Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Golongan obat yang paling banyak digunakanan di dunia adalah antibiotika.


Diperkirakan lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dibelanjakan untuk
kebutuhan antibiotika. Pemakaian antibiotika secara rasional mutlak menjadi
keharusan. Kerasional pemakaian antibiotik tersebut meliputi tepat indikasi, tepat
penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat. Pemakaian
antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan munculnya banyak efek samping
dan mendorong munculnya bakteri resisten.1

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak


tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini
mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri.1

Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang
organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab
penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem
antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan
ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri
yang berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2

Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah
diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal
resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan
antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik
yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya
resistensi bakteri.3

Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang
rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat,
dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan
klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”. Sedangkan menurut World
Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan antibiotik yang tepat

1
adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan
efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan
terjadinya resistensi.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia. Berasal dari zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama
fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam
praktek sehari-hari, Antibiotik sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba
(misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.2
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada
manusia, tentu harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya,
obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak
toksik untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin
juga tidak akan diperoleh. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba
yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal dengan bakteriostatik
dan atau yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid.
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau
membunuhnya, masing-masing dikenal sebagaikadar hambat minimal(KHM) dan
kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat
dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan
melebihi KHM. 2

2.2 Klasifikasi Antibiotik


2.2.1 Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima
kelompok:2,3
(1) Bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba
Bakteri memiliki dinding sel yang berperan dalam menjaga bentuk maupun
ukuran mikroorganisme. Dinding sel mengandung polimer kompleks
peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipetida lintas terkait.
Lapisan peptidoglikan ini lebih tebal pada bakteri gram positif dibandingkan

3
gram negatif. Penghambatan sintesis peptidoglikan maupun enzim
transpeptidase yang penting untuk pembentukan dinding sel, yang selanjutnya
dapat mengakibatkan rusaknya dinding sel mengakibatkan sel menjadi lisis.
Contoh antibiotik Beta-laktam (Penisilin, Sefalosporin, Carbapanem,
Monobactam). Cara kedua yakni dengan menghambat sintesis peptidoglikan.
Obat non Beta Laktam (bacitracin, vancomycyin) digunakan untuk cara ini.

Gambar 1. Mekanisme kerja antibiotik

(2) Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba


Membran sel memiliki fungsi sebagai barrier yang selektif, berperan dalam
transport aktif yang erat berkaitan dengan komposisi internal sel. Jika fungsi
membran sel tersebut terganggu, ion-ion maupun makromolekul dapat keluar
dari sel dan menyababkan kerusakan pada sel maupun kematian sel. 3 Agen
yang menimbulkan kerusakan pada dinding sel (surface-active agents)
bekerja melalui perubahan tegangan permukaan seperti pada antiseptik,
sehingga terjadi kerusakan pada permeabilitas selektif dari membran sel
mikroba. Contoh obat ini ialah polimiksin, polines, imidazol.

4
(3) Menghambat sintesis protein sel mikroba
Sintesis protein berlangusung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA.
Bakteri memiliki 2 subunit ribosom 30S dan 50S, subunit tersebut kemudian
bergabung pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S, sedangkan pada
sel mamalia memiliki 80S ribososom.3 Setiap subunit ribosom memiliki
komposis kimia dan fungsi yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa
antimikroba dapat menghambat sintesa protein pada ribosom bekteri tanpa
memiliki efek pada ribosom mamalia.3 Perlekatan antimikroba pada subunit
ribosom 30S maupun 50S dapat mengganggu proses sintesa protein,
sehingga pengkodean mRNA salah dibaca oleh tRNA akibatnya terbentuk
protein abnormal dan nonfungsional untuk bakteri, gagalnya proses
pemanjang rantai polipeptida akibat terganggunya proses translokasi
kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Contoh
obat ini ialah Tetrasiklin, aminoflikosida, makrolide, kloramfenikol.

(4) Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba


Mekanisme kerja lainnya yakni menghambat sintesis asam nukleat, dengan
cara berikatan pada DNA-Dependent RNA polimerase pada bakteri, sehinnga
sintesa RNA dapat terhambat. Penghambatan sintesa DNA juga terjadi jika
DNA gyrase, enzim topoisomerase yang berperan pada replikasi mapun
perbaikan. Contoh obat yang menghambat replikasi DNA ialah quinole dan
netroimidazole. Obat yeng menghambat polimerase rNA ialah rifamycin. 3

(5) Berkerja dengan cara mengganggu metabolisme sel mikroba


Gangguan pada sintesa asam folat melalui mekanisme perebutan tempat aktif
pada PABA (p-aminobenzoic acid), maupun sintesa purin melalui inhibisi
enzim reduktase asam dihidrofolik. Gangguan sintesa pada asam folat juga
dapat menghambat metabolisme sel mikroba, bakteri membutuhkan asam
folat untuk kelangsungan hidupnya, karena mikroba mensintesis sendiri asam
folatnya, tidak seperti mamalia yang mendapat asam folat dari luar. 3 contoh
obat ini adalah sulfonamid dan trimethropim

5
2.2.2 Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut:1,4
a. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya
Mekanisme aksi penisilin dan antibiotika yang mempunyai struktur mirip
dengan β-laktam adalah menghambat pertumbuhan bakteri melalui
pengaruhnya terhadap sintesis dinding sel. dengan menghambat langkah
terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang
memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri. Obat-obat
antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar
efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. antara lain: golongan
penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam lainnya.

b. Tetrasiklin
khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat
dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya dengan
cara mengaganggu sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas
dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan
bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap
mikroba khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata
trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya.
Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.

c. Makrolida
Bekerja secara bakteriostatis terutama terhadap bakteri gram-positif.
Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga menghambat sintesa protein kuman. Bila digunakan terlalu lama
atau sering dapat menyebabkan resistensi.

6
Tabel 1. Antibiotik Golongan Penisilin

d. Linkomisin
Dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis (AS 1960). Khasiatnya
bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida
terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob. Berhubung efek
sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap
antibiotika lain. Contohnya linkomisin.

7
Tabel 2. Klasifikasi & Aktivitas Sefalosporin

e. Aminoglikosida
aminoglikosida dihasilkan oleh jenis jenis fungi Streptomyces dan
Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya
mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya, yang saling
terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama
banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan
sejumlah kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan
dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom
di dalam sel.Golongan Aminoglikosida yakni streptomisin, neomisin,
kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, etilmisin, dll.

f. Kuinolon

8
senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan
kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman,
sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya dapat
digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi.

g. Kloramfenikol
kloramfenikol mempunyai spectrum luas. Berkhasiat bakteriostatis
terhadap hampir semua kuman gram positif dan sejumlah kuman gram
negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida
kuman. Contohnya kloramfenikol.

2.2.3 Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar: 5


a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum)
agen yang dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif
maupun bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk golongan ini
adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin,
carbapenem dan lain-lain.

b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum)


adalah golongan ini hanya aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk
golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.

2.3 Aspek Farmakologi Antibiotik


2.3.1 Farmakokinetik

Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai


perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di
antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.12
Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di
saluran cerna pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam
darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang
disebut dengan fase alfa (α). Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka

9
konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase
beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada
proses absorpsi ini, tidak semua obat akan mencapai sirkulasi sistemik
dalam keadaan utuh atau aktif. Jumlah persentase obat yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabilitas.
Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan kadar obat dalam
darah atau jaringan disebut bioekuivalensi. 12
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai
protein dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara
reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan istilah protein
binding. Obat kemudian akan melepaskan diri dari ikatannya dengan
albumin, dan menembus beberapa membran sel sesuai dengan gradien
konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan dengan protein
jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH,
protein binding, dan volume distribusi. Pasca distribusi obat, obat
kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai enzim dan yang
terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian
obat obatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini
dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.12
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya
sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif.
Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivaasi
obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan
melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga
dapat dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari
dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan
kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga
diekskresikan melalui keringat, liur, air mata, dan air susu. 12
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar
serum antibiotik. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling

10
penting untuk mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum
(Cmax), kadar minimum (Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva
kadar serum vs waktu. Walaupun parameter-parameter ini
mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-parameter teresebut
tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik.1

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik.

2.3.2 Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara


umum, aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal
(membunuh mikroba). Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara
lain aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin,
pirazinamide, vancomycin, isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan
antibiotic yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain chloramphenicol,
clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan
trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba
tidak mutlak karena antibiotic dengan sifat bakteriostatik dapat pula
bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar
hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi
antibiotik terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap

11
konsentrasinya (concentration dependent) dan terhadap waktu (time
dependent).
Pada antibiotik golongan concentration dependent maka semakin
tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya
sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan
menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan
pada antibiotik jenis time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan
sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya kecepatan dan efektivitas
kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh antibiotik
golongan concentration dependent adalah quionolone dan aminoglycoside.
Sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah beta-lactam.
Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas
dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya
lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek
ini dipengaruhi oleh jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri,
contohnya quionolone dan aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic
effect yang cukup lama terhadap kuman gram negatif. 12

2.4 Resistensi
Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah
untuk bertahan hidup. Pembahasan resistensi dibagi dalam kelompok resistensi
genetik, resistensi nongenetik dan resistensi silang, serta mekanisme peristiwa
resistensi.2
a. Resistensi Genetik
i. Mutasi Spontan
Dengan mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga mikroba yang
sensitif Terhadap suatu antimikroba menjadi resisten. Kejadian ini
dinamakan mutasi Spontan karena terjadi tanpa pengaruh ada tidaknya
antimikroba tersebut.
ii. Resistensi di pindahkan

12
Mikroba dapat berubah menjadi resisten akibat memperoleh suatu
elemen pembawa laktor resisten. Faktor ini mungkin didapat dengan cara
transformasi, transdulsi atau konyugasi. Dengan transformasi, mikroba
menginkorporasi faktor resistensi langsung dari media sekitarnya
(lingkungannya). pada trainsduksi, faktor resistensi dipindahkan dari
suatu mikroba resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan
bakteriofag.. Dengan konyugasi terbentuklah hubungan langsung
(-'saluran’) antara isi sel kuman yang saling berkonyugasi, sehingga
memungkinkan perpindahan berbaiai komponen antar kuman khususnya
komponen pembawa faktor resistensi. Faktor resistensi yang dipindahkan
terdapat dalam dua bentuk, plasmid dan episom.

b. Resisitensi Non Genetik


Bakteri datam keadaan istirahat (inaktivitas metabolik) biasanya tidak dipengaruhi
oleh antimikroba. Keadaan ini dikenal sebagai resistensi nongenetik. Mikroba
tersebut dikenal sebagai persisters. Bila berubah menjadi aktif kembali, mikroba
kembali bersifat sensitif, dan keturunannya juga tetap bersifat sensitif terhadap
antimikroba seperti semula. lni merupakan masalah pada pengobatan lepra dan
tuberkulosis.

c. Resistensi Silang
Resistensi sitang, ialah keadaan resistensi terhadap antimikrobl tertentu yang juga
memperlihatkan sifat resistensi terhadap antimikroba yang lain. Resistensi silang
biasanya terjadi antara antimikroba dengan struktur kimia yang hampir sama,
umpamnya antara berbagai derivat tetrasiklin, atau antara antimikroba dengan
struktur kimia yang agak berbeda tetapi mekanisme kerjanya hampir sama.
Misalnya linkomisin dan eritromisin.
Ada lima mekanisme resistensi mikroba, yakni: 13
(1 ) Perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba
Interaksi antara antibiotik dan molekul target memiliki peranan penting pada
mekanisme kerja antibotik menghambat pertumbuhan bakteri. Perubahan molekul
target dapat berakibat pada efisiensi interaksi ini, yang berakibat pada resisntensi.

13
Vancomycin menghambat sintesis dinding sel bakteri Gram positif dengan cara
berikatan dengan C-terminal acyl-D-alanyl-D-alanine (acylD-Ala-D-Ala) dari
prekursor peptidoglikan. Resistensi dapat terjadi dengan perubahan D-Ala-D-Ala
menjadi D-alanyl-D-lactate (D-AlaD-Lac) atau D-alanyl-D-serine (D-Ala-D-Ser).

(2) Mengubah Outer Membran sel


Bakteri Gram negatif memiliki OM yang terdiri dari fosfolipid di bagian dalam
dan lipid A di bagian luar. Komposisi OM bakteri berpengaruh terhadap masukan
dan transportasi antibiotik ke dalam sel. Molekul antibiotik dapat masuk ke dalam
sel bakteri dengan tiga cara, yaitu: difusi melalui porin, difusi melalui billayer,
dan self-promoted uptake. Antibiotik yang memimiliki struktrur kecil dapat
masuk ke dalam sel melalui porin. Resistensi pada P.aureginosa salah satunya
disebabkan oleh menurunnya permiabilitas diakibatkan perubahan pada porin.

(3) Sistem Pompa Aktif dari Dalam Keluar Sel (Efflux Pump)
Sistem pompa aktif adalah suatau mekanisme yang bertangggung jawab terhadap
perpindahan bahan toksik, termasuk antibiotik, dari dalam keluar sel. Banyak
sistem pompa aktif yang sudah diidentifikasi berperan mengeluarkan antibiotik
keluar sel bakteri. Sistem pompa dapat spesifik untuk antibiotik tertentu, namun
demikian yang umum terjadi adalah multidrug transporter. Seperti pada bakteri
S.aureus yang memiliki sistim pompa MepA terhadap antibiotik tetracycline,
ciprofloxacin, norfloxacin, dll.

(4) Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba.


Antibiotik di nonaktifkan oleh sel bakteri dengan cara hidrolisis oleh enzim.
Bakteri mensistesis enzim Beta-laktamase untuk menonaktifkan antibiotik yang
memiliki cincin Beta laktam seperti golongan penicilin dan sefalosporin.
Hidrolisis menyebabkan perubahan struktur kimia yang berakibat tidak
berfungsinya antibiotik.

Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik

14
(µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri.
Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.2

Beberapa penyebab dari resistensi antibiotik adalah:11

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam


dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak
adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan
yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam
penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-
pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan
kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik
yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien
membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication).
Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak
mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan: dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care
expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan
meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam
menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal
penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya
mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan
dipakai untuk memeriksa pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemik atau epidemik
memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal
rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian
antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang
sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

15
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotik juga
dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak.
Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk
profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan
dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan
farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya
pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas.
Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.
9. Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotika baru
10. Pengawasan:lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam
distribusi dan pemakaian antibiotika.Misalnya, pasien dapat dengan mudah
mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu
juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu
obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi

2.4.1 MRSA

Staphylococcus aureus (S.aureus) merupakan penyebab infeksi bakteri yang


cukup sering baik di negara maju maupun negara berkembang. Bakteri ini mudah
beradaptasi, menyebabkan berbagai infeksi dengan berbagai tingkat keparahan
yang mempengaruhi kulit, jaringan lunak, sistem pernapasan, tulang, sendi dan
jaringan endovaskular. S.aureus juga hidup sebagai bakteri komensal, yang
berkoloni di bagian anterior nares pada satu pertiga populasi yang sehat. Bakteri
ini banyak yang sudah mengalami resistensi terhadap beberapa golongan
antibiotik , terutama golongan β-laktam. S.aureus yang mengalami resistensi
terhadap banyak antibiotik ini juga disebut MRSA (Methicillin resistant
Staphylococcus aureus). Selain tahan terhadap antibiotik β-laktam, MRSA juga
tahan terhadap antibiotik kelas lainnya seperti tetrasiklin, makrolida,
fluorokuinolon, aminoglikosida dan linkosamid. 13

16
Terdapat dua jenis MRSA berdasarkan tempat terjadinya infeksi pertama kali,
yaitu Hospital Associated Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (HA-
MRSA) yang menginfeksi orang-orang di tempat pelayanan kesehatan, serta
Community Associated Methicillin Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang
menginfeksi komunitas dan tidak berkaitan dengan tempat pelayanan kesehatan.
Telah dilaporkan bahwa HA-MRSA banyak yang mengalami mengalami MDR
(Multi Drug Resistence). Sedangkan CA-MRSA dilaporkan masih suseptible
terhadap antibiotik golongan non-beta laktam. 14

Untuk mengidentifikasi MRSA dapat dilakukan kultur bakteri, spesimen dapat


diambil darah, urin, sputum, atau sampel cairan tubuh lainnya, dan dalam jumlah
yang cukup untuk melakukan tes konfirmasi sejak awal. Namun, karena tidak ada
metode cepat dan mudah untuk mendiagnosis MRSA, pengobatan awal infeksi
sering didasarkan pada 'kecurigaan kuat' dan teknik oleh dokter yang merawat; ini
termasuk prosedur PCR kuantitatif, yang digunakan di laboratorium klinis untuk
mendeteksi secara cepat dan mengidentifikasi strain MRSA. 16,17

CA-MRSA-terkait infeksi kulit dan jaringan lunak diobati dengan


antibiotik oral termasuk doxycycline, minocycline, clindamycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, rifampisin, dan asam fusidat. Vankomisin merupakan
pengobatan intravena lini pertama pada infeksi CA-MRSA dan HA-MRSA.
Namun tingginya angka kegagalan pada klinis, serta neftrotoksikitas dan
munculnya strain nonsusceptible, telah mengurangi efektifitas dari obat ini.
Linezolid oral digunakan untuk mengobati infeksi MRSA yang serius.
Golongan glikopeptida seperti telavancin, dalbavancin serta sefalosporin
genenersi kedua seperti ceftobipirole dan ceftaroline juga efektif terhadap
pengobatan infeksi MRSA.

2.5 Rasionalitas Penggunaan Antibiotik


Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai
dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga
terendah baginya dan masyarakat sekitarnya.

17
Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: 1
1. Tepat diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang
lainnya.
2. Tepat indikasi penyakit
Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).
3. Tepat pemilihan obat
Pepmilihan jenis antibiotik harus berdasarkan pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab
infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil
mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective
dan aman.
4. Tepat dosis
Pemberian dosis yang berlebihan, khusunya untuk obat yang memiliki
rentang terapi sempit, sangat beresiko timbul efek samping. Sebaliknya
apabila dosis terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
5. Tepat cara pemberian, interval waktu pemberian, lama pemberian
6. Waspada terhadap efek samping
Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain
atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari
interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti
penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan

18
efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh pemberian siprofloksasin
bersama dengan teofilin dapat meningkatkan kadar teofilin dan dapat
berisiko terjadinya henti jantung atau kerusakan otak permanen.
7. Tepat penilaian kondisi pasien
Respons individu terhadap efek obat sangat beragam.
8. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta
tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.
Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat
merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak
paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Peresepan
antibiotik yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan
pasien akan berdampak pada tidak terbelinya antibiotik oleh pasien,
sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apa pun
antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan
pasien tentu tidak akan bermanfaat.

2.6 Pemilihan Terapi Antibiotik


Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu
antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada
pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau
definitif. 1
1. Antibiotik Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab
infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. 1
b. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan
bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan
pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit
setempat.

19
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ
yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotik kombinasi.
c. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama
untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral 1
d. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-
72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.
e. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada
tabel berikut. 1

2. Antibiotik untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan
antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri
penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk
terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan
bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi. 1
b. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab
infeksi.
c. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).

20
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat
yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama
untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi
pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera
diganti dengan antibiotik per oral.
e. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis
untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

3. Antibiotik untuk Terapi Profilaksis


Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada
kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan
tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat
operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal
yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan
jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat
mulai dan selama operasi berlangsung.1

4. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


a. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis
untuk mengatasi infeksi.
b. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
1) Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek
sinergis).
2) Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.
c. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi
1) Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).

21
2) Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi
campuran aerob dan anaerob).
3) Terapi empiris pada infeksi berat.
d. Hal-hal yang perlu perhatian
1) Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat
meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.
2) Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat
aditif atau superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal
memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama
aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya.
3) Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan
antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil
efektif.
4) Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris
jangka lama.
5) Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.1

5. Pertimbangan Faktor Hospes


a. Fungsi ginjal & hepar
1) Berhubungan dengan eliminasi obat.
2) Diturunkan untuk mencegah akumulasi & toksisitas
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hepar.
3) Ditingkatkan pada pasien muda yang sehat dengan
eliminasi ginjal yang cepat / metabolisme hepar yang cepat
akibat induksi enzim oleh penggunaan obat, cth: rifampin /
fenitoin.
b. Usia
1) Pengaruh dari ukuran tubuh dan fungsi ginjal.
2) Dosis anak biasa tergantung berat badan.
3) Dosis pada lanjut usia biasa tergantung klirens
kreatinin.
c. Variasi genetik

22
Suseptibilitas genetik terhadap efek samping antibiotik
terkadang berperan penting terhadap pemilihan obat.

d. Kehamilan & laktasi


1) Pada trimester 3 kehamilan terjadi peningkatan
volume plasma dan aliran darah ke ginjal, sehingga klirens
lebih cepat dan kadar obat dalam serum lebih rendah.
2) Beberapa antibiotik bersifat teratogenik / toksik
terhadap fetus, seperti tetrasiklin dan kloramfenikol.
3) Beberapa antibiotik dapat masuk air susu ibu.
e. Riwayat alergi/intoleransi.
f. Riwayat penggunaan antibiotik.1

2.7 Rekomendasi Penggunaan Antibiotik15-18

Tabel 3. Rekomendasi penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia komunitas

Tabel 4. Rekomendasi penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia komunitas

23
Tabel 5. Rekomendasi penggunaan antibiotik empiris pada kasus gastroenteritis akut
bakterial

Tabel 6. Rekomendasi antibiotik pada kasus gastroenteritis menurut patogennya

Tabel 7. Rekomendasi penggunaan antibiotik pada kasus faringotonsilitis akut

Tabel 8. Rekomendasi antibiotik oral untuk sinusitis bakterialis akut

24
Tabel 9. Rekomendasi antibiotik untuk masing-masing jenis infeksi saluran kemih

Tabel 10. Rekomendasi antibiotik untuk masing-masing jenis infeksi saluran kemih

Tabel 11. Rekomendasi antibiotik untuk masing-masing jenis infeksi saluran kemih

25
Tabel 12. Rekomendasi antibiotik untuk masing-masing jenis infeksi saluran kemih

BAB 3
KESIMPULAN

Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi


yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik digunakan secara tidak tepat
antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba
yang merugikan manusia. Berasal dari zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba
terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.
Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu
antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada
pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau
definitif.
Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah
untuk bertahan hidup.
Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai
dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah
baginya dan masyarakat sekitarnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. What is antimicrobial resistance? [Online]


2017 Juli. Diakses 3 Jan 2019 dari:https://www.who.int/features/qa/75/en/.
2. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B et. al.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK UI; 2012.
3. Kemenkes RI. Pedoman umum penggunaan antibiotik. Jakarta: PB
Perkeni. 2015.

4. Carroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, Detrick B et
al. Jawetz,Melnick & Adelbergs’s medical microbiology. 27 ed. United
state: The McGraw-Hill education; 2016
5. Tjay, T. H., dan Rahardja, K. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. 2007. p193.
6. Lüllmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. Color Atlas of
Pharmacology 2nd ed, 2000.

7. Najafpour G. Biochmeical engineering and biotechnology. Elsevier:


Newyork. 2007. p 263-79
8. Clardy J, Fischbach M, Currie C. The natural history of
antibiotics". Current Biology. 19 (11): p437–41. 
9.  Carolina C. Penicillin and cephalosporin production: A historical
perspective" . Revista Latinoamericana de Microbiologia. 49. 3-4: 88–98.
10. Wu, Jiequn; Zhang, Qinglin; Deng, Wei; Qian, Jiangchao; Zhang, Siliang;
Liu, Wen ."Toward Improvement of Erythromycin A Production in an
Industrial Saccharopolyspora erythraea Strain via Facilitation of Genetic
Manipulation with an Artificial attB Site for Specific

27
Recombination". Applied and Environmental Microbiology. 77 (21):
7508–16. 
11. Crueger, W. Biotechnology: A Textbook of Industrial
Microbiology. Sunderland: Sinauer Associates, Inc., 1989
12. Utami RE. Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas. El-Hayah. 2018
13. Amin ZL. Pemilihan antibiotic rasional. Medicinus . 2014
14. Wibawa T. Mechanism og Antibiotic Resistance in Bacteria. Libmed
UGM. 2018.
15. de Amorim Correa R, Costa AN, Lundgren F, Michelin L, Figueiredo MR,
Holanda M, et al. 2018 recommendations for the management of
community acquired pneumonia. J Bras Pneumol. 2018 Sep-Okt; 44(5):
405-23.
16. Kim YJ, Park KH, Park DA, Park J, Bang BW, Lee SS, et al. Guideline for
the antibiotic use in acute gastroenteritis. Infect Chemother. 2019 Jun;
51(2): 217-43.
17. Yoon YK, Park CS, Kim JW, Hwang K, Lee SY, Kim TH, et al.
Guidelines for the antibiotic use in adults with acute upper respiratory tract
infections. Infect Chemother. 2017 Des; 49(4): 326-52.
18. Lee HS, Le J. Urinary tract infections: Infectious diseases. Dalam: PSAP
2018 Book 1. [Online] Diakses 2019 Nov 1 dari:
https://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p2018b1_sample.pdf

28

Anda mungkin juga menyukai