Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KELOMPOK XI

MUHAMMAD ZUHAL JAYA


D111171514
FITRIANI CHAIRUNNISAA
D111 17 1703

DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari
ilmu pengetahuan, menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika
dan estetika. Aksiologi adalah studi tentang nilai atau kualitas. Aksiologi
mencakup etika dan estetika bidang filsafat yang sangat terkait pada
gagasan tentang nilai dan kadang-kadang disamakan dengan teori nilai
dan meta-etika.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting
bagi umat Islam sebagai pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan
pengkajian dan pembuktian ilmiah. Dengan mengkaji secara mendalam
dan membuktikan secara ilmiah maka kita akan menemukan misteri yang
luar biasa dari Al-Qur’an. Seseorang yang mendalami, meneliti dan
mengembangkan Al-Qur’an dengan sarana ilmu pengetahuan dan
teknologi akan mengakui kebesaran Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih
bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka”.  (Q.S. Ali Imran: 190-191).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat
banyak hal dalam kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga
dalam pengaturan suatu negara termasuk didalamnya adalah mengenai
ilmu pengobatan dan kefarmasian. Menurut Al Biruni, farmasi merupakan
suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk dan sifat-sifat fisika dari suatu
bahan, serta seni mengetahui bagaimana mengolahnya untuk dijadikan
sebagai obat sesuai dengan resep dokter. Kedokteran Islam yang
didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu kedokteran dan
farmasi yang berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak
bertentangan dengan koridor ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan
dapat mengedepankan kemampuan untuk menggali dan menjaga
lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi farmasi secara optimal, serta memiliki kepekaan terhadap
berbagai proses perubahan yang terjadi didalamnya.
Karakter perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi
di negara-negara Islam memiliki karakter yang menarik untuk dipelajari
karena keunikan ajaran Islam sebagai agama yang sempurna mengatur
setiap sisi kehidupan manusia. Teks-teks Al-Qur’an dan Hadist memiliki
batasan yang tegas untuk beberapa bahan yang diharamkan
penggunaannya. Seorang farmasis muslim akan berusaha menyelaraskan
keyakinan beragamanya dengan prinsip-prinsip ilmiah farmasi. Hasilnya
adalah satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu bidang keilmuan dan
pelayanan farmasi yang kajiannya berada dalam koridor agama Islam.
Bumi dan isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang
dapat menjadi obat (Q.S. Al-A’raf: 10). Allah SWT telah mengkaruniakan
kepada kita kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi
kebaikan umat di muka bumi ini. Akan tetapi Allah tetap memberikan
batasan-batasan dalam pemanfaatannya. Salah satunya adalah adanya
batasan halal dan haram untuk makanan yang dikonsumsi. Hal ini berlaku
juga untuk obat-obatan.
Tingkat kehalalah dan keharaman dalam dunia farmasi belum
terpetakan dengan jelas. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia
adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh
karena itu, konsumen obat yang beragama Islam memerlukan suatu
perlindungan kehalalan obat yang mereka konsumsi. Dalam hal ini maka
keilmuan farmasi memegang peranan penting. Maka obat yang akan
dimakan untuk pengobatan harus benar-benar yang baik dan bermanfaat
untuk dikonsumsi dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang
apoteker/ahli farmasis sebagai penjaga jalur distribusi obat.
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A.    Landasan Pengobatan dalam Al-Qur’an dan Hadist


Kesehatan merupakan nikmat yang harus disyukuri sebagai
anugerah kehidupan. Namun kondisi lingkungan, kesalahan pola hidup
ataupun serangan wabah dari lingkungan sekitar membuat manusia dapat
mengalami sakit. Manusia diberikan akal dan potensi alam sekitar untuk
mengatasi penyakitnya. Oleh karena itu, Islam mewajibkan umatnya
untuk berusahan/berikhtiar dan mengobati penyakitnya bukan sekedar
pasrah dan tidak berusaha mengatasinya.
Islam mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan
usaha seoptimal mungkin dengan menegaskan bahwa untuk setiap
penyakit telah disediakan obatnya.
Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata:
Ya Rasulullah! Tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya,
wahai hamba-hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak
membuat penyakit tanpa membuat kesembuhan baginya kecuali satu
penyakit. Mereka bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah?
Rasulullah menjawab: Tua”  (H.R. Usamah).
Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang
harus ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan
haram umat Islam berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber
utama yang harus dijadikan patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian
sumber kedua adalah hadist. Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan
secara rinci dan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist maka diperbolehkan
ijtihad.
Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah saw.
Memerintahkan umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang
halal dan melarang menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari
Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan
Allah ta’ala membuat obat untuk setiap penyakit. Karena itu hendaklah
kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram”  (H.R. Abu Ad
Darda’).
Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan
yang Halal dan Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi
adalah makanan yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr,
hewan yang mati tidak wajar dan binatang yang disembelih tanpa nama
Allah. Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap
muslim, namun para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam
keadaan darurat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama fiqih
pendukung madzhab Syafi’i menegaskan standar darurat ialah timbulnya
kekhawatiran akan kematian jika tidak dilakukan. Demikian pula Imam
Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi yang jika tidak dilakukan akan
mati atau dekat kematian.
Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa
sediaan farmasi yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:
1.   Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau
plester. Para ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah
najis ketika digunakan.
2.   Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-
Qur’an, pada tahun 1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa
babi dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai
pangan maupun obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang
berpotensi haram karena umumnya dibuat dari bagian organ babi
adalah: kolagen sebagai pelembab dan bahan dasar gelatin yang biasa
digunakan dalam pembuatan cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta
beberapa golongan hormon seperti insulin, heparin dan enzim tripsin yang
biasa digunakan dalam pembuatan vaksin polio sebagai enzim proteolitik
berasal dari pancreas babi. Salah satu tantangan bagi kalangan ilmuwan
muslim adalah masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan insulin
babi sehingga dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada
menggunakan hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia.
3.   Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama
mengqiyaskan alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak
penggunaan alkohol dalam berbagai produk baik obat, kosmetik, maupun
antiseptik. Tetapi dengan logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari
produksi khamr dan tidak memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI
menfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar
tidak lebih dari 1%. Penggunaan alkohol dalam beberapa produk farmasi
tidak dapat terhindarkan sehingga perlu kearifan untuk membedakan
antara alkohol dan khamr. Bahkan dalam setiap sari buah alami yang
diekstrak secara sederhana tanpa proses fermentasi tetap terkandung
alkohol dalam jumlah rendah. Kandungan alkohol secara alami ada dalam
mayoritas produk pangan misalnya roti yang dibuat dengan bantuan yeast
(gist/ragi) biasanya mengandung alkohol antara 0,3-0,4%. Asam cuka
yang biasa digunakan dimasyarakat juga mengandung alkohol kurang dari
1%.
4.   Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.
5.   Penggunaan plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta
sebagai kosmetik mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel
(regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan pelembab,
lotion rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo.

B.     Obat dalam Al-Qur’an dan Hadist


Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan
lengkap. Semua permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan
terhadap penyakit yang diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong
kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang
Islami, tentunya dengan obat dan terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an
dan Nabi saw.
Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai
hikmah yang amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan
sesungguhnya demi manusia itu sendiri.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya
dan Dia telah menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah
kalian dan jangan berobat dengan barang yang haram”  (H.R. Abu
Dawud).
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan
sesuatu yang ia haramkan atasmu”  (H.R. Bukhari).
Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan yang
mengandung nilai kemusyrikan dan penggunaan bahan-bahan yang
diharamkan. Semua tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah
saw ribuan tahun yang lalu ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum
berkembang pesat. Nash Al-Qur’an dan hadist dapat menjadi panduan
untuk mencari solusi dalam permasalahan kehidupan di dunia, terutama
mengenai  dunia pengobatan.
Berikut contoh pengobatan yang dicontohkan Al-Qur’an dan Nabi
saw.:
1.      Kurma
“Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji buah kurma sebelum
salat. Sekiranya tidak terdapat kurma, maka Rasulullah   saw akan
berbuka dengan beberapa biji anggur. Sekiranya tiada anggur, maka
Baginda meminum beberapa teguk air”  (H.R. Ahmad).   
2.      Habbatus saudah
Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan habatussaudah
karena sesungguhnya padanya terdapat penyembuhan bagi segala
penyakit kecuali mati”  (H.R. Abi Salamah dari Abu Hurairah).
3.      Madu
Allah berfirman: “Dari perut lebah ini keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berfikir”  (Q.S. An Nahl: 69).
4.      Zaitun
Rasulullah bersabda: “Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya
karena ia berasal dari pohon yang penuh berkah”  (H.R. At Tirmizi dan
Ibnu Majah).

C.    Produk Farmasi dalam Pandangan Islam


Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan
bagian pokok dari tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim,
karena hal ini menyangkut keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang
yang mengkonsumsinya seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi
Allah swt.
“Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-
doamu”  (H.R. Ath-Thabrani).
1.      Obat
Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika
hewan bisa berasal dari sapi, babi atau hewan lain yang diharamkan.
Selain itu cara penyembelihan hewan pun harus benar-benar
dipertimbangkan. Sementara untuk produk metabolit mikroba titik kritis
kehalalan medium serta enzim pertumbuhan yang digunakan untuk
pertumbuhan bakteri. Bahan untuk ekstraksi metabolit aktif pun harus
dipertimbangkan apakah menggunakan alkohol murni atau produk
sampingan dari industri khamr.
Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok
hormon, enzim, dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari
produk mikrobil yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari
bahan yang haram, atau bahan penolong yang haram. Pada tingkat
teknologi yang lebih tinggi harus dipertimbangkan juga apakah mikroba
rekombinan gennya berasal dari hewan yang haram atau tidak.
Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada
penggunaan laktosa, etanol, adeps lanae serta magnesium stearat.
Sebagian bahan baku laktosa ditemukan sebagai produk samping
pembuatan keju dan susu yang ditambahkan enzim dari babi. Etanol
perhatikan batas kadar 1% dan sumber produksinya apakah
bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae sebagia bahan untuk
meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari hewan yang
diharamkan.
2.      Obat bahan alam
Bahan dasar obat bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari
bahan tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya produk-produk hewan pun juga
masuk dalam ramuan obat bahan alam. Ramuan tradisional itu juga
mengenal bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, bagian organ dari
ayam, bagian organ ular (empedu, darah, lemak, serta otaknya), buaya,
kalajengking, laba-laba, dan ekstrak berbagai bagian dari jenis binatang.
Jadi, perlu kehati-hatian dalam memilihnya sebab penggunaan hewan ini
harus dilihat dari segi jenis hewannya halal atau tidak.
Pembuatan obat dari bahan alam yang halal dari hewan
hendaklah dari hewan yang halal dikonsumsi. Bagi produsen yang
menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan obat, dapat menanyakan
hukum hewan yang digunakannya apakah halal atau haram.
3.      Kosmetik
Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam
tubuh. Oleh karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan
masalah suci dan najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal,
tidak najis atau menjijikkan daa tidak membahayakan tubuh pemakainya
serta jangan sampai kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan
yang berlebihan dan bukan pada tempatnya.
Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif
atau bahan pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat.
Status kehalalan ini kritis terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi
dari hewan (kolagen, dll), menggunakan alkohol, menggunakan bagian
dari manusia seperti plasenta dan cairan amniotik.

D.          Riset dan Teknologi Farmasi


Farmasi merupakan suatu bidang ilmu yang semakin
berkembang. Dengan perkembangan teknologi kefarmasian tentu
mengakibatkan berbagai konsekuensi termasuk permasalahan yang terjadi
semakin lebih kompleks, mulai dari kontrofersi dalam penggunaan hewan
percobaan dalam riset kefarmasian, teknologi transgenik, kloning, hingga
mengenai dampak linngkungan hidup akibat banyak bertumbuhnya
industri farmasi yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Islam sebagai agama yang sempurna dalam ajarannya telah
mengajarkan kepada umatnya untuk tetap menyeimbangkan antara
perkembangan teknologi dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga kerusakan
dimuka bumi dapat terhindarkan.
Contoh reiset dan teknologi yang perlu diperhatikan:
1.      Penelitian-penelitian menggunakan hewan percobaan
Konsep yang dipegang oleh fikih adalah mempertimbangkan
kepentingan umat manusia yang terdiri atas 5 hal yang meliputi agama,
jiwa, keluarga, akal fikiran, serta harta benda. Tindakan-tindakan tertentu
yang dimotivasi oleh keterpaksaan atau darurat dalam rangka melindungi
salah satu dari lima kepentingan itu dibenarkan. Aspek kedaruratan ini
juga berlaku dalam pemanfaatan hewan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, kesehatan dan penelitian kefarmasian yang bermanfaat
untuk kehidupan manusia. Meskipun demikian dalam pandangan Islam,
kita wajib berbuat baik dalam memperlakuakan hewan dengan tujuan
yang jelas. Tantangan ahli farmasi adalah menguji khasiat obat dengan in
vitro tanpa hewan uji karena saat ini tidak semua uji dapat dilakuakn
secara in vitro seperti uji toksisitas.
2.      Pemanfaatan teknologi transgenik
Perkembangan dalam rekayasa genetik perlu diperhatikan
mengenai proses pembuatannya (prokursor, raw material, media
pertumbuhan) agar produk yang dihasilkan aman dan halal.
3.      Kontroversi teknologi kloning
Proses kloning dalam penciptaan manusia jelas bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”  (Q.S. At Tin:
4).
      
4. Penanganan lingkungan hidup
Setiap orang yang mengeksploitasi dan menggunakan alam
adalah demi kepentingan ibadah, melestarikan alam juga ibadah.
Penanganan limbah harus sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Dalam memanfaatkan alam harus memperhatikan estetika dan keindahan.
Pengembangan teknologi dan industriperlu diimbangi dengan perilaku
memelihara lingkungan sekitar secara arif misalnya, dengan
memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan, penyiapan analisis
pengembangan mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penanganan
limbah industri yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta
bentuk perilaku ramah lingkungan lainnya.

E.           Pelayanan Kefarmasian
Perubahan paradigm pelayanan farmasi dari drug
oriented  menjadipatient oriented  sehingga menjadikan profesi farmasi
menjadi peluang sekaligus tantangan. Farmasis berperan dalam
membantu pengobatan mandiri pasien untuk memilihkan obat yang baik
dan halal. Fungsi utama dari dari pelaksanaan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care)  antara lain untuk mengidentifikasi baik
yang aktual maupun potensial masalah yang berhubungan dengan obat,
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat, serta mencegah
terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat.
Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban untuk
melindungi pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang
merugikan. Diawal Farmasi memeriksa kebutuhan pasien, ditengah
memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi bagi DRP (Drug
Related Problem), diakhir menilai hasil intervensi (evaluasi) sehingga
didapat hasil yang optimal sehingga pada akhirnya diharapkan kualitas
hidup pasien meningkat serta hasilnya memuaskan. Dengan
mengutamakan keselamatan dan melindungi pasien dari penggunaan obat
yang membahayakan diri pasien, berarti farmasis turut memelihara
kehidupan pasien tersebut sesuai dengan anjuran ajaran Islam.

F.           Sertifikat Halal Produk Farmasi


Mencari yang halal merupakan suatu kewajiban setiap muslim
sehingga kita wajib selektif dalam memilih makanan dan minuman
termasuk obat-obatan dan kosmetika.
“Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim”  (H.R. Ibnu
Mas’ud).
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah
tempat yang pantas baginya”  (H.R. At-Tirmidzi).
Masyarakat sulit menentukan suatu produk itu halal atau haram
namun dengan adanya label sertifikat halal pada produk yang diberikan
oleh LPPOM MUI dan nomor registrasi yang diberikan BPOM berarti
produk tersebut telah dianggap halal dan aman (thoyyib). Perusahaan
yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal dari MUI, harus
mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan
Halal di perusahaannya.
Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.
Tujuan pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan, produk farmasi
seperti obat-obatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian
kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin konsumen.
Permasalahan regulasi halal di Indonesia adalah produsen
memasang label halal sendiri dan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan,
dalam Bab Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 1 mampu memaksa
produsen untuk mensertifikasi produknya.
“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam
wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”.
Namun penjelasan lanjutan dari UU ini mengandung keanehan
yang mementahkan konsep ‘pemaksaan’ tadi yaitu pada pasal 30 ayat 2
(e) yang berbunyi:

…Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan
kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau
memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat
Islam …”
Akibat penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak wajib,
maka sertifikat halalpun menjadi tidak wajib pula. Oleh karena itu, peran
pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 tersebut terutama pasal 2
(e) agar memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi
konsumen.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Padahal sangat
banyak titik kritis halal haram dari obat dan kosmetik. Hal ini belum
menjadi perhatian penting bagi praktisi kesehatan maupun konsumen
dengan berlindung pada alasan status kedaruratan. Oleh karena itu,
perlunya membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya regulasi
halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih produk yang halal
dan toyib.
Tantangan lain dalam mencanangkan regulasi halal obat dan
kosmetik selain rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat
dan kosmetik halal di Indonesia adalah  minimalnya bahan baku lokal
sehingga pengawasan oleh LPPOM MUI lebih sulit karena ketergantungan
industri farmasi pada bahan baku impor. Selain itu regulasi dan pola
pengawasan produk halal masing-masing Negara berbeda karena
parameter penentuan kehalalan dan lembaga serta ijtihad para ulama fiqih
lokal bisa berbeda.
Keberadaan benda haram dalam suatu produk tidak dapat
langsung terdeteksi secara visual bahkan penelitian laboratorium pun tidak
selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur alkohol maupun babi pada
produk akhir. Oleh karena itu, hal terpenting adalah secara etis adanya
jaminan pihak ketiga yang independen atas kehalalan produk pangan,
obat, maupun kosmetika dalam bentuk sertifikat halal. Sehingga produsen
terawasi sejak proses pengadaan barang, produksi hingga pengemasan.
Hasil dari pengawasan dikeluarkan dalam bentuk dokumen yang
selanjutnya menjadi landasan sertifikasi kehalalan. Selanjutnya dibutuhkan
studi lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat dan
ekonomis.
Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan
dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat,
makanan maupun kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu
profesi yang konsen, komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan.
Untuk dapat mewujudkannya, dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang
benar-benar mengerti dibidangnya dan memiliki sikap sesuai profesi yang
disandangnya.
Sebagai farmasis muslim kita juga dituntut untuk memiliki
kepekaan pada kebutuhan umat Islam. Bagi  seorang muslim,
mengkonsumsi makanan serta produk farmasi lainnya termasuk obat yang
berstatus halal dan thoyib, sudah menjadi bagian keyakinan agama yang
harus dijalankan. Ironisnya seringkali konsumen tidak memiliki kebebasan
untuk memilih produk yang halal akibat minimnya informasi yang sampai.
Penjaminan hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi
tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, farmasi dan masyarakat
pada umumnya.
Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam membuat serta
mengkonsumsi segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian tidak
untuk memberatkan manusia dengan berbagai aturan yang telah
ditetapkan, namun ingin menghantarkan manusia dalam kemuliaan dan
kebahagiaan hakiki, di dunia maupun diakhirat. Bahkan beberapa aturan
dalam Islam telah terbukti secara etis meningkatkan kualitas hakiki
kehidupan manusia.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan
yang haram itu pun jelas. Sedang diantara keduanya terdapat perkara-
perkara syubhat (meragukan) yng tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Siapa-siapa yang menghindari perkara-perkara syubhat berarti ia
membebaskan diri demi agama dan kehormatannya. Dan siapa-siapa
yang terjerumus kepada yang haram bagaikan seorang pengembala yang
bergembala diperbatasan tempat yang dilarang dan ia hamper melanggar.
Ketahuilah bahwa setiap milik itu ada batasannya, dan ketahuilah bahwa
batasan Allah ialah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah
bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging yang jika ia baik,
maka baiklah seluruh tubuh, tetapi jika rusak maka rusaklah keadaan
seluruh tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati”  (H.R. Muslim).
Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika
saat itu tidak terdapat alternatif lain. Penggunaan obat yang haram dalam
keadaan darurat tidak boleh berlebihan, tetapi seperlunya saja. Sementara
yang berhak menilai keadaan darurat seseorang adalah tenaga ahli yang
memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, pribadi
bersangkutan yang merasakan penderitaan sakitnya dan pemerintah
berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut kepentingan umum.
Kondisi darurat adalah respon reaktif yang bisa menjadi landasan
penentuan hukum ketika manusia berada dalam kondisi terdesak.
Sayangnya status darurat ini sering menjadi tempat berlindung para
praktisi kesehatan ketika berhadapan dengan pasien. Secara filosofis
kondisi kedaruratan obat tidak harus terjadi manakala ilmuwan muslim di
dunia pengobatan memiliki cara pandang tentang pentingnya
mengusahakan produk farmasi yang halal. Karena pada dasarnya masih
banyak alternatif bahan obat yang halal yang belum diusahakan
pengadaannya. Segala yang berasal dari haram semuanya dinilai haram.
Tujuan atau niat tidak menghalalkan cara atau proses. Namun perlu
“cerdas dan arif” dalam menilai status kedaruratan suatu kondisi, dimana
dinilai oleh yang memiliki wewenang dan keilmuan terkait itu. Jadi,
diperlukan peran semua pihak untuk mengusahakan pengadaan serta
penggunaan produk yang halal dan toyib (baik).
BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Etika faramsi dalam Islam layaknya sebagai landasan/pondasi aksiologi
sehingga dapat menjamin nilai, kualitas dan ilmu farmasi menjadi lebih
bermanfaat terutama dalam hal penjaminan halal dan haram bagi umat
Islam.
2.      Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan
dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat,
makanan maupun kosmetik. Penjaminan hak konsumen muslim dalam
mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik
pemerintah, farmasi dan masyarakat pada umumnya.
3.      Tantangan ahli farmasi muslim adalah mengusahakan membuat bentuk
sediaan obat dan kosmetik halal, serta menguji khasiat obat dengan in
vitro tanpa hewan uji.
4.      Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat
itu tidak terdapat alternatif lain setelah keadaan daruratdinilai oleh tenaga
ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, dan
pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut
kepentingan umum.

B.     Saran
1.      Peran pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 pasal 30 ayat 2
(e) agar memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi
konsumen.
2.      MUI memberikan sertifikat halal bekerja sama dengan pemerintah.
3.      Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan
obat, dapat menanyakan hukum hewan yang digunakannya apakah halal
atau haram.
4.      Perlunya membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya
regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih produk yang
halal dan toyib.
DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, 2007, Terjemah Hadits Arba’in: An-Nawawiyah,  Cetakan V,


Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin Press.
Departemen Agama RI, 2005, Al Quran dan Terjemahannya,  PT. Syamil Cipta
Media, Indonesia.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1996, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1996 Tentang Pangan, DirJen
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Wasito, H. dan D. Herawati, 2008, Etika Farmasi dalam Islam, Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai