perguruan tinggi
yang dikelola oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
yang umumnya merupakan perguruan tinggi kedinasan, misalnya Sekolah

41

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Tinggi Akuntansi Negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.


Selanjutnya, berdasarkan undang-undang yang berlaku, setiap perguruan
tinggi di Indonesia harus memiliki Badan Hukum Pendidikan yang
berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta
didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan pendidikan nasional. Pada 31 Maret 2010, UU Nomor 9 Tahun
2009 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan seluruh perguruan tinggi
negeri yang sudah menjadi BHP, dikembalikan statusnya menjadi perguruan
tinggi yang diselenggarakan pemerintah. Undang-Undang No 12 Tahun
2012 menjadi hukum baru yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia.
2.2 Pengertian Dan Tujuan Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang
diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian (UU 2 tahun 1989, pasal 16, ayat (1)). Pendidikan
tinggi adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari pada
pendidikan menegah di jalur pendidikan sekolah (PP 30 Tahun 1990, pasal
1 Ayat 1) Tujuan pendidikan tinggi adalah :
1. Mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian serta mengoptimalkan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan
nasional ( UU 2 tahun 1989, Pasal 16, Ayat (1) ; PP 30 Tahun 1990,
Pasal 2, Ayat (1)
Di Inggris dan banyak negara jajahannya seperti Amerika Serikat
dan lain-lain, sebuah kampus terdiri dari universitas atau sekolah dengan
asrama atau tempat kos atau pondok para mahasiswa atau website kampus
[[1]]. Di sana sebuah gedung sekolah berada di kompleks yang sama dengan
gedung penginapan. Kampus secara harfiah adalah lapangan atau tegal. Ini
di ambil dari bahasa latin yaitu Campus yang memilikai arti lapangan.
Kemudian di terjemahkan menjadi daerah lingkungan bangunan utama
perguruan tinggi (universitas, akademi) tempat semua kegiatan belajarmengajar dan administrasi berlangsung. Biasanya kampus meliputi ruang
kuliah, perpustakaan, penginapan atau asrama bagi murid atau siswa, dan
ada tempat untuk dijadikan taman yang digunakan sebagai tempat
berdiskusi dan bersosialisasi. Kata kampus pertamakali digunakan untuk
menggambarkan sebuah perguruan tinggi (Universitas) di College Of New
Jersey sekarang Princeton University pada abad ke-18. Pada abad ke-20 kata
kampus di kembangkan menjadi makna sebuah universitas atau perguruan

42

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

tinggi. Namun definisi kampus juga ada yang menggunakan untuk


mengistilahkan tempat bangunan baik milik lembaga tertentu, akademik
maupun non akademik.
2.3 Konsep Kewirausahan
Pengertian Kewirausahaan secara umum adalah kewirausahaan
adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru atau kreatif dan
berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih. Menurut
Drs. Joko Untoro bahwa kewirausahaan adalah suatu keberanian untuk
melakukan upaya upaya memenuhi kebutuhan hidup yang dilakukan oleh
seseorang, atas dasar kemampuan dengan cara manfaatkan segala potensi
yang dimiliki untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan
orang lain. Dalam buku Entrepreneurial Finance oleh J.Leach Ronald
Melicher bahwa kewirausahaan adalah sebuah proses dalam merubah ide
menjadi kesempatan komersil dan menciptakan nilai (harga) "Process of
changing ideas into commercial opportunities and creating value". Dalam
buku Entrepreneurship
Determinant and Policy in European-Us
Comparison bahwa kewirausahaan adalah proses mempersepsikan,
menciptakan, dan mengejar peluang ekonomi "process of perceiving,
creating, and pursuing economic opportunities". Akan tetapi dikatakan
dalam buku tersebut, bahwa proses dari kewirausahaan itu sendiri sulit
untuk
diukur.
Menurut Eddy Soeryanto Soegoto bahwa kewirausahaan atau
entrepreneurship adalah usaha kreatif yang dibangun berdasarkan inovasi
untuk menghasilkan sesuatu yang baru, memiliki nilai tambah, memberi
manfaat, menciptakan lapangan kerja dan hasilnya berguna bagi orang lain.
Pengertian kewirausahaan menurut Ahmad Sanusi (1994)
kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang
dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan
hasil bisnis. Pengertian kewirausahaan menurut bapak Soeharto Prawiro
(1997) adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai usaha dan
mengembangkan usaha. Pengertian kewirausahaan menurut Drucker (1959)
bahwa kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan berbeda. Pengertian kewirausahaan menurut Zimmerer
(1996) adalah suatu proses penerapan kreativitas dan keinovasian dalam
memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
kehidupan usaha.
Pengertian
kewirausahaan
menurut
Siswanto
Sudomo
(1989) Kewirausahaan atau entrepreneurship adalah segala sesuatu yang
penting mengenai seorang wirausaha, yakni orang yang memiliki sifat
bekerja keras dan berkorban, memusatkan segala daya dan berani
mengambil risiko untuk mewujudkan gagasannya.

43

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Seseorang dikatakan wirausaha sudah tentu memenuhi definisi


wirausaha itu sendiri, untuk lebih jelasnya silahkan dibaca ciri ciri
wirausaha dibawah ini :
1. Memiliki keberanian mempunyai daya kreasi. Seorang wirausaha
haruslah memiliki keberanian dalam memiliki daya kreasi atau tidak
takut untuk bermimpi dan merencanakan. Segala ketakutan akan sia
sia dalam bermimpi dan berencana haruslah dihilangkan. Setidaknya
harus diingat STOP (Stop "berhenti, Think "berpikir", Observation
"Observasi" dan Plan "rencana") apabila terjadi hal hal yang
membuat ide tersebut tertunda atau mandek.
2. Berani mengambil risiko. Seseorang dikatakan wirausaha apabila
memiliki sifat berani mengambil risiko, hal ini tentu saja harus
sejalan dengan perencanaan yang sebelumnya telah dilakukan serta
pengamatan yang dilakukannya terhadap ide yang dimilikinya.
3. Memiliki semangat dan kemauan keras. Seorang dapat dikatakan
wirausaha selain berani mengambil risiko haruslah memiliki
semangat dan kemauan yang keras untuk sukses.
4. Memiliki analisis yang tepat. Seseorang dapat dikatakan wirausaha
apabila memiliki pengetahuan yang tepat untuk membuat analisis
yang tepat, diusahakan mendekati 100 % benar.
5. Tidak konsumtif. Ini adalah penyakit untuk masa sekarang. Seorang
wirausaha haruslah tidak konsumtif atau setidaknya, konsumsinya
jauh lebih sedikit dari penghasilannya.
6. Memiliki jiwa pemimpin. Jiwa pemimpin harus dimiliki seorang
wirausaha. Dengan ini, mereka mampu mengembangkan usaha
mereka menjadi lebih maju.
7. Berorientasi pada masa depan. Sudah jelas, bila anda seorang
wirausaha yang inovatif dan kreatif dan memiliki ciri ciri wirausaha
yang lain maka anda akan memiliki kemampuan ini.
III. PEMBAHASAN

3.1 Menuju Kampus Berbasis Enterpreneur


Menurut Sandiaga Uno, menciptakan lingkungan kewirausahaan di
kampus banyak anggapan bahwa berwirausaha adalah accident, tidak dapat
dipelajari dalam sebuah institusi formal. Anggapan tersebut kurang tepat
mengingat pendidikan formal merupakan tempat di mana manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuannya secara maksimal karena
lingkungan mendukung hal tersebut. Demikian diungkap Sandiaga Uno
dalam seminar Strategi Memulai dan mengembangkan Bisnis di kampus
Universitas Airlangga (Unair) tanggal 12 Juni 2011.
Sandiaga menjelaskan bahwa institusi formal, dalam hal ini
universitas berperan penting, dalam memajukan kewirausahaan di Indonesia
karena disitulah tempat membangun karakter wirausaha. Sandiaga juga
memaparkan bagaimana memulai dan mengembangkan bisnis bagi

44

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

mahasiswa. Rata-rata mahasiswa ragu memulai bisnis karena takut dengan


resiko.Segala hal yang kita lakukan ada resikonya. Tetapi resiko dapat
diminimalisir dengan mengambil usaha yang resikonya dapat dikelola
Ungkapnya.
Sandiaga memberikan contoh-contoh wirausahawan muda yang
sukses memulai usaha di usia muda, seperti : Andrew Darwis (Founder
KASKUS) yang idenya berawal dari hobi berkomunitas di dunia maya, kini
KASKUS menjadi situs komunitas terbesar di Indonesia. Kemudian Elang
Gumilang, ketika masih menjadi mahasiswa memiliki mimpi membangun
perumahan untuk rakyat miskin hingga akhirnya sekarang menjadi pemilik
Gemilang Poperty. Dengan tekad dan didukung oleh lingkungan pendidikan
yang kondusif, Sandiaga yakin akan banyak wirausaha mahasiswa yang
terdesain sehingga meminimalisir kegagalan.
Kemudian Imam B. Prasodjo (2016), dalam acara Dies Natalis ke-48
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI sebagai orator
menyampaikan orasinya yang berjudul Menumbuhkan Kampus
Kepedulian, Kampus Inovasi Sosial, Kampus Kewirausahaan Sosial, di
Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI. Dalam paparannya Imam
mendorong universitas kembali ke tujuan awalnya, yaitu dengan
pengetahuan dan teknologi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat. Kampus jangan sampai menjadi menara gading, tapi menjadi
menara air yang memberikan manfaat besar bagi orang di sekitarnya.
Kepedulian dan gerakan sosial adalah cara terbaik kampus untuk
memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun, menurutnya, gerakan sosial
yang banyak dilakukan oleh mahasiswa masih bersifat konvensional dan
tidak berkembang seperti bakti sosial, kerja bakti, donor darah atau
semacamnya. Sudah saatnya gerakan sosial ini menjadi sesuatu yang lebih
menekankan pada inovasi dan kewirausahaan, sehingga bentuk gerakan
sosial ini tidak selalu monoton.
Selanjutnya bahwa Kewirausahaan pertama kali muncul pada abad
18 diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin
pemintal, dll. Tujuan utama dari kewirausahaan adalah pertumbuhan dan
perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Keuntungan dan
kekayaan bukan tujuan utama pada awalnya. Namuan keuntungan dan
kekayaan sudah menjadi tujuan utama pada tataran masa kini. Hal ini bisa
jadi karena seorang entrepreneur tidak memiliki nilai-nilai dalam
pengembangan usahanya.
Salah seorang entrepreneur, dalam sebuah kesempatan mengatakan
kepada saya, apapun kesibukan Anda sebagai penggiat keilmuan,
mahasiswa, aktivis, dosen, pekerja atau lainnya, satu hal yang perlu saya
sarankan yaitu Anda harus memiliki jiwa entrepreneur sebagai
pendorong/penambah ekonomi keluarga. Indonesia ke depan menurutnya,
butuh entrepreneur dengan basis keilmuan, bukan menjadi kontraktor
apalagi menjadi politisi tanpa modal ekonomi dan modal intelektual.

45

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Menurut Khairunnas Djabo yang merupakan owner Raja Gabo


(2011), publik kita dapat mengambil hikmah, banyak cara untuk menambah
pendapatan dengan cara-cara elegan tanpa harus menyalahkan pemerintah
dan kampus. Saat ini yang dibutuhkan dari seorang mahasiswa dan alumnus
perguran tinggi adalah menumbuhkan tingkat kreativitas untuk eksistensi
hidup yang lebih bagus. Setiap mahasiswa harus mengetahui bahwa kampus
terus melakukan produksinya, sedangkan pemerintah sudah tak sanggup lagi
menerima hasil produksi kampus. Buktinya di beberapa instansi di
Pemerintahan dan swasta,ada beberapa dari mereka tak lagi menerima hasil
produksi kampus. Ini tandanya, kreativitas mahasisswa dan alumnus harus
didukung oleh rektorat kampus.
Jadi, kampus sebagai institusi yang menciptakan perubahan, sudah
seharusnya berperan aktif dalam bidang pengembangan usahawan muda.
Joseph Schumpeter (1934) mengatakan dengan wisausahawan seseorang
inovator yang akan mengimplimentasikan perubahan-perubahan di dalam
pasar melalui kombinasi-kombinasi baru nantinya. Menurutnya, kombinasi
baru itu bisa dilakukan dalam bentuk, menciptakan produk baru, metode
produksi baru, membuka pasar yang baru dengan melakukan identifikasi
peluang-peluang yang baru pula dengan basis keilmuan dan pengetahuan.
3.2 Strategi menuju Kampus Kerbasis Entrepreneur
Strategi secara umum untuk menuju Kampus Berbasis Entrepreneur
sehingga terwujudnya Sentra Bisnis / Campus Entrepreneur Center maka
beberapa langkah langkah yang harus di tempuh sebagai berikut :
a. Menambah/Mengubah Visi dan Misi Perguruan Tinggi/Kampus
dengan
Berbasis
Entrepreneur.
Program
Pengembangan
Kewirausahaan dari Ditjen Dikti Depdiknas, termasuk salah satu
yang menjadi program unggulan dan sangat mendesak yang akan
mendapat perhatian besar mulai tahun 2010, yang antara lain
mendirikan Pusat Kewirausahaan di 100 PTN/PTS se Indonesia.
b. Membuat kurikulim khusus kewirausahaan (entrepreneur). Belum
terlambat bagi lembaga pendidikan tinggi atau kampus yang
senantiasa melakukan inovasi, IPTEK untuk merancang dan
menyusun kurikulum berbasis entrepreneur pada semua level
program studinya.
c. Membangun sentra bisnis kampus (Campus Entrepreneur Center).
Pada tingkat nasional, saat ini telah didirikan perkumpulan
Entrepreneurship Center. Adapun beberapa peluang bisnis yang
signifikan sesuai dan terintegrasi dengan berbagai program kegiatan
kampus serta stakeholder adalah : usaha Pothocopy, percetakan dan
penerbitan, mini market kampus, restoran atau kantin.
d. Membangun sentra bisnis kampus perfakultas. Misalnya pada
Fakultas Ekonomi Bisnis sesuai dengan bidang keahliannya maka
perlu didirikan kebutuhan pengelolaan keuangan kampus seperti :

46

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

usaha koperasi dan perbankan/LKM untuk pengelolaan keuangan


fakultas misalnya sebagai sarana pembayaran mahasiswa dan
sekaligus tempat menabung bahkan meminjam uang bagi mahasiswa
maupum dosen dan civitas lainnyan. Pada Fakultas Keguruan
mengadakan usaha jasa konsling, Pada Fakultas Ilmu Pemerintahan
mengadakan usaha jasa konsultan politik, pada Fakultas Pertanian
mengadakan usaha budidaya pertanian atau perikanan, dan pada
Fakultas Teknis mengadakan usaha atau jasa kosultan
bangunan/arsitektur.
IV. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Fenomena yang menjadi problematika bangsa dan perguruan


tinggi/kampus adalah :
1. Visi, misi, tujuan dan sasaran pengembangan kampus yang lebih
berorientasi proses (Proces Ooriented) ketimbang hasil (Goal Ooriented)
dimana
ada kecenderungan mahasiswa dalam kegiatan ekstra
kampusnya lebih terfokus kepada hal-hal bidang politik ketimbang halhal bidang ekonomi atau kewirausahaan (entrepreneur) maka di tuntut
kampus agar berani mengubah haluan kebijakan atau aturan dalam visi
dan misi Kampus yaitu dengan menambah/mengubah visi dan misi
perguruan tinggi kampus dengan berbasis entrepreneur.
2. Penerapan kurikulum perguruan tinggi yang berorientasi
pada
pencapaian indeks prestasi akademik (IPK) dan penyelesaian masa studi
untuk mendapat gelar, sedangkan kompetensi lain misalnya bidang
keterampilan (life skills), softskill dan kewirausahaan (entrepreneur)
belum banyak dikembangkan. Pembinaan potensi mahasiswa selama di
kampus lebih dominan mengembangkan aspek kognitif, bakat dan minat
dengan tujuan sebatas untuk kepentingan mengisi waktu luang. Masih
kurang mengasah aspek psikomotorik yaitu keterampilan (skill) dan
terkait dengan problema ini kampus memerlukan kurikulum khusus
tentang kewirausahaan/entrepreneur.
3. Ketidakmampuan bangsa untuk menyiapkan lapangan kerja bagi
pengangguran pada umumnya dan pengangguran intelektual khususnya.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia
sangat tinggi. Tingginya angka pengangguran dan sangat terbatasnya
lapangan kerja yang tersedia, maka dalam hal ini tuntutan intervensi
kampus sangat diharapkan agar mampu membangun, mengelola dan
memberdayakan/memanfaatkan sentra bisnis kampus (Campus
Entrepreneur Center). Sehingga kampus menjadi kampus yang berdaya
saing dan berdaya guna bagi pembangunan kampus khususnya dan
pembangunan ekonomi bangsa secara umum dalam skala nasional dan
global.

47

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

DAFTAR PUSTAKA
Asmini. 2007. Mengubah Paradigma Pendidikan Berorientasi Birokrasi
Menuju Paradigma Pendidikan Entrepreneur. Jurnal Ilmiah Kreatif
LP2M STAIM Bima.
Eddy Soeryanto Soegot. 2009. Entrepreneurship Menjadi Pebisnis Ulung.
Jakarta Kompas Gramedia.
Diposkan oleh Herdi di 04.33 Sumber: Buku Pintar Pelajaran oleh Drs.Joko
Untoro dan Tim Guru Indonesia
Diposkan oleh Fajri Rahmawati di 05.27Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!
Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
EmailBlogThis!Berbagi
Pinterest

ke TwitterBerbagi

ke FacebookBagikan ke

Imam B. Prasodjo Senin (1/2/2016)


acara Dies Natalis ke-48
menyampaikan orasinya yang berjudul Menumbuhkan Kampus
Kepedulian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI acara
Dies Natalis ke-48
Khairunnas Djabo Owner RAJA JABO Groupwww.anazdjabo.com 17
Maret 2011 pukul 21:52
Masud Machfoedz, Prof Dr. Mba. 2004. Kewirausahaan suatu Pendekatan
Kontemporer. YKPN. Yokjakarta
UU 2 tahun 1989, Pasal 16, Ayat (1) ; PP 30 Tahun 1990, Pasal 2, Ayat (1)
^ "Sejarah Singkat FKUI", Situs Resmi FKUI, diakses Mei 2007

48
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Analisis Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan


Di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa
Oleh :
Puput Ayu Septianita
Syafruddin
Subhan Purwadinata

ABSTRAK
Di samping sumber daya alam dan sumber daya manusia, alternatif
pembiayaan pembangunan dapat dicapai melalui pemberdayaan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). PBB adalah salah satu unsur Pendapatan
Daerah Sendiri (PDS). PDS merupakan salah satu sumber penerimaan
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pajak Bumi dan
Bangunan pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi
penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu,
namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang
No. 28 Tahun 2009 pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan
menjadi sepenuhnya pajak daerah. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di
Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa tahun 2014. Hasil penelitian
menunjukan bahwa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di kecamatan
Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa tahun 2014 berada dalam kategori kecil.
Hal ini jika dilihat dari perbandingan antara realisasi dengan target yang
telah ditetapkan yaitu sebesar 57,07%.
Kata Kunci : Pajak Bumi dan Bangunan

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di samping sumber daya alam dan sumber daya manusia, alternatif
pembiayaan pembangunan dapat dicapai melalui pemberdayaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB). PBB adalah salah satu unsur Pendapatan Daerah
Sendiri (PDS). PDS merupakan salah satu sumber penerimaan dalam
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pajak Bumi dan Bangunan
pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya
dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian
dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya
pajak daerah.

49
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Pajak bumi dan bangunan (PBB) mempunyai dampak yang luas,


karena penerimaan PBB diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah
sebesar 90 % dan 10% sebagai penerimaan kembali kepada Pemerintah
Pusat (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999), Pajak Bumi dan Bangunan
mempunyai jumlah Wajib Pajak (WP) terbesar dibandingkan dengan pajak pajak lain, Penerimaan PBB dari tahun ketahun terus meningkat dan PBB
merupakan satu -satunya pajak potensi di Indonesia. Berdasarkan UndangUndang ini memberikan semangat bagi daerah-daerah untuk meningkatkan
berbagai aspek yang berhubungan dengan pajak bumi dan bangunan. Ini
yang merupakan alasan pertama pentingnya penelitian ini. Selain itu,
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penerimaan
Pajak Bumi Bangunan merupakan input penting bagi Direktorat Jenderal
pajak bidang PBB dan instansi lain yang terkait sehingga mempunyai
peranan yang penting dalam upaya meningkatkan keberhasilan penerimaan
perpajakan khususnya Pajak Bumi dan Bangunan.
Tubagus (2013) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan pajak antara lain: kapasitas Administrasi yang
tercermin dari jumlah penagihan, jumlah penetapan yang berdasarkan pada
peringkat Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. Jumlah wajib
pajak yang berlandaskan pada masyarakat, khususnya wajib pajak dan
lingkungan. Dengan kata lain bahwa faktor-faktor keberhasilan perpajakan
adalah faktor administrasi negara dan pajak, faktor undang-undang dan
peraturan pelaksanaan perpajakan, dan faktor masyarakat, khususnya wajib.
1.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Kecamatan Moyo Hilir
Kabupaten Sumbawa tahun 2014.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Sutikno Novianti, R. (2013) dengan penelitian yang berjudul
Analisis Retribusi Pasar Dan Retribusi Parkir Terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Di Kabupaten
Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menelaah perkembangan penerimaan retribusi pasar dan retribusi
parkir sebelum dan sesudah otonomi daerah, untuk menelaah besarnya
kontribusi retribusi pasar dan retribusi parkir sebelum dan sesudah otonomi
daerah terhadap pendapatan asli daerah, serta untuk menelaah apakah
retribusi pasar dan retribusi parkir sebelum dan sesudah otonomi daerah di
Kabupaten Kotawaringin Timur sudah efisien dan efektif. Metode analisis
data yang digunakan adalah Pertama; Analisis pertumbuhan, pada analisis
pertumbuhan ini akan digunakan untuk mengetahui perkembangan

50
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Pandapatan Asli Daerah disamping untuk mengetahui berapa besar kenaikan


dan penurunan dalam tiap-tiap tahunnya, Kedua; Analisis kontribusi, dan
Ketiga; Analisis Efisiensi dan Efektivitas. Hasil analisis pertumbuhan
menunjukkan bahwa perkembangan penerimaan retribusi pasar dari tahun
ketahunnya selalu mengalami peningkatan sedangkan penerimaan dari
retribusi parkir selalu berfluktuasi behkan cendrung menurun.
Perkembangan penerimaan Pendapatan Asli Daerah juga mengalami
fluktuasi. Analisis Kontribusi menunjukkan bahwa kontribusi penerimaan
retribusi pasar dan retribusi parkir terhadap Pendapatan Asli Daerah
mengalami fluktuasi. dan untuk analisis efisiensi dan efektifitas
menunjukkan bahwa penerimaan yang berasal dari retribusi pasar dapat
dikategorikan memiliki tingkat efisien yang cukup sedangkan penerimaan
dari retribusi parkir, hanya pada sesudah otonomi daerah memiliki tingkat
efisien yang kurang dibandingkan sesudah otonomi daerah. Sedangkan pada
tingkat efektivitas pengelolaan retribusi pasar dan retribusi parkir sebelum
dan seudah otonomi daerah memiliki grade yang efektif (lebih dari 100%).
Randa M. (2013) yang melakukan penelitian tentang Analisis
Kontribusi Pajak Hotel dan Pajak Restoran Terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kabupaten Tana Toraja. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
Mengetahui seberapa besar kontribusi pajak hotel dan pajak restoran
terhadap pendapatan asli daerah tahun anggaran 2007-2011, (2) Mengetahui
sejauh mana sistem pengawasan dan potensi yang ada untuk meningkatkan
pajak hotel dan restoran di Kab. Tana Toraja tahun anggaran 2007-2011, (3)
Mengetahui bagaimana sistem dan prosedur pemungutan pajak hotel dan
restoran yang ada untuk meningkatkan pajak hotel dan restoran di Kab.
Tana Toraja tahun anggaran 2007-2011, (4) Mengetahui apakah
pelaksanaan pemungutan pajak hotel dan restoran di Kab. Tana Toraja telah
sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009, dan Perda Tana Toraja No. 3 Tahun
2011. Data penelitian ini diperoleh dari wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem pengawasan pajak
hotel dan restoran belum memadai, dimana belum berjalannya pengawasan
langsung. Sistem pemungutan pajak menggunakan sistem Official
Assesment dan Semi Self Assesment, dan Prosedur pemungutan pajak
dilakukan dengan bertahap yaitu: (1) proses pendaftaran wajib pajak hotel
dan restoran baru, (2) proses pendaftaran, pendataan, dan
perhitungan/penetapan pajak hotel dan restoran, (3) proses pembayaran dan
penagihan pajak hotel dan restoran. Pelaksanaan pemungutan pajak hotel
dan restoran telah sesuai dalam setiap aspek dengan UU No.28 Tahun 2009
dan Perda Tana Toraja No. 3 Tahun 2011, kecuali dalam hal
penyelenggaraan pembukuan oleh wajib pajak.

51
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

2.2. Landasan Teori


2.2.1. Pengertian Pajak
Menurut Guritno Mangkusubroto (2013) Pajak dapat didefinisikan
sebagai pungutan yang merupakan hak pemerintah, pungutan tersebut
didasarkan pada undang-undang, pungutannya dapat dipaksakan kepada
subjek pajak untuk manaati dan ada balas jasa yang secara langsung dapat di
tunjukkan penggunaannya. Pengertian tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Mardiasmo (2012), yang mengartikan pajak sebagai
pembayaran iuran dari rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan
dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk.
Menurut Rochmat Sumitro (1988:12) Pajak adalah iuran rakyat
pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di
tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran
umum.Dapat di paksakan mempunyai arti,apabila utang pajak tidak di
bayar,utang tersebut di tagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita,
lelang dan sandera. dengan demikian, ciri-ciri yang melekat pada pengertian
pajak adalah sebagai berikut.
1. Pajak di pungut berdasarkan Undang-Undang
2. Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung
3. Pajak dipungut oleh pemerintah,baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
4. Dapat di paksakan (bersifat yuridis).
Menurut Brotodiharjo (1982:2) : Pajak adalah iuran rakyat kepada
negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya berdasarkan peraturan-peraturan,dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk dan yang dapat di gunakan
untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintah.
Menurut Tony Marsyahrul (2004:5) : Pajak daerah adalah pajak
yang di kelolah oleh pemerintah daerah (baik pemerintah daerah TK.I
maupun pemerintah daerah TK.II) dan hasil di pergunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD).
Menurut Mardiasmo, (2002:5) : Pajak adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di gunakan untuk membiayai
penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Soemitro (2001) secara tegas menyatakan bahwa pajak adalah
peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah,berdasarkan
peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan mengurangi income anggota
masyarakat tanpa memperoleh imbalan secara langsung tetapi sebaliknya
pajak merupakan income bagi masarakat yang digunakan untuk membiayai

52
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

pengeluaran-pengeluaran masyarakat dalam suatu Negara. Menurut Waluyo


(2012) yang menyatakan,bahwa Pajak adalah iuran wajib kepada kas
Negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk pengeluaran umum.
Menurut pengertian diatas, pajak adalah iuran negara disetor oleh
wajib pajak ke kas daerah/negara yang pemungutannya berdasarkan
undang-undang dengan tiada jasa timbal balik secara langsung, tetapi akan
dialokasikan kepada kepentingan masyarakat umum dalam bentuk
pembangunan. Selain itu, berdasarkan beberapa pengertian yang
dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan,bahwa pajak adalah
iuran dari rakyat kepada Negara yang dipungut berdasarkan undang-undang
dengan tidak terdapat jasa timbal balik atau kontra prestasi dari negara
dalam rangka pembiayaan negara.
Lebih lanjut dikatakan oleh Waluyo (2011 : 13),bahwa pajak
memiliki beberapa ciri utama yang melekat, yaitu :
1. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah) berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual oleh pemerintah (tidak hubungan langsung antara jumlah
pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individual).
3. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah yang apabila dari
pemasukannya masih terdapat Surplus dipergunakan untuk membiayai
public investment,sehingga tujuan yang utama dari pemungutan pajak
adalah sebagai sumber keuangan Negara.
4. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan,kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
2.2.2. Syarat Pemungutan Pajak
Syarat pemungutan pajak menurut Waluyo & Wirawan B.Ilyas,
(2002) dapat pula dibagi dalam :
1) Falsafah Hukum
Hukum pajak harus mendasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan
ini sebagai asas pemungutan pajak.
2) Syarat Yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan hukum pajak harus memberikan
jaminan hukum kepada Negara atau warganya.Oleh karena itu
pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan
hukum pemungutan pajak di Indonesia Pasal 23 ayat (2) UndangUndang dasar 1945.
3) Syarat Ekonomis

53
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Syarat ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa Negara


menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat.
4) Syarat Pemungutan pajak lainnya
Terdapat tiga syarat yang digunakan untuk memungut pajak dalam
pajak penghasilan .
5) Syarat Tempat Tinggal
Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh
penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal wajib pajak.
6) Syarat Kebangsaan
Pengenaan pajak di hubungkan denagn suatu negara. Syarat ini
diberikan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
untuk membayar pajak.
7) Syarat Sumber
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang
bersumber pada suatu negara yang memungut pajak.
Wirawan (2002) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan
pemungutan pajak perlu memegang tenguh asas-asas pemungutan dalam
memilih alternatif pemungutan pajak yang didasarkan pada :
1. Equality ( Prinsip Keadilan )
Artinya pemungutan pajak harus bersifat final,adil,dan merata,yaitu
dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak (Ability to pay) dan sesuai dengan
manfaat yang diterima . Adil berarti bahwa setiap wajib pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan
kepentingan dan manfaat yang diminta .
2. Certainty (Prinsip Kepastian)
Artinya penerapan pajak itu dapat ditentukan sewenang-wenang . Oleh
karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak
terutang , kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran.
3. Convenience (Prinsip Kelayakan )
Artinya kapan wajip pajak harus membayar pajak sebaiknya sesuai
dengan saat -saat yang tidak menyulitkan wajib pajak .
4. Economiy (Prinsip Ekonomi )
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak diharapkan seminimal mungkin , demikian pula beban
yang dipikul wajib pajak.
2.2.3. Sifat dan Asas Pajak dan Bangunan
Seperti yang tercantum dalam UU No.12 tahun 1985 yang diubah
dengan UU No.12 tahun 1994 yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan
Bangunan
adalah
pajak
negara
yang
bersifat
kebendaan
(Objektif/Zakelyk), artinya penetapan pajak tidak melihat kemampuan
ekonomis subjek pajak.

54
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Menurut mardiasmo (2009) tujuan diadakannya perubahan


perundangan-undangan PBB adalah untuk;
1. Menyederhanakan peraturan perundang-undangan pajak sehingga
mudah dimengerti oleh rakyat.
2. Memberikan dasar hukum yang kuat pada pungutan pajak atas harta tak
bergerak dan sekaligus menyerasikan pajak tersebut.
3. Memberikan kepastian hukum pada masyarakat ,sehigga rakyat
mengerti hak dan kewajibannya.
4. Menghilangkan pajak ganda yang terjadi sebagai akibat berbagai
undang-undang pajak yang sifatnya sama .
5. Memberikan pengasilan kepada daerah yang sangat di perlukan untuk
menegakkan otonomi daerah dan untuk pembangunan daerah.
Pajak bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat, tetapi
penerimaannya sebagian besar diserahkan kepada daerah. Pajak ini
dikenakan atas harta tak bergerak dan yang menjadi dasar pengenaanya
adalah obyeknya bukan subyeknya ;karena subyek pajak tidak
mempengaruhi besarnya pajak;oleh karena itu PBB Bersifat obyektif. PBB
juga disebut pajak langsung Karena pajak terhutang dan harus di pikul
sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Menurut undang-undang No.12 tahun 1985 yang diubah undangundang No.12 tahun 1994 pasal 2 obyek pajak PBB adalah bumi
dan/bangunan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
yang berada dibawahnya (permukan bumi meliputi tanah dan perairan
pedalaman). Secara umum yang dimaksud daerah bumi tidak lain adalah
tanah yang meliputi tanah pekarangan,sawah,empang,perairan dan laut.
Pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan
secara tetap pada tanah,yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal(misalnya
rumah,gedung,kantor,hotel atau pabrik). Disamping itu yang termasuk
dalam pengertian bangunan yang berupa jalan lingkar yang terletak dalam
satu kelompok bangunan,jalan tol,kolam renang,pasar mewah,tempat
penampungan atau kilang minyak dan fasilitas yang dapat memberikan
manfaat.
Pasal 2 subyek pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah orang atau
badan
yang
secara
nyata
mempunyai
hak
atas
dan/atau
bangunan,memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan yang
memiliki,menguasai atas bangunan. Dengan kata lain setiap orang atau
badan yang secara nyata mempunyai hak dan memperoleh hak dan
memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan dapat dikenakan PBB,
sekalipun orang atau badan tersebut menyewa atau hanya sekedar
menumpang.

55
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Pasal 3 obyek pajak bumi dan bangunan (PBB) yang tidak dikenakan
PBB adalah obyek yang digunakan untuk :
1. Semata-mata untuk melayani kepentingan umum, di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, serta tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
2. Digunakan untuk kuburan/makam,peninggalan purbakala atau
sejenisnya.
3. Digunakan perwakilan Diplomatik,dengan syarat Negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
4. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh mentri keuangan.
Undang-undang yang mengatur Pajak Bumi dan Bangunan adalah
Undang-undang No.12 tahun 1985,sebagaimana di ubah dengan Undang
undang No.12 tahun 1994 tentang perubahan sisitem perpajakan. Dalam
undang-undang tersebut bahwa dasar pemungutan PBB berupa nilai sewa
(atau hasil) per tahun, kemudian diubah menjadi nilai jual bumi dan
bangunan.
Menurut undang-undang No. 12 tahun 1994,tentang pajak bumi dan
bangunan adalah yang dikenakan kepada bumi, artinya tanah yang
digunakan wajib pajak dalam melakukan pembangunan dan bangunan yang
di letakkan diatas tanah dengan menggunakan teknik tanam, sehingga
pemerintah wajib memungut pajak dari bangunan tersebut.
Bumi yang dimaksud dalam Undang-undang ini meliputi ;
1. Tanah yang digunakan untuk pembangunan perubahan
2. Lahan pertanian
3. Lahan perkebunan
4. Perhutanan
5. Pertambangan
Sementara pembangunan menurut Undang-undang ini mencakup :
1. Jalan linkungan dalam satu kesatuan dengan koplek bangunan.
2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
6. Galangan kapal
7. Dermaga
8. Tanah mewah
9. Tempat penampungan / kilang minyak,air dan gas
10. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Ciri-ciri / karakteristik khusus PBB (Bambang Suhardito dan
Bambang Sudibyo dalam Flaternesi), adalah sebagai berikut :
1. Jumlah Wajib Pajak (WP) PBB besar, terbanyak dibandingkan wajib
pajak lain.

56
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

2.
3.
4.
5.

Aktivitas penagihan melalui aparat Pemerintah Daerah,Departemen


Keuangan .
Direktorat jendral PBB ikut menikmati atau memanfaatkan Keuangan
Pemerintah Daerah.
Dari segi tujuan pengenaannya,menurut Guritno (1999) PBB bertujuan
untuk menjadi sumber penerimaan Pemerintah selain PPN dan PPH.
PBB dipakai sebagai bagunan pinjaman (pembangunan daerah).
Perlakukan terhadap dana hasil pemungutan PBB sebagai dana rutin
dan bersifat pembangunan umum, bukan pengelolaan terpadu dan
bukan sebagai cadangan pelunasan hutang.

2.2.4. Subyek Pajak dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan


Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
hak atas bumi dan atau bangunan .Dimana juga meliputi orang atau badan
yang menguasai tanah dan atau bangunan bahkan juga orang atau badan
yang memperoleh manfaat dari tanah dan atau bangunan ,tanpa memiliki
atau mempunyai hak yang sah atas tanah dan atau bangunan .Dengan
demikian orang atau badan yang terang-terangan mempunyai hak-hak atas
tanah dan bangunan, baik hak untuk menguasai atau memiliki ataupun hak
memperoleh manfaat dari tanah atau bangunan tersebut dengan alasan
menggunakan wilayah Indonesia, sehingga wajib dikenakan pajak.
Menurut Azhari (2001:85) bahwa subjek pajak bumi dan bangunan
adalah orang atau badan secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan
atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
Dari pengertian diatas, subyek pajak bumi dan bangunan adalah
orang atau badan yang dengan jelas menguasai, memiliki atau memperoleh
manfaat atau tanah dan bangunan yang menjadi haknya dan secara implisit
dapat dikatakan bahwa subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah :
1. Orang atau badan yang mempunyai hak atas bumi, manfaat atas
bumi,hak dan manfaat atas bumi.
2. Orang atau badan yang memiliki bangunan, menguasai bangunan,
memanfaatkan bangunan, mempunyai hak manfaat atas bumi serta
memiliki atau menguasai bangunan diatas bumi.
3. Orang atau badan yang mempunyai hak dan manfaat atas bumi dan
bangunan.
Setiap orang atau badan mempunyai hak atas tanah ,hak atas
bangunan atau manfaat yang diperoleh dari hak atas tanah dan bangunan
wajib dikenakan pajak bumi dan bangunan. Subjek pajak PBB, belum tentu
merupakan wajib pajak PBB. Subjek pajak baru merupakan wajib pajak
PBB kalau memenuhi syarat-syarat objektif yaitu mempunyai subjek PBB
yang dikenakan pajak. Mempunyai objek yang dikenakan pajak, memiliki,
menguasai atau memperoleh manfaat dari objek kena pajak.orang atau

57
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

badan yang mempunyai hak, memiliki, menguasai, atau mendapat manfaat


dari bangunan nilai jual kena pajaknya kurang dari Rp. 8.000.000, (berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1994) tetap merupakan subjek
pajak tetapi bukan wajib pajak .orang atau badan yang mempunyai hak atas
,memiliki menguasai atau memperoleh manfaat dari objek (tahan dan atau
bangunan ) yang di bebaskan dari PBB, tidak di kenakan pajak sehingga
bukan merupakan wajib pajak, tetapi ia tetap merupakan subjek pajak.
2.2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan PBB.
Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah
kapasitas administrasi yang tercermin dari jumlah surat penagihan
(Tubagus, 2013). Kapasitas administrasi pemerintah pada umumnya dan
administrasi perpajakan khususnya jelas mempengaruhi kemampuan
pemungutan pajak. Dalam hal ini untuk dapat melayani pemenuhan
kewajiban perpajakan dan sekaligus menggali potensi perpajakan perlu di
tetapkan sistem chek baik antar kantor pelayanan PBB maupun dengan
menggunakan cross dari data instansi di luar KP-PBB. Potensi perpajakan
mempunyai kaitan yang erat dengan administrasi perpajakan, syarat
terpenting untuk mencapai penerimaan yang maksimum untuk menggali
potensi perpajakan dengan sistem administrasi
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-503
/PJ /2000 tanggal 22 november 2000 tentang : Tata cara penerbitan surat
tagihan Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB, penagihan pajak dilakukan
berdasarkan utang pajak yang belum dibayar (tunggakan pajak) yang
tercantung dalam ketetapan pajak kegiatan penagihan dapat di jadikan
indikator seberapa besar tunggakan pajak dapat direalisasikan.
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan
menerbitkan atau mengirim surat penagihan kepada Wajib Pajak yang
menunggak (setelah jatuh tempo belum melunasi kewajiban pajaknya )
dengan baik. Dalam jangka waktu 1 minggu setelah tanggal jatuh tempo
dikirim surat teguran. Setelah 1 minggu surat teguran tidak ditanggapi maka
di terbitkan surat panggilan SKP (Surat ketetapan Pajak); dimana
ketetapannya ditambah 25 % dari hasil perhitungan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
2.2.6. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang dimaksud objek PBB adalah Bumi dan atau Bangunan. Bumi
adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya .
permukaan bumi itu sebetulnya tidak lain dari pada tanah . jadi yang
menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan itu adalah tanah ( perairan ) dan
tubuh bumi. Sedangkan bangunan yang juga dijadikan objek PBB adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah (dan

58
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

atau perairan), yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat


berusaha atau tempat yang dapat di usahakan .
Objek pajak bumi dan bangunan menunjukkan sasaran yang tepat
dan dijadikan sebagai sumber pendapatan oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan tugas Negara,pembangunan dan pemerintahan. Objekobjek pajak dibedakan atas nama objek pajak yang benar-benar dikenakan
pajak dan mana yang tidak dikenakan pajak agar dalam pemungutannya
tidak keluar dari ketentuan yang telah digariskan. Mardiasmo (2011:195)
menyatakan bahwa objek pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak
yang dimiliki, dikuasai dan digunakan oleh pemerintah pusat daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut pengertian diatas,objek pajak bumi dan bangunan adalah
menunjukkan objek yang dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah
daerah/negara berkaitan dengan pajak bumi dan bangunan adalah
menyangkut masalah klasifikasi bumi dan bangunan,karena hal ini akan
membantu didalam perhitungan besarnya pajak bumi dan bangunan yang
dikenakan kepada objek pajak, penentuan terhadap klasifikasi bumi adalah
letak, peruntukan, pemanfaatan dan kondisi bangunan,sedangkan penentuan
klasifikasi bangunan faktor bahan yang digunakan, rekayasa, letak dan
kondisi lingkungan. Penentuan-penentuan klasifikasi ini dimaksudkan untuk
menghasilkan besarnya pungutan pajak bumi dan bangunan yang tepat dan
besar sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Berdasarkan ketentuan,bahwa objek pajak bumi dan bangunan yang
tidak dikenakan pajak adalah:
1. Digunakan untuk melayani kepentingan umum, seperti tempat ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan.
2. Kuburan peninggalan purbakala.
3. Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan suaka, taman nasional, tanah
pengembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas
perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan atau pewakilan internasional yang ditentukan
oleh menteri keuangan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yaitu
metode penelitian yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada
dengan cara mengumpulkan data, menyusun data, menjelaskan data serta
menganalisa data yang berupa angka-angka dengan tujuan membuat
deskripsi, gambaran secara sistematis, aktual, akurat mengenai fakta-fakta.

59
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

3.2. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka yang dalam penelitian ini dalam
bentuk data realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan di Kecamatan
Moyo Hilir kabupaten Sumbawa tahun 2010-2015. Sementara itu, dilihat
dari sumber data maka data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang
telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan,
jurnal, dan lain-lain. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu realisasi
penerimaan pajak bumi dan bangunan di Kecamatan Moyo Hilir Kab.
Sumbawa tahun 2010-2015.
3.3. Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
dokumenter (documentary study). Studi dokumenter merupakan suatu
teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumendokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.Dokumen
yang telah diperoleh kemudian di analisis (diurai), dibandingkan dan
dipadukan (sintesis) mebentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan
utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan
atau laporan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen yang
dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumendokumen tersebut.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah realisasai penerimaan pajak
bumi dan bangunan. Pajak bumi dan bangunan adalah salah satu dari pajak
pusat yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan yang diatur berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994; Kemudian PP No. 25 tahun 2002
tentang dasar perhitungan PBB (NJKP).
3.5. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif yaitu dengan cara mendeskripsikan, menjelaskan
gambaran secara sistematis, aktual, akurat mengenai fakta-fakta penerimaan
pajak bumi dan bangunan di Kecamatan Moyo Hilir Kab. Sumbawa.

60
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

IV. HASIL ANALISIS


Penelitian ini di laksanakan dari bulan september sampai oktober
pada area Kantor Kecamatan Moyo Hilir. Adapun jumlah populasi yang
menjadi subjek penelitian adalah 10 Desa yang menjadi wajib pajak, untuk
lebih jelasnya tentang penelitian ini dapat dilihat di lampiran.
Tabel 4.1
Table Data Target Dan Realisasi Pajak Bumi Dan Bangunan
Tahun 2014 Di Wilayah Kecamatan Moyo Hilir
NJKP/
No.
Desa
Target
Tarif
Ket.
wajib pajak
1
Moyo
46.476.536
46,118,493
1.040
2
Moyo
21,906,592
16,622,969
665
Mekar
3
Serading
86,260,745
48,060,825
2.000
4
Kakiang
66,942,922
28,002,638
1.307
5
Poto
27, 970,478
20,216,337
1.808
6
Berare
40,252,363
22,124,826
1.184
7
Batu
43,332,061
16,832,622
748
Bangka
8
Ngeru
48,760,236
12,172,742
530
9
Olat Rawa
50,253,026
18, 444,713
720
10 Lab. Ijuk
20,940,107
14,203,234
474
Jumlah
453,095,066 242,799,399
10,476
(Sumber : Kantor Kecamatan Moyo Hilir)
Tabel diatas menunjukkan target dan realisasi pajak bumi dan
bangunan tahun 2014 di wilayah kecamatan moyo hilir. Table diatas
menunjukkan jumlah desa yang berada di kecamatan moyo hilir, jumlah
target yang harus di capai masing-masing desa, jumlah tariff yang telah di
tentukan dari kantor kecamatan, dan jumlah NJKP/wajib pajak. Data diatas
diperoleh dari kantor kecamatan moyo hilir yang di berikan setelah penulis
melakukan penelitian.
Table 4.2
Daftar Jumlah Target Dan Realisasi Pajak Bumi Dan Bangunan
Dikantor
Kec. Moyo Hilir Tahun 2014
NJKP/
No.
Desa
Target
Tarif
Realisasi
wajib pajak
1
Moyo
46.476.536
46,118,493
1.040
47,963,032
2
Moyo Mekar
21,906,592
16,622,969
665
11,054,274
3
Serading
86,260,745
48,060,825
2.000
96,121,650
4
Kakiang
66,942,922
28,002,638
1.307
36,599,447
5
Poto
27, 970,478
20,216,337
1.808
36,551,137

61
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

6
7
8
9
10

Berare
40,252,363
22,124,826
1.184
26,195,793
Batu Bangka
43,332,061
16,832,622
748
12,590,801
Ngeru
48,760,236
12,172,742
530
6,451,553
Olat Rawa
50,253,026
18, 444,713
720
13,280,193
Lab. Ijuk
20,940,107
14,203,234
474
6,732,332
Jumlah
453,095,066 242,799,399
10,476
293,540,412
(Sumber : Data diolah)
Dilihat dari berbagai aspek masalah dan informasi-informasi yang
telah di dapat oleh peneliti disini dapat dibahas bahwa jumlah angka yang
terealisasi dari pajak bumi dan bangunan pada kec. Moyo Hilir dapat di
kategorikan cukup besar. Dari tabel di atas dapat diketahui pula bahwa
jumlah wajib pajak pertahunnya sebesar 10,476 orang dengan jumlah tarif
pertahunnya sebasar Rp.242,799,399 serta jumlah realisasi pertahunnya
sebesar Rp.293.540.412.
Tabel 4.3
Realisasi pajak bumi dan bangunan tahun 2014
Realisasi
No.
DESA
NJKP/Desa
Target
%
PBB
1 Moyo
1.040
46.476.536
47,963,232
100 %
2 Moyo
665
21,906,592
11,054,274
50,4 %
Mekar
3 Serading
2.000
86,260,745
96,121,650
100%
4 Kakiang
1.307
66,942,922
36,599,447
54,6 %
5 Poto
1.808
27, 970,478
36,551,137
100 %
6 Berare
1.184
40,252,363
26,195,793
65 %
7 Batu
748
43,332,061
12,590,801
29 %
Bangka
8 Ngeru
530
48,760,236
6,451,553
13,2%
9 Olat
720
50,253,026
13,280,193
26,4 %
Rawa
10 Lab. Ijuk
474
20,940,107
6,732,332
32,1 %
Rata-rata
1047,6
47,331,006.5 29,354,041.2 57,07%
Dari table ini peneliti dapat menarik sebuah pembahasan bahwa ratarata nilai NJKP sebesar 10.476, jumlah rata-rata target sebesar Rp.
47,331,006.5, dan jumlah rata-rata Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan
sebesar RP. 29,354,041.2 dan rata-rata target yang sudah di tetapkan PBB
sebesar 57,07%.

62
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat
efektifitas penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Salah Satu
Sumber Pendapatan Asli Daerah di kecamatan Moyo Hilir Kabupaten
Sumbawa tahun 2014 berada dalam kategori kecil. Hal ini jika dilihat dari
perbandingan antara realisasi dengan target yang telah ditetapkan yaitu
sebesar 57,07%.
5.1. Saran
Mengingat sumber pembangunan daerah salah satunya bersumber
dari pajak bumi dan bangunan, maka setiap penduduk daerah harus bisa ikut
serta dalam meningkatkan pembangunan. Salah satu cara yang dapat kita
lakukan yaitu ikut serta membantu pemerintah dalam menjalankan
programnya, misalnya dengan membayar pajak bumi dan bangunan tepat
pada waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Kumpulan Peraturan Daerah Otonomi Daerah. Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Keuangan Republik
Indonesia. Cetakan ke Satu Nopember 2002.
Madiasmo dan Makhfatih. 2002. Penghitungan Potensi Pajak dan Retriusi
Daerah.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan, Edisi Revisi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Resmi, Siti. 2005. Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi Kedua. Salemba
Empat, Jakarta.
Soemitro Rochmat, Zainal. 2001. Pajak Bumi Dan Bangunan. Cet. IV.
Refika Aditama, Bandung.
Tjahjono, Achmad dan Husein,F, Muh. 2000. Perpajakan. Edisi Revisi,
Cetakan I. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,
Yogyakarta.
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia, Edisi 5. Penerbit Salemba Empat,
Jakarta.
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia, Edisi 10. Salemba Empat, Jakarta.
Waluyo, Wirawan. 2002. Perpajakan Indonesia Cetakan Kedua. Penerbit
Salemba Empat, Jakarta.

63
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Banyaknya Anak
Terlantar
Di Kabupaten Sumbawa
Oleh :
Winda Ayu Halidasiyah
I Nyoman Sutama
Suprianto

ABSTRAK
Anak terlantar merupakan salah satu permasalah banyak terjadi, karena
tidak terpenuhnya hak-hak anak serta tidak dapat tumbuh dengan normal.
Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi jumlah anak terlantar. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh Pertumbuhan Penduduk terhadap banyaknya Anak
Terlantar di Kabupaten Sumbawa. Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder berupa data time series selama periode 20042013. Data berasal dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa dan
Dinas Sosial Kabupaten Sumbawa. dengan menggunakan pendekatan
Regresi Linier Sederhana, hasil penelitian ini menunjukan bahwa variabel
pertumbuhan penduduk berpengaruh dan signifikan terhadap banyaknya
anak terlantar di Kabupaten Sumbawa selama periode 2004-2013. Ini
berarti bahwa setiap penambahan jumlah penduduk justru akan
mengurangi jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa.
Kata Kunci : Pertumbuhan Penduduk dan Anak Terlantar
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya membuat kepadatan
penduduk di Provinsi NTB semakin padat. Semakin banyaknya jumlah
penduduk menyebabkan kesenjangan sosial diantara masyarakat karena
sempitnya lapangan usaha yang ada. Penduduk yang semakin banyak,
bersaing semakin ketat untuk memiliki pekerjaan. Jika masyarakat tidak
memiliki kemampuan untuk mendapatkan atau membuat usaha sendiri maka
yang terjadi akan menambah banyaknya jumlah pengangguran dan
mengakibatkan kemiskinan. Selain itu berdampak juga pada rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan. Begitu juga di
Kabupaten Sumbawa, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di
Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013, menunjukan pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya dan hanya mengalami
penurunan jumlah penduduk ditahun 2010.

64
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Tabel 1.1.
Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten / Kota
Lainnya
di Provinsi NTB Tahun 2012
Kabupaten / Kota
1. Lombok Barat
2. Lombok Tengah
3. Lombok Timur
4. S u m b a w a
5. D o m p u
6. B i m a
7. Sumbawa Barat
8. Lombok Utara
9. Kota Mataram
10. Kota Bima
Jumlah / Total

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

300.364
414.602
524.126
216.066
113.164
222.883
60.201
100.500
204.676
71.911

312.797
460.629
599.362
206.963
110.514
224.403
58.407
103.064
208.534
74.396

613.161
875.231
1.123.488
423.029
223.678
447.286
118.608
203.564
413.210
146.307

2.228.493

2.359.069

4.587.562

Sumber : Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat


Pertumbuhan penduduk yang tinggi memiliki dampak positif dan
negatif. Dampak positif dari pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah
tersedianya tenaga kerja yang melimpah. Namun, jika banyaknya tenaga
kerja tidak diikuti dengan lapangan kerja yang memadai, banyaknya tenaga
kerja tersebut akan menjadi beban karena akan menambah angka
pengangguran. Sedangkan dampak negatif dari pertumbuhan pernduduk
adalah sosial ekonomi, karena lapangan kerja yang tidak cukup bisa
membuat orang yang tidak memiliki pekerjaan beralih menjadi kriminal
serta menimbulkan kelas sosial diantara masyarakat, lahan tempat tinggal
dan bercocok tanam berkurang yang disebabkan oleh banyaknya penduduk
yang membangun rumah dan mengambil lahan pertanian untuk dijadikan
tempat tinggal.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat membuat tingkat
kemiskinan juga meningkat dan membuat masyarakat tidak dapat memenuhi
semua kebutuhannya. Seperti diketahui bahwa manusia memiliki berbagai
kebutuhan. Sebagai makhluk hidup manusia membutuhkan makanan,
tempat tinggal atau lahan yang layak, air dan udara bersih, serta kebutuhan
sosial ekonomi. Pertumbuhan penduduk berdampak terhadap anak-anak
dalam upaya memenuhi kebutuhan. Salah satu dampak pertumbuhan
penduduk bagi anak adalah tidak terpenuhinya hak-hak anak, seperti
pendidikan, mempekerjakan anak dibawah umur dan tidak dapat menikmati
masa anak-anak.
Hal ini membuat hak-hak anak menjadi terlantar karena anak tidak
bisa tumbuh dengan wajar. Anak terlantar pada umumnya merupakan anak-

65
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada yang
berasal dari keluarga miskin, tidak adanya yang merawat atau mengasuh,
tidak bersekolah minimal 9 tahun, keluarga tidak harmonis, perceraian
orangtua, kesibukan orangtua dalam mengejar karir dan kekerasan terhadap
anak. Setiap anak tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa
memandang latar belakang dari anak tersebut. Seperti yang tertuang dalam
UUD 1945 pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Saat ini banyak anak-anak yang seharusnya melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai seorang pelajar namun tidak bisa menikmati bangku
sekolah karena perekonomian keluarga mereka yang tidak mencukupi. Hal
ini membuat banyak anak-anak terlantar dan menjalani hidupnya dengan
bekerja walaupun belum cukup umur untuk bekerja. Bahkan ada anak yang
semestinya bersekolah tersebut malah mengemis dan mengamen di pinggir
jalan untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya kebutuhan tersebut
dipenuhi oleh orang tua mereka. Di Kabupaten Sumbawa sendiri tidak
sedikit terlihat anak-anak berjualan pada pagi hari yang semestinya itu
adalah waktu mereka untuk bersekolah. Anak-anak tersebut membantu
orang tuanya untuk mecari nafkah untuk kebutuhan ekonomi keluarga.
1.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk Mengetahui
Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Banyaknya Anak Terlantar Di
Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2013.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya
Fitriyah (2011) dengan penelitiannya berjudul Peran Pekerja Sosial
Terhadap Pendidikan Anak-Anak Terlantar (Studi Kasus Di Panti Sosial
Asuhan Anak Putra Utama 03 Tebet Jakarta Selatan). Pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil
penelitian tersebut adalah: (1). Peran Pekerja Sosial/pengasuh di Panti
Sosial Asuhan Anak Putra Utama 03 Tebet Jakarta Selatan, yg lebih
dominan dimainkan yaitu sebagai pendidik dan perantara. Sebagai pendidik,
pekerja sosial/pengasuh berperan dalam membina, mengawasi, serta
memberiakan perlindungan untuk warga binaan sosial. Dan sebagai peran
perantara dalam menghubungkan/memfasilitasi warga binaan sosial dengan
dunia pendidikan. (2). Pelayanan pendidikan yang diperoleh warga binaan
sosial adalah pendidikan formal berupa sekolah diluar panti dan pendidikan
non formal yaitu berupa kegiatan pengisi waktu luang seperti kegiatan
keterampilan komputer dan menjahit.
Sementara Zahratul Husnaini (2011) dengan judul penelitian
Pekerja Anak Di Bawah Umur Studi kasus: Enkulturasi Keluarga Pekerja

66
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Anak di Kota Padang. Teknik pengumpulan data di lakukan dengan
observasi (pengamatan), wawancara bebas mendalam dan di dukung oleh
studi kepustakaan. Hasil penelitian tersebut adalah proses ikut sertanya
anak-anak dalam kegiatan ekonomi pada dasarnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor, faktor ekonomi, faktor lingkungan dan faktor teman
sebaya. Dari berbagai faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata
pengaruh yang datangnya dari lingkungan lebih mendominasi dalam
memotivasi anak-anak bekerja ketimbang dari keluarganya sendiri. Hal itu
tentunya tidak terlepas dari sosialisasi dimana anak-anak itu tumbuh dan
dibesarkan. Anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang bekerja
maka akan cendrung menyukai dan menyenangi bekerja daripada sekolah,
meskipun orang tua mereka masih mampu untuk membiayai sekolah
mereka. Karena pada kondisi ini mereka mempunyai banyak kesamaan
seperti, usia, selera dan penalaran terhadap sesuatu.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Konsep Anak Terlantar
Seiring dengan perkembangan globalisasi, banyak muncul
permasalahan sosial yang terjadi di sebagian besar daerah perkotaan. Salah
satu diantaranya adalah masalah anak terlantar dan dalam hal ini menjadi
pekerjaan rumah yang harus diatasi oleh Dinas Sosial. Menurut UU No.23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak terlantar ialah dalam hal karena
suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Howard Dubowitz, anak terlantar adalah suatu bentuk
pengabaian terhadap perawatan anak sehingga menimbulkan resiko bagi
anak. Orang tua sebagai pemberi perawatan (caregiver parents) melalaikan
tanggungjawabnya untuk memnuhi kebutuhan anak. Pengabaian terhadap
anak tersebut tidak semata-mata disebabkan karena kemiskinan orang tua,
tetapi faktor-faktor lain seperti perceraian orangtua, atau karna kesibukan
orangtua dalam mengejar karir. Sedangkan menurut Walter A Friedlander,
anak terlantar adalah anak yang tidak mendapat asuhan secara minimal dari
orang tuanya sebab kondisi keluarganya baik ekonomi, sosial, kesehatan
jasmani maupun psikisnya tidak layak sehingga anak-anak tersebut
membutuhkan bantuan pelayanan dari sumber-sumber yang ada
dimasyarakat sebagai pengganti orang tuanya.
Anak terlantar adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan
atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (childer in need of
special protection). Karena suatu sebab mereka tidak dapat terpenuhi
kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani maupun secara
jasmani. Seorang anak dikatakan terlantar, bukan sekedar karena ia sudah
tidak lagi memiliki salah satu atau kedua orang tua, tetapi terlantar disini
juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara

67
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk
memperoleh layanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena
kelalaian, ketidak mengertian orang tua ataupun karena kesengajaan.
Menurut Departemen Sosial RI (2006:1), ketelantaran pada anak
secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yakni:
(1) Faktor ketidak sengajaan atau dengan kata lain karena kondisi yang
tidak memungkinkan dari orang tua atau keluarga untuk memenuhi
kebutuhan anaknya,
(2) Faktor kesengajaan untuk menelantarkan anaknya karena rendahnya
tanggung jawab sebagai orang tua atau keluarga terhadap anaknya.
Seperti yang tercantum dalam Pedoman Pelayanan Sosial Anak
Terlantar (Departemen Sosial RI, 2008:1), permasalahan anak terlantar
dapat kita lihat dari berbagai perspektif, diantaranya:
1) Anak terlantar yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan
seperti yang dialami anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari
orang tua tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang
kawin muda, dan anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang
dibuang orang tuanya);
2) Anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak
yang mengalami tindak kekerasan baik secara fisik, sosial maupun
psikologis, anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual serta
anak yang diperdagangkan;
3) Anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti anak yang kurang
gizi dan anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal inilah yang
terjadi pada anak jalanan.
Dalam tingkat yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak saling
berkaitan. Untuk mengetahui akar masalah dan mengidentifikasi berbagai
tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak diperlukan
pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan
dan hanya berfokus pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak
yang efektif mensyaratkan adanya komponen-komponen yang saling terkait.
Komponen-komponen ini meliputi kesejahteraan sosial bagi anakanak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar
internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam
masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang
mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak.
Ditingkat masyarakat, berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam
rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang mendorong
kesejahteraan dan perlindungan anak serta meningkatkan kapasitas keluarga
untuk memenuhi tanggung jawab mereka (UNICEF, 2012).
2.2.2. Bunga Jumlah Penduduk Sebagai Penyebab Anak Terlantar

68
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Study kependudukan (population study) lebih luas dari kajian
demografi murni, karena di dalam memahami struktur dan proses
kependudukan di suatu daerah, faktor-faktor non demografis ikut dilibatkan
misalnya, dalam memahami trend fertilitas disuatu daerah tidak hanya
cukup diketahui trend pasangan usia subur, tetapi juga faktor sosial budaya
yang ada di daerah tersebut. Pada masyarakat patrinial dimana tiap keluarga
mendambakan anak laki-laki, maka besarnya jumlah anak yang diinginkan
tergantung pada sudah ada tidaknya anak laki-laki pada keluarga tersebut.
Jadi untuk mengetahui perkembangan penduduk di suatu daerah perlu
diketahui faktor-faktor determinan yang tidak hanya berasal dari faktor
demografi saja tetapi juga berasal dari faktor non demografi (Mantra, 2000:
4).
Tiap-tiap negara ingin mengetahui jumlah penduduk di negara
masing-masing, terutama mengenai struktur dan proses. Untuk mendapatkan
data tersebut dibuatlah suatu sistem pengumpulan data penduduk. Pada
umumnya ada tiga sistem pengumpulan data penduduk, untuk data struktur
penduduk dikumpulkan dengan melakukan cacah jiwa atau Sensus
Penduduk yang dilaksanakan pada waktu tertentu (umumnya tiap sepuluh
tahun sekali pada tahun yang berakhir angka kosong). Untuk data penduduk
yang dinamis (proses penduduk) dikumpulkan lewat registrasi penduduk
dan dilaksanakan pada setiap saat. Data khusus mengenai karakteristik
penduduk misalnya mengenai mobilitas tenaga kerja yang menuju keluar
negri diperoleh dengan melaksanakan Survei Penduduk oleh instansi
tertentu. Sistem pengumpulan data ini mula-mula di kembangkan di negara
Barat kemudian berkembang di negara lain (Mantra, 2000: 7).
Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu demografi.
Berbagai aspek perilaku manusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi dan
geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran yang berhubungan
erat dengan unit-unit ekonomi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial.
Laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi di negara berkembang dibanding
dengan negara maju (Wahyu, 2007: 267).
Karena penduduknya padat, pemilikan tanah kecil, dan kesempatan
kerja kurang sehingga menyebabkan banyaknya pengangguran dan
pendapatan perkapita rendah. Akibatnya, tingkat pendidikan rendah,
keterampilan kurang, dan prasarana sosial ekonomi tidak layak (Nurjana,
2002: 68). Tingginya laju pertumbuhan penduduk dibeberapa bagian dunia
ini menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa
bagian di dunia ini telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan.
Fenomena ini menggelisahkan beberapa ahli, dan masing-masing dari
mereka berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan
tersebut. Kalau faktor-faktor penyebab tersebut telah diketemukan maka
masalah kemiskinan dapat diatasi (Mantra, 2000: 49).
Rasio Gini atau koefisien Gini merupakan instrumen statistika yang
dirumuskan ahli statistika sekaligus ahli sosiologi Italia, Corrado Gini, pada

69
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
1912, pada tulisan ilmiahnya, Variabilitas dan Mutabilitas. (Djumena,
2014). Kondisi ini menjadi tantangan BI dalam membantu mengurangi
tingkat kemiskinan dan tingkat kesenjangan penduduk Indonesia. Untuk itu,
BI akan aktif dalam pengembangan klaster di daerah antara lain melalui
dukungan penguatan kelembagaan, peningkatan kompetensi petani atau
peternak, dan hubungan pada pembiayaan perbankan (Setiawan, 2014).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif yang mana digunakan
untuk mencari pengaruh antar variabel. Menurut Sugiyono (2003: 11),
Penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian
ini mempunyai tingkatan tertinggi dibandingkan dengan diskriptif dan
komparatif karena dengan penelitian ini dapat dibangun suatu teori yang
dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu
gejala. Jadi penelitian dilakukan untuk mencari apakah terdapat pengaruh
antara jumlah penduduk terhadap banyaknya anak terlantar.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif, merupakan data yang berupa data angka, tabel, grafik. Data
kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah
penduduk dan data jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa tahun
2004-2013. Sementara itu dilihat dari sumber data maka data dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan dikumpulkan
secara runtut waktu (time series) dari tahun 2004-2013. Data-data sekunder
tersebut adalah:
1. Data jumlah penduduk di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013. Data
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumbawa.
2. Data jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013.
Data tahun 2004-2009 dan tahun 2011-2013 diperoleh dari Badan Pusat
Statistik Sumbawa dan data tahun 2010 diperoleh dari Dinas Sosial
Sumbawa.
3.3. Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah
teknik dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari dan mengumpulkan data
mengenai hal-hal yang berupa catatan , transkip, buku, surat kabar, majalah,
notulen, rapot, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2006:158). Data dalam
penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik jumlah penduduk dari
tahun 2004 sampai tahun 2013 dan jumlah anak terlantar dari tahun 2004
sampai tahun 2009 dan tahun 2011 sampai tahun 2013 di Kabupaten
Sumbawa di peroleh dari kantor BPS Sumbawa dan data jumlah anak

70
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
terlantar pada tahun 2010 di Kabupaten Sumbawa diperoleh dari Dinas
Sosial Sumbawa.
3.4. Variabel Penelitian
Klasifikasi Variabel dalam Peneitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel Terikat (Y) yaitu yaitu jumlah anak terantar. Anak terlantar
adalah jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013
(dalam satuan jiwa).
2. Variabel Bebas (X) yaitu jumlah penduduk. Jumlah penduduk adalah
jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013 (dalam satuan
jiwa).
3.5. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah regresi linier sederhana. Adapun formulasi dari regresi linier
sederhana adalah:
Y = a + bX
Dimana: Y = Jumlah anak terlantar,
X = Pertumbuhan penduduk,
a = Konstanta,
b = Koefisien regresi
Dalam analisis regresi ini dilakukan beberapa pengujian yaitu:
1. Uji t-statistik
Uji t-statistik merupakan suatu pengujian secara parsial yang
bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi
signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap
variabel lainnya konstan. Dalam uji ini, digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : b1 = b(tidak ada pengaruh)
Ha : b 1 b.(ada pengaruh)
Dalam b1 adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter
hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel X
terhadap Y. Bila nilai t-statistik > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan
tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji
berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen.
Kriteria pengambilan keputusan Ho : = 0 Ho diterima (t-statistik <
t-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen. Ha : 0 Ha diterima (t-statistik > t-tabel)
artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen.
2. Koefisien Determinasi (R-Square)
Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat seberapa
besar kemampuan variabel independen memberi penjelasan terhadap

71
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
variabel dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0 < R2 < 1). Secara
umum koefisien determinasi yang sudah disesuaikan ditulis dengan rumus:
N1
R2 = 1 1 R2
NK
Dimana : R2 = Koefisien determinasi
K = Banyaknya variabel bebas yang digunakan
N = Jumlah sampel atau observasi.
IV. HASIL ANALISIS
4.1. Deskripsi Data
Dalam penanganan anak terlantar, anak-anak yang terdata sebagai
anak terlantar akan dikirim ke Panti Sosial untuk pembinaan lebih lanjut.
Anak-anak terlantar tersebut akan diberikan pelatihan sesuai skill masingmasing sebagai bekal untuk hidup ditengah masyarakat. Pelatihan yang
diberikan kepada anak-anak terlantar, Loka Bina Karya memfasilitasi
dengan alat perbengkelan dan bekerja sama dengan sejumlah sepeda motor
yang ada di Kota Sumbawa. berikut ini adalah tabel jumlah dan persentase
anak terlantar di Kabupaten Sumbawa.
Jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa pada tahun 2004-2013
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1.
Jumlah Anak Terlantar di Kabupaten Sumbawa
Tahun 2004-2013
Tahun
Jumlah anak terlantar (jiwa)
2004
12.202
2005
12.435
2006
12.438
2007
11.260
2008
5.974
2009
3.631
2010
9.002
2011
9.068
2012
9.068
2013
9.001
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbawa tahun 2013
Sementara itu, Jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa tahun 20042013 mengalami peningkatan di setiap tahunnya terkecuali pada tahun 2010
jumlah penduduk mengalami penurunan dari 420.750 jiwa pada tahun 2009
menjadi 415.789 jiwa pada tahun 2010 dan meningkat kembali pada tahun
2011 menjadi 419.989 jiwa. Jumlah penduduk terendah di Kabupaten

72
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Sumawa pada tahun 2004 sebesar 378.350 jiwa dan jumlah penduduk
tertinggi pada tahun 2013 sebesar 426.128 jiwa.
Perkembangan penduduk di Kabupaten Sumbawa dari tahun 20042013 dapat dilihat pada gambar berikut berikut ini:
Gambar 4.1.
Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2013

Jumlah Penduduk
403.500 406.888

413.869

420.750

415.789

426.128
419.989 423.029

390.172
378.350

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumbawa tahun 2013


4.2. Hasil Analisis dan Pembahasan
4.2.1. Hasil Analisis
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS16 diperoleh
hasil regresi linier sederhana sebagai berikut:
Tabel 4.2.
Hasil Regresi Linier Sederhana Analisis Pengaruh
Jumlah Penduduk Terhadap Banyaknya Anak Terlantar
Di Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2013
Unstandardized Coefficients
Model
1 (Constant)
Jumlah Penduduk

Standardized Coefficients

Std. Error

60352.360

20369.274

-.124

.050

Beta

-.663

2.963

.018

-2.503

.037

Sumber: data sekunder yang diolah dengan SPSS16


Berdasarkan tabel diatas, dapat dibuat persamaan regresi linier
sederhana pengaruh antara jumlah penduduk (X) terhadap banyaknya anak
terlantar (Y) di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2013 sebagai berikut:
Anak Terlantar = 60352,36 0,124*Jumlah Penduduk

Sig.

73
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Berdasarkan hasil analisis diatas, variabel jumlah penduduk
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah anak terlantar di
Kabupaten Sumbawa dengan konstanta sebesar 60352,36 dan koefisien
regresi sebesar -0,124. Konstanta sebesar 60352,36, artinya jika pertumbuh
penduduk (X) tidak mengalami perubahan, maka banyaknya anak terlantar
berjumlah 60352,36 jiwa. Koefisien regresi variabel pertumbuhan penduduk
(X) sebesar -0,124, artinya setiap kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 jiwa
mengakibatkan penurunan jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa
sebesar 0,124 jiwa. Pertumbuhan penduduk memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap jumlah anak terlantar. Dimana setiap kenaikan jumlah
penduduk sebanyak 10 jiwa akan menurunkan jumlah anak terlantar
sebanyak 1,24 jiwa di Kabupaten Sumbawa.
Selanjutnya dari persamaan regresi tersebut, akan dilakukan uji
signifikansi koefisien regresi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan hipotesis:
- H0 : tidak ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk
terhadap banyaknya anak terlantar.
- H1 : ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk terhadap
banyaknya anak terlantar.
2. Kriteria pengujian:
- Jika t-hitung t-tabel, maka H0 diterima.
- Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak.
3. Berdasarkan signifikansi:
- Jika signifikansi > 0,05 maka H0 diterima.
- Jika signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak.
Nilai t hitung variabel jumlah penduduk adalah -2,503, sedangkan
nilai t-tabel sebesar 2,262 dengan menggunakan taraf keyakinan 95% ( =
0,05) pada degree of freedom (df) df = n 1 = 9. Dengan demikian maka
dapat diketahui t hitung > t tabel (2,503 > 2,306). Hal ini berarti H0 ditolak,
yang menunjukan jumlah penduduk berpengaruh terhadap banyaknya anak
terlantar di Kabupaten Sumbawa. Selain itu dengan membandingkan nilai
signifikansi 0,037 dengan level of significant (0,05) maka dapat diketahui
0,037 < 0,05 maka H0 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh secara signifikan antara jumlah penduduk terhadap banyaknya
anak terlantar di Kabupaten Sumbawa.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis juga dapat diketahui nilai
koefisien determinasi sebagaimana pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.3.
Koefisien Determinasi (R Square)
Std. Error of the
Model
1

R Square
.663a

.439

Adjusted R Square
.369

Estimate
2297.796

74
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Tabel 4.3.
Koefisien Determinasi (R Square)
Std. Error of the
Model
1

R Square
.663a

.439

Adjusted R Square

Estimate

.369

2297.796

Sumber: data sekunder yang diolah dengan SPSS16


Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai koefisien determinasi
(R ) yaitu sebesar 0,439. Ini menunjukan variabel jumlah penduduk mampu
mempengaruhi variabel banyaknya anak terlantar di Kabupaten Sumbawa
sebesar 43,9 persen. Sedangkan sisanya 56,1 persen dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak dimasukan dalam analisis seperti kemiskinan,
keluarga tidak harmonis, tidak ada yang mengasuh dan lain-lain.
2

4.2.2. Pembahasan
Berdasarkan analisis regresi linier sederhana diatas dapat diketahui
bahwa terdapat pengaruh negatif dan signifikan pertumbuhan penduduk
terhadap jumlah anak terlantar di Kabupaten Sumbawa. Hal ini dibuktikan
dengan uji t yang menunjukan bahwa nilai yang signifikan pada level 5%.
Sedangkan besarnya pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap jumlah
anak terlantar sebasar -0,124. Hal ini berarti bertambahnya jumlah
penduduk mengakibatkan jumlah anak terlantar semakin berkurang. Secara
empiris, memang hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan
dimana kenaikan jumlah penduduk diharapkankan berpengaruh positif
terhadap meningkatnya jumlah anak terlantar. Namun hal ini dapat
disinyalir disebabkan data analisis yang terbatas sehingga sebaiknya perlu
dilakukan pengkajian yang melibatkan lebih banyak data maupun variabel.
Penurunan jumlah anak terlantar terjadi karena adanya penanganan
dari pemerintah dalam upaya memenuhi hak-haknya sebagai anak seperti
yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi fakir miskin
dan anak-anak yang terlatar dipelihara oleh negara. Penanganan yang
dilakukan di Kabupaten Sumbawa dengan cara anak-anak yang terdata
sebagai anak-anak yang bukan berasal dari Kabupaten Sumbawa akan
dipulangkan ke daerah asalnya sedangkan yang terdatada sebagai anak
terlantar akan dikirim ke panti sosial di Aik Mel Lombok Timur untuk
pembinaan lebih lanjut. Mereka juga diberikan pelatihan sesuai skill
masing-masing sebagai bekal untuk hidup ditengah masyarakat. Menyorot
fungsi Loka Bina Karya (LBK), pihak dinas sosial melakukan rehabilitasi
yang dilengkapi dengan alat perbengkelan dan bekerja sama dengan
sejumlah dealer sepeda motor yang ada di kota Sumbawa Besar untuk
memberikan pelatihan bagi anak-anak terlantar. Dalam proses rehab dalam

75
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
pengadaan alat perbengkelan fasilitas LBK, menggunakan dana APBN pada
tahun 2012 sebesar Rp. 266.500.000.
Sementara itu, untuk Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) akan
diberdayakan melalui program keluarga harapan. Bagi anak yang tergolong
dari keluarga RTSM, jika masih dalam usia sekolah maka akan
disekolahkan. Selain itu, keluarga yang tergolong RTSM juga dibantu
menggunakan BLT bersyarat dengan dengan besarah Rp.600.000 sampai
Rp.2.200.000 yang proses pencairannya dilakukan sebanyak 3 kali.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa
jumlah penduduk memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah
anak terlantar di Kabupaten Sumbawa. Ini berarti bahwa setiap penambahan
jumlah penduduk justru akan mengurangi jumlah anak terlantar di
Kabupaten Sumbawa.
5.2. Saran
a. Perlu dilakukan studi empiris lebih lanjut dengan menambah
jumlah data maupun variabel yang diteliti.
b. Sebaiknya anak-anak terlantar di Kabupaten Sumbawa dibina di
panti sosial yang ada di Kabupaten Sumbawa sehingga tidak perlu
mengirim anak-anak yang tergolong terlantar ke panti sosial di
Aik Mel Lombok Timur, oleh karena itu, pemerintah perlu
mendorong percepatan pembangunan fasilitas penunjang.
c. Dalam melakukan rehabilitasi yang dilakukan, anak-anak terlantar
perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan seperti perdagangan
dan menjahit, perbengkelan dan lain-lain.
d. Disarankan agar orang tua memiliki kesadaran untuk mengasuh,
memenuhi hak-hak dan tidak menelantarkan anak-anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut
Kabupaten / Kota. http://ntb.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/2.
Anonim. 2005. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2004. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2006. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2005. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2007. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2006. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.

76
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016
Anonim. 2008. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2007. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2009. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2008. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2010. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2009. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2011. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2010. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2012. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2011. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2013. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2012. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2015. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka 2013. BPS Sumbawa,
Sumbawa Besar.
Anonim. 2007. Anak Kami, Perlindungan Anak: Bukan Basa Basi. Majalah:
Resource Centre SFFCCB CPSW-IPSPI, vol. 1, No. II, Maret, 2007.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi.
Yogyakarta.

2006.

Metodelogi

Penelitian.

Bina

Aksara,

Hartini. 2014. Sudah Dirazia, Anak Jalanan Nyenyak Tidur di Bawah


Flyover Senen. SK Kompas, Desember 2014.
Hartini, Desy. 2008. 400 Ribu Anak Terlantar Jadi Loper. SK Kompas,
2008.
Mantra, Ida Baoes. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Ar-ruzz Media,
Yogyakarta.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Pusat Bahasa Depdiknas,
Bandung.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Alfabeta, Bandung.
Tika, Moh. Pabundu. 2006. Metodologi Riset Bisnis. Bumi Aksara,
Yogyakarta.
UU No. 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.
Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Ekonisia,
Yogyakarta.

77
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Efektivitas Pengambilan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


serta Kontribusinya Terhadap Pajak Daerah Di Kabupaten Sumbawa
Oleh :
Yayu Rohayu
Ishak Rahman
Suprianto
ABSTRAK
Salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah berasal dari sektor pajak
daerah. Salah satu komponen pajak daerah yang perlu mendapatkan
perhatian lebih oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa adalah Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C) seiring meningkatnya kebutuhan akan bahan
mineral bukan logam dan batuan yang digunakan sebagai bahan dasar
industri dan pembangunan pemukiman di kawasan Kabupaten Sumbawa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pengambilan
pajak mineral bukan logam dan batuan serta kontribusinya terhadap pajak
daerah Kabupaten Sumbawa. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder berupa data time series tahun 2012 - 2014. Data
berasal dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kabupaten Sumbawa. Hasil efektivitas penerimaan pajak mineral bukan
logam dan batuan tahun 2012 dan 2013 Sangat Efektif. Sedangkan pada
tahun 2014 dapat dikatakan Kurang Efektif. Penerimaan pajak mineral
bukan logam dan batuan Kabupaten Sumbawa dalam kurun waktu tiga
tahun dari tahun 2012-2014 mengalami penurun. Kontribusi Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan sebagai sumber Pendapatan Daerah setiap tahun
masing-masing dinilai sangat kecil. Kontribusi terbesar terjadi pada tahun
2012 sedangkan terendah terjadi pada tahun 2014. Kontribusi Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan terhadap Pajak Daerah selama tiga
tahun terakhir dinilai tidak maksimal dan masuk dalam kriteria kontribusi
kurang.
Kata Kunci : Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan, Pajak Daerah
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi
pemerintah yang didapat dari iuran wajib rakyat kepada negara. Menurut
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, pemerintah diberikan kewenangan seluas luasnya untuk mengelola
asset daerahnya dalam merinci dan memungut pendapatan bagi daerahnya
sendiri. Agar suatu daerah propinsi atau kabupaten dapat memberikan hasil

78
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

atau pendapatan dapat dilakukan melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)


yang diambil atau dipungut dari pajak dan retribusi.
Salah satu penerimaan Pendapatan Asli Daerah berasal dari sektor
pajak daerah. Salah satu komponen pajak daerah yang perlu mendapatkan
perhatian lebih oleh pemerintah kabupaten Sumbawa adalah Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan (Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C) seiring meningkatnya kebutuhan akan bahan mineral
bukan logam dan batuan yang digunakan sebagai bahan dasar industri dan
pembangunan pemukiman di kawasan Kabupaten Sumbawa. Ada tujuh jenis
bahan galian yang dipungut oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa
selama periode 2012-2014 yaitu batu kapur, tanah liat, pedel, pasir kwarsa,
dolomit, ballclay, dan phospat. Potensi bahan mineral bukan logam dan
batuan adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan
penerimaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Dengan mengetahui
potensi riil Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Mineral
Bukan Logam Dan Batuan Kabupaten Sumbawa, diharapkan mampu
mengoptimalkan penerimaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Mineral Bukan Logam Dan Batuan sehingga dapat meningkatkan
kontribusi terhadap pendapatan daerah. Pajak mineral logam dan batuan ini
akan ditarik saat pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk jenis
banngunan usaha seperti pembangunan ruko, hotel, bengkel, rumah makan
atau tempat usaha lainnya.
Data dari DPPK Sumbawa menunjukan bahwa target pajak mineral
bukam logam dan batuan pada tahun 2012 dan tahun 2013 memiliki jumlah
yang sama yaitu Rp.2.000.000.000,00 dengan masing-masing reaslisasi
pajak mineral bukan logam dan batuan adalah Rp.2.298.438.300,00 dan
Rp.2.324.264.974,00. Target pada 2012 hanya Rp1,4 milyar tetapi karena
ada pembayaran piutang tahun 2011 sehingga ditambahkan jumlah target
pada APBD menjadi Rp2.000.000.00. Sedangkan pada tahun 2014 nilai
targetnya berjumlah Rp.3.000.000.000,00 dengan jumlah realisasi yang
menurun
dari
tahun-tahun
sebelumnya
yaitu
berjumlah
Rp.1.935.501.118,00. Penurunan realisasi ini karena pada target 2014 telah
terbayar pada tahun 2013 yang lalu.
Efektivitas pemungutan pajak menggambarkan kinerja suatu
pemerintahan. Dimana kinerja merupakan suatu prestasi yang dapat dicapai
oleh organisasi dalam periode tertentu. Sedangkan efektivitas menurut
Tamrin Simanjuntak (dalam Abdul Halim 2004:93) adalah mengukur hasil
pungut suatu pajak dengan potensi pajak itu sendiri. Analisis efektivitas
mutlak diperlukan guna mengukur sejauh mana pelaksanaan pemungutan
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Mineral Bukan Logam
dan Batuan di Kabupaten Sumbawa.

79
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

1.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
pengambilan pajak mineral bukan logam dan batuan dan kontribusinya
terhadap pajak Kabupaten Sumbawa tahun 2012-2014.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya
Fitrayati dan Widowati (2014), dengan penelitian yang berjudul
Analisis Efektivitas Potensi Pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan Di Kabupaten Bojonegoro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata potensi penerimaan pajak mineral bukan logam dan batuan di
Kabupaten Bojonegoro pada periode penelitian tahun 2009-2013 adalah Rp.
602.751.120,00. Tingkat efektivitas berdasarkan potensi adalah sebesar
77,39% yang berarti kurang efektif.
Setiawan (2009), dengan penelitian Analisis Efektivitas Penerimaan
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Terhadap
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2006-2008. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa realisasi penerimaan Pajak Pengambilan
dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C sudah melebihi 100% setiap
tahun dengan tingkat kontribusi rata-rata sebesar 0,42%.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pajak
Menurut rochmat sumitro (1988:12) : Pajak adalah iuran rakyat
pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di
tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran
umum.Dapat di paksakan mempunyai arti,apabila utang pajak tidak di
bayar,utang tersebut di tagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita,
lelang dan sandera. dengan demikian, ciri-ciri yang melekat pada pengertian
pajak adalah sebagai berikut.
1. Pajak di pungut berdasarkan Undang-Undang
2. Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung
3. Pajak dipungut oleh pemerintah,baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
4. Dapat di paksakan (bersifat yuridis)
Menurut Brotodiharjo, R (1982:2) : Pajak adalah iuran rakyat
kepada negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya berdasarkan peraturan-peraturan,dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk dan yang dapat di gunakan
untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintah.

80
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

2.2.2. Pajak Daerah


Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Perubahan atas
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan Undang-undang nomor 28 Tahun 2009, jenis-jenis
pajak daerah kabupaten/kota terdiri atas 11 jenis pajak yaitu:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan.
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Adapun jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah propinsi
sebanyak 5 jenis yang terdiri dari:
1. Pajak Kendaraan Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
4. Pajak Air Permukaan.
5. Pajak Rokok.
2.2.3. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan Pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam
dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam
dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral
dan batubara. Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan. Objek pajak
yang termasuk mineral bukan logam meliputi:
1. asbes;
2. bentonit;
3. dolomit;

81
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

4. feldspar;
5. garam batu (halite);
6. grafit;
7. gips;
8. kalsit;
9. kaolin;
10. magnesit;
11. mika;
12. marmer;
13. nitrat;
14. opsidien;
15. oker;
16. pasir kuarsa;
17. perlit;
18. phospat;
19. talk;
20. tawas (alum);
21. yarosif;
22. zeolit;
23. Mineral Bukan Logam lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Objek pajak yang termasuk batuan meliputi:
batu tulis; batu setengah permata; batu kapur; batu apung; batu
permata; granit/andesit; leusit; pasir dan kerikil; tanah serap (fullers
earth); tanah diatome; tanah liat; tras; basal; trakkit; dan Batuan
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dikecualikan dari Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan
1. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang
nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti
kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga,
pemancangan
tiang
listrik/telepon,
penanaman
kabel
listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; dan
2. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang
merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang
tidak dimanfaatkan secara komersial.
Sementara itu Subjek dan Objek Pajak mineral bukan logam dan
batuan yaitu: Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang
mengeksploitasi atau mengambil bahan galian golongan C. Untuk objek
pajak adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C, yang terdiri atas
esbes, tall, mike, grafit, magnesit, batu tulis, marmer, Batu kapur, Dolomit,
kalsit, Bentonit, Foldspar, Batu gamping, Pasir, Pasir kwarsa, tanah liat,
trakkit, basal, andesit, Phospate, nitrat, garam batu, batu apung, teras,
absidian, perlit dan tanah diatome.

82
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

2.2.4. Efektifitas dan Kontribusi


Efektivitas adalah perbandingan atau rasio antara penerimaan dengan
target pajak mineral bukan logam dan batuan yang telah ditetapkan setiap
tahun berdasarkan potensi yang sesungguhnya. Dalam perhitungan
efektivitas menurut Widodo dalam Halim (2007), yaitu apabila rasio yang
dicapai minimal satu atau 100% maka rasio efektivitas semakin baik, artinya
semakin efektif pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Demikian pula
sebaliknya, semakin kecil persentasi efektivitas menunjukkan Pemungutan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan semakin tidak efektif.
Kriteria penilaian terhadap tingkat efektivitas pemungutan pajak
mineral bukan logam dan batuan menggunakan peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor: 690.900-327 tahun 1996, tentang kriteria penilaian dan
kinerja keuangan. Penetapan tingkat efektivitas pemungutan pajak,
selengkapnya dirinci sebagai berikut:
a. Hasil perbandingan atau persentase pencapaian di atas 100% berarti
sangat efektif;
b. Hasil perbandingan atau persentase pencapaian di atas 90% sampai
dengan 100% berarti efektif;
c. Hasil perbandingan atau persentase pencapaian di atas 80% sampai
dengan 90% berarti cukup efektif;
d. Hasil perbandingan atau persentase pencapaian di atas 60% sampai
dengan 80% berarti kurang efektif; dan
e. Hasil perbandingan atau persentase pencapaian di bawah 60% berarti
tidak efektif.
Rumus pengukuran efektifitas untuk pemungutan pajak adalah
sebagai berikut:
Efektifitas= r x 100%

Sedangkan untuk dapat menghitung kontribusi penerimaan pajak


mineral bukan logam dan batuan terhadap pajak daerah dan Pendapatan Asli
Daerah dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Kontribusi terhadap Pajak Daerah = x100%

83
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

III. KERANGKA KONSEPTUAL

Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009

Dinas Pendapatan Dan


Pengelolaan Keuangan Daerah
Kabupaten Sumbawa

Penerimaan
daerah

Belanja Daerah

Pajak daerah

Efektifitas pengambilan
pajak mineral bukan
logam da batuan

Kontribusi

IV. METODE PENELITIAN


3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif. Dalam
penelitian ini, akan dideskripsikan prosentase efektivitas penerimaan Pajak
Pengambilan dan Pengolahan Mineral Bukan Logam Dan Batuan di
Kabupaten Sumbawa.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif, merupakan data yang berupa data angka, tabel, grafik. Data

84
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi


pajak dan target pajak mineral bukan logam dan batuan periode 2012-2014.
Sementara itu berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam
bentuk yang sudah jadi atau sudah dikumpulkan dari sumber lain dan
diperoleh dari pihak lain seperti buku-buku literatur, catatan-catatan atau
sumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Adapun data
tersebut adalah data target dan realisasi penerimaan Pajak Mineral Bukan
Logam dan Batuan Kabupaten Sumbawa tahun 2012-2014 yang bersumber
dari Dinas Pendapatan Pengelolaan dan Keuangan (DPPK) Kabupaten
Sumbawa.
3.3. Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah
teknik dokumentasi. Menurut Sugiyono (2011) dokumentasi merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Adapun tujuan dokumentasi adalah
untuk memperoleh sudut pandang orisinal dari kejadian situasi nyata.
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa profil atau gambaran pajak daera
dan pajak bukan logamdan batuan Kabupaten Sumbawa tahun 2012-2014.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel dalam Peneitian ini adalah sebagai berikut :
1. Realisasi penerimaan pajak mineral bukan logam dan batuan tahun
2012-2014.
2. Target penerimaan pajak mineral bukan logam dan batuan tahun 20122014.
3. Total penerimaan pajak daerah tahun 2012-2014.
3.5. Teknik Analisis Data
3.5.1. Analisis Efektivitas Pajak ( Tax Efectiveness )
Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat
atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. Menurut
ahli manajemen Peter Drucker : Effectiveness means doing the right
things. Efficiency means doing them right. Sedangkan menurut Jone dan
Pendlebury, efektivitas adalah suatu ukuran keberhasilan atau kegagalan
dari organisasi dalam mencapai suatu tujuan (Halim Abdul, 2001).
Selanjutnya efektivitas harus dinilai atas tujuan yang bisa dilaksanakan dan
bukan atas konsep tujuan yang maksimum. Jadi, efektivitas menurut ukuran
seberapa jauh organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai
(Richard M. dalam Magdalena Yamin, 1985 dalam Halim Abdul, 2001).
Efektivitas secara harafiah, diartikan pengaruh dan mempunyai daya
guna serta membawa hasil. Tax effectiveness merupakan perbandingan
antara penerimaan pajak aktual dengan potensi penerimaan pajak.
Efektivitas pajak secara tidak langsung menunjukkan seberapa besar

85
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

keberhasilan daerah dalam mengumpulkan pajak dari potensi yang


dimilikinya. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Efektifitas= re x 100%


Menurut Ardhito (2003), target sangat berbeda dengan potensi.
Beberapa aparat yang berwenang dalam menyusun target pajak daerah pada
suatu tahun anggaran tertentu akan menentukan target yang lebih rendah
dari potensi yang sesungguhnya. Penggunaan variabel target untuk
menggantikan variabel potensi untuk mengukur efektivitas dengan demikian
tidak dapat dibenarkan dan menyesatkan. Akan tetapi, juga sudah ada
peneliti yang menggunakan perbandingan antara realisasi dan potensi untuk
mengukur efektivitas dari penerimaan suatu pajak.
Menurut Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996, apabila
perhitungan efektivitas pajak hotel menghasilkan persentase mendekati atau
melebihi 100%, maka penerimaan pajak bukan logam dan batuan semakin
efektif. Berikut kriteria efektivitas :
Tabel 1 .
Kriteria Efektivitas
Kriteria Efektivitas Prosentase
Kriteria
Tanda / Kode
> 100 %
Sangat Efektif
SE
> 90 % - 100 %
Efektif
E
> 80 % - 90 %
Cukup Efektif
CE
> 60 % - 80 %
Kurang Efektif
KE
< 60 %
Tidak Efektif
TE

3.5.2. Analisis Kontribusi


Analisis kontribusi adalah alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui seberapa besar kontribusi yang dapat disumbangkan dari
Penerimaan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan Terhadap Pajak
Daerah di Kabupaten Sumbawa, maka akan dibandingkan antara realisasi
penerimaan pajak mineral bukan logam dan batuan terhadap pajak daerah.
Rumus yang akan digunakan untuk menghitung kontribusi adalah sebagai
berikut :
Kontribusi terhadap Pajak Daerah = x100%

86
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Dengan analisis ini akan didapatkan seberapa besar kontribusi pajak


mineral bukan logam dan batuan dan kontribusinya terhadap Pajak daerah di
kabupaten sumbawa. Dengan membandingkan hasil analisis tersebut dari
tahun ke tahun selama tahun 2012-2014, didapatkan hasil analisis yang
berfluktuasi dari kontribusi tersebut dan akan diketahui kontribusi yang
terbesar dan yang terkecil dari tahun ke tahun. Sehingga dapat diketahui
seberapa besar peran pajak mineral bukan logam dan batuan dalam
menyumbang kontribusi terhadap pajak daerah Kabupaten Sumbawa.
Menurut Fuad Bawasir (1999) kriteria kontribusi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Klasifikasi Kriteria Kontribusi
Persentase
Kriteria
0,00% - 10%
10,10% - 20%
20,10% - 30%
30,10% - 40%
40,10% - 50%
Di atas 50 %

Sangat Kurang
Kurang
Sedang
Cukup Baik
Baik
Sangat Baik

V. HASIL ANALISIS
5.1. Analisis Efektivitas Pajak
Analisis Efektivitas pemungutan pajak pengambilan pajak mineral
bukan logam dan batuan merupakan indikator untuk mengukur tingkat
pemanfaatan sumber penerimaan pajak mineral bukan logam dan batuan
berdasarkan target yang ada. Oleh karena itu, mengukur tingkat efektivitas
pajak berarti membandingkan antara realisasi pajak dengan target pajak /
potensi pajak.
Berikut hasil perhitungan tingkat efektivitas pemungutan,
pengambilan dan pengolahan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di
Kabupaten Sumbawa:
Tabel 3.
Efektivitas Pajak Minerall Bukan Logam dan Batuan Di Kabupaten Sumbawa
Target
Realisasi
Efektivitas
Kriteria
No.
Tahun
(Rp)
(Rp)
(%)
Efektivitas (%)
1.

2012

2.000.000.000,00

2.298.438.300,00

114,92

Sangat efektif

2.

2013

2.000.000.000,00

2.324.264.974,00

116,21

Sangat efektif

3.

2014

3.000.000.000,00

1.935.501.118,00

64,51

Kurang efektif

98,54

(Efektif)

Rata-rata

Sumber: DPPK Sumbawa

87
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Hasil tersebut di atas diperoleh dengan cara:


2.298.438.300,00
Efektivitas 2012 =

x 100% = 114,92%
2.000.000.000,00
2.324.264.974,00

Efektivitas 2013 =

x 100% = 116,21%
2.000.000.000,00
1.935.501.118,00

Efektivitas 2014 =

x 100% = 64,51%
3,000,000,000,00
Dari hasil perhitungan efektivitas pemungutan, pengambilan dan
pengolahan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kabupaten
Sumbawa pada tabel 3 diatas, diketahui bahwa efektivitas pemungutan,
pengambilan dan pengolahan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di
Kabupaten Sumbawa tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 116,21%. Dan
terendah pada tahun 2014 yaitu hanya sebesar 64,51% terlalu rendahnya
efektivitas karena nilai realisasi terlalu rendah dan telah terbayar pada tahun
2013. Dan dilihat dari realisasi penerimaan pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan, realisasi penerimaan tertinggi dicapai pada tahun 2013 hal ini
disebabkan adanya pelebaran jalan Negara sehingga terjadi peningkatan
permintaan pasir dan batu untuk materialnya. Lebih lanjut dapat pula
dikemukakan bahwa efektivitas pemungutan, pengambilan dan pengolahan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kabupaten Sumbawa dari tahun
2012 sampai dengan tahun 2014 secara ratarata adalah sebesar 98,54% tiap
tahun. Dengan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor:
690.900.327 tahun 1996, tentang kriteria penilaian dan kinerja keuangan,
maka efektivitas pemungutan pajak pengambilan dan pengolahan Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kabupaten Sumbawa dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2014, termasuk dalam kategori efektif.
Apabila dilihat dari pertumbuhan efektivitas, terlihat bahwa
pertumbuhan efektivitas tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 1,12%
dibandingkan dengan tahun 2014 yang jauh menurun yaitu sebesar -51,7%.
Dikatakan kurang efektif karna nilai realisasi tidak sesuai dengan target
yang telah ditentukan.
5.2. Analisis Kontribusi
Analisis kontribusi yaitu perbandingan antara hasil realisasi
penerimaan tahun berjalan atas pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
dengan jumlah Total Penerimaan Pajak Daerah. Analisis kontribusi
merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar kontribusi Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagai sumber Pendapatan Daerah.

88
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Semakin tinggi kontribusi Pajak Daerah dalam hal ini Pajak Mineral bukan
Logam dan Batuan, maka semakin tinggi pula kemampuan daerah untuk
membiayai pemerintahannya sendiri. Kemampuan pembiayaan itu
menunjukkan adanya kinerja keuangan yang positif yaitu kemandirian
dalam membiayai kebutuhan daerah.
Tabel. 4.
Kontribusi Penerimaan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan
Terhadap Pajak Daerah Kabupaten Sumbawa
Tahun

Total penerimaan
pajak (Rp)

Realisasi pajak
(Rp)

Kontribusi
%

Kriteria
kontribusi

2012

10.872.866.644,86

2.298.438.300,00

21,14

Sedang

2013

12.522.961.000

2.324.264.974,00

18,6

Kurang

2014

19.383.250.000

1.935.501.118,00

9,85

Sangat
Kurang

Rata-rata

16,53

Sumber: DPPK Sumbawa


Hasil tersebut di atas diperoleh dengan cara:

2.298.438.300,00
Kontribusi 2012=

x 100% = 21,14 %
10.872.866.644,86
2.324.264.974,00

Kontribusi 2013=

x 100% = 18,6 %
12.522.961.000
1.935.501.118,00

Kontribusi 2014=

x 100% = 9,85 %
19.383.250.000

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa kontribusi


Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan terhadap Pajak Daerah pada tahun
2012 sebesar 21,14%, dan menurut kriteria nilai kontribusi tersebut
termasuk kedalam kriteria sedang karena lebih dari 20%. Tahun 2013
sebesar 18,6%, menurut kriteria yang menyatakan bahwa nilai persentase
kontribusi kurang dari 20 % dan lebih dari 10% maka masuk kedalam
kriteria kurang. Tahun 2014 sebesar 9,85% yang termasuk kedalam
kriteria sangat kurang, karena nilai kontribusi kurang dari 10%. Kontribusi

89
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

terbesar terjadi pada tahun 2012 yaitu menyumbang 21,14%, sedangkan


terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 9,85%. Berdasarkan kriteria
penilaian kontribusi, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagai
sumber Pendapatan Asli Daerah masuk kriteria kurang dengan prosentase
rata-rata 16,53%. Menurut fuad bawasir (1999) bahwa jika nilai kontribusi
dibawah 20% maka kontribusi tersebut termasuk dalam kategori kurang.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan:
1. Penerimaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dinilai efektif pada
nilai rata-rata. Tahun 2012 dan 2013 tingkat efektivitas pada tahun itu
dengan kriteria Sangat Efektif. Sedangkan pada tahun 2014 dapat
dikatakan Kurang Efektif. Penerimaan Pajak Mineral Bukan Logam
dan Batuan Kabupaten sumbawa dalam kurun waktu tiga tahun dari
tahun 2012-2014 tidak terus mengalami peningkatan melainkan trus
mengalami penurun.
2. Kontribusi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagai sumber
Pendapatan Daerah setiap tahun masing-masing dinilai sangat kecil.
Kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2012 sedangkan terendah terjadi
pada tahun 2014. Kontribusi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
terhadap Pajak Daerah selama tiga tahun terakhir dinilai tidak maksimal
dan masuk dalam kriteria kontribusi kurang.

5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka disarankan kepada pemerintah
sebaiknya terus melaksanakan penyuluhan yang lebih intensif dan persuasif
kepada Wajib Pajak khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selain itu,
perlu memberikan sanksi tegas kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
_________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1980 Tentang Penggolongan Bahan Galian.
_________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2001 Tentang Pajak Daerah.
_________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

90
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

_________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004


Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
_________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Devas, Nick. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Fitrayati, Dhiah., Widowati. R. N. 2014. Analisis Efektivitas Potensi
Pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kabupaten
Bojonegoro. Jurnal Pendidikan Ekonomi (JUPE). Volume 2. No 3.
Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi
Revisi. Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta.
Iktama, Siska. 2012. Analisis Potensi dan Efektivitas Pemungutan Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kabupaten Tuban(Skripsi).
Universitas Brawijaya.
Irwanto, Heru. Ekaputri Retno dan Roosemarina A. Rambe. 2009. Potensi,
Efektivitas dan Efisiensi Pengelolaan Pajak Bahan Galian Golongan
C di Kabupaten Kepahiang. JEPP. Volume 2 Nomor 1 (online)
(dc122.4shared.com), diakses 10 Januari 2012.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi,
Yogyakarta.
Munir, Dasril. Henry Arys Djuanda dan Hessel Nogi S. 2004. Kebijakan
dan Manajemen Keuangan Daerah. YPAPI, Yogyakarta.
Setiawan, Arif. 2009. Analisis Efektivitas Penerimaan Pajak Pengambilan
dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Terhadap Pendapatan
Asli Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2006-2008. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sugianto. 2007. Pajak dan Retribusi Daerah, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia (Grasindo), Jakarta.
Sugiyono. 2011. MetodePenelitianPendidikan
Kualitatif, dan R&D). Alfabeta, Bandung.
www. ntb.bps.go.id
www. sumbawakab.bps.go.id

(PendekatanKuantitatif,

91
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Analisis Suku Bunga Terhadap Volume Kredit


Pada Produk Sistem Usaha Tani (Suta) Bumdes LKM Berare
Kecamatan Moyo Hilir
Oleh :
Yogi Adminto
I Nyoman Sutama
Elly Karmeli

ABSTRAK
Keberadaan kredit Sistem Usaha Tani (SUTA) diharapkan mampu
membawa perbaikan dan peningkatan produktifitas di sektor pertanian.
Kendala permodalan yang selama ini menjadi persoalan petani akan dapat
diatasi dengan adanya kredit Sistem Usaha Tani (SUTA). Kredit ini
memiliki karakteristik seperti tingkat suku bunga 2% per bulan dengan
pengenaan bunga Flat Rate, tidak memiliki angsuran pokok bulanan akan
tetapi pelunasan pokok pada saat jatuh tempo. Bahasan mengenai kredit
tidak lepas dari suku bunga. Maka dari itu referensi yang baik mengenai
suku bunga perlu dicermati dalam meningkatkan volume kredit. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis dan mengetahui pengaruh Suku Bunga
terhadap Volume Kredit pada Produk Sistem Usaha Tani (SUTA) di
BUMDes LKM Berare Tahun 2014. Teknik Analisis menggunakan Analisis
Regresi Linier Sederhana. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat
pengaruh suku bunga terhadap volume kredit.
Kata Kunci : Suku Bunga, Volume Kredit, Suta
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu persoalan yang sering dihadapi pengusaha mikro dalam
hal ini petani adalah masalah permodalan contohnya ketika datang musim
tanam tiba. Ketika petani ingin mencoba alternatif peminjaman sebagai
sumber permodalan, masyarakat dihadapkan pada pilihan berat ketika
melalui lembaga perbankan yang kita tahu bahwa meminjam di bank
bukanlah perkara mudah ditambah prosedur yang rumit dan berbagai biaya
yang harus ditanggung oleh debitur seperti biaya bunga, administrasi,
transportasi dan yang terpenting adalah berapa lama kredit itu bisa
direalisasikan.
Menanggapi hal tersebut tercapailah satu kebijakan pemerintah
dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro.
BUMDes LKM sebagai lembaga keuangan mikro akan sangat membantu
masyarakat dalam memperoleh pinjaman dengan beban bunga yang relatif

92
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

terjangkau disertai juga dengan sistem pembayaran bunga yang di


sesuaikan dengan jenis usaha yang digeluti masyarakat, jadi BUMDes LKM
layaknya Bank Mikro yang mengerti dengan kebutuhan dan keadaan
masyarakat.
BUMDes LKM Berare Kecamatan Moyo Hilir telah sukses melalui
salah satu produk kredit unggulannya yaitu Kredit Sistem Usaha Tani
(SUTA) yang mengakomodasi peminjaman modal bagi pelaku usaha tani
yang memang sebagian besar masyarakat setempat bermata pencaharian
petani. Produk ini menerapkan tingkat suku bunga flat 2% per bulan. Sistem
pembayaran bunga yang disesuaikan dengan siklus pendapatan dan
kemampuan masyarakat dalam membayar angsuran pokok maupun
angsuran bunga dimana kredit Sistem Usaha Tani (SUTA) memakai sistem
bunga di muka dan pembayaran pokok pinjaman dilakukan pada saat jatuh
tempo. Menariknya sistem ini dapat didesain menyesuaikan dengan waktu
produksi pertanian yaitu waktu musiman dan pada saat musim panen inilah
pengembalian pokok kredit dilakukan. Data mennjukkan volume kredit
SUTA rata-rata (dibulatkan) empat puluh empat juta rupiah per bulan
dengan pendapatan bunga SUTA rata-rata (dibulatkan) tiga juta lima ratus
ribu rupiah per bulan.
1.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
mengetahui pengaruh Suku Bunga terhadap Volume Kredit pada Produk
Sistem Usaha Tani (SUTA) di BUMDes LKM Berare Tahun 2014.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya
Etik Kristanti (2013) dengan penelitian yang berjudul Pengaruh
Suku Bunga Kredit Terhadap Permintaan Kredit (Studi Kasus di Koperasi
Citra Mandiri Pasuruan). Hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh
negatif suku bunga kredit terhadap permintaan kredit. Peningkatan suku
bunga kredit akan menyebabkan penurunan permintaan kredit dari
masyarakat menurun karena masyarakat menyesuaikan antara
pendapatannya dengan suku bunga yang harus dibayarkan.
Penelitian Glently Kaunang (2013) dengan judul Tingkat Suku
Bunga Pinjaman dan Kredit Macet pengaruhnya terhadap Permintaan
Kredit UMKM di Indonesia. Variabel penelitian yaitu tingkat suku bunga,
kredit macet dan permintaan kredit. Hasil analisis menunjukkan tingkat
suku bunga pinjaman dan kredit macet berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap permintaan kredit UMKM di Indonesia.
Penelitian Arif Ikmaludin (2012) yang berjudul Pengaruh Suku
Bunga Kredit Terhadap Jumlah Realisasi Kredit Usaha Mikro Pada PD
BPR BKK Talang 2011. Hasil analisis antara suku bunga dengan jumlah
realisasi kredit menunjukkan hubungan negatif dan lemah. Selain itu, hasil

93
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

analisis juga menunjukan tidak ada pengaruh signifikan antara suku bunga
kredit dengan jumlah realisasi kredit usaha mikro pada PD BPR BKK
Talang 2011.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Kredit
Kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere atau credo yang artinya
percaya. Yang dimaksudkan percaya adalah pemberi kredit percaya kepada
penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan di kembalikan
sesuai dengan perjanjian. Rolin G. Thomas dalam Racmat Firdaus dan
Maya Ariyanti (2011 : 2) bahwa dalam pengertian umum kredit didasarkan
pada kepercayaan atas kemampuan peminjam untuk membayar sejumlah
uang pada masa yang akan datang.
Menurut Maryanto Supriyono (2011: 79) menggolongkan jenis-jenis
kredit dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Kredit Modal Kerja
Yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai modal kerja suatu
perusahaan. Modal kerja tersebut dapat meliputi :
a. Stock barang
b. Mengurangi hutang dagang atau pembelian tunai kepada supplier
2. Pembayaran barang di depan terlebih dahulu sebelum barang itu datang
3. Kredit Investasi
Kredit investasi yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian
mesin, membangun kantor, pabrik, kendaraan perusahaan, relokasi,
diversifikasi produk, ekspansi modernisasi dan lain-lain.
4. Kredit Konsumer
Kredit yang dibutuhkan untuk konsumsi misalnya pembelian rumah
tinggal, kendaraan pribadi dan lain-lain.
5. Bank Garansi
Bank Garansi adalah fasilitas yang diberikan oleh bank atas permintaan
debitur untuk menjamin pihak lain apabila debitur cedera janji.
Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 pasal 21 ayat 11
memberikan pengertian bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
2.2.2. Bunga Bank
Bank Indonesia mendefinisikan bunga sebagai imbalan yang
dibayarkan oleh peminjam atas dana yang diterima, bunga dinyatakan dalam
persen (interest). Penjabaran tentang bunga secara umum Kasmir (2011 :
133) menerangkan bahwa Bunga dapat diartikan sebagai balas jasa yang
diberikan berdasarkan prinsip konvensional oleh bank (maupun lembaga

94
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

keuangan lain) kepada nasabah yang membeli atau menjual produknnya.


Bunga pinjaman merupakan bunga yang dibebankan kepada para peminjam
(Debitur) atas harga jual yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada
kreditur. Bagi kreditur bunga pinjaman merupakan harga jual dan contoh
harga jual adalah bunga kredit.
a. Suku Bunga
Bank Indonesia memberikan penjelasan bahwa suku bunga adalah beban
biaya yang dinyatakan dengan persentase tertentu dalam rangka
peminjaman uang untuk jangka waktu tertentu atau merupakan biaya
kredit bank kepada nasabah (interest rate). Tingkat suku bunga
merupakan bunga yang dinyatakan dalam persentasi dari nilai simpanan
atau pinjaman dapat berupa 2%, 10%,12% dan sebagainya. Menurut
Keynes dalam Sadono Sukirno (2013 : 381) bahwa suku bunga
bergantung kepada :
1. Jumlah uang beredar (penawaran uang)
2. Preferensi Likuiditas (permintaan uang).
Prefenrensi likuiditas adalah permintaan ke atas uang oleh seluruh
masyarakat dalam perekonomian yang dipengaruhi oleh 3 motif utama
yaitu motif transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi.
Kasmir (2011 : 134-137) Mengurai faktor-faktor yang mempengaruhi
suku bunga sebagai berikut :
1. Kebutuhan Dana
Ketika bank kekurangan (simpanan sedikit), sementara permohonan
pinjaman meningkat maka yang dilakukan bank agar dana cepat
terpenuhi adalah dengan meningkatkan suku bunga simpanan.
2. Persaingan
Dalam persaingan memperebutkan dana simpanan maka di samping
factor promosi juga harus memperhatikan pesaing. Dengan mematok
bunga simpanan diatas bunga pesaing dan bunga pinjamnan di bawah
bunga pesaing.
3. Kebijaksanaan Pemerintah
Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat menentukan batas maksimal
atau batas minimal suku bunga yang berlaku baik itu ssimpanan
maupun pinjaman sehingga bank atau lembaga keuangan tidak boleh
melewati batas yang telah ditentukan.
4. Target Laba yang Dinginkan
Target ini merupakan besarnya keuntungan yang dinginkan oleh bank
atau lembaga keuangan. Menaikkan laba bisa dengan meningkatkan
bunga pinjaman namun harus berhati-hati agar tidak ditinggalkan
nasabah.
5. Jangka Waktu
Semakin panjang waktu pinjaman semakin tinggi bunganya hal ini
karena kemungkinan resiko di masa datang.

95
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

6. Kualitas Jaminan
Semakin lukuid jaminan yang diberikan semakin rendah bunga yang
diberikan hal ini berkaitan dengan kemudahan bank untuk mencairkan
jaminan apabila terjadi kredit bermsalah.
7. Reputasi Perusahaan/ Peminjam
Semakin baik reputasi maka kemungkinan bunga bisa lebih rendah
dibandingkan dengan reputasi buruk.
8. Produk yang Kompetitif
Respon pasar terhadap produk yang dibiayai dari kredit tersebut
apabila produk itu sangat kompetitif maka kemungkinan bunga bisa
lebih rendah dan sebaliknya.
9. Hubungan Baik
Jika nasabah yang memiliki keaktifan dan loyalitas terhadap bank
maka bisa digolongkan ke dalam nasabah utama sehingga bisa
berbeda tingkat bunga yang diberikan dari pada nasabah biasa.
10. Jaminan Pihak Ketiga
Jika pihak ketiga yang memberikan jaminan dapat dipercaya dan
memiliki kesanggupan untuk menjamin maka dapat dikenakan bunga
yang lebih rendah.
b. Flat Rate
Telah diterangkan sebelumnya bahwa metode pengenaan bunga kredit di
BUMDes LKM Berare menggunakan metode Flat Rate atau suku bunga
rata / tetap. Menurut Racmat Firdaus & Maya Ariyanti (2011 : 77 )
menjelaskan bahwa Flat Rate sesuai namanya (flat = rata), maka bunga
yang dikenakan kepada debitur setiap bulan (atau periode) jumlahnya
tetap, walaupun jumlah pokok kredit telah menurun karena telah diangsur
setiap bulan.
c. Sistem Bunga di Muka
Menurut The Consultative Group to Assist The Poor / CGAP (2002 : 6)
menjelaskan bahwa Sistem Bunga di Muka pada Kredit Keuangan Mikro
adalah salah satunya Sistem Bunga Tetap di Muka yakni sistem
penerapan bunga setiap periode dihitung atas nilai total kredit dan nilai
total bunga di bayar di muka pada awal pemberian kredit. Untuk
menghitung jumlah bunga perbulan harus dibayarkan di muka maka
dapat digunakan rumus sederhana yaitu : Total bunga = p x I x n
Keterangan : p = pokok kredit; I = bunga per bulan (%); n = jangka waktu
kredit (jumlah bulan).
2.2.3. Pengaruh Suku Bunga Terhadap Volume Kredit
Ketika kondisi tingkat suku bunga yang semakin tinggi, secara
teoretis berdampak langsung dalam bentuk menurunnya volume kredit.
Sebaliknya, di saat menurunnya suku bunga, maka volume kredit akan
meningkat. Tingkat suku bunga yang rendah dapat menjadi acuan yang

96
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

menarik bagi masyarakat pelaku ekonomi mikro seperti petani karena


dengan suku bunga yang relatif rendah dapat menjadi jalan keluar terhadap
kesulitan akses permodalan yang memang menjadi salah satu persoalan
sektor pertanian di tengah ketidakstabilan perekonomian yang
mengakibatkan berubahnya siklus pendapatan. Begitu pula sebaliknya
ketika suku bunga yang tinggi membuat masyarakat enggan untuk
meminjam karena akan semakin membebani keuangan dan masalah ini
sekaligus dapat menjadi faktor penghambat pembiayaan untuk
pengembangan sektor pertanian.
Kenyataan teori tersebut kerap berbeda bila diteliti lebih dalam.
Kadangkala suku bunga kredit menjadi tidak sensitif bagi nasabah. Tinggi rendahnya suku bunga tidak selalu berdampak pada fluktuasi pemberian
kredit. Hal ini terjadi karena suku bunga hanya merupakan salah satu
instrumen dari fungsi permintaan dan penawaran kredit. Ada instrumen lain
yang harus diperhitungkan.
Dalam praktik di lapangan misalnya untuk Pemberian kredit mikro,
pada umumnya masalah kecepatan proses realisasi kredit karena kadangkala
masyarakat tidak terlalu memikirkan berapa tinggi rendahnya tingkat suku
bunga sebab yang terpenting adalah segera memperoleh modal di saat
kebutuhan mendesak dan inillah yang seringkali menjerumuskan
masyarakat dalam praktik rentenir atau lintah darat . Sementara kredit
menengah dan skala besar oleh korporasi maka suku bunga menjadi acuan
utama yang harus di perhitungkan berdasarkan beban keuangan perusahaan
untuk mencapai laba yang maksimal.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif yang mana digunakan
untuk mencari pengaruh antar variabel. Menurut Sugiyono (2003: 11),
Penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian
ini mempunyai tingkatan tertinggi dibandingkan dengan diskriptif dan
komparatif karena dengan penelitian ini dapat dibangun suatu teori yang
dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu
gejala. Jadi dengan penelitian ini akan dianalisis pengaruh antara variabel
suku bunga dengan variabel volume kredit.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif, merupakan data yang berupa data angka, tabel, grafik. Data
kuantitatif dalam penelitian ini berupa data pendapatan bunga SUTA selama
12 bulan dan volume kredit SUTA selama 12 bulan maupun data - data
kuantitatif lainnya. Sementara itu, data yang dianalisis dalam penelitian ini
bersumber dari data sekunder berdasarkan Buku Realisasi Kredit Sistem

97
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Usaha Tani (SUTA) tahun 2014 dan Buku Laporan Pertanggungjawaban


Manajer BUMDes LKM Berare Kecamatan Moyo Hilir tahun 2014.
3.3. Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode
pencatatan dokumen baik terhadap buku realisasi kredit maupun terhadap
dokumen laporan tahunan yang berisi data pendapatan bunga serta dokumen
lain yang berkaitan dengan kredit SUTA.
3.4. Variabel Penelitian
Klasifikasi Variabel dalam Peneitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel Terikat (Variabel Dependen / Y ) yaitu Volume Kredit Pada
Produk Sistem Usaha Tani. Volume kredit adalah jumlah realisasi kredit
SUTA atau bersaran nilai kredit Sistem Usaha Tani (SUTA) yang
diberikan oleh BUMDes LKM Berare dalam rupiah perbulan selam 12
bulan pada tahun 2014.
2. Variabel Bebas (Variabel Independen / X ) yaitu Suku Bunga Pada
Produk Sistem Usaha Tani. Suku Bunga pada produk Sistem Usaha Tani
(SUTA) adalah jumlah bunga yang diperoleh dari kredit yang
dikenakan suku bunga 2% perbulan dipotong di depan berdasarkan
jangka waktu pengembalian kredit. Data suku bunga ini diambil dari
data pendapatan bunga Sistem Usaha Tani (SUTA) dalam rupiah per
bulan selama 12 bulan pada tahun 2014.
3.5. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis Regresi Linier Sederhana. Menurut Ating Somantri &
Sambas Ali Muhidin (2006 : 243) regresi linier sederhana adalah analisis
yang bertujuan untuk mempelajari hubungan linier antar dua variabel.
Kegunaanya yaitu untuk meramalkan nilai variabel terikat (Y) berdasarkan
variabel bebas (X). Modelnya adalah Y = a + bX
Keterangan :
Y
= Volume Kredit
a
= Nilai Konstanta
b
= Koefisien Regresi
X
= Suku Bunga
Pengolahan data data menggunakan software statistik yaitu IBM
SPSS Statistic 20.
.

98
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

IV. HASIL ANALISIS


4.1. Deskripsi Data
Data yang digunakan adalah data dalam satuan uang atau dalam nilai
rupiah hal ini untuk mengakomodasi nilai uang atau nilai rupiah dari suku
bunga yang didalamnya terkandung sistem bunga flat rate dan sistem
pembayaran bunga dimuka hal ini untuk menyesuaikan dengan kondisi suku
bunga yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga suku bunga tidak pernah
berfluktuasi yakni tetap 2% selama periode data tersebut.
Tabel 4.1.
Pendapatan Bunga Kredit SUTA BUMDes LKM Berare Tahun 2014
Pendapatan Bunga
No.
Bulan
Kredit SUTA ( X )
1.
Januari
3,014.000
2.
Februari
3,296.000
3.
Maret
3,436.000
4.
April
4,042.000
5.
Mei
2,944.000
6.
Juni
3,064.000
7.
Juli
3,486.000
8.
Agustus
3,770.000
9.
September
4,524.000
10.
Oktober
3,228.000
11.
November
3,441.000
12.
Desember
3,275.000
JUMLAH
41,520.000
Sumber : BUMDes Berare
Pendapatan Bunga Kredit SUTA pada januari 2014 Rp.3,014.000
terus meningkat pada Februari Rp.3,296.000, naik tipis di bulan Maret
sebesar Rp.3,436.000 hingga mengalami kenaikan pada bulan April sebesar
Rp.4,042.000, terjadi penuurunan pada bulan Mei Rp2,944.000, selanjutnya
bulan Juni meningkat sebesar Rp.3,064.000 hingga bulan September sebesar
Rp.3,064.000 setelah itu turun dan berfluktuasi dari bulan Oktober sebesar
Rp. 3,228.000, hingga penutupan pada Desember turun sebesar
Rp.3,275.000. Terjadinya fluktuasi pendapatan bunga merupakan respon
dari naik turunnya volume kredit yang disebabkan oleh pola realisasi kredit
yang menyesuaikan dengan pola kebutuhan masyarakat yang bersifat
musiman timbul dalam waktu rata-rata tiga sampai enam bulan dalam
siklus pertanian. Nilai ini tentunya dipengaruhi oleh besaran pokok dan
jangka waktu kredit.

99
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Sementara itu, volume kredit SUTA adalah jumlah realisasi atau


besaran nilai kredit yang telah diberikan sehingga menggunakan data Kredit
Yang Diberikan (KYD) per bulan selama tahun 2014.
Tabel 4.2.
Volume Kredit SUTA BUMDes LKM Berare Tahun 2014
Volume Kredit SUTA (Y)
No.
Bulan
(Berdasarkan Kredit Yang
Diberikan / KYD SUTA)
1.
Januari
19,300.000
2.
Februari
5,000.000
3.
Maret
3,000.000
4.
April
45,900.000
5.
Mei
100,500.000
6.
Juni
29,900.000
7.
Juli
6,200.000
8.
Agustus
16,800.000
9.
September
66,600.000
10.
Oktober
54,050.000
11.
November
50,850.000
12.
Desember
128,900.000
JUMLAH
527,000.000
Sumber : BUMDes Berare
Volume kredit Sistem Usaha Tani (SUTA) pada bulan Januari
sebesar Rp.19,300.000 kemudian mengalami penurunan pada bulan
Februari sebesar Rp. 5,000.000 hingga Maret sebesar Rp. 3,000.000
kemudian meningkat cukup tinggi di bulan April sebesar Rp. 45,900.000
hingga peningkatan signifikan pada bulan Mei sebesar Rp.100,500.000,
turun drastis pada bulan Juni sebesar Rp.29,900.000 dan berfluktuasi pada
bulan Juli sebesar Rp.6,200.000, Agustus Rp.16,800.000 hingga September
Rp.66,600.000 mengalami kenaikan dan menurun lagi pada Oktober
Rp.54,050.000, hingga November Rp.50,850.000 dan peningkatan yang
sangat tajam di bulan Desember sebesar Rp.128,900.000. Naik turunnya
volume kredit disebabkan oleh pola kebutuhan masyarakat yang bersifat
musiman. kebutuhan ini berupa biaya bajak sawah, biaya upah buruh tanam,
biaya pemupukan, biaya obat pestisida dan lain-lain yang mana biaya ini
timbul rata-rata dari tiga sampai enam bulan dalam siklus pertanian.

100
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

4.2. Hasil Analisis


Dari hasil analisis diperoleh persamaan regresi Y = a + bX, Maka
persamaan regresinya adalah Y = 55330.183 - 3.299X. Nilai Konsanta (a) =
55330.183 dan Koefisien Regresi (b) = -3.299. Dari persamaan ini dapat
dijelaskan bahwa apabila Suku Bunga (X) sama dengan nol atau tidak ada
perubahan maka Volume Kredit (Y) sebesar 55330,183. Koefisien Regresi
(b) yaitu -3.299 yang berarti apabila Suku Bunga (X) turun sebesar satu
satuan maka volume kredit (Y) meningkat sebesar 3.299.
Selain itu, dari hasil analisis diketahui nilai t hitung (tabel 4.3.
Coefficientsa) sebesar -0,121 dan nilai t tabel sebesar 2,228, karena nilai t
hitung < t tabel maka Ho diterima jadi tidak terdapat pengaruh suku bunga
terhadap volume kredit.

Model
1

(Constant)
Suku Bunga

Tabel 4.3.
a
Coefficients
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
55330.183
95308.620
-3.299
27.327
-.038

T
.581
-.121

Sig.
.574
.906

Hasil analisis dalam penelitian ini meunjukkan bahwa masyarakat


tidak terlalu terpengaruh dengan suku bunga kredit SUTA meskipun
produk kredit SUTA memiliki berbagai penawaran akan kemudahan dalam
proses pembayaran bunga maupun pelunasan pokok kredit. Tingkat suku
bunga 2% per bulan secara Flat yang relatif terjangkau oleh pendapatan
masyarakat dengan sistem pembayaran bunga di muka yang mampu
mengontrol pengeluaran masyarakat karena masyarakat tidak akan merasa
terbebani dengan biaya bunga bulanan sehingga persoalan denda bunga
tunggakan serta kemungkinan terjadi kredit macet akan bisa di minimalisir.
Namun tampaknya berbagai fitur bunga produk SUTA yang ditawarkan ini
tidaklah menjadi referensi utama masyarakat ketika membeli produk
tersebut,
Secara teoritis dalam suatu kondisi tingkat suku bunga yang tinggi
dapat menurunkan volume kredit sebaliknnya ketika suku bunga turun maka
akan meningkatkan volume kredit. Akan tetapi kenyataannya di lapangan
seringkali berbeda. Suku bunga tidak terlalu sensitif bagi nasabah dengan
kata lain fluktuasi suku bunga tidak berpengaruh langsung dan besar
terhadap volume kredit.
Sebagai contoh untuk kredit mikro yang menjadi pertimbangan
utama adalah kemudahan prosedur, seberapa cepat masyarakat memperoleh
kredit, persoalan jaminan, ditambah dengan masih banyaknya masyarakat
yang awam terhadap prosedur pengajuan kredit sebagai contoh masih
banyaknya masyarakat yang meminjam dari rentenir meskipun mereka
harus menanggung bunga yang relatif tinggi di atas bunga yang berlaku di
BUMDes LKM Berare bahkan lebih tinggi lagi di atas 20 25%. Hal itu
dilakukan karena prosedur mudah, cepat dan tidak berbelit-belit. Sedangkan

101
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

kredit skala besar oleh korporasi maka suku bunga menjadi pertimbangan
utama bagi perusahaan mengingat nilai beban perusahaan harus disesuaikan
dengan target laba yang diinginkan.
Lembaga keuangan mikro dalam bentuk Badan Usaha Bilik Desa
yang merupakan lembaga yang berasal dari program pemerintah secara
teoritis maupun prakteknya di lapangan akan berbeda dengan perbankan.
BUMDes LKM yang di peruntukkan untuk mengakomodasi kepentingan
ekonomi mikro maka masalah prosedur memang sudah semestinya di
sesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena
itu yang harus dijadikan catatan adalah suku bunga di BUMDes LKM
Berare bukanlah faktor utama dalam meningkatkan volume kredit karena
masih banyak faktor lain yang juga harus dipikirkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Berdasarkan
hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh suku
bunga terhadap volume kredit pada produk Sistem Usaha Tani (SUTA) di
BUMDes LKM Berare Kecamatan Moyo Hilir tahun 2014.
5.2. Saran
a. Pemerintah perlu mendorong percepatan pembangunan fasilitas
penunjang seperti gedung kantor yang memadai bagi BUMDes
LKM Berare demi memperlancar aktivitas pelayanan, keamanan
dan kenyamanan nasabah atau masyarakat ketika bertransaksi.
b. Pemerintah harus mampu mengoptimalkan peran dari keberadaan
BUMDes LKM dengan tidak meluncurkan program lain yang
sejenis dengan kegiatan usaha BUMDes LKM. Di samping itu
pemerintah juga harus memberikan dukungan dan perhatian yang
sama antara lembaga perbankan dan juga BUMDes LKM,
c. Pemerintah perlu memberikan reward bagi BUMDes LKM yang
memiliki kinerja keuangan yang sehat dan mampu mencapai
pertumbuhan yang positif misalnya dengan memberikan suntikan
modal dalam rangka ekspansi usaha. Di sisi lain juga terus
memberikan pembinaan bagi BUMDes LKM yang memiliki
kinerja kurang maksimal.
d. BUMDes LKM Berare perlu membuka kesempatan yang luas bagi
masyarakat untuk menanamkan modalnya atau ikut terlibat dalam
kepemilikan saham BUMDes LKM karena ini dapat menjadi
peluang BUMDes LKM Berare untuk penguatan modal dan juga
keuntungan bagi masyarakat pemegang saham sehingga
menciptakan pola bisnis yang saling menguntungkan antara
BUMDes LKM Berare dengan masyarakat.

102
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Suku Bunga Kredit Mikro. Makalah Terbitan Berkala No. 1,
November 2002. The Consultative Group to Assist the Poor.
Washington DC.
Ating Somantri & Sambas Ali Muhidin. 2006. Aplikasi Ststistika dalam
Penelitian. Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Hasibuan, Malayu S.P. 2006. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta : PT BUMI
AKSARA.
Ikmaludin, Arif. 2012. Pengaruh Suku Bunga Kredit terhadap Jumlah
Realisasi Kredit Usaha Mikro Pada PD BPR BKK Talang.
http://perpus.upstegal.ac.id/v4/?mod=opaq.koleksi.form&page=2266
&barcode=MNJ0312018 (diakses pada 2 Agustus 2015)
James L. Pappas & Mark Hirschey.1995. Ekonomi Manajerial. Jakarta:
Binarupa Aksara.
Kasmir. 2011. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.
Kaunang, Glently. 2013. Tingkar Suku Bunga Pinjaman dan Kredit Macet
Pengaruhnya Terhadap Permintaan Kredit UMKM di Indonesia.
Jurnal EMBA Vol. 1 No. 3, September, 920-930. Fakultas Ekonomi &
Bisnis. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Gubernur Bank
Indonesia No. 351.1/KMK.010/2009, No. 900-639A Tahun 2009, No.
01/SKBM/M.KUKM/IX/2009, No 11/43A/KEP.GBI/2009 Tentang
Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro.
Kristanti, Etik. 2013. Pengaruh Suku Bunga Kredit Terhadap Permintaan
Kredit : Studi Kasus di Koperasi Citra Mandiri Pasuruan. Artikel
Economica. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan
Guru Republik Indonesia Jombang.
Peraturan Bupati Sumbawa No. 60/2008 Tentang Pedoman Pembentukan
dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro
(BUMDes LKM).
Peraturan Bupati Sumbawa No. 22a/2009 Tentang Perubahan Peraturan
Bupati Sumbawa No. 60/2008 Tentang Pedoman Pembentukan dan
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro
(BUMDes LKM).
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa No. 24/2010 Tentang Pedoman
Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39/2010 Tentang Badan Usaha Milik
Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72/2005 Tentang Desa.
Racmat Firdaus & Maya Ariyanti. 2011. Manajemen Perkreditan Bank
Umum ( Teori Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap dengan
Analisis Kredit). Bandung : ALFABETA.

103
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jilid 1 Nomor 11, April 2016

Sukirno, Sadono. 2013. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta : PT.


RajaGrafindo Persada.
Supriyono, Maryanto. 2011. Buku Pintar Perbankan. Yogyakarta : C.V
ANDI OFFSET.
Transform. Tentang BUMDes LKM. Dari :
.http://transform.or.id/?inc=bumdes/tentangbumdes&ttl=Tentang%20
BUMDes%20LKM (diakses pada 27 April 2015).
Transform. Regulasi BUMDes. Dari :
http://transform.or.id/?inc=regulasi&ttl=Regulasi%20BUMDes
(diakses pada 27 April 2015).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10/1998 Tentang Perubahan UU.
No. 7/1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1/2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro.

JURNAL EKONOMI & BISNIS

Contents
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi Di
Indonesia
Analisis Return dan Risk Piutang Pada Koperasi KPN
Korpri Lape Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa
Menuju Kampus Berbasis Enterpreneur Suatu
Pendekatan Pemberdayaan
Analisis Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Di
Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa
Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap
Banyaknya Anak Terlantar Di Kabupaten Sumbawa
Efektivitas Pengambilan Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan serta Kontribusinya Terhadap Pajak Daerah Di
Kabupaten Sumbawa
Analisis Suku Bunga Terhadap Volume Kredit Pada
Produk Sistem Usaha Tani (Suta) Bumdes LKM Berare
Kecamatan Moyo Hilir

Halaman Penulis

1
22
38

Wahyu Haryadi

Ika Fitriyani
Kamaruddin
Asmini

48

Puput Ayu Septianita


Syafruddin
Subhan Purwadinata

63

Winda Ayu Halidasiyah


I Nyoman Sutama
Suprianto

77

Yayu Rohayu
Ishak Rahman
Suprianto

91

Yogi Adminto
I Nyoman Sutama
Elly Karmeli

Judul

PUSAT RISET EKONOMI & PEMBANGUNAN

Anda mungkin juga menyukai