Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen

jaringan tubuh, sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jaringan secara global. Kondisi ini

meyebabkan disfungsi seluler akibat ketidak seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen.

Kerusakan sel berkelanjutan, mengeluarkan sitokin proinflamasi yang semakin memperparah

perfusi ke jaringan, akhirnya menyebabkan disfungsi organ multipel dan kematian.

Keadaan ini membutuhkan penanganan yang cepat karena dapet berkembang / memburuk

dengan cepat.  Klasifikasi syok juga menentukan langkah selanjutnya yang akan diambil oleh

klinisi karena penanganan masing-masing jenis syok tersebut berbeda satu sama lain, tetapi tetap

dengan tujuan mengembalikan perfusi jaringan dan oksigenasi yang adekuat. Biasanya syok

ditandai dengan hipotensi (MAP <60mmHg), takikardi, gangguan perfusi ke organ. Pada

awalnya tubuh masih dapat kompensasi, seperti hiperventilasi, takikardi, vasokonstriksi

pembuluh darah dan mengalihkan peredaran darah dari gastrointestinal dan renal ke otak, paru

dan jantung. Kondisi klinis yang tidak diperbaiki dapat mengakibatkan syok dekompensasi,

akibat asidosis metabolic, kerusakan sel, kebocoran protein, dan penurunan curah jantung dari

dilatasi vaskular dan depresi miokard. Kerusakan berulang pada organ vital menyebabkan

kegagalan organ multipel dan berakhir dengan gagal jantung dan PEA. Syok pada tahap akhir ini

tidak bisa atau hampir tidak mungkin dikembalikan.

Idealnya sebelum ada penurunan tekanan darah sistolik kita dapat mengidentifikasi syok, dan

mencegah perjalanan klinis ke fase ireversibel. Tekanan darah yang normal tidak mengecualikan

diagnosis syok.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke

jarinagn, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian karena syok terjadi bila

keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel. Terapi syok bertujuan

memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.

Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalis sehingga

menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga sebagai

volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan non vital

(kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru-paru, dan

ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan

hipoksia jaringan dan sel.

2.2 Klasifikasi Syok

1. Syok Hipovolemik - Syok yang disebabkan karena kekurangan cairan tubuh

a. Hemoragik : Hemoragik Internal (trauma, perdarahan GI) dan Eksternal

(hematoma, hematotoraks)

b. Non-Hemoragik : Kehilangan cairan (luka bakar, pankreatitis, deskuamasi kulit)

elektrolit (muntah, diare, keringat berlebih, asites, obstruksi usus, insufisiensi

renal, diabetes insipidus)


2. Syok Kardiogenik - Kegagalan kerja jantungnya sendiri. Gangguan perfusi jaringan yang

disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut).

3. Syok Distributif - Berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer

a. Syok Septik - Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan

toksinnya didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.

b. Syok Anafilaktif - Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen

antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas

membran kapiler dan terjadi dilatasi arteriola sehingga venous return menurun.

Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa

c. Syok Neurogenik - Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang

disebabkan karena disfungsi sistim saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.

Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok.

4. Syok Obtruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung) - Ketidakmampuan

ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume

sekuncup dan endnya curah jantung. Misalnya : tamponade kordis, koarktasio aorta,

emboli paru, hipertensi pulmoner primer.


2.3 Syok Hipovolemik

2.3.1 Etiologi

Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang terdiri dari:

1. Perdarahan (Hematom subkapsular hati, Aneurisma aorta pecah, Pendarahan

gastrointestinal, Perlukaan berganda)

2. Kehilangan plasma (Luka bakar yang luas, Pankreatitis, Deskuamasi kulit, Sindrom

Dumping)

3. Kehilangan cairan ekstraselular (Muntah, Dehidrasi, Diare, Terapi diuretik yang sangat

agresif, Diabetes insipidus, Insufisiensi renal)

2.3.2 Patofisiologi syok hipovolemik

Terdapat 4 stage perkembangan patofisiologi shock yang berlangsung secara progresif

dan berkelanjutan, yaitu:


a. Inisial

Terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya oksigen untuk memberikan

suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan hipoksia ini menyebabkan proses

masuknya piruvat pada siklus kreb menurun, sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat

tersebut akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan

laktat yang menyebabkan keadaan asidosis laktat.

b. Kompensatori

Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengkompensasi. Asidosis

yang terjadi dalam tubuh dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk

mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam

keseimbangan asam basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah.

Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian dideteksi oleh barosreseptor, tubuh

merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan epnefrin. Norepinefrin berperan dalam

vasokonstriksi pembuluh darah. Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan pada

peningkatan denyut jantung. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin

angiotensi aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi pelepasan hormon vasopressor atau ADH

(anti diuretic hormon) yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah dengan cara

menurunkan urine output.

c. Progresif

Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami tahap

progresif dan mekanisme kompensasi mulai  mengalai kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis

metabolik semakin parah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga

terjadi penimbunan darah dalam pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan
hidrostatik dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya cairan

ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan viscositas darah menjadi

meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dalam aliran darah sehingga berakibat terjadinya

kematian banyak jaringan.

d. Refraktori

Pada stadium ini terjadi kegagalan organ dan shock menjadi ireversibel. Kematian

otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena ATP sudah banyak

didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen dalam sel. Adenosin yang

terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya

di transformasi menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian

oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat difosforilasi menjadi

ATP (Wijaya, 2010).

2.3.3 Gejala klinik Syok Hipovolemik

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta

perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Gejala

klasik syok yaitu, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring,

pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung, peningkatan kerja simpatis,

hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi besar

guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, interselular

dan menurunkan produksi urin (Kolecki, 2014). 

2.3.4 Stadium Syok Hipovolemik


Syok hipovolemik dibagi menjadi 4 tingkatan. Empat tingkatan ini dikenal juga dengan 'Tennis's

Shock Hypovolemic Shock". Hal ini dikarenakan 4 tingkatan dari persentase kehilangan darah

pada stage ini mirip dengan skor pada olah raga tenis, yaitu 15, 15-30, 30-40, 40

Stage 1 Stage 2 Stage 3 Stage 4


(Classic sign)
% Kehilangan <15% 15% - 30% 30% - 40% >40
volume darah (750 ml) (750 – 1500 ml) (1500 – 2000 (>2000 ml)
ml)
Cardiac Normal Tidak mampu Tidak mampu Tidak mampu
Output dikompensasi oleh dikompensasi dikompensasi
konstriksi pembuluh oleh konstriksi oleh konstriksi
darah pembuluh pembuluh darah
darah
Tekanan Normal TD sistolik normal TD sistolik Menurun hingga
darah namun diastolic menurun <100 < 70 mmHg
meningkat sehingga mmHg
gap antara sistolik
dan diastolic (pulse
pressure) menurun.
Laju nafas Normal Meningkat namun < Takipnea jelas Takipnea jelas
30 x/menit (>30 x /menit) (>30 x /menit)
Nadi Normal Takikardi Takikardia Takikardia
(>100x/menit) jelas (>120 x / (>130 x/ menit)
menit) dengan pulsasi
yang lemah
Kulit Kulit mulai Pucat, dingin karena Berkeringat, Berkeringat,
pucat alian darah menuju dingin dan dingin, dan
ke organ vital pucat sangat pucat
Status Mental sedikit Gelisah ringan Bingung, Penurunan
cemas/ (restless) cemas, agitasi kesadaran,
gelisah lethargy, coma
Pengisian Normal Waktu pengisian Delayed absent
Kapiler kapiler memanjang
Urine Output Normal Menurun (20-30 ml / 20 ml /jam Sangat menurun
jam) hingga absent-
Tidak berarti
Tata laksana Syok Hipovolemik

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: 
 memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,

peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah

 mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

 resusitasi cairan.

Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien

dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan resusitasi cairan dengan

cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP

(central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus

yang diteteskan dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan

garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada bukti

medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L

dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik

2.4 Syok Kardiogenik

2.4.2 Etiologi Syok kardiogenik

Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam :

1.    Gangguan ventrikular ejection

a.    Infark miokard akut

b.    Miokarditis akut

c.    Komplikasi mekanik :

o   Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris

o   Ruptur septum interventrikulorum

o   Ruptur free wall


o   Aneurisma ventrikel kiri

o   Stenosis aorta yang berat

o   Kardiomiopati

o   Kontusio miokard

2.    Gangguan ventrikular filling

a.    Tamponade jantung

b.    Stenosis mitral

c.    Miksoma pada atrium kiri

d.    Trombus ball valve pada atrium

e.    Infark ventrikel kanan 

2.4.3 Patofisiologi Syok Kardiogenik

Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal

jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, sehingga menurunkan

tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang,kmd

asupan oksigen ke jantung menurun, yang mengakibatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut

kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan. Tanda klasik syok

kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang

termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang

dingin dan lembab. Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada

gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan

curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi

penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang
berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung

gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif (Guyton, 2010).

2.4.4 Gejala klinis Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan

gangguan mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat

pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik

yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot

pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara

kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Gmbaran klinis gagal jantung kiri :

1.    Sesak napas dyspnea on effort, paroxymal nocturnal dyspnea

2.    Pernapasan cheyne stokes

3.    Batuk-batuk
4.    Sianosis

5.    Suara serak

6.    Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax

7.    Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia

8.  kardiomegali pada foto torax

2.4.5 Stadium Syok Kardiogenik

Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat :

 Tahap 1, syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon

kompensatorik

 Tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan

kemunduran fungsi organ.

 Tahap 3, tahap refrakter (irreversible) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat tidak dapat

lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian.

(Hardisman, 2013)

2.4.6 Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Tindakan umum

Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap disritmia mayor

harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila

dari hasil pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume

intravaskuler rendah. Pasien harus diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam

sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila

aliran biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan (Alwi, 2010).

Farmakoterapi
Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan tekanan darah arteri

rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan adalah katekolamin yang dapat

meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Namun demikian mereka cenderung

meningkatkan beban kerja jantung dengan meningkatkan kebutuhan oksigen. Bahan vasoaktif

seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin adalah obat yang efektif untuk menurunkan

tekanan darah sehingga kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan vena

mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan volume intravaskuler

keperifer dan menyebabkan penurunan preload dan afterload. Bahan vasoaktif ini biasanya

diberikan bersama dopamin, suatu vasopresor yang membantu memelihara tekanan darah

yang adekuat(Alwi, 2010).

Pompa Balon Intra Aorta. Terapi lain yang digunakan untuk menangani syok kardiogenik

meliputi penggunaan alat bantu sirkulasi. Sistem bantuan mekanis yang paling sering

digunakan adalah Pompa Balon Intra Aorta (IABP = Intra Aorta Baloon Pump). IABP

menggunakan counterpulsation internal untuk menguatkan kerja pemompaan jantung dengan

cara pengembangan dan pengempisan balon secara teratur yang diletakkan di aorta

descendens. Alat ini dihubungkan dengan kotak pengontrol yang seirama dengan aktivitas

elektrokardiogram. Pemantauan hemodinamika juga sangat penting untuk menentukan

position sirkulasi pasien selama penggunaan IABP. Balon dikembangkan selam diastole

ventrikel dan dikempiskan selama sistole dengan kecepatan yang sama dengan frekuensi

jantung. IABP akan menguatkan diastole,yang mengakibatkan peningkatan perfusi arteria

koronaria jantung. IABP dikempiskan selama sistole, yang akan mengurangi beban kerja

ventrikel (Alwi, 2010).

Penatalaksanaan yang lain:


a. Istirahat

b. Diet jantung, makanan lunak, rendah garam

c. Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil

yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena, dan volume darah dan

peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau

terhadap hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya crackle, dan edema perifer. Apabila

terjadi keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah namun itu gejala awal

selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi kontrak ventrikel premature, bigemini

(denyut normal dan premature saling bergantian), dan takikardia atria proksimal.

d. Pemberian diuretik, yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Bila sudah

diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak menganggu istirahat pada malam hari,

intake dan output pasien harus dicatat mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan

setelah pemberian diuretik. Pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit

untuk menghindari terjadinya tanda-tanda dehidrasi.

e. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati depresi

pernapasan.

f. Pemberian oksigen

g. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan

utama untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel

(Alwi, 2010). 

2.5 Syok Distributif

2.5.2 Etiologi Syok Distributif


Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh

pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang menempatkan pasien pada

resiko syok distributif yaitu:

(1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal.

(2) syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan

lebah

(3) syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65 tahun,

malnutrisi (Prajitno, 2011).

2.5.3 Syok Neurogenik

2.5.3.1 Definisi

Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan

penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi

karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.

Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari

perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf

(seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam) (Sethi, 2003).

2.5.3.2 Etiologi

 Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).

 Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur

tulang.

 Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.

 Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).


 Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut (Prajitno, 2011)..

2.5.3.3 Patofisiologi

Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam

syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi

pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam

efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan

darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena

peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer yang

bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi

ventrikel(Prajitno, 2011).

Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder

terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus

simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa

takikardi atau vasokonstriksi kulit.

Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan

vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi

vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau

nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang

memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh

darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional (Prajitno, 2011)..

2.5.3.4 Gejala Klinis

Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda

tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi)
kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia .

Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah

cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit

terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan (Sethi, 2003).

2.5.3.5 Terapi

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin

dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan

vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. 

1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).

2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan

masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat,

penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini

untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi

yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik

dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.13

3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan

kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat

250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor

kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.

4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif

(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien):

 Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek

serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.


 Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.

Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal

dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap

tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang

terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap

jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal

kembali.

 Epinefrin: Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan

dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan

pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu

bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat

menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenic

 Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah Dobutamin dapat menurunkan tekanan

darah melalui vasodilatasi perifer.

Dosis Resistensi
Cardiac Tekanan
Obat (mcg/kg/menit Pembuluh Darah
Output Darah
) Sistemik
Dopamin 2,5-20 + + +
Norepinefrin 0,05-2 + ++ ++
Epinefrin 0,05-2 ++ ++ +
Fenilefrin 2-10 - ++ ++
Dobutamin 2,5-10 + +/- -
(Prajitno, 2011).

2.5.4. Syok Anafilaktik

2.5.4.1 Definisi
Syok anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi tipe yang fatal dan dapat menimbulkan

“bencana”, yang dapat terjadi dalam beberapa detik-menit, sebagai akibat reaksi antigen

antibody. Reaksi ini diperankan oleh IgE antibody yang menyebabkan pelepasan mediator

kimia dari sel mast dan sel basofil yang beredar dalam sirkulasi berupa fistamin, SRS-A,

serotonin dll (Austen, 2004).

2.5.4.2 Etiologi

Beberapa penyebab syok anafilaktik diantaranya, insect venom, antibiotik (beta lactams,

vancomycin, sulfonamide), heterologues serum (anti toxin, anti sera), latex, vaksin yang

berbasis telur, tranfusi darah, immunogobulin (Austen, 2004).

2.5.4.3 Patofisiologi Syok Anafilaktik

Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah berhubungan

dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang

selanjutnya bertanggung jawab terhadap symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui

kompleks antigen dan Ig E maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu melalui pelepasan

histamine secara langsung.

Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam arachidonat yang akan

menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis

tidak dapat dibedakan dengan meknisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan obat-

obat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuscular (Austen, 2004).

2.5.4.4 Gejala Klinis

Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya

sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada

tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan

yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya

makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang

kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini

menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan

gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya

menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan

bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik

Gangguan kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi

anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk

diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang

lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan

kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya

gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah

penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat (Austen,

2004).

2.5.4.5 Tatalaksana

1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor

yaitu :

 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat

terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.


 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga

tekanan darah dengan cepat naik kembali.

 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP

sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.

0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat

diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin

cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara

intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl

fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok

anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit,

sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

2.Aminofilin

Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan

pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena.

Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.

Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada

tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang

lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai

membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged

effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk
golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison 100

– 250 mg IV.

Terapi suportif

Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan

sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)

1. Pemberian Oksigen

Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus

dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi

perlu dipertimbangkan.

2. Posisi Trendelenburg

Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi )

akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.

3. Pemasangan infus.

Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka

pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan

pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak

tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.

Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal

dan stabil.

4. Resusitasi Kardio Pulmoner

Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner

segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat
kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka

sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency,

perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk

memudahkan tindakan secepatnya (Austen, 2004).

2.5.5 Syok Septik

2.5.5.1 Definisi

Shock septik adalah infasi aliran darah oleh beberapa organisme mempunyai potensi

untuk menyebabkan reaksi pejamu umum toksin ini. Hasilnya adalah keadaan

ketidakadekuatan perfusi jaringan yang mengancam kehidupan (Chen, 2010)

2.5.5.2 Etiologi

Shock septik sering terjadi pada:

 Bayi baru lahir

 Usia diatas 50 tahun

 Penderita gangguan sistem imun

Faktor resiko terjadinya syok septik:

Penyakit menahun (kencing manis, kanker darah saluran kemih – kelamin, gati , kandung

empedu, usus) infeksi, pemakaian antibiotic jangka panjang dan tindakan medis atau

pembedahan (Chen, 2010).

2.5.5.3 Patofisiologi syok septik

Respon imun yang membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi mempunyai

beberapa efek yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler, dan vasodilatasi. Sebelum

terjadinya shock septik biasanya didahului oleh adanya suatu infeksi sepsis yang bisa

bisebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Pada bakteri gram negatif yang
berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP

(Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting

dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor

inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme.

Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2

Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor

kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang

menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan

menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2).

Sedangkan pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic

acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif

menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen

dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II

dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi

sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan

rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi

makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga

terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang

menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multiple.

Penyebaran infeksi bakteri gram negative yang berat potensial memberikan sindrom klinik

yang dinamakan syok septik. Penyebab syok septik terjadi akibat racun yang dihasilkan oleh

bakteri tertentu dan akibat sitokinesis(zat yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk melawan
suatu infeksi). Racun yang dilepaskan oleh bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan dan

ganggguan peredaran darah (Chen, 2010).

2.5.5.4 Tanda dan gejala Syok septik

Pertanda awal dari shock septik sering berupa penurunan kesiagaan mental dan

kebingungan yang timbul dalam waktu 24 jam atau lebih sebelum tekanan darah turun. Gejala

ini terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak. Curahan darah dari jantung memang

meningkat tetapi pembuluh darah melebar sehingga tekanan darah menurun. Pernafasan

menjadi cepat sehingga paru-paru mengeluarkan karbondioksida yang berlebihan dan

kadarnya didalam darah menurun. Gejala awal berupa menggigil hebat suhu tubuh yang naik

secara cepat, kulit hangat dan kemerahan denyut nadi yang lemah dan tekanan darah yang

turun naik. Pada stadium lanjut suhu tubuh sering turun sampai dibawah normal. Tanda dan

gejala yang lain seperti:

 Demam tinggi

 Vasodilatasi

 Peningkatan HR

 Penurunan TD

 Flushed Skin (kemerahan sebagai akibat Vasodilatasi)

Bila shock memburuk beberapa organ mengalami kegagalan seperti:

 Ginjal: produksi air kemih berkurang

 Paru-paru: gangguan pernafasan dan penurunan kadar oksigen dalam darah

 Jantung: penimbunan cairan dan pembengkakan. Bisa timbul bekuan darah didalam

pembuluh darah (Chen, 2010).

4.5.5.5 Terapi Syok Sepsis


Penatalaksanaan syok sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,

mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi

antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan

inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi

bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

1. Resusitasi

Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi

cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan

resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama

adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%.

Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan

dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit>30%

dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).     

2. Eliminasi sumber infeksi

Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak

mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis

yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.

3. Terapi antimikroba

Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik

intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur

diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen

bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena

pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada

keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya

pada sepsis berat dan gagal multi organ

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan

klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih

baik daripada monoterapi.

2.6 Syok Obstruktif

2.6.2 Definisi dan Etiologi

Syok abstruktif terjadi akibat aliran darah dari ventrikel terhambat secara mekanik. Hal

ini sering ditemukan pada penyakit jantung congenital, tamponade jantung, emboli paru

masif, dan tension pneumothorax (Morgan, 2013).

2.6.2 Tension Pneumotorax

2.6.2.1 Definisi dan patofisiologi

Didefinisikan sebagai kejadian adanya udara dalam cavum pleura yang makin lama

makin banyak sehingga tekanan dalam cavum pleura makin tinggi, akibatnya akan mendesak

mediastinum (jantung) ke arah paru yang sehat, dan vena cava akan tertekan. Hal ini

menyebabkan penurunan Venous Return dan berakhir pada kejadian shock (Morgan, 2013)..

2.6.2.2 Gejala klinis

Gejala klinis shock seperti shock pada umumnya, disertai dengan Sesak nafas yang

memberat, nyeri dada, distress napas, takikardi, takipneu, air hunger. dari pemeriksaan fisik

didapatkan suara nafas hilang, pada pemeriksaan JVP terlihat, gerak dari dada yang cidera

tertinggal, perkusi hipersonor. pergeseran trachea).

2.6.2.3 Terapi
Management awal dengan metode needle decompressi, memasukan jarum melalui SIC

II,pada linea mid clavicularis secara tegak lurus. Tindakan ini bertujuan untuk mengubah

tension jadi simple pneumotorak. Untuk mencegah shock.

Management lanjutan: dilakukan pemasangan Chest Tube atau pemasangan dilakukan

pada SIC V, setinggi papilla mamae, disisi anterior dari garis midaksilaris (Morgan, 2013).

2.6.3 Tamponade Cordis

2.6.3.1 Definisi dan Patofisiologi

Didefinisikan sebagai terdapatnya cairan atau darah didalam cavum pericardium sehingga

mempengaruhi kontraktilitas jantung (end diastolic volumeyg terpengaruh). akibatnya, akan

terjadi kegagalan jantung untuk mengembang, sehingga venous return turun, diikuti dengan

cardiac output juga turun. Jika keadaan ini berkelanjutan, akan menyebabkan pasien jatuh

dalam kondisi shock (Morgan, 2013).

2.6.3.2Gejala klinis

Pasien datang dengan keluhan umum Sesak nafas makin lama makin berat.pada

pemeriksaan didapatkan Trias Beck (JVP meningkat, penurunan tekanan arteri, suara jantung

terdengar jauh/ samar). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan Penunjang yakni

pericardiocentesis, Echo-cardiogram, FAST (focused assessment sonogram in trauma) karena

penggunaan FAST metode cepat, dan akurat serta less invasive dalam mendiagnosis

tamponade (Morgan, 2013).

2.6.3.3 Terapi

Management awal: pericardiocentesis (sekaligus untuk menegakkan diagnostic,

Management Lanjutan : terapi definitive nya adalah menghilangkan penyebab tamponade


jantung dengan tindakan bedah. Selain itu terapi tambahan untuk mengatasi syok juga

dilakukan, seperti oksigenasi, pemasangan cairan infus (Morgan, 2013).

2.6.4 Emboli paru

2.6.4.1 Definisi dan Patofisiologi

Didefinisikan sebagai terdapat nya sumbatan pada paru baik karena lemak, udara,

ataupun gumpalan darah. sehingga akan terjadi penyumbatan aliran darah kembali kejantung

dan gangguan difusi di paru paru. Tanda tanda dan gejala tergantung dari ukuran embolus,

dan lokasi pembuluh darah yang terkena (Morgan, 2013).

2.6.4.2 Gejala klinis

Pasien datang biasanya dengan kondisi sesak nafas, nyeri dada difus, batuk kering yang

bisa berlanjut jadi hemoptisis, akhirnya muncul gejala shock. Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan ronsen dada, EKG, blood gas, pemeriksaan khususnya adalah Ventilation scan,

dan pulmonary angiography, non-invasive lung scanning (Morgan, 2013).

2.6.4.3 Terapi

Management awal : oksigenasi min 4-5L/min.

Management definitive (clotting):

1. Heparin bolus 5000-1000 IU dilanjutkan drip dalam infuse 1000-2000 IU/jam.

2. Cek APTT per 6 jam untuk monitoring terapi

3. Terapi diberikan 4-10 hari

4. factor risiko DVT di hilangkan, dengan pembaerian warfarin, enocaparin, nadroparin,

dkk.

5. bila sumbatanya besar, dilakukan embolektomi oleh yang berkompetensi.

(Morgan, 2013).
BAB 3

KESIMPULAN

Syok adalah sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan

manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak

memadainya perfusi jaringan.

Syok merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan pengenalan

dan penanganan yang cepat, tepat dan intensif. Kita telah mengetahui klasifikasi syok, antara

lain syok hipovlemik, syok kardiogenik, syok distributif, dan syok obstruksi. Dengan

demikian, maka diharapkan akan mempermudah klinisi dalam hal pengambilan keputusan

menentukan tindakan sesegera mungkin agar dilakukan penanganan yang cepat, tepat dan

intensif.

Tanda dan gejala dari syok antara lain adalah pucat, hipotensi, gangguan kesadaran,

takikardia, takipneu, berkeringat, tangan dan kaki dingin, oliguria

Syok yang tersering terjadi adalah jenis syok hipovolemia, yaitu kekurangan caoran

intravaskuler. Terapi atau penanganan untuk semua jenis syok pada prinsipnya sama, hanya

porsinya yang berbeda. Pemberian cairan merupakan salah satu tindakan terpenting dalam

penanganan syok. Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan

mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas

dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi, idrus. Sally Aman Nasution. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam: syok
kardiogenik. Jakarta: interna publishing hlm 242-250
2. Austen, K.F, 2004 : Systemic Anaphylaxix. in Man. JAMA, 192 : 2 .2004.
3. Chen, Kien. Hendiman T. Pohan. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Penatalaksanaan
syok septik. Jakarta: interna publishing hlm 252-256
4. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24).
Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p.
273-84
5. Hardisman, 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
6. Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al.
Hypovolemic Shock Treatment & Management 2013: (1)
7. Morgan, Carrie. Derek S. Wheeler. 2013. Obstructive Shock. The Open Pediatric
Medicine Journal, 2013, 7, (Suppl 1: M7) 35-37
8. Prajitno, bambang wahyu. Rupii. Aryono D. Pusponegoro. 2011. Syok. Jakarta: EGC hlm
156-165
9. Sethi, A.K. Prakash Sharma, Medha Metha. 2003. SHOCK: Ashort review. Indian J.
Anaesth. 2003; 47 (5) : 345-359.
10. Wijaya, ika prasetya. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam: syok hipovolemik. Jakarta:

interna publishing hlm 242-244

Anda mungkin juga menyukai